Anda di halaman 1dari 195

ASURANSI KESEHATAN NASIONAL

PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN ASURANSI KESEHATAN INDONESIA


ASURANSI

KESEHATAN

NASIONAL

Edisi

Oktober

2005

Hasbullah

Thabrany

PERHIMPUNAN AHLI MANAJEMEN JAMINAN DAN ASURANSI KESEHATAN INDONESIA


ASURANSIKESEHATAN NASIONAL Edisi Oktober 2005 Hasbullah Thabrany Edisi Oktober
2005 Edisi ini merupakan adaptasi, penyempumaan dan penyesuaian yang ide dasarnya
diambil dari buku " Asuransi Kesehatan di Indonesia" yang diterbitkan oleh Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan, tahun 2002 Asuransi Kesehatan N asional Buku ini dipersiapkan
sebagai bahan utama pendidikan profesi asuransi kesehatan yang diujikan oleh PAMJAKl.
Untuk informasi lengkap tentang pendidikan profesi asuransi kesehatan silahkan kunjungi
website P AMJAKl di www.pamjaki.org Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang
memperbanyak isi buku ini baik sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin
tertulis dari Penerbit P AMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Ahli Asuransi
Kesehatan Indonesia), Jakarta. Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-undang No. 7 tahun
1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun danJ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barang siapa
dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun danJ atau denda paling
banyak Rp 50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah) KATA PENGANTAR Keinginan untuk
menerbitkan bahan pendidikan profesi untuk ujian Ahli Asuransi Kesehatan sudah lama
diidamkan oleh Pengurus P AMJAKI, namun demikian, perkembangan perasuransian dan
kesibukan penulis yang juga merupakan pengurus P AMJAKI menyebabkan keinginan
tersebut baru kali ini terwujud. Sebelum buku ini disusun, ujian P AMJAKI menggunakan
buku Asuransi Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi
Kesehatan FKM UI. Dengan semangat tinggi untuk meningkatkan dan memperbaiki buku-

buku pegangan untuk ujian PAMJAKI, akhimya PAMJAKI berhasil menyelesaikan 3 (tiga)
buku dasar pendidikan profesi ahli asuransi kesehatan, yang diantaranya adalah Asuransi
Kesehatan N asional ini. Sumber utama penulisan buku ini masih diambil dari buku Asuransi
Kesehatan di Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI.
Namun demikian, untuk memperkaya pembahasan buku ini penulis mengisi bahasan
dengan perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia dalam bab-bab berikut: Introduksi
Asuransi Kesehatan, Asuransi Kesehatan PNS, JPK Jamsostek, Asuransi Komersial,
Asuransi Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia, Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan dan Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional: Kami berharap buku ini dapat memudahkan calon peserta ujian dalam
mempersiapkan diri menghadapi ujian P AMJAKI untuk memperoleh pengakuan sebagai
profesional, baik sebagai Ajun Ahli Asuransi Kesehatan ataupun Ahli Asuransi Kesehatan.
Diharapkan buku ini bermanfaat pula bagi para mahasiswa di bidang kesehatan ataupun
praktisi asuransi dalam mencari bahan-bahan rujukan yang terkait dengan asuransi
kesehatan. Akhir kata, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dimas a depan PAMJAKI
mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran bagi penyempumaan buku
ini. Kritik dan saran dapat disampaikan melalui sekretariat@pam;aki.org. Selamat belajar,
semoga sukses! Oktober 2005 PAMJAKI i DAFTAR 181 Kata Pengantar .i Daftar Isi ii Bab 1
Introduksi Asuransi Kesehatan 1 Bab2 Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil .40 Bab3
JPK Jamsostek 55 Bab4 Asuransi Kesehatan Komersial di Indonesia 67 BabS Asuransi
Kesehatan Nasional : Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 92 Bab6 Sistem
Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 Bab7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem
Jaminan Sosial Nasional 135 ii BABI Introduksi Asuransi Kesehatan 1.1. Pendahuluan
Pemahaman tentang asuransi kesehatan di Indonesia masih sangat beragam. Dahulu
banyak yang menganggap bahwa JPKM adalah bukan asuransi kesehatan, apalagi asuransi
kesehatan komersial; kemudian JPKM dianggap sebagai asuransi sosial karena dijual
umumnya kepada masyarakat miskin di daerah-daerah. Asuransi kesehatan sosial (social
health insurance) adalah suatu mekanisme pendanaan pelayanan kesehatan yang semakin
banyak digunakan di seluruh dunia karena kehandalan sistem ini dalam menjamin

kebutuhan kesehatan rakyat suatu negara. Namun di Indonesia pemahaman tentang


asuransi kesehatan so sial masih sangat rendah karena sejak lama kita hanya mendapatkan
informasi yang bias tentang asuransi kesehatan yang didominasi dari Amerika yang
didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Literatur yang mengupas asuransi kesehatan
sosial juga sangat terbatas. Kebanyakan dosen maupun mahasiswa di bidang kesehatan
tidak memahami asuransi sosial. Pola pikir (mind set) kebanyakan sarjana kita sudah
diarahkan kepada segala sesuatu yang bersifat komersial, termasuk dalam pelayanan rumah
sakit. Sehingga, begitu ada kata "sosial", seperti dalam "asuransi sosial" dan "fungsi sosial
rumah sakit" maka hal itu hampir selalu difahami dengan pelayanan atau program untuk
orang miskin. Sesungguhnya asuransi sosial bukanlah asuransi untuk orang miskin. Fungsi
so sial bukanlah fungsi orang miskin. Ini merupakan kekeliruan besar yang sudah mendarah
daging di Indonesia yang menghambat pembangunan kesehatan yang berkeadilan sesuai
amanat UUD45. Bahkan konsep Undang undang Kesehatan yang dikeluarkan tahun 1992
(UU nomor 23/1992) jelas-jelas memerintahkan Pemerintah dan mendorong pengembangan
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diambil dari konsep HMO
(Health Maintenance Organization) yang merupakan salah satu bentuk asuransi komersial
kesehatan. Para pengembang JPKM di Depkes-pun, tidak banyak yang memahami bahwa
HMO dan JPKM sesungguhnya asuransi komersial yang tidak sesuai dengan tujuan dan
cita-cita bangsa mewujudkan sistem kesehatan yang berkeadilan (egaliter). Akibatnya,
asuransi kesehatan sosial di Indonesia tidak berkembang baik sampai tahun 2005 ini. Selain
Indonesia, negara negara di Asia pada umumnya memang tertinggal dalam pengembangan
asuransi kesehatan sosial. Pada tanggal 7-9 Maret 2005, WHO kantor regional Asia-Pasifik,
Asia Tenggara, dan Timur Tengah berkumpul di Manila untuk menggariskan kebijakan dan
pedoman pengembangan asuransi kesehatan sosial di wilayah Asia-Pasifik dan Timur
Tengah. Berbagai ahli dalam bidang asuransi kesehatan atau pendanaan kesehatan
diundang untuk perumusan tersebut. Karena variasi sistem pendanaan di Asia yang ada
sekarang ini, disepakati tujuan yang lebih luas dari pengembangan asuransi kesehatan
sosial yaitu mewujudkan akses universal kepada pelayanan kesehatan. Selain asuransi
kesehatan sosial, sistem pendanaan melalui pajak (National Health Service) dengan

menyediakan pelayanan Introduksi Asuransi Kesehatan 1 HThabrany kesehatan secara


gratis atau hampir gratis kepada seluruh penduduk, seperti yang dilakukan Malaysia, Sri
Lanka, dan Muangtai juga mampu menyediakan akses universal tersebut. Dalam bab ini kita
akan memusatkan pembahasan kita pada pemahaman tentang asuransi dan asuransi
kesehatan sosial. Karena luasnya masalah asuransi kesehatan sosial, bab ini hanya
membahas garis-garis besar asuransi kesehatan sosial. Pembaca yang ingin mengetahui
lebih dalam tentang praktek-praktek asuransi kesehatan so sial dapat membaca buku lain
atau mengikuti ujian asuransi kesehatan yang diselenggarakan oleh P AMJAKI
(perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia) 1.2. Rasional
Asuransi Dalam kamus atau perbendaharaan kata bangsa Indonesia, kata asuransi tidak
dikenal. Akan tetapi istilah "jaminan" atau "tanggungan" sudah lama dikenal di Indonesia.
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris insurance, yang berasal dari akar kata in-sure
yang berarti "memastikan". Dalam konteks asuransi kesehatan, asuransi memastikan bahwa
seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkannya tanpa
hams mempertimbangkan keadaan ekonominya. Ada pihak yang menjamin atau
menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak yang menjamin ini dalam bahasa
Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut asuradur. Asuransi merupakan
jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian sakit dan kebutuhan pelayanan
kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara
memadai, maka seseorang atau kelompok kecil orang melakukan transfer risiko kepada
pihak lain yang disebut insurer, asuradur, ataupun badan penyelenggara jaminan/asuransi.
Sebagai ilustrasi, andaikan di suatu kota terdapat satu juta penduduk yang setiap tahunnya
terdapat 3.000 orang yang dirawat di rumah sakit. Tidak ada seorang pendudukpun yang
tahu pasti siapa yang akan masuk rumah sakit pada suatu bulan atau suatu hari tertentu.
Misalkan setiap perawatan di rumah sakit membutuhkan dana sebesar Rp 1 juta. Bisa jadi
hari ini keluarga tukang becak yang masuk rumah sakit, maka sangat sulit baginya
membayar Rp 1 juta. Apa yang hams dilakukan? Apakah setiap hari kita hams meminta
sumbangan untuk keluarga seperti tukang becak. Tentu hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi
bagaimana kita menjamin bahwa setiap hari terkumpul sumbangan yang memadai untuk

mendanai kebutuhan perawatan di rumah sakit yang rata-rata 7-10 orang setiap hari. Tentu
masyarakatpun akan bosan mengumpulkan atau memberikan sumbangan terus menerus.
Bisa jadi seorang direktur bank setempat yang bergaji Rp 25 juta sebulan, yang hari itu
dirawat. Jika biaya perawatan yang hams dibayarnya juga sebesar Rp 1 juta, tidak ada
masalah. Direktur bank tersebut mampu membayarnya, akan tetapi jika biaya perawatan
sampai Rp 50 juta, mungkin direktur bank tersebut juga bisa jatuh miskin. Untungnya, untuk
seorang direktur seringkali biaya perawatan tersebut ditanggung oleh perusahaan. Karena
sifat uncertain, maka biaya perawatan untuk keluarga tukang becakpun dapat saja mencapai
Rp 50 juta. Dalam hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa si tukang becak akan terpaksa
meninggal atau cacat seumur hidup yang akan menjadi beban masyarakat juga. Terjadi
ketidak-adilan sosial disini. Yang berpenghasilan rendah yang tidak sanggup bayar tidak ada
yang menjamin, sementara yang bergaji tinggi justeru dijamin. Introduksi Asuransi
Kesehatan 2 HThabrany Secara statistik dapat dihitung bahwa setiap orang memiliki
probabilitas 0,003 (yaitu 3.000 orang dibagi 1.000.000 penduduk) untuk masuk rumah sakit.
Jika rata-rata tagihan rumah sakit untuk tiap perawatan adalah sebesar Rp I juta, maka
setiap tahun dibutuhkan dana sebesar 3.000 (orang) x Rp I juta atau sarna dengan Rp 3
milyar. Walikota setempat cukup cermat mengamati masalah ini. Dia bilang, dari pada setiap
orang was-was memikirkan biaya perawatan setiap jika ia atau keluarganya sakit, atau setiap
hari kita mencari sumbangan untuk mereka yang tidak mampu membayar-yang bisa jadi juga
diri kita, mengapa tidak semua orang membayar saja sarna rata. "Nanti saya yang atur",
ujarnya. Jika kebutuhan biaya Rp 3 milyar dibagi rata kepada satu juta penduduk, maka tiap
kepala cukup membayar Rp 3.000 setahun (Rp 3 milyar dibagi 1.000.000 penduduk).
Bukankah membayar Rp 3.000 per orang per tahun merupakan beban ringan! Tukang
becakpun sanggup mengiur sebesar itu. Setelah dana Rp 3 milyar terkumpul, tidak ada lagi
penduduk yang kesulitan membayar tagihan rumah sakit. Jika ada yang sakit, yang kaya
atau yang miskin, tidak perlu lagi memikirkan biaya perawatan. Walikota akan mengambil
dana dari pot (pool) yang terkumpul dan membayarkannya ke rumah sakit. Beres? Teorinya
begitu. Dalarn praktek, tidak semudah itu. Sebab, selalu saja ada orang yang tidak mau
bayar iuran meskipun hanya Rp 3.000 per orang per tahun. Bagaimana dengan biaya

administrasi? Bagaimana jika terjadi peningkatan biaya pelayanan? Dan masih banyak lagi
yang menjadi masalah. Masalah-masalah selanjutnya itulah yang dibahas dalarn buku ini.
Dari ilustrasi diatas, dapat diarnbil kesimpulan bahwa asuransi adalah suatu mekanisme
gotong royong yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang disepakati
secara jelas. Dengan masing-masing penduduk membayar atau mengiur Rp 3.000 per
tahun, siapa saja yang perlu perawatan akan dibiayai dari dana yang terkumpul. Dalarn
istilah asuransi, kegotong-royongan ini disebut juga risk sharing. Dari segi dana yang
terkumpul (pool), maka asuransi juga dapat disebut sebagai suatu mekanisme risk pooling.
Dana dari masing-masing penduduk dikumpulkan untuk kepentingan bersarna. Oleh
karenanya, asuransi dapat juga disebut suatu mekanisme hibah bersarna. Dana yang
terkumpul merupakan hibah dari masing-masing penduduk yang akan digunakan untuk
kepentingan bersarna. Dengan demikian iuran atau premi yang telah dibayar dari masing
masing anggota, jelas bukan tabungan dan karenanya tiap-tiap anggota tidak berhak
meminta kembali dana yang sudah dibayarkan atau diiurkan, meskipun ia tidak pemah sakit
dan karenanya tidak pemah menggunakan dana itu. 1.3. Risiko dan Risiko Sakit 1.3.1.
Pemahaman tentang Risiko Di Indonesia banyak orang menggunakan istilah resiko, bukan
risiko. Sesungguhnya ada perbedaan makna antara resiko dan risiko. Dalarn bidang
asuransi istilah "resiko" digunakan untuk hal-hal yang sifatnya spekulatif. Sebagi contoh,
seorang berdagang mobil mempunyai resiko rugi apabila ia tidak hati-hati mengelola
usahanya atau tidak mengikuti perkembangan pasar mobil. Sedangkan istilah "risiko"
digunakan dalam asuransi untuk kejadian-kejadian yang dapat diasuransikan yang sifatnya
bukan spekulatif. Risiko ini disebut juga pure risk atau risiko mumi. Dalam bahasa Indonesia
memang kita tidak Introduksi Asuransi Kesehatan 3 HThabrany memiliki istilah asal atau
akar kata tentang risiko. Sebab risiko diterjemahkan dari bahasa Inggris risk. Akan tetapi
kalau kita pelajari benar, sesungguhnya risk berkaitan dengan bahasa Arab rizk yang kita
terjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi rejeki. Keduanya mempunyai aspek ketidakpastian, terkait takdir. Risiko bersifat tidak pasti (uncertain), demikian juga rejeki. Keduanya
di Indonesia dikaitkan erat dengan takdir. Asuransi sesungguhnya merupakan suatu cara
mengelola risiko. Dalam buku Asuransi Kesehatan di Indonesia, Thabrany (2001)1 telah

membahas dasar-dasar asuransi kesehatan. Dalam bab ini, dasar-dasar tersebut disajikan
kembali dengan modifikasi yang lebih mudah difahami mahasiswa. Umumnya kita tidak
memperdalam kata kata risiko atau resiko. Seseorang sering berbicara bahwa untuk
melakukan suatu tindakan ada risikonya, biasanya kita mengerti apa yang dimaksudkan. Ada
bahayanya. Seberapa besar bahaya tersebut, tidaklah diketahui dimuka oleh siapapun. Kita
hanya bisa mengira ngira probabilitas kejadiannya dan besarnya (berat-ringannya) risiko
tersebut. Disini ada ketidakpastian (uncertainty) tentang terjadinya dan besarnya risiko
tersebut. Biasanya yang disebut risiko mempunyai konotasi negatif yaitu umumnya orang
mengartikan risiko sebagai sesuatu yang dapat mencelakakan atau merugikan diri, sesuatu
yang tidak diharapkan. Sebenarnya, dalam pengertian ketidakpastian, ada juga risiko
keberuntungan. Dalam konteks ini, kata keberuntungan itupun merupakan suatu risiko, yaitu
risiko positif, risiko yang diharapkan, yang kita bedakan sebagai resiko. Tetapi yang menjadi
fokus perhatian dunia asuransi adalah risiko dalam kaitannya dengan kerugian baik berupa
materiil maupun berupa kehilangan kesempatan berproduksi seperti terkena suatu penyakit
berat. Kata rejeki mengandung ketidak-pastian juga, sebab dalam kepercayaan kebanyakan
orang Indonesia, rejeki setiap orang sudah ditetapkan oleh Tuhan akan tetapi kita tidak
pemah tahu berapa banyak akan kita peroleh dan kapan akan kita peroleh. Cuma saja, rejeki
mempunyai konotasi positif. Jadi rejeki adalah suatu ketidak-pastian yang diharapkan.
Sedangkan risiko merupakan ketidak-pastian yang tidak diharapkan. Oleh karenanya,
asuransi bukanlah suatu mekanisme untuk untung-untungan, untuk mendapatkan rejeki.
Dalam setiap langkah kehidupan kita, selalu saja ada risiko yang menyertai kehidupan kita,
baik yang kecil seperti terjatuh karena suatu kerikil sampai yang besar seperti kecelakaan
lalu lintas yang dapat menimbulkan kematian. Beruntung bahwa Tuhan telah memberikan
sifat alamiah manusia yang selalu menghindarkan diri dari berbagai risiko. Setiap orang
mempunyai cara tersendiri untuk menghindarkan dirinya dari berbagai risiko. Secara umum,
cara-cara menghindarkan diri dari berbagai risiko hidup dapat dikelompokan menjadi empat
kelompok besar yang akan dibahas di bawah ini. 1.3.2. Cara-cara Menghindari Risiko Dalam
ilmu manajemen risiko atau risk management, kita mengenal beberapa teknik menghadapi
risiko yang dapat terjadi pada semua aspek kehidupan kita. Teknik-teknik tersebut adalah

(vaughan, ... literatur): 1. Menghindarkan risiko (risk avoidance). Kalau kita merokok, ada
risiko terkena penyakit kanker pam atau penyakit jantung (kardiovaskuler). Salah satu cara
Introduksi Asuransi Kesehatan 4 HThabrany menghindari terjadinya risiko terkena penyakit
pam

atau

jantung

tersebut

adalah

menghindari

bahan-bahan

karsinogen

(yang

menyebabkan kanker) yang terkandung dalarn rokok. Kalau kita tidak ingin mendapat
kecelakaan pesawat terbang, jangan pemah naik pesawat terbang. Banyak orang melakukan
teknik manajemen ini untuk risiko besar yang mudah tampak. Seseorang akan menghindari
naik gunung yang terjal tanpa alat pengarnan, karena risiko jatuh ke jurang tarnpak dengan
mata telanjang. Tetapi banyak orang tidak menyadari kalau risiko besar itu tidak tarnpak
sekarang atau risiko itu baru terjadi 20-30 tahun mendatang seperti risiko merokok. Disinilah
perlunya upaya penyadaran masyarakat tentang berbagai risiko kehidupan. Karena tidak
semua orang mampu melihat atau merasakan berbagai risiko kehidupan atau kalaupun
seseorang mampu mengenali risiko---belum tentu ia marnpu menghindarinya, maka
mekanisme menghindarkan risiko saja tidak cukup untuk melindungi diri dari risiko yang
begitu banyak dalarn kehidupan ini. 2. Mengurangi risiko (risk reduction). Karena berbagai
alasan, kita tidak bisa menghindari sarna sekali dari kemungkinan terjadinya suatu risiko
pada diri kita, kita dapat mengurangi akibat risiko yang terjadi pada diri kita. Contohnya, kita
membuat jembatan penyeberangan atau larnpu khusus penyeberangan untuk mengurangi
jumlah orang yang menderita kecelakaan lalu lintas. Dengan demikian, pengemudi
kendaraan akan berhati-hati. Atau jika ada jembatan penyeberangan, maka risiko tertabrak
mobil akan menjadi lebih kecil, tetapi tidak meniadakan sarna sekali. Seorang pengendara
sepeda motor diwajibkan memakai helm karena tidak ada satu orangpun yang bisa seratus
persen terhindar dari kecelekaan berkendara sepeda motor. Jika helm digunakan, maka
beratnya risiko (severity of risk) dapat dikurangi, sehingga seseorang dapat terhindar dari
kematian atau gegar otak yang memerlukan biaya perawatan sangat besar. Perawatan
intensif selarna 7 (tujuh) hari di rumah sakit bagi penderita gegar otak di tahun 2005 ini dapat
mencapai lebih dari Rp 20 juta. Tetapi, bagi kebanyakan pengendara sepeda motor, yang
belum pemah menyaksikan betapa dahsyatnya akibat gegar otak dan berapa mahalnya
biaya perawatan akibat gegar otak, tidak menyadari hal itu. Kalaupun mereka mengenakan

helm, seringkali sekedar untuk menghindari dari terkena penalti akibat pelanggaran (tilang)
peraturan lalu lintas oleh polisi yang sesungguhnya merupakan risiko kecil (yang hanya
sebesar ratusan ribu rupiah saja). Imunisasi terhadap penyakit hepatitis (radang hati), yang
dapat berkembang menjadi kanker hati yang perlu biaya mahal dalarn perawatan atau dapat
mematikan pada usia muda, merupakan suatu upaya pengurangan risiko. Karena prilaku
manusia yang tidak selalu menyadari risiko besar itu, maka mekanisme menurunkan risiko
saja tidak memadai. Imunisasi hepatitis tidak menjamin seratus persen bahwa setiap orang
yang telah diimunisasi pasti tidak terkena kanker hati. Masih perlu mekanisme manajemen
risiko lain. 3. Memindahkan risiko (risk transfer). Karena sebaik apapun upaya mengurangi
risiko yang telah kita lakukan tidak menjarnin 100% bahwa kita akan terbebas dari segala
risiko, maka kita dapat melindungi diri kita dengan tarneng lapis ketiga dari manajemen risiko
yaitu mentransfer risiko diri kita ke pihak lain. Kita dapat memindahkan seluruh atau
sebagian risiko kepada pihak lain (yang dapat berupa perusahaan asuransi, badan
penyelenggara jarninan sosial, pemerintah, atau apapun Introduksi Asuransi Kesehatan 5
HThabrany nama badan tersebut) dengan membayar sejumlah premi atau iuran, baik dalam
jumlah nominal tertentu maupun dalamjumlah relatifberupa prosentase dari gaji atau harga
pembelian (transaksi). Dengan teknik manajemen risiko ini, risiko yang ditransfer hanyalah
risiko finansial, bukan risiko secara keseluruhan. Ada sebagian risiko yang tidak bisa
ditransfer, misalnya rasa sakit. Ini merupakan prinsip yang sangat fundamental di dalam
asuransi. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa setiap saat sesungguhnya ada risiko
kematian dan sesungguhnya risiko kematian itu (yang menimbulkan risiko ketiadaan dana
bagi ahli warisnya untuk hidup sehari-hari atau untuk membiayai pendidikan anak) dapat
ditransfer dengan membeli asuransi jiwa. Itulah sebabnya, kebanyakan orang di negara
berkembang tidak membeli asuransi jiwa, karena banyak orang tidak melihat kematian
sebagai suatu risiko finansial bagi ahli warisnya. 4. Mengambil risiko (risk asumption). Jika
risiko tidak bisa dihindari, tidak bisa dikurangi, dan tidak memadai atau tidak sanggup
ditransfer, maka altematif terakhir adalah mengambil atau menerima risiko (sebagai takdir).
Tidak semua orang bersikap rasional dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko
tersebut diatas. Ada orang yang tidak perduli dengan risiko yang dihadapinya, dia ambil atau

terima suatu risiko apa adanya. Orang yang berprilaku demikian disebut pengambil risiko
(risk taker). Apabila semua orang bersikap sebagai pengambil risiko, maka usaha asuransi
tidak akan pemah terjadi. Sebaliknya, jika seseorang bersikap sebagai penghindari risiko
(risk averter) maka ia menghindari, mengurangi, atau mentransfer risiko yang mungkin
terjadi pada dirinya. Apabila banyak orang bersikap menghindari risiko, maka demand
terhadap usaha asuransi akan tumbuh. 1.3.3. Risiko yang dapat diasuransikan Diatas telah
dijelaskan empat kelompok besar manajemen risiko dimana asuransi merupakan cara
terakhir sebelum kita terima atau ambil. Tidak semua risiko dapat diasuransikan. Ada
persyaratan risiko yang dapat diasuransikan (insurable risks). Kita tidak mungkin
mengasuransikan semua risiko, dari yang paling kecil seperti terserang pilek saja atau
kehilangan sebuah pinsil sampai yang besar sekaligus seperti kehilangan nyawa atau rumah
tinggal. Ada beberapa syarat di mana suatu risiko; baik itu risiko kehilangan harta benda,
risiko kebakaran, risiko sakit, risiko kecelakaan dan sebagainya, dapat diasuransikan.
Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. 1. Risiko tersebut haruslah bersifat
murni (pure). Menurut sifat kejadiannya, risiko dapat timbul benar-benar sebagai suatu
kebetulan atau accidental dan dapat timbul karena suatu perbuatan spekulatif. Risiko mumi
adalah risiko yang tidak dibuat-buat, disengaja, atau dicari-cari bahkan tidak dapat dihindari
dalam jangka pendek. Orang berdagang mempunyai risiko rugi, tetapi risiko rugi tersebut
dapat dihindari dengan manajemen yang baik, belanja yang hat-hati, dan sebagainya. Risiko
rugi akibat suatu usaha dagang merupakan risiko spekulatif yang tidak dapat diasuransikan.
Oleh karenanya tidak ada asuransi yang menawarkan pertanggungan kalau suatu Introduksi
Asuransi Kesehatan 6 HThabrany perusahaan merugi. Suatu risiko yang timbul akibat suatu
tindakan kesengajaan karena ingin mendapatkan santunan asuransi misalnya, maka risiko
yang timbul tidak dapat diasuransikan. Contoh, seseorang mempunyai asuransi kematian
yang besarannya-katakanlah satu milyar rupiah-dapat saja dibunuh oleh ahli warisnya guna
mendapatkan manfaatijaminan asuransi sebesar satu milyar rupiah. Kematian yang
disebabkan karena kesengajaan seperti itu tidak dapat ditanggung. Seseorang yang sengaja
mencoba bunuh diri dengan meminum racun serangga dan gagal sehingga perlu perawatan
di rumah sakit tidak berhak atas jaminan perawatan, karena risiko sakitnya bukanlah risiko

murni. Sakit kanker, yang membutuhkan perawatan yang lama dan mahal, tidak pemah
diharapakan oleh si penderita dan karenanya penyakit kanker merupakan risiko murni yang
dapat diasuransikan atau dijamin oleh asuransi. 2. Risiko haruslah defmitif. Pengertian
definitif artinya bahwa risiko dapat dengan pasti ditentukan kejadiannya dan difahami
bersama tentang terjadi atau tidak terjadi. Risiko sakit dan kematian ditetapkan dengan surat
keterangan dokter. Risiko kecelakaan lalu lintas ditetapkan dengan surat keterangan polisi.
Risiko kebakaran ditetapkan dengan berita acara dan bukti-bukti lain seperti foto kejadian. 3.
Risiko haruslah bersifat statis. Suatu risiko dapat bersifat statis, artinya probabilitas
kejadiannya relatif statis atau konstan tanpa dipengaruhi perubahan politik dan ekonomi
suatu negara. Sebaliknya suatu risiko bisnis bersifat dinamis yaitu sangat dipengaruhi
stabilitas politik dan ekonomi. Tentu saja, risiko yang benar-benar statis dalam jangka
panjang tidak banyak. Risiko seseorang terserang kanker atau gagal jantung akan relatif
statis, tidak dipengaruhi keadaan ekonomi dan politik. Dalam jangka panjang tentu saja risiko
serangan jantung juga dipengaruhi keadaan ekonomi. Di negara maju, yang relatif kaya dan
pola makan enak yang mengandung banyak lemak relatif tinggi, maka probabilits terkena
serangan jantung lebih tinggi dibandingkan dengan risiko serangan jantung di negara miskin.
4. Risiko berdampak fmansial. Suatu risiko dapat mempunyai dampak finansial maupun
tidak. Risiko yang dapat diasuransikan, karena transfer risiko dilakukan dengan membayar
premi atau kontribusi, haruslah yang berdampak fmansial. Suatu kecelakaan diri misalnya
mempunyai dampak finansial berupa biaya prawatan dan atau kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan penghasilan. Selain berdampak finansial, suatu kecelakaan juga menimbulkan
rasa nyeri dan jika kecelakaan tersebut menimbulkan kematian atau kecacatan, maka risiko
tersebut menimbulkan beban psikologis yang besar. Tentu saja yang dapat diasuransikan
hanyalah risiko yang bersifat finansial berupa biaya perawatan, kehilangan jiwa atau
kecacatan

yang

berdampak

pada

kehilangan

penghasilan.

Maka

asuransi

dapat

menawarkan penggantian biaya pengobatan dan perawatan (baik dengan uang atau
pelayanan) maupun uang tunai sebagai pengganti kehilangan penghasilan yang hilang
akibat kematian atau kecacatan. 5. Risiko haruslah measurable atau quantifiable. adalah
syarat di mana besamya kerugian finansial akibat risiko tersebut dapat diketahui dengan

tingkat akurasi yang Introduksi Asuransi Kesehatan 7 HThabrany tinggi. Kalau seorang sakit,
hams jelas diketahui bahwa orang itu menderita sakit sewaktu berada di Bogor, dirawat di
suatu rumah sakit di Bogor, dan membutuhkan biaya perawatan sebesar-katakanlah Rp 20
juta. Besaran biaya perawatan tersebut merupakan syarat dimana suatu skema asuransi
dapat berjalan. Rasa sakit sangat sulit diukur, meskipun kita punya berbagai instrumen,
karena rasa sakit sangat subyektif sifatnya. Itulah syarat yang diperlukan sehingga baik
pemegang polis (peserta) maupun asuradur dapat mempunyai kesepakatan suatu kontrak
pertanggