Anda di halaman 1dari 42

1

LAPORAN KASUS

Peritonitis et causa perforasi gaster

Pembimbing:
dr.Adi Muradi, SpB KBD

Disusun oleh:
Thiyagu Ramachandram
Kanagavalli Vijayakumar
Yunesh S Revindren
Reenosha Bijen
Mungunthanii krishnamoorthy
Sujindran Narayanasamy
Arvind Kanagarathnam
Joel Nathaniel
Karthikeyan Kalimutu
Tivagaran Loganathan

100100315
100100403
100100281
100100413
100100310
100100261
100100187
090100445
100100304
100100421

DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
1

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus yang berjudul Luka Bakar ini.
Adapun tujuan penulisan Makalah Ilmiah ini adalah untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik senior pada Departemen Ilmu Bedah Umum, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Eddy Sutrisno,Sp.BPatas kesediaan beliau sebagai
pembimbing dalam penulisan makalah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Eko Radityaatas bimbingannya
dalam proses penyempurnaan makalah ini. Besar harapan, melalui makalah ini,
pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Luka Bakar semakin bertambah.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Laporan
Kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan Laporan Kasus ini. Semoga
Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1.

Latar Belakang.................................................................................1

1.2.

Tujuan Penulisan..............................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................3


2.1.

Definisi.............................................................................................3

2.2.

Etiologi.............................................................................................3

2.3.

Klasifikasi.........................................................................................4

2.4.

Patofisiologi......................................................................................6

2.5.

Diagnosis..........................................................................................9

2.6.

Penatalaksanaan..............................................................................11
2.6.1. Non Operatif......................................................................11
2.6.2. Operatif..............................................................................15

BAB 3 LAPORAN KASUS...................................................................................21


DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................29

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakangmasalah
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah: ulkus peptik, inflamasi divertikulum
kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,
kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering
adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di
rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).
Pada tahun 1799 gejala klinik ulkus perforasi dikenali untuk pertama kali,
meskipun baru pada tahun 1892, Ludwig Hensner, seorang Jerman, pertama kali
melakukan tindaka bedah pada ulkus peptik lambung. Pada tahun 1894, Henry
Percy Dean melakukan tindakan bedah pada ulkus perforasi usus kecil duodenum.
Gastrektomi parsial, meskipun sudah dilaksanakan untuk ulkus gaster perforasi
dari awal 1892, tidak menjadi terapi populer sampai tahun 1940. Hal ini karena
dirasakan adanya rekurensi yang tinggi dari gejala-gejala setelah perbaikan
sederhana. Efek fisiologis vagotomi trunkal pada sekresi asam telah diketahui
sejak awal abad 19, dan pendekatan ini diperkenalkan sebagai terapi ulkus
duodenum pada tahun 1940. Perkembangan selanjutnya terapi ulkus peptik adalah
diperkenalkannya vagotomi selektif tinggi pada akhir 1960. Namun, tidak ada
satupun pencapaian ini yang terbukti berhasil, dan beberapa komplikasi
postoperatif, termasuk angka rekurensi ulkus yang tinggi, telah membatasi
penggunaan teknik-teknik ini. Akhir-akhir ini, pada pasien dengan perforasi
gaster, penutupan sederhana lebih umum dikerjakan daripada reseksi gaster.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana menegakkan diagnosis peritonitis?
2. Bagaimana penatalaksanaan peritonitis?
1.3 Tujuan
1.Mengetahui cara menegakkan diagnosis peritonitis

2 Mengetahui penatalaksanaan peritonitis


1.4 Manfaat
Menambah pengetahuan mengenai cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan
peritonitis

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum). Peradangan ini sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi pascaoperasi, iritasi
kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1
2.2 Anatomilambung
Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak di antara
esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum
dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan
mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam
organ di dekatnya, bergantung pada letak tukak.1,2
Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat proksimal
yang terdiri dari fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung makanan yang
ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan dinding
korpus, apalagi antrum, tebal, dan kuat lapisan ototnya.
Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran
darahnya yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi
besar di pinggir kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Di
belakang

dan

tepi

medial

duodenum,

juga

ditemukan

arteri

besar

(a.gastroduodenalis). Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri itu
pada tukak peptik lambung atau duodenum.

Vena dari lambung duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini
kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional
dengan lambung dan duodenum.1
Saluran limf dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di
kelenjar paraaorta dan preaorta di pangkal mesenterium embrional. Antara
lambung dan pangkal embrional itu terdapat kelenjar limf yang letaknya tersebar
di mana-mana akibat putaran embrional.2
Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui serabut saraf yang
menyertai arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut eferen saraf simpatis.
Serabut parasimpatis berasal dari n.vagus dan mengurus sel parietal di fundus dan
korpus lambung. Nervus vagus anterior (sinister) memberikan cabang ke kandung
empedu, hati dan antrum sebagai saraf Laterjet anterior, sedangkan n.vagus
posterior (dekstra) memberikan cabang ke ganglion seliakus untuk visera lain di
perut kan ke antrum sebagai saraf Laterjet posterior.1,2
2.3 Fisiologilambung
Fungsi lambung adalah sebagai penyimpanan, emulsifikasi, pencernaan awal oleh
asam dan amilase saliva, dan transisi makanan menuju duodenum.2Lambung dan
duodenum terbentuk dari dilatasi foregut selama perkembangan minggu kelima
dari kehamilan. Kecepatan perkembangan dinding kiri lebih cepat daripada
dinding kanan, sehingga membentuk kurvatura mayor dan kurvatura minor.
Putaran lambung menyebabkan saraf vagus kiri terletak pada bagian anterior dan
vagus kanan terletak pada bagian posterior. Lambung biasanya terletak setentang
vertebra T10 dan L3.2
Lambung mempunyai 4 bagian dan 2 mekanisme sfingter. Cardia adalah bagian
paling proksimal dari lambung, yang bersamaan dengan esofagus. Kemudian
terbentuk gastroesophageal junction pada daerah ini. Zona transisi ini dapat
ditemukan 2-3 cm dibawah hiatus esofageal diaphragmatic dan mempunyai
mekanisme esofageal sfingter. Fundus adalah sambungan paling atas dari
lambung, terikat oleh diafragma pada superior dan spleen pada lateral. Sudut pada
lambung dibentuk oleh fundus. Corpus adalah bagian paling besar pada lambung,
terbentuk dari lengkungan besar dan lengkungan kecil. Incisura angularis

membentuk sudut kasar sepanjang lengkung kecil dan menandai permulaan dari
antrum atau prepilorik. Antrum atau prepilorik adalah 25% dari distal lambung.
Antrum atau prepilorik dimulai dari incisura angularis dan berakhir pada pylorus.
Sfingter bagian bawah adalah sfingter fisiologi. Sfingter ini adalah zona
bertekanan tingi dari aktifitas muscular pada distal esofagus. Relaksasi dengan
menelan memperbolehkan makanan masuk ke lambung. Kontraksinya mencegah
refluks makanan dari lambung menuju esofagus. Pylorus adalah sfingter anatomi.
Sfingter ini mengatur alur makanan dari lambung menuju duodenum.2
Lambung kaya akan pasokan darah. Disediakan oleh arteri gastrik kiri (cabang
dari aksis celiaca) memperdarahi lengkungan kecil (proksimal), arteri gastrik
kanan (cabang dari arteri hepatica komunis) memperdarahi lengkungan kecil
(distal), arteri gastroepiploik kiri (cabang arteri splenika) memperdarahi
lengkungan besar (proksimal), arteri gastroepiploik arteri (cabang dari arteri
gastroduodenal) memperdarahi lengkungan besar (distal), dan vasa brevia (vena
coroner) mempunyai anastomosis yang banyak dengan plexus vena esofageal
(secara sistematis memperdarahi langsung ke vena azigos.2
Keempat lapisan dinding lambung adalah serosa, muskularis, muskularis serosa,
dan mukosa. Lapisan serat-serat otot ditemukan pada muskularis dan inner
oblique, middle circular, dan outer longitudinal. Morfologi mukosa dibentuk oleh
kelenjar yang berbeda-beda pada cardia, fundus/corpus, dan pylorus/antrum.2
Rongga Peritonium
Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang
dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia
membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya.
Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk
ke organ sebagai peritoneum viseralis. Pada rongga peritoneum dewasa sehat
terdapat 100cc cairan peritoneal yang mengandung protein 3 g/dl. Sebagian
besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm 3 yang terdiri dari 45%
makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast
serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE 2. Bila terjadi peradangan jumlah
PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3.8

Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe
diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.4
Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel
termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang
berhubungan dengan lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi
diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum .7
Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan
yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung.4
2.4Etiologi
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kirakira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang
menjadi peritonitis bakterial.1

Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,


perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering
kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.1

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder


Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Esophagus

Stomach

Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal
stromal tumor)

Trauma (mostly penetrating)


Iatrogenic
Peptic ulcer perforation
Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
Biliary
tract

common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Pancreas

Trauma (blunt and penetrating)


Iatrogenic
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)

Small
bowel

Closed loop obstruction


Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverticulitis

Large
bowel and
appendix

Malignancy
Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)

Uterus,

Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-

salpinx,

ovarian abscess, ovarian cyst)

10

and ovaries

Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat
tindakan operasi sebelumnya.
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)
dan localized (abses intra abdomen).1
2.5Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.5
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya
membawa

interleukin,

dapat memulai

ke perkembangan

respon

selanjutnya

dari

hiperinflamatorius,
kegagalan

banyak

sehingga
organ.

Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan
elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organorgan tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia.
Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada,
serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,

11

lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan


penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.5
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang
kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.5
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus
sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah
dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.5
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman
S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk
keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis
yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita
yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk
dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan
keadaan umum yang merosot karena toksemia.5
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata.
Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut.
Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di

12

perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena
rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas.
Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal
perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis
kimia, adanya

nyeri

di

bahu

menunjukkan

rangsanganperitoneum berupa

mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan
untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria.5
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalamibendungan,makin
namun elastisitas

lama

dinding

mukus

apendiks

tersebut
mempunyai

makin

banyak,

keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran


limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan
obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren
dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan
peritonitis baik lokal maupun general .5
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi
dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan
kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling
lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka
akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula
tidak terjadi

gejala

karena

mikroorganisme

membutuhkan

waktu

untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena
perangsangan peritoneum .5

13

2.6Tanda dan Gejala


Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di
dalam rongga abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa faktor
yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan
kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara
umum.6
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal
dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal

14

meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi,
adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang
merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus.
Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu,
gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.3
Gejala
Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan
perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.3
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada hentihentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri
biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi
dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat disertai dengan
perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis.9
Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam
sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh
biasanya sekitar 38OC sampai 40OC.9
Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga
menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.6
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada
pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring
dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap
gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.6

15

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat


kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan
perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.
Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama
akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari
intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.6
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram
negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok.
Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui
bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau
gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.6
Tanda
Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang
timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari
frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya
volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya
syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan
yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian
khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.9
Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari
abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan
diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan
penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal
ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.6

16

Gambar 1.Distensi abdomen


Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat
bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai
hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus.
Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih
baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang
pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang
mengalami strangulasi.6
Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.
Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini
menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari
intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari
peritonitis.6
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan
menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan
ditemukan pekak hepar yang menghilang.9
Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini.
Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang
terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri
tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada

17

daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang
dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering
melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting
adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut
nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot
abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang
mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan
dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi.
Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat
menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya
terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang
maksimal.6
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme
secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme
otot menjadi sangat berat seperti papan.9

2.7Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara
riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan
adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat
tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
mengerahkan mekanisme pertahanannya.6
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan,

18

meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata. Analisa


gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal
dapat dilakukan.3
2.7.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat
terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.6

Gambar 2.Pneumoperitoneumpadafoto thorax posisiberdiri


Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika
urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto
Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk
menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan
dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali. CT scan abdomen adalah metode
yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika
udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan

19

negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi
gaster.6
2.8 Diagnosis
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran
klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
2.8.1 Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan
jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau
umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu
adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun
atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder
yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada
penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh
bagian abdomen. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain
yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam,
distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau
umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis
untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
2.8.2 Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit
yang meningkat dan asidosis metabolik.
2.8.3 Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus
dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada
foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus
peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah :

20

1. Posisitiduran, didapatkanpreperitonial fat menghilang, psoas line menghilang,


dankekaburanpadacavum abdomen.
2. Posisidudukatauberdiri, didapatkan free air subdiafragmaberbentukbulansabit
(semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonialpadadaerahperut yang paling
tinggi.

Letaknyaantarahatidengandinding

abdomen

atauantara

pelvis

dengandinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
2.9Penatalaksanaan
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
2.9.1 Penanganan Preoperatif
Resusitasi Cairan
Peradangan

yang

menyeluruh

pada

membran

peritoneum

menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan


ruang intersisial.9
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status
hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit
dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood).
Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang
hilang.3
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian
akan dikeluarkan lewat ginjal.9
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan
dan ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi.9
Antibiotik

21

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi


bakteri

aerob

yaitu E.

Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus,

sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,


Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian
antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang
menginfeksi peritoneum.9
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil
kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih
terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan
penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik
harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji
sensitivitas.6
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar
terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama
dan setelah operasi.9
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus
segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam
dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit
dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur
merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik
daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.6
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.9
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram
negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.3
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal

22

awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan


aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal
merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH
intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik
diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah
putih yang normal.3
Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism
tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator
dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk
menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50
mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang
dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.9
Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration
rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk
serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.9
2.9.2 Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang
didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.9
Kontrol SumberInfeksi

23

Tujuan dari penanganan operatif

pada peritonitis

adalah

untuk

menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab


utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang
terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika
didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis,
jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh
permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan
hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik
aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.9
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter)
dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta
bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna
bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidoneiodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level
bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian
bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat
menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini
menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat
mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang
permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.3
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum
peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang
terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan
kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah
pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.

24

Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang
tidak dapat direseksi.3
2.9.3Penanganan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk
perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada
keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder.3
2.10Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi
komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis
intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan
distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya
infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan,
dan sistem imun.3
2.11Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe
penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum
pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas
sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda,
pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis
lebih awal.3

25

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pada


keadaan perforasi gaster, diantaranya yaitu :

Syok pada waktu masuk rumah sakit

Penyakit penyerta

Terlambat tindakan operasi ( lebih > 24 jam )

Operasi reseksi gaster

Infeksi pasca operasi dan infeksi luka operasi

Infeksi fungus pada peritoneum

26

BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Aripin Pardosi

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 59 tahun

No. Rekam Medik

: 00.64.94.75

Tanggal masuk

: 23 Juli 2015

ANAMNESIS
Keluhan utama:Nyeri pada perut
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 2 hari yang lalu. Nyeri perut ini timbul
secara mendadak dan bersifat terus menerus. Pasien juga mengatakan perutnya
membesar dan buang air besar bercampur dengan darah.
RPT

: Hipertensisejak 5 tahun yang lalu

RPO : Tidak teraturmakanobat


Status presen
Sensorium
Tekanandarah
Nadi
Pernafasan
Suhu

: Compos Mentis
: 150/80 mmHg
: 92 x/i
: 22 x/i
: 37,3 C

Keadaan Umum

: Sedang

Keadaan Gizi

: Baik

Status Generalisata
Kepala:
Mata: pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva palpebra inferior
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
T/H/M :
Dalam batas normal

27

Toraks :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Genitalia
Ekstremitas

: Tampak simetris
: Stem fremitus kanan=kiri, kesan normal
: Sonor pada kedua lapangan paru
: Suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)
:
: Distensi pada perut
: tenderness (+)
: Timpani
: Bising usus menurun
: Tidak dijumpai kelainan
:

Superior

: Tidak dijumpai kelainan

Inferior

: Tidak dijumpai kelainan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium
Tanggal 23 Juli 2015
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
DarahLengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
MPV
PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut

SATUAN

HASIL

RUJUKAN

g%
105/mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
fL
%
fL

7.70
3.60
31.42
25.30
575
70.30
21.40
30.40
9.00
0.52
9.5

13.2-17.3
4.20 4.87
4.5 11.0
43 49
150 450
85 95
28 32
33 35
7.0 10.2

%
%
%
%
%
103/l
103/l

86.40
5.30
7.20
1.10
0.000
27.13
1.67

37 80
20 40
28
16
01
2.7 6.5
1.5 3.7

28

MonositAsolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
FAAL HEMOSTASIS
PT + INR
WAKTU PROTROMBIN
Pasien
Kontrol
INR
APTT
Pasien
Kontrol
Waktu Trombin
Pasien
Kontrol

103/l
103/l
103/l

2.26
0.35
0.01

Detik
Detik

15.7
14.00
1.12

detik
detik

31.5
33.0

detik
detik

13.9
17.0

0.2-0.4
0 0,10
0 0,1

KIMIA KLINIK
GINJAL
Ureum
mg/ dL
Kreatinin
mg/ dL
Elektrolit
Natrium (Na)
mEq/L
Kalium (K)
mEq/L
Klorida (Cl)
mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarahSewaktu
mg/ dL
HATI
Albumin
g/ dL

46.32
0.88

<50
0.70 1,20

126
3.2
96

135 155
3.6 5.5
96 106

136.12

<200

2.3

3.5 5.0

SATUAN

HASIL

RUJUKAN

g%
105/mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
fL

8.30
3.22
16.87
23.70
634
73.60
25.80
35.00
9.30

13.2-17.3
4.20 4.87
4.5 11.0
43 49
150 450
85 95
28 32
33 35
7.0 10.2

Hasil pemeriksaan laboratorium


Tanggal 26 Juli 2015
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
DarahLengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
MPV

29

PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut
MonositAsolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
KIMIA KLINIK

%
fL

0.59
13.2

%
%
%
%
%
103/l
103/l
103/l
103/l
103/l

85.20
5.50
6.80
2.40
0.100
14.38
0.92
1.15
0.40
0.02

37 80
20 40
28
16
01
2.7 6.5
1.5 3.7
0.2-0.4
0 0,10
0 0,1

26.40
0.70

<50
0.70 1,20

134
3.0
106

135 155
3.6 5.5
96 106

102.45

<200

1.8

3.5 5.0

GINJAL
Ureum
mg/ dL
Kreatinin
mg/ dL
Elektrolit
Natrium (Na)
mEq/L
Kalium (K)
mEq/L
Klorida (Cl)
mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GulaDarahSewaktu
mg/ dL
HATI
Albumin
g/ dL

HASIL PEMERIKSAAN FOTO THORAX (25/07/2015)

30

KESIMPULAN :
Kesimpulan: Kedua sinus costophrenicus tumpul, kedua diafragma licin.. Jantung
ukuran normal CTR > 50%. Trakea di tengah. Tulang-tulang dan soft tissue baik,
terpasang cvc di vena subclavia kiri, tidaktampakudara di lambung. Kesan :
Kardiomegalidanefusi pleura.

31

HASIL PEMERIKSAAN EKG

Kesimpulan : sinus takikardi, QRS rate :102x/i, p wave (+), PR interval :


0.12s, QRS durasi :0.06, ST-T changes (-), LVH (-), VES (-), AES (-)
Kesan : Sinus Takikardi
DIAGNOSA KERJA
Diffuse peritonitis d/t hollow organ perforation
PENATALAKSANAAN

Pemasangan NGT
Pemasangan IV line dengan Nacl 0,9% transfusi set pada tangan kanan
Pemasangan 1V line dengan Nacl 3% di tangan kiri
Transfusi darah PRC sebanyak 4 bag
Inj Ceftriaxone 1 gr/12jam
InjRanitidin 50 mg/12 jam
Inj Ketorolac 30 mg/8jam
Pemasangankateteruntukmenilaiurin output
Selanjutnyadilakukanoperasi explorasi laparatomy emergensidi KBE

