Spiritualitas manusia berpusat pada qalbu, dan di dalam qalbu manusia sudah ada potensi-potensi spiritual
yang merupakan format dasar kemanusiaan. Maka kalau saja manusia selalu mengikuti suara qalbunya, itu
pun sudah cukup menyelamatkan diri dan kehidupannya.
Bukankah Rasulullah SAW berpesan kepada Wabishah: 'istafti nafsaka (qalbak)!' - "Wahai Wabishah, mintalah
fatwa pada dirimu (qalbumu) sendiri; suatu kebajikan adalah apa yang menenteramkan qalbumu, dan
engkaupun tenteram dengannya. Suatu kejahatan adalah apa yang menggelisahkan qalbumu, dan
mengguncang dirimu, meskipun orang lain sudah membenarkanmu".
Masalahnya sekarang adalah qalbu manusia sering lengah dan lalai sehingga mudah terdorong sesat ketika
dipengaruhi oleh gejolak hawa nafsu dan terseret oleh godaan iblis/setan. Untuk itulah Allah SWT
menurunkan para rasul dengan membawa ajaran agama sebagai pengingat bagi yang lengah, petunjuk bagi
yang bingung, penegas bagi yang ragu. Sumber ilmu (informasi) keagamaan adalah kitab suci, tapi faktor
utama dalam proses keberagamaan adalah qalbu. Dalam proses hidup beragama kitab suci adalah faktor
sekunder. Al-Qur'an pun banyak mengarahkan manusia untuk selalu mendengarkan suara qalbunya.
Hakikat Diri dan Inti Kemanusiaan
Hakekat diri manusia adalah diri yang ruhaniah/spiritual yang sudah tercipta sebelum adanya tubuh biologis
(basyar). Ketika manusia masih dalam wujud ruh di alam lahut, ruh merupakan wujud pertama manusia
dalam proses penciptaannya sebelum diturunkan ke bumi dan dimasukkan ke dalam tubuh jismaniah
(basyar). Allah mempersiapkan basyar (tubuh biologis kebinatangan) hanya sebagai cangkang/wadah bagi si
manusia ruhaniah itu.
Inti ruh yang menjadi pusat diri manusia adalah qalbu. Di dalam Bahasa Arab dikenal ada 2 macam qalbu;
qalbu jismaniah berupa gumpalan daging yaitu jantung, dan qalbu ruhaniah yang dalam Bahasa Indonesia
disebut hati nurani. Di dalam qalbu ruhaniah inilah terletak fithrah (sifat-sifat asli dari Tuhan) berupa
kesadaran, perasaan, kecerdasan, iman dan iradah. Jadi, sejak diturunkan dari sisi Allah, si manusia ruhaniah
itu qalbunya tidak kosong. Karena di dalam qalbu itu Allah SWT sudah menempatkan potensi-potensi dasar
spiritual (fithrah), bibit iman, moralitas, ilmu dan kemerdekaan.
Asal kata Fithrah dan artinya
Apa arti kata fithrah? Sudah menjadi tradisi bahwa setiap tahun, menjelang Hari Raya Idul Fithri kita
membayar Zakat Fithrah. Di sini jelas ada 2 kata yang populer yaitu fithri dan fithrah. Kedua kata itu
bersumber dari dari satu akar kata yang sama yakni fathara yang mempunyai 2 makna:
* to break out = memecah, membelah; seperti kuncup bunga yang memecah/mekar.
* to originate = muncul, memunculkan.
1. Fathara dalam arti memecah --> fithrun.
Fithrun sebagai mudhof ilayh dibaca fithri (lihat idul fithri). Dalam bahasa sehari-hari disebut juga
futhur/ifthor, artinya memecah kepuasaan. Contohnya, di malam hari, karena tidur orang bagaikan berpuasa,
tidak makan. Maka di pagi hari, makan yang pertama adalah makan yang memecah kepuasaannya. Itu
sebabnya ia disebut futhur/ifthar yang artinya makan yang memecah kepuasaan (to break the fast) yang
menjadi populer dengan breakfast. Maka idul fithri adalah hari raya memecah (mengakhiri) puasa. Mediamedia Arab berbahasa Inggris, seperti Arab News dan lain-lain, menyebut Idul Fithri dengan "Fast Breaking
Festive", festival mengakhiri puasa.
Zakatul Fithri atau Shadaqatul Fithri artinya adalah zakat/shadaqah yang harus dibayarkan pada saat orang
melaksanakan futhur atau mengakhiri puasa. Hal ini berkaitan dengan hadist Nabi SAW, "Puasa seseorang
akan tetap terkatung-katung antara bumi dan langit, belum diterima oleh Allah, sebelum dibayarkan zakatul
fithri/shadaqatul fithri". Di negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia orang pun menyebutnya
zakatul fithri/shadaqah fithri, tapi di Indonesia istilah ini lebih dikenal zakat fithrah.