Anda di halaman 1dari 13

Saintrion

Chapter 0 : The Fall of The Light

Dingin.
Dia tak mampu lagi berdiri, karena kedua tangan dan kakinya patah. Darah merah
segar yang bercampur dengan keringat di sekucur tubuhya, kini mengering. Air matanya tidak
dapat keluar, meskipun hatinya merasakan kepedihan atas kematian kaumnya. Ia mengutuk
dirinya berkali-kali akibat kegagalannya melindungi nyawa mereka. Gelar kehormatan yang
ia emban, hanya menjadi bahan cemoohan musuh. Rasa malunya melebur bersama
kesedihan. Seakan dirinya tidak berhak menerima sebuah ampunan. Dosanya terlampau besar
daripada rasa sakit di badannya. Bahkan, kematian menjadi lelucon sarkas baginya.
MarkusAndre. (Saya enggak tau nama temen2nya, isi sendiri aja :v)
Masih terlihat jelas di memorinya akan masa-masa yang indah bersama kedua
sahabatnya. Berlatih bersama, bertarung bersama, sampai bersenang-senang setiap waktu.
Kekonyolan masa kecil dengan mereka membuat hati kecilnya berteriak. Ia ingin sekali
mengulang kenangannya. Ia ingin mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Namun, apa
daya semua kenangan itu hanyalah ilusi. Sebuah janji kecilnya kepada sahabatnya, belum
sempat ia wujudkan. Berat baginya meninggalkan dunia dengan rasa penyesalan. Tinggal
sebuah kekosongan yang menemaninya.
Pantaskah aku menerima ini semua, Dewa? Akan aku bawa kemana wajahku? Aku
ini telah berdosa, aku ini telah gagal. Aku malu memperlihatkan ruhku di hadapanmu. Aku
kehilangan mereka. Aku merenggut nyawa mereka dengan kelemahanku. Bodohnya aku
yang lalai menjaga sumpahku., ungkapnya berkecambuk dalam hati.
Matanya perlahan menutup, nafasnya mulai hilang, dan beberapa inderanya berhenti
bekerja. Bau busuk menyengat di segala sisi. Genangan darah yang semakin mengering,
mayat-mayat berserakan dengan organ yang tercerai-berai, juga kerumunan binatang dan
serangga pemakan bangkai, menghiasi detik-detik kematiannya. Seolah, inilah kematian
terbaik baginya. Ia tak dapat lagi menebus kesalahannya. Ia tak dapat lagi menikmati hari
esok.

Maafkan akuayahibuaku pulang..


1
Beberapa meter darinya, terdengar deru dan derap langkah kaki pasukan berarmor
hijau tua bersenjata lengkap datang menghampirinya. Dalam keterpurukannya, ia tidak
mampu untuk melawan bahkan menggerakkan setiap ujung tubuhnya sedikitpun tatkala
sekumpulan pasukan bersenjata itu mengikat setiap bagian tubuh gadis belia tersebut dengan
rantai. Ia tak berdaya untuk memberontak perlakuan mereka terhadap dirinya. Hingga tanpa
sadar, dirinya sudah berada dalam ruangan sempit dan hampa udara.
Sementara itu, seorang pemuda rupawan berambut perak sedang mengamati setiap
inci dari lekuk tubuh gadis belia dari luar peti kemas. Tiada perasaan jijik ataupun malu
melihat tubuh yang sudah tidak nyaman dipandang. Rencana hebat di otaknya terlalu besar
dibandingkan dengan logikanya. Sebuah rencana yang ditujukan kepada gadis tersebut.
Meskipun, gadis itu pernah ada di dalam masa lalunya.
Maafkan aku. Ini semua demi kebaikan bersama., ungkapnya dalam hati, ketika
membelai wajah sang gadis.
##
6 November 2006 Pekalongan, Jawa Tengah
Pergi kau! Kaki kotormu menginjak lantai kedaiku! Dasar pengemis!, umpatan
seorang penjual mie ayam kepada seorang anak gelandangan. Rasa amarahnya memuncak
sampai melupakan naluri kemanusiaannya. Ia enggan peduli terhadap perasaan anak kecil itu
yang sedang kelaparan. Emosi sudah terlanjur menguasai jiwanya. Ia lalu mengusir anak
tersebut dengan menyiramkan air kuah kaldu panas ke hadapannya.
Aaaah!
Sang anak yang kesakitan, akhirnya berlari meninggalkan lapak pedagang makanan
itu. Meskipun rasa sakit akibat guyuran kuah panas, tidak sebanding dengan rasa malunya
ketika diusir.
Ia berlari sekuat tenaga tanpa tahu arah tujuan. Ia menangis dan merintih kesakitan.
Rasa lapar yang sudah tiga hari ia tahan, ditambah guyuran air mendidih, melengkapi
penurunan kesadarannya. Jelas terlihat wajahnya merah lebam melepuh karena air panas tadi,

