Lapkas Peritonitis 2
Lapkas Peritonitis 2
LAPORAN KASUS
Pembimbing:
dr.Adi Muradi, SpB KBD
Disusun oleh:
Thiyagu Ramachandram
Kanagavalli Vijayakumar
Yunesh S Revindren
Reenosha Bijen
Mungunthanii krishnamoorthy
Sujindran Narayanasamy
Arvind Kanagarathnam
Joel Nathaniel
Karthikeyan Kalimutu
Tivagaran Loganathan
100100315
100100403
100100281
100100413
100100310
100100261
100100187
090100445
100100304
100100421
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus yang berjudul Luka Bakar ini.
Adapun tujuan penulisan Makalah Ilmiah ini adalah untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik senior pada Departemen Ilmu Bedah Umum, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Eddy Sutrisno,Sp.BPatas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Eko Radityaatas bimbingannya
dalam proses penyempurnaan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini,
pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Luka Bakar semakin bertambah.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Laporan
Kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan Laporan Kasus ini. Semoga
Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1.
Latar Belakang.................................................................................1
1.2.
Tujuan Penulisan..............................................................................2
Definisi.............................................................................................3
2.2.
Etiologi.............................................................................................3
2.3.
Klasifikasi.........................................................................................4
2.4.
Patofisiologi......................................................................................6
2.5.
Diagnosis..........................................................................................9
2.6.
Penatalaksanaan..............................................................................11
2.6.1. Non Operatif......................................................................11
2.6.2. Operatif..............................................................................15
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakangmasalah
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah: ulkus peptik, inflamasi divertikulum
kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,
kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering
adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di
rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).
Pada tahun 1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali,
meskipun baru pada tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali
melakukan tindaka bedah pada ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry
Percy Dean melakukan tindakan bedah pada ulkus perforasi usus kecil duodenum.
Gastrektomi parsial, meskipun sudah dilaksanakan untuk ulkus gaster perforasi
dari awal 1892, tidak menjadi terapi populer sampai tahun 1940. Hal ini karena
dirasakan adanya rekurensi yang tinggi dari gejala-gejala setelah perbaikan
sederhana. Efek fisiologis vagotomi trunkal pada sekresi asam telah diketahui
sejak awal abad 19, dan pendekatan ini diperkenalkan sebagai terapi ulkus
duodenum pada tahun 1940. Perkembangan selanjutnya terapi ulkus peptik adalah
diperkenalkannya vagotomi selektif tinggi pada akhir 1960. Namun, tidak ada
satupun pencapaian ini yang terbukti berhasil, dan beberapa komplikasi
postoperatif, termasuk angka rekurensi ulkus yang tinggi, telah membatasi
penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-akhir ini, pada pasien dengan perforasi
gaster, penutupan sederhana lebih umum dikerjakan daripada reseksi gaster.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana menegakkan diagnosis peritonitis?
2. Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?
1.3 Tujuan
1.Mengetahui cara menegakkan diagnosis peritonitis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum). Peradangan ini sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi pascaoperasi, iritasi
kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1
2.2 Anatomilambung
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara
esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum
dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan
mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam
organ di dekatnya, bergantung pada letak tukak.1,2
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat proksimal
yang terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan yang
ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan dinding
korpus, apalagi antrum, tebal, dan kuat lapisan ototnya.
Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran
darahnya yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi
besar di pinggir kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Di
belakang
dan
tepi
medial
duodenum,
juga
ditemukan
arteri
besar
(a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri itu
pada tukak peptik lambung atau duodenum.
Vena dari lambung duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini
kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional
dengan lambung dan duodenum.1
Saluran limf dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di
kelenjar paraaorta dan preaorta di pangkal mesenterium embrional. Antara
lambung dan pangkal embrional itu terdapat kelenjar limf yang letaknya tersebar
di mana-mana akibat putaran embrional.2
Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui serabut saraf yang
menyertai arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut eferen saraf simpatis.