32

FOLLOW UP
24 Juli 2015
S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :160/90 mmHg, Pols : 86x/i, Temp : 37,30, RR : 18x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)
Palpasi : Tenderness (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Suara peristaltik lambat
CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan
Volume urin sebanyak 40cc di urin bag

A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam

25 Juli 2015
S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :150/70 mmHg, Pols : 80x/i, Temp : 37,30, RR : 22x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)

33

Palpasi : Tenderness (+)


Perkusi : Timpani
Auskultasi : Suara peristaltik lambat
CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan
Volume urin sebanyak 300cc, berwarnakuningpekat,drain : 150 ml,kekuningan
A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
R/ darahlengkap, Albumin, danElektrolit

26 Juli 2015
S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :140/80 mmHg, Pols : 86x/i, Temp : 37,30, RR : 20x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)
Palpasi : Tenderness (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Suara peristaltik lambat
CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan

34

Volume urin sebanyak 350cc di urin bag


A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam

27 Juli 2015
S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :130/80 mmHg, Pols : 86x/i, Temp : 37,30, RR : 20x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)
Palpasi : Tenderness (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Suara peristaltik lambat
CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan
Volume urin sebanyak 300cc di urin bag

A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam

35

IV Ranitidine 50mg/12jam

28 Juli 2015
S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :140/90 mmHg, Pols : 82x/i, Temp : 37,30, RR : 22x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)
Palpasi : Tenderness (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Suara peristaltik lambat
CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan
Volume urin sebanyak 240cc di urin bag

A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Gentamycin 80mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam
Koreksi albumin : (3.0-1.8) x 60 x 0.8
57.69, 3fls albumin 20%
Koreksi PRC : (10-8.3) x 60 x 4
406 cc = 2 bag PRC 175cc

29 Juli 2015

36

S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :130/80 mmHg, Pols : 86x/i, Temp : 37,30, RR : 20x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)
Palpasi : Tenderness (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Suara peristaltik lambat
CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan
Volume urin sebanyak 300cc di urin bag

A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/hari= 15 gtt/i
IV Clinimix 1 Fls + Ivelip 2 Fls = 15 gtt/i
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam
IV Metronidazole 500 mg/8jam
IV Ciprofloxacin 400mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam

30 Juli 2015
S:

Nyeri pada luka operasi

O:

TD :130/80 mmHg, Pols : 86x/i, Temp : 37,30, RR : 20x/i


Abdomen :
Inspeksi : Luka operasi tertutup verban, distensi (-)
Palpasi : Tenderness (+)
Perkusi : Timpani

37

Auskultasi : Suara peristaltik lambat


CVC terpasang
Drain terpasang di perut bagian kanan
Volume urin sebanyak 300cc di urin bag
A:

Post laparatomy ekplorasi d/t perforasi gaster

P:

Diet TPN
Aminofluid 1Fls/24jam
Ivelip I Fls/12jam
IVFD Asering 20 gtt/i
IV Ciproflocaxin 400mg/12jam
IV Ketorolac 30mg/8jam
IV Ranitidine 50mg/12jam

38

BAB 4
KESIMPULAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ
perut

(peritonieum). Penyebab

paling

sering

dari

peritonitis

primer

adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis.


Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda
peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi,

39

dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut
akan teras tegang karena iritasi peritoneum.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas
antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ
multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.

40

DAFTAR PUSTAKA
1. Brian, J. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diaksespada 17Januari
2014,

http://emedicine.medscape.com/article/180234-

overview#aw2aab6b2b4aa
2. Jarrell.,Carabasi., 2008., NMS:

Surgery

5thEdition.,

USA:

Lippincott

William&Wilkins. Hal: 199-207

3. Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &


Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
4. Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized
Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients
with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 25563.
5. Fauci et al. 2008. Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1.
McGraw Hill. Peritonitis halaman 808-810. 1916-1917.
6. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery
9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal 784-795

7. Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4.
8. Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal
Infection. Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37.
9. Schwartz et al. 1989. Principle of Surgery 5th Edition. Singapore:
Mc.Graw-Hill. p.1459-1467.

Anda mungkin juga menyukai