Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH

PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK DAN PEMAKAIAN ANTIBIOTIK PADA


IBU HAMIL

Oleh :
AMELIA HANDAYANI
1541012048
(Apoteker Angkatan I 2015)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
1

KATA PENGANTAR
bismillahirrahmanirrahiim,
Puji syukur atas kehadirah Allah SWT. atas berkat, kasih dan karunianya
sehingga makalah yang berjudul PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK DAN
PEMAKAIAN ANTIBIOTIC PADA IBU HAMIL dapat selesai dengan lancar.
maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih dalam bagaimana
mekanisme kerja masing-masing antibiotik dan pemakaiannya pada ibu hamil.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah banyak menbantu membangun gagagsan ini terutama dari Dosen
pengampu mata kuliah pharmaceutical care. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis
menurima saran dan kritik yang bersifat membangun. Akhrinya penulis
mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada
umumnya dan bidang farmasi khususnya.

Padang, Mei 2015


Penulis

( AMELIA HANDAYANI )
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
1.1.

Latar
Belakang
.......................................................................................................
.......................................................................................................

1.2.

1
Perumusan
Masalah
.......................................................................................................
.......................................................................................................

1.3.

2
Tujuan
.......................................................................................................
.......................................................................................................

1.4.

2
Manfaat
.......................................................................................................
.......................................................................................................
2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3


2.1

Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya ......... 4

2.2

Penggolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya..................... 4

2.3

penggolongan antibiotik berdasarkan spektrum kerjanya ............ 5


2.3.1 Spektrum luas....................................................................... 5
2.3.2 Spektrum sempit .................................................................. 5

2.4

Penggunaan antibiotik kombinasi ................................................. 5

2.5

Penggologan antibiotik ................................................................. 6

2.5.1 Penicin ................................................................................. 6


2.5.2 Sefalosforin .......................................................................... 9
2.5.3 Kloramfenikol ...................................................................... 11
2.5.4 tetrasiklin.............................................................................. 13
2.5.5 Makrolid .............................................................................. 16
2.5.6 Aminoglikosida..................................................................... 20
2.5.7 Polipeptida .......................................................................... 24
2.6 pemakaian antibiotic pada ibu hamil .................................................... 29
2.7 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efek pada janin ..................... 31
2.8 Perpidahan obat lewat plasenta.............................................................. 32
2.9 Farmakokinetika obat selama kehamilan............................................... 36
2.10 Pengaruh obat pada janin..................................................................... 38
2.11Antibiotik pada kehamilan ................................................................... 40
2.11.1 Penisilin.............................................................................. 40
2.11.2 Ampisilin............................................................................ 40
2.11.3 Amoksisilin ........................................................................ 41
2.11.4 Sefalosforin......................................................................... 41
2.11.5 Tetrasiklin............................................................................ 41
2.11.6 Aminoglikosida .................................................................. 42
2.11.7 Kloramfenikol .................................................................... 42

2.11.8 Sulfonamida........................................................................ 43
2.11.9 Eritromisin ......................................................................... 43
2.11.10 Trimetoprim ..................................................................... 43
2.11.11 Nitrofurantoin .................................................................. 44
2.12 Indeks keamanan kehamilan antibiotik............................................. 44
2.13 antibiotik yang perlu khusus ( tidak boleh untuk ibu hamil dan menyusui
.......................................................................................................... 45
2.14 Obat aman bagi kehamilan ............................................................... 47
2.15 Daftar indeks keamanan obat antibiotik untuk ibu hamil dan menyusui
.......................................................................................................... 47
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 48
3.1

Kesimpulan...................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 50

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Mikroorganisme memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi karena
mikroorganisme ini harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang besar
sehingga apabila ada interaksi yang tinggi dengan lingkungan menyebabkan
terjadinya konversi zat yang tinggi pula. Mikroorganisme bisa memberikan kontribusi
dalam Penemuan antibiotik yang telah menghantarkan pada terapi obat dan industri
obat ke era baru. Karena adanya penemuan penisilin dan produk-produk lain sekresi
fungi, aktinomiset, dan bakteri lain, maka kini telah tersedia obat-obat yang manjur
untuk memerangi penyakit infeksi bakteri.
Antibiotik digunakan dalam berbagai bentuk-masing-masing menetapkan
persyaratan manufaktur agak berbeda. Untuk infeksi bakteri di permukaan kulit,
mata, atau telinga, antibiotik dapat dite rapkan sebagai salep atau krim. Jika infeksi
internal, antibiotik dapat ditelan atau disuntikkan langsung ke dalam tubuh.
Selama kehamilan sangat sering kali ibu hamil mengalami gangguan
kesehatan sehingga membutuhkan obat. Akan tetapi ada beberapa Obat-obatan yang
dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama masa kehamilan.
Selama ini banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode
6

organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar.
Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada
janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir
(teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trimester
kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara
fungsional pada janin.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya dan
pengolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya masing-masing
2. apakah pemakaian antibiotic yang aman pada ibu hamil dan pengaruhnya
pada janin.
1.3 Tujuan
1. untuk mengetahui golongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya dan
penggolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya masing-masing
2. untuk mengetahui penmakaian antibiotik yang aman pada ibu hamil daan
pengaruhnya pada janin.
1.4 Manfaat
1. dapat mengetahui penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya
dan penggolongan antibiotik berdasarkan daya kerjanya
2. dapat mengetahui pemakaian antibiotik yang aman pada ibu
pengaruhnya pada janin.

hamil dan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik berasal dari kata Yunani tua, yang merupakan gabungan dari kata
anti (lawan) dan bios (hidup). Kalau diterjemahkan bebas menjadi "melawan sesuatu
yang hidup". Antibiotika di dunia kedokteran digunakan sebagai obat untuk
memerangi infeksi yang disebabkan oleh bakteri atau protozoa. Antibiotika adalah zat
yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi/jamur, yang dapat menghambat
atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara
semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak
diturunkan dari produk mikroba.
Antibiotik yang digunakan untuk membasmi mikroba, khususnya penyebab
infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif yang setinggi mungkin.
Artinya, antibiotik tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi
relatif tidak toksik untuk inang/hospes (Gan dan Setiabudy, 1987). Usaha untuk
mencari antibiotik yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Produk alami yang
disentesis oleh mikroorganisme menjadi sangat penting. Praduk antikoagulan,
antidepresan, vasodilator, her4bisida, insektisida, hormon tanaman, enzim, dan
inhibitor enzim telah diisolasi dari mikroorganisme.
Penggunaan antibiotika secara komersial, pertamakali dihasilkan oleh fungi
berfilamen dan oleh bakteri kelompok actinomycetes. Daftar sebagian besar
8

antibiotika yang dihasilkan melalui fermentasi industri berskala-besar. Seringkali,


sejumlah senyawa kimia berhubungan dengan keberadaan antibiotika, sehingga
dikenal famili antibiotik. Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur
kimianya. Sebagian besar sebagian diketahui efektif menyerang penyakit fungi.
Secara ekonomi dihasilkan lebih dari 100.000 ton antibiotika per tahun, dengan nilai
penjualan hampir mendekati $ 5 milyar. Beberapa antibiotika yang dihasilkan secara
komersial
2.1 Penggolongan Antibiotik berdasarkan mekanisme kerjanya :

Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin,


Polypeptide dan Cephalosporin

Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone,

Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari


golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline

Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin;

Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida,

Antimetabolit, misalnya azaserine.

2.2 Penggolongan Antibiotik berdasarkan daya kerjanya :


Bakterisid: Antibiotika yang bakterisid secara aktif membasmi kuman.
Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, aminoglikosida
(dosis besar), kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin, isoniazid dll.
Bakteriostatik: Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau
menghambat pertumbuhan kuman, TIDAK MEMBUNUHNYA, sehingga
9

pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Termasuk


dalam

golongan

eritromisin,

ini

adalah

trimetropim,

sulfonamida,

linkomisin,

tetrasiklin,

makrolida,

kloramfenikol,

klindamisin,

asam

paraaminosalisilat, dll.
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya
terbatas, yakni pada kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan
kondisi yang sangat lemah (debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi
imunologik tidak boleh memakai antibiotika bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.
2.3 Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrum kerjanya :
2.3.1 Spektrum luas (aktivitas luas) :
Antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu
bakteri gram positif dan gram negative. Contoh antibiotik dalam kelompok ini adalah
sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin.
2.3.2 Spektrum sempit (aktivitas sempit) :
Antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba
saja, bakteri gram positif atau gram negative saja. Contohnya eritromisin,
klindamisin, kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedang
streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif.
2.4 Penggunaan Antibiotik kombinasi :

Pada infeksi campuran, misalnya kombinasi obat-obat antikuman dan


antifungi atau, dua antibiotik dengan spektrum sempit (gram positif + gram

10

negatif) untuk memperluas aktifitas terapi : Basitrasin dan polimiksin dalam

sediaan topikal.
Untuk memperoleh potensial, misalnya sulfametoksazol dengan trimetoprim
(=

kotrimoksazol)

dan

sefsulodin

dengan

gentamisin

pada

infeksi

pseudomonas. Multi drug therapy (AZT + 3TC + ritonavir ) terhadap AIDS

juga menghasilkan efek sangat baik.


Untuk mengatasi resistensi, misalnya Amoksisilin + asam klavulanat yang

menginaktivir enzim penisilinase.


Untuk menghambat resistensi, khususnya pada infeksi menahun seperti
tuberkulosa (rifampisin + INH + pirazinamida ) dan kusta (dapson +

klofazimin dan /atau rifampisin).


Untuk mengurangi toksisitas, misalnya trisulfa dan sitostatika, karena dosis
masing-masing komponen dapat dikurangi.

2.5 Penggolongan antibiotik


2.5.1 Penicilin
Struktur kimia

Penisilin merupakan kelompok antibiotika Beta Laktam yang telah lama


dikenal. Pada tahun 1928 di London, Alexander Fleming menemukan antibiotika

11

pertama yaitu Penisilin yang satu dekade kemudian dikembangkan oleh Florey dari
biakan Penicillium notatum untuk penggunaan sistemik. Kemudian digunakan P.
chrysogenum yang menghasilkan Penisilin lebih banyak.Penisilin yang digunakan
dalam pengobatan terbagi dalam Penisilin alam dan Penisilin semisintetik. Penisilin
semisintetik diperoleh dengan cara mengubah struktur kimia Penisilin alam atau
dengan cara sintesis dari inti Penisilin.
Beberapa Penisilin akan berkurang aktivitas mikrobanya dalam suasana asam
sehingga Penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral. Penisilin lain
hilang aktivitasnya bila dipengaruhi enzim Betalaktamase (Penisilinase) yang
memecah cincin Betalaktam.
Sifat obat

Pemerian : serbuk hablur renik, putih ,tidak berbau atau hampir tidak berbau
,rasa pahit .

Kelarutan : larut dalam 170 bagian air praktis tidak larut dalam etanol ,dalam
klorofrom ,dalam eter ,dalam aseton dan dalam minyak jamak .

Keasaman kabasaan pH larutan 0,25 % b/v 3,5 sampai 5,5 .

Kadar air tidak lebih dari 1,5 %.

Pengaruh lingkungan
Fermentasi pensilin sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi proses dan
lingkungannya. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan
penisilin ini antara lain adalah : Temperatur, pH, Sistem Aerasi, Sistem Pengadukan,
Penggunaan zat anti busa, dan upaya pencegahan kontaminasi pada medium.

12

a. Temperatur
Fermentasi untuk pembuatan penisilin akan menghasilkan produk yang
maksimum apabila temperatur operasi dijaga pada 24oC. Temperatur berkaitan erat
dengan

pertumbuhan

mikroorganisme,

karena

kenaikan

temperatur

dapat

meningkatkan jumlah sel mikroorganisme baru. Apabila temperatur sistem meningkat


melebihi temperatur optimumnya, maka produk yang dihasilkan akan berkurang,
karena sebagian dari media fermentasi akan digunakan oleh mikroorganisme untuk
mempertahankan hidupnya
b. pH
Pengaturan pH dilakukan untuk mencegah terjadinya fluktuasi pH sistem.
Menurut Moyet dan Coghill kehilangan penisilin dapat terjadi pada pH dibawah 5
atau pH diatas 7,5. PH medium dipengaruhi oleh jenis dan jumlah karbohidrat
(glukosa atau laktosa) dan buffer. Karbohidrat akan difermentasi menjadi asam-asam
organik. Fermentasi glukosa yang berlangsung cepat akan menurunkan pH,
sedangkan laktosa terfermentasi dengan sangat lambat sehingga perubahan pH
berlangsung lambat pula. Konsentrasi gula hasil fermentasi ini berfungsi
mempertahankan kenaikan pH agar tetap lambat. Larutan buffer dapat digunakan
untuk mempertahankan pH sistem.
c. Aerasi
Aerasi yang cukup merupakan hal penting untuk memaksimalkan penisilin,
sebab aerasi dapat menghasilkan oksigen yang dihasilkan oleh kapang Penicillum
chrysogenum untuk metabolismenya. Aerasi pada fermento diberikan melalui proses

13

pengadukan atau dengan tekanan sebesar 20 lb/in2 akan mengurangi penisilin yang
dihasilkan.
d. Pengadukan
Pemilihan jenis pengaduk dan kecepatan pengadukan yang sesuai akan
memperbaiki hasil penisilin ketika laju aerasi konstan. Kecepatan pengadukan proses
fermentasi umumnya berkisar pada range 250 500 cm/detik. Pembentukan busa
yang berlebihan selama proses fermentasi dapat dieliminasi dengan penambahan
tributinit sutrat. Secara umum, busa akan menurunkan pH apabila konsentrasinya
terus bertambah.
e. Sterilisasi
Kontaminasi dapat dihindarkan dengan cara sterilisasi sistem perpipaan,
fermentol, dan peralatan lain yang kontak langsung dengan penisilin. Uap panas
umumnya digunakn untuk sterilisasi media fermentasi dan peralatan tersebut. Zat anti
busa dan udara untuk aerasi juga hasus disterilkan terlebih dahulu sebelum
diumpankan kedalam media fermentasi (Maya, 2002).
2.5.2 Sefalosporin
Sefalosporin termasuk golongan antibiotika Betalaktam. Seperti antibiotik
Betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan
menghambat sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi
transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel.
Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun garam negatif, tetapi
spektrum masing-masing derivatebervariasi.
Aktivitas sefalosporin : Daya kerja sefalosporin ialah bakterisida.
14

Mekanisme kerja antimikrobanya dengan menghambat sintesis dinding sel


mikroba (sintesis peptidoglikan yang diperlukan kuman untuk ketangguhan
dindingnya). Jadi yang dihambat ialah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam
rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Spektrum kerja sefalosporin luas dan
meliputi banyak kuman Gram-positif dan gram-negatif, termasuk E.coli, Klebsiella,
dan Proteus.
Pengaruh lingkungan
Sefalosporin termasuk golongan antibiotika -laktam. Seperti antibiotik laktam lain, mekanisme kerja antimikroba Sefalosporin ialah dengan menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga
dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Antibiotik -laktamase bekerja
membunuh bakteri dengan cara menginhibisi sintesis dinding selnya. Pada proses
pembentukan dinding sel, terjadi reaksi transpeptidasi yang dikatalis oleh enzim
transpeptidase dan menghasilkan ikatan silang antara dua rantai peptida-glukan.
Enzim transpeptidase yang terletak pada membran sitoplasma bakteri tersebut
juga dapat mengikat antibiotik beta-laktam sehingga menyebabkan enzim ini tidak
mampu mengkatalisis reaksi transpeptidasi walaupun dinding sel tetap terus dibentuk.
Dinding sel yang terbentuk tidak memiliki ikatan silang dan peptidoglikan
yang terbentuk tidak sempurna sehingga lebih lemah dan mudah terdegradasi. Pada
kondisi normal, perbedaan tekanan osmotik di dalam sel bakteri gram negatif dan di
lingkungan akan membuat terjadinya lisis sel. Selain itu, kompleks protein
transpeptidase dan antibiotik beta-laktam akan menstimulasi senyawa autolisin yang

15

dapat mendigesti dinding sel bakteri tersebut. Dengan demikian, bakteri yang
kehilangan dinding sel maupun mengalami lisis akan mati.
Sebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan parenteral dan terutama digunakan di
rumah sakit. 1.
Generasi I, digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai
obat pilihan kedua pada infeksi saluran napas dan kulit yang tidak begitu
parah dan bila terdapat alergi untuk penisilin.
Generasi II atau III, digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten
terhadap amoksisilin dan sefalosporin generasi I, juga terkombinasi dengan
aminoglikosida (gentamisin, tobramisin) untuk memperluas dan memperkuat
aktivitasnya. Begitu pula profilaksis pada antara lain bedah jantung, usus dan
ginekologi. Sefoksitin dan sefuroksim (generasi ke II) digunakan pada gonore
(kencing nanah) akibat gonokok yang membentuk laktamase.
Generasi III, Seftriaxon dan sefotaksim kini sering dianggap sebagai obat
pilihan pertama untuk gonore, terutama bila telah timbul resistensi terhadap
senyawa fluorkuinon (siprofloksasin). Sefoksitin digunakan pada infeksi
bacteroides fragilis.
Generasi IV, dapat digunakan bila dibutuhkan efektivitas lebih besar pada
infeksi dengan kuman Gram-positif.
2.5.3. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas yang mempunyai aktifitas
bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Kloramfenikol memiliki

16

nama kimia 1- (pnitrofenil)- dikloroasetamido-1,3-propandiol, rumus molekul


C11H12Cl2N2O5dan memiliki struktur:
struktur kimia

Kloramfenikol

merupakan

senyawa

fenil

propan

tersubstitusi

yang

mempunyai dua unsur struktur tidak lazim untuk bahan alam yaitu suatu gugus nitro
aromatik dan residu diklor asetil. Gugus R pada turunan kloramfenikol berpengaruh
pada aktivitasnya sebagai anti bakteri Staphylococcus aureus. Kloramfenikol
(R=NO2) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphyllococcus aureus yang
optimal.
Untuk mendapatkan senyawa turunan kloramfenikol baru dengan aktivitas optimal,
harus diperhatikan agar gugus R bersifat penarik elektron kuat dan mempunya sifat
lipofilik lemah. Turunan kloramfenikol yang mempunyai gugus trifluoro lebih aktif
daripada kloramfenikol terhadap E. coli. Turunan yang gugus hidroksilnya pada C3
terdapat sebagai ester juga digunakan dalam terapi.
Sifat Kloramfenikol
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih hingga
putih kelabu atau putih kekuningan.

17

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etenol, dalam propilena glikol.
Titik Lebur : Antara 1490 dan 1530 C.
pH : Antara 4,5 dan 7,5.
Pengaruh Lingkungan
Stabilitas Salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui paling stabil
dalam segala pemakaian. Stabilitas baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2-7, suhu
25oC dan pH mempunyai waktu paruh hampir 3 tahun. Sangat tidak stabil dalam
suasana basa. Kloramfenikol dalam media air adalah pemecahan hidrofilik pada
lingkungan amida. Stabil dalam basis minyak dalam air, basis adeps lanae.
2.5.4. TETRASIKLIN
struktur kimia

Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki


spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke
ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang
luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan rickettsia.
Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi kedua
merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin, minosiklin.

18

Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara
lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain itu
bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15
jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten
terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob seperti Acinetobacter spp,
Enterococcus yang resisten terhadap Vankomisin sekalipun tetap efektif.
Sifat obat
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam
natrium atau garam HCl-nya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan
garam HCl tetrasiklin bersifat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin
sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya. Golongan tetrasiklin adalah suatu
senyawa yang bersifat amfoter sehingga dapat membentuk garam baik dengan asam
maupun basa. Sifat basa tetrasiklin disebabkan oleh adanya radikal dimetilamino
yang terdapat didalam struktur kimia tetrasiklin, sedangkan sifat asamnya disebabkan
oleh adanya radikal hidroksi fenolik.
Menurut farmakope Indonesia Edisi 4, Tetrasiklin memiliki pemerian serbuk
hablur kuning, tidak berbau. Stabil di udara tetapi pada pemaparan dengan cahaya
matahari kuat, menjadi gelap. Dalam laruta dengan pH lebih kecil dari 2, potensi
berkurang dan cepat rusak dalam larutan alkali hidroksida (4).Tetrasiklin mempunyai
kelarutan sangat sukar larut dalam air, larut dalam 50 bagian etanol (95%) P, praktis
tidak larut dalam kloroform P, dan dalam eter P. Larut dalam asam encer, larut dalam
alkali disertai peruraian (3).
Pengaruh Lingkungan
19

Tetrasiklin harus disimpan di tempat yang kering, terlindung dari cahaya.


Tetrasiklin apabila bereaksi dengan logam bervalensi 2 dan 3 (Ca, Mg, Fe ) maka
akan membentuk kompleks yang inaktif sehingga tetrasiklin tidak boleh diminum
bersama dengan susu dan obat-obat antasida.
Obat ini dalam bentuk kering bersifat stabil, tidak demikian halnya bila
antibiotika ini berada dalam larutan air. Untuk tetrasiklin sediaan basah perlu
ditambahkan buffer. Dalam larutan tetrasiklin yang biasa digunakan untuk injeksi
mengandung buffer dengan pelarut propylen glikol pada pH 7,5, dapat tahan 1 tahun
pada suhu kamar sampai 45C. Bila pH lebih tinggi dari 7,5 maka tingkat kestabilan
tetrasiklin akan menurun.
Tetrasiklin adalah salah satu antibiotik yang dapat menghambat sintesis
protein pada perkembangan organisme. Antibiotik ini diketahui dapat menghambat
kalsifikasi dalam pembentukan tulang. Tetrasiklin diketahui dapat menghambat
sintesis protein pada sel prokariot maupun sel eukariot. Mekanisme kerja
penghambatannya, yaitu tetrasiklin menghambat masuknya aminoasil-tRNA ke
tempat

aseptor A pada kompleks

mRNA-ribosom,

penggabungan asam amino ke rantai peptide .

20

sehingga menghalangi

2.2.5. MAKROLID
Struktur kimia

Sejarah makrolida diawali pada awal 1970-an, ketika perusahaan Sankyo dan
Merck berhasil mengisolasi milbemisin dan avermektin yang memiliki struktur mirip,
dan ternyata efektif digunakan sebagai insektisida. Keduanya merupakan hasil
fermentasi yang memanfaatkan Streptomyces yang berbeda. Makrolida adalah salah
satu kelas poliketida. Makrolida merupakan sekelompok obat (khususnya antibiotik)
yang aktivitasnya disebabkan karena keberadaan cincin makrolida, cincin lakton
besar yang berikatan dengan satu atau lebih gula deoksi, biasanya cladinose dan
desosamine. Cincin laktonnya biasanya tersusun dari 14-, 15-, atau 16- atom.
Antibiotik makrolida digunakan untuk menyembuhkan infeksi yang disebabkan oleh
bakteri-bakteri Gram positif seperti Streptococcus Pnemoniae dan Haemophilus
influenzae. Penggunaannya merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru.
Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi
tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti
pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk sifilis, dan efektif untuk
penyakit legionnaire (penyakit yang ditularkan oleh serdadu sewaan). Sering pula
21

digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. Spektrum antimicrobial


makrolida sedikit lebih luas dibandingkan penisilin. Sekarang ini antibiotika
Makrolida yang beredar di pasaran obat Indonesia adalah Eritomisin, Spiramisin,
Roksitromisin, Klaritromisin dan Azithromisin.
Penggolongan turunan makrolida
1.

Eritromisin
Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Aktif terhadap

kumangram positif seperti Str Pyogenesm dan Str Pneumoniae. Yang biasa digunakan
untuk infeksi. Mycloplasma pneumoniae, penyakit Legionnaire, infeksi Klamidia,
Difter, Pertusis, InfeksiStreptokokus, Stafilokokus, infeksi Camylobacter, Tetanus,
Sifilis, Gonore.Sediaan dari Eritromisin berupa kapsul/ tablet, sirup/suspensi, tablet
kunyah dan obattetes oral
Dapat mengalami resistensi dalam 3 mekanisme :
a.

Menurunnya permeabilitas dinding sel kuman.

b.

Berubahnya reseptor obat pada Ribosom kuman dan

c.

Hidrolisis obat oleh esterase yang dihasilkan oleh kuman tertentu.


Efek samping yang berat akibat pemakaian Eritromisin dan turunannya jarang

terjadi.Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksantem
yang cepat hilang bila terapi dihentikan.Ketulian sementara dapat terjadi bila
Eritromisin diberikan dalam dosis tinggi secara IV.Eritromisin dilaporkan
meningkatkan

toksisitas

Karbamazepin,

Warfarin dan Teofilin.

22

Kortikosteroid,

Siklosporin,Digosin,

2.

Spiramisin
Spiramisin

adalah

antibiotika

golongan

Makrolida

yang

dihasilkan

oleh Streptomyce sambofaciens. Secara in vitro (tes laboratorium) aktivitas


antibakteri Spiramisin lebih rendah dari pada Eritromisin.Sediaan yang tersedia dari
spiramisin adalah bentuk tablet 500 mg.Seperti Eritromisin, Spiramisin digunakan
untuk terapi infeksi rongga mulut dan salurannafas.Spiramisin juga digunakan
sebagai obat alternatif untuk penderita Toksoplasmosis yang karena suatu sebab tidak
dapat diobati dengan Pirimentamin dan Sulfonamid (misalnya padawanita hamil, atau
ada

kontra

indikasi

lainnya).

Efeknya

tidak

sebaik

Pirimentamin

dan

Sulfonamid.Pemberian oral kadang-kadang menimbulkan iritasi saluran cerna.


3.

Roksitromisin
Roksitromisin adalah derivat Eritromisin yang diserap dengan baik pada

pemberian oral.Obat ini lebih jarang menimbulkan iritasi lambung dibandingkan


dengan Eritromisin.Juga (bioavailabilitas) kadar obat yang tersedia tidak banyak
terpengaruh oleh adanyamakanan dalam lambung.Kadar obat dalam darah dan
plasma lebih tinggi dari Eritromisin.Bentuk sediaan yang beredar adalah tablet atau
kapsul 50 mg dan 300 mg.Indikasinya diperuntukkan untuk infeksi THT, saluran
nafas bagian atas dan bawahseperti bronkitis akut dan kronik, penumonia, uretritis
(selain Gonore) akut dan kronis, infeksikulit seperti pioderma, impetigo, dermatitis
dengan infeksi, ulkus pada kaki.
4.

Klaritromisin
Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi yang sama denga Eritromisin. Secara

in vitro(di laboratorium), obat ini adalah Makrolida yang paling aktif terhadap
23

Chlamydia trachomatis. Absorpsinya tidak banyak dipengaruhi oleh adanya makanan


dalam lambung.Efek sampingnya adalah iritasi saluran cerna (lebih jarang
dibandingkan dengan iritasisaluran cerna dan peningkatan enzim sementara di
hati.Klaritromisin juga meningkatkan kadar Teofilin dan Karbamazepin bila
diberikan bersama obat-obat tersebut.
5.

Azitromisin
Azitromisin digunakan untuk mengobati infekti tertentu yang disebabkan oleh

bakteriseperti bronkitis, pneumonia, penyakit akibat hubungan seksual dan infeksi


dari telinga, paru- paru, kulit dan tenggorokan.Azitromisin tidak efektif untuk pilek,
flu atau infeksi yang disebabkan oleh virus.Bentuk sediaan dari Azitromisin adalah
tablet atau suspensi oral (cairan). Biasanya digunakan dengan atau tanpa makanan
satu kali sehari selama 1-5 hari. Agar membantu anda ingat minum Azitromisin,
minumlah pada jam yang sama setiap harinya.Minumlah azitromisin sesuai dosis
yang ada. Jangan lebih atau kurang dari dosis yangditentukan oleh dokter.Kocok sirup
dengan baik sebelum dipakai untuk mencampur obat dengan baik. Gunakan syringe
yang tersedia untuk mengukur dengan tepat dosis yang anda gunakan. Setelah
itu bersihkan syringe dengan air.Untuk tablet harus diminum dengan segelas air
penuh.Habiskan obat yang diresepkan, walaupun anda merasa sudah baik atau
sembuh. Hal iniuntuk menghindari bakteri menjadi resistensi bila pengobatan tidak
diselesaikan

24

2.5.6 AMINOGLIKOSIDA
Aminoglikosida adalah antibiotika dengan struktur kimia yang bervariasi,
mengandung basa deoksistreptamin atau streptidin dan gula amino 3-aminoglukosa,6aminoglukosa, 2,6 diaminoglukosa, garosamin, D-glukosamin,L-N metilglukosamin,
neosamin dan purpurosamin. Pada umumnya merupakan senyawa bakterisiddapat
menghambat pertumbuhan bakteriGram-positif dan Gram negative serta efektif
terhadap mikobakterri. Dalam bentuk garam sulfat untuk hidroklorida bersifat mudah
larut dalam air. Tidak diabsorbsi oleh saluran cerna sehingga untuk pemakaian
sistematik tidak dapat diberikan secara oral dan harus diberikan secara parenterl.
Biasanya melalui njeksi intramuscular.
Turunan aminoglikosida yang sering digunakan antara lain adalah
streptomisin, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, amikasin, netilmisin,
dibekasin dan spektinomisin.
Struktur kimia

Pada pengobatan infeksi tertentu, turunan aminoglikosida sering dikmbinasi dengan


antibiotika -laktan karena :

Mempunyai efek sinergis

Dapat mencegah ketahanan yang mendadak

25

Dapat memperluas spectrum antibakteri.

Contoh : kombinasi penisilin G dengan strptomisin.


Turunn amino glikosida menimbulakn toksisitas pada kedua cabang saraf cranial VIII
dan kemungkinan dapat menyebabkan ketulian yang tak terpulihkan. Efek samping
lain adalah nefrotoksik, pemblok saraf otot, reaksi alergi, kelinan darah dan
menimbulakn suprainfeksi.
CONTOH:
Neomisin sulfat (neobiotic)
dihasilkan

dari

kultur

Streptomyces

fradiae.

pada

penggunaan

sistematiktoksisitasnya besar sehingga dianjurkan hanya untuk pemakaian setempat.


Untuk pemakaian setempat, neomisinsering dikombinasikan dengan Zn-basitrain
untuk pengobatan infeksi Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Dosis : salep
0,5%
Gentamisin (garamycin, gentamerck, pyogenta).
Didapatkan

melalui

fermentasi

dari

Microspora

pupurae

atau

M.

echinophora. Gentamisin digunakan untuk parenteral terutama untuk pengobatan


infeksi Gram-negatif yang berat, seperti Pseudomonas sp. Kadar serum tertinggi
dicapai dalam 0,5 jam sesusah pemberian I.v dan 1 jam sesudah pemberian I.M.,
dengan waktu paro 2 jam. Secara setempat gentamisin digunakan untuk pengobatan
infeksi Pseudomonas sp. Dan bakteri Gram-negatif lain, pada luka bakar, infeksi pada
mata dan telinga. Dosis I.M atau I.V : 3-5 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi 3 dd,
selama 7-10 hari. Dosis setempat, salep atau larutan : 0,1-0,3% 2-4 kali sehari.

26

Tobramisin sulfat (dartobcin)


didapatkan melalui fermentasi dari Streptomyces tenebrarius. Tobramisin
efektif terhadp infeksi Gram negative, seperti Pseudomonas aeruginosa, E. coli,
Enterobacter sp., Klebsiella sp., Proteus sp., Salmonella sp., Shigella sp. Serratia sp.,
serta Gram-positif seperti S. aureus. Tobramisin digunakan secara parenteral, untuk
pengobatan infeksi pada sistem saraf pusat, saluran urogenital, saluran cerna, saluran
nafas, kulit, tulang dan septikemi. Kadar serum tertinggi obat dicapai dalam 0,5-1,5
jam sesudah pemberiaaan intramuscular dan 15 menit sesudah pemberian intravena.
Waktu paronya 2 jam, dan kadar dalam plasma dipelihara selama 8 jam. Dosis I.M
atau I.V : 1 mg/kg bb 3 dd, selama 7-10 hari.
Spektinomisin di Hcl (trobicin)
didapatkan melalui fermentasi dari Streptomyces sptabilis. Spektinomisin
digunakan secara parentral sebagai obat pilihan untuk
pengobatan gonorhu, yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoae, dan tidak efektif
untuk pengobatab sifilis. Kadar serum obat dicapai dalam 1 jam sesudah pemberian
intramuscular, dengan waktu paro 2 jam, kadar terapetik dalam plasma dipelihara
selama 8 jam. Dosis I.M : untuk pengibatan gonorhu 2-4 g dosis tunggal
Framisetin sulfat
adalah turunan aminoglikosida dengan spectrum luas, digunakan secara
setempat untuk pengobatan infeksi pada mata, telinga dan kulit. Sediaan obat tetes
mata dan telinga (Sofradex) dan bentuk sediaan plester tipis (sufratulle), mengandung
framisetin sulfat 1%.

27

Sifat obat
Pemerian : serbuk putih atau putih kekuningan ,hamper tidak berbau , higroskopis .
Kelarutan : mudah larut dalam 3 bagian air , dalam 1 bagian air larut perlahan-lahan,
sangat sukar larut dalam etanol ,praktis tidak larut dalam klorofrom ,
dalam eter dan dalam aseton
Keasaman kabasaan : pH larutan 3,3 % b/v 5,0 sampai 7,5 . Susut pengeringan tidak
lebih dari 8,0 %,pengeringan dilakukan dalam hampa udara diatas
fosforpentoksida pada suhu 60 derajat selama 3 jam .
Pengaruh lingkungan
neomisin mempunyai gugus amino kationik, merupakan aminogliksida yang
sangat nefrotoksik, dibandingkan streptomisin, dengan 3 gugus amino yang sedikit
toksik. Gentamisin dan tobramisin , dengan 5 gugus amino mempunyai toksisitas
sedang dibandingkan amikasin dan netilmisin, dengan 4 dan 3 gugus amino, yang
biasanya sedikit toksik. Pengikatan sel epitel tubular diikuti oleh transport intraseluler
dan konsentrasi dalam lisosom. Ikatan berikutnya dengan fosfolipid menyebabkan
terjadinya agregasi dan penghambatan aktivitas fosfolipase (DiPiro, 2002).

28

2.5.7. POLIPEPTIDA
struktur kimia

Antibiotic polipeptida mempunyai struktur sangat kompleks, mengandung


polipeptida yang biasa membentuk suatu siklik. Sumber utama turunan antibiotika ini
adalah Bacillus sp. dan Strptomyces sp.Polipeptida berasal dari Bacillus polymixa.
Bersifat bakterisid berdasarkan kemampuannya melekatkan diri pada membran sel
bakteri sehingga permeabilitas meningkat dan akhirnya sel meletus. Meliputi:
polimiksin B dan polimiksin E (colistin), basitrasin dan gramisidin. Spektrumnya
sempit polimiksin hanya aktif terhadap bakteri gram negatif. Sebaliknya basitrasin
dan gramisidin aktif terhadap kuman gram positif. Penggunaan: karena sangat toksis
pada ginjal dan organ pendengaran, maka penggunaan secara sistemik sudah
digantikan lebih banyak digunakan sebagai sediaan topikal (sebagai tetes telinga yang
berisi polimiksin sulfat, neomisin sulfat, salep mata, tetes mata yang berisi basitrasin,
neomisin.
Sifat obat
Polynyxini B sulfas
Pemerian serbuk : putih sampai putih kuning gading ,tidak berbau , atau berbau lemah

29

Kelarutan : mudah larut dalam air ,sukar larut dalam etanol .keasaman kebasaan pH
larutan 2,0 % b/v 5,0 sampai 7,0 .sisa pemijaran tidak lebih dari 1,0
%.susut pengeringan tidak lebih dari 8,0 %,pengeringan dilakukan dalam
hampa udara pada suhu 60derajat selama 3 jam.
Pengaruh lingkungan
Potensi pada etiket yang tertera pada etiket harus terletak antara potensi yang
diperoleh pada batas keyakinan.jika dimaksudkan untuk injeksi harus memenuhi
syarat tambahan berikut :
Toksisitas abnormal memenuhi uji toksisitas abnormal yang tertera pada uji
keamanan hayati ,sebagai dosis uji digunakan larutan 0,5 ml dalam larutan natrium
klorida yang mengandung zat uji yang setara dengan 1200 UI per ml .pirogenitas
yang tertera pada uji keamanan hayati ,sebagai dosis uji digunakan sejimlah zat uji
yang mengandung tidak kurang dari 20.000 UI . sterilitas memenuhi uji sterilitas
yang tertera pada uji keamanan hayati .penyimpanan dalam wadah tertutup baik,
terlindung dari cahaya ,jika dimaksudkan untuk injeksi disimpan dalam wadah steril
tertutup.
Penggunaan antibiotika polipeptida dibedakan dlam tiga kelompok, yitu :
1. Antibiotika yang bersifat asam, mengandung gugus karboksilat bebas dan
menunjukan bagian srtuktur yang nonosiklik.
2. Antibiotic yang bersifat basa, mengandung gugus amino bebas dan juga
menunjukan bagian stuktur yang nonsiklik.

30

3. Antibiotika yang bersifat netral, tidak mempunyai gugus karboksilat dan


amino bebas, karena strukturnya dalam bentuk siklik, atau gugus reaktif diatas
dinetrlkanmelalui formilasi
4. Antibiotika polipeptida pada umumnya mempunyai spectrum aktivitas sempit,
contoh : gramisidin hanya aktif terhadap bakteri Gram-positif sedang
polimiksin hanya aktif terhadap bakteri Gram-negatif
Mekanisme kerja
Beberapa antibiotika polipetida, seperti tirotrisin, polimiksin B dan kolistin,
merupakan molekul yang amfifil, mengandung gugus-gugus lifofil dan hidrofil yang
terpisah. Bentuk siklik dan gugus yang bersifat basa cukup berperan dalam
menunjukan aktivitas antibakteri. Antibiotika polipeptida dapat menyebabkan
ketidakteraturan strutur membrane sitoplasma dan kehilangan fungsinya sebagai
rintangan permeable struktur membrane sitoplasma dan kehilangan fungsinya sebagai
rintangan permeable, sehingga on-ion yang secara normalada dalam sel akan ke luar
dan menyebabkan bakteri mengalami kematiaan.
Basitrsin, adalah bakterioststik hanya pada fase pertumbuhan bakteri.
Senyawa ini dapat mengambat secara langsung enzim peptidoglikan sintetase dan
menyebabkan hambatan pembentukan dinding sel bakteri sehingga bakteri
mengalami kematian. Pada tingkat molekul basitrasin berinteraksi secar khas dengan
turunan pirofosfat dari undekaprenil alcohol tersebut menyebabakan kerusakan
membrane. Pada kadar tinggi basitran dapat menimbulakn ketidak teraturaan
membrane.

31

Contoh :
1. Tirotriksin, diisolasi dari kultur Bacillus brevis, mengandung dua campuran
antibiotika, yaitu, gramisidin 10-20% dan tirosidin. Gramisidin lebih aktif
dibndingkan tirosidin. Gramisidin terdiri dari gramisidin A1, A2, B1, B2 dan
C, sedang tirosidin terdiri dari tirosidin A, B, C dan D, perbedaan struktur
terutama pada asam aminonya. Gramisidin efektif terutama terhadap bakteri
Gram-positif dan beberapa bakteri Gram-negatif, dan hanya digunakan untuk
pemakian setempat karena secara sistematik sengat toksik, yaitu dapat
menimbulakn kerusakan sel darah merah, obat tidak diabsorbsi dalam saluran
cerna sehingga aman untuk pengobatan infeksi kerongkongan. Dosis setempat
: 0,05-0,30%, dan dihindari pemakaian obat pada luka yang terbuka.
2. Basitrasin, diisolasi dari Bacillus subtilis dan B. linchenformis. Sekarang telah
diketahui 10 jenis basitrasin yaitu basitrasin A, A, B, C, D, E, F1, F2, F3 dan
G. Basitrasin yang diperdagangkan adalah basitrasi A dengan seikit campuran
basitrasin B, D, E, dan F. Basitrasi digunakan secara setempat terutama untuk
pengobatan infeksi Staphylococcus sp. dan Streptococcus sp. Superfisal. Obat
sering dikombinasi dengan antibiotika lain seperti neomisin, polimiksin B dan
kadang dengan kortikosteroid. Walupun lebih bnayak digunakan secara
setempat,basitrasin juga efektif untuk sejumlah infeksi sistemik bila diberikan
secara intramukular. Secar oral obat tidak diabsorbsi oleh saluran cerna dan
kadang-kadang digunakan untuk pengobatan infeksi amuba. Potensi per mg

32

tidak kurang dari 40 unit USP. Dosis setempat : 500 unit/g salep kulit atau
mata, dioleskan 2-3 kali sehari, dosis I.M : 10.000-20.000 unit 3-4 dd.
3. Polimiksin b sulfat, diisolasi dari Bacillus polymyxa dan B. aerosporus greer.
Dari species Bacillus diatas dapat diidentifikasikan polimiksin A, B1, B2, C,
D1, D2, E1 (kolistin B), M, sirkulin A dan B, dan poli peptin. Polimikksin B
mengandung dua fraksi yang struturnya hanya berbeda pada satu komponen
asam lemak. Polimiksin B1 mengandung asam isopelargonatsedangkan
polimiksin B2 mengandung asam isooktanoat. Polimiksin B efektif terutama
terhadap bakteri Gram-negatif. Walaupun lebih banyak digunakan secara
setempat , polimiksin B juga efektif untuk sejumlah infeksi sistemik bila
deberikan secara intramukular. Secara oral tidak di absorbs oleh saluran cerna
dan kadang-kadang digunakan untuk pengobatan infeksi usus seperti
pseudomonas enteritis dari infeksi Shigella. Potensi per mg tidak kurang dari
6000 unit USP. Dosis setempat : 20.000 unit/g kulit dan mata, diberikan 2-3
kali sehari, dosis I.M :5.000-7.500 unit/kg bb 4 dd.
4. Kolistin sulfat (colistine), diisolusi dari Bacillus polymyxa var. colistinus,
suatu polipeptida yang heterogen dengan komponen yang dominan
adalahkolistin A. disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, seperti aerobacter,
Escherichia, Klebsiella, Pseudomonas, Salmonella dan Shigella. Secar oral
obat tidak di absorbs oleh saluran cerna dan digunakan untuk pengobatan
infesi usus seperti disentri basiler, entrokolitis dan gastroenteritis yang
disebabkan oleh bakteri Gram-negatif.

33

2.6 Pemakaian antibiotik pada ibu hamil


Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak
terpisahkan. Apa yang dikonsumsi oleh ibu akan ditransfer ke janin. Kesehatan ibu
hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal dan perkembangan kedua
bagian unit tersebut yaitu ibu dan janin. Menjaga asupan gizi menjadi hal penting
bagi bumil (Ibu Hamil) agar ibu dan janin sehat hingga hari kelahiran.
Selama kehamilan sangat sering kali ibu hamil mengalami gangguan
kesehatan sehingga membutuhkan obat. Akan tetapi ada beberapa Obat-obatan yang
dapat menyebabkan efek yang tidak dikehendaki pada janin selama masa kehamilan.
Selama ini banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode
organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar.
Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada
janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir
(teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trimester
kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara
fungsional pada janin.
Karena banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat
pada wanita hamil perlu berhati-hati. Plasenta merupakan sarana transfer apa yang
dikonsumsi ibu kepada janin. Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi,
mungkin sebagai upaya perlindungan dan dapat terbentuk senyawa antara yang
reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau obat-obat
yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat ditransfer ke janin
dan merusak atau mengganggu janin.
34

Kesehatan ibu saat kehamilan sangat menentukan perkembangan janin.


Berbagai macam penyakit mulai ringan hingga berat bisa saja terjadi. Tidak jarang
untuk menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan pada akhirnya ibu mengkonsumsi
berbagai obat. Namun banyak obat-obatan yang dikonsumsi ibu dapat masuk dalam
plasenta dan mempengaruhi janin. Oleh karena itu, baik pemberian dan pembelian
obat perlu dilakukan dengan hati-hati.
Ada kalanya, ibu hamil yang mengalami infeksi memerlukan penggunaan
antibiotik sebagai pilihan obat. Sebagian antibiotik pada semua fase kehamilan aman
dikonsumsi, sebagian lagi dikontraindikasikan pada fase tertentu, dan ada juga yang
dikontraindikasikan untuk semua fase kehamilan.
Sebuah studi yang dipublikasikan di American Journal of Obstetrics and
Gynecology,

melaporkan, sekitar 46 persen ibu yang terlibat dalam studi

menggunakan beberapa jenis antibiotik selama kehamilan atau selama proses


melahirkan. Bayi-bayi yang terpapar dengan obat-obatan ini mengalami penurunan
kemampuan melawan infeksi. Selain itu, hampir 50 persen dari bayi-bayi ini kebal
terhadap ampicillin, spektrum antibiotik yang banyak digunakan.
Ibu hamil sebaiknya menghindari antibiotik yang diresepkan untuk mengatasi
tuberculosis, infeksi saluran pernafasan dan jerawat. Obat-obatan yang digunakan
untuk mengatasi tuberculosis bisa menyebabkan ketulian pada anak. Selain itu,
beberapa jenis antibiotik tersebut bisa menghitamkan gigi bayi Anda.
Kehamilan akan mempengaruhi pemilihan antibiotik. Umumnya penisilin dan
sefalosporin dianggap sebagai preparat pilihan pertama pada kehamilan, karena
pemberian sebagian besar antibiotik lainnya berkaitan dengan peningkatan risiko
35

malformasi pada janin. Bagi beberapa obat antibiotik, seperti eritromisin, risiko
tersebut rendah dan kadang-kadang setiap risiko pada janin harus dipertimbangkan
terhadap keseriusan infeksi pada ibu.
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal ini
terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat mempengaruhi
janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang demikian itu disebut
teratogen. Definisi teratogen adalah suatu obat atau zat yang menyebabkan
pertumbuhan janin yang abnormal. Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani teras,
yang berarti monster, dan genesis yang berarti asal. Jadi teratogenesis didefinisikan
sebagai asal terjadinya monster atau proses gangguan proses pertumbuhan yang
menghasilkan monster.
Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika
dipengaruhi oleh besarnya dosis yang diberikan, lama dan saat pemberian serta
sifat genetik ibu dan janin.
2.7 Faktor - faktor yang dapat mempengaruhi efek pada janin
Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam
uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan
memberikan efek pada janin adalah:
1. Sifat fisikokimiawi dari obat.
2. Kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janinLamanya
pemaparan terhadap obat.
3. Bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin.
4. Periode perkembangan janin saat obat diberikan.
5. Efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi
36

Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan
ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi
ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio
sesarea,

dapat

menembus

plasenta

segera

setelah

pemberian,

dan

dapat

mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat
terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta
secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan
dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan oleh berat molekul.
Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta,
tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000
sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek
samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan
pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah
talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak
tumbuhnya anggota gerak.
2.8 Perpindahan obat lewat plasenta
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi
sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan
sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta.

Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta
dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini. :
1) Kelarutan dalam lemak
37

Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta
masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada
dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan
2) Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya
obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat
ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah.
Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat
ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati
akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya
kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas
membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan
konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam
jumlah besar.
3) Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati
pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obatobat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan
obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta.
Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar
ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga
merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
4) Ikatan protein
38

Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat
melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan
mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam
lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi
gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta
lebihtergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan
terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya
ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting,
misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari
ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah,
kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein
plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
5) Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat
metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat
ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda
misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya , kapasitas metabolisme
plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit
yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon,
deksametason, azidotimidin yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen
di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di plasenta.

Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena
umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya
39

akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin,
mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin,
walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada
metabolisme obat maternal.
6) Kerja obat teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur
janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya
pada perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan.
Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan
yaitu selama minggu ke empat sampai minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme
berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan mungkin
disebabkan oleh multi faktor.
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau
nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin.
Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin,
misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.

Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada


abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan
insiden kerusakan pada selubung saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif.
Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan , terutama pada

40

kehamilan trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome
yang berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid,
asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan
mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat
asam akan tinggi kadarnya di sel embrio.
2.9 Farmakokinetika obat selama kehamilan.
1.

Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 3040%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat
yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya
untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya
akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang
sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang
mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan
menurun.

2.

Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan
meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya
obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam
kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping
41

itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa
penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada
keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein
meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan
obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat
yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat
basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium
valproat terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan.
3.

Eliminasi
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai
dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang
terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed
function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme
hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan
cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat,
sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada
trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan
menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan.

2.10 Pengaruh Obat Pada Janin.


Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun
letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh
toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan
terjadinya gangguan fisiologik atau biokimiawi dari janin yang dikandung, dan
42

biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat
bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada
petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis
subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan
kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin
dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut :
Fase implantasi yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase
ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika
terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau
berakhirnya kehamilan (abortus).
Fase embional atau organogenesis yaitu pada umur kehamilan antara 4-8
minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya
malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang
mungkin terjadi pada fase ini antara lain : Gangguan fungsional atau
metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak
timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon
dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan
terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari
(pada saat mereka sudah dewasa). Pengaruh letal, berupa kematian janin atau
terjadinya abortus Pengaruh subletal, yang biasanya dalam bentuK malformasi
anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid.
Fase fetal yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini
terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk

43

senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik
lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap
fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organ-organ. Demikian pula
pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin
dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi
pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi
obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada
sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.
2.11 Antibiotik Pada Kehamilan.
Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah
risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran
kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan
dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan
dengan infeksi, pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu,
tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta
dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan
maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik
dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan
seminimal mungkin.
2.11.1 Penisilin
Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah
menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan
amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun
44

perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat
kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu.
2.11.2 Ampilisin
Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar
ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya
pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal
kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum
sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu
dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan
alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru
lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama
kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat
pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kirakira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis
ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan.

2.11.3 Amoksisilin
Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik
dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah
pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan
dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah

45

ibu maupun janin relatif rendah dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin,
kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu.
2.11.4 Sefalosporin
Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada
trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat
selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak
terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada
bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat
terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada
trimester terakhir kehamilan.
2.11.5 Tetrasiklin
Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan
mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika
diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya
deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan
pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak
menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun
sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua
hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna
gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel.
Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan
maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari.
2.11.6 Aminoglikosida
46

Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh


wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin
yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak
dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada
janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial
VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
aminoglikosida pada kehamilan.
2.11.7 Kloramfenikol
Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III,
di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey
pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan),
hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak
menyusu, di samping pernafasan yang cepat & tidak teratur, serta letargi.
Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek
farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai
malformasi

anatomik. Pengaruh

ini

dapat

bersifat

reversibel.

Pemberian

kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada mingguminggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui.
2.11.8 Sulfonamida
Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk
dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya
dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari,
47

terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak
bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya
kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap
sampai 7 hari setelah bayi lahir.
2.11.9 Eritromisin
Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat
terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan
serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya
dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin
dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati
infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan
penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama.
Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk
infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin.
2.11.10 Trimetoprim
Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan
fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun
kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat
teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa
43trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita
hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet.
2.11.11 Nitrofurantoin
48

Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika


diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi
dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin
bertambahnya umur kehamilan, kadar nitrofurantoin dalam plasma janin juga
meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan
kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada
kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini
kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
2.12 Indeks Keamanan Kehamilan Antibiotik
Obat dikategorikan berdasarkan resiko terhadap sistem reproduksi dan
perkembangan janin dan besarnya perbandingan resiko dan manfaat.
Kategori A : Studi terkontrol pada wanita tidak memperhatikan adanya risiko
terhadap janin pada kehamilan trimester 1 (dan tidak ada bukti mengenai
risiko pada trimester selanjutnya), dan sangat rendah kemungkinannya untuk
membahayakan janin.
Kategori B : studi pada system reproduksi binatang percobaan tidak
memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, tetapi studi terkontrol pada
wanita hamil bselum pernah dilakukan. Atau studi terhadap reproduksi
binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping obat (selain
penurunan fertilitas) yang tidak diperlihatkan pada studi terkontrol pada
wanita hamil trimester 1 (dan tidak ada bukti mengenai risiko pada trimester
berikutnya).

49

Kategori C : studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek


samping pada janin (teratogenik atau embriosidal atau efek samping lainnya)
dan belum ada studi terkontrol pada wanita atau studi terhaap wanita dan
binatang percobaan tidak dapat dilakukan . obat hanya dapat diberikan jika
manfaat yang diperoleh lebih besar dari risiko yang mungkin ditimbulkan
pada janin.
Kategori D : terbukti menimbulkan risiko terhadap janin manusia, tetapi
besarnya manfaat yang diperoleh jika digunakan pada wanita hamil dapat
dipertimbangkan (misalnya jika obat diperlukan untuk mengatasi situasi yang
mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang lebih aman tidak
efektif atau tidak dapat diberikan)
Kategori X : studi pada binatang

percobaan

atau

manusia

telah

memperlihatkan adanya abnormalitas janin berdasarkan pengalaman pada


manusia ataupun binatang percobaan, dan besarnya risiko obat ini pada
wanita hamil jelas jelas melebihi manfaat yang mungkin diperoleh. Obat
golongan ini dikontraindikasikan bagi wanita hamil atau wanitakemungkinan
untuk hamil.
2.13 Antibiotik yang perlu perhatian khusus ( Tidak boleh untuk ibu hamil dan
menyusui )
Golongan Aminoglikosida (biasanya dalam turunan garam sulfate-nya),
seperti amikacin sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin sulfate, gentamycin
sulfate, kanamycin sulfate, dan netilmicin sulfate.

50

Golongan Sefalosporin, seperti : cefuroxime acetyl, cefotiam diHCl,


cefotaxime Na, cefoperazone Na, ceftriaxone Na, cefazolin Na, cefaclor dan
turunan garam monohydrate-nya, cephadrine, dan ceftizoxime Na.
Golongan Chloramfenicol, seperti : chloramfenicol, dan thiamfenicol.
Golongan Makrolid, seperti : clarithomycin, roxirhromycin, erythromycin,
spiramycin, dan azithromycin.
Golongan Penicillin, seperti : amoxicillin, turunan tridydrate dan turunan
garam Na-nya.
Golongan Kuinolon, seperti : ciprofloxacin dan turunan garam HCl-nya,
ofloxacin, sparfloxacin dan norfloxacin.
Golongan Tetracyclin, seperti : doxycycline, tetracyclin dan turunan HCl-nya
(tidak boleh untuk wanita hamil), dan oxytetracylin (tidak boleh untuk wanita
hamil).

2.14 Obat Aman Bagi Kehamilan.


Berikut beberapa contoh antibiotik yang dinyatakan aman digunakan selama
kehamilan:

Amoxicillin
Ampicillin
Clindamycin
Erythromycin
Penicillin

51

2.15 Daftar Indeks keamanan Obat Antibiotik untuk Ibu Hamil/Kehamilan &
Menyusui :
Lactation Risk Categories

Pregnancy Risk Categories

L1 (safest)

A (controlled studies show no risk)

L2 (safer)

B (no evidence of risk in humans)

L3 (moderately safe)

C (risk cannot be ruled out)

L4 (possibly hazardous)

D (positive evidence of risk)

L5 (contraindicated)

X (contraindicated in pregnancy)

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Obat yang aman untuk ibu hamil yaitu obat yang tidak menembus plasenta.
Berikut adalah faktor obat menembus plasenta adalah kelarutan dalam lemak,
derajat ionisasi, ukuran molekul, dan ikatan protein.
Berikut beberapa contoh antibiotik yang dinyatakan aman digunakan selama
kehamilan adalah Amoxicillin, Ampicillin, Clindamycin, Erythromycin, dan
Penicillin

52

penggolongan antibiotik mberdasarkan mekanisme kerjanya masing-masing


Bakterisid : Antibiotika yang bakterisid secara aktif membasmi kuman.
Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, aminoglikosida
(dosis besar), kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin, isoniazid dll.
Bakteriostatik : Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau
menghambat pertumbuhan kuman, TIDAK MEMBUNUHNYA, sehingga
pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Termasuk
dalam

golongan

eritromisin,

ini

adalah

trimetropim,

sulfonamida,

linkomisin,

tetrasiklin,

makrolida,

kloramfenikol,

klindamisin,

asam

paraaminosalisilat, dll.

2. Berikut adalah antibiotik yang mempengaruhi janin


Golongan Aminoglikosida (biasanya dalam turunan garam sulfate-nya),
seperti amikacin sulfate, tobramycin sulfate, dibekacin sulfate, gentamycin
sulfate, kanamycin sulfate, dan netilmicin sulfate.
Golongan Sefalosporin, seperti : cefuroxime acetyl, cefotiam diHCl,
cefotaxime Na, cefoperazone Na, ceftriaxone Na, cefazolin Na, cefaclor dan
turunan garam monohydrate-nya, cephadrine, dan ceftizoxime Na.
Golongan Chloramfenicol, seperti : chloramfenicol, dan thiamfenicol.
Golongan Makrolid, seperti : clarithomycin, roxirhromycin, erythromycin,
spiramycin, dan azithromycin.

53

Golongan Penicillin, seperti : amoxicillin, turunan tridydrate dan turunan


garam Na-nya.
Golongan Kuinolon, seperti : ciprofloxacin dan turunan garam HCl-nya,
ofloxacin, sparfloxacin dan norfloxacin.
Golongan Tetracyclin, seperti : doxycycline, tetracyclin dan turunan HCl-nya
(tidak boleh untuk wanita hamil), dan oxytetracylin (tidak boleh untuk wanita
hamil).

DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2011. MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 11. Medita Indonesia :
Jakarta
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000, Dirjend POM,
Departemen Kesehatan, Jakarta.
Anonymous-c.2009.Dasar-dasar Mikrobiologi. (online). Tersedia:Mikrobiologi.html.
(Diakses tanggal 8 maret 2013).
Crueger,W., dan Crueger, A., 1988, Bioteknology: Textbook of industrial
Mikcrobiology, Madison Inc., New York
Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi
Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
: Jakarta
Depkes RI ,1979.Farmakope Indonesia edisi III.Jakarta

54

Huga, W.B.,dan Russel, A.D., 2000, Pharmaceutical Microbilogy., Blackwell


Scientific Piblication, London
Katzung BG. 1987. Basic and Clinical Pharmacology,3rd edition. Lange Medical
Book : California.
Muniz, Carolina Campos, et al (2007). Penicllin and Cephalosporin Production: A
Historical Perspective. Journal of Microbiology. Vol 49 No: 3-4, December
2007
Speight TM. 1987. Averys Drug Treatment: Principles and Practice of Clinical
Pharmacology and Therapeutics, 3rd edition.ADIS press : Auckland.
Suryawati S et al. 1990. Pemakaian Obat pada Kehamilan.Laboratorium
Farmakologi Klinik FK-UGM :Yogyakarta
T.pratiwi, Sylvia. 2008. Mikrobiologi farmasi. Erlangga : jogya katarta
http://ilmufarmasetika.blogspot.com/2015/02/makalah-pemakaian-antibiotik-pada
ibu.html

55

Anda mungkin juga menyukai