Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Sick building syndrome (SBS) sudah dikenal sejak tahun 1970 saat terjadinya
peningkatan pasien yang datang ke pelayanan kesehatan dengan keluhan gejala yang
menyerupai alergi yang sumbernya sulit diketahui. Gejala tersebut berupa keluhan
iritasi membran mukosa seperti pada mata, hidung, kulit, iritasi saluran napas atas,
pusing dan lemas. Gejala gejala tersebut terjadi saat pasien menghabiskan sebagian
besar waktunya di dalam gedung dan gejala tersebut hilang saat mereka keluar dari
gedung tersebut sehingga diambil kesimpulan bahwa gejala yang kemungkinan dapat
berhubungan dengan pajanan tempat tertutup dapat dikatakan sebagai SBS.1,2
Kedokteran okupasi tahun 1980 memperkenalkan konsep SBS sebagai
masalah kesehatan akibat lingkungan kerja berhubungan dengan polusi udara,
Indoor Air Quality (IAQ) dan buruknya ventilasi gedung perkantoran. World Health
Organization (WHO) tahun 1984 melaporkan 30% gedung baru di seluruh dunia
memberikan keluhan pada pekerjanya dihubungkan dengan IAQ. Di seluruh dunia
2,7 juta jiwa meninggal akibat polusi udara, 2,2 juta diantaranya akibat indoor air
pollution atau polusi udara di dalam ruangan. Sebagian besar orang banyak
menghabiskan

waktunya

di

dalam

ruangan.

Diikuti

semakin

banyaknya

pembangunan gedung tinggi dengan struktur yang lebih tertutup umumnya


dilengkapi dengan sistem sirkulasi udara serta pendingin buatan yang berfokus pada
efisiensi energi serta kenyamanan yang meminimalisir pembuangan udara panas dan
dingin yang membuat bangunan makin kedap udara. Sehingga menjadi sangat
penting untuk mengetahui hubungan antara pajanan yang terjadi di dalam ruangan
tertutup di dalam gedung dan kesehatan. Secara bersamaan terdapat berbagai macam
jenis bahan material yang digunakan seperti mebel, pakaian, kain pelapis, pembersih,
deterjen maupun bahan pengawet yang digabungkan dengan limbah yang dihasilkan
bangunan itu sendiri seperti protein asing, debu dan gas. Hal tersebut menyebabkan
kualitas udara yang makin buruk dalam ruangan.3,4
Gejala SBS dapat serupa dengan kasus lainnya seperti alergi yang dapat
terjadi

akibat

kontak

dengan

bahan

ketidaknyamanan pada tempat kerja, stres

alergen.2

Penyakit

lainnya

seperti

akibat kerja atau faktor psikososial

lainnya juga mempunyai gejala serupa dengan SBS. Kunci dalam mendiagnosis SBS

adalah gejala pada pasien tersebut berkurang bahkan hilang saat meninggalkan
ruangan gedung tersebut. Untuk mengidentifikasi SBS lainnya adalah ketika
beberapa orang mengalami gejala serupa pada waktu tertentu.5 Pada tinjauan pustaka
kali ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai gejala dan diagnosis SBS juga
penatalaksanaannya.

DEFINISI
Sick building syndrome ( SBS ) adalah nama yang diberikan kepada gedung
gedung cacat konstruksi yang dapat menyebabkan pekerja mendapat masalah
kesehatan secara akut yang terkait dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu
bangunan, tidak ada penyakit atau penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi. Sick
building syndrome berhubungan dengan kombinasi berbagai sumber material dan
menyebabkan gedung tersebut sakit. Bahan konstruksi tersebut menghasilkan
limbah partikel berbahaya yang terakumulasi dan menyebabkan polusi udara. Usaha
untuk efisiensi energi pada sebuah bangunan dapat mengakibatkan aliran udara
yang buruk sehingga

menyebabkan masalah kesehatan. Sebuah penelitian yang

membandingkan gedung dengan penyaring udara sentral dengan yang mempunyai


ventilasi tiap ruangan para pekerja lebih sering terjadi SBS pada gedung dengan
ventilasi sentral.6,7
Sick building syndrome terkadang dihubungkan dengan non-specific buildingrelated symptoms tetapi penyebab utama dari orang yang terpajan gejala ini juga
disebabkan karena ventilasi yang kurang dan pajanan zat kimia dari bangunan
tersebut. Sick building syndrome dapat dibedakan dengan building related illness.
Perbedaan pada building related illness pekerja menunjukkan gejala penyakit yang
dapat didiagnosis dan berhubungan langsung dengan pencemaran gedung melalui
udara. Saat ini para peneliti juga belum menemukan kadar polutan yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan dan sulit pula untuk menentukan rata rata
ventilasi yang diperlukan.

Dahulu SBS dihubungkan dengan pekerjaan yang

menggunakan mesin yang dikenal sebagai work-related hazards tetapi saat ini terjadi
pula peningkatan gejala dalam jumlah hari, stres, penurunan produktifitas dan
ketidakpuasan atas hasil kerja pada para pekerja yang bekerja di perkantoran, rumah

sakit, sekolah yang berhubungan dengan SBS. Penyebab pasti SBS belum jelas
diketahui sumbernya tetapi diyakini disebabkan dari berbagai sumber yang saling
berhubungan menjadi mata rantai yang menyebabkan masalah pada bangunan
tersebut contohnya tidak hanya masalah ventilasi yang dapat menyebabkan
penyebaran bahan berbahaya di bangunan tersebut. Pengaturan suhu di ruangan juga
dapat mengakibatkan kondensasi sehingga menghasilkan bakteri dan jamur di
bangunan tersebut.5,7,8
Menurut Environmental Protection Agency (EPA) kumpulan gejala ini timbul
berkaitan dengan waktu yang
namun

dihabiskan

seseorang

dalam sebuah bangunan,

gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya belum bisa teridentifikasi.

National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) menyebutkan 52%


penyakit pernapasan yang berkaitan dengan SBS merupakan akibat buruknya
ventilasi gedung dan kinerja pengatur suhu ruangan yang jarang dibersihkan. Pada
penelitian Occupational Safety and Health Act (OSHA) didapatkan penyebab polusi
udara dalam gedung 52% akibat ventilasi yang tidak adekuat, 7% akibat alat alat
kerja ataupun bahan bahan kerja dalam gedung, 11% polusi dari luar gedung, 5%
mikroorganisme, 3% bahan bangunan atau alat kantor dan 12% tidak diketahui
penyebabnya.9,10
Tiga hipotesis untuk menjelaskan gejala SBS antara lain hipotesis kimia
bahwa volatile organic compounds (VOC) yang berasal dari perabot, karpet, cat serta
debu, karbonmonoksida atau formaldehid yang terkandung dalam pewangi ruangan
dapat menginduksi respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritasi
saluran napas menyebabkan asma dan rinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga
terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi
menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak
dapat membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh
bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya
saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas
sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan
terjadinya infeksi saluran napas. Hipotesis ke dua adalah hipotesis bioaerosol yang
ditunjukkan pada sebuah penelitian cross sectional bahwa individu yang mempunyai
riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOC

konsentrasi rendah

dibandingkan individu tanpa atopi. Hipotesis ke tiga ialah faktor pejamu, yaitu
kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala.11

MANIFESTASI KLINIS

Untuk mendeteksi gejala SBS dapat dilihat dari gejala yang timbul dan
memberat

ketika

seseorang

ada di dalam gedung tersebut dan hilang atau

berkurang ketika meninggalkan gedung tersebut. Tidak ada kejelasan mengenai


siapa saja yang dapat menderita SBS tetapi beberapa faktor risiko seperti jenis
kelamin, usia dan faktor psikososial mempunyai peranan pada SBS.2,5,7 Banyak
penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko
yang penting pada gejala SBS. Pekerja perempuan dilaporkan lebih sering
mengeluhkan gejala SBS dibandingkan laki laki.12 Menurut hasil penelitian
Brasche ditemukan perbedaan pada jenis kelamin berdasarkan variable karakteristik
kerja dan ergonomi tempat kerja.

