Oleh :
AMELIA HANDAYANI
1541012048
(Apoteker Angkatan I 2015)
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
1
KATA PENGANTAR
bismillahirrahmanirrahiim,
Puji syukur atas kehadirah Allah SWT. atas berkat, kasih dan karunianya
sehingga makalah yang berjudul PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK DAN
PEMAKAIAN ANTIBIOTIC PADA IBU HAMIL dapat selesai dengan lancar.
maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam bagaimana
mekanisme kerja masing-masing antibiotik dan pemakaiannya pada ibu hamil.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah banyak menbantu membangun gagagsan ini terutama dari Dosen
pengampu mata kuliah pharmaceutical care. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis
menurima saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhrinya penulis
mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada
umumnya dan bidang farmasi khususnya.
( AMELIA HANDAYANI )
DAFTAR ISI
Latar
Belakang
.......................................................................................................
.......................................................................................................
1.2.
1
Perumusan
Masalah
.......................................................................................................
.......................................................................................................
1.3.
2
Tujuan
.......................................................................................................
.......................................................................................................
1.4.
2
Manfaat
.......................................................................................................
.......................................................................................................
2
2.2
2.3
2.4
2.5
2.11.8 Sulfonamida........................................................................ 43
2.11.9 Eritromisin ......................................................................... 43
2.11.10 Trimetoprim ..................................................................... 43
2.11.11 Nitrofurantoin .................................................................. 44
2.12 Indeks keamanan kehamilan antibiotik............................................. 44
2.13 antibiotik yang perlu khusus ( tidak boleh untuk ibu hamil dan menyusui
.......................................................................................................... 45
2.14 Obat aman bagi kehamilan ............................................................... 47
2.15 Daftar indeks keamanan obat antibiotik untuk ibu hamil dan menyusui
.......................................................................................................... 47
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 48
3.1
Kesimpulan...................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 50
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Mikroorganisme memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi karena
mikroorganisme ini harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang besar
sehingga apabila ada interaksi yang tinggi dengan lingkungan menyebabkan
terjadinya konversi zat yang tinggi pula. Mikroorganisme bisa memberikan kontribusi
dalam Penemuan antibiotik yang telah menghantarkan pada terapi obat dan industri
obat ke era baru. Karena adanya penemuan penisilin dan produk-produk lain sekresi
fungi, aktinomiset, dan bakteri lain, maka kini telah tersedia obat-obat yang manjur
untuk memerangi penyakit infeksi bakteri.
Antibiotik digunakan dalam berbagai bentuk-masing-masing menetapkan
persyaratan manufaktur agak berbeda. Untuk infeksi bakteri di permukaan kulit,
mata, atau telinga, antibiotik dapat dite rapkan sebagai salep atau krim. Jika infeksi
internal, antibiotik dapat ditelan atau disuntikkan langsung ke dalam tubuh.
Selama kehamilan sangat sering kali ibu hamil mengalami gangguan
kesehatan sehingga membutuhkan obat. Akan tetapi ada beberapa Obat-obatan yang
dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama masa kehamilan.
Selama ini banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode
6
organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar.
Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada
janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir
(teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trimester
kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara
fungsional pada janin.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya dan
pengolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya masing-masing
2. apakah pemakaian antibiotic yang aman pada ibu hamil dan pengaruhnya
pada janin.
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui golongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya dan
penggolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya masing-masing
2. untuk mengetahui penmakaian antibiotik yang aman pada ibu hamil daan
pengaruhnya pada janin.
1.4 Manfaat
1. dapat mengetahui penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya
dan penggolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya
2. dapat mengetahui pemakaian antibiotik yang aman pada ibu
pengaruhnya pada janin.
hamil dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan dari kata
anti (lawan) dan bios (hidup). Kalau diterjemahkan bebas menjadi "melawan sesuatu
yang hidup". Antibiotika di dunia kedokteran digunakan sebagai obat untuk
memerangi infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Antibiotika adalah zat
yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat
atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara
semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak
diturunkan dari produk mikroba.
Antibiotik yang digunakan untuk membasmi mikroba, khususnya penyebab
infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif yang setinggi mungkin.
Artinya, antibiotik tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi
relatif tidak toksik untuk inang/hospes (Gan dan Setiabudy, 1987). Usaha untuk
mencari antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Produk alami yang
disentesis oleh mikroorganisme menjadi sangat penting. Praduk antikoagulan,
antidepresan, vasodilator, her4bisida, insektisida, hormon tanaman, enzim, dan
inhibitor enzim telah diisolasi dari mikroorganisme.