Serabut parasimpatis berasal dari n.vagus dan mengurus sel parietal di fundus dan
korpus lambung. Nervus vagus anterior (sinister) memberikan cabang ke kandung
empedu, hati dan antrum sebagai saraf Laterjet anterior, sedangkan n.vagus
posterior (dekstra) memberikan cabang ke ganglion seliakus untuk visera lain di
perut kan ke antrum sebagai saraf Laterjet posterior.1,2
2.3 Fisiologilambung
Fungsi lambung adalah sebagai penyimpanan, emulsifikasi, pencernaan awal oleh
asam dan amilase saliva, dan transisi makanan menuju duodenum.2Lambung dan
duodenum terbentuk dari dilatasi foregut selama perkembangan minggu kelima
dari kehamilan. Kecepatan perkembangan dinding kiri lebih cepat daripada
dinding kanan, sehingga membentuk kurvatura mayor dan kurvatura minor.
Putaran lambung menyebabkan saraf vagus kiri terletak pada bagian anterior dan
vagus kanan terletak pada bagian posterior. Lambung biasanya terletak setentang
vertebra T10 dan L3.2
Lambung mempunyai 4 bagian dan 2 mekanisme sfingter. Cardia adalah bagian
paling proksimal dari lambung, yang bersamaan dengan esofagus. Kemudian
terbentuk gastroesophageal junction pada daerah ini. Zona transisi ini dapat
ditemukan 2-3 cm dibawah hiatus esofageal diaphragmatic dan mempunyai
mekanisme esofageal sfingter. Fundus adalah sambungan paling atas dari
lambung, terikat oleh diafragma pada superior dan spleen pada lateral. Sudut pada
lambung dibentuk oleh fundus. Corpus adalah bagian paling besar pada lambung,
terbentuk dari lengkungan besar dan lengkungan kecil. Incisura angularis
membentuk sudut kasar sepanjang lengkung kecil dan menandai permulaan dari
antrum atau prepilorik. Antrum atau prepilorik adalah 25% dari distal lambung.
Antrum atau prepilorik dimulai dari incisura angularis dan berakhir pada pylorus.
Sfingter bagian bawah adalah sfingter fisiologi. Sfingter ini adalah zona
bertekanan tingi dari aktifitas muscular pada distal esofagus. Relaksasi dengan
menelan memperbolehkan makanan masuk ke lambung. Kontraksinya mencegah
refluks makanan dari lambung menuju esofagus. Pylorus adalah sfingter anatomi.
Sfingter ini mengatur alur makanan dari lambung menuju duodenum.2
Lambung kaya akan pasokan darah. Disediakan oleh arteri gastrik kiri (cabang
dari aksis celiaca) memperdarahi lengkungan kecil (proksimal), arteri gastrik
kanan (cabang dari arteri hepatica komunis) memperdarahi lengkungan kecil
(distal), arteri gastroepiploik kiri (cabang arteri splenika) memperdarahi
lengkungan besar (proksimal), arteri gastroepiploik arteri (cabang dari arteri
gastroduodenal) memperdarahi lengkungan besar (distal), dan vasa brevia (vena
coroner) mempunyai anastomosis yang banyak dengan plexus vena esofageal
(secara sistematis memperdarahi langsung ke vena azigos.2
Keempat lapisan dinding lambung adalah serosa, muskularis, muskularis serosa,
dan mukosa. Lapisan serat-serat otot ditemukan pada muskularis dan inner
oblique, middle circular, dan outer longitudinal. Morfologi mukosa dibentuk oleh
kelenjar yang berbeda-beda pada cardia, fundus/corpus, dan pylorus/antrum.2
Rongga Peritonium
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang
dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia
membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya.
Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk
ke organ sebagai peritoneum viseralis. Pada rongga peritoneum dewasa sehat
terdapat 100cc cairan peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian
besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm 3 yang terdiri dari 45%
makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast
serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE 2. Bila terjadi peradangan jumlah
PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3.8
Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe
diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.4
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel
termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang
berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi
diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum .7
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan
yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung.4
2.4Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kirakira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang
menjadi peritonitis bakterial.1
Peritonitis sekunder
Stomach
Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal
stromal tumor)
common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas
Small
bowel
Large
bowel and
appendix
Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Uterus,
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-
salpinx,
10
and ovaries
Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya.
