Dingin.
Dia tak mampu lagi berdiri, karena kedua tangan dan kakinya patah. Darah merah
segar yang bercampur dengan keringat di sekucur tubuhya, kini mengering. Air matanya tidak
dapat keluar, meskipun hatinya merasakan kepedihan atas kematian kaumnya. Ia mengutuk
dirinya berkali-kali akibat kegagalannya melindungi nyawa mereka. Gelar kehormatan yang
ia emban, hanya menjadi bahan cemoohan musuh. Rasa malunya melebur bersama
kesedihan. Seakan dirinya tidak berhak menerima sebuah ampunan. Dosanya terlampau besar
daripada rasa sakit di badannya. Bahkan, kematian menjadi lelucon sarkas baginya.
MarkusAndre. (Saya enggak tau nama temen2nya, isi sendiri aja :v)
Masih terlihat jelas di memorinya akan masa-masa yang indah bersama kedua
sahabatnya. Berlatih bersama, bertarung bersama, sampai bersenang-senang setiap waktu.
Kekonyolan masa kecil dengan mereka membuat hati kecilnya berteriak. Ia ingin sekali
mengulang kenangannya. Ia ingin mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Namun, apa
daya semua kenangan itu hanyalah ilusi. Sebuah janji kecilnya kepada sahabatnya, belum
sempat ia wujudkan. Berat baginya meninggalkan dunia dengan rasa penyesalan. Tinggal
sebuah kekosongan yang menemaninya.
Pantaskah aku menerima ini semua, Dewa? Akan aku bawa kemana wajahku? Aku
ini telah berdosa, aku ini telah gagal. Aku malu memperlihatkan ruhku di hadapanmu. Aku
kehilangan mereka. Aku merenggut nyawa mereka dengan kelemahanku. Bodohnya aku
yang lalai menjaga sumpahku., ungkapnya berkecambuk dalam hati.
Matanya perlahan menutup, nafasnya mulai hilang, dan beberapa inderanya berhenti
bekerja. Bau busuk menyengat di segala sisi. Genangan darah yang semakin mengering,
mayat-mayat berserakan dengan organ yang tercerai-berai, juga kerumunan binatang dan
serangga pemakan bangkai, menghiasi detik-detik kematiannya. Seolah, inilah kematian
terbaik baginya. Ia tak dapat lagi menebus kesalahannya. Ia tak dapat lagi menikmati hari
esok.
ditambah dengan mulut yang sering batuk-batukan dan tubuh yang kering kerontang, seakanakan malaikat kematian selalu menghantuinya sepanjang dia berjalan Ia terjatuh akibat
tersandung lubang jalan, hingga wajahnya menghantam tong sampah. Sisa-sisa makanan
warung setempat berhamburan di jalanan sempit tersebut. Walaupun hidungnya berdarah
akibat tabrakan, gadis kecil itu berusaha bangkit dengan merangkak menghampiri tumpukan
sampah yang berbau tajam.
2
Makanmakanakulapar., celotehnya dengan mulut penuh darah dari
hidungnya.
Pakaiannya yang lusuh, kusut, penuh dengan tambalan kain dan robekan, kini harus
bercampur dengan debu-debu aspal jalan. Tubuhnya yang kotor, penuh dengan luka, berbau
menyengat, kini menjadi bahan kerumunan lalat tong sampah. Namun, ia tak mempedulikan
kondisinya sekarang. Dibenaknya hanya memenuhi hasrat laparnya saja. Dengan penuh susah
payah, ia menghampiri sisa-sisa makanan itu. Persetan dengan jijiknya tong sampah. Yang
penting makan.
Setelah ia sampai diantara tumpukan sampah, ia langsung memakan nasi, tulangtulang ayam, tulang ikan, daging, maupun sayuran bekas yang ada di hadapannya.
Nyammmnyammm....
