Anda di halaman 1dari 61

DAFTAR

I.

ISI

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

B. MAKSUD DAN TUJUAN

C. RUANG LINGKUP

II. PERKEMBANGAN DAN MASALAH PEMBANGUNAN KESEHATAN


A. ANALISA SITUASI DAN KECENDERUNGAN

B. PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS DAN


KECENDERUNGANNYA
C. ISUISU STRATEGIS

18
21

III. POKOK-POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL


A. PENGERTIAN SKN

25

B. LANDASAN SKN

25

C. PRINSIP DASAR SKN

26

D. TUJUAN SKN

27

E. KEDUDUKAN SKN

28

F. SUBSISTEM SKN

28

IV. SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN


A.

PENGERTIAN

30

B.

TUJUAN

30

C.

UNSUR-UNSUR UTAMA

30

D.

PRINSIP

31

E.

BENTUK POKOK

31

V. SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN


A.

PENGERTIAN

34

B.

TUJUAN

34

C.

UNSUR-UNSUR UTAMA

34

D.

PRINSIP

34

E.

BENTUK POKOK

35

VI. SUBSISTEM SUMBER DAYA KESEHATAN


A.

PENGERTIAN

37

B.

TUJUAN

37

C.

UNSUR-UNSUR UTAMA

37

D.

PRINSIP

37

E.

BENTUK POKOK

39

VII. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


A.

PENGERTIAN

43

B.

TUJUAN

43

C.

UNSUR-UNSUR UTAMA

43

D.

PRINSIP

44

E.

BENTUK POKOK

44

VIII.SUBSISTEM MANAJEMEN KESHETAN


A.

PENGERTIAN

47

B.

TUJUAN

47

C.

UNSUR-UNSUR UTAMA

47

D.

PRINSIP

48

E.

BENTUK POKOK

48

IX. PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL


A.

PELAKU SKN

52

B.

PROSES PENYELENGGARAAN

52

C.

PENTAHAPAN PENYELENGGARAAN

56

X. PENUTUP

59

ii

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan secara berkesinambungan telah dimulai sejak
dicanangkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun I pada tahun 1969
yang secara nyata telah berhasil mengembangkan berbagai sumberdaya
kesehatan, serta melaksanakan upaya kesehatan yang berdampak pada
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Dalam
20
tahun
terakhir,
pembangunan
kesehatan
yang
diselenggarakan secara berkesinambungan, berkelanjutan, menyeluruh,
terarah, dan terintegrasi tersebut didasarkan pada Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) yang telah ditetapkan pada tahun 1982. SKN tersebut
secara nyata telah dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) bidang Kesehatan,
penyusunan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
dan juga sebagai acuan dalam penyusunan berbagai kebijakan, pedoman
dan arah pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Memasuki milenium ke tiga, seperti juga terjadi di banyak negara,
Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis yang
mendasar baik eksternal maupun internal, yang perlu dipertimbangkan
dalam melaksanakan pembangunan nasional termasuk pembangunan
kesehatan.
Dalam konteks eksternal, perubahan dan tantangan strategis yang terjadi
adalah berlangsungnya era globalisasi, perkembangan teknologi,
transportasi, dan telekomunikasi-informasi yang mengarah pada
terbentuknya dunia tanpa batas. Globalisasi yang ditandai oleh
meningkatnya persaingan bebas, mengharuskan setiap bangsa
meningkatkan daya saing. Sejalan dengan itu demokratisasi, hak asasi
manusia dan pelestarian lingkungan hidup telah menjadi tuntutan dunia
yang semakin mendesak. Keterikatan Indonesia dengan berbagai
komitmen internasional seperti Agenda-21 yang mengatur pembangunan
berkelanjutan dan agenda internasional lainnya di bidang kesehatan,
perlu
dipertimbangkan
dalam
penyusunan
kebijakan
dan
penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Dalam konteks internal, perubahan dan tantangan strategis yang terjadi
adalah munculnya krisis moneter pada tahun 1997 yang kemudian
berkembang menjadi krisis multi dimensi meliputi krisis politik, ekonomi,

sosial, budaya dan keamanan yang mengarah pada disintegrasi bangsa.


Berbagai kondisi tersebut berdampak luas terhadap peri kehidupan
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, di antaranya meningkatnya
pengangguran dan jumlah penduduk miskin, menurunnya derajat
kesehatan penduduk yang pada gilirannya berpengaruh terhadap mutu
sumberdaya manusia Indonesia.
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, serta dilakukannya
amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) pada tahun 2002, juga merupakan perubahan dan
tantangan strategis internal lainnya yang perlu pula diperhatikan.
Sejalan dengan itu untuk menghadapi berbagai perubahan dan tantangan
strategis tersebut Sidang MPR tahun 1998 telah menetapkan Ketetapan
MPR R.I Nomor X Tahun 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
Pembangunan yang mengamanatkan perlu dilakukannya pembaharuan
melalui reformasi total kebijakan pembangunan dalam segala bidang.
Untuk bidang kesehatan pembaharuan tersebut telah berhasil
dilaksanakan yakni dengan ditetapkannya visi pembangunan kesehatan
di Indonesia yang baru, Indonesia Sehat 2010.
Selanjutnya berdasarkan visi tersebut, telah berhasil ditetapkan pula
dasar-dasar, misi, strategi dan paradigma pembangunan kesehatan yang
baru yaitu Paradigma Sehat yang inti pokoknya menekankan pentingnya
kesehatan sebagai hak asasi manusia, kesehatan sebagai investasi
bangsa dan kesehatan menjadi titik sentral pembangunan nasional.
Untuk mendukung keberhasilan pembaharuan kebijakan pembangunan
kesehatan yang telah dilakukan tersebut, diperlukan adanya SKN baru
yang mampu menjawab dan merespon berbagai tantangan
pembangunan kesehatan, baik untuk masa kini maupun untuk masa
mendatang.

B. MAKSUD DAN TUJUAN


SKN ini ditetapkan dengan maksud memberikan landasan, arah dan
pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan bagi seluruh
penyelenggara pembangunan kesehatan, baik Pemerintah (Pusat),
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota maupun
masyarakat dan dunia usaha serta pihak terkait lainnya, dengan tujuan
agar pembangunan kesehatan dapat lebih berhasil guna dan berdaya
guna.

Dengan adanya SKN ini akan mempertegas makna pembangunan


kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas
penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai dengan visi dan
misinya, memantapkan kemitraan, dan kepemimpinan yang transformatif,
meningkatkan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan
bermutu, serta meningkatkan investasi kesehatan untuk keberhasilan
pembangunan nasional.

BAB II
PERKEMBANGAN DAN MASALAH
PEMBANGUNAN KESEHATAN
Guna meningkatkan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
sistematis, berhasil-guna dan berdaya-guna, diperlukan suatu SKN. SKN
harus didasarkan pada perkembangan dan masalah pembangunan
kesehatan secara menyeluruh dan berkaitan dengan sistem-sistem sektor
lain yang erat hubungannya dengan kesehatan, termasuk lingkungan
strategis lainnya. Bab ini mengemukakan secara ringkas analisis situasi dan
kecenderungan pembangunan sektor kesehatan, sektor-sektor yang terkait,
dan isu-isu strategis
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di
Indonesia.
A. ANALISIS SITUASI DAN KECENDERUNGAN
1. Derajat Kesehatan

a. Angka kematian
Angka kematian bayi (AKB) dan anak (AKA) telah dapat diturunkan
dengan bermakna selama dekade 60-80an. Memasuki dekade
90an ada indikasi terjadinya stagnasi. Menurut kompilasi angka
AKB dari berbagai survei nasional (Susenas, Supas, SDKI dan
SP), AKB Indonesia belum pernah melampaui angka dibawah 45
per 1000 kelahiran hidup. AKB menurut SDKI 97 diperkirakan 46
per 1000 kelahiran hidup. SP 2000 memberikan angka 47 per
1000 kelahiran hidup dan Susenas 2001 menunjukkan angka
sekitar 50 per 1000 kelahiran hidup.
Angka kematian Ibu (AKI) masih tinggi bahkan tertinggi diantara
negara tetangga. AKI dilaporkan 450 per 100.000 kelahiran hidup
menurut SKRT 1986, 390 per 100.000 kelahiran hidup menurut
SDKI 1994, dan SKRT 1995 melaporkan 373 per 100.000
kelahiran hidup. Seperti halnya AKB ada indikasi AKI pada akhirakhir ini juga stagnan. AKI menurut SKRT 2001 diperkirakan 396
per 100.000 kelahiran didup. Karena sulitnya menegakkan sebab
kematian maternal dan fenomena underreporting, kemungkinan
besar angka-angka AKI tersebut masih lebih rendah dari keadaan
yang sesungguhnya.
Keragaman AKB dan AKI menurut latar belakang sosial ekonomi
penduduk, kawasan, kota/desa tetap persisten dari waktu ke
waktu. AKB dan AKI lebih tinggi di perdesaan, Kawasan Timur

Indonesia (KTI), serta pada penduduk dengan status ekonomi dan


pendidikan rendah.
Penyebab kematian tertinggi yang semula adalah penyakit karena
infeksi (SKRT 1986), telah bergeser ke non infeski (SKRT 2001).
Penyebab utama kematian menurut SKRT 2001 adalah: penyakit
sirkulasi (26,4%), infeksi (22,9%), pernapasan (12,7%) dan
neoplasma (6,0%). Data dari berbagai SKRT (1986, 92, 95 dan
2001) memberikan gambaran adanya transisi epidemiologi yang
berjalan tidak sama menurut kawasan.

b. Angka kesakitan
Dari survei morbiditas SKRT 2001, angka rata-rata keluhan sakit
pada wanita 54% dibandingkan dengan laki-laki sebesar 49%.
Angka kesakitan tinggi pada anak-anak dan usia di atas 55 tahun.
Gambaran ini memperlihatkan bahwa keluhan sakit lebih banyak
pada wanita dan pada orang berusia lanjut yang proporsinya
makin meningkat karena adanya transisi demografi.
Secara umum, berdasarkan keluhan responden SKRT 2001,
prevalensi tertinggi untuk 10 kelompok penyakit terbanyak adalah
kelompok penyakit gigi dan mulut (60%) diikuti dengan gangguan
refraksi dan penglihatan (31%), kemudian berturut-turut infeksi
saluran pernapasan akut /ISPA (24%), penyakit gangguan
pembentukan darah (umumnya anemia) dan imunitas (20%),
hipertensi pada penduduk golongan umur 15 tahun keatas (16%),
penyakit saluran cerna lain (15%), penyakit mata lain (13%),
penyakit kulit (12%), penyakit sendi (11%), dan infeksi saluran
napas kronik (10%). Selain itu Indonesia juga menghadapai
penyakit-penyakit emerging diseases seperti antara lain
HIV/AIDS, Chikunguya dan yang terakhir ini sedang dihadapi
penyakit Severe Acute Respiratory Syndrom, serta reemerging
diseases seperti antara lain malaria dan Tbc.
Prevalensi penyakit infeksi tampak meningkat dari 9% (SKRT
1995) menjadi 11% (SKRT 2001). Demikian pula prevalensi
hipertensi pada golongan umur 25 tahun keatas juga meningkat
dari 8% (SKRT 1995) menjadi 28% (SKRT 2001). Dari gambaran
di atas dapat diprediksi bahwa transisi epidemiologi di Indonesia
akan
berjalan
berkepanjangan
(delayed
epidemiological
transisition). Jadi Indonesia sekarang dan di masa mendatang
dihadapkan pada beban ganda, di mana disatu pihak harus
mengatasi masalah penyakit infeksi yang berkepanjangan dan di
lain pihak harus mengantisipasi munculnya berbagai penyakit
degenerasi.

Dari Profil Kesehatan tahun 2000, angka kesakitan malaria


cenderung naik, di pulau Jawa dari 12 kasus per 100.000
penduduk pada tahun 1997 meningkat menjadi 81 kasus per
100.000 penduduk pada tahun 2000 dan di luar pulau Jawa, angka
kesakitan malaria dari 1600 kasus per 100.000 pada tahun 1997
meningkat menjadi 3100 kasus per 100.000 penduduk pada tahun
2000.
Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999 terdapat 23 provinsi telah
melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka
penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di
Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, di mana prevalensi
ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di DKI Jakarta penderita AIDS
10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Papua
prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional.
Perkembangan terakhir SARS di Indonesia sampai dengan tanggal
25 April 2003, jumlah orang yang berobat dan memeriksakan
dirinya karena khawatir menderita SARS ke sarana pelayanan
kesehatan berjumlah 51 orang, yang terdiri dari 49 WNI dan 2
WNA, serta dinyatakan suspect cases 3 orang dan probable cases
2 orang.Sampai saat ini belum terjadi transmisi setempat di
Indonesia.
Dari analisis Susenas, terjadi penurunan prevalensi gizi kurang
(underweight) pada balita dari 37,5% (1989) menjadi 24,6%
(2000), dan meningkat kembali menjadi 31% pada tahun 2001
(Surkesnas/SKRT 2001). Sedangkan balita pendek (stunting)
34,3% dan balita kurus (wasting) 16,6%. Prevalensi anemia pada
balita 47,8% meningkat jika dibandingkan dengan prevalensi
anemia pada balita sebesar 40,5%. Bahkan prevalensi anemia
pada umur kurang dari 1 tahun lebih dari 60%. Anemia pada ibu
hamil (40,1%), prevalensi anemia pada ibu hamil di perdesaan
lebih tinggi dari perkotaan dan tertinggi di KTI. WUS KEK sebesar
13,6% dan WUS gemuk sebesar 16%. Survei nasional vitamin A
(Suvita 1978 dan 1992) menunjukkan penurunan prevalensi
kekurangan Vitamin A sekitar 10% dari tahun 1978 ke tahun 1992.
Status gizi masyarakat di daerah perdesaan lebih jelek
dibandingkan di daerah perkotaan dan keadaan di KTI juga lebih
buruk bila dibandingkan dengan KBI.