Beberapa kasus menunjukkan

perempuan

mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SBS. Brasche menyebutkan dari


penelitiannya bahwa pada

variabel seperti riwayat penyakit alergi,

sistem

pengaturan udara, jendela yang terkunci, pencahayaan alami, kualitas perangkat


lunak dan lainnya didapatkan antara laki laki dan perempuan mempunyai
kecenderungan yang sama akan pengaruh SBS. Dari penelitian disebutkan bahwa
tidak dapat dijelaskan perbedaan prevalensi SBS berdasar jenis kelamin, perbedaan
kondisi kerja, karakterisktik kerja dan

juga

faktor demografi serta

faktor

psikososial pada umumnya. Pada penelitan ini diambil kesimpulan bahwa jenis
pekerjaan dan faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan kerja
dalam ruangan merupakan faktor risiko yang memungkinkan sebagai patogenesis
dari gejala SBS yang ditunjukkan dalam gambar 1.13 Konsep lingkungan kantor
terbagi 2 yaitu lingkungan fisis terdiri dari faktor-faktor fisis, kimia dan lingkungan
sosial terdiri dari faktor organisasi, aturan dan norma; keduanya berpengaruh pada
kesehatan manusia. Lingkungan kantor merupakan kombinasi antara penerangan,
suhu, kelembaban, kualitas udara dan tata ruang.
lingkungan kantor dapat

Hubungan antara pekerja dengan

menimbulkan keluhan fisis (objektif) dan mental

(subjektif). Sick building syndrome disebabkan multifaktor termasuk faktor fisik,

kimia, biologis dan fisiologis. Jika faktor tersebut terpelihara baik maka lingkungan
kantor menjadi tempat yang nyaman dan sehat untuk bekerja.8

Karakteristik fisis
dan somatik

Keadaan
lingkungan dan
ruangan

Gedung yang sakit

Keluhan SBS

Faktor yang
berhubungan
dengan pekerjaan

Gambar. 1. Model patogenesis SBS


Dikutip dari (13)
Secara umum dipercayai

bahwa

riwayat atopi berhubungan dengan

buruknya lingkungan di dalam ruangan. Diagnosis atopi dibuat berdasarkan hasil


prick test yang positif pada beberapa alergen yang merupakan faktor risiko terhadap
paling tidak satu gejala SBS.14 Aspek individu sebaiknya dipertimbangkan untuk
kemungkinan individu yang rentan terhadap pajanan

stres lingkungan dan

merupakan alat yang berguna dalam mendiagnosis gejala SBS pada individu
tersebut. Hubungan antara SBS dan ciriciri individu diukur dengan skala
personalitas Karolinska (KSP). Penelitian oleh Runeson menunjukkan hubungan
KSP

dengan dengan gejala SBS lebih terlihat pada subjek perempuan pada

penelitian tersebut dan didapatkan hubungan antara KSP dengan skor perubahan
gejala selama periode 9 tahun. Skor perubahan gejala pada penelitian tersebut terdiri
dari gejala pada mata, hidung, tenggorok, kulit dan sakit kepala, juga kelelahan
dengan skor terdiri dari 016. Penelitian ini menggambarkan bahwa pengukuran
personalitas individu mempunyai nilai lebih untuk mengetahui kerentanan akibat
stres lingkungan.15

Riwayat penyakit sekarang penting untuk diketahui untuk menentukan bahwa


gejala bukan disebabkan kondisi yang sudah ada sebelumnya. Kondisi seperti asma
dan atopi kulit maupun alergi lainnya cenderung dapat diperburuk ketika terjadi
pajanan juga dapat timbul disebabkan karena alergen yang ada di udara dalam
ruangan.16 Penelitian pada pasien SBS di Swedia menunjukkan bahwa gejalanya
sering menjadi kronik dan pajanan baru dapat memperburuk gejala yang sudah ada.2
Pada penelitian yang dilakukan oleh Burge