Kedua tangan mungilnya bergantian memasukkan makanan-makanan itu. Bak seperti
mendapatkan hadiah, ia menelan semuanya. Ia merasa sangat bahagia. Ia sangat menikmati
momen indah tersebut. Momen yang ia tunggu dari dua hari lalu. Sekarang, perutnya tidak
lagi bersuara.
Akan tetapi, tak jauh dari tempatnya berada, terdengar langkah-langkah kaki seorang
ibu rumah tangga tambun berceremai sambil membawa sapu lidi. Diayunkannya sapu lidi
tersebut ke punggung sang gadis yang sedang asyik melahap makanan sisa.
[PLAK!]
Rupanya ini ulahmu! Dasar pengemis tidak tahu diri! Lihat perbuatanmu! Sampahsampah menjadi berserakan! Menjijikannya kamumasih mau memakan sampah-sampah
itu! Pergi kamu dari kediamanku!, bentaknya sambil mengumpat.
ditimpakannya pada tubuh tak berdaya itu. Sang gadis kecil hanya bisa pasrah meski tak
jarang dia memuntahkan seluruh isi perutnya dan dilanjutkan dengan muntah darah.
Kesadarannya mulai hilang. Kelopak matanya mulai sayu. Tubuhnya ambruk ke tanah
dengan memar-memar di sekucur badannya. Ia sangat kesakitan. Ia juga sangat kelelahan.
Tenaganya sedikit demi sedikit mencapai titik nol. Seakan di sinilah akhir perjalanan
hidupnya. Perjalanan hidup yang tanpa makna kebahagiaan. Kebahagiaan bisa berkumpul
dengan keluarga, tertawa lepas, riang-gembira bersama kawan-kawan sebayanya, seperti di
dongeng-dongeng klasik, seakan cuman mimpi dan ilusi semata. Melihat hari esokpun ia tak
tahu. Ia tak mampu bangkit kembali.
Namun, dalam ketidakberdayaannya, sang gadis belia merasakan sesuatu dalam
tubuhnya. Ia merasakan detak jantung yang alunannya merdu. Semerdu tempo aliran bumi. Ia
tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah ia sudah dihabisi oleh gerombolan
siswa-siswa TK tersebut? Bukannya tenaganya sudah mencapai titik nol? Kenapa ia mampu
merasakan detak jantung yang alunannya semerdu simfoni alam ini? Segelintir pertanyaan
datang di pikiran dan hatinya.
Ia lalu merasakan kehangatan. Kehangatan yang belum pernah ia rasakan seumur
hidupnya. Kehangatan seseorang yang seharusnya ada di dalam hidupnya. Ia merasa sangat
nyaman, ia damai dalam kehangatan itu, dan ia hanyut dalam ketenangan. Ia tak ingin
melepasnya. Tidak akan pernah. Ia ingin selalu memiliki kebahagiaan ini.
Uuu, gumamnya mencoba membuka matanya.
Di depan matanya terlihat samar-samar seseorang berkerudung merah. Wajahnya
terlihat putih cerah, sebening kristal salju. Sepertinya, ia sangat menawan. Akan tetapi, sebab
kesadaran gadis kecil itu belum sepenuhnya pulih. Ia belum mampu menggambarkan dengan
jelas sosok perempuan macam apa yang sedang bersamanya.
Cupcupcup. Maaf jika aku membangunkanmu, nak., nasihatnya menenangkan.
6
Sang gadis mungil tersebut hanya mampu terdiam. Ia membisu seribu bahasa. Tak ada
kata atau frasa yang dapat menggambarkan perasaannya. Ia hanyut dalam buaian
kenyamanan. Matanya terpejam kembali, kemudian menikmati pelukan wanita berkerudung
merah itu. Ia menikmati setiap langkahnya, setiap hembusan nafasnya, detak jantungnya,
serta kehangatan tubuhnya. Kemanapun ia akan dibawa, ia rela.
##
Voxelf! Jangan gegabah! Mustahil kau menghabisi mereka semua!.
Mereka
telah
membunuh
keluargaku!
Teman-temanku!
Bahkan
telah
Nama saya, Siti Hajar. Kamu boleh memanggil saya dengan kata ibu atau Ibu Siti
Hajar., ujar wanita berhijab merah itu.
Iibu., gumamnya.
Hatinya bergetar. Batinnya berteriak keras, tak menyangka akan mempunyai
kesempatan untuk mengucapkan kata itu. Dia sudah melihat puluhan orang tua dengan
anaknya, dan betapa besar kasih sayang yang mereka curahkan untuk buah hatinya itu. Ingin
rasanya dia merasakan kehangatan pelukan orang tua, namun dia sadar itu tak mungkin
terjadi. Dan seakan mukjizat yang terkabul, ia akhirnya bisa memanggil ibu.
Ibu air matanya mulai berlinang. Dia kepal erat kedua tangannya, berharap
sekuat tenaga ini bukanlah sebuah mimpi di siang bolong.
Iya nak? jawaban hangat dari wanita yang dipanggilnya ibu meyakinkannya bahwa
ini bukanlah mimpi. Air mata makin mengalir membasahi pipi gadis kecil itu.
Ibuuuu!! ia peluk erat ibu barunya itu, tak ingin dia lepaskan. Kehangatan yang
nyata ini telah lama dia idam-idamkan, dan akhirnya doanya terkabul. Bila Tuhan memang
ada ingin ia lantunkan beribu doa ucapan terima kasih atas apa yang telah Ia berikan padanya.
Cup cup cupjangan nangis lagi ya, ibu ada disini. belaian lembut ibunya mekin
menambah erat pelukan sang anak.
Ibu Senyumnya merekah cerah meski dia belum menghentikan tangisnya.
Iya, naklalu, apakah kamu punya nama? siapa namamu, nak?, tanya Siti Hajar
lagi.
Ia hanya terdiam.
Apakah kamu punya orang tua?.
Ia tetap terdiam
Baiklah, kalau begitubolehkah ibu memanggilmuGendhis?, tanya Siti Hajar
terhentak hatinya. Separuh dari masa lalunya teramat menyakitkan. Pasalnya, nama itu adalah
nama bayi perempuannya yang meninggal sewaktu ia berada di rumah sakit. Jika, anak itu
masih hidup, usianya sebaya dengan gadis kecil yang ada di hadapannya. Sosok gadis kecil
tersebut mengingatkannya akan bayi kesayangan satu-satunya.
Sang gadis tidak membalas pertanyaan Siti Hajar, namun ia memeluk tubuh Siti Hajar
kembali. Seluruh hidupnya sampai kini ia tak mempunyai nama. Dia hanya disebut sebagai
pengemis, gelandangan, dan kata-kata kotor lainnya. Tetapi ada perasaan berbeda saat ibunya
memberi nama baru pada gadis kecil itu. Seperti sesuatu yang terbebas dari dalam hatinya.
Akhirnya sang anak mempunyai sesuatu untuk mengenalkan dirinya sendiri, Gendhis. Meski
tidak mengeluarkan sepatah katapun, setidaknya pelukanya menjawab pertanyaan Siti Hajar.
10
Mulai sekarang, ibu memanggilmu Gendhis., ujar Siti Hajar membalas pelukan
tubuh gadis itu.
##
Tampak terlihat sosok pemuda berbaju hitam yang sedang duduk di kursi sofa. Ia
sedang berada dalam ruangan elit khas direktur perusahaan.
Mustahil, gumamnya mengerutkan dahinya.
Ia kemudian melihat daftar tentang suatu hal melalui layar hologramnya.
Hmmsepertinya aku terlalu berlebihan., pikirnya.
Terlihat blue print pakaian yang memiliki kode : Saintrion.
##
To be continued
11