ditambah dengan mulut yang sering batuk-batukan dan tubuh yang kering kerontang, seakanakan malaikat kematian selalu menghantuinya sepanjang dia berjalan Ia terjatuh akibat
tersandung lubang jalan, hingga wajahnya menghantam tong sampah. Sisa-sisa makanan
warung setempat berhamburan di jalanan sempit tersebut. Walaupun hidungnya berdarah
akibat tabrakan, gadis kecil itu berusaha bangkit dengan merangkak menghampiri tumpukan
sampah yang berbau tajam.
2
Makanmakanakulapar., celotehnya dengan mulut penuh darah dari
hidungnya.
Pakaiannya yang lusuh, kusut, penuh dengan tambalan kain dan robekan, kini harus
bercampur dengan debu-debu aspal jalan. Tubuhnya yang kotor, penuh dengan luka, berbau
menyengat, kini menjadi bahan kerumunan lalat tong sampah. Namun, ia tak mempedulikan
kondisinya sekarang. Dibenaknya hanya memenuhi hasrat laparnya saja. Dengan penuh susah
payah, ia menghampiri sisa-sisa makanan itu. Persetan dengan jijiknya tong sampah. Yang
penting makan.
Setelah ia sampai diantara tumpukan sampah, ia langsung memakan nasi, tulangtulang ayam, tulang ikan, daging, maupun sayuran bekas yang ada di hadapannya.
Nyammmnyammm....
Kedua tangan mungilnya bergantian memasukkan makanan-makanan itu. Bak seperti
mendapatkan hadiah, ia menelan semuanya. Ia merasa sangat bahagia. Ia sangat menikmati
momen indah tersebut. Momen yang ia tunggu dari dua hari lalu. Sekarang, perutnya tidak
lagi bersuara.
Akan tetapi, tak jauh dari tempatnya berada, terdengar langkah-langkah kaki seorang
ibu rumah tangga tambun berceremai sambil membawa sapu lidi. Diayunkannya sapu lidi
tersebut ke punggung sang gadis yang sedang asyik melahap makanan sisa.
[PLAK!]
Rupanya ini ulahmu! Dasar pengemis tidak tahu diri! Lihat perbuatanmu! Sampahsampah menjadi berserakan! Menjijikannya kamumasih mau memakan sampah-sampah
itu! Pergi kamu dari kediamanku!, bentaknya sambil mengumpat.

Hnggg!! meski punggungnya dipukul berkali-kali, anak itu mencoba bertahan


dan terus menyuapkan makanan sisa itu ke mulutnya. Bekas ayunan sapu lidi itu terlihat jelas
di punggung kecilnya yang hanya tertutup sehelai kain rombeng, memperlihatkan luka
barunyadan luka-luka lama yang tak terhitung jumlahnya. Melihat kelakuannya membuat
sang ibu rumah tangga makin tersulut emosinya.
Berani ya?! Berani kau, dasar anak sialan! Sampah masyarakat! sapu lidi itu makin
keras dan cepat dia pukulkan pada anak itu dengan sebersit senyum picik di bibirnya,
Kenapa kau tidak mati saja, hah?! Setan kecil sepertimu hanya mempersempit dunia dan
menyusahkan orang-orang baik seperti kami!
Aaaargh!
Tak kuat menahan kesakitan, ia bergegas melarikan diri dari serangan wanita tambun
tersebut. Walau, ia belum menyelesaikan kunyahannya. Ia belum sempat menhabiskan makan
siangnya tadi. Perut yang belum sepenuhnya terisi, tenaga yang belum sepenuhnya pulih,
harus ia gunakan untuk berlari. Nasibnya setara dengan kucing rumahan.
##
Ia terus berlari tanpa arah tujuan. Demikian keseharian gadis kecil yang baru genap
berusia 5 tahun tersebut. Ia tak memiliki tempat untuk berlindung.
3
Hidup sendiri di jalanan, tidur di kolong jembatan, bahkan di persimpangan jalan. Setiap
harinya ia hanya mencari sesuap nasi dan seteguk air.
Pernah ia diasuh oleh seorang kakek tua tunawisma yang sering mangkal di Jalan
Urip Sumohardjo, Kota Pekalongan. Namun, bocah malang itu selalu disiksa tatkala ia
menolak ajakan si kakek untuk bersetubuh. Padahal usianya baru menginjak 3 tahun.
Meskipun, tidak jarang dirinya pasrah dengan perlakuan sang kakek pedofilia tersebut.
Jengah dengan perlakuan si kakek, ia melarikan diri sejauh mungkin ketika si kakek tertidur
pulas. Akan tetapi, penderitaan gadis itu belum berakhir. Ia juga sering menjadi pelampiasan
nafsu oleh preman-preman pasar, maupun tukang bejak. Lagi-lagi, jika ia menolak, maka
habislah nyawanya.