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)
dan localized (abses intra abdomen).1
2.5Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.5
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya
membawa
interleukin,
dapat memulai
ke perkembangan
respon
selanjutnya
dari
hiperinflamatorius,
kegagalan
banyak
sehingga
organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organorgan tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
11
12
perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis
kimia, adanya
nyeri
di
bahu
menunjukkan
rangsanganperitoneum berupa
mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan
untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria.5
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalamibendungan,makin
namun elastisitas
lama
dinding
mukus
apendiks
tersebut
mempunyai
makin
banyak,
keterbatasan
gejala
karena
mikroorganisme
membutuhkan
waktu
untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum .5
13
14
meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,
gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.3
Gejala
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.3
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada hentihentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi
dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat disertai dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.9
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam
sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh
biasanya sekitar 38OC sampai 40OC.9
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.6
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring
dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap
gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.6
15
16
17
daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot
abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang
mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi.
Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat
menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya
terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.6
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme
otot menjadi sangat berat seperti papan.9
2.7Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat
tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.6
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,
18
19
negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi
gaster.6
2.8 Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran
klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
2.8.1 Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau
umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu
adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun
atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder
yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada
penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh
bagian abdomen. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain
yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam,
distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau
umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis
untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
2.8.2 Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit
yang meningkat dan asidosis metabolik.
2.8.3 Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus
dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada
foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus
peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah :
20
Letaknyaantarahatidengandinding
abdomen
atauantara
pelvis
dengandinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
2.9Penatalaksanaan
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
2.9.1 Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan
yang
menyeluruh
pada
membran
peritoneum
21
aerob
yaitu E.
22
23
pada peritonitis
adalah
untuk
24
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi.3
2.9.3Penanganan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder.3
2.10Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun.3
2.11Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas
sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda,
pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis
lebih awal.3
25
Penyakit penyerta
26
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Aripin Pardosi
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 59 tahun
: 00.64.94.75
Tanggal masuk
: 23 Juli 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama:Nyeri pada perut
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 2 hari yang lalu. Nyeri perut ini timbul
secara mendadak dan bersifat terus menerus. Pasien juga mengatakan perutnya
membesar dan buang air besar bercampur dengan darah.
RPT
: Compos Mentis
: 150/80 mmHg
: 92 x/i
: 22 x/i
: 37,3 C
Keadaan Umum