c. Kecenderungan Umur Harapan Hidup


Umur Harapan Hidup (UHH) waktu lahir dalam empat dekade
cenderung meningkat dari 41 tahun (1960) menjadi 66,2% tahun
(1999). Kondisi ini sekaligus memberikan gambaran bahwa salah
satu penyebabnya adalah meningkatnya kualitas hidup dan
kesehatan masyarakat. Dengan adanya stagnasi penurunan angka
kematian, UHH akan bertahan dan tidak banyak berubah dari

angka 66 tahun untuk beberapa waktu. Berdasarkan berbagai


asumsi yang ada dewasa ini diperkirakan umur harapan hidup
pada tahun 2010 akan sekitar 67 tahun pada tahun 2020 sekitar 70
tahun.
2. Penyelenggaraan upaya kesehatan

a. Upaya Kesehatan
Pembangunan kesehatan yang telah diselenggarakan dalam
beberapa dekade ini, telah berhasil menyediakan sarana
kesehatan di seluruh pelosok tanah air. Setiap kecamatan di
Indonesia telah memiliki paling sedikit sebuah Puskesmas. Lebih
dari 40% desa telah dilayani oleh sarana pelayanan kesehatan
pemerintah. Pada tahun 2000 tersedia 7.237 Puskesmas, 21.267
Puskesmas Pembantu dan 6.392 Puskesmas Keliling. Dengan
demikian setiap 100.000 penduduk Indonesia, rata-rata dilayani
oleh 3,5 Puskesmas.
Puskesmas, selain melakukan upaya kesehatan masyarakat, juga
melakukan upaya kesehatan perorangan dalam suatu wilayah
tertentu, yang dikenal sebagai upaya pelayanan kesehatan dasar.
Dalam
rangka
reorganisasi
sistem
kesehatan
setelah
desentralisasi, upaya pelayanan kesehatan dasar yang diberikan
melalui Puskesmas dan jaringan dibawahnya disesuaikan dengan
keadaan epidemiologi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Disamping sarana tersebut di atas, telah dikembangkan pula
upaya kesehatan bersumber masyarakat (Posyandu, Pondok
Bersalin Desa, Pos Obat Desa dan Pos Upaya Kesehatan Kerja)
dan upaya kesehatan swasta (dokter praktek, klinik / balai
pengobatan swasta, rumah bersalin, dan lain-lain). Beberapa studi
menunjukkan bahwa upaya-upaya ini mempunyai kecenderungan
akan makin berperan pada masa mendatang.
Pemerataan sarana pelayanan kesehatan dasar juga diikuti
dengan penambahan sarana pelayanan kesehatan rujukan (rumah
sakit) dengan penyediaan upaya pelayanan medis spesialistis.
Pemerintah telah melengkapi sarana tersebut dengan tenaga
dokter spesialis, khususnya spesialis penyakit dalam, penyakit
anak, bedah dan kebidanan. Lebih dari 80% RSU kelas C di
Kabupaten dan kota telah mempunyai dokter spesialis dasar.
Hampir di setiap ibu kota provinsi, kabupaten dan kota telah
tersedia rumah sakit milik pemerintah, disamping berbagai rumah
sakit swasta yang cenderung terus bertambah. Pada umumnya
pembangunan rumah sakit lebih banyak di perkotaan terutama RS
swasta. Perkembangan oleh sektor swasta dengan penggunaan

teknologi kesehatan canggih dalam dekade terakhir juga


berlangsung pesat, walaupun dalam beberapa hal menimbulkan
masalah moral dan etika. Sayangnya beberapa pengamatan dan
studi menunjukkan masih kurang harmonisnya hubungan antara
pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, malahan cukup banyak
kasus yang menunjukkan kecenderungan untuk terjadinya
disintegrasi dari kedua sarana pelayanan tersebut.
Sekalipun jumlah dan penyebaran sarana kesehatan dinilai telah
cenderung memadai, namun jika ditinjau dari aspek mutu
pelayanan, ternyata masih di bawah standar. Sebagian besar
rumah sakit bahkan belum memenuhi standar minimal. RS
pemerintah yang telah lulus akreditasi hanya 44%, RS swasta
sebesar 20,9%, RS BUMN sebesar 19,1%, RS TNI/POLRI sebesar
2,7%. Melalui upaya akreditasi, diharapkan di masa depan rumahrumah sakit dapat memenuhi standar pelayanan yang telah
ditetapkan.
Keterbatasan biaya dan ketidak-jelasan kepemilikan sarana antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebelum era
desentralisasi, menyebabkan tidak memadainya sarana penunjang
dan perbekalan kesehatan yang sangat dibutuhkan untuk
melakukan fungsinya secara optimal. Hal ini juga memberi dampak
negatif pada daya-guna dan mutu pelayanan yang dihasilkan.
Keadaan ini diperberat oleh penyebaran tenaga yang kurang
merata dan lebih terkonsentrasi di perkotaan.
Data Susenas 2001, menunjukkan bahwa 25% penduduk
mengeluh sakit dalam satu bulan terakhir dan lebih dari
separuhnya (14%) disertai dengan gangguan aktivitas. Hampir
55% penduduk dengan gangguan aktivitas mencari pengobatan ke
fasilitas kesehatan rawat jalan, sisanya lebih suka melakukan
pengobatan sendiri. Sarana pelayanan yang banyak dimanfaatkan
untuk rawat jalan adalah praktek dokter (28%), praktek petugas
kesehatan (28%), Puskesmas (24%) dan Puskesmas Pembantu
(10%). Dibandingkan dengan hasil Susenas 1998, kunjungan
berobat jalan ke Puskesmas menurun 4%; sedangkan kunjungan
ke praktek dokter dan paramedis meningkat 4%. Survei yang sama
juga menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dengan strata
ekonomi tinggi, memanfaatkan lebih banyak pelayanan rawat jalan
rumah sakit dan praktek dokter, sedangkan mereka dengan strata
ekonomi rendah lebih banyak memanfaatkan pelayanan rawat
jalan Puskesmas Pembantu dan praktek petugas kesehatan.
Kesenjangan tersebut cenderung tidak banyak berubah dari waktu
ke waktu, dan akan cenderung sama pada masa mendatang,
apabila tidak ada perubahan kebijakan.

Data Susenas 2001 menunjukkan ketidakpuasan terhadap


pelayanan kesehatan pemerintah lebih besar dibandingkan
pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan swasta. Mereka
yang melaporkan kurang puas atau tidak puas untuk pelayanan
RS, Puskesmas dan Pustu berturut-turut adalah 20%, 16% dan
18%. Untuk pelayanan RS swasta, praktek dokter dan poliklinik
adalah 11%, 9% dan 9%. Ketidak puasan pada pelayanan
cenderung naik dibandingkan hasil Susenas 1998. Susenas 2001
juga memberikan gambaran bahwa 4% penduduk melakukan
rawat inap.
Untuk membedakan tingkat rujukan dan kompetensinya, RSU
pemerintah dibagi dalam beberapa kelas yakni kelas A : 4 buah,
kelas B: 54 buah, kelas C : 213 buah dan kelas D: 71 buah.
Sebagian besar RSU kelas A dan B digunakan sebagai RS
pendidikan. Rumah sakit kelas C dan D tersebar merata di ibu kota
kabupaten/kabupaten. Dalam sepuluh tahun terakhir, pemanfaatan
RSU pemerintah boleh dikatakan tidak meningkat, bahkan RSU
kelas A pemanfaatannya menurun dari 75% (1988) menjadi 60%
(1997). RSU kelas B dan kelas C pemanfaatannya menetap (55
60 %), sedangkan RSU kelas D masih rendah (45%). Banyak
faktor yang mempengaruhi utilisasi RS antara lain: kemampuan
ekonomi masyarakat, mutu RS, kemudahan pelayanan dan
sebagainya.
Persentase rujukan bervariasi, tertinggi di provinsi Bengkulu
(20%). Provinsi lain jauh lebih rendah, misalnya provinsi
Kalimantan Timur (2%), Kalimantan Selatan (1%) dan Sumatera
Utara, Jambi, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Papua sebesar
0,1%.
Jumlah penduduk miskin setelah krisis ekonomi meningkat dari
22,5 juta (11%) tahun 1996 menjadi 49,5 juta (24%) pada tahun
1998, menurun kembali menjadi 37,7 juta (18%) pada 2002.
Program JPS BK memberikan pelayanan gratis kepada penduduk
miskin di puskesmas maupun di RS. Surkesnas 2001
menunjukkan bahwa hanya 11% penduduk miskin (quantile I)
menerima kartu sehat (yang dikaitkan dengan program JPS BK),
dan proporsi besar dari kartu sehat tidak tepat sasaran (20% kartu
sehat dimiliki penduduk relatif ekonomi tinggi/quintile IV atau V).
Pelayanan kesehatan matra (kelompok khusus seperti haji,
pekerja, pengungsi), dilakukan juga oleh sarana pelayanan medik
dasar dan spesialistik; khususnya Puskesmas dan Rumah Sakit
kabupaten/kota. Dalam kondisi tertentu, dilakukan pelayanan
khusus misalnya pada kelompok pekerja di daerah industri,

kelompok masyarakat yang menunaikan ibadah haji (sebelum,


pada waktu di tanah suci dan ketika kembali) ataupun pelayanan
pada kelompok penderita tertentu seperti operasi katarak.
Pelayanan kesehatan haji, yang mencakup dua wilayah negara
dan kontak dengan penduduk dari berbagai negara, secara
epidemiologi cenderung memungkinkan penyebaran penyakit
menular yang sering menimbulkan masalah KLB baik di saat
perjalanan, di Arab Saudi maupun di Indonesia. Nampaknya halhal tersebut cenderung masih akan sama di masa mendatang
tanpa adanya upaya khusus.
Sebagai negara besar dengan wilayah fisik geografis luas,
Indonesia sering mengalami bencana alam, seperti banjir, tanah
longsor, gunung meletus; maupun situasi konflik yang
menyebabkan terjadinya pengungsian massal penduduk.
Walaupun telah dilakukan upaya peningkatan pelayanan bagi
masyarakat korban bencana, kenyataan di lapangan menunjukkan
ketidak
siapan
petugas
kesehatan
dan
kurangnya
sarana/prasarana dalam menangani bencana.
Penggunaan obat generik dan obat tradisional cenderung
meningkat. Jenis obat generik berlogo terus meningkat dari 204
jenis (1996) bernilai total Rp. 378 miliar menjadi 220 jenis (2000)
dengan nilai total Rp. 1 triliun. Dewasa ini lebih dari 95%
kebutuhan obat nasional telah dapat diproduksi di dalam negeri,
bahkan telah mulai diekspor. Pada tahun 2001 ekspor obat
Indonesia mencapai US$ 69.92 juta dan beberapa tahun
mendatang diharapkan dapat mencapai sekitar US$ 100 juta,
namun sayangnya sekitar 95% bahan bakunya masih harus
diimpor. Kebutuhan vaksin telah dipenuhi produksi dalam negeri,
demikian juga alat-alat kesehatan, kecuali yang menggunakan
teknologi canggih. Ditetapkannya kewenangan wajib bagi sektor
kesehatan beserta standar pelayanan minimalnya (SPM) bagi
kabupaten/kota, diharapkan memberi rambu-rambu kualitas dan
keamanan; disamping meningkatkan efisiensi pelayanan.
Reformasi dan desentralisasi dalam berbagai bidang, termasuk
bidang kesehatan dan bidang hukum membuka peluang lebih
besar bagi masyarakat untuk menentukan arah pembangunan
kesehatan diwilayahnya. Terbentuknya Komite Kesehatan di
sejumlah kabupaten/kota merupakan wujud peran serta
masyarakat dalam pembangunan kesehatan dan membuka
peluang bagi demokratisasi sektor kesehatan.

10

b. Pembiayaan Kesehatan
Sumber pembiayaan kesehatan bagi pembangunan kesehatan
berasal dari pemerintah dan
masyarakat termasuk swasta.
Sumber biaya pemerintah berasal dari pemerintah pusat, propinsi,
kabupaten/kota. Sumber biaya masyarakat dan swasta berasal
dari pengeluaran rumah tangga atau perorangan (out of pocket),
perusahaan swasta/BUMN untuk membiayai karyawannya dan
lembaga non pemerintah yang umumnya digunakan untuk
kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan.
Pembiayaan kesehatan perkapita di Indonesia terendah
dibandingkan negara ASEAN lainnya, meskipun menunjukkan
peningkatan 8 kali dari Rp19.602 (1990) menjadi Rp 171.511
(2000). Perhitungan dengan menggunakan nilai US dolar terjadi
peningkatan hanya 1,73 kali dari $11,6 (1990) menjadi $20,01
(2000). Rendahnya pembiayaan kesehatan di Indonesia menjadi
salah satu sebab utama yang menghambat percepatan
peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Menurut Komite
Makro-Ekonomi dari WHO menganjurkan agar negara
berkembang mengeluarkan paling sedikit $32 per kapita tiap
tahunnya untuk keperluan kesehatan termasuk membangun
infrastruktur. Bila dibandingkan dengan PDB, maka persentase
pembiayaan kesehatan di Indonesia selama 10 tahun ini rata rata
2,21 %. Terlihat ada peningkatan setiap tahun dari 1,85% (1990)
menjadi 2,74% (2000). WHO menganjurkan biaya kesehatan
suatu negara minimal 5% dari PDB agar tujuan pembangunan
kesehatan tercapai.
Kontribusi masyarakat dan swasta dalam pembiayaan kesehatan
cukup besar. Pada tahun 1990 sekitar 70% pembiayaan kesehatan
berasal dari masyarakat dan swasta sedangkan peran pemerintah
hanya 30%. Peran pemerintah kemudian meningkat mendekati
40% (1995) tetapi kemudian menurun kembali menjadi sekitar
23,7% pada tahun 2000.
Kontribusi lintas sektor (Departemen Pertahanan dan POLRI,
Meneg Pemberdayaan Perempuan dengan lembaga BKKBN,
Departemen Tenaga Kerja) masih rendah yang terlihat dari
persentasenya terhadap pembiayaan kesehatan bersumber
pemerintah hanya sebesar 3,12% atau berkontribusi sekitar 0.40
% dari total sumber pembiayaan kesehatan (pemerintah, swasta
dan lainnya).
Alokasi anggaran kesehatan bersumber pemerintah dari total
anggaran dan belanja pemerintah di Indonesia masih sangat
rendah, dalam kurun sepuluh tahun terakhir rata-rata 3,59%,
terlihat berfluktuasi, dari tahun 1990 (3,72%) dan tertinggi pada

11

tahun 1994 (4,44%) selanjutnya cenderung turun sampai tahun


2000 (3,14%).
Tahun 2000 telah ada kesepakatan bupati/walikota se Indonesia
untuk mengalokasikan 15% dari masing-masing APBD untuk
pembangunan kesehatan. Demikian pula, hasil sidang tahunan
MPR tahun 2002, melalui TAP MPR/VI/2002 merekomendasikan
agar alokasi anggaran kesehatan secara bertahap menjadi 15%
dari APBN/APBD. Meskipun ada beberapa daerah yang secara
nominal meningkat, namun kenyataannya rata-rata pembiayaan
kesehatan daerah baru mencapai 9% dari APBD pada tahun 2001
dan 3-4% dari APBD pada tahun 2002.
Distribusi alokasi pembiayaan pemerintah menurut provider
kesehatan tahun 2000 sebagian besar untuk promosi peningkatan
pelayanan dan derajat kesehatan (19,88%). Alokasi biaya untuk
rumah sakit sebesar 14,95%, puskesmas sebesar 4,04%, serta
penyediaan farmasi dan alat-alat kesehatan sebesar 14,10%.
Disini terlihat bahwa anggaran untuk primary health care mendapat
porsi yang kecil.
Sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah digunakan
untuk subsidi di semua lini, sedangkan yang bersumber swasta
sekitar 80% berasal dari pengeluaran perorangan/rumah tangga
dan dibayarkan secara langsung (fee for service) kepada pemberi
pelayanan. Cara tersebut dipandang tidak efisien dan sangat
memberatkan masyarakat serta dapat menjauhkan mereka dari
pelayanan yang dibutuhkan. Masyarakat yang terlindung dengan
berbagai bentuk Jaminan Pembiayaan Kesehatan (JPK) masih
rendah walaupun menurut data Susenas ada peningkatan dari 16
% (1998) menjadi 20,2% (2001). Peserta menurut jenis JPK yang
dilaporkan meliputi peserta Askes 7,4%, kartu sehat 6,3%,
astek/jamsostek 2,9%, asuransi perusahaan 2,4%, JPKM 1,2%,
dana sehat 0,5% dan asuransi lain 0,4%. Bila dibandingkan
dengan negara lain di wilayah Asia Tenggara, angka cakupan JPK
masih rendah. Di Filipina angka cakupan JPK sudah mencapai
40% dan Thailand 60%.
Komitmen kebijakan pemerintah untuk jaminan kesehatan semakin
meningkat melalui amandemen UU 1945 pasal 34 ayat 2 yang
menyatakan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Ketetapan MPR no VI tahun 2002, merekomendasikan
diwujudkannya sistem jaminan kesehatan masyarakat. Hal ini juga
didukung dengan telah dibentuknya tim SJSN (Sistem Jaminan

12

Sosial Nasional) oleh Kantor Wakil Presiden untuk merumuskan


Undang Undang SJSN dengan JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional) sebagai salah satu komponennya. Di masa depan, hal
ini akan terus mendorong terselenggaranya jaminan kesehatan
bagi masyarakat Indonesia secara optimal, sekaligus memenuhi
keadilan pembiayaan
(fairness of financing) yang menjadi
indikator keberhasilan sistem kesehatan di negara-negara di dunia.

c. Sumber Daya Manusia Kesehatan


Permasalahan besar tentang SDM adalah inefisiensi dan
inefektivitas SDM dalam mengnanggulangi masalah kesehatan.
Walaupun rasio SDM kesehatan telah meningkat tetapi masih jauh
dari target Indonesia Sehat 2010 dan variasinya antar daerah
masih tajam. Dengan produksi SDM kesehatan dari institusi
pendidikan saat ini, target tersebut sulit untuk dicapai. Tahun 2001
diperkirakan rasio dokter 1:13.000 penduduk, dokter spesialis
1:37.000, perawat 1:2850, bidan 1:2.600, sedangkan kebijakan
Indonesia Sehat 2010 mentargetkan rasio dokter 1:2.500, dokter
spesialis 1:18.000, perawat 1:850, bidan 1:1.000.
Variasi antar
daerah menunjukkan yang paling rendah di Kalimantan Barat pada
tahun 1999 rasio dokter per 100 ribu penduduk hanya sebesar
4,48 sedangkan di DI Yogyakarta sebesar 33,27. Proporsi SDM
non tenaga kesehatan, khususnya yang berpendidikan setingkat
SMU masih lebih besar dari pada tenaga kesehatan.
Pendayagunaan SDM kesehatan yang non tenaga kesehatan
setingkat sarjana (misalnya sosiolog, antropolog, psikolog, ekonom
dan lain-lain) masih terbatas karena kuatnya orientasi kepada
tenaga kesehatan.
Perencanaan SDM selama ini masih dilakukan berdasarkan
kebutuhan pemerintah, belum mengakomodasi kebutuhan dan
potensi masyarakat (organisasi profesi, LSM, swasta, dan
pengobat tradisional). Selain itu kurang berorientasi pada
paradigma sehat dan pengaruh globalisasi serta kebutuhan
spesifik daerah.
Pengembangan dokter keluarga sebagai gate keeper masih
terbatas, karena terkait erat dengan
pengembangan
asuransi/jaminan kesehatan yang masih rendah cakupannya.
Saat ini sistem informasi SDM belum mendukung perencanaan
terpadu, karena masih terfragmentasi, sehingga belum bisa
menyajikan data dan informasi secara terpadu antara
perencanaan, pendayagunaan dan pengadaan SDM.

13

Pendayagunaan SDM yang meliputi sistem penempatan,


penghargaan dan sanksi serta peningkatan karir profesional belum
sepenuhnya memperhatikan partisipasi masyarakat dan belum ada
kejelasan wewenang antara pemerintah dan masyarakat.
Pendayagunaan SDM belum sepenuhnya memperhatikan segi
perimbangan kebutuhan pemerintah dan unsur masyarakat yang
disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku, keadaan dan
penyebaran penduduk, keadaan geografi, serta sarana dan
prasana.
Kebijakan pegawai tidak tetap (PTT) belum mampu menempatkan
tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gigi, bidan) secara
merata. Pada tahun 2001 sekitar 25-40% puskesmas tidak
mempunyai dokter, khususnya di daerah dengan geografi sulit
seperti di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal yang sama terjadi
pada bidan di desa, walaupun menurut data yang ada hampir
seluruh desa tetapi pada kenyataanya di lapangan banyak desa
yang tidak memiliki bidan. Keadaan ini telah diatasi secara
bertahap dengan pengangkatan PNS baik untuk tenaga dokter,
dokter gigi dan para medis melalui penyediaan 5000 formasi
pegawai.
Kerjasama pengembangan SDM yang telah ada selama ini adalah
pengembangan kader kesehatan seperti kader posyandu, kader
dasawisma, juru malaria desa (JMD), tim imunisasi desa, kader
gizi, pengawas minum obat (PMO) bagi penderita TB. Sejauh ini
upaya tersebut masih scattered, parsial, tidak tertata dan tidak
berkelanjutan. Potensi dalam masyarakat serta metoda yang
cocok dan disukai masyarakat belum tergali, sehingga
pengembangan SDM Kesehatan
tidak berkesinambungan.
Kerjasama pengembangan yang melibatkan pemerintah dan
masyarakat dengan memperhatikan potensi di masyarakat (seperti
pengobat tradisional dan lain-lain) melalui sentuhan teknologi
kesehatan masih perlu digali.
Dewasa ini pembinaan dan pengawasan SDM yang meliputi
sertifikasi, registrasi dan lisensi dari pelaksanaan tugas profesi
tenaga kesehatan, belum terlaksana sesuai yang diharapkan. Hal
tersebut terlihat dari masih cukup tingginya angka keluhan
masyarakat akan pelayan kesehatan yang kurang/tidak
memuaskan. Peran pemerintah dalam pembinaan dan
pengawasan ini masih dominan. Demikian pula pembinaan dan
pengawasan institusi diklat SDM yang meliputi akreditasi dan
benchmarking institusi, belum terstruktur dengan baik.

14

d. Pemberdayaan Masyarakat
Sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, masyarakat
memiliki
kesempatan
untuk
berperan
serta
dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan beserta penyediaan sumber
dayanya. Selanjutnya, pemerintah mempunyai kewajiban dan
wewenang untuk membina, mendorong dan menggerakkan
swadaya masyarakat agar dapat lebih berhasil guna dan
berdayaguna dengan mempersiapkan perangkat peraturan dan
tata caranya.
Pemberdayaan masyarakat melalui Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (kini disebut Dewan Kelurahan) dan Dewan
Kecamatan yang melibatkan berbagai unsur, memiliki potensi
besar untuk meningkatkan upaya kesehatan masyarakat.
Potensi masyarakat baik berupa organisasi, upaya, tenaga, dana,
sarana, teknologi, maupun mekanisme pengambilan keputusan
belum optimal. Peran serta masyarakat di bidang kesehatan telah
banyak berkembang, antara lain dimulai dengan tumbuhnya PKMD
(Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) dan sekarang
berkembang menjadi Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat
(UKBM). Posyandu telah berjumlah lebih dari 200.000 buah, yang
berarti setiap desa secara rata-rata telah memiliki lebih dari 3 buah
Posyandu. Persentase desa yang memiliki Polindes (Pondok
Bersalin Desa) sebanyak 41% pada tahun 2000. Upaya Kesehatan
Tradisional seperti Tanaman Obat Keluarga meningkat tajam,
yakni enam kali lebih besar, yakni 5.958 buah (1997) menjadi
37.645 buah (2000). Potensi lainnya seperti Upaya Kesehatan
Kerja, Upaya Kesehatan Dasar Swasta, Pembinaan Kader, Dana
Sehat, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM),
LongTerm Care Usila dan Teknologi Tepat Guna sesuai kebutuhan
setempat juga terus berkembang, meskipun belum seperti yang
diharapkan. Kemitraan dengan LSM di bidang kesehatan
diperkirakan 40% berlokasi di Jakarta.
Upaya pemberdayaan masyarakat hingga saat ini masih
menempatkan masyarakat sebagai obyek dan upayanya lebih
banyak berupa bantuan kemanusiaan (charity) yang bersifat
mendesak (emergency), penggerakan (mobilisasi) baru bersifat
sementara dan baru pada tahap pengembangan. Iklim feodalisme
dan paternalisme di sebagian besar masyarakat masih kuat, di
samping masih kuatnya orientasi pada birokrat. Di pihak lain, para
birokrat dan provider pada umumnya belum
memahami
bagaimana memberdayakan masyarakat secara profesional;
termasuk mendorong masyarakat dalam mengemukakan pendapat
(voice) dan memilih (choice) serta menentukan prioritas program

15

kesehatan sesuai kebutuhan masing-masing. Seringkali arah


pemberdayaan bahkan berbalik menjadi memperlemah potensi
masyarakat sendiri. Upaya pemberdayaan masyarakat belum
didukung oleh peraturan perundangan yang memadai.
Norma dan tata nilai yang berdasarkan sosial budaya masyarakat
kurang menjadi bahan pertimbangan dalam upaya pemberdayaan
masyarakat yang cenderung seragam. Selain itu unsur budaya dan
kepercayaan yang bertentangan dengan asas-asas kesehatan
masih tetap ada.
Arus globalisasi semakin kuat bersamaan dengan berkembangnya
reformasi, desentralisasi dan keinginan untuk mewujudkan
masyarakat madani. Selain itu, makin disadari pula peranan
perempuan dan isu gender yang sangat potensial dalam
perkembangan masyarakat dan bangsa, termasuk dalam
pemberdayaan masyarakat. Diperkirakan 76% kabupaten di
seluruh Indonesia mempunyai nilai index Gender Empowerment
(GEM) masih dibawah 50.

e. Manajemen Kesehatan
Perencanaan program kesehatan pada zaman penjajahan, awal
kemerdekaan, orde lama dan orde baru bersifat sentralistik
dengan arah top down. Akibatnya antara lain banyak program
yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan di daerah;
alokasi sumber daya yang tidak merata; dan pelayanan kesehatan
yang tidak mencapai sasaran.
Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, proses perencanaan harus dilakukan oleh
daerah sesuai dengan prioritas masalah masing-masing. Peran
pusat terbatas pada regulasi, koordinasi, advokasi serta monitoring
dan evaluasi. Selain itu, program yang berskala nasional dan
bersifat strategis tetap masih dilakukan oleh pemerintah pusat.
Namun demikian kemampuan petugas daerah dalam perencanaan
kesehatan masih terbatas dan kurang dapat meyakinkan para
pengambil keputusan di daerah seperti DPRD dan Bupat/Walikota,
sehingga alokasi dana APBD untuk kesehatan masih rendah.
Salah satu dukungan penting dalam proses perencanaan adalah
tersedianya informasi yang sahih dan akurat. Sebelum
diterapkannya kebijakan desentralisasi, ada arus informasi dari
daerah ke pusat melalui mekanisme berbagai sistem pelaporan.
Walaupun kualitas data yang dilaporkan seringkali diragukan,
tetapi mekanisme tersebut masih dapat dijadikan andalan
tersedianya informasi mengenai keadaan dan pelaksanaan

16

program kesehatan di daerah. Sesudah penerapan kebijakan


desentralisasi, boleh dikatakan mekanisme tersebut tidak dapat
diharapkan lagi. Lain dari pada itu hasil berbagai penelitian dan
pengembangan kesehatan kurang dimanfaatkan dalam penetapan
kebijakan pembangunan kesehatan.
Akibat lain dari penerapan kebijakan desentralisasi adalah masingmasing daerah memusatkan perhatian pada urusan daerahnya
sendiri. Konsep peningkatan kemampuan melalui sinergi yang
diperoleh dari kegiatan kerjasama tidak lagi diperhatikan karena
masing-masing sibuk sebanyak mungkin mengeksploitasi sumber
dayanya. Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan baik
secara nasional maupun sub-nasional Indonesia menjadi lemah
dan pengaruh globalisasi akan menjadi ancaman.
Kebijakan desentralisasi membawa dampak perubahan besar dan
mendasar dalam organisasi dan tata kerja baik di pusat maupun di
daerah. Hubungan antara pusat dan daerah lebih terasa sebagai
dua sistem yang saling bersaing dalam memperebutkan sumber
daya, terutama keuangan. Terjadi saling melempar tanggung
jawab antara pusat dan daerah bila muncul masalah kesehatan di
daerah. Dengan demikian masyarakat akhirnya menjadi korban
ketidakjelasan tanggung jawab tersebut. Akses pusat ke daerah
menjadi sangat terbatas, sedangkan daerah mengembangkan
kebijakan program kesehatan secara beragam. Berkurangnya
akses pusat ke daerah menyebabkan pula pelaksanaan evaluasi
keberhasilan program kesehatan menjadi sulit dilaksanakan. Hal
ini disebabkan antara lain karena kurangnya peraturan
perundangan yang menyebabkan masing-masing daerah
menafsirkan kebijakan desentralisasi dengan caranya sendiri.
Banyak peraturan di bidang kesehatan yang dulu berlaku dianggap
merugikan daerah dan akhirnya diabaikan. Daerah kemudian
membuat berbagai peraturan sendiri yang dalam banyak hal
merugikan program kesehatan. Akibatnya pelaksanaan program
kesehatan menjadi terhambat akibat sulitnya menggerakkan dan
memberdayakan potensi di daerah.
Di banyak daerah, struktur organisasi yang dikembangkan kurang
mendukung pelaksanaan program kesehatan karena penanggung
jawabnya ditempatkan pada tingkat yang rendah. Bahkan di
beberapa daerah bidang kesehatan digabung dengan bidang
lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesehatan belum
memperoleh prioritas dalam penanganannya oleh daerah.
Ditambah lagi di beberapa daerah fungsi sarana pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat
diarahkan lebih banyak sebagai sumber pendapatan daerah

17

melalui restribusi. Dengan demikian, akses masyarakat terhadap


pelayanan kesehatan menjadi berkurang, terutama bagi
masyarakat kurang mampu.
Selain itu, peran masyarakat sebagai mitra dalam pembangunan
kesehatan, banyak tidak diperhatikan apalagi ditingkatkan.
Akibatnya masyarakat lebih banyak dirasakan sebagai obyek atau
sebagai beban dibanding sebagai asset.