Akibat kejadian itu, ia enggan berdekatan dengan siapapun. Ia mengalami trauma


akut. Ia takut diperlakukan hal yang sama berulang kali. Sakit yang luar biasa, harus ia
tanggung sendiri. Belum lagi, ia sering dicaci maki oleh orang lain dan anak-anak sebayanya.
Dia anak jin! Jangan dekat-dekat dia nak! Dia berambut biru!, teriakan salah
seorang ibu-ibu pengajian, mencegah anak-anaknya bermain dengan gadis itu.
Anak anehanak anehanak aneh., kicauan bocah-bocah taman kanak-kanak.
Walaupun ia sendiri tak memperdulikan, lantaran ia belum mengerti tentang kosa kata
bahasa jawa dialek Pekalongan. Namun, tindakan dari masyarakat di sekitarnya yang selalu
menghindari kehadirannya, membuat hatinya terluka. Ia ingin sekali bermain bersama anakanak seusianya. Wajar, bila ia ingin berteman dengan anak-anak sebayanya. Tapi, perlakuan
masyarakat yang selalu heboh dengan keanehan, kemudian mengaitkan dengan hal mistis,
lalu disimpulkan asal-asalan, membuat peran gadis mungil tersebut di lingkungan sosialnya
menjadi terkucilkan.
Parahnya, ia pernah diculik oleh sekelompok orang untuk didagangkan ke lokalisasi.
Tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan kawanan pemuda bertubuh jangkung tersebut.
Teriakan juga tangisannya tidak digubris oleh siapapun. Agar meredamkan perlawanannya,
mereka segera membiusnya. Supaya, aksi mereka tidak ketahuan siapapun, apalagi diendus
oleh pihak berwajib. Beruntung, nasibnya selamat. Ketika siuman, ia sudah berada di Jalan
Raya Sapugarut, Kota Pekalongan bagian selatan. Hidupnya berlanjut sampai sekarang.
4
##
Ia berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya. Sudah cukup jauh dan lama ia berlari
menghindari amukan ibu tambun tersebut. Tenaganya yang baru saja terisi, seakan ia
hamburkan kembali disaat berlari. Padahal, ia belum menyelesaikan makan siangnya. Terik
panas matahari yang membakar ujung kepala, juga membuat staminanya menurun.
Tidak jauh dari matanya memandang, ia melihat seorang anak laki-laki tambun
berseragam taman kanak-kanak, berusia sepantarannya, sedang asyik menikmati es krim.
Jajanan itu sungguh memikat pandangannya serta perutnya. Ingin rasanya ia juga menikmati
es krim tersebut. Namun, ia takut jika harus menghampirinya. Meskipun, ia sangat
menginginkannya. Tatapan matanya terfokus pada benda itu.

Makanmakan., gumamnya sambil memandangi es krim.


