Anda di halaman 1dari 15

DIABETES MELITUS TIPE II

Pendahuluan
Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang
prevalensinya meningkat dari tahun ketahun. Indonesia dengan jumlah penduduk
yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan
jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit
progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang
baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam pengelolaan DM
tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia,
resistensi insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa
darah tetap menjadi fokus utama.1
Indonesia, berdasarkan peta prevalensi diabetes WHO pada tahun 2003
menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita DM di dunia setelah
India, China dan Amerika Serikat. Secara epidemiologi diperkirakan bahwa pada
tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang (Delice Gan,
2003). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007) diperoleh bahwa proporsi
penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 4554 tahun di daerah
perkotaan menduduki rangking ke-2 yaitu 14,7%, dan di daerah pedesaan,
menduduki rangking ke-6 yaitu 5,8%.2

Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan kesehatan
yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah. Tingginya kadar gula
karena kurang maksimalnya pemanfaatan gula oleh tubuh sebagai sumber energy
karena kurangnya hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas atau tidak
berfungsinya hormon insulin dalam menyerap gula secara maksimal.2
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.3

Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 2010
(ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis yaitu:3
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab
autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin
dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak
terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah
ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes
Mellitus/NIDDM
Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak
bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi
relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin
pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya
asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan
sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis
setelah terjadi komplikasi.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik
fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit

metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan
genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa
didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan
ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.
Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang
menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

Tabel 1. Klasifikasi DM menurut ADA 2010

Patofisiologi
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu):
1. Resistensi insulin
2. Disfungsi sel beta pankreas
Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel beta pankreas,
amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak
dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel
hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel beta pancreas
mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan

homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk


mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit
DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan
hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam
darah.

Manifestasi Klinik
Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa
gejala yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes.4
1. Pada DM tipe 1, gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lela (fatigue),
iritabilitas, dan pruritis.4
2. Pada DM tipe 2, gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. Jenis
DM ini seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru dimulai
beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan
komplikasi sudah terjadi. Penderita DM tipe 2 ini umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan memburuk,
menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada
pembuluh darah dan saraf.4
Diagnosis klinis DM umumnya diketahui apabila ada keluhan khas DM
yang berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
jelas penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin adalah badan terasa lemah, sering
kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pria, dan pruritus vulvae pada
wanita.4

Diagnosis
Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu
(GDS) 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan

Glukosa Darah Puasa (GDP) 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman
diagnosis DM.3
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan investigasi lebih lanjut yaitu GDP 126 mg/dl, GDS 200 mg/dl
pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) 200 mg/dl.
Alur penegakkan diagnosisDM dapat dilihat pada skema di bawah.3

Komplikasi
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun

komplikasi

vaskuler

kronik,

baik

mikroangiopati

maupun

makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari endstage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult
blindness. Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah,
terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat
komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes
lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang
dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:3
Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan
sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal
ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan
baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil
diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila
dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal
maka akan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang
memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf
tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah
kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan
saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada
populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati
pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 13.1% s/d 45.0%.
Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh
darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah.

Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk
ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun
tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal
bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena
tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal.
Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau
kerusakan saraf. Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar
4.3% s/d 37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada
populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada
populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 18.9% s/d 42.1%. Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe
1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian
pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy
pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi
berkisar 9.2% s/d 32.9%.
Kerusakan mata (Retinopati)
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh
diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh
darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak
pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan
transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin
diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi
peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi
retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi
klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada
pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d
47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0%.

Penyakit jantung koroner (PJK)


Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan
penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah.
Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat,
sehingga kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung koroner
dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi
klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen
dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes
tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2.
Stroke
Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0%
s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada
populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3%
dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2.
Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat
hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal,
atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila
penderita diabetes juga terkena hipertensi.
Penyakit pembuluh darah perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang
dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan
prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak
mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa
sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping
diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh,
pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.

Gangguan pada hati


Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan
gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa
terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak
menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus
hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi
orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk
pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah
terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati
yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty
liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan
ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak
di jaringan tubuh lainnya.
Penyakit paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberculosis paru
dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara
sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit
paru akan menaikkan glukosa darah.
Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena
kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang
mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang
mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu
makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi
mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom
pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat
pemakaian obat- obatan yang diminum.

Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam
menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah
terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paruparu, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang
tinggi juga merusak system saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita
terhadap adanya infeksi.

Penatalaksanaan
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2,
dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM
tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali
factor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM
tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan
pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani dan intervensi farmakologis.
A. Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien
untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung
usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya
dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin
timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan
pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan
yang diperlukan. Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa
mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

B. Terapi Gizi Medis


Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi
makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%,
protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobic seperti
berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan
sensitifitas insulin.
D. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain:
I. OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
a. Sulfonilurea

Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas


Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkanpada orang tua, gangguan
faal hati dan ginjal serta malnutrisi

b. Glinid

Terdiri dari repaglinid dan nateglinid


Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada

sekresi insulin fase pertama.


Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:


a. Biguanid

Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin.

Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap


kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan

menurunkan produksi glukosa hati.


Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk,
disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.

b. Tiazolidindionleading article

Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein

pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer.


Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).

Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi

produksi glukosa hati.


Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan
kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien

dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis


Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti

golongan sulfonylurea.
Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa :


Acarbose

Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.


Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti

golongan sulfonilurea.
Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu

kembung dan flatulens.


Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1
(GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel
L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang
masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan
penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi

metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat DPP-4


dapat

meningkatkan

penglepasan

insulin

dan

menghambat

penglepasan glukagon.
II. OBAT SUNTIKAN
Insulin
a. Insulin kerja cepat
b. Insulin kerja pendek
c. Insulin kerja menengah
d. Insulin kerja panjang
e. Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetik

Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan

hipoglikemia, dan menghambat penglepasan glukagon


Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual
muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat


dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS).
Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang
terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan
melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat
terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan
GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda
tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan

sesaat

sebelum

makan.

Metformin

bias

diberikan

sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan


pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor
dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali
maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO

yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila
dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka
ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan
kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin
basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam
hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali
maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada
terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa
darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan
glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal
bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana
selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2.
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang
digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3
menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.

Kesimpulan
Diabetes mellitus tipe-2 masih merupakanmasalah kesehatan yang
penting, khususnya karena komplikasi kronik yang ditimbulkannya. Tatalaksana
diabetes mellitus tipe-2 bukan hanya ditujukan pada kendali glikemik, tetapi juga
terhadap proteksi komplikasi kardiovaskuler. Metformin merupakan obat
hipoglikemik lini pertama untuk diabetes mellitus tipe-2, karena disamping
terbukti efektif dalam kendali glikemik, Metformin juga terbukti mempunyai
efekprotektif terhadap komplikasi kardiovaskuler, disamping masih mempunyai
banyak efek positif lainnya yang sebagian masih dalam tahap penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, A.L. 2013. Panduan Terapi Diabetes Melitus Tipe II terkini.
Bandung : Fakultas Kedokteran UNPAD

2. Nainggolan, O. d.k.k. 2013. Determinan Diabetes Melitus. Jakarta :


Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
3. Ndraha, S. 2014. Diabetes Melitus Tipe II dan Tatalaksana Terkini. Jakarta
: Medicinus
4. Haeria. 2009. Pelayanan Kefarmasian Dalam Penatalaksanaan Diabetes
Melitus. Makassar : Jurnal Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai