Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE
Patofisiologi Rinitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya and Late
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 24jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th.0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan sitokin seperti
IL3, IL4, dan IL 13. IL 4 dan Il 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau basophil (sel mediator) sehingga ke dua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel medeiator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen
yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basophil dengan akibat terlepasnya
1
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas tipe 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah
tipe 1 yaitu rhinitis alergi.
Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak
dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur.
Oleh karena itu nama yang tepat ialah pollinosis.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah
alergen dalam rumah (indoor) contoh : tungau dan alergen diluar rumah
(outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan
biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain seperti urtikaria, gangguan
pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komolikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi :
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
4
Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50 % diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama
pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan
kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Gejala
lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal yang kadnag-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadnag-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi. Sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan
edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah
tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test)
seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
5
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitology hidung dari secret hidung
atau kerokan mukosa walaupun tidak dapat memastikan diagnosis., tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinophil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basophil (>5sel/lap)
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.
In vivo:
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen
dalam
berbagai
konsentrasi
yang
bertingkat
kepekatannya.
Keuntungan SET selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun
sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2
minggu. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
6
non
sedatif
dapat
dibagi
menjadi
golongan
menurut
dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses
inflamasi dengan menghambat aktifitas sel netrofil,eosinophil, dan monosit.
Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah
anti leukotriene (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
3. Operatif
Tindakan
konkotomi
parsial
(pemotongan
sebagian
konka
inferior),
hidung.
Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Rinosinusitis.
Evaluasi :
-
10
11
12
13
14
15
DAFTAR PUSTAKA
Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke
tujuh. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2012
Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997
The ARIA workshop report and the IPAG Handbook. Management of Allergic
Rhinitis and its impact on astma. In collaboration with WHO,
GA2LEN, Allergen, and Wonca . 2008
16