Anda di halaman 1dari 12

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sub sektor memiliki peran penting dalam pembangunana nasional. Atas
kesadaran itu, Departemen Pertanian (2011) mengarahkan pengembangan
subsektor peternakan sebagai bagian dari sektor pertanian dalam empat capaian.
Pertama, meningkatkan produksi ternak dan produk peternakan dan kesehatan
hewan yang berdaya saing. Kedua, mengendalikan penyakit hewan menular
strategis dan zoonosis. Ketiga, menyediakan pangan asal hewan yang aman, sehat,
utuh dan halal. Keempat, meningkakan pendapatan dan kesejahteraan peternak.
Kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak
dan usaha agribisnis peternakan, peningkatan nilai tambah serta peningkatan daya
saing. Sedangkan misinya adalah mendorong pembangunan peternakan unggas
yang tangguh dan berkelanjutan. Untuk mencapai visi, misi dan tujuan program
pembangunan peternakan diperlukan beberapa kebijakan pendukung. Pertama,
kebijakan pendukung dalam membentuk lingkungan investasi yang kondusif,
terutama dalam hal pelayanan investasi. Kedua, kebijakan dalam hal
mempromosikan produk unggas. Ketiga, dukungan kebijakan dan inovasi dalam
hal tata ruang, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta
penegakan aturan yang terkait dengan lalu lintas ternak yang berkaitan dengan
pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global. Keempat, kebijakan
pendukung dalam rangka pencegahan penyakit, dan kebijakan mengenai
kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik mitra maupun bagi inti melalui
pembagian risiko dan keuntungan yang adil (Deptan, 2005).

Pembangunan peternakan sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan


pangan dan perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi
sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan berdasarkan harga konstan pada tahun 2009-2010,
sebesar 15,29 persen dan pada tahun 2011-2012 sebesar 14,70 persen. Persentase
sumbangan subsektor peternakan terhadap sektor pertanain sebesar 12 persen
(BPS, 2013).
Di Indonesia, peternakan unggas memegang peranan penting bagi
masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya jenis unggas yang dipelihara baik
secara tradisional sebagai usaha sampingan maupun diusahakan secara komersial.
Unggas tersebut antara lain ayam, itik, burung puyuh, dan merpati. Diantara
berbagai

jenis

unggas,

ayam

merupakan

ternak

yang

paling

banyak

dibudidayakan.
Berdasarkan tujuan pemeliharaannya, usaha peternakan ayam dibedakan
menjadi dua yaitu peternakan ayam pedaging dan ayam petelur. Perbedaan ini
tidak hanya menyangkut pemilihan jenis ayam yang dipelihara, tetapi juga pada
manajemen pemeliharaan. Ayam petelur memiliki dua periode pemeliharaan yaitu
periode sebelum produksi dan periode produksi. Periode sebelum produksi
dimulai pada umur 0 hingga 20 minggu, dan periode produksi dimulai dari umur
20 minggu hingga ternak diafkir pada umur 72 minggu. Pada ayam pedaging,
periode pemeliharaan dibagi menjadi dua fase. Pertama, fase awal, dimulai dari
umur 0 minggu hingga 3 minggu. Kedua, fase akhir, dimulai dari umur 3 minggu
hingga ternak siap panen pada umur 6 minggu.

Secara teoritis, produksi unggas, baik daging maupun telur merupakan


hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen, sebagai faktor
kemampuan biologis, baru dapat ditampilkan jika faktor eksogen sebagai faktor
kesempatan, memungkinkan faktor endogen berkembang. Tidak kalah penting
adalah faktor eksogen. Faktor ini sering disebut dengan faktor lingkungan terdiri
atas tiga faktor yaitu iklim, pakan dan manajemen. Faktor manajemen terdiri atas
teknis pemeliharaan, bentuk kandang dan peralatan yang digunakan, kepadatan
kandang dan lain-lain. Kemampuan manajerial peternak yang beragam seringkali
mengakibatkan penggunaan input produksi tidak efisien sehingga menyebabkan
produksi menjadi tidak optimum.
Menurut Food and Agriculture Organization (2006), berdasarkan skala
dan tingkat biosekuriti, peternakan ayam dikelompokkan menjadi empat sektor.
Sektor I adalah peternakan dengan sistem yang terintegrasi, melaksanakan
biosekuriti sangat ketat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan
beroperasi secara komersial seperti breeding farm. Sektor II adalah peternakan
yang beroperasi secara komersial. Pada sektor ini tingkat biosekuriti menengah.
Ternak ditempatkan pada tempat tertutup dan terpisah sehingga ayam dan unggas
liar tidak bisa kontak secara langsung. Sektor III merupakan peternakan yang
umum ada di Indonesia, dengan produksi semi komersial. Jumlah pemeliharaan
ternak di sektor ini berkisar antara 50 hingga 150 ekor. Manajemen pemeliharaan
pada sektor ini masih sangat sederhana. Penerapan biosekuriti dilakukan dengan
meminimalkan kontak dengan unggas lain dan membatasi orang yang masuk
peternakan. Jenis ayam yang dipelihara umumnya ayam kampung. Kebutuhan

bibit biasa dipenuhi dari produksi sendiri atau dari tetangga dan produk yang
dihasilkan dijual di pasar lokal dalam keadaan masih hidup. Sektor IV merupakan
peternakan tradisional yang diusahakan sebagai sampingan (backyard). Jumlah
pemeliharaan unggas rata-rata berkisar antara 10 sampai 20 ekor atau di bawah 50
ekor. Ayam yang dipelihara umumnya ayam kampung. Pemeliharaan lebih sering
diumbar, dan hanya dikandangkan pada malam hari. Pemberian pakan tidak
teratur dan kebanyakan memanfaatkan sisa dapur. Biosekuriti pada sektor ini
sangat minimal bahkan kadangkala tidak ada sama sekali. Hal ini ditandai dengan
tingkat mortalitas tinggi dan produktivitas yang rendah. Produk hanya dikonsumsi
sendiri atau jika dijual hanya di pasar lokal.
Enam puluh persen ternak ayam di Indonesia dipelihara secara tradisional
atau termasuk dalam sektor III dan IV. Dengan sistem pemeliharaan yang masih
sederhana dan biosekuriti yang minim, mengakibatkan kontrol terhadap penyakit
sangat rendah. Ketika satu kelompok peternakan di sektor ini terkena penyakit,
maka dengan cepat akan menyebar ke peternakan lain di sekitarnya. Penyakit
yang sering menyerang ayam antara lain ND (New Castle Dissease), Gumboro
(ngorok), Salmonella, E coli, dan yang terakhir merebak adalah avian influenza.
Avian influenza (AI), lazim disebut flu burung, merupakan infeksi virus
influenza A subtipe H5N1 (H=hemaglutinin; N=neuraminidase). Flu ini pada
umumnya menyerang unggas, burung dan ayam yang kemudian dapat menyerang
manusia (penyakit zoonosis). AI dapat menyebar dengan cepat di antara populasi
unggas dengan kematian yang tinggi, bahkan dapat menyebar antar peternakan
dari suatu daerah ke daerah lain.