dikutip dari 8

pekerja yang dilaporkan

mengalami SBS mempunyai gejala gejala seperti letargi 57%, iritasi mukosa,
tenggorokan kering atau hidung tersumbat 46% dan sakit kepala 43%.
Gejala SBS yang paling banyak didapat adalah iritasi pada membran mukosa
seperti pada mata, hidung dan mulut. Pada beberapa kasus gejala makin memberat
sehingga pekerja tidak lagi dapat menggunakan lensa kontak dan gejala hidung yang
tersumbat. Mereka juga mengeluh gejala rinitis berat yang hanya hilang ketika
mereka meninggalkan gedung atau tempat kerja. Umumnya

sumber penyebab

maupun sumber alergen tidak jelas diketahui. Gejala tersebut hilang pada saat
mereka jauh dari tempat kerja untuk waktu yang singkat maupun lama seperti saat
akhir minggu atau liburan panjang.8 Gejala dapat pula ditimbulkan oleh bermacam
alergen yang ada di tempat kerja seperti debu, tungau dan jamur. Gejala ini sering
menyebabkan rinitis alergi dan asma bronkial. Mikroorganisme seperti jamur dan
bermacam tipe bakteri dapat mengkontaminasi sistem pendingin atau pemanas udara
sentral dan dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas dan humidifier fever.
Pneumonitis hipersentivitas menyebabkan inflamasi di alveoli dan bronkiolus akibat
dari respons imun terhadap organisme tersebut. Pajanan dalam waktu lama dapat
menyebabkan fibrosis paru. Humidifier fever

menyebabkan gejala demam, nyeri

sendi dan nyeri otot. Sering terjadi pada musim dingin dan hilang ketika orang
tersebut tidak terpajan organisme tersebut kembali.8
Gejala pada kulit seperti kemerahan atau kering, gatal dan kulit terbakar
sering dilaporkan pada SBS. Gejala pada kulit tersebut sering dilaporkan terjadi pada
gedung dengan kelembaban yang rendah, temperatur suhu yang rendah.5,17 Gejala
yang sering terjadi pada sistem saraf pusat adalah sakit kepala, rasa berat di kepala,
mual, sulit berkonsentrasi, pusing dan mudah lelah dikenal dengan

general

symptoms by Glas.16 Gejalagejala ini dihubungkan dengan gedung yang memiliki

zat kimia konsentrasi tinggi seperti rumah sakit, klinik atau farmasi. Dapat juga
disebabkan karena alatalat pembersih, cat, atau penyemprot serangga. Pada
beberapa kasus dapat disebabkan karena keracunan karbon monoksida kadar rendah
akibat buruknya sistem ventilasi udara atau kelainan konstruksi dari

gedung.8

Konsentrasi tinggi dari zat seperti radon, CO dan CO2 juga dapat mempengaruhi
sistem saraf pusat. Ventilasi udara harus lebih baik ketika manusia itu sendiri yang
menyebabkan polusi karena CO2 dikeluarkan oleh manusia .7
Masalah

dalam

mendiagnosis

SBS

mengalami

kesulitaan

saat

menghubungkan gejala dengan sumber pajanan disaat tidak semua faktor yang
menyebabkan gejala dapat seluruhnya diketahui sehingga sulit menentukan
pemicunya. Pada beberapa keadaan orang yang terpajan tidak mengalami gejala
sehingga membuat diagnosis SBS sulit karena tidak mempunyai gejala dan keluhan
yang sama.5,17 Brauer menyebutkan bahwa penyebab SBS bukan karena pajanan
yang terdapat pada gedung tersebut melainkan karena penyebab psikosomatis atau
kondisi penyakit yang sudah ada sebelumnya.18 Bell menyebutkan bahwa SBS
kemungkinan merupakan suatu kelainan psikiatri atau kelainan stres pasca trauma.19
Sebuah penelitian di Swedia oleh Glas mengikutsertakan 79 pekerja perempuan yang
bertujuan untuk mengklarifikasi komponen kimia penyebab SBS. Peneliti
menggunakan tiga jenis zat penghisap (Carbopack B, Chromosorb 106 dan Tenax
TA) pada para pekerja dengan dan tanpa SBS untuk mengetahui bagaimana cara
mereka dapat terpajan zat kimia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa walaupun
tidak diketahui pajanan zat kimia pada

para pekerja tetapi masih terdapat

kemungkinan cara untuk membedakan dan membandingkan bahan pajanan tersebut


dari alat penghisap. Penelitian ini merupakan penelitian terbaru dalam menggunakan
zat kimia untuk mengetahui penyebab SBS.5 Metode pengukuran SBS dapat dilihat
pada table 1 di bawah.20

Pekerja dengan SBS lebih sensitf terhadap stimuli

dibandingkan dengan pekerja tanpa SBS. Keluhan wheezing dan atau dada tertekan
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan peakflow meter atau spirometri
sebelum dan sesudah kerja. Jika hasil pemeriksaan tidak ditemukan kelainan maka
tidak terdapat penyakit

Tabel 1. Metode penilaian efek pada SBS


Efek
Gejala
Iritasi hidung, kemerahan

Iritasi mata
Reaktivitas bronkus

Sistem saraf pusat


Respons imunologi

Metode
Wawancara
Nasal lavage
Acoustic rhinometry
Anterior and posterior rhinomanometry
Conjunctival photography
Tear film break-up time
Peak flow meter
Spirometri
Uji metakolin
Tes neurofisiologik
Pemeriksaan vestibular
Pengukuran IgE spesifik
Dikutip dari (20)

FAKTOR RISIKO SICK BUILDING SYNDROME

Dari hasil penelitian terbukti bahwa terdapat faktor individu dan ciri-ciri
kepribadian tertentu yang meningkatkan risiko SBS. Perempuan telah terbukti lebih
sering menderita SBS daripada laki laki yang menurut Norbck kemungkinan
akibat lingkungan kantor, tugas kerja dan kepribadian yang berbeda antara laki laki
dan perempuan dan pula karena beban kerja perempuan di rumah lebih tinggi. Glas
dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gejala
tertentu seperti penyakit pernapasan dan masalah kulit. Bell juga menunjukkan dalam
penelitiannya bahwa perempuan lebih rentan terhadap SBS karena rasio
estrogen/progesteron yang lebih tinggi. Dalam penelitiannya mereka menyatakan
bahwa tingkat estrogen/progesteron memainkan peran penting dalam sensitisasi saraf
akibat kontak yang terlalu lama dan berulang-ulang terhadap rangsangan luar seperti
obat-obatan, bahan kimia dan lainnya sebagai stresor kesehatan. Hal ini dapat
mempengaruhi otak dan

menyebabkan kerusakan saraf yang juga dapat

mempengaruhi baik sistem endokrin dan fungsi kekebalan tubuh serta juga dapat
mempengaruhi psikis penderita SBS. Beberapa peneliti seperti Seppnen dan Fisk
menyatakan bahwa usia merupakan faktor risiko untuk SBS.2,5,17
Orang yang telah didiagnosis dengan penyakit atopi baik alergi ataupun asma
lebih rentan untuk dipengaruhi oleh SBS. Kondisi mereka masih dapat diperburuk

akibat pajanan bahanbahan berbahaya dalam gedung. Penelitian telah menunjukkan


bahwa asma adalah penyebab utama ketidakhadiran kalangan anak-anak usia sekolah
dan anak-anak di fasilitas penitipan anak serta menjadi masalah kesehatan utama di
antara guru dan pekerja lainnya yang bekerja di lingkungan sekolah. Sebuah studi
pada 171 pekerja perempuan ditemukan bahwa kecemasan, kemarahan, kesedihan,
depresi, kesadaran diri dan kepercayaan diri yang rendah memiliki dampak pada
kesehatan perempuan di tempat kerja dan ternyata dipengaruhi oleh ventilasi di
sebuah gedung.2,17
Perangkat pengatur suhu udara panas dan dingin yang tidak berfungsi dengan
baik atau salah pemasangan dapat menghasilkan karbon monoksida pada tingkat
yang berbahaya begitu juga nitrogen dioksida dan sulfur dioksida. Polutan tersebut
dapat menyebabkan gejala seperti sakit kepala, pusing dan kelelahan. Penelitian
menunjukkan bahwa suhu ruangan di atas 22C tidak hanya menyebabkan gejala
seperti kelelahan dan sakit kepala tetapi juga meningkatkan iritasi mukosa. Menurut
Seppnen dan Fisk suhu ruangan yang tinggi terbukti meningkatkan frekuensi SBS.
Penelitian menunjukkan bahwa gejala seperti sakit kepala dan kelelahan

serta

berkurangnya kemampuan untuk berpikir terjadi ketika suhu antara 20-26 C dengan
kelembaban 40-60%.2,6,7,17
Polusi udara biologis dapat berupa hasil dari konstruksi bangunan yang
buruk, kebocoran air atau ventilasi yang tidak memadai. Polusi udara biologis
diketahui dapat menyebabkan infeksi, penyakit hipersensitivitas dan toksikosis. Debu
tungau membutuhkan kelembaban di udara di atas 55 % untuk bertahan hidup
sehingga gejala akibat debu tungau cenderung lebih sering terjadi pada orang-orang
yang menghabiskan waktu di kamar dengan tingkat kelembaban tinggi. Polusi udara
kimia seperti radon atau karbon monoksida sangat beracun tetapi sulit dideteksi
karena tidak berbau. Penelitian menunjukkan bahwa pajanan jamur dalam bangunan
menyebabkan masalah pernapasan terutama asma. Para peneliti masih belum
memahami masalah tersebut tetapi kemungkinan disebabkan karena jamur berisi
beberapa molekul biologis aktif yang dapat menyebabkan respons inflamasi pada
manusia dan mengakibatkan alergi sehingga terjadi peningkatan morbiditas.2,3,6,
Volatile Organic Compounds adalah gas - gas yang dilepaskan dari bahan
padat, cairan dan gas yang ditemukan di rumah atau di gedung-gedung. Gasgas ini

dapat merupakan hasil dari pembersih rumah tangga biasa, cat, thinner, mesin
fotokopi, printer, lem, spidol dan lain sebagainya. Penelitian menunjukkan bahwa
aerosol bioruangan, debu dan partikel udara lain meningkatkan SBS. Penelitian
terbaru di kalangan pekerja kantor menunjukkan bahwa pajanan debu kertas dan asap
dari printer dan mesin fotokopi meningkatkan risiko SBS. Melalui sistem ventilasi
asap dan partikel berbahaya lainnya dari luar juga dapat menyebar dan
mempengaruhi orang-orang dalam bangunan. Dahulu formaldehida digunakan
sebagai isolasi dalam bangunan tetapi juga dapat ditemukan di bahan seperti kayu
lapis panel, perekat untuk karpet, dalam produk kimia rumah tangga seperti
pembersih, deterjen, parfum, sabun dan lainnya. Formaldehida menjadi iritan utama
bagi manusia dan juga dapat menjadi salah satu penyebab SBS.2,5,7,17
Debu phthalates dalam ruangan juga dapat menyebabkan asma dan alergi,
khususnya pada anak. Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa
formaldehid volatile, beberapa pestisida dan pelarut toluena dapat mensensitisasi
saraf. Sensitisasi adalah ketika respons pada pejamu menjadi lebih kuat karena
terjadi pajanan yang berkepanjangan dan berulang terhadap stresor kesehatan seperti
bahan kimia seperti formalin. Karena dapat mempengaruhi otak, mengganggu mood,
perilaku, endokrin dan fungsi kekebalan tubuh. Logam berat seperti timbal dapat
ditemukan dalam cat yang digunakan pada 1940-an. Meskipun telah dilarang sejak
tahun 1978 masih dapat ditemukan di cat atau pipa di bangunan tua. Timbal jika
tertelan dapat menyebabkan keracunan timbal. Logam merkuri digunakan dalam cat
lateks dalam ruangan dan menghirup uap yang dapat menyebabkan masalah
kesehatan yang serius.2,7
Ketika bangunan tidak memiliki fungsi dan sistem ventilasi yang terencana
dapat menciptakan kantong penumpukan polutan. Polutan tidak bisa keluar dari
gedung akibat pertukaran dan pengaliran udara yang tidak baik. Penelitian juga
menunjukkan bahwa pada bangunan dengan kondisi udara yang buruk dengan
tingkat ventilasi kurang dari 10 liter per detik per orang dapat menyebabkan gejala
SBS pada para pekerja. Penelitian Seppnen dan Fisk telah menunjukkan bahwa
pada bangunan yang memiliki alat pengatur suhu ruangan prevalensi gejala SBS
meningkat sebesar 30-200% dibandingkan dengan gedung yang berventilasi
alami.2,6,7