Merasa tak nyaman dipandang terus-menerus oleh orang asing. Bocah laki-laki itupun
menjadi kesal. Alih-alih hendak mengusir orang asing tersebut, ia lalu berunding dengan
kawan-kawan seangkatannya. Cukup hitungan 5 detik, mereka langsung mengeksekusi
rencana sederhana mereka.
Pergi kamu! Pergi kamu pengemis! Pergi yang jauh dari tempat kami! Jangan datang
ke TK kami lagi! Kamu aneh!, teriakan mereka sambil melempari gadis cilik di depannya
dengan batu kerikil.
Sang gadis menangkis serangan mereka hanya dengan tangan terbuka. Akan tetapi, ia
tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Lapar di perutnya, membuatnya bertahan. Walau,
tubuhnya kesakitan, karena dirajam. Ia bersikukuh tetap berada di posisinya saat ini.
Budeg ya wooobudeg kamu wooo, ujar mereka semakin kesal.
Ayo teman-teman! Kita keroyok dia!, teriak salah seorang dari mereka
mengkomando.
Ayooo!!!.
Mereka serentak berlari menghampirinya. Mereka menghujaninya dengan pukulan
dan tendangan seribu bayangan.
5
Kedua tangan mungil gadis itu hanya mampu melindungi wajahnya. Sisanya, tubuhnya harus
merasakan serangan mereka bertubi-tubi. Ia merintih kesakitan. Air matanya membasahi
pipinya. Teriakannya pun tidak mereka gubris. Mereka berpikir dengan cara seperti ini, ia
akan pergi dari adapan mereka.
Rasakan ini! Pergi kamu!, bentak mereka sambil tetap menyerangnya.
Tubuh kecil gadis itu seperti tak mampu menahan semua serangan anak-anak sebaya
yang mengeroyoknya itu dan dia pun ambruk. Tetapi seakan melihat kesempatan emas, anakanak itu makin keras menendangi gadis gelandangan itu meski dari mulut dan hidungnya tak
henti mengeluarkan darah. Beberapa anak malah mengambil batu-batu besar dan

ditimpakannya pada tubuh tak berdaya itu. Sang gadis kecil hanya bisa pasrah meski tak
jarang dia memuntahkan seluruh isi perutnya dan dilanjutkan dengan muntah darah.
Kesadarannya mulai hilang. Kelopak matanya mulai sayu. Tubuhnya ambruk ke tanah
dengan memar-memar di sekucur badannya. Ia sangat kesakitan. Ia juga sangat kelelahan.
Tenaganya sedikit demi sedikit mencapai titik nol. Seakan di sinilah akhir perjalanan
hidupnya. Perjalanan hidup yang tanpa makna kebahagiaan. Kebahagiaan bisa berkumpul
dengan keluarga, tertawa lepas, riang-gembira bersama kawan-kawan sebayanya, seperti di
dongeng-dongeng klasik, seakan cuman mimpi dan ilusi semata. Melihat hari esokpun ia tak
tahu. Ia tak mampu bangkit kembali.
Namun, dalam ketidakberdayaannya, sang gadis belia merasakan sesuatu dalam
tubuhnya. Ia merasakan detak jantung yang alunannya merdu. Semerdu tempo aliran bumi. Ia
tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah ia sudah dihabisi oleh gerombolan
siswa-siswa TK tersebut? Bukannya tenaganya sudah mencapai titik nol? Kenapa ia mampu
merasakan detak jantung yang alunannya semerdu simfoni alam ini? Segelintir pertanyaan
datang di pikiran dan hatinya.
Ia lalu merasakan kehangatan. Kehangatan yang belum pernah ia rasakan seumur
hidupnya. Kehangatan seseorang yang seharusnya ada di dalam hidupnya. Ia merasa sangat
nyaman, ia damai dalam kehangatan itu, dan ia hanyut dalam ketenangan. Ia tak ingin
melepasnya. Tidak akan pernah. Ia ingin selalu memiliki kebahagiaan ini.
Uuu, gumamnya mencoba membuka matanya.
Di depan matanya terlihat samar-samar seseorang berkerudung merah. Wajahnya
terlihat putih cerah, sebening kristal salju. Sepertinya, ia sangat menawan. Akan tetapi, sebab
kesadaran gadis kecil itu belum sepenuhnya pulih. Ia belum mampu menggambarkan dengan
jelas sosok perempuan macam apa yang sedang bersamanya.
Cupcupcup. Maaf jika aku membangunkanmu, nak., nasihatnya menenangkan.
6
Sang gadis mungil tersebut hanya mampu terdiam. Ia membisu seribu bahasa. Tak ada
kata atau frasa yang dapat menggambarkan perasaannya. Ia hanyut dalam buaian
kenyamanan. Matanya terpejam kembali, kemudian menikmati pelukan wanita berkerudung

merah itu. Ia menikmati setiap langkahnya, setiap hembusan nafasnya, detak jantungnya,
serta kehangatan tubuhnya. Kemanapun ia akan dibawa, ia rela.
##
Voxelf! Jangan gegabah! Mustahil kau menghabisi mereka semua!.
Mereka

telah

membunuh

keluargaku!