Penggunaan antibiotika secara komersial, pertamakali dihasilkan oleh fungi
berfilamen dan oleh bakteri kelompok actinomycetes. Daftar sebagian besar
8
golongan
eritromisin,
ini
adalah
trimetropim,
sulfonamida,
linkomisin,
tetrasiklin,
makrolida,
kloramfenikol,
klindamisin,
asam
paraaminosalisilat, dll.
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya
terbatas, yakni pada kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan
kondisi yang sangat lemah (debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi
imunologik tidak boleh memakai antibiotika bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.
2.3 Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrum kerjanya :
2.3.1 Spektrum luas (aktivitas luas) :
Antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu
bakteri gram positif dan gram negative. Contoh antibiotik dalam kelompok ini adalah
sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin.
2.3.2 Spektrum sempit (aktivitas sempit) :
Antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba
saja, bakteri gram positif atau gram negative saja. Contohnya eritromisin,
klindamisin, kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedang
streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif.
2.4 Penggunaan Antibiotik kombinasi :
10
sediaan topikal.
Untuk memperoleh potensial, misalnya sulfametoksazol dengan trimetoprim
(=
kotrimoksazol)
dan
sefsulodin
dengan
gentamisin
pada
infeksi
11
pertama yaitu Penisilin yang satu dekade kemudian dikembangkan oleh Florey dari
biakan Penicillium notatum untuk penggunaan sistemik. Kemudian digunakan P.
chrysogenum yang menghasilkan Penisilin lebih banyak.Penisilin yang digunakan
dalam pengobatan terbagi dalam Penisilin alam dan Penisilin semisintetik. Penisilin
semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia Penisilin alam atau
dengan cara sintesis dari inti Penisilin.
Beberapa Penisilin akan berkurang aktivitas mikrobanya dalam suasana asam
sehingga Penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain
hilang aktivitasnya bila dipengaruhi enzim Betalaktamase (Penisilinase) yang
memecah cincin Betalaktam.
Sifat obat
Pemerian : serbuk hablur renik, putih ,tidak berbau atau hampir tidak berbau
,rasa pahit .
Kelarutan : larut dalam 170 bagian air praktis tidak larut dalam etanol ,dalam
klorofrom ,dalam eter ,dalam aseton dan dalam minyak jamak .
Pengaruh lingkungan
Fermentasi pensilin sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi proses dan
lingkungannya. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan
penisilin ini antara lain adalah : Temperatur, pH, Sistem Aerasi, Sistem Pengadukan,
Penggunaan zat anti busa, dan upaya pencegahan kontaminasi pada medium.
12
a. Temperatur
Fermentasi untuk pembuatan penisilin akan menghasilkan produk yang
maksimum apabila temperatur operasi dijaga pada 24oC. Temperatur berkaitan erat
dengan
pertumbuhan
mikroorganisme,
karena
kenaikan
temperatur
dapat
13
pengadukan atau dengan tekanan sebesar 20 lb/in2 akan mengurangi penisilin yang
dihasilkan.
d. Pengadukan
Pemilihan jenis pengaduk dan kecepatan pengadukan yang sesuai akan
memperbaiki hasil penisilin ketika laju aerasi konstan. Kecepatan pengadukan proses
fermentasi umumnya berkisar pada range 250 500 cm/detik. Pembentukan busa
yang berlebihan selama proses fermentasi dapat dieliminasi dengan penambahan
tributinit sutrat. Secara umum, busa akan menurunkan pH apabila konsentrasinya
terus bertambah.
e. Sterilisasi
Kontaminasi dapat dihindarkan dengan cara sterilisasi sistem perpipaan,
fermentol, dan peralatan lain yang kontak langsung dengan penisilin. Uap panas
umumnya digunakn untuk sterilisasi media fermentasi dan peralatan tersebut. Zat anti
busa dan udara untuk aerasi juga hasus disterilkan terlebih dahulu sebelum
diumpankan kedalam media fermentasi (Maya, 2002).
2.5.2 Sefalosporin
Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik
Betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan
menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi
transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun garam negatif, tetapi
spektrum masing-masing derivatebervariasi.
Aktivitas sefalosporin : Daya kerja sefalosporin ialah bakterisida.
14
15
dapat mendigesti dinding sel bakteri tersebut. Dengan demikian, bakteri yang
kehilangan dinding sel maupun mengalami lisis akan mati.
Sebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan parenteral dan terutama digunakan di
rumah sakit. 1.
Generasi I, digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai
obat pilihan kedua pada infeksi saluran napas dan kulit yang tidak begitu
parah dan bila terdapat alergi untuk penisilin.
Generasi II atau III, digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten
terhadap amoksisilin dan sefalosporin generasi I, juga terkombinasi dengan
aminoglikosida (gentamisin, tobramisin) untuk memperluas dan memperkuat
aktivitasnya. Begitu pula profilaksis pada antara lain bedah jantung, usus dan
ginekologi. Sefoksitin dan sefuroksim (generasi ke II) digunakan pada gonore
(kencing nanah) akibat gonokok yang membentuk laktamase.
Generasi III, Seftriaxon dan sefotaksim kini sering dianggap sebagai obat
pilihan pertama untuk gonore, terutama bila telah timbul resistensi terhadap
senyawa fluorkuinon (siprofloksasin). Sefoksitin digunakan pada infeksi
bacteroides fragilis.
Generasi IV, dapat digunakan bila dibutuhkan efektivitas lebih besar pada
infeksi dengan kuman Gram-positif.
2.5.3. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas yang mempunyai aktifitas
bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Kloramfenikol memiliki
16
Kloramfenikol
merupakan
senyawa
fenil
propan
tersubstitusi
yang
mempunyai dua unsur struktur tidak lazim untuk bahan alam yaitu suatu gugus nitro
aromatik dan residu diklor asetil. Gugus R pada turunan kloramfenikol berpengaruh
pada aktivitasnya sebagai anti bakteri Staphylococcus aureus. Kloramfenikol
(R=NO2) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphyllococcus aureus yang
optimal.
Untuk mendapatkan senyawa turunan kloramfenikol baru dengan aktivitas optimal,
harus diperhatikan agar gugus R bersifat penarik elektron kuat dan mempunya sifat
lipofilik lemah. Turunan kloramfenikol yang mempunyai gugus trifluoro lebih aktif
daripada kloramfenikol terhadap E. coli. Turunan yang gugus hidroksilnya pada C3
terdapat sebagai ester juga digunakan dalam terapi.
Sifat Kloramfenikol
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih hingga
putih kelabu atau putih kekuningan.
17
Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etenol, dalam propilena glikol.
Titik Lebur : Antara 1490 dan 1530 C.
pH : Antara 4,5 dan 7,5.
Pengaruh Lingkungan
Stabilitas Salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui paling stabil
dalam segala pemakaian. Stabilitas baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2-7, suhu
25oC dan pH mempunyai waktu paruh hampir 3 tahun. Sangat tidak stabil dalam
suasana basa. Kloramfenikol dalam media air adalah pemecahan hidrofilik pada
lingkungan amida. Stabil dalam basis minyak dalam air, basis adeps lanae.
2.5.4. TETRASIKLIN
struktur kimia
18
Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara
lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain itu
bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15
jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten
terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob seperti Acinetobacter spp,
Enterococcus yang resisten terhadap Vankomisin sekalipun tetap efektif.
Sifat obat
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam
natrium atau garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan
garam HCl tetrasiklin bersifat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin
sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya. Golongan tetrasiklin adalah suatu
senyawa yang bersifat amfoter sehingga dapat membentuk garam baik dengan asam
maupun basa. Sifat basa tetrasiklin disebabkan oleh adanya radikal dimetilamino
yang terdapat didalam struktur kimia tetrasiklin, sedangkan sifat asamnya disebabkan
oleh adanya radikal hidroksi fenolik.
Menurut farmakope Indonesia Edisi 4, Tetrasiklin memiliki pemerian serbuk
hablur kuning, tidak berbau. Stabil di udara tetapi pada pemaparan dengan cahaya
matahari kuat, menjadi gelap. Dalam laruta dengan pH lebih kecil dari 2, potensi
berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida (4).Tetrasiklin mempunyai
kelarutan sangat sukar larut dalam air, larut dalam 50 bagian etanol (95%) P, praktis
tidak larut dalam kloroform P, dan dalam eter P. Larut dalam asam encer, larut dalam
alkali disertai peruraian (3).
Pengaruh Lingkungan
19
mRNA-ribosom,
20
sehingga menghalangi
2.2.5. MAKROLID
Struktur kimia
Sejarah makrolida diawali pada awal 1970-an, ketika perusahaan Sankyo dan
Merck berhasil mengisolasi milbemisin dan avermektin yang memiliki struktur mirip,
dan ternyata efektif digunakan sebagai insektisida. Keduanya merupakan hasil
fermentasi yang memanfaatkan Streptomyces yang berbeda. Makrolida adalah salah
satu kelas poliketida. Makrolida merupakan sekelompok obat (khususnya antibiotik)
yang aktivitasnya disebabkan karena keberadaan cincin makrolida, cincin lakton
besar yang berikatan dengan satu atau lebih gula deoksi, biasanya cladinose dan
desosamine. Cincin laktonnya biasanya tersusun dari 14-, 15-, atau 16- atom.
Antibiotik makrolida digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri-bakteri Gram positif seperti Streptococcus Pnemoniae dan Haemophilus
influenzae. Penggunaannya merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru.
Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi
tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti
pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk sifilis, dan efektif untuk
penyakit legionnaire (penyakit yang ditularkan oleh serdadu sewaan). Sering pula
21
Eritromisin
Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Aktif terhadap
kumangram positif seperti Str Pyogenesm dan Str Pneumoniae. Yang biasa digunakan
untuk infeksi. Mycloplasma pneumoniae, penyakit Legionnaire, infeksi Klamidia,
Difter, Pertusis, InfeksiStreptokokus, Stafilokokus, infeksi Camylobacter, Tetanus,
Sifilis, Gonore.Sediaan dari Eritromisin berupa kapsul/ tablet, sirup/suspensi, tablet
kunyah dan obattetes oral
Dapat mengalami resistensi dalam 3 mekanisme :
a.
b.
c.
terjadi.Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksantem
yang cepat hilang bila terapi dihentikan.Ketulian sementara dapat terjadi bila
Eritromisin diberikan dalam dosis tinggi secara IV.Eritromisin dilaporkan
meningkatkan
toksisitas
Karbamazepin,
22
Kortikosteroid,
Siklosporin,Digosin,
2.
Spiramisin
Spiramisin
adalah
antibiotika
golongan
Makrolida
yang
dihasilkan
kontra
indikasi
lainnya).
Efeknya
tidak
sebaik
Pirimentamin
dan
Roksitromisin
Roksitromisin adalah derivat Eritromisin yang diserap dengan baik pada
Klaritromisin
Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi yang sama denga Eritromisin. Secara
in vitro(di laboratorium), obat ini adalah Makrolida yang paling aktif terhadap
23
Azitromisin
Azitromisin digunakan untuk mengobati infekti tertentu yang disebabkan oleh
24
2.5.6 AMINOGLIKOSIDA
Aminoglikosida adalah antibiotika dengan struktur kimia yang bervariasi,
mengandung basa deoksistreptamin atau streptidin dan gula amino 3-aminoglukosa,6aminoglukosa, 2,6 diaminoglukosa, garosamin, D-glukosamin,L-N metilglukosamin,
neosamin dan purpurosamin. Pada umumnya merupakan senyawa bakterisiddapat
menghambat pertumbuhan bakteriGram-positif dan Gram negative serta efektif
terhadap mikobakterri. Dalam bentuk garam sulfat untuk hidroklorida bersifat mudah
larut dalam air. Tidak diabsorbsi oleh saluran cerna sehingga untuk pemakaian
sistematik tidak dapat diberikan secara oral dan harus diberikan secara parenterl.
Biasanya melalui njeksi intramuscular.
Turunan aminoglikosida yang sering digunakan antara lain adalah
streptomisin, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, amikasin, netilmisin,
dibekasin dan spektinomisin.
Struktur kimia
25
dari
kultur
Streptomyces
fradiae.
pada
penggunaan
melalui
fermentasi
dari
Microspora
pupurae
atau
M.
26
27
Sifat obat
Pemerian : serbuk putih atau putih kekuningan ,hamper tidak berbau , higroskopis .
Kelarutan : mudah larut dalam 3 bagian air , dalam 1 bagian air larut perlahan-lahan,
sangat sukar larut dalam etanol ,praktis tidak larut dalam klorofrom ,
dalam eter dan dalam aseton
Keasaman kabasaan : pH larutan 3,3 % b/v 5,0 sampai 7,5 . Susut pengeringan tidak
lebih dari 8,0 %,pengeringan dilakukan dalam hampa udara diatas
fosforpentoksida pada suhu 60 derajat selama 3 jam .
Pengaruh lingkungan
neomisin mempunyai gugus amino kationik, merupakan aminogliksida yang
sangat nefrotoksik, dibandingkan streptomisin, dengan 3 gugus amino yang sedikit
toksik. Gentamisin dan tobramisin , dengan 5 gugus amino mempunyai toksisitas
sedang dibandingkan amikasin dan netilmisin, dengan 4 dan 3 gugus amino, yang
biasanya sedikit toksik. Pengikatan sel epitel tubular diikuti oleh transport intraseluler
dan konsentrasi dalam lisosom. Ikatan berikutnya dengan fosfolipid menyebabkan
terjadinya agregasi dan penghambatan aktivitas fosfolipase (DiPiro, 2002).
28
2.5.7. POLIPEPTIDA
struktur kimia
29
Kelarutan : mudah larut dalam air ,sukar larut dalam etanol .keasaman kebasaan pH
larutan 2,0 % b/v 5,0 sampai 7,0 .sisa pemijaran tidak lebih dari 1,0
%.susut pengeringan tidak lebih dari 8,0 %,pengeringan dilakukan dalam
hampa udara pada suhu 60derajat selama 3 jam.
Pengaruh lingkungan
Potensi pada etiket yang tertera pada etiket harus terletak antara potensi yang
diperoleh pada batas keyakinan.jika dimaksudkan untuk injeksi harus memenuhi
syarat tambahan berikut :
Toksisitas abnormal memenuhi uji toksisitas abnormal yang tertera pada uji
keamanan hayati ,sebagai dosis uji digunakan larutan 0,5 ml dalam larutan natrium
klorida yang mengandung zat uji yang setara dengan 1200 UI per ml .pirogenitas
yang tertera pada uji keamanan hayati ,sebagai dosis uji digunakan sejimlah zat uji
yang mengandung tidak kurang dari 20.000 UI . sterilitas memenuhi uji sterilitas
yang tertera pada uji keamanan hayati .penyimpanan dalam wadah tertutup baik,
terlindung dari cahaya ,jika dimaksudkan untuk injeksi disimpan dalam wadah steril
tertutup.
Penggunaan antibiotika polipeptida dibedakan dlam tiga kelompok, yitu :
1. Antibiotika yang bersifat asam, mengandung gugus karboksilat bebas dan
menunjukan bagian srtuktur yang nonosiklik.
2. Antibiotic yang bersifat basa, mengandung gugus amino bebas dan juga
menunjukan bagian stuktur yang nonsiklik.
30
31
Contoh :
1. Tirotriksin, diisolasi dari kultur Bacillus brevis, mengandung dua campuran
antibiotika, yaitu, gramisidin 10-20% dan tirosidin. Gramisidin lebih aktif
dibndingkan tirosidin. Gramisidin terdiri dari gramisidin A1, A2, B1, B2 dan
C, sedang tirosidin terdiri dari tirosidin A, B, C dan D, perbedaan struktur
terutama pada asam aminonya. Gramisidin efektif terutama terhadap bakteri
Gram-positif dan beberapa bakteri Gram-negatif, dan hanya digunakan untuk
pemakian setempat karena secara sistematik sengat toksik, yaitu dapat
menimbulakn kerusakan sel darah merah, obat tidak diabsorbsi dalam saluran
cerna sehingga aman untuk pengobatan infeksi kerongkongan. Dosis setempat
: 0,05-0,30%, dan dihindari pemakaian obat pada luka yang terbuka.
2. Basitrasin, diisolasi dari Bacillus subtilis dan B. linchenformis. Sekarang telah
diketahui 10 jenis basitrasin yaitu basitrasin A, A, B, C, D, E, F1, F2, F3 dan
G. Basitrasin yang diperdagangkan adalah basitrasi A dengan seikit campuran
basitrasin B, D, E, dan F. Basitrasi digunakan secara setempat terutama untuk
pengobatan infeksi Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Superfisal. Obat
sering dikombinasi dengan antibiotika lain seperti neomisin, polimiksin B dan
kadang dengan kortikosteroid. Walupun lebih bnayak digunakan secara
setempat,basitrasin juga efektif untuk sejumlah infeksi sistemik bila diberikan
secara intramukular. Secar oral obat tidak diabsorbsi oleh saluran cerna dan
kadang-kadang digunakan untuk pengobatan infeksi amuba. Potensi per mg
32
tidak kurang dari 40 unit USP. Dosis setempat : 500 unit/g salep kulit atau
mata, dioleskan 2-3 kali sehari, dosis I.M : 10.000-20.000 unit 3-4 dd.
3. Polimiksin b sulfat, diisolasi dari Bacillus polymyxa dan B. aerosporus greer.
Dari species Bacillus diatas dapat diidentifikasikan polimiksin A, B1, B2, C,
D1, D2, E1 (kolistin B), M, sirkulin A dan B, dan poli peptin. Polimikksin B
mengandung dua fraksi yang struturnya hanya berbeda pada satu komponen
asam lemak. Polimiksin B1 mengandung asam isopelargonatsedangkan
polimiksin B2 mengandung asam isooktanoat. Polimiksin B efektif terutama
terhadap bakteri Gram-negatif. Walaupun lebih banyak digunakan secara
setempat , polimiksin B juga efektif untuk sejumlah infeksi sistemik bila
deberikan secara intramukular. Secara oral tidak di absorbs oleh saluran cerna
dan kadang-kadang digunakan untuk pengobatan infeksi usus seperti
pseudomonas enteritis dari infeksi Shigella. Potensi per mg tidak kurang dari
6000 unit USP. Dosis setempat : 20.000 unit/g kulit dan mata, diberikan 2-3
kali sehari, dosis I.M :5.000-7.500 unit/kg bb 4 dd.
4. Kolistin sulfat (colistine), diisolusi dari Bacillus polymyxa var. colistinus,
suatu polipeptida yang heterogen dengan komponen yang dominan
adalahkolistin A. disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, seperti aerobacter,
Escherichia, Klebsiella, Pseudomonas, Salmonella dan Shigella. Secar oral
obat tidak di absorbs oleh saluran cerna dan digunakan untuk pengobatan
infesi usus seperti disentri basiler, entrokolitis dan gastroenteritis yang
disebabkan oleh bakteri Gram-negatif.
33
malformasi pada janin. Bagi beberapa obat antibiotik, seperti eritromisin, risiko
tersebut rendah dan kadang-kadang setiap risiko pada janin harus dipertimbangkan
terhadap keseriusan infeksi pada ibu.
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini
terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat mempengaruhi
janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang demikian itu disebut
teratogen. Definisi teratogen adalah suatu obat atau zat yang menyebabkan
pertumbuhan janin yang abnormal. Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani teras,
yang berarti monster, dan genesis yang berarti asal. Jadi teratogenesis didefinisikan
sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses pertumbuhan yang
menghasilkan monster.
Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika
dipengaruhi oleh besarnya dosis yang diberikan, lama dan saat pemberian serta
sifat genetik ibu dan janin.
2.7 Faktor - faktor yang dapat mempengaruhi efek pada janin
Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam
uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan
memberikan efek pada janin adalah:
1. Sifat fisikokimiawi dari obat.
2. Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janinLamanya
pemaparan terhadap obat.
3. Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin.
4. Periode perkembangan janin saat obat diberikan.
5. Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi
36
Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan
ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi
ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio
sesarea,
dapat
menembus
plasenta
segera
setelah
pemberian,
dan
dapat
mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat
terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta
secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan
dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul.
Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta,
tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000
sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek
samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan
pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah
talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak
tumbuhnya anggota gerak.
2.8 Perpindahan obat lewat plasenta
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi
sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan
sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta.
Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta
dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini. :
1) Kelarutan dalam lemak
37
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta
masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada
dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan
2) Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya
obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat
ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah.
Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat
ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati
akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya
kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas
membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan
konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam
jumlah besar.
3) Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati
pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obatobat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan
obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta.
Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar
ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga
merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
4) Ikatan protein
38
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat
melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan
mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam
lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi
gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta
lebihtergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan
terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya
ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting,
misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari
ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah,
kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein
plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
5) Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat
metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat
ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda
misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya , kapasitas metabolisme
plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit
yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon,
deksametason, azidotimidin yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen
di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di plasenta.
Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena
umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya
39
akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin,
mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin,
walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada
metabolisme obat maternal.
6) Kerja obat teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur
janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya
pada perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan.
Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan
yaitu selama minggu ke empat sampai minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme
berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan mungkin
disebabkan oleh multi faktor.
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau
nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin.
Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin,
misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
40
kehamilan trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome
yang berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid,
asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan
mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat
asam akan tinggi kadarnya di sel embrio.
2.9 Farmakokinetika obat selama kehamilan.
1.
Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 3040%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat
yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya
untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya
akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang
sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang
mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan
menurun.
2.
Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan
meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya
obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam
kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping
41
itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa
penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada
keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein
meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan
obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat
yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat
basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium
valproat terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.
3.
Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai
dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang
terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed
function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme
hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan
cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat,
sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada
trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan
menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan.
biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat
bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada
petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis
subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan
kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin
dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut :
Fase implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase
ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika
terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau
berakhirnya kehamilan (abortus).
Fase embional atau organogenesis yaitu pada umur kehamilan antara 4-8
minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya
malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang
mungkin terjadi pada fase ini antara lain : Gangguan fungsional atau
metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak
timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon
dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan
terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari
(pada saat mereka sudah dewasa). Pengaruh letal, berupa kematian janin atau
terjadinya abortus Pengaruh subletal, yang biasanya dalam bentuK malformasi
anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
Fase fetal yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini
terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk
43
senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik
lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap
fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula
pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin
dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi
pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi
obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada
sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.
2.11 Antibiotik Pada Kehamilan.
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah
risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran
kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan
dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan
dengan infeksi, pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu,
tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta
dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan
maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik
dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan
seminimal mungkin.
2.11.1 Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah
menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan
amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun
44
perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat
kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
2.11.2 Ampilisin
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya
pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal
kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum
sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu
dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan
alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru
lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama
kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat
pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kirakira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis
ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.
2.11.3 Amoksisilin
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik
dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah
pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan
dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah
45
ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin,
kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
2.11.4 Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat
selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak
terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada
bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat
terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada
trimester terakhir kehamilan.
2.11.5 Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan
mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika
diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya
deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan
pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak
menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun
sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua
hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna
gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel.
Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan
maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.
2.11.6 Aminoglikosida
46
anatomik. Pengaruh
ini
dapat
bersifat
reversibel.
Pemberian
kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada mingguminggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
2.11.8 Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk
dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya
dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari,
47
terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak
bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya
kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap
sampai 7 hari setelah bayi lahir.
2.11.9 Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan
serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya
dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin
dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan
penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama.
Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk
infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
2.11.10 Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan
fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun
kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat
teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa
43trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita
hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
2.11.11 Nitrofurantoin
48
49
percobaan
atau
manusia
telah
50
Amoxicillin
Ampicillin
Clindamycin
Erythromycin
Penicillin
51
2.15 Daftar Indeks keamanan Obat Antibiotik untuk Ibu Hamil/Kehamilan &
Menyusui :
Lactation Risk Categories
L1 (safest)
L2 (safer)
L3 (moderately safe)
L4 (possibly hazardous)
L5 (contraindicated)
X (contraindicated in pregnancy)
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Obat yang aman untuk ibu hamil yaitu obat yang tidak menembus plasenta.
Berikut adalah faktor obat menembus plasenta adalah kelarutan dalam lemak,
derajat ionisasi, ukuran molekul, dan ikatan protein.
Berikut beberapa contoh antibiotik yang dinyatakan aman digunakan selama
kehamilan adalah Amoxicillin, Ampicillin, Clindamycin, Erythromycin, dan
Penicillin
52
golongan
eritromisin,
ini
adalah
trimetropim,
sulfonamida,
linkomisin,
tetrasiklin,
makrolida,
kloramfenikol,
klindamisin,
asam
paraaminosalisilat, dll.
53
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2011. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 11. Medita Indonesia :
Jakarta
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, Dirjend POM,
Departemen Kesehatan, Jakarta.
Anonymous-c.2009.Dasar-dasar Mikrobiologi. (online). Tersedia:Mikrobiologi.html.
(Diakses tanggal 8 maret 2013).
Crueger,W., dan Crueger, A., 1988, Bioteknology: Textbook of industrial
Mikcrobiology, Madison Inc., New York
Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi
Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
: Jakarta
Depkes RI ,1979.Farmakope Indonesia edisi III.Jakarta
54
55