Anda di halaman 1dari 13

Steven-Johnson Syndrome

Candy Novia Agustini


Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
E-Mail: candy_novia@rocketmail.com
Abstrak
Sindroma steven Johnson adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias lesi kulit,
mukosa orifisium dan mata. Dasar imunologynya adalah hipersensitifitas tipe III dan IV.
Gambaran klinis sangat dekat dengan Epidermolisis toksis nekrotikan. Diagnosis terutama
berdasarkan gejala klinis. Penghentian semua obat yang di berikan sebelumnya merupakan
pengobatan utama didukung oleh semua pengobatan simtomatik dan perawatan konservatif.
Kematian tergantung pada adanya komplikasi yang berat dan keterlambatan pengobatan.
Kata kunci : Steven Johnson Syndrome, trias lesi kulit, diagnosis,prognosis.
Abstract
Steven Johnson syndrome is a complex of symptoms characterized by triad lesions of skin,
orifices and eyes. The immunological basis of steven Johnson syndrome is hypersensitivity
type III and type IV. The clinical manifestion is very close to Toxic Epidermolysis
Necroticans. Diagnosis is based primarily on clinical appearance. Discontinuation of
previous drugs is the mainstay of treatment supported with symptomatic and conservative
care. Mortalitiy is usually related with severe complication or delayed treatment.
Key words : Steven Johnson syndrome, triad lesions of skin, diagnosis,prognosis.

Pendahuluan
Zaman sekarang sering ditemukan pada seseorang adanya alergi terhadap obat.
Memang tidak semua orang mengetahui bahwa dirinya mengalami alergi obat, dalam hal ini
alergi seseorang terhadap suatu reaksi atau kandungan obat sangatlah penting. Apalagi
sekarang ini orang yang sakit meminum obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan
ahlinya, mereka merasa bisa mengobati diri sendiri. Hal ini dapat membahayakan orang
tersebut karena dengan ketidak tahuan itu siapa tahu saja dia ternyata sensitive terhadap obatobat tertentu yang dapat menimbulkan alergi obat. Jika alergi obat yang di alami sangat berat
dapat menyebabkan kematian.
Dalam makalah ini akan di bahas mengenai Sindrom Steven Johnson (SSJ) yang
merupakan syndrome yang mengenai kulit, selaput orificium, dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari ringan sampai berat. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Jhonson saat
ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom
Stevens-Jhonson seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada
Sindrom Stevens-Jhonson adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom
Stevens-Jhonson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum,
dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan lansung dengan dosis,
namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien.
Pembahasan
Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.1
1. Identitas Pasien
Menanyakan kepada pasien atau orang tua dari anak, meliputi :1
- Nama lengkap pasien
- Umur pasien
- Tanggal lahir
- Jenis kelamin
- Agama
- Alamat
- Umur (orang tua)

- Pendidikan dan pekerjaan (orang tua)


- Suku bangsa
2. Keluhan Utama
Menanyakan keluhan utama pasien yaitu : Lepuh pada kedua lengan, badan atas,
bokong dan kedua paha setelah meminum obat sulfa.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Menanyakan kepada pasien atau orang tua sebagai wali :
- Sejak kapan timbul lepuh?
- Apakah ada rasa nyeri, gatal dan perubahan warna kulit ?
- Apakah lepuh semaikin membesar ?
- Apakah hilang timbul ?
- Apakah lepuh mempengaruhi aktivitas ?
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya ? jika ya, apakah
sudah berobat ke dokter dan apa diagnosisnya serta pengobatan yang
diberikan ?
5. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga.
- Apakah terdapat gejala yang sama pada ayah, ibu, atau saudara kandung ?
- Jika pasien mempunyai saudara,apakah juga ada yang mengalami seperti pasien ?
- Apakah kluarga ada alergi obat-obatan?
6. Riwayat Pengobatan
Obat apa saja yang sudah diminum oleh pasien.
Pemeriksaan fisik

Terdapat lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha.

Adakah perubahan pada kulit atau kelainan kulit yang ditemukan? (ruam, ulkus, benjolan, dan
lainnya)2
-

Makula, daerah perubahan warna kulit yang berbatas jelas dengan kulit normal tanpa
tonjolan atau lekukan kulit di sekitarnya.

Papula, lesi menonjol padat dengan diameter <0,5 cm.


Plak, Penonjolan di atas permukaan kulit yang mengenai area permukaan yang relatif

besar dibandingkan dengan tingginya.


Indurasi, papula atau plak berbentuk lingkaran atau memiliki puncak yang datar,

berwarna merah pucat yang menghilang dalam beberapa jam.


Pustula, penonjolan kulit berbatas tegas yang berisi eksudat purulen.
Vesikula/bulla, lesi menonjol berbatas tegas yang berisi cairan. Vesikula memiliki

diameter >0,5 cm.


Ulkus , lesi yang menunjukkan kerusakan epidermis dan dermis.
Kista , rongga tertutup yang berisi cairan atau bahan semi padat.

Adakah perubahan kulit sekunder yang memperberat atau merupakan akibat dari proses
primer ? Misalnya:

Skuama lapisan deskuamasi stratum korneum.


Krusta serum, darah, atau eksudat purulen yang mengering.
Erosi daerah lekukan berbatas tegas akibat hilangnya epidermis.
- Likenifikasi penebalan kulit akibat sering digosok atau digaruk yang menyebabkan
-

semakin jelasnya garis-garis kulit normal.


Atrofi atrofi epidermal akibat berkurangnya lapisan sel-sel epidermal. Atrofi dermal

terjadi akibat berkurangnya jaringan ikat dermal.


Parut lesi yang terbentuk akibat kerusakan dermal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan
hemaglutinasi dengan mikroskop imunoflouresensi. Pemeriksaan hemaglutinasi bertujuan
untuk memperlihatkan adanya komplemen dan antibodi IgG atau IgM. Selain itu,
pemeriksaan histopatologis dengan biopsi membantu membedakan sindrom Stevens-Johnson
dengan penyakit lainnya. 2
a.CBC ( complek blood count ) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau
leukositosis nonspesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena
infeksi. Bila ditemuakn eusinofilia kemungkinan penyebabnya alergi obat.
b.Kultur darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab infeksi.
c . Histopatologi
Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari
perubahan dermal yang ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan
berupa :3
1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.
2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
Working diagnosis
Berdasarkan kasus yang di dapatkan yaitu anak laki-laki 13tahun, di rawat di rumah
sakit dengan keluhan lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha setelah
makan obat sulfa sejak 2 hari yang lalu, pasien ini didiagnosis menderita Steven Johnson
Syndrome.

Differential Diagnosis
Diagnosis banding u t a m a adalah Nekrosis Epidermal Toksik (NET) dimana
manifestasi klinis hamper serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk dari
pada SSJ. Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai Eksantema Fikstum
Multiple (EFM) persamaannya keduanya terdapat eritem, vesikel dan bula ,
perbedaannya EFM selalu timbul di tempat yang sama dan tidak mengenai seluruh tubuh.
Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Tapi banyak faktor etiologi
yang dikaitkan dengan SJS ini, yang merupakan etiologi utamanya ialah alergi obat yang
diberikan secara sistemik. Hal lain yang juga bisa menyebabkan SJS ini yaitu infeksi maupun
keganasan. Faktor genetik juga diduga bisa menyebabkan SJS. Yang paling sering terjadi
adalah akibat alergi obat dan juga keganasan pada orang dewasa. Pada pediatri lebih sering
oleh akibat infeksi.
Penyakit akibat virus yang dilaporkan bisa mnyebabkan SJS antara lain HSV(masih
diperdebatkan), AIDS, coxsackie viral infections, influenza, hepatitis dan mumps. Pada anakanak, Epstein-Barr virus dan enterovirus telah teridentifikasi. Lebih dari setengah pasien yang
menderita SJS dilaporkan mengalami infeksi traktus respiratorius.
Obat antibiotik merupakan penyebab utama dari SJS, kemudian diikuti oleh obat
analgetik, batuk dan juga antipiretik, NSAID,dll. Obat tersering yang dilaporkan
menyebabkan SJS adalah antiboitik, penicilin dan juga sulfa, begitu juga dengan
ciprofloxsasin. Antikonvulsan yang juga terlibat bisa menyebabkan SJS adalah pheniton,
carbamazepin, oxcabarzepine,dl. SJS juga dilaporkn pada pasien yang mengkonsumsi obat
antiretroviral yaitu alopurinol, sertralin, tramadol, dll.3
Pada kasus terjadi SJS akibat dari pemberian obat sulfa. Obat sulfa merupaka obat
dengan spektrum luas banyak digunakan terhadap banyak penyakit oleh baik kuman grampositif dan gram-negatif. Efek samping yang terpenting ialah kerusakan parah pada sel-sel
darah yang berupa agranulositosis dan anemia hemolitis, efek samping lainnya ialah Steven
Johnson Syndrome meskipun agak jarang terjadi.4

Epidemiologi
Steven Johnson Syndrome biasa disebut juga sebagai penyakit eritema multiforme
mayor. Insidensi penyakit ini sebenarnya sangat jarang, tercatat hanya sekitar 2-3% per juta
populasi di Negara Eropa dan Amerika. Lebih sering diderita oleh manusia di usia dewasa
dibandingkan anak-anak. Kasus SJS ini cenderung terjadi pada awal musim semi dan dingin.
Di amerika serikat dan negara-negara barat lainnya obat oxciman, NSAID dan sulfonamid
palng sering terlibat dengan terjadinya kasus SJS. Dalam sebuah studi dari jerman dilaporkan
bahwa hanya 1,1 kasus terjadi per 1 juta orang per tahun. Berbeda dengan obat yang paling
sering terlibat dalam negara-negara Barat, allopurinol merupakan obat yang paling umum
yang menjadi agen penyebab terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk
Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong.
Sindrom Stevens-Johnson telah ditemukan di seluruh dunia dalam semua ras,
meskipun mungkin lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Menariknya, penyakit ini tidak
terbatas pada manusia, kasus telah dilaporkan pada anjing, kucing, dan monyet. Prevalensi
terjadinya SJS pada perempuan diperkirakan sekitar 33-62%. Pada penelitian tahap besar,
rata-rata usia pasien yang menderita sindrom Stevens-Johnson adalah 25 tahun. Dalam
penelitian yang lebih kecil, rata-rata usia pasien yang menderita sindrom Stevens-Johnson
dilaporkan sebagai 47 tahun. Namun, juga dilaporkan ada kasus yang terjadi pada anak
berumur 3 bulan.

Patofisiologi
Patogenesis penyakit ini belum diketahui secara jelas. Diduga terjadinya kelainan ini
diperankan oleh reaksi alergi tipe III dan tipe IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibodi yang membentuk mikro-presipitasi sehingga aktivasi sistem
komplemen. Akibat adanya akumulasi sel neutrofil yang melepaskan lizozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ target. Reaksi tipe IV terjadi akibat sel limfosit
T yang telah tersensitisasi terkontak ulang dengan antigen yang sama, lalu sel T tersebut
melespaskan limfokin dan menimbulkan reaksi radang.5

Reaksi hipersensitivitas yang lambat juga diduga terlibat dalam patofisiologi terjadinya
SJS. Kelompok populasi tertentu lebih rentan untuk menderita sindrom Stevens-Johnson
daripada populasi umum. Pasien yang immunocompromised (terutama mereka yang
terinfeksi HIV, asetilator lambat dan pasien dengan tumor otak yang menjalani radioterapi
dengan antiepileptics secara bersamaan memiliki resiko yang sangat tinggi.
Asetilator lambat adalah orang yang pada organ hatinya tidak bisa sepernuhnya
mendetoksifikasi metabolit obat reaktif. Sebagai contoh, pasien dengan sulfonamide-induced
TEN telah terbukti memiliki genotipe asetilator lambat yang menghasilkan peningkatan
produksi hidroksilamin sulfonamide melalui jalur P-450
Pada tahun 1997, Inachi et al mendemonstrasikan tentang perforin-dimediasi apoptosis
pada pasien dengan sindrom Stevens-Johnson. Perforin, granula monomer pori- dilepaskan
dari sel-sel pembunuh alami dan limfosit T sitotoksik, membunuh sel target dengan
membentuk polimer dan struktur tubular yang tidak mirip seperti kompleks attack membran
dari sistem komplemen.
Apoptosis keratinosit juga dapat terjadi sebagai akibat dari ligasi reseptor kematian
permukaan mereka dengan molekul yang tepat. dapat memicu aktivasi sistem caspase, yang
menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel. Apoptosis keratinosit dapat dimediasi
melalui interaksi langsung antara sel-reseptor kematian Fas dan ligan. Keduanya dapat timbul
pada permukaan keratinosit atau, sel T yang diaktivasi dapat melepaskan ligan Fas yang
mudah larut dan interferon-gamma, yang menginduksi ekspresi Fas oleh keratinosit. Para
peneliti telah menemukan peningkatan kadar ligan Fas larut dalam sera pasien dengan SJS /
TEN sebelum detasemen kulit atau timbulnya lesi mukosa.
Kematian keratinosit menyebabkan pemisahan epidermis dari dermis. Setelah apoptosis
terjadi kemudian, sel-sel mati menyebabkan perekrutan kemokin yang lebih banyak. Hal ini
dapat memperpanjang proses inflamasi, yang mengarah ke nekrolisis epidermal yang luas.
Dosis yang