10

Penelitian menunjukkan pada kelembaban udara rendah maupun kelembaban


udara tinggi dapat menyebabkan SBS. Kelembaban udara rendah sebagian besar
diketahui menyebabkan pernapasan bagian atas, gejala kulit dan mata. Kelembaban
udara terlalu tinggi tidak akan langsung menimbulkan gejala tetapi secara tidak
langsung meningkatkan pertumbuhan mikroorgaisme karena air kondensasi.
Kelembaban di atas 50% juga menyebabkan peningkatan kadar debu tungau dan
meningkatkan gejala alergi. Kelembaban karena kebocoran air dan mempunyai
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan VOC sehingga dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme berupa bakteri atau jamur.2,6,7 Sumber polusi ruangan
dapat terlihat pada gambar 2.21

Cat dinding ,
lukisan

memasak

formaldehida

merokok

Bahan kimia
rumahtangga

Aktivitas pribadi

Karpet, tirai, cat atau


pelapis

Bahan bangunan
abatement

Sumber polusi udara dalam ruangan


trends
infiltrasi
Binatang
peliharaan

Gas radon
Asap panas dari
luar

tanaman

Hidrokarbon,
spora jamur
Bulu binatang

Gambar 2. Sumber polusi udara dalam ruangan


Dikutip dari (21)

11

TATALAKSANA SICK BUILDING SYNDROME

Upayaupaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi SBS ini antara lain
dengan menilai dan memperbaiki desain bangunan. Sebuah bangunan yang baik
harus memenuhi standar minimum sistem ventilasi dan pengaturan udara yang terdiri
dari tiga komponen yaitu penghangat atau pendingin ruangan, ventilasi dan
memperbanyak ruang terbuka di dalam gedung bangunan. Menghilangkan atau
memodifikasi sumber polusi dapat dilakukan dengan melarang para pekerja kantor
untuk merokok di dalam ruangan atau dengan menyediakan ruangan khusus yang
berventilasi untuk area merokok. Termasuk di dalamnya menggunakan pembersih
udara yang dapat menyaring udara kotor menjadi udara bersih.2,3,8,12
Edukasi dan komunikasi mengenai SBS merupakan hal yang paling penting
yang perlu dimiliki oleh para pekerja. Ketika seseorang melihat ada yang tidak baik
dengan ruangan seperti ditemukan atap atau pipa ventilasi yang bocor maka
seseorang tersebut

wajib untuk segera melaporkan ke bagian pemeliharaan

bangunan untuk segera ditindaklanjuti. Para pekerja juga dapat diedukasi dengan
cara memanfaatkan waktu istirahat sebaik mungkin dengan keluar dari ruangan,
sekedar berjalanjalan atau menghirup udara di luar. Laju ventilasi dalam gedung
sebaiknya tidak lebih dari 10-15 L/detik/orang. Pemeliharaan sistem perangkat
pengaturan udara secara rutin dengan membersihkan dan mengganti penyaring secara
berkala dapat memberikan ventilasi yang baik dan kenyamanan bekerja serts
lingkungan yang sehat.2,3,8,12

12

KESIMPULAN

1. Sick building syndrome merupakan suatu kumpulan gejala yang terjadi secara
akut pada pekerja yang bekerja disebuah gedung berupa keluhan iritasi membran
mukosa seperti pada mata, hidung, kulit, iritasi saluran napas atas, pusing dan
lemas.
2. Gejala SBS disebabkan karena ventilasi yang kurang dan pajanan zat kimia dari
suatu bangunan terjadi saat pasien menghabiskan sebagian besar waktunya di
dalam suatu bangunan dan gejala tersebut hilang saat mereka keluar dari
bangunan tersebut.
3. Tatalaksana SBS dengan memperbaiki desain bangunan, menghilangkan atau
memodifikasi sumber polusi dan edukasi serta komunikasi yang baik antara para
pekerja.

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Sahlberg B. Indoor environment in dwellings and sick building syndrome


(SBS): longitudinal studies. Acta Universitatis Upsaliensis. Digital
Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of
Medicine 2012;783: 63-9
2. Norbck D. An update on sick building syndrome. J Allergy & Clin Immunol
2009; 9(1):55-9.
3. Heimlich JE. Sick building syndrome. The Invisible Environment Fact Sheet
Series 2008;10:10-14.
4. Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-ac sentral dan
sick building syndrome di kantor Telkom Divre IV Jateng-DIY.Tesis
DIY:UNNES:2005.
5. Glas B, Stenberg B, Stenlund H, Sunesson AL. A novel approach to
evaluation of absorbents for sampling indoor volatile organic compounds
associated with symptom reports. J Environ Monit 2008;10:1297-1303.
6. Heimlich JE. Sick Building Syndrome, Ohio State University Fact Sheet.
[cited
13/11/13];
Available
from:
URL:
[Online].
2007.
http://ohioline.osu.edu/cd-fact/pdf/0194.pdf
7. Seppnen OA, Fisk WJ. Summary of human responses to ventilation. Indoor
Air 2004;14:102-18.
8. Lyles BW, Greve KW, Baure RM, Ware MR, Schramke CJ, Crouch J, et al.
Sick Building Syndrome. Southern Med J 1991;84(1):67-78.
9. U.S Environmental protection agency. Indoor air facts no.4 (revised): sick
building syndrome (SBS) [online].2009 [cited 2013 nov 14]; Available from:
URL: http://www.epa.gov/cgbin/epaprintonly.cgi
10. Menzies D, Bourbeau J. Building related illnesses. N Engl J Med
1997;337:1524-31.
11. Yulianti D, Ikhsan M, Wiyono WH. Sick building syndrome. Cerm Dun
Kedokteran 2012;39(1):189-94
12. Stenberg B, Wall S. Why do women report 'sick building symptoms' more
often than men?. Soc Sci Med 1995;40(4):491-502.
13. Brasche S, Bullinger M, Morfeld M, Gebhardt HJ, Bischof W. Why do
women suffer from sick building syndrome more often than men?. subjective
higher sensitivity versus objective causes. Indoor Air 2001;11:21722.
14. Muzi G, dell'Omo M, Abbritti G, Accattoli P, Fiore MC, Gabrielli AR, et al.
Objective assessment of ocular and respiratory alterations in employees in a
sick building. Am J Ind Med1998;34(1):79-88.
15. Runeson R, Norback D, Klinteberg B, Edling C. The influence of personality,
measured by the Karolinska Scales of Personality (KSP), on symptoms
among subjects in suspected sick buildings. Indoor Air 2004;14(6):394-404.
16. Salo P, Sever M, Zeldin D. Indoor allergens in school and daycare
environments. J Allergy & Clin Immunol 2009;124(2):185-94.
17. Glas B. Methodological aspects of unspecific building related symptoms
research. J Environ Monit 2008;12:128- 36.

14

18. Brauer C, Mikkelsen S. The influence of individual and contextual

psychosocial work factors on the perception of the indoor environment at


work: a multilevel analysis. Int Arch Occ Envir Health 2010;83(6):639-51.
19. Bell I, Baldwin C, Russek L, Schwartz G, Hardin E. Early life stres, negative
paternal relationships, and chemical intolerance in middle aged women:
support for a neural sensitization model. J Womens Health 1998;7(9):113549.
20. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Med J Indones
2002;11:124-31.
21. Ooi PL, Goh KT. Sick building syndrome: an emerging stres-related disorder.
Int J Epidemiol 1997;26:1243-9.

15

Anda mungkin juga menyukai