Artinya: Riwayat Abu asy-Syaikh dan ad-Dailamiy dari Abu Bakar: Barangsiapa berziarah
kubur kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jumat, kemudian membaca surat
Yasin wa al-Quran al-Hakim, maka diampunilah dia sebanyak jumlah ayat dan huruf dari
surat itu.
Menurut kitab Mizan al-Itidal fi Naqd ar-Rijal, karya Syams ad-Din Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi, Juz V: 316, dinyatakan bahwa sanad hadits
tersebut bathil, dengan demikian tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan hadits kedua tentang pembacaan permulaan surat al-Baqarah di sebelah
kepala mayit, dan akhir surat al-Baqarah di sebelah kakinya, dengan sangat menyesal belum bisa
ditemukan rujukannya, meskipun sudah dilacak di berbagai kitab hadits. Kami kesulitan
menemukan kata kunci untuk mencari hadits tersebut, karena dalam pertanyaan anda hanya
menyertakan terjemahannya.
B. Pertanyaan:
Kalau hadits tersebut tidak shahih dan tidak pula hasan, bagaimana jika menggunakan
qiyas terhadap pengiriman bacaan untuk orang yang telah meninggal dengan hadits Aisyah yaitu
pemberian sedekah anak kepada ibunya yang telah meninggal?
Jawaban:
Masalah yang anda tanyakan adalah masalah klasik, sejak dulu menjadi khilafiyah.
Namun bagaimana pandangan Islam terhadap masalah tersebut, dan pendapat mana yang lebih
patut diterima jika dihadapkan keada dalil-dalil hukumnya?
Al-Quran surat an-Najm (53) ayat 38 dan 39 mengajarkan:
Artinya: Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan
bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Dari dua ayat di atas, diperoleh penegasan bahwa seseorang yang berdosa adalah akibat
perbuatan yang dilakukannya sendiri. Dan bahwa manusia hanya akan memperoleh pahala atas
perbuatan yang dilakukannya sendiri pula. Kemungkinan seseorang ikut dibebani dosa perbuatan
orang lain hanyalah jika seseorang itu berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan dosa orang lain
itu. Demikian juga orang dapat menerima pahala perbuatan yang dilakukan orang lain, jika ia
berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan orang lain itu. Hadits Nabi saw mengajarkan:
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jika
manusia telah meninggal, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali tiga macam amal;
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan baik untuknya.
[HR. Muslim].
Tiga macam amal yang masih mengalir terus pahalanya, sampaipun yang beramal telah
meninggal dunia, seperti disebutkan dalam hadits tersebut, hakikatnya adalah amal yang
dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan, bukan amal yang dilakukan oleh orang lain.
Hadits tentang anak yang menyedekahkan harta atas nama ibunya:
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya seorang shahabat datang kepada Rasulullah
saw dan bertanya: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dengan tiba-tiba, sekiranya ia sempat
berbicara niscaya ia akan menyedekahkan sebagian hartanya. Dapatkah aku bersedekah atas
nama ibuku (ibunya juga akan memperoleh pahala)?. Rasulullah saw menjawab dapat, maka
ia bersedekah atas nama ibunya [HR. an-Nasai].
Dari dalil-dalil di atas dapat diambil pelajaran bahwa kedudukan anak terhadap orang tua
itu dapat dihubungkan dengan amal orang tua ketika hidup telah mendidik anaknya, sehingga
anak dapat merasakan wajib berbuat baik kepada orang tuanya sampaipun setelah mereka
meninggal dunia. Jadi orang tua yang mempunyai anak demikian itu hakikatnya memetik
amalnya sendiri ketika masih hidup, yaitu mendidik anak untuk menjadi anak yang shaleh. Maka
amal anak atas nama orang tua tidak termasuk pembicaraan menghadiahkan pahala amal shaleh.
Seseorang yang mendoakan baik untuk orang lain, baik yang masih hidup maupun yang
telah meninggal dunia, tidak ada masalah sama sekali. Seperti shalat jenazah berisi doa yang
dimohonkan kepada Allah bagi orang yang meninggal dunia itu. Atau doa yang sering kita baca,
misalnya:
Oleh karena itu mendoakan orang lain bukan masalah menghadiahkan pahala amal bagi orang
lain.
Memperhatikan bahwa tidak ada ajaran khusus tentang menghadiahkan pahala amal
kepada orang lain, baik dari al-Quran maupun darti al-Hadits, para shahabat Nabi pun tidak
melakukannya. Maka yang paling selamat adalah berpegang saja kepada nash yang ada. Tentang
qiyas yang anda tanyakan, dalam kasus ini tidak bisa diberlakukan karena bertentangan dengan
nash yang lebih tegas. Qiyas dalam bidang ibadah seperti ini, hanya qiyas yang dilakukan oleh
Nabi saw yang bisa diterima.
Adapun menganut pendapat dapat sampainya hadiah pahala amal kebajikan kepada orang
lain, sering berakibat negatif. Orang yang kurang beramal shaleh menjagakan hadiah pahala dari
orang lain.
C. Pertanyaan:
Pada buku Tanya Jawab Agama Juz IV halaman 87, hadits riwayat ad-Daruquthni dari
Ibnu Abbas belum selesai.
Jawaban:
Setelah kami cek di dalam kitab Sunan ad-Daruquthni Juz I: 304, memang benar ada
kekurangan, yaitu kalimat: hatta qubidla. Maka teks selengkapnya berbunyi:
Buku jilid III halaman 145 menjelaskan surat al-Baqarah ayat 187, tetapi kemasukan ayat 10
surat al-Isra. Dalam buku jilid III edisi 1995, halaman 168 tentang junub, jima dan lain-lain,
jika ini yang dimaksud, maka ayat 10 surat al-Isra sudah tidak ada lagi.
Wallahu alam bish-shawwab. *fz)