Teman-temanku!

Bahkan

telah

menghancurkan masa depanku!.


VOXELF! JANGAN! KEMBALILAAAHHH!.
[Duuuaaarrr]
Gadis kecil itu terbangun dari mimpinya. Matanya terbelalak lebar, hingga keringat
dingin membasahi sekucur tubuhnya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Nafasnya tidak
teratur. Bahkan bayangan mimpi tersebut, masih terbayang jelas di pikiran dan matanya.
Hahhahhah., desahan nafasnnya, sambil mengusap-usapkan kedua telapak
tangannya ke wajahnya
Mimpi itu belum pernah ia temui sebelumnya. Sekilas isinya menceritakan tentang
sosok ksatria wanita yang sedang berada di medan pertempuran. Ia berlari untuk melawan
seseorang. Tetapi, salah seorang sahabatnya melerainya bertarung. Dan, adegannya berakhir
dengan sebuah ledakan yang membangunkan sang gadis kecil itu. Cukup aneh gambarannya,
pasalnya, baru kali ini ia memimpikan peristiwa itu.
Seakan belum selesai, ia dikejutkan kembali dengan suasana di sekitarnya. Di
matanya terpampang sebuah ruangan bertembok putih dan berpintu coklat dengan dua
ventilasi di atasnya. Tak jauh dari sisi kiri pintu tersebut, terdapat lemari dua pintu, berbahan
jati dengan hiasan warna kayu. Di ujung paling kanan ruangan, terdapat sebuah jendela
berteralis besi, dengan 4 daun jendela yang masing-masing memiliki lubang udara bergarisgaris. Jendela itu terbuka lebar, menampilakan pemandangan teras halaman yang berhiaskan
aneka tanaman.
7
Angin sepoy-sepoy bersirkulasi memenuhi isi ruangan. Sungguh, ia merasa asing dengan
panorama itu.

Eh, ia melengguh melihat kondisinya. Ia sedang berada di atas kasur berwarna


putih. Pakaian lusuh dan kotornya berganti menjadi kemeja lengan panjang yang satu stel
dengan rok berwarna putih nan bersih. Rambutnya yang terurai, kini berkepang rapi. Kulit
tubuhnya juga bersih serta beraroma menyegarkan. Meskipun, masih ada beberapa luka,
namun tidak ada darah sama sekali. Ia tampak memikat hati. Kondisi tubuh juga
lingkungannya sangat kontradiktif dengan masa lalunya.
Ia lalu menatap ke arah jendela. ia terpana dengan makluk kecil bersayap indah
sedang menghisap nektar di bunga matahari. Sayap-sayap warna biru langit, yang sangat
cocok bila dipadukan dengan warna lingkungannya. Ia mengamati serangga itu dengan
seksama. Ia belum pernah melihat serangga secantik itu sebelumnya. Akan tetapi, sang kupukupu terbang menjauh dari pandangannya. Walaupun hatinya sedikit kecewa, ia tetap senang
melihatnya terbang.
Hmmm, gumamnya tersenyum.
[Tok!] [Tok!] [Tok!]
Suara ketukan pintu mengagetkan lamunannya. Ia menoleh ke arah pintu dengan
perasaan berdebar-debar. Siapakah dia? Mau apa dia? Apa yang hendak ia lakukan? Kenapa
ia hendak kemari? Segelintir pertanyaan tersebut membuat bulu kuduknya berdiri. Rasa
traumanya mendadak muncul menguasai pikirannya. Ia takut akan ada hal buruk menimpa
dirinya.
Daun pintu perlahan turun serta pintu kayu berwarna coklat itu mulai terbuka lebar.
Denyut jantungnya bertempo melebihi langkah kaki seseorang yang hendak memasuki kamar
tersebut. Akan tetapi, ia terlalu lemah jika harus beranjak dari tempat tidurnya. Meski
demikian, ia amat ketakutan. Ia melihat sosok berpakaian warna merah, tampak melangkah
memasuki ruangan.
Errr, gerutunya dengan mata terbelalak, juga keringat dingin membasahi
keningnya.
8
Setelah sosok itu berhasil memasuki kawasannya, ternyata ia adalah seorang wanita
muda cantik berkerudung merah.

Ah, ternyata kamu sudah bangunhmm., ujar wanita itu tersenyum.


Aura wanita berhijab merah tersebut, sangat familiar. Wanita itu seakan
menentramkan hatinya. Perasaan takutnya seakan terhapus oleh paras manisnya. Denyut
jantungnya perlahan stabil, walau keringat dingin masih memenuhi dahinya. Agaknya, ia
datang dengan membawa sebuah mangkuk plastik berwarna biru muda.
Maaf kalau saya membangunkanmuini saya buatkan bubur untukmu. Saya suapin,
ya?, katanya sambil berjalan mendekati gadis kecil tersebut. Wanita itu duduk di sebelah
kanannya sambil mengaduk-aduk bubur yang masih hangat. Ia mengambil bubur seukuran
sendok teh untuk disuapkan ke mulutnya.
Tapi bukannya membuka mulut, sang anak malah membantingkan mangkuk bubur
yang sudah susah payah dibuat oleh wanita itu. Dia belum paham akan konsep kebaikan
dalam diri manusia, dan hanya berfokus pada bertahan hidup sendiri. Hatinya terlalu beku
untuk menerima kehangatan yang ditawarkan sang wanita berkerudung merah, mengingat
orang-orang yang pernah dia temui hanya ingin memanfaatkan atau memukulinya tanpa
kecuali. Dia berlari ke ujung ruangan sambil jongkok memeluk erat lututnya sembari
memandang tajam wanita yang memberinya bubur itu.
Ah, piringnya pecah. tanpa memperlihatkan kemarahan ataupun kebencian,
wanita itu mengambil pecahan-pecahan piring yang terjatuh tadi. Sesekali jarinya tersayat
pecahan piring, tetapi dia tetap mengambilnya tanpa mengeluh.
Kamu belum mau makan ya? Ya sudah sekarang istirahat dulu ya. tak ada raut muka
penuh kebencian yang biasa gadis itu lihat, yang ada hanya senyuman lembut yang
membekas di hatinya. Dia hanya terdiam di pojok ruangan itu sambil tetap memeluk kedua
lututnya.
Keesokan harinya sang wanita membawakannya lagi makanan, kali ini nasi goreng.
Tetapi lagi-lagi ditolak oleh anak itu yang lantas melempar piringnya ke lantai. Wanita itu
pun memunguti lagi pecahan piring yang berserakan. Tetapi senyumnya tak dia lepaskan
sepanjang dia berada di ruangan itu. Hal itu terjadi berkali-kali, berhari-hari. hingga suatu
hari, sang anak menyadari tangan sang wanita dipenuhi plaster karena luka sayatan dari
pecahan piring yang dia buat. Namun tak ada rasa dendam terpancar dari wanita itu, malah
senyumnya bertambah cerah, hari demi hari.

Aaaayo dibuka mulutnya, perintah sang wanita sambil membuka mulutnya,


seperti biasa. Sang gadis akhirnya mengikuti langkahnya.
Aaaummmnyammmnyammm..
Bagaimana? Enak?. Tanyanya tersenyum.
Tiada satu katapun keluar dari mulut sang gadis kecil. Ia membisu seribu bahasa.
Makanan tersebut begitu enak dan lezat. Baru kali ini, ia makan makanan sesedap itu. Ia tak
mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca, hingga
tidak terasa air matanya turun membasahi pipinya.
Lhokok nangis? Tidak enak ya, makanannya? Cupcupcup., ujar wanita
tersebut memeluk tubuh mungil gadis itu.
Hangat pelukannya semakin membuatnya menangis. Ia meluapkan semua emosinya
melalui tangisannya. Seperti merasakan, ada sesuatu yang menyentuh kesunyiannya. Sesuatu
yang melengkapi hidupnya. Linangan air matanya adalah jawaban atas semua kebaikan yang
wanita itu berikan.
Uuuuu!!! UWAAA!!!, terikan tangisannya lepas.
Aduuuhhhcupcupcuptenanglah, nak..
9
UWAAA!!!, teriakannya memeluk tubuh wanita tersebut. Pelukannya semakin kuat
serta tangannya meremas pakaian milik wanita itu.
Cupcupcuptenanglah., ujar sang wanita menenangkan, sambil mengusap air
mata sang gadis kecil.
Sore itu bagaikan hujan di dalam rumah. Sang gadis kecil seperti melunasi hutang
penderitaannya sendiri. Penderitaan yang sudah ia lakoni beberapa tahun lalu, seolah terbayar
sudah. Semua penderitaan hidupnya terhapuskan oleh semangkuk bubur dan hangatnya
pelukan. Bak pelukan seorang ibu kepada anak kesayangannya.
##

Nama saya, Siti Hajar. Kamu boleh memanggil saya dengan kata ibu atau Ibu Siti
Hajar., ujar wanita berhijab merah itu.
Iibu., gumamnya.
Hatinya bergetar. Batinnya berteriak keras, tak menyangka akan mempunyai
kesempatan untuk mengucapkan kata itu. Dia sudah melihat puluhan orang tua dengan
anaknya, dan betapa besar kasih sayang yang mereka curahkan untuk buah hatinya itu. Ingin
rasanya dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, namun dia sadar itu tak mungkin
terjadi. Dan seakan mukjizat yang terkabul, ia akhirnya bisa memanggil ibu.
Ibu air matanya mulai berlinang. Dia kepal erat kedua tangannya, berharap
sekuat tenaga ini bukanlah sebuah mimpi di siang bolong.
Iya nak? jawaban hangat dari wanita yang dipanggilnya ibu meyakinkannya bahwa
ini bukanlah mimpi. Air mata makin mengalir membasahi pipi gadis kecil itu.
Ibuuuu!! ia peluk erat ibu barunya itu, tak ingin dia lepaskan. Kehangatan yang
nyata ini telah lama dia idam-idamkan, dan akhirnya doanya terkabul. Bila Tuhan memang
ada ingin ia lantunkan beribu doa ucapan terima kasih atas apa yang telah Ia berikan padanya.
Cup cup cupjangan nangis lagi ya, ibu ada disini. belaian lembut ibunya mekin
menambah erat pelukan sang anak.
Ibu Senyumnya merekah cerah meski dia belum menghentikan tangisnya.
Iya, naklalu, apakah kamu punya nama? siapa namamu, nak?, tanya Siti Hajar
lagi.
Ia hanya terdiam.
Apakah kamu punya orang tua?.
Ia tetap terdiam
Baiklah, kalau begitubolehkah ibu memanggilmuGendhis?, tanya Siti Hajar
terhentak hatinya. Separuh dari masa lalunya teramat menyakitkan. Pasalnya, nama itu adalah
nama bayi perempuannya yang meninggal sewaktu ia berada di rumah sakit. Jika, anak itu
masih hidup, usianya sebaya dengan gadis kecil yang ada di hadapannya. Sosok gadis kecil
tersebut mengingatkannya akan bayi kesayangan satu-satunya.

Sang gadis tidak membalas pertanyaan Siti Hajar, namun ia memeluk tubuh Siti Hajar
kembali. Seluruh hidupnya sampai kini ia tak mempunyai nama. Dia hanya disebut sebagai
pengemis, gelandangan, dan kata-kata kotor lainnya. Tetapi ada perasaan berbeda saat ibunya
memberi nama baru pada gadis kecil itu. Seperti sesuatu yang terbebas dari dalam hatinya.
Akhirnya sang anak mempunyai sesuatu untuk mengenalkan dirinya sendiri, Gendhis. Meski
tidak mengeluarkan sepatah katapun, setidaknya pelukanya menjawab pertanyaan Siti Hajar.
10
Mulai sekarang, ibu memanggilmu Gendhis., ujar Siti Hajar membalas pelukan
tubuh gadis itu.
##
Tampak terlihat sosok pemuda berbaju hitam yang sedang duduk di kursi sofa. Ia
sedang berada dalam ruangan elit khas direktur perusahaan.
Mustahil, gumamnya mengerutkan dahinya.
Ia kemudian melihat daftar tentang suatu hal melalui layar hologramnya.
Hmmsepertinya aku terlalu berlebihan., pikirnya.
Terlihat blue print pakaian yang memiliki kode : Saintrion.
##
To be continued
11

Anda mungkin juga menyukai