Di Indonesia virus AI dilaporkan mulai menginfeksi ayam pada Oktober


2003. Daerah yang terjangkit AI pada waktu itu adalah seluruh Jawa, Lampung,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Serangan AI
pada waktu itu mengakibatkan 14,7 juta ayam mati. Tercatat sebanyak 291
Kabupaten/Kota dari 445 kabupaten/kota di 31 Propinsi telah tertular (Siregar,
2008a; Yusdja dkk, 2008). Daerah yang dilaporkan menjadi daerah endemis Avian
Influenza terdiri atas 18 propinsi yang ada di Jawa, Sumatra, Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Tenggara. Tiga belas propinsi yang ada di Kalimantan, Nusa Tenggara,
Papua, Sulawesi dan Bali masuk dalam kategori daerah dengan kejadian AI
rendah (low incidence). Di beberapa daerah tersebut sempat terjadi fluktuasi
produksi. Propinsi yang masih bebas dari serangan AI adalah Gorontalo dan
Maluku Utara (Siregar, 2008b)
Dilansir oleh Bank dkk (2001) dan Swayne dan Suarez (2000), AI
mengakibatkan 70-100 persen kematian pada peternakan yang terserang AI.
Selain itu, AI juga mengakibatkan harga ditingkat peternak jatuh, sehingga
peternak menanggung kerugian sebesar 1 triliun (versi pemerintah) sampai dengan
5 triliun (versi peternak) (Arifin, 2007). Pada saat AI merebak, harga daging ayam
ditingkat peternak hanya Rp 3.900/kg sementara biaya produksi mencapai Rp
6.800/kg. Hal yang sama juga terjadi pada harga telur yaitu sebesar Rp 6.950/kg
dengan biaya produksi Rp 8.200/kg.
Dampak lain tidak hanya dirasakan oleh peternak saja tetapi juga oleh
industri yang berkaitan dengan budidaya ternak seperti industri pakan dan industri
pangan olahan. Dampak AI terhadap industri perunggasan antara lain permintaan

terhadap DOC di daerah tertular AI turun sebesar 57,9% untuk ternak broiler dan
40,4% untuk layer. Permintaan terhadap pakan turun 45% untuk semua jenis
pakan unggas serta supplai produksi untuk broiler turun 40,7% dan layer 52,6%.
Sementara itu, peluang kerja di daerah tertular AI turun 39,5% (Deptan, 2005)
Berikut gambar grafik populasi ayam nasional tahun 2002-2011 berdasarkan
sumber dari data statistik peternakan yang dirilis Dirjen Peternakan Departemen
Pertanian tahun 2012.

Populasi
(000 ekor)

tahun
Gambar 1.1 Grafik populasi ayam nasional tahun 2000-2011.
Berdasarkan data statistik peternakan tahun 2011, populasi ayam dalam 10
tahun terakhir mengalami peningkatan, dan diantara kurun waktu tersebut terjadi
fluktuasi jumlah produksi. Meskipun belum ada penelitian komprehensif
mengenai hal ini, tetapi penurunan populasi pada tahun-tahun ini disinyalir karena
adanya serangan AI secara sporadis di berbagai daerah. Tabel berikut menyajikan
jumlah kematian ternak dari tahun 2002 hingga tahun 2013 berdasarkan dari data

penelitian Siregar (2008a), Yusdja, dkk (2008) dan data dari Direktorat Jenderal
Peternakan (2013).
Tabel. 1.1 Jumlah kematian unggas akibat AI tahun 2002-2013
Tahun
Jumlah unggas (ekor)
2002
4.737.115
2003
6.476.841
2004
1.031.513
2005
1.156.440
2006
437.441
2007
2.751
2008
1.413
2009
2.293
2010
1.502
2011
1.390
2012
546
2013
272
a
Sumber: Siregar (2008 ), Yusdja dkk, (2008) dan Ditjennak (2013)
Soejoedono dan Handharyani (2006) mensinyalir pada periode Agustus
2003 hingga Juli 2004 saja jumlah kematian ayam mencapai 16,32 juta ekor.
Propinsi Jawa Tengah, berdasar sejumlah kematian tersebut, berada pada
peringkat teratas dengan jumlah kematian mencapai 8,17 juta ekor, disusul
Lampung 2,37 juta ekor, Jawa Timur 2,26 ekor, Jawa Barat 1,62 juta ekor dan
Bali sebesar 930.029 ekor.
Berkaitan dengan terjangkitnya AI, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan 9 langkah strategis pencegahan dan penanggulangan AI yang tertuang
dalam SK Dirjen No 17 tahun 2004, yaitu: 1). Peningkatan biosekuriti; 2).
Vaksinasi daerah tertular dan tersangka; 3). Depopulasi terbatas dan kompensasi;
4). Pengendalian lalu-lintas unggas dan produknya; 5). Surveilans dan
penelusuran kembali; 6). Pengisian kandang kembali; 7). Stamping out di daerah
tertular baru; 8). Public awareness; 9). Monitoring dan evaluasi. Target yang

ditetapkan oleh pemerintah dalam penanganan AI pada tahun 2007 adalah (a)
mempertahankan daerah bebas, (b) tidak adanya kasus AI di sektor I dan II di
daerah endemik, (c) mencegah kasus di sektor III dan IV di daerah endemik, (d)
mencegah penyebaran / kasus pada hewan rentan AI lainnya, (e) tidak adanya
penyebaran AI kepada manusia. Akan tetapi, pada kenyataannya hingga awal
tahun 2011 masih muncul kejadian AI pada peternakan unggas.

B. Perumusan Masalah
Pembangunan peternakan ayam di Indonesia erat kaitannya dengan
pemenuhan kebutuhan konsumsi protein hewani di dalam negeri. Serangan AI
diprediksi memberi dampak yang cukup besar terutama terhadap kemampuan
produksi guna memenuhi kebutuhan konsumsi. AI menyebabkan kematian yang
tinggi pada ayam yang terinfeksi. Persepsi negatif masyarakat terhadap AI juga
berdampak terhadap industri perunggasan. Dampak AI ini dirasakan merata pada
semua sektor perunggasan, baik sektor I, II, III, dan IV. Jika tidak segera
ditangani, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap ketersediaan produksi
nasional.
Pemerintah telah menetapkan target penanganan AI untuk tahun 2007.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa masalah dan hambatan
antara lain kurangnya koordinasi antar sektor dalam perencanaan dan
pengendalian AI dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza. Kurangnya
kapasitas peringatan dini dan belum adanya jejaring sistem surveilans terpadu
pada hewan dan manusia. Terbatasnya kemampuan memberikan kompensasi

keuangan kepada peternak dalam rangka pemusnahan selektif (depopulasi) dan


pemusnahan total (stamping out). Keterbatasan vaksin dan rendahnya cakupan
vaksinasi pada unggas. Terbatasnya persediaan obat dan belum adanya vaksin
untuk manusia. Kurangnya pemahaman dan kesadaran seluruh lapisan masyarakat
terhadap AI dan kemungkinan risikonya. Keterbatasan sumber daya pendukung
(SDM, biaya, teknologi dan sarana pendukung). Keterbatasan kemampuan
penelitian dan pengembangan. Adanya distorsi informasi yang diterima oleh
masyarakat. Kurangnya pengawasan lalu lintas hewan dan produknya dan belum
diketahui dengan pasti waktu terjadinya pandemi influenza (Bappenas, 2005).
Hal ini terlihat dari munculnya kasus AI baik pada ternak dan manusia.
Seperti yang dilansir oleh media massa, pada tahun 2007 AI menyerang di Jawa
Timur (Situbondo, Ngawi, Jember, Jombang), Jawa Tengah (Temanggung,
Magelang, Boyolali, Grobogan, Banyumas, Purbalingga) dan Jawa Barat tepatnya
di daerah Indramayu. Pada periode Januari hingga April 2008 kematian ayam
masih tinggi dan masih ada kasus yang menyerang manusia (Yusdja dkk, 2008).
Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan daerah endemis AI dengan
populasi ternak ayam terbesar kedua dan ketiga di Indonesia. Tingkat kematian
ayam akibat AI di Jawa Tengah menempati peringkat pertama terbesar di
Indonesia. Berdasarkan pemikiran tersebut, propinsi ini diambil sebagai daerah
penelitian. Sebagai daerah endemis, seharusnya program penanganan AI telah
berjalan dengan baik. Akan tetapi, merebaknya kembali kasus AI di Indonesia
setidaknya memberikan gambaran ragam tingkat penerapan program penanganan
AI oleh peternak.

10

Program pencegahan AI yang telah dirancang dengan baik belum tentu


dapat diterapkan sepenuhnya oleh peternak. Pengetahuan peternak terhadap gejala
klinis penyakit AI masih sangat rendah. Hal ini terungkap dalam penelitian
Santosa (2008) yang mengungkapkan bahwa sebagan besar peternak menilai
penyakit AI yang menyerang ternak adalah penyakit ND (New Castle Dissease)
dan penyakit IBD (Infectious Bursal Dissease).
Pengetahuan peternak yang kurang memadai mengenai penyakit AI
menyebabkan peternak tidak selalu menerapkan biosekuritas pada usahanya.
Pengetahuan peternak yang beragam, tidak hanya pada pemahaman mengenai
penyakit AI, tetapi juga berhubungan dengan alokasi input produksi. Sebagai
produsen, peternak harusnya berorientasi memaksimalkan keuntungan dengan
melakukan perbaikan manajemen sehingga input digunakan secara efisien, juga
mempertimbangkan faktor risiko usaha.
Seperti yang diketahui, usaha peternakan ayam ras baik ayam pedaging
maupun petelur memiliki tingkat risiko yang tinggi. Hal ini disebabkan
karakteristik ternak ayam ras yang mudah stress terhadap perubahan lingkungan
baik suara dan suhu dan lebih peka terhadap penyakit. Adanya faktor efisiensi dan
risiko usaha ini sangat berpengaruh terhadap produksi maupun keuntungan. Oleh
karena itu, perlu diketahui tingkat produksi, risiko, efisiensi produksi dan faktorfaktor yang mempengaruhinya pada usaha peternakan ayam pedaging maupun
ayam petelur. Dari analisis ini nantinya akan terlihat faktor apa yang paling
dominan berpengaruh terhadap produksi. Juga akan terlihat apakah pelaksanaan
biosekuritas berupa pemakaian desinfektan dan vaksinasi AI serta pemagaran

11

kandang akan menurunkan risiko produksi. Demikian halnya dengan efisiensi


penggunaan faktor produksi. Jika belum atau tidak efisien, tentu harus dilakukan
perbaikan manajemen untuk meningkatkan efisiensi. Hal yang sama juga menjadi
alasan mengapa perlu dilakukan analisis keuntungan, risiko keuntungan, efisiensi
alokatif, dan faktor yang mempengaruh pada usaha ternak ayam pedaging dan
ayam petelur.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah produksi dan keuntungan pada usaha ternak ayam pedaging
dan petelur?
2. Adakah pengaruh pencegahan AI terhadap produksi, risiko produksi dan
efisiensi pada usaha ternak ayam pedaging dan petelur?
3. Bagaimanakah preferensi risiko peternak ayam pedaging dan petelur dan
faktor apa yang mempengaruhi preferensi risiko?
4. Adakah pengaruh pencegahan AI terhadap keuntungan usaha ternak ayam
pedaging dan petelur?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui produksi dan keuntungan pada usaha ternak ayam pedaging
dan petelur.

12

2. Mengetahui pengaruh usaha pencegahan AI terhadap produksi, risiko, dan


efisiensi pada usaha ternak ayam pedaging dan petelur.
3. Mengetahui preferensi risiko peternak ayam pedaging dan petelur serta
faktor-faktor yang memengaruhi preferensi risiko.
4. Mengetahui pengaruh pencegahan AI terhadap keuntungan usaha ayam
pedaging dan petelur.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah, hasil penelitian sebagai bahan pertimbangan bagi perumusan
program

dan

evaluasi

penerapan

program

pencegahan

AI.

Bahan

pertimbangan untuk meningkatkan keberhasilan program dengan menelaah


faktor yang memengaruhi minat peternak untuk menerapkan program.
2. Bagi peneliti lain yang berminat hasil penelitian ini sebagai sumbangan
pengetahuan untuk melakukan penelitian lanjutan sesuai dengan kondisi yang
berkembang.
3. Bagi pelaku agribisnis, hasil penelitian ini sebagai bahan informasi dalam
bidang produksi dan penanganan AI.

Anda mungkin juga menyukai