tinggi dan pemberian secara cepat allopurinol dan lamotrigin juga dapat

meningkatkan risiko mengembangkan SJS / TEN. Risiko berkurang jika kita memulai ini
pada dosis rendah dan titrasi secara bertahap. Diduga bahwa systemic lupus merupakan
faktor risiko juga terjadinya SJS.
Gejala Klinis

Kelainan ini dapat diderita oleh anak-anak dan orang dewasa. Namun sindrom ini
jarang diderita oleh anak dibawah 3 tahun. Keadaan umum bervariasi mulai dari yang ringan
hingga yang berat. Kesadaran juga bervariasi mulai dari yang compos mentis sampai koma.
Timbulnya penyakit ini akut dengan gejala prodormal berupa demam tinggi, malaise dan
nyeri.2

Gambar 1. Steven Johnson Syndrome.

Pada sindrom ini terdapat trias kelainan, yaitu kelainan kulit, berupa eritem, papel,
vesikel dan bula. Vesikel dan bula ini kemudian pecah sehingga menimbulkan erosi, erosi ini
dapat setempat dan meluas. Selain itu juga dapat ditemukan purpura, biasanya prognosis
penyakit menjadi buruk. Pada kasus berat ditemukan secara generalisata. Selanjutnya
kelainan selaput lendir di orifisium. Kelainan selaput lendir yang paling sering yaitu sebesar
100 % ditemukan di mukosa mulut. Kemudian disusul oleh kelainan di orifisium genital
eksterna yaitu sbesar 50%. Sedangkan pada lubang hidung dan anus sebnayak 8% dan 4 %. 5
Lesi awal berupa vesikel di mukosa bibir, lidah dan bukal yang kemudian pecah dan
menjadi erosi, eksoriasi, eksudasi, ulserasi dan membentuk pseudomembran, krusta
hemoragik yang berwarna kehitaman yang tebal serta timbul hipersaliva. Akibat kelainan ini,
pasien mengalami kesulitan menelan. Kelainan ini juga mengenai laring dan saluran
pernafasan bagian atas dengan gejala gangguan pernafasan serta esofagus. Kelainan pada
hidung berupa rhinitis disertai dengan epistaksis dan pembentukan krusta. Kelainan anus
jarang ditemukan.

Gambar 2. Konjuntivitis Kataralis.

Kemudian kelainan pada selaput mata dan mata, 80 % kasus SJS ditemukan kelainan
selaput lendir mata. Kelainan ini paling sering ditemukan adalah konjunctivitis kataralis.
Disamping itu juga dapat terjadi konjungtivitas pururlen. Kelainan dapat mengenai kornea
yang menimbulkan erosi, perforasi, ulkus, kekeruhan dan mengakibatkan terjadinya
kebutaan. Selain itu dapat juga menimbulkan irirtis, uveitis, kekeruhan dan disertai dengan
iridosiklitis dan udem palpebra.2
Disamping kelainan-kelainan diatas , juga ditemukan kelainan pada kuku berupa
onikulosis, kelainan organ tubuh lain seperti saluran pencernaan, ginjal berupa nefritis dan
hati.
Komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari SJS ini adalah bronkopneumonia yang
dapat mengakibatkan kematian dan ditemukan sebanyak 16 %. Komlplikasi lain yang dapat
timbul adalah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan elektrolit, sepsis, syok,
simblefaron, ektropion, kekeruhan kornea dan kebutaan.
Terapi
Obat yang tersangka sebagai kausanya segera dihentikan, termasuk jamu dan aditif.
Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus
diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat-inap. Penggunaan obat
kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara
intravena dengan dosis per-mulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat
diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas, maka berikut ini diberikan contoh. Seorang
pasien SSJ yang berat, harus segera dirawat-inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv.
Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan
tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera
diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu
diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison, yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 20 mg sehari; sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.2

Selain deksametason dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara.


Kelebihan metilprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk

golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikosteroid
dalam waktu singkat pema-kaian kedua obat tersebut tidak banyak perbedaan mengenai efek
sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ ialah
eksogen (alergi), jadi berbeda dengan penyakit autoimun (endogen), misalnya pemfigus.
Bila tapering off tidak lancar hendaknya dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotik yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. 2
Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus). Jadi
kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik ialah kulit tempat
akan diambil darah dikom-pres dengan spiritus dilutus dengan kasa steril selama Vx jam
untuk menghindari kontaminasi. 2
Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina
yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang
seharusnya tetap diturunkan. 2
Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang,
karena itu harus diberikan antibiotik untuk mencegah ter-jadinya infeksi, misalnya
bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang dipilih, hendaknya
yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak atau
sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotik yang akan diberikan jangan yang segolongan atau
yang rumusnya mirip dengan antibiotik yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah
sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg
iv. Klindamisin, meskipun tidak berspektrum luas sering kami gunakan karena juga efektif
bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya
seftriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1 . Hendaknya diingat obat tersebut akan
memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotik beta
laktam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam
dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolik. Setelah seminggu diperiksa pula
kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan KCI 3 x 500 mg per
os. 2
Hal yang perlu diperhatikan ialah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan
nutrisi, tertebih-lebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
dekstrose 5%, NaCI 9% dan laktat Ringer berbanding 1 : 1 : 1 dalam 1 labu yang diberikan
8 jam sekali. 2

Jika dengan terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari,, maka dapat
diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah
(whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi
buruk, setelah diberi transfusi leukosit cepat menjadi normal. 2
Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya
tahan.
Jadi indikasi pemberian transfusi darah pada SSJ dan NET yang dilakukan di bagian
kami ialah : 2
1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada
perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg sehari.
2. Bila terdapat purpura generalisata.
3. Jika terdapat leukopenia.
Tentang kemungkinan terjadinya polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena
pemberian darah untuk transfusi hanya selama 2 hari. Hb dapat naik sedikit, namun cepat
turun.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit C 500 mg atau 1000
mg sehari iv.
.Terapi topikal tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan ekskoriasi dapat
diberikan krim sulfodiazin-perak (lihat bab mengenai "Nekrolisis Epidermal Toksik"). Untuk
lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase dan betadine gargle. Untuk bibir yang
biasanya kelainannya berupa krusta tebal kehitaman dapat diberikan emolien misalnya krim
urea 10%.2

Prognosis
Lesi individu biasanya akan sembuh dalam waktu 1-2 minggu, kecuali terjadi infeksi
sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa. Kematian ditentukan terutama oleh
tingkat peluruhan kulit. Ketika luas permukaan tubuh (BSA) yang melepuh kurang dari 10%,
tingkat kematian adalah sekitar 1-5%. Namun, ketika lebih dari 30% BSA , angka kematian
adalah antara 25% dan 35%, dan mungkin setinggi 50%. Bakteremia dan sepsis tampaknya
memainkan peran utama dalam peningkatan mortalitas.

Jika dilakukan tindakan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila
terdapat purpura yang luas dan leucopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum
yang buruk dan terdapat bronkopneumonia penyakit ini dapat mendatangkan kematian. 2

Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan gejala-gejala serta pemeriksaan fisik dari pasien yang
datang dengan keluhan lepuh pada beberapa bagian badannya maka diagnosis yang dipilih
pada keadaan pasien ini adalah terjadinya erupsi obat sulfa yang menyebabkan Steven
Johnson Syndrome

Daftar Pustaka
1. Metry DW, Jung P, Levy ML. Use of intravenosus immunoglobuline in children with
Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis : seven cases and review of
literature. Pediatrics 2003;112:1430-6.

2.

Djuanda A (editor), et al. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI,
2013.h.163-5

3.

Hllgren J, Tengvall-Linder M, Persson M, Wahlgren CF. Stevens-Johnson syndrome


associated with ciprofloxacin: a review of adverse cutaneous events reported in Sweden
as associated with this drug. J Am Acad Dermatol. Nov 2003;49(5 Suppl):S267-9.

4.

Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga; 2005.h.81

5. Vera LS, Gueudry J, Delcampe A, et al. In vivo confocal microscopic evaluation of


corneal

changes

in

chronic

Stevens-Johnson

necrolysis. Cornea. May 2009;28(4):401-7.

syndrome

and

toxic

epidermal

Anda mungkin juga menyukai