Anda di halaman 1dari 14

JAMINAN FIDUSIA

1. Jaminan
Jaminan merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam
tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, ketentuan umum tentang jaminan diletakkan dalam pasal 1131 sampai dengan pasal 1138.
Dalam pasal-pasal tersebut diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutanghutangnya dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap
debiturnya.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR
tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan
jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan
yang diperjanjikan. Selanjutnya Pasal 1 ayat (23) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan juga menyebutkan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Hal penting dalam penyerahan agunan ini adalah keabsahan secara yuridis di perjanjian pengikatan
agunan. Pihak bank harus yakin bahwa agunan atau jaminan yang telah diserahkan telah
berdasarkan perjanjian yang sah secara yuridis.
2. Pengertian Fidusia
Fidusia ini berasal dari kata fiduciate, yang artinya kepercayan, yakni penyerahan hak milik
atas benda secara kepercayan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor.
Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan bagi pelunasan utang
tertentu, dimana memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia (kreditur)
terhadap kreditur lainnya. Senada dengan pengertian diatas, ketentuan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan:
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Dari perumusan diatas, dapat diketahui unsur-unsur fidusia, yaitu:
1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda
Menurut hukum perdata, penyerahan merupakan suatu momentum peralihan hak atas suatu
benda dari seseorang kepada orang lain yang menerimanya. Jadi dalam artian hukum bahwa
penyerahan itu tidak semata-mata peralihan penguasaan secara fisik atas suatu benda tetapi yang
1

lebih hakiki adalah dimana penyerahan itu merupakan perpindahan hak kepemilikan atas suatu
benda dari seseorang kepada orang lain.
2. Dilakukan atas dasar unsur kepercayaan
Kepercayaan merupakan sesuatu yang diharapkan dari kejujuran dan perilaku kooperatif yang
berdasarkan saling berbagi norma-norma dan nilai yang sama.
3. Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Merupakan perpindahan hak kepemilikan atas suatu benda dari seseorang kepada orang lain
tetapi benda tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Ruang lingkup fidusia sendiri bisa disimpulkan bahwa, pengalihan hak kepemilikan ini
bersifat terbatas, sehingga perjanjian ini hanya melahirkan hak jaminan dan bukan hak milik.
Dengan demikian, kalau pemberi fidusia jatuh pailit, maka benda fidusia tidak termasuk ke dalam
harta kekayaan yang dipailitkan, sehingga kurator kepailitan tidak berhak untuk menuntut benda
fidusia dari kekuasaan pemberi fidusia. Disamping itu benda fidusia hanya dapat dilelang dalam
batas-batas sebagai benda jaminan untuk melunasi hutang pemberi fidusia kepada penerima fidusia.
Jadi hal ini sesuai dengan tujuan perjanjian fidusia bukan menciptakan hak milik tetapi
hanya jaminan.
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditur lainnya (pasal 1 angka 2 (dua) Undang-undang No. 42 Tahun 1999).
Prinsip utama dari jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
1. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan
sebagai pemilik yang sebenarnya.
2. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari
pihak debitur.
3. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek jaminan fidusia harus dikembalikan kepada pihak
pemberi fidusia.
4. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil
penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
3. Dasar Hukum Jaminan Fidusia
Perkembangan dan penggunaan fidusia semakin meluas, terutama setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria. Selain benda bergerak, fidusia
dapat pula dibebankan di atas tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, seperti hak

pakai dan hak sewa. Mengenai hak pakai secara tegas Undang-Undang Pokok Agraria tidak
mengaturnya walaupun memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk dijadikan sebagai jaminan hutang.
Seminar Nasional tentang Fidusia, menurut para ahli hukum mempermasalahkan apakah
persoalan fidusia dibiarkan hidup dalam bentuk hukum tidak tertulis atau cukup hanya diatur dalam
yurisprudensi atau dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.
Pengertian fidusia yang tercantum dalam Pasal 1 angka 8 membawa perubahan yuridis yang cukup
berarti dalam perkembangan jaminan fidusia. Selanjutnya Pasal 12 dengan tegas mengatur bahwa satuan
rumah susun dapat dijaminkan dengan ikatan fidusia, kalau tanah milik bersama di atas mana rumah
susun itu berdiri berstatus Hak Pakai Milik Negara.
Pengakuan fidusia juga diikuti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman
dan Perumahan mengatur pemilikan rumah sebagai objek jaminan fidusia berdasarkan asas pemisahan
horisontal terlepas dari hak atas tanahnya. Pengaturan jaminan fidusia secara parsial dalam kedua
Undang- Undang tersebut dirasakan kurang memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan
perkembangan hukum masyarakat khususnya dalam lalu lintas perkreditan. Memperhatikan keadaan
seperti itu, maka kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang
menyangkut lembaga jaminan fidusia.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sebelum lahirnya Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia telah ada peraturan yang berkaitan dengan fidusia. Pertama, Pasal 15 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menentukan bahwa rumahrumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat
dibebani dengan jaminan fidusia. Kedua, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan
dibebani fidusia jika tanahnya tanah hak pakai atau tanah negara.
Kedua peraturan dimaksud sudah tidak memadai lagi dan tidak memberikan jaminan kepastian
hukum bila dilihat dari segi perkembangan penggunaan jaminan fidusia yang semakin meningkat.
Kehadiran Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dimaksudkan untuk
menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fidusia sebagai salah satu sarana
untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberi kepastian hukum kepada para pihak yang
berkepentingan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang jaminan fidusia memberikan kepastian hukum mengenai
pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak yang masih dalam penguasaan debitur atau pemberi
fidusia. Undang-Undang tentang jaminan fidusia tersebut sangat lama ditunggu masyarakat perbankan
bertujuan memberikan ketentuan hukum yang jelas dan lengkap mengenai lembaga jaminan fidusia
sehingga dapat membantu dunia usaha untuk mendapatkan dana dari perbankan dengan jaminan benda
bergerak yang masih dikuasai debitur. Menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak3

pihak yang berkepentingan (kreditur dan debitur) dalam menyediakan pendanaan dengan jaminan
fidusia.
Dalam suatu Undang-Undang, kepastian hukum meliputi dua hal, yakni : pertama, kepastian
perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan yang lainnya baik dari pasalpasal Undang-Undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada
di luar Undang-Undang tersebut. Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsipprinsip hukum Undang-Undang tersebut. Jika perumusan norma dan prinsip hukum itu sudah memiliki
kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi Undang- Undang
semata-mata, berarti kepastian hukum itu tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Dengan
perkataan lain, peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel)
atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.

4. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia


4.1 Subjek Jaminan Fidusia
Subyek hukum dalam jaminan fidusia adalah para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian
atau akta jaminan fidusia. Dalam jaminan fidusia, ada pihak yang dikatakan sebagai penerima fidusia
(kreditur/bank) dan pihak pemberi fidusia (debitur).
Dalam Pasal 1 angka 8 (delapan) Undang-Undang Nomor 42 tentang Jaminan Fidusia, kreditur
mempunyai pengertian yaitu pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.
Jadi kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang atau yang memberikan kredit atau memberikan
hutang kepada pihak lain. Singkatnya kreditur adalah pihak yang memberikan kredit atau pinjaman.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan :
Debitur adalah orang atau lembaga yang berutang kepada orang atau lembaga lain.
Dalam pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa pemberi fidusia (debitur) adalah orang perorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia, sedangkan dalam pasal 1 ayat (6) menyebutkan, penerima fidusia (kreditur/
bank) adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia milik
sah pemberi fidusia, maka harus dilihat bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut.
Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil dari nilai objek
fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri ataupun melalui pelelangan umum.

4.2 Objek Jaminan Fidusia


Objek jaminan fidusia adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
4

Menurut Undang-undang Jaminan Fidusia benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki
dan dialihkan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak
terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau
hipotek (pasal 1 angka 4).
Selain benda yang sudah dimiliki pada saat dibuatnya Jaminan Fidusia, juga benda yang
diperoleh kemudian dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Ketentuan ini berarti bahwa benda
tersebut demi hukum akan dibebani dengan Jaminan Fidusia pada saat benda dimaksud menjadi
milik pemberi fidusia. Pembebanan Jaminan Fidusia atas benda, termasuk piutang, yang diperoleh
kemudian tidak perlu lagi dibuat perjanjian Jaminan Fidusia tersendiri.
Dimungkinkannya pembebanan Jaminan Fidusia atas benda yang diperoleh kemudian sangat
membantu dan menunjang pembiayaan pengadaan/pembelian persediaan bahan baku, bahan
penolong dan benda jadi.
Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang menjadi objek jaminan fidusia menjadi
lebih jelas, yaitu mengacu pada beberapa pasal dari Undang-Undang tersebut antara lain Pasal 1 ayat 4,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:
1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
2. Benda bergerak berwujud

Contohnya: kendaraan bermotor seperti mobil, bus, truck, sepeda motor dan lain-lain; mesinmesin pabrik yang tidak melekat pada tanah/bangunan pabrik; perhiasan; alat inventaris kantor;
kapal laut berukuran dibawah 20m; perkakas rumah tangga seperti tv, tape, kulkas, mebel, dan
lain-lain; alat-alat pertanian; dan lain sebagainya;
3. Barang bergerak tidak berwujud
Contohnya: piutang; wesel; sertifikat deposito; saham; obligasi; deposito berjangka; dan lain
sebagainya;
4.
5.
6.
7.