: Sedang
Keadaan Gizi
: Baik
Status Generalisata
Kepala:
Mata: pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva palpebra inferior
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M :
Dalam batas normal
27
Toraks :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Genitalia
Ekstremitas
: Tampak simetris
: Stem fremitus kanan=kiri, kesan normal
: Sonor pada kedua lapangan paru
: Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)
:
: Distensi pada perut
: tenderness (+)
: Timpani
: Bising usus menurun
: Tidak dijumpai kelainan
:
Superior
Inferior
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium
Tanggal 23 Juli 2015
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
DarahLengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
MPV
PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut
SATUAN
HASIL
RUJUKAN
g%
105/mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
fL
%
fL
7.70
3.60
31.42
25.30
575
70.30
21.40
30.40
9.00
0.52
9.5
13.2-17.3
4.20 4.87
4.5 11.0
43 49
150 450
85 95
28 32
33 35
7.0 10.2
%
%
%
%
%
103/l
103/l
86.40
5.30
7.20
1.10
0.000
27.13
1.67
37 80
20 40
28
16
01
2.7 6.5
1.5 3.7
28
MonositAsolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
FAAL HEMOSTASIS
PT + INR
WAKTU PROTROMBIN
Pasien
Kontrol
INR
APTT
Pasien
Kontrol
Waktu Trombin
Pasien
Kontrol
103/l
103/l
103/l
2.26
0.35
0.01
Detik
Detik
15.7
14.00
1.12
detik
detik
31.5
33.0
detik
detik
13.9
17.0
0.2-0.4
0 0,10
0 0,1
KIMIA KLINIK
GINJAL
Ureum
mg/ dL
Kreatinin
mg/ dL
Elektrolit
Natrium (Na)
mEq/L
Kalium (K)
mEq/L
Klorida (Cl)
mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarahSewaktu
mg/ dL
HATI
Albumin
g/ dL
46.32
0.88
<50
0.70 1,20
126
3.2
96
135 155
3.6 5.5
96 106
136.12
<200
2.3
3.5 5.0
SATUAN
HASIL
RUJUKAN
g%
105/mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
fL
8.30
3.22
16.87
23.70
634
73.60
25.80
35.00
9.30
13.2-17.3
4.20 4.87
4.5 11.0
43 49
150 450
85 95
28 32
33 35
7.0 10.2
29
PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut
MonositAsolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
KIMIA KLINIK
%
fL
0.59
13.2
%
%
%
%
%
103/l
103/l
103/l
103/l
103/l
85.20
5.50
6.80
2.40
0.100
14.38
0.92
1.15
0.40
0.02
37 80
20 40
28
16
01
2.7 6.5
1.5 3.7
0.2-0.4
0 0,10
0 0,1
26.40
0.70
<50
0.70 1,20
134
3.0
106
135 155
3.6 5.5
96 106
102.45
<200
1.8
3.5 5.0
GINJAL
Ureum
mg/ dL
Kreatinin
mg/ dL
Elektrolit
Natrium (Na)
mEq/L
Kalium (K)
mEq/L
Klorida (Cl)
mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarahSewaktu
mg/ dL
HATI
Albumin
g/ dL
30
KESIMPULAN :
Kesimpulan: Kedua sinus costophrenicus tumpul, kedua diafragma licin.. Jantung
ukuran normal CTR > 50%. Trakea di tengah. Tulang-tulang dan soft tissue baik,
terpasang cvc di vena subclavia kiri, tidaktampakudara di lambung. Kesan :
Kardiomegalidanefusi pleura.
31
Pemasangan NGT
Pemasangan IV line dengan Nacl 0,9% transfusi set pada tangan kanan
Pemasangan 1V line dengan Nacl 3% di tangan kiri
Transfusi darah PRC sebanyak 4 bag
Inj Ceftriaxone 1 gr/12jam
InjRanitidin 50 mg/12 jam
Inj Ketorolac 30 mg/8jam
Pemasangankateteruntukmenilaiurin output
Selanjutnyadilakukanoperasi explorasi laparatomy emergensidi KBE
32
FOLLOW UP
24 Juli 2015
S:
O:
A:
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
25 Juli 2015
S:
O:
33
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
R/ darahlengkap, Albumin, danElektrolit
26 Juli 2015
S:
O:
34
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
27 Juli 2015
S:
O:
A:
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
35
IV Ranitidine 50mg/12jam
28 Juli 2015
S:
O:
A:
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
Koreksi albumin : (3.0-1.8) x 60 x 0.8
57.69, 3fls albumin 20%
Koreksi PRC : (10-8.3) x 60 x 4
406 cc = 2 bag PRC 175cc
29 Juli 2015
36
S:
O:
A:
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Ciprofloxacin 400mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
30 Juli 2015
S:
O:
37
P:
Diet TPN
Aminofluid 1Fls/24jam
Ivelip I Fls/12jam
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ciproflocaxin 400mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
38
BAB 4
KESIMPULAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut
(peritonieum). Penyebab
paling
sering
dari
peritonitis
primer
39
dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut
akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas
antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Brian, J. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diaksespada 17Januari
2014,
http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#aw2aab6b2b4aa
2. Jarrell.,Carabasi., 2008., NMS:
Surgery
5thEdition.,
USA:
Lippincott
7. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4.
8. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal
Infection. Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37.
9. Schwartz et al. 1989. Principle of Surgery 5th Edition. Singapore:
Mc.Graw-Hill. p.1459-1467.