B.

PERKEMBANGAN
LINGKUNGAN
KECENDERUNGANNYA

STRATEGIS

DAN

Globalisasi merupakan tantangan, masalah dan potensi untuk


pembangunan kesehatan berwawasan kesehatan di masa
mendatang. Adanya perdagangan bebas, sumber daya kesehatan
yang ikut mengglobal, terorisme dan sebagainya perlu diantisipasi
secara serius dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Pengaruh globalisasi dan liberalisasi perdagangan dan pelayanan
melalui kesepakatan GATT (termasuk didalamnya General Agreement
on Trade in Services/GATS) dan TRIPS (Agreement on Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights), dimulainya pasar bebas
ASEAN (Asean Free Trade Area/AFTA) pada tahun 2003 dan pasar
bebas Asia Pacific (APEC) pada tahun 2020, akan mempengaruhi
berbagai aspek penyelenggaraan upaya kesehatan dan memerlukan
kesiapan dari pemerintah dan masyarakat.
Pembangunan nasional berwawasan kesehatan secara strategis
mempunyai kekuatan ketika pada tanggal 1 Maret 1999 Presiden
Republik Indonesia mencanangkan Gerakan Pembangunan
Berwawasan Kesehatan. Gerakan ini merupakan paradigma baru dan
merupakan salah satu dari strategi pembangunan kesehatan nasional
menuju Indonesia Sehat 2010, yang mutlak memerlukan dukungan
kerjasama lintas sektor. Pembangunan berwawasan kesehatan ini
juga diperkuat dengan adanya perubahan amandemen UUD 1945,
TAP MPR no. 3 Tahun 2000 dan TAP MPR no. VI Tahun 2002.
UU RI nomor 23/1992 tentang Kesehatan telah memberikan
dukungan dasar hukum yang kuat akan pentingnya upaya
pembangunan kesehatan di Indonesia. Undang-undang ini
seharusnya diterjemahkan dalam beberapa Peraturan Pemerintah
(PP) yang mengatur semua fungsi dan penyelenggaraan
pembangunan kesehatan secara lebih rinci. Haruslah diakui bahwa
proses pembuatan PP tidak dapat berjalan dengan cepat, sehingga
sebelum seluruh PP tersedia, telah terjadi perkembangan kebijakan
desentralisasi sesuai dengan UU RI nomor 22 tahun 1999 tentang

18

Pemerintahan Daerah dan UU RI nomor 25 tahun 1999 tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Penerapan desentralisasi menuntut pemerintah pusat menyerahkan
berbagai kewenangan dalam pembangunan termasuk pembangunan
kesehatan kepada pemerintah daerah. Namun diamati kebanyakan
pemerintah daerah belum menempatkan pembangunan kesehatan
sebagai salah satu prioritas pembangunan daerah yang diikuti dengan
pengalokasian anggaran yang memadai.
Dampak politik pasca reformasi di Indonesia yang menumbuhkan era
demokrasi dan kebebasan di semua sektor pembangunan semestinya
akan berpengaruh positif pada pembangunan berwawasan kesehatan.
Tetapi pada kenyataannya, demokrasi dan kebebasan yang
berlebihan menghambat perwujudan otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab serta pada akhirnya berdampak pada
pembangunan kesehatan di daerah. Konflik yang bernuansa suku dan
agama sebagai akibat kesenjangan diberbagai bidang pembangunan
menimbulkan berbagai masalah kesehatan sebagai akibat adanya
pemindahan dan pengungsian penduduk. Disamping itu, gangguan
keamanan yang timbul dan meningkatnya penduduk yang kehilangan
mata pencaharian akan menyulitkan pencapaian target pembangunan
kesehatan.
Pemecahan masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari pengaruh
kondisi perekonomian negara. Perhatian pemerintah terhadap
pemecahan masalah kesehatan seringkali diukur dari alokasi
anggaran pemerintah untuk bidang kesehatan. Dari tahun ke tahun
porsi anggaran untuk bidang kesehatan terus bertambah jumlah
nominalnya, namun secara proporsional, baik terhadap GDP maupun
terhadap anggaran pembangunan nasional dan daerah , nampaknya
masih jauh di bawah batas yang diisyaratkan oleh WHO. Selain itu
belum tuntasnya krisis multi dimensional yang melanda Indonesia
sejak 1997 menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin yang
cukup bermakna dan melemahnya kemampuan daya beli masyarakat.
Kondisi sosial masyarakat yang baik akan mendukung peningkatan
derajat kesehatannya. Kecenderungan krimininalitas yang meningkat,
peredaran NAPZA yang semakin merajalela, kemiskinan,
penggangguran dan sebagainya akan menyebabkan masalah yang
serius terhadap pembangunan yang berwawasan kesehatan.
Kemudahan transportasi, komunikasi dan penyebarluasan berbagai
informasi berpengaruh juga terhadap penyalahgunaan narkotika, obat
psikotropika dan zat adiktif lainnya, penyakit, perilaku seks bebas dan
gaya hidup tidak sehat lainnya. Hal ini akan mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat, khususnya generasi muda.

19

Keberhasilan penanggulangan berbagai penyakit sudah terbukti harus


memperhitungkan faktor budaya masyarakat. Pendekatan budaya
dalam memberdayakan masyarakat merupakan unsur utama.. Selain
aspek budaya, aspek agama juga sangat berpengaruh terhadap
pelaksanaan berbagai program kesehatan. Kedua aspek ini sangat
mempengaruhi perilaku masyarakat, termasuk perilaku yang berkaitan
dengan bidang kesehatan. Kedua aspek inipun amat berpengaruh
kepada masalah moral penduduk yang akhir-akhir ini mempunyai
kecenderungan sangat menurun kualitasnya.
Transisi demografi telah dapat diprediksi sebagai dampak dari
pembangunan nasional, baik dalam bidang ekonomi, keluarga
berencana dan kesehatan serta gizi. Jumlah penduduk Indonesia
tahun 2001 sekitar 205 juta. Dewasa ini diperkirakan proyeksi jumlah
penduduk tersebut pada tahun 2020 sekitar 265 juta. Pada piramida
kependudukan, terjadi perubahan kecenderungan pada mengecilnya
jumlah penduduk usia muda/balita dan meningkatnya jumlah segmen
angkatan kerja dan usia lanjut secara bermakna di tahun 2020 yang
perubahannya akan mulai terlihat pada tahun 2005. Tetapi
nampaknya segmen penduduk usia muda yang seharusnya mengecil
juga cenderung meningkat lagi. Akibatnya di samping masalah usia
lanjut yang makin serius, masalah-masalah yang berhubungan
dengan penduduk usia muda akan tetap muncul. Dimensi lain dari
transisi demografi adalah meningkatnya urbanisasi, migrasi dan
pengangguran.
Peran ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menentukan
keberhasilan
berbagai
program
pembangunan
termasuk
pembangunan bidang kesehatan. Berbagai penemuan yang
merupakan hasil penelitian dan pengembangan sangat mendukung
pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Peningkatan
pengetahuan masyarakat juga terbukti berpengaruh dalam mengubah
perilaku masyarakat.
Lingkungan fisik dan biologi berubah sangat cepat akibat berbagai
pembangunan yang dilaksanakan. Terlihat kecenderungan bahwa
pembangunan seringkali diterjemahkan pada perubahan fisik yang
memang dengan mudah dapat terlihat. Eksploitasi alam akan makin
tidak terkendali dan perubahan lingkungan mengarah pada perusakan
yang akan berakibat fatal. Selain itu faktor perubahan iklim,
perubahan keseimbangan ekologi dan meningkatnya bencana alam
yang disebabkan oleh karena perubahan secara global seperti halnya
kenaikan panas bumi, hujan asam, bertambah besarnya lubang ozon
udara, fenomena El Nino dan sebaliknya, akan membawa dampak
kesehatan masyarakat di masa mendatang yang makin serius.

20

Lingkungan biologispun saat ini cenderung menyebabkan masalah


kesehatan yang serius. Pencemaran udara, penggunaan pestisida,
insektisida dan fungisida yang berlebihan dan berkesinambungan
akan menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Perubahan
lingkungan biologis juga menyebabkan rangsangan patogenitas
terhadap beberapa jenis bakteri, virus dan jasad renik lainnya yang
akan mengancam kesehatan manusia di masa mendatang.
Keadaan geografi Indonesia yang mempunyai ribuan pulau dengan
perbedaan struktur geologi, fauna, flora dan keanekaragaman hayati
lainnya antara kawasan barat dan timur Indonesia menyebabkan
sulitnya pencapaian pemerataan pembangunan kesehatan di
Indonesia. Hal ini juga menyebabkan perbedaan endemisitas
beberapa penyakit tertentu dan juga perberdaan cara pelayanan serta
pembiayaan kesehatan pada masa mendatang.

C.

ISU-ISU STRATEGIS
1. Derajat Kesehatan
a. Indikasi adanya persistensi AKB dan AKI dan tingginya ke dua
angka tersebut di daerah perdesaan, KTI dan penduduk
dengan status ekonomi serta pendidikan yang rendah. Umur
harapan hidup yang tak akan banyak berubah.
b. Beban ganda penyakit akibat transisi epidemiologi yang
melambat, karena meningkatnya penyakit tidak menular dan
degeneratif serta masih tingginya penyakit infeksi dan
timbulnya penyakit baru.
c. Kecenderungan meningkatnya status gizi buruk pada balita.

2. Upaya Kesehatan
a. Penyelenggaraan upaya kesehatan kurang menyeluruh, tidak
terpadu dan belum berkelanjutan. Pelaksanaan rujukan
kesehatan dan medis
belum efektif. Bahkan terdapat
kecenderungan terjadinya disintegrasi pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan.
b. Peran pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan belum optimal. Pembagian
tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan belum jelas.
c. Mutu, pemerataan dan keterjangkauan upaya kesehatan masih
belum optimal. Perhatian pada masyarakat miskin, rentan dan
berisiko tinggi masih terbatas.
d. Pengutamaan penyelenggaraan upaya kesehatan pada aspek
peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih

21

kurang. Alokasi dana pada kedua aspek upaya tersebut masih


rendah.
e. Belum
jelasnya
pengaturan
pelaksanaan
agar visi
desentralisasi
upaya
kesehatan
guna
mewujudkan
demokratisasi pembangunan kesehatan dapat tercapai.
f. Adanya kecenderungan meningkatnya potensi pelayanan
kesehatan swasta dan upaya kesehatan berbasis masyarakat
serta pengobatan alternatif dan tradisional.
g. Perkembangan
penggunaan teknologi canggih kesehatan
cenderung meningkatkan biaya kesehatan.

3. Pembiayaan Kesehatan
a. Sumber pembiayaan kesehatan dari pemerintah masih rendah.
Keterlibatan lintas sektor masih terbatas. Mobilisasi sumber
pembiayaan kesehatan dari masyarakat masih terbatas,
bersifat perseorangan dan belum berhasil-guna dari segi biaya
(cost effective) untuk melindungi seluruh anggota masyarakat.
b. Pengalokasian dana pemerintah masih lebih banyak pada
upaya kuratif. Pengalokasian dana masyarakat tidak dilakukan
secara pra upaya.
c. Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil untuk
mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan keluarga
miskin. Pembelanjaan dana masyarakat masih dilakukan
secara out of pocket.

4. Sumber Daya Manusia Kesehatan


a. Perencanaan dan sistem informasi tenaga kesehatan masih
lemah. Peta kebutuhan SDM kesehatan yang mengantisipasi
perkembangan di masa mendatang belum ada.
b. Pendayagunaan
SDM
kesehatan
termasuk
sistem
penghargaan dan sanksi belum optimal. Pemerataan
penempatan tenaga kesehatan masih lemah dan kurang
terarah. Peningkatan karier tenaga kesehatan belum tertata.
c. Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan belum
menghasilkan peserta didik yang bermutu. Mutu dan jumlah
tenaga kependidikan kurang memadai. Pendidikan berjenjang
dan berkelanjutan belum berjalan seperti yang diharapkan.
Sistem akreditasi pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
belum berjalan secara optimal.
d. Sertifikasi, registrasi dan lisensi dalam rangka pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan tugas profesi belum berkembang.
e. Kerja sama lintas program, lintas sektor, dan dengan organisasi
profesi serta lembaga swadaya masyarakat dalam
pengembangan tenaga kesehatan masih terbatas.

22

5. Pemberdayaan Masyarakat
a. Pemberdayaan potensi masyarakat yang meliputi juga
pemberdayaan perempuan belum optimal, karena masih
sebatas mobilisasi dan penggerakan peran serta masyarakat.
Kemampuan masyarakat mengemukakan pendapat dan
mengambil keputusan tentang kesehatan, menyampaikan
usulan atau desakan, maupun mengkritisi upaya kesehatan,
masih belum berkembang.
b. Jaringan kemitraan dengan berbagai pihak termasuk sektor
pemerintahan dan dunia usaha belum optimal. Kemitraan yang
telah dibangun belum menampakkan kepekaan, kepedulian,
dan rasa memiliki terhadap permasalahan dan upaya
kesehatan.
c. Kebijakan
permberdayaan
belum
mantap
serta
implementasinya di lapangan belum konsisten. Pada umumnya
masyarakat masih diperlakukan sebagai obyek dalam berbagai
kegiatan.
d. Dinamika masyarakat yang dipengaruhi situasi politik dan
ekonomi dewasa ini telah memberikan dampak negatif
terhadap sikap dan perilaku sehat masyarakat Indonesia
6. Manajemen Kesehatan
a. Kemitraan dengan sektor lain masih terbatas. Perhatian sektor
terkait terhadap pembangunan kesehatan dan pemahaman
bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia masih kurang.
b. Penyelenggaraan manajemen kesehatan dalam konteks
desentralisasi belum lancar.
c. Peraturan perundangan dan hukum kesehatan belum
sepenuhnya mendukung penyelenggaraan pembangunan
kesehatan.
d. Kemampuan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian
serta pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan
kesehatan di berbagai tingkat dan bidang, terutama dalam
menghadapi tantangan globalisasi, masih lemah
e. Sistem informasi kesehatan dan penelitian dan pengembangan
yang mendukung pembangunan dan sistem kesehatan yang
menyeluruh masih lemah
7. Lingkungan Strategis dan Globalisasi
a. Pembangunan berwawasan kesehatan sampai saat ini masih
belum seperti yang diharapkan. Pembangunan yang
berkesinambungan di Indonesia masih belum memperhatikan
kelestarian sumber daya alam dan kesehatan.
b. Lingkungan fisik dan biologis belum ditangani secara efektif

23

c. Krisis multidemensional merupakan faktor penting yang cukup


menghambat pembangunan kesehatan saat ini dan di masa
mendatang
d. Aspek budaya dan agama masih belum optimal dipergunakan
untuk peningkatan moral dan perilaku hidup sehat
e. Transisi demografi di Indonesia memperlihatkan meningkatnya
penduduk golongan usila lanjut pada tahun 2020. Upaya long
term care untuk golongan ini belum dipikirkan secara serius.
f. Kondisi geografi dan kerawanan lainnya juga memerlukan
perhatian khusus.
g. Antisipasi pembangunan kesehatan terhadap pengaruh
globalisasi masih kurang.

24

BAB III
POKOK-POKOK SISTEM KESEHATAN NASIONAL

A. PENGERTIAN SKN
SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti
dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Pada hakikatnya SKN adalah wujud
penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

dan

sekaligus

metode

B. LANDASAN SKN
SKN yang merupakan wujud dan metode penyelenggaraan
pembangunan kesehatan adalah bagian dari Pembangunan Nasional.
Dengan demikian landasan SKN adalah sama dengan landasan
Pembangunan Nasional. Secara lebih spesifik landasan tersebut adalah:
a. Landasan idiil yaitu Pancasila: Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh
hikmah
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/
perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Landasan konstitusional yaitu UUD 1945, khususnya:

Pasal 28 A; setiap orang berhak untuk hidup serta berhak


mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28 B ayat (2); setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang.
Pasal 28 C ayat (1); setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 28 H ayat (1); setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,
dan ayat (3); setiap orang berhak atas jaminan sosial yang

25

memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai


manusia yang bermartabat.
Pasal 34 ayat (2); negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah
dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan ayat
(3); negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

C. PRINSIP DASAR SKN


Prinsip dasar SKN adalah norma, nilai dan aturan pokok yang bersumber
dari falsafah dan budaya bangsa Indonesia, yang dipergunakan sebagai
acuan berfikir dan bertindak dalam penyelenggaraan SKN.
Prinsip dasar SKN meliputi:
a. Perikemanusiaan
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip perikemanusiaan
yang dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan
ketaqwaan terhadap ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Terabaikannya
pemenuhan kebutuhan kesehatan adalah bertentangan dengan
prinsip kemanusiaan. Tenaga kesehatan dituntut untuk tidak
diskriminatif serta selalu menerapkan prinsip-prinsip perikemanusiaan
dalam menyelenggarakan upaya kesehatan.
b. Hak Asasi Manusia
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip hak asasi manusia.
Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap
orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku,
golongan, agama, dan status sosial ekonomi. Setiap anak berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
c. Adil dan Merata
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip adil dan merata.
Dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
perlu diselenggarakan upaya kesehatan yang bermutu dan terjangkau
oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata, baik
geografis maupun ekonomis.
d. Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip pemberdayaan dan
kemandirian masyarakat. Setiap orang dan masyarakat bersama
dengan pemerintah berkewajiban dan bertanggung-jawab untuk

26

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan,


keluarga, masyarakat beserta lingkungannya. Penyelenggaraan
pembangunan kesehatan harus bedasarkan pada kepercayaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan
semangat solidaritas sosial dan gotong royong.
e. Kemitraan
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip kemitraan.
Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang
kemitraan yang dinamis dan harmonis antara pemerintah dan
masyarakat dan dunia usaha, dengan mendayagunakan potensi yang
dimiliki. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan dunia
usaha serta kerjasama lintas sektor dalam pembangunan kesehatan
diwujudkan dalam suatu jejaring yang berhasil-guna dan berdayaguna, agar diperoleh sinergisme yang lebih mantap dalam rangka
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya .
f. Pengutamaan dan Manfaat
Penyelenggaraan SKN berdasarkan pada prinsip pengutamaan dan
manfaat. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan lebih
mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan
maupun golongan. Upaya kesehatan yang bermutu dilaksanakan
dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan harus
lebih mengutamakan pendekatan peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit. Pembangunan kesehatan diselenggarakan
secara berhasil-guna dan berdaya-guna, dengan mengutamakan
upaya kesehatan yang mempunyai daya ungkit tinggi agar
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat beserta lingkungannya.
g. Tata penyelenggaraan yang baik
Penyelenggaraan
SKN
berdasarkan
pada
prinsip
tata
penyelenggaraan yang baik (good governance). Pembangunan
kesehatan diselenggarakan secara demokratis, berkepastian hukum,
terbuka (transparancy), rasional/profesional, serta bertanggung jawab
dan bertanggung gugat (accountability).

D. TUJUAN SKN
Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh
semua potensi bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat dan dunia

27

usaha secara sinergis, berhasil-guna dan berdaya-guna, sehingga


tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

E. KEDUDUKAN SKN
SKN merupakan subsistem dari Sistem Ketahanan Nasional yang secara
bersama-sama bermaksud untuk mencapai tujuan nasional bangsa
Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu
melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa
yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional,
untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam
mencapai tujuan nasional. Hakikat konsepsi Ketahanan Nasional
Indonesia adalah pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan
keamanan secara seimbang, serasi, dan selaras dalam seluruh aspek
kehidupan nasional.
Terwujudnya keadaan sehat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang tidak
hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan, melainkan juga sektor
lain terkait dan masyarakat termasuk dunia usaha. SKN harus
berinteraksi secara harmonis dengan berbagai sistem dari sektor
pembangunan lain, seperti sistem pendidikan nasional, sistem
perekonomian nasional dan sistem ketatanegaraan beserta kelembagaan
masyarakat yang terkait didalamnya. Untuk tercapainya derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, SKN harus dapat mendorong
terwujudnya pembangunan nasional berwawasan kesehatan.
Peranan kesehatan adalah penting dalam meningkatkan mutu
sumberdaya manusia yang pada gilirannya akan meningkatkan
ketahanan dan kesejahteraan bangsa. Kesehatan harus dapat mewarnai
setiap aspek kehidupan masyarakat. SKN adalah acuan utama bagi
berbagai pihak dalam mengembangkan perilaku dan mewujudkan peran
aktifnya di bidang kesehatan.

F. SUBSISTEM SKN
Sesuai dengan pengertian SKN, maka subsistem utama dan pertama
SKN adalah upaya kesehatan. Untuk dapat mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai
upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa

28

Indonesia. Penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan tersebut


memerlukan dukungan dana, sumberdaya manusia dan sumberdaya
kesehatan lainnya yang meliputi sarana dan prasarana serta perbekalan
kesehatan lainnya sebagai masukan SKN. Dukungan dana menentukan
pembiayaan kesehatan yang semakin penting dalam menentukan kinerja
SKN. Mengingat kompleksnya pembiayaan kesehatan, maka pembiayaan
kesehatan ditempatkan sebagai subsistem kedua SKN. Sedangkan
sumberdaya
manusia
dan
sumberdaya
kesehatan
lainnya
dikelompokkan dalam subsistem ketiga SKN, yakni subsistem
sumberdaya kesehatan.
Selanjutnya, SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk dunia usaha bukan
semata-mata sebagai obyek pembangunan kesehatan, melainkan juga
sebagai penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh
karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar
masyarakat termasuk dunia usaha dapat mampu dan mau berperan
sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Sehubungan dengan itu,
pemberdayaan masyarakat ditempatkan sebagai subsistem keempat
SKN.
Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil-guna dan
berdaya-guna, diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen
kesehatan
adalah
mengoordinasikan,
mengintegrasikan,
menyinkronisasikan serta menyerasikan upaya kesehatan, pembiayaan
kesehatan, sumberdaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat.
Berhasil atau tidaknya pembangunan kesehatan ditentukan oleh
manajemen kesehatan. Oleh karena itu manajemen kesehatan
ditempatkan sebagai subsistem kelima SKN.
Dari uraian di atas ada lima subsistem SKN yakni:
1. Subsistem Upaya Kesehatan
2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan
3. Subsistem Sumberdaya Kesehatan
4. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
5. Subsistem Manajemen Kesehatan

29

BAB IV
SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem Upaya Kesehatan adalah tatanan yang mengatur struktur dan
fungsi upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan
perorangan (UKP) yang terpadu, menyeluruh, dan berkelanjutan guna
menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan.

B. TUJUAN
Meningkatnya fungsi dan interaksi berbagai unsur upaya kesehatan
yang menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna
meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem Upaya Kesehatan terdiri dari dua unsur utama, yakni upaya
kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP).
1.

Upaya kesehatan masyarakat adalah setiap kegiatan yang


dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat serta dunia usaha,
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
timbulnya masalah kesehatan di masyarakat. Upaya kesehatan
masyarakat tersebut terutama adalah promosi kesehatan
masyarakat, pemeliharaan kesehatan masyarakat, pemberantasan
penyakit menular, kesehatan jiwa, pengendalian penyakit tidak
menular, penyehatan lingkungan dan penyediaan sanitasi dasar,
perbaikan gizi masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan alat
kesehatan, pengamanan penggunaan zat aditif dalam makanan dan
minuman, pengamanan zat adiktif dan bahan berbahaya, serta
penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.

2.

Upaya kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan yang dilakukan


oleh pemerintah dan atau masyarakat serta dunia usaha, untuk
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan.
Upaya kesehatan perorangan tersebut terutama adalah pengobatan
rawat jalan, pengobatan rawat inap, pembatasan dan pemulihan
kecacatan. Dalam upaya kesehatan perorangan termasuk
pengobatan tradisional dan alternatif serta pelayanan kebugaran
fisik dan kosmetika.

30

3.

Kedua upaya kesehatan tersebut bersinergi dan dilengkapi dengan


berbagai upaya kesehatan penunjang. Upaya penunjang untuk
upaya kesehatan masyarakat antara lain adalah pelayanan
laboratorium kesehatan masyarakat dan pelayanan sediaan farmasi,
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan lainnya. Sedangkan
upaya penunjang untuk upaya kesehatan perorangan antara lain
adalah pelayanan laboratorium klinik, apotek, optik dan toko obat.

D. PRINSIP
Penyelenggaraan Subsistem Upaya Kesehatan mengacu pada prinsipprinsip sebagai berikut:
1.

Upaya kesehatan masyarakat terutama diselenggarakan oleh


pemerintah dengan peran aktif masyarakat.

2.

Upaya kesehatan perorangan diselenggarakan


pemerintah maupun masyarakat dan dunia usaha.

3.

Bersifat menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, terjangkau, bermutu


dan berjenjang.

4.

Mengikuti prinsip profesional, ekonomis, kaidah sosial serta sesuai


dengan moral dan etika bangsa.

5.

Didasarkan atas perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan serta


teknologi kedokteran dan kesehatan.

baik

oleh

E. BENTUK POKOK
1.

Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)


Bentuk pokok subsistem upaya kesehatan masyarakat terdiri dari
tiga strata sebagai berikut:
a.

UKM strata pertama


Tulang punggung penyelenggara upaya kesehatan masyarakat
strata pertama di Indonesia adalah Puskesmas yang didirikan
sekurang-kurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas
bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.
Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni sebagai pusat
pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya, pusat
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan dan pusat
pelayanan tingkat dasar. Sekurang-kurangnya ada enam jenis

31

pelayanan tingkat dasar yang harus dilaksanakan oleh


Puskesmas, yakni promosi kesehatan, kesehatan ibu, anak dan
keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan,
pemberantasan penyakit menular dan pengobatan dasar. Peran
aktif masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
masyarakat strata pertama diwujudkan melalui berbagai upaya
kesehatan bersumber masyarakat seperti Posyandu, Polindes
dan Pos obat desa.

2.

b.

UKM strata kedua


Penanggung jawab upaya kesehatan masyarakat strata kedua
adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berfungsi
manajerial dan teknis fungsional dalam bidang kesehatan. Untuk
dapat melaksanakan fungsi teknis fungsional, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dilengkapi dengan berbagai unit pelaksana
teknis seperti unit pencegahan dan pemberantasan penyakit
(P3M), promosi kesehatan, pelayanan kefarmasian, kesehatan
lingkungan, perbaikan gizi dan kesehatan ibu, anak dan keluarga
berencana. Disamping itu sesuai kebutuhan dapat pula dibentuk
berbagai sarana kesehatan masyarakat lainnya seperti unit-unit
pelaksana teknis pusat dan daerah. Unit-unit tersebut di samping
memberikan pelayanan langsung juga membantu Puskesmas
dalam bentuk pelayanan rujukan kesehatan.

c.

UKM strata ketiga.


Penanggung jawab upaya kesehatan masyarakat strata ketiga
adalah Dinas Kesehatan Provinsi dan Departemen Kesehatan.
Upaya kesehatan masyarakat strata ketiga dilaksanakan melalui
pengembangan pusat-pusat unggulan, seperti Institut Gizi
Nasional, Institut Penyakit Infeksi Nasional, Institut Kesehatan
Jiwa Nasional, Institut Kesehatan Kerja Nasional, dan Pusat
Laboratorium Nasional, Institut Survailans dan Teknologi
Penyakit dan Kesehatan Lingkungan serta berbagai pusat
unggulan
lainnya.
Pusat
unggulan
ini
di
samping
menyelenggarakan pelayanan langsung juga membantu berbagai
sarana pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota dalam
bentuk pelayanan rujukan kesehatan.

Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)


a.

UKP strata pertama


Penyelenggara upaya kesehatan perorangan strata pertama
yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah Puskesmas.
Peranserta masyarakat dan dunia usaha dalam upaya kesehatan
perorangan strata pertama diwujudkan melalui berbagai bentuk
pelayanan, seperti praktik bidan, praktik perawat, praktik dokter,

32

praktik dokter gigi, praktik dokter keluarga, poliklinik, balai


pengobatan, praktik dokter/klinik 24 jam, praktik bersama dan
rumah bersalin. Dalam upaya kesehatan perorangan strata
pertama termasuk pelayanan pengobatan tradisional dan
alternatif, serta pelayanan kebugaran fisik dan kosmetika. Upaya
kesehatan perorangan strata pertama didukung oleh berbagai
pelayanan penunjang seperti toko obat dan apotek (dengan
kewajiban menyediakan obat esensial generik), laboratorium
klinik dan optik. Untuk meningkatkan mutu perlu dilakukan lisensi,
sertifikasi dan akreditasi.
b.

UKP strata kedua


Penyelenggara upaya kesehatan perorangan strata kedua adalah
praktik dokter spesialis, praktik dokter gigi spesialis, klinik
spesialis, rumah sakit kelas C dan B non pendidikan milik
pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan BUMN) dan rumah sakit
swasta. Berbagai sarana pelayanan ini di samping memberikan
pelayanan langsung juga membantu sarana upaya kesehatan
perorangan strata pertama dalam bentuk pelayanan rujukan
medik. Upaya kesehatan perorangan strata kedua ini juga
didukung oleh berbagai pelayanan penunjang seperti apotek,
laboratorium klinik dan optik. Untuk meningkatkan mutu perlu
dilakukan lisensi, sertifikasi dan akreditasi.

c.

UKP strata ketiga


Penyelenggara upaya kesehatan perorangan strata ketiga adalah
praktik dokter spesialis konsultan, praktik dokter gigi spesialis
konsultan, klinik spesialis konsultan, rumah sakit kelas B
pendidikan dan A milik pemerintah (termasuk TNI/POLRI dan
BUMN) serta rumah sakit khusus dan rumah sakit swasta.
Berbagai sarana pelayanan ini di samping memberikan
pelayanan langsung juga membantu sarana upaya kesehatan
perorangan strata kedua dalam bentuk pelayanan rujukan medik.
Seperti juga strata kedua, upaya kesehatan perorangan strata
ketiga ini juga didukung oleh berbagai pelayanan penunjang
seperti apotek, laboratorium klinik dan optik. Untuk menghadapi
persaingan global upaya kesehatan perorangan strata ketiga
perlu dilengkapi dengan didirikannya beberapa pusat pelayanan
unggulan nasional, seperti pusat unggulan jantung nasional,
pusat unggulan kanker nasional, pusat penanggulangan stroke
nasional, dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu perlu
dilakukan lisensi, sertifikasi dan akreditasi.

33

BAB V
SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem Pembiayaan Kesehatan adalah tatanan yang mengatur
kebijakan penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya
pembiayaan guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan.

B. TUJUAN
Meningkatnya fungsi dan interaksi berbagai unsur pembiayaan
kesehatan yang menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan,
guna meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem Pembiayaan Kesehatan terdiri dari tiga unsur utama, yakni
penggalian dana, alokasi dana, dan pembelanjaan.
1.

Penggalian dana adalah kegiatan menghimpun dana yang diperlukan


untuk penyelenggaraan upaya kesehatan dan atau pemeliharaan
kesehatan.

2.

Alokasi dana adalah penetapan peruntukan pemakaian dana yang


telah berhasil dihimpun, baik yang bersumber dari pemerintah,
masyarakat maupun dunia usaha.

3.

Pembelanjaan adalah pemakaian dana yang telah dialokasikan


dalam anggaran pendapatan dan belanja sesuai dengan
peruntukannya dan atau dilakukan melalui jaminan pemeliharaan
kesehatan wajib atau suka rela.

D. PRINSIP
Penyelenggaraan Subsistem Pembiayaan Kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:

34

1.

Jumlah dana untuk kesehatan harus cukup tersedia dan dikelola


secara berdaya-guna, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh
transparansi dan akuntabilitas.

2.

Penggalian dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya


kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi
masyarakat rentan dan keluarga miskin.

3.

Penggalian dana masyarakat diarahkan untuk pembiayaan upaya


kesehatan perorangan yang terorganisir, adil, berhasil-guna dan
berdaya-guna melalui jaminan pemeliharaan kesehatan berdasarkan
prinsip solidaritas sosial yang dilaksanakan secara bertahap.

4.

Pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan terus


diupayakan melalui penghimpunan secara aktif dana sosial untuk
kesehatan (misal: dana sehat) atau memanfaatkan dana masyarakat
yang telah terhimpun (misal: dana sosial keagamaan).

E. BENTUK POKOK
1.

Penggalian Dana
a. Penggalian dana untuk UKM
Sumber dana untuk UKM terutama berasal dari pemerintah baik
pusat maupun daerah, melalui pajak umum, pajak khusus, bantuan
dan pinjaman luar negeri serta berbagai sumber lainnya. Sumber
dana lain untuk upaya kesehatan masyarakat adalah dunia usaha
serta masyarakat. Sumber dari dunia usaha dihimpun dengan
menerapkan prinsip public-private partnership yang didukung
dengan pemberian insentif, misalnya keringanan pajak untuk setiap
dana yang disumbangkan. Sumber dana dari masyarakat dihimpun
secara aktif oleh masyarakat sendiri guna membiayai upaya
kesehatan masyarakat misalnya dalam bentuk dana sehat, atau
dilakukan secara pasif yakni menambahkan aspek kesehatan
dalam rencana pengeluaran dari dana yang sudah terkumpul di
masyarakat, misalnya dana sosial keagamaan.
b. Penggalian dana untuk UKP
Sumber dana untuk UKP berasal dari masing-masing individu dalam
satu kesatuan keluarga. Bagi masyarakat rentan dan keluarga
miskin, sumber dananya berasal dari pemerintah melalui mekanisme
jaminan pemeliharaan kesehatan wajib.

35

2. Pengalokasian Dana
a. Alokasi dana untuk UKM
Alokasi dana untuk UKM yang berasal dari pemerintah
dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja, baik tingkat pusat maupun daerah, sekurangkurangnya sebesar 15% dari total anggaran.
b. Alokasi dana untuk UKP
Alokasi dana untuk UKP dilakukan melalui kepesertaan dalam
program jaminan pemeliharaan kesehatan wajib atau sukarela.

3. Pembelanjaan
a. Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan public-private
partnership digunakan untuk membiayai upaya kesehatan
masyarakat. Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari Dana
Sehat dan Dana Sosial Keagamaan dapat pula digunakan
untuk membiayai UKM.
b. Pembelanjaan untuk pemeliharaan masyarakat rentan dan
kesehatan keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan wajib. Sedangkan pembelanjaan
untuk pemeliharaan kesehatan keluarga mampu dilaksanakan
melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib atau sukarela.
c. Dalam kurun waktu 510 tahun ke depan biaya kesehatan dari
pemerintah secara bertahap digunakan seluruhnya untuk
pembiayaan UKM dan jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat rentan dan keluarga miskin.

36

BAB VI
SUBSISTEM SUMBERDAYA KESEHATAN

A. PENGERTIAN
Subsistem Sumberdaya Kesehatan adalah tatanan yang mengatur
kebijakan, perencanaan dan pemenuhan kebutuhan serta
pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan dan sumberdaya
kesehatan lain, guna menjamin penyelenggaraan pembangunan
kesehatan.
B. TUJUAN
Meningkatnya fungsi dan interaksi berbagai unsur sumberdaya
kesehatan yang mendukung terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
C. UNSURUNSUR UTAMA
Subsistem Sumberdaya Kesehatan terdiri dari dua unsur utama yakni
sumberdaya manusia kesehatan dan sumberdaya kesehatan lain.
1. Sumberdaya Manusia Kesehatan (SDM Kesehatan) adalah semua
orang yang bekerja secara aktif di bidang kesehatan, baik yang
memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan.
2. Sumberdaya kesehatan lain (SDK Lain) meliputi sarana dan
prasarana kesehatan, peralatan kesehatan serta perbekalan
kesehatan lainnya yang terdiri dari obat dan sediaan farmasi
termasuk vaksin, reagensia, dan insektisida.

D. PRINSIP
Penyelenggaraan Subsistem Sumberdaya Kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:

37

1. SDM Kesehatan
a. Kebijakan pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan
dirumuskan oleh pemerintah dengan melibatkan organisasi
profesi, lintas sektor dan program, serta masyarakat termasuk
dunia usaha.
b. Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan disesuaikan
dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik kebutuhan
lokal, nasional maupun global.
c.

Pengadaan SDM Kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan


pelatihan tenaga kesehatan yang mengacu pada kebijakan
nasional dengan memperhatikan jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan masyarakat, serta jenis dan jumlah sarana kesehatan.

d. Peningkatan kompetensi SDM Kesehatan diselenggarakan secara


berkelanjutan sejak memasuki pendidikan hingga berakhirnya
pengabdian profesi oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha
termasuk lembaga pendidikan dan pelatihan, organisasi profesi,
serta institusi pelayanan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah.
e. Peningkatan profesionalisme SDM Kesehatan dilaksanakan dan
dikembangkan melalui penerapan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang sesuai dengan standar kompetensi yang
diikuti dengan penerapan nilai-nilai moral dan etika serta
menjunjung tinggi sumpah dan etika profesi.
f.

Pendayagunaan SDM Kesehatan diselengarakan secara merata,


serasi, seimbang dan selaras oleh pemerintah, masyarakat dan
dunia usaha baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Pemerataan SDM Kesehatan memperhatikan keseimbangan
antara hak dan kewajiban perorangan dengan kebutuhan
masyarakat. Pendayagunaan SDM Kesehatan oleh pemerintah
diselenggarakan melalui pendelegasian wewenang yang
proporsional dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

g. Peningkatan kesejahteraan dan pengembangan karir SDM


Kesehatan diselenggarakan secara terencana, terarah dan
transparan.
h. Pembinaan dan pengawasan SDM Kesehatan diselenggarakan
melalui kerjasama dan kemitraan yang berkelanjutan antara
pemerintah, masyarakat serta organisasi profesi.

38

2. SDK Lain
a. Perencanaan SDK Lain disesuaikan dengan kebutuhan upaya
kesehatan serta memperhatikan situasi dan kondisi pemberi
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
b. Pengadaan SDK Lain dilaksanakan secara berhasil-guna,
berdaya-guna dan berkesinambungan dengan mempertimbangkan
kemampuan dan keterjangkauan masyarakat.
c. Distribusi dan pemanfaatan SDK Lain dilaksanakan secara tepat
waktu dan tepat sasaran. Pemanfaatan obat dan sediaan farmasi
oleh masyarakat memperhatikan aspek mutu, kasiat dan
keamanan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungannya.

E. BENTUK POKOK
1. SDM Kesehatan
a. Kebijakan pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan
dirumuskan dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan
masukan dari Majlis SDM Kesehatan yang dibentuk di tingkat
pusat dan provinsi.
1) Pusat

Pemerintah Pusat, dalam hal ini departemen yang


bertanggung jawab di bidang kesehatan berfungsi
merumuskan dan menetapkan kebijakan, menyusun
program,
mengoordinasikan
pelaksanaan
dan
mengevaluasi program pengembangan dan pemberdayaan
SDM Kesehatan.

Majlis SDM Kesehatan di tingkat pusat adalah suatu


lembaga yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan masukan
kepada Pemerintah yang berskala nasional dan bersifat
lintas jenis serta kategori.

Majlis SDM Kesehatan Pusat beranggotakan unsur-unsur


dari Pemerintah (Depdagri, Depkes, Depdiknas, Depnaker,
dan lain-lain), para Ketua Kolegium Profesi, para Ketua
Organisasi Profesi, para Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan
Kesehatan, para Ketua Asosiasi Institusi Pelayanan
Kesehatan, wakil Konsumen dan Tokoh Masyarakat. Ketua
Majlis SDM Kesehatan dipilih oleh para anggota dengan
dukungan administratif dari Departemen Kesehatan.

39

2) Provinsi
Pemerintah Provinsi dalam hal ini instansi yang bertanggung
jawab
di
bidang
kesehatan
melaksanakan
azas
dekonsentrasi, dan azas desentralisasi tertentu dalam
pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan sesuai
peraturan dan perundang-undangan dan masukan dari Majlis
SDM Kesehatan Provinsi.
Majlis SDM Kesehatan Provinsi adalah suatu lembaga yang
ditetapkan oleh Gubernur yang mempunyai tugas pokok dan
fungsi memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah
melalui Gubernur.
Majlis SDM Kesehatan Provinsi beranggotakan unsur-unsur
dari Pemerintah Daerah (Dinkes, Dinas Pendidikan, Dinas
Tenaga Kerja, dan lain lain), para Ketua Organisasi Profesi,
Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kesehatan, para Ketua
Asosiasi Sarana Pelayanan Kesehatan, Tokoh Masyarakat
dan wakil konsumen. Ketua Majlis SDM Kesehatan dipilih
oleh para anggota dengan dukungan administratif dari Dinas
Kesehatan Provinsi.
b. Penyelenggara pendidikan akademik, profesional dan profesi
tingkat pertama SDM Kesehatan adalah Institusi Pendidikan
Kesehatan. Asosiasi institusi pendidikan kesehatan bertanggung
jawab dalam merumuskan standar dan kebijakan pendidikan
tingkat akademik dan profesi pertama. Penyelenggaraan
pendidikan profesi SDM Kesehatan tingkat lanjutan adalah
institusi pendidikan kesehatan dan institusi pelayanan kesehatan
yang terakreditasi. Kolegium Profesi bertanggung jawab dalam
menetapkan kebijakan pendidikan profesi lanjutan. Setiap kategori
tenaga kesehatan mempunyai Kolegium sendiri. Lingkup tugas
Kolegium Profesi tersebut mencakup penetapan standar
kompetensi profesi, kurikulum pendidikan profesi, akreditasi
institusi sarana pendidikan profesi, akreditasi institusi pelayanan
kesehatan yang akan menyelenggarakan pendidikan profesi, ujian
profesi, ijasah dan sertifikasi profesi.
c.

Penyelenggara pelatihan SDM Kesehatan adalah institusi


pelatihan kesehatan, institusi pelayanan kesehatan, organisasi
profesi, serta pihak-pihak lain yang terakreditasi. Kolegium Profesi
bertanggung jawab dalam menetapkan kebijakan pelatihan SDM
Kesehatan. Lingkup tugas Kolegium Profesi tersebut mencakup
penetapan standar kurikulum pelatihan, akreditasi institusi sarana
pelatihan, akreditasi institusi pelayanan kesehatan, organisasi
serta pihak-pihak lain yang akan menyelenggarakan pelatihan,
penilaian hasil pelatihan dan sertifikasi.

40

d. Pendayagunaan SDM Kesehatan oleh pemerintah dilaksanakan


oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan tujuan untuk
pemerataan dan peningkatan efisiensi. Pendayagunaan SDM
Kesehatan oleh swasta termasuk yang melakukan praktik
perorangan dilaksanakan oleh swasta secara mandiri.
Pendayagunaan SDM Kesehatan ke luar negeri dilaksanakan
sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas dan penguasaan
iptek di bidang kesehatan serta diselenggarakan oleh individu
SDM Kesehatan dan dunia usaha melalui pembinaan dan
pengawasan Pemerintah. Pendayagunaan SDM Kesehatan
pendidikan luar negeri dan atau tenaga asing dilakukan setelah
yang bersangkutan menyelesaikan program adaptasi.
e. Pembinaan dan pengawasan praktik profesi dilaksanakan melalui
registrasi, uji profesi dan pemberian lisensi. Penanggung jawab
perumusan kebijakan registrasi adalah Konsil Tenaga Kesehatan
yang dibentuk di tingkat pusat. Konsil Tenaga Kesehatan
beranggotakan
unsur-unsur
dari
Pemerintah
(Depkes,
Depdiknas), para Ketua Organisasi Profesi, para Ketua Asosiasi
Institusi Pendidikan, para Ketua Asosiasi Institusi Pelayanan
Kesehatan, wakil praktisi kedokteran, wakil Konsumen dan Tokoh
Masyarakat. Ketua Konsil Tenaga Kesehatan dipilih dari dan oleh
para anggota dengan dukungan administratif dari Departemen
Kesehatan. Registrasi dilaksanakan oleh Konsil Tenaga
Kesehatan dengan bantuan Sekretariat dari Departemen
Kesehatan.
Penanggung jawab perumusan kebijakan dan penyelenggara Uji
profesi yang dilaksanakan secara berkala adalah Kolegium
Profesi. Pemberian lisensi dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Sedangkan penanggung jawab pembinaan
praktik profesi adalah masing-masing organisasi profesi yang
bersangkutan.
f.

Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan dari tenaga


masyarakat dilakukan secara serasi dan terpadu oleh pemerintah
dan masyarakat. Pemberian kewenangan dalam teknis kesehatan
kepada tenaga masyarakat dilakukan sesuai keperluan dan
kompetensinya.

2. SDK Lain
a. Perencanaan SDK Lain secara nasional dan daerah dilakukan
oleh pemerintah dengan mengikutsertakan masyarakat dan dunia
usaha. Perencanaan SDK Lain di sarana kesehatan dilakukan
oleh sarana kesehatan yang bersangkutan.

41

b. Pengadaan SDK Lain dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan


kelayakan. Masyarakat dan dunia usaha berperan aktif dalam
pengadaan SDK Lain sesuai dengan peraturan dan perundangan
yang berlaku. Pengadaan SDK Lain yang sangat esensial dan
menyangkut kepentingan masyarakat luas, diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat.
c.

Distribusi dan pemanfaatan SDK Lain dilaksanakan secara


terkoordinasi dengan memperhatikan pemerataan upaya
kesehatan. Distribusi dan pemanfaatan SDK Lain yang bersifat
lintas kabupaten/kota diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi,
dan yang bersifat lintas provinsi diselenggarakan oleh pusat.

42

BAB VII
SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. PENGERTIAN
Subsistem Pemberdayaan Masyarakat adalah tatanan yang mengatur
fungsi perorangan, kelompok dan masyarakat dalam upaya kesehatan
secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya tujuan
pembangunan kesehatan.
B. TUJUAN
Meningkatnya fungsi, interaksi dan keterpaduan berbagai unsur
pemberdayaan
masyarakat
yang menjamin
terselenggaranya
pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.

C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari tiga unsur utama, yakni
pemberdayaan perorangan, pemberdayaan kelompok dan pemberdayaan
masyarakat umum.
1. Pemberdayaan perorangan adalah upaya meningkatkan peran dan
kemampuan perorangan dalam membuat keputusan untuk
memelihara kesehatan. Fokusnya adalah pada keteladanan dan
kepemimpinan untuk pengembangan perilaku atau gaya hidup sehat
baik untuk diri sendiri dan keluarga maupun untuk masyarakat.
2. Pemberdayaan kelompok adalah upaya meningkatkan peran dan
kemampuan kelompok-kelompok di masyarakat, termasuk dunia
usaha untuk mengatasi masalah kesehatan dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Fokusnya adalah pada peningkatan
kepedulian anggota dan keterlibatan organisasi dalam upaya
kesehatan, advokasi kebijakan kesehatan dan pembangunan
berwawasan kesehatan serta pengawasan sosial terhadap
penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
3. Pemberdayaan masyarakat umum adalah upaya meningkatkan peran
dan kemampuan masyarakat, termasuk dunia usaha untuk mengatasi
masalah kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Fokusnya adalah pada penggerakan masyarakat dalam upaya
kesehatan, advokasi kebijakan kesehatan dan pembangunan

43

berwawasan kesehatan serta pengawasan


penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

sosial

terhadap

D. PRINSIP
Penyelenggaraan subsistem pemberdayaan masyarakat mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.

Pemberdayaan masyarakat berbasis pada tata nilai perorangan,


keluarga dan masyarakat, sesuai dengan sosial budaya, kebutuhan
dan potensi setempat.

2.

Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan meningkatkan akses


untuk memperoleh informasi dan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan kesehatan diri, keluarga dan masyarakat
serta lingkungannya.

3.

Pemberdayaan
masyarakat
dilakukan
melalui
peningkatan
kesadaran, kemauan dan kemampuan serta kepedulian dan peran
aktif dalam berbagai upaya kesehatan.

4.

Pemerintah bersikap terbuka, bertanggungjawab dan tanggap


terhadap aspirasi masyarakat, serta berperan sebagai pendorong,
pendamping, fasilitator dan pemberi bantuan (asistensi) dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan yang berbasis masyarakat.

5.

Pemberdayaan dilakukan secara kemitraan yang didasari dengan


semangat kebersamaan dan gotong royong serta terorganisasikan
dalam berbagai kelompok atau kelembagaan masyarakat.

E. BENTUK POKOK
1. Pemberdayaan Perorangan
a. Pemberdayaan perorangan dilakukan atas prakarsa perorangan,
kelompok-kelompok di masyarakat termasuk dunia usaha dan
pemerintah.
b. Sasaran utama pemberdayaan perorangan adalah tokoh
masyarakat, tokoh dunia usaha, tokoh agama, tokoh politik dan
tokoh populer.

44

c. Pemberdayaan perorangan dilakukan melalui pembentukan kader


kesehatan.
d. Peran yang diharapkan adalah sebagai pelopor dan perintis yang
peduli terhadap kesehatan diri sendiri, keluarga dan masyarakat
beserta lingkungannya, serta aktif dalam berbagai upaya
kesehatan di masyarakat.
e. Fungsi yang diharapkan adalah keteladanan dalam hidup bersih
dan sehat (phbs), serta menggerakkan upaya kesehatan termasuk
sumberdaya.
2. Pemberdayaan Kelompok
a.

Pemberdayaan kelompok dilakukan atas prakarsa perorangan,


kelompok-kelompok di masyarakat termasuk dunia usaha dan
pemerintah.

b.

Sasaran utama adalah kelompok atau kelembagaan masyarakat


yang ada seperti: RT/RW, kelurahan/banjar/nagari, organisasi
keagamaan termasuk kelompok pengajian, kelompok budaya,
kelompok adat, organisasi dunia usaha, organisasi wanita,
organisasi pemuda dan organisasi profesi.

c.

Pemberdayaan kelompok dilakukan melalui pembentukan


kelompok peduli kesehatan dan atau peningkatan kepedulian
kelompok atau kelembagaan masyarakat yang ada terhadap
kesehatan.

d.

Peran yang diharapkan adalah sebagai kelompok atau organisasi


yang peduli serta aktif dalam berbagai upaya kesehatan.

e.

Fungsi yang diharapkan adalah advokasi kebijakan kesehatan dan


pembangunan berwawasan kesehatan, pengawasan sosial
terhadap
penyelenggaraan
upaya
kesehatan,
serta
menyelenggarakan upaya kesehatan berbasis masyarakat
termasuk pembiayaannya,

3. Pemberdayaan Masyarakat Umum


a. Pemberdayaan masyarakat umum dilakukan atas prakarsa
perorangan, kelompok-kelompok masyarakat termasuk dunia
usaha dan pemerintah.
b. Sasaran pemberdayaan masyarakat
masyarakat dalam suatu wilayah.

umum

adalah

seluruh

45

c. Pemberdayaan masyarakat umum dilakukan melalui wadah


perwakilan masyarakat seperti badan penyantun (di tingkat
kecamatan), konsil/komite (di tingkat kabupaten/kota), atau
koalisi/jaringan/forum (di tingkat provinsi dan nasional).
d. Peran yang diharapkan adalah sebagai wali amanah bidang
kesehatan, yang peduli dan tanggap terhadap permasalahan
kesehatan masyarakat dan memberikan pertimbangan, gagasan
pemikiran dan atau alternatif penyelesaian berbagai masalah
kesehatan.
e. Fungsi yang diharapkan adalah melaksanakan advokasi kebijakan
kesehatan
dan
pembangunan
berwawasan
kesehatan,
pengawasan sosial terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan
serta membantu penyelenggaraan upaya kesehatan termasuk
sumberdayanya (public-private mix).

46

BAB VIII
SUBSISTEM MANAJEMEN KESEHATAN
A. PENGERTIAN
Subsistem Manajemen Kesehatan adalah tatanan yang mengatur fungsi
informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaturan dan perundangan
serta administrasi kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan.

B. TUJUAN
Meningkatnya fungsi, interaksi dan keterpaduan berbagai unsur
manajemen kesehatan yang menjamin terselenggaranya pembangunan
kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan yang setinggitingginya.

C. UNSUR-UNSUR UTAMA
Subsistem Manajemen Kesehatan terdiri dari empat unsur utama, yakni
informasi kesehatan, ilmu dan teknologi kesehatan, peraturan dan
perundangan kesehatan serta administrasi kesehatan.
1. Informasi Kesehatan adalah hasil pengumpulan dan pengolahan data
yang merupakan masukan bagi pengambilan keputusan di bidang
kesehatan.
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan adalah hasil penelitian dan
pengembangan yang merupakan masukan bagi pengambilan
keputusan di bidang kesehatan.
3. Peraturan dan perundangan kesehatan adalah produk hukum yang
merupakan acuan bagi penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
4. Administrasi kesehatan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

47

D. PRINSIP
Penyelenggaraan subsistem manajemen kesehatan mengacu pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Manajemen kesehatan berdasarkan fakta (evidence based), didukung
oleh perkembangan IPTEK, serta berlandaskan iman, ketaqwaan,
etika profesi dan moral bangsa.
2. Manajemen kesehatan didukung oleh kepastian hukum dan tertib
administrasi.
3. Manajemen kesehatan mengantisipasi globalisasi dan mengacu pada
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang didukung oleh
kejelasan batas kewenangan, tugas dan tanggung jawab.
4. Manajemen kesehatan menggalang segenap potensi bangsa melalui
pengembangan kemandirian, kemitraan dengan lintas sektor dan
peran aktif masyarakat termasuk dunia usaha.
5. Manajemen kesehatan mengupayakan penyelenggaraan upaya
kesehatan, pembiayaaan kesehatan, sumberdaya kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat secara berhasil-guna dan berdaya-guna.

E. BENTUK POKOK
1.

Informasi Kesehatan
a. Informasi kesehatan dihasilkan melalui pengembangan dan
penyelenggaraan tatanan informasi kesehatan nasional yang
dibangun dari rangkaian jaringan informasi kesehatan daerah dan
sektor-sektor lain terkait.
b. Substansi pokok informasi kesehatan mencakup data tentang
derajat kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan,
sumberdaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di bidang
kesehatan.
c. Pengumpulan data diselenggarakan dengan mengembangkan dan
memadukan pencatatan dan pelaporan sarana kesehatan dengan
survai dan sensus kesehatan.
d. Pengolahan dan analisis data serta pengemasan informasi
diselenggarakan
secara
multidisipliner,
terintegrasi
dan
komprehensif.

48

e. Penyajian data dan informasi dilakukan secara multimedia untuk


pengambilan keputusan di bidang kesehatan.

2. IPTEK Kesehatan
a. IPTEK kesehatan dihasilkan melalui pengembangan dan
penyelenggaraan tatanan penelitian dan pengembangan
kesehatan (litbangkes) nasional yang dibangun dari rangkaian
jaringan litbangkes daerah, perguruan tinggi dan sektor-sektor lain
terkait.
b. Substansi pokok litbangkes mencakup IPTEK tentang derajat
kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
c. Untuk kepentingan nasional dan global, substansi dan jaringan
litbangkes nasional serta daerah tertentu dikembangkan menjadi
pusat-pusat unggulan.
d. Pendayagunaan hasil-hasil penelitian dan pengembangan
kesehatan dilakukan melalui pengembangan Jaringan IPTEK
Kesehatan, yang berperan sebagai penghubung dengan
penyelenggaran pembangunan kesehatan.

3. Peraturan dan Perundangan Kesehatan


a. Peraturan dan perundangan kesehatan dikembangkan secara
nasional dan dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan
peraturan dan perundangan kesehatan daerah.
b. Ruang lingkup peraturan dan perundangan kesehatan mencakup
pembaharuan dan pembentukan peraturan perundang-undangan,
pelayanan advokasi hukum, dan peningkatan kesadaran hukum
masyarakat.
c. Substansi pokok peraturan dan perundangan kesehatan meliputi
upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
d. Peraturan dan perundangan kesehatan didukung pengembangan
dan penyelenggaraan jaringan informasi dan dokumentasi hukum

49

kesehatan, yang menghimpun seluruh produk hukum di bidang


kesehatan.

4. Administrasi Kesehatan
a.

Administrasi kesehatan diselenggarakan dengan berpedoman


pada asas dan kebijakan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.

b.

Penanggung jawab administrasi kesehatan secara nasional adalah


Pemerintah Pusat (Presiden yang mendelegasikannya kepada
Departemen Kesehatan), di tingkat provinsi adalah Pemerintah
Daerah Provinsi (Gubernur yang mendelegasikannya kepada
Dinas Kesehatan Provinsi), dan di tingkat Kabupaten/Kota adalah
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota yang
mendelegasikannya kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota).

c.

Terdapat hubungan teknis fungsional antara Departemen


Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, serta antara Dinas Kesehatan
Provinsi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayahnya.

d.

Perencanaan di tingkat nasional diselenggarakan dengan


menetapkan kebijakan dan program pembangunan nasional di
bidang kesehatan yang menjadi acuan bagi daerah dalam
mengembangkan kebijakan dan program pembangunan daerah di
bidang kesehatan.

e.

Pelaksanaan dan pengendalian pembangunan kesehatan di


tingkat nasional diselenggarakan dengan melaksanakan dan
mengendalikan
pembangunan
kesehatan
nasional serta
menetapkan pedoman dan standar yang menjadi acuan bagi
daerah dalam melaksanakan dan mengendalikan pembangunan
daerah di bidang kesehatan.

f.

Pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan kesehatan


di tingkat nasional diselenggarakan dengan melaksanakan
pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan kesehatan
nasional serta menetapkan pedoman, standar dan indikator kinerja
yang menjadi acuan bagi daerah dalam melaksanakan
pengawasan dan pertanggungjawaban pembangunan daerah di
bidang kesehatan.

50

g.

Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan dengan prinsip


desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah pusat melakukan
asistensi, advokasi dan fasilitasi.

h.

Dalam keadaan tertentu untuk kepentingan nasional, misalnya


dalam penanggulangan wabah, pelaksanaan dan pengendalian
serta
pengawasan
dan
pertanggungjawaban
program
pembangunan kesehatan diselenggarakan langsung oleh
pemerintah pusat.

51

BAB IX
PENYELENGGARAAN SISTEM KESEHATAN NASIONAL

A. PELAKU SKN
Pelaku SKN sebagai
kesehatan adalah:

pedoman

penyelenggaraan

pembangunan

1. Pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun


pemerintah kabupaten/kota.
2. Badan legislatif di pusat dan di daerah, yang melakukan pengawasan
penyelenggaraan pembangunan kesehatan, baik melalui penyusunan
produk-produk hukum, maupun melalui mekanisme kemitraan antara
eksekutif dan legislatif dalam penganggaran dan pelaksanaan
pembangunan.
3. Masyarakat, yang meliputi tokoh masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi profesi, akademisi, para pakar kesehatan dan
pakar lainnya yang terkait serta masyarakat luas.
4. Badan usaha, baik milik pemerintah maupun milik swasta.

B. PROSES PENYELENGGARAAN
1. Sistem Kesehatan Nasional akan dapat diselenggarakan dengan
berhasil-guna dan berdaya-guna, bila berhasil melakukan upaya
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme dari tujuan, prinsip
dan bentuk pokok kelima subsistem SKN. Koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan sinergisme sangat diperlukan mengingat terdapatnya
ketergantungan timbal-balik dari kelima subsistem SKN dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Keterkaitan dan adanya ketergantungan timbal balik antara ke lima
sub sistem dalam SKN adalah sebagai berikut :
a. Pembiayaan kesehatan untuk Upaya
(UKM) terutama berasal dari sumber
dengan sumber pembiayaan gabungan
swasta (public-private mix), serta

Kesehatan Masyarakat
pemerintah, dilengkapi
antara pemerintah dan
pembiayaan berbasis

52

kelembagaan masyarakat seperti dana sehat, dana sosial


keagamaan dan sebagainya.
b. Pembiayaan kesehatan untuk Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) perlu digali, dipupuk dan dibelanjakan kearah sistem
pembiayaan kesehatan yang berhasil-guna dan berdaya-guna
hingga menghasilkan peningkatan status kesehatan tanpa
memberatkan risiko finansial masyarakat. Sumber pembiayaan
utama adalah dari masyarakat sendiri, yang harus diubah dari
bentuk out of pocket dan fee for services menjadi pembayaran
praupaya. Sumber dana pemerintah untuk UKP difokuskan hanya
untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan miskin.
Sumber pelengkap dapat berasal dari dana gabungan pemerintahswasta.
c. Pengembangan dan pemberdayaan SDM kesehatan baik yang
berada di institusi kesehatan pemerintah, swasta maupun
masyarakat, akan mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan.
Sebaliknya pengembangan upaya kesehatan dapat dimanfaatkan
sebagai lahan praktek pendidikan SDM Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan kompetensinya.
d. Penyediaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
kesehatan lain, baik yang bersumber dari pemerintah, swasta dan
masyarakat melalui keterpaduan yang optimal, berhasil-guna dan
berdaya-guna akan memberikan masukan dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan.
e. Pemberdayaan masyarakat untuk mendukung terlaksananya UKM
dapat berupa peningkatan peran dan pengembangan kader
kesehatan, kelompok peduli kesehatan dan pembentukan Dewan
Penyantun Puskesmas bagi UKM strata pertama. Sedangkan
untuk UKM strata kedua dapat berupa pembentukan Dewan
Kesehatan Kabupaten/Kota (District Health Committee) dan atau
organisasi masyarakat sejenis yang antara lain berfungsi
melahirkan konsep pembangunan kesehatan yang aspiratif dan
berkeadilan. Untuk UKM strata ketiga, pembentukan Badan
Pertimbangan Kesehatan merupakan salah satu bentuk
manifestasi pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
f. Pemberdayaan masyarakat untuk UKP strata pertama berupa
pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat, seperti
dokter praktek swasta, dokter keluarga, praktik dokter/klinik 24
jam, pengorganisasian pelayanan kesehatan alternatif dan
tradisional dan sebagainya. Untuk UKP strata kedua dan ketiga,
keterlibatan masyarakat dan swasta adalah untuk lebih berperan

53

mewujudkan sarana kesehatan dan perangkat pendukungnya


seperti rumah sakit dan pusat/sarana kesehatan lainnya.
g. Perencanaan upaya kesehatan di tingkat nasional berupa
penyusunan peraturan perundangan yang menetapkan norma,
standar/kriteria, pedoman UKP dan standar pelayanan minimal
(SPM) UKM bagi upaya kesehatan strata pertama, kedua dan
ketiga. Di tingkat daerah perencanaan upaya kesehatan berupa
penetapan target untuk SPM, dan penyusunan rencana tindak.
h. Dalam pelaksanaan dan pengendalian upaya kesehatan di tingkat
nasional berupa penyusunan peraturan perundangan yang
menetapkan prosedur umum penyelenggaraan upaya kesehatan
dan sistem rujukannya. Di tingkat daerah, pelaksanaan dan
pengendalian upaya kesehatan berupa penyusunan peraturan
perundangan yang menetapkan petunjuk pelaksanaan/petunjuk
teknis penyelenggaraan upaya kesehatan, strategi dan
pelaksanaan, motivasi serta pendayagunaan sumber daya
kesehatan.
i. Pengawasan dan pertanggungjawaban upaya kesehatan di tingkat
nasional berupa penyusunan peraturan perundangan yang berisi
pedoman umum pengawasan teknis upaya kesehatan dan
pedoman pemanfaatan sistem informasi kesehatan untuk
pengawasan upaya kesehatan. Di tingkat daerah proses
pengawasan dan pertanggungjawaban upaya kesehatan berupa
pelaksanaan pengawasan dan penilaian teknis upaya kesehatan.
j. Pembiayaan pemerintah terutama diarahkan dan disediakan untuk
menunjang pemerataan tenaga kesehatan. Pembiayaan bersama
antara pemerintah dan masyarakat (public-private mix) diarahkan
bagi peningkatan mutu tenaga kesehatan dan non tenaga
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
k. Perkembangan teknologi sumber daya kesehatan lain, akan
sangat mempengaruhi besaran pembiayaan kesehatan.
l. Pemberdayaan Masyarakat dalam penggalian dana pembiayaan
kesehatan, berupa peningkatan dana sehat/sukarela, dana
sosial/keagamaan, dana kemanusiaan (charity), dan dana sosial
yang dikumpulkan oleh LSM serta dunia usaha, baik dari dalam
maupun luar negeri. Pada pemupukan dana dilakukan dengan
pengamatan dan pengawasan sosial, baik oleh perorangan
maupun kelompok/organisasi masyarakat.

54

m. Advokasi dan pengawasan masyarakat diarahkan agar terwujud


transparansi, akuntabilitas dan keadilan dalam pembiayaan
kesehatan, dan untuk itu perlu dukungan pembiayaan kegiatan
advokasi dan pengawasan masyarakat yang berasal dari
masyarakat sendiri dan bantuan pemerintah.
n. Manajemen kesehatan dalam penggalian dana diarahkan pada
upaya pembuatan kebijakan yang terpadu dalam upaya
penggalian dana, upaya pengembangan kebijakan jamiman
kesehatan nasional dan jaminan sosial nasional. Dalam hal ini
peran pemerintah adalah melakukan pengaturan dan fasilitasi
koordinasi penggalian dana. Sedangkan dalam alokasi
(pemupukan) dana, manajemen kesehatan diarahkan pada upaya
pemerintah dalam mengatur standarisasi badan-badan pooling dan
mendorong akreditasinya melalui badan independen.
o. Manajemen kesehatan dalam pembelanjaan diarahkan pada
upaya mendorong group purchasing terhadap semua unsur
pelayanan kesehatan, mendorong keseimbangan dalam
pembelanjaan
kesehatan
dari
berbagai
sumber
dan
pemanfaatannya, serta menumbuhkan kontribusi pembelanjaan
untuk pengembangan IPTEK.
p. Masyarakat dan pemerintah secara serasi dan terpadu melakukan
pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan, baik tenaga
kesehatan, tenaga non kesehatan maupun tenaga masyarakat.
Masyarakat melakukan pengawasan masyarakat terhadap
pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan.
q. Masyarakat dan dunia usaha dapat berperan aktif dalam
pengadaan dan pengamanan serta pengawasan distribusi dan
pemanfaatan sumberdaya kesehatan lainnya.
r. Pemberdayaan Masyarakat diharapkan dapat membantu
melakukan advokasi dan pengawasan terhadap keseluruhan
proses manajemen kesehatan, baik dalam perencanaan dan
penganggaran, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan
dan akuntabilitas pembangunan kesehatan.

2. Mengingat kompleknya penyelenggaraan SKN, pelaksanaan upaya


koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergisme yang efektif tidak
mungkin hanya dilakukan dengan peningkatan fungsi manajemen saja,
melainkan harus didukung oleh komitmen yang tinggi dari berbagai pihak
atau para pelaku SKN. Advokasi dan sosialisasi perlu dilakukan sehingga

55

diperoleh dukungan nyata dari pemerintah, badan legislatif, masyarakat


dan dunia usaha di berbagai jenjang pemerintahan.
3. Untuk keberhasilan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
dilaksanakan berdasarkan SKN dan diperolehnya dukungan serta
kerjasama yang serasi dari seluruh potensi bangsa, perlu diupayakan
kepastian hukum dalam bentuk penetapan berbagai peraturan
perundang-undangan yang sesuai sebagai berikut:
a. Undang Undang Dasar dan Ketetapan MPR yang menetapkan
kebijakan Pembangunan Nasional, termasuk Pembangunan
Kesehatan.
b. Undang Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
yang menetapkan kebijakan umum Pembangunan Kesehatan.
c.

Keputusan Menteri Kesehatan yang menetapkan kebijakan


pelaksanaan dan kebijakan teknis Pembangunan Kesehatan.

d. Peraturan Daerah yang menetapkan


Pembangunan Kesehatan di daerah.

kebijakan

pelaksanaan

Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan selanjutnya dilakukan


melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta
pengawasan dan pertanggung jawaban.

C. PENTAHAPAN PENYELENGGARAAN
Pengembangan SKN dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha. Pengembangan di daerah disesuaikan
dengan aspirasi, potensi serta kebutuhan setempat, dengan
memperhatikan prioritas Pembangunan Kesehatan jangka menengah dan
panjang.
Pentahapan penyelenggaraan SKN adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan dan Penetapan SKN
a. Penyusunan SKN dilakukan bersama oleh pemerintah, badan
legislatif dan masyarakat termasuk dunia usaha.

56

b. Agar
SKN
dapat
dipergunakan
sebagai
pedoman
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia, maka
perlu ditetapkan sebagai produk hukum/peraturan perundangan,
minimal sebagai Peraturan Pemerintah.
c. Sesuai dengan keperluan dilakukan fasilitasi dan asistensi kepada
provinsi dan kabupaten/kota untuk menyusun Sistem Kesehatan
Daerah.

2. Sosialisasi SKN
a. SKN yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundangundangan perlu disosialisasikan agar diketahui oleh umum secara
luas. Sosialisasi ini ditujukan untuk memperoleh komitmen dari
semua pelaku/penyelenggara pembangunan kesehatan.
b. Dengan adanya komitmen termaksud, diharapkan SKN dapat
secara konsisten dipergunakan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dalam upaya
mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
c. Sasaran sosialisasi SKN adalah semua pelaku/penyelenggara
pembangunan kesehatan, meliputi pemerintah pusat, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, badan legislatif baik di pusat
maupuin daerah dan masyarakat (organisasi profesi, lembaga
swadaya masyarakat, para pakar, akademisi dan masyarakat luas)
serta badan usaha milik pemerintah maupun swasta.

3. Pelaksanaan SKN
a. Dalam tahap ini semua subsistem SKN telah dapat memenuhi
berbagai ketentuan dalam SKN, yang meliputi unsur-unsur,
prinsip-prinsip dan bentuk pokoknya serta mulai terwujud adanya
keterkaitan antar berbagai subsistem termaksud.
b. Dalam tahap ini termasuk pula upaya peningkatan fungsi dari
berbagai subsistem dalam SKN sebagai suatu totalitas, dalam
rangka mencapai tujuannya.
c. SKN benar-benar dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pembangunan, dalam arti semua program
pembangunan kesehatan dan pembangunan lainnya yang
dilaksanakan berwawasan kesehatan diselenggarakan dengan
mengacu pada SKN.

57

4. Pengendalian SKN
a. Dalam tahap ini termasuk pula pengendaliannya untuk mengetahui
seberapa jauh SKN telah dipergunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pembangunan, termasuk identifikasi dan analisis
berbagai masalah dan hambatannya.
b. Dengan pengendalian ini sekaligus dapat dilakukan perbaikanperbaikan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan agar
sesuai dengan SKN.

58

BAB X
PENUTUP
SKN ini merupakan sistem terbuka yang berinteraksi, dengan berbagai
sistem nasional lainnya dalam suatu suprasistem, bersifat dinamis dan selalu
mengikuti perkembangan.
Apabila dalam perjalanannya SKN ini dirasakan kurang relevan dengan
kebutuhan pembangunan kesehatan, maka tidak menutup kemungkinaan
untuk diadakan perubahan dan penyempurnaan.
SKN ini dipergunakan sebagai dasar dan acuan dalam penyusunan berbagai
kebijakan, pedoman dan arahan penyelenggaraan pembangunan kesehatan
serta pembangunan berwawasan kesehatan lainnya.
Pada akhirnya, pelaksanaan SKN ini sangat tergantung pada semangat dan
kemampuan para penyelenggara, serta dengan perlindungan, petunjuk, dan
rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.

70

Anda mungkin juga menyukai