Benda bergerak;
Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan;
Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik;
Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal

8.
9.
10.
11.
12.

benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri;
Dapat atas satu satuan atau jenis benda;
Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda;
Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia;
Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia; dan
Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan fidusia.

Benda tidak bergerak khusunya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yaitu
hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang
dibangun di atas tanah orang lain.

Dalam hukum Anglo Saxon, terhadap pembebanan fidusia yang berobjekan benda persediaan ini,
dikenal dengan nama Floating Lien atau Floting Charges. Disebut floating (mengambang) karena
jumlahnya benda yang menjadi objek jaminan sering berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok,
mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Sifat mengambang dari floating charges
ini berubah menjadi spesifik jika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yaitu terjadi
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan;
2. jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floting charges; dan
3. jika diangkat receiver (kurator) oleh pengadilan.

5. Akta Jaminan Fidusia


Pembebanan Fidusia dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disebut dengan Akta
Jaminan Fidusia. Dimana Akta Jaminan Fidusia ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Haruslah berupa akta notaris;
2. Haruslah dibuat dalam bahasa Indonesia;
3. Haruslah berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :
a) Identitas para pihak pemberi Fidusia, berupa :
Nama lengkap,
Agama
Tempat tinggal/tempat kedudukan
Tempat lahir/Jenis Kelamin
Status perkawinan
Pekerjaan
b)
c)
d)
e)

Identitas pihak penerima Fidusia, yakni tentang data seperti tersebut dia atas;
Haruslah dicantumkan hari, tanggal, dan jam pembuatan akta Fidusia;
Data perjanjian pokok yang dijamin dengan Fidusia;
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia, yakni tentang identifikasi benda
tersebut, dan surat bukti kepemilikannya. Jika bendanya selalu berubah-ubah seperti benda

dalam persediaan, haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut;
f) Berapa nilai penjaminnya;
g) Berapa nilai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia.
6. Sifat-Sifat Jaminan Fidusia
Jaminan Fidusia sebagai hak kebendaan yang sekarang ini diatur dalam Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir
Jaminan Fidusia bersifat accessoir artinya jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi
lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya. Yang dimaksud perjanjian
6

pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.
Perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu yang dapat dinilai dengan uang.
Sifat accessoir dari jaminan fidusia berdasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dan
suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.
Sedangkan Pasal 25 juga menegaskan bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hapusnya utang yang
dijamin dengan fidusia.
b. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite
Jaminan fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat droit de suite, seperti Hak
Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan
Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan fidusia yang memiliki sifat
droit de suite artinya penerima jaminan fidusia atau kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda berada. Namun, sifat ini dikecualikan
untuk obyek jaminan fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek Jaminan Fidusia
yang berbentuk benda persediaan tersebut merupakan barang-barang dari hasil produksi industri
yang memang untuk diperdagangkan.
Sifat droit de suite dapat dicontohkan benda obyek jaminan fidusia berupa bus-bus atau truck oleh
pemilik benda dijual kepada pihak lain, maka dengan sifat dont de suite, jika debitur cidera janji
kreditur sebagai penerima jaminan fidusia tetap dapat mengeksekusi benda jaminan bus-bus atau truk
meskipun oleh pemberi fidusia telah dijual dan dikuasai pihak lain. Jadi penjualan obyek jaminan
fidusia oleh pemilik benda tersebut tidak menghilangkan hak kreditur untuk mengeksekusi benda
jaminan (obyek fidusia) itu.
c. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent
Kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditur
lainnya artinya jika debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya, maka kreditur penerima
fidusia mempunyai hak untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur
mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan
fidusia tersebut.
Contoh Bank Nasional Indonesia (BNI) memberikan kredit kepada B dengan jaminan fidusia
berupa kendaraan truk dan bus. Ternyata B juga mempunyai hutang di Bank Tabungan Negara
(BTN) tanpa jaminan. Jadi B memiliki hutang kepada BNI dan BTN. Jika debitur cidera janji, maka
BNI sebagai penerima fidusia mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari hasil eksekusi benda
7

jaminan, sedangkan BTN baru mendapatkan pelunasan jika hasil eksekusi tersebut lebih besar dari
pelunasan seluruh hutang B kepada BTN.
d. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Fungsi jaminan fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang besarnya telah
diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang
dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu :
1. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit atau
perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang
maksimum atau disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang tercantum dalam
perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur sehingga jumlah utang yang sebenarnya
tidak sama dengan jumlah plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah
ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau bukti lainnya yang
dikeluarkan bank. Rekening koran yang diterbitkan bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah
utang riil yang ada yang dijamin pelunasannya dengan jaminan fidusia.
2. Utang yang akan timbul dikemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu. Utang
yang akan timbul di kemudian hari atau yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari
pembayaran yang akan dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka
pelaksanaan garansi bank. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya di masa
akan datang tetapi jumlahnya utang sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk
membayar bank garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima bank
garansi (pihak yang dijamin).
3. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang
menimbulkan kekayaan memenuhi suatu prestasi. Pada saat eksekusi terhadap jaminan fidusia,
kreditur akan menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit atau rekening
koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga, denda keterlambatan dan biaya-biaya
lainnya yang dikeluarkan kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat
ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.
e. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur bahwa jaminan
fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari
penerima fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini, maka benda jaminan fidusia dapat dijaminkan
oleh debitur kepada kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan kredit secara konsorsium atau
sindikasi. Artinya seorang kreditur secara bersama-sama dengan kreditur lain (secara konsorsium
atau sindikasi) memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Jaminan
8

fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin kepada semua kreditur itu secara bersama.
Antara kreditur satu dengan kreditur lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan fidusia,
tidak ada kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain.
Dari ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ini tidak
berlaku ketentuan pemegang jaminan peringkat pertama, pemegang jaminan fidusia peringkat kedua
terhadap kreditur yang memberikan kredit secara bilateral kepada seorang debitur. Tidak adanya
peringkat jaminan fidusia dengan peringkat utama, kedua dan seterusnya dapat mengacu pada Pasal
17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa pemberi
fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang
sudah terdaftar.
Hal ini berbeda dengan Hak Tanggungan yang mengenal peringkat Hak Tanggungan pertama,
kedua dan seterusnya yang berlaku bagi kreditur dalam memberikan kredit kepada debitur baik
dilakukan secara bersama-sama dengan kreditur lain atau konsorsium atau sindikasi maupun secara
bilateral atau masing-masing kreditur.
f. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
Kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila
debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi tersebut berdasarkan Pasal 15 ayat 3 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang mengatur apabila debitur cidera janji,
kreditur sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia atas kekuasaan sendiri. Hak untuk menjual obyek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri
merupakan perwujudan dari sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia yang artinya menegaskan Sertifikat Jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan sifat
eksekutorial ini jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai penerima fidusia dapat melakukan
penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan Kantor Lelang atau tidak dengan bantuan
Kantor Lelang dan tidak perlu meminta fiat dari pengadilan. Hak kreditur untuk menjual sendiri
benda jaminan dinamakan Parate Eksekusi.
g. Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas
Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan fidusia. Benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia harus diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi

benda jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam Akta Jaminan
Fidusia.
Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang merupakan akta
pembebanan benda yang dibebani Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di
Kantor Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk bendabenda yang
dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan
di kantor Pendaftaran Fidusia di Indonesia dimana pemberi fidusia berkedudukan. Dengan
dilaksanakan pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia, maka
masyarakat dapat mengetahui bahwa suatu benda telah dibebani Jaminan Fidusia sehingga
masyarakat akan berhatihati untuk melakukan transaksi atas benda tersebut dan sekaligus
memberikan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani
jaminan fidusia. Pendaftaran benda yang telah dibebani jaminan fidusia ini untuk memenuhi asas
publisitas seperti tercantum pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia yang mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.
h. Fidusia berisi hak untuk melunasi utang
Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin pelunasan utang, seperti
Hak Tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak
dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan tersebut
bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi
debitur dari tindakan sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan janji
bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik debitur jika debitur cidera janji maka
oleh Undang-Undang janji semacam itu batal demi hukum. Batal hukum artinya sejak semula
dianggap tidak pernah ada sehingga tidak perlu dilaksanakan (vide Pasal 33 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia).

7. Pendaftaran dan Hapusnya Jaminan Fidusia


Pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam pasal 11 sampai dengan pasal 18 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000
tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Peraturan Pemerintah ini meliputi pendaftaran fidusia, tata cara perbaikan sertifikat, perubahan
sertifikat, pencoretan pendaftaran dan penggantian sertifikat.
Tujuan pendaftaran jaminan fidusia adalah:
1. untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan;

10

2. memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditur yang
lain Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada penerima fidusia untuk tetap
menguasai bendanya yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.
Fidusia hapus karena:
1.
2.
3.
4.

Hapusnya perutangan pokok;


Karena musnahnya benda jaminan;
Karena adanya pelepasan hak; dan
Karena pelaksanaan hak verhaal dalam hal wanprestasi dari debitur.
Terdapat dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fdusia No. 42 Tahun 1999.

Sedangkan hapusnya perikatan, menurut Pasal1381 KUH Perdata bisa terjadi karena:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Pembayaran Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;


Pembaharuan hutang (novasi);
Perjumpaan hutang atau kompensasi;
Pembebasan hutangnya;
Musnahnya barang yang terhutang;
Kebatalan atau pembatalan;
Berlakunya syarat batal; dan
Lewatnya waktu, yang hal mana diatur dalam suatu bab tersendiri.
8. Eksekusi Jaminan Fidusia
Eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dalam hal pemberi fidusia (debitur) berada dalam

keadaan cidera janji (wanprestasi). Pemberi Fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Apabila pemberi
fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi
dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dan
apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.
Pada saat eksekusi telah sah untuk dilakukan, maka undang-undang memberi hak kepada
Penerima Fidusia dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai legal owner untuk mengambil
penguasaan obyek Jaminan Fidusia.
Tata cara eksekusi jaminan fidusia dilakukan melalui :
1. Pelelangan Umum.
UU Fidusia melindungi hak penerima fidusia untuk menjual benda obyek fidusia atas
kekuasaannya sendiri sehingga tidak diperlukan adanya klausul eigenmachtige verkoop
sebagaimana terdapat dalam eksekusi hak tanggungan.
Eksekusi obyek jaminan fidusia dilaksanakan oleh penerima fidusia tanpa intervensi dari
Pengadilan Negeri. Penerima Fidusia dapat langsung melakukan penjualan obyek jaminan
fidusia. Penjualan tersebut harus dilakukan melalui pelelangan umum oleh kantor lelang/ pejabat

11

lelang. Penerima Fidiusia berhak mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan tersebut
dengan mengesampingkan kreditur konkuren berdasarkan hak preference yang dimilikinya.
2. Penjualan di Bawah Tangan.
Syarat dalam melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia melalui penjualan di bawah tangan,
yaitu :
a. Penjualan tersebut harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (pemberi dan penerima
fidusia);
b. Dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;
c. Pelaksanaan penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan
secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan; dan
d. Diumumkan sedikit-dikitnya melalui 2 (dua) surat kabar setempat.
9. Bedah Kasus Konsumen Fidusia
Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih
marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales
perusahaan penjual motor menjadikan proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang
becak sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketika
konsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat perusahaan mencabut hak
penguasaan kendaraan secara langsung. Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales
dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia,
dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang tidak
pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula baku yang telah ditetapkan pelaku
usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita
cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:
Kasus Posisi
LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam,
selanjutnya NO meminjamkan

identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan

pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa
terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian
konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah
mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan
ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda
motor dari PT. AF.
Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM). Kemudian karena tidak mampu melakukan pembayaran, maka
12

LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan. Akibatnya
LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM
didakwa telah melakukan penadahan.
Penanganan Kasus
Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen
Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali
2 informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan
hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai
berikut:
1. Ketentuan dalam klausula baku
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan
klausula baku. Saat konsumen mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali
muncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a.

menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan
bermotor yang dibeli konsumen;

b.

menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara
angsuran.

c.

Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya
batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

2. Pendaftaran Jaminan Fidusia


PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia,
sebagaimana diamanatkan dalam UU No.

42 Tahun 1999. Akibatnya perjanjian jaminan

fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa
(akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung
(parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen.
13

Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek
sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu penyelesaian
utang bersama kreditor yang lain.
3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa
Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh.
Ini berarti konsumen telah

menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan

bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen) dan
sebagian hak milik kreditor.
Tips bagi Konsumen
Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh
lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut:
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu;
2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama
mengenai:
a. hak-hak dan kewajiban para pihak ;
b. kapan perjanjian itu jatuh tempo;
c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi).
3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta
merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan
ketentuan tersebut; dan
4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta
pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

14

Anda mungkin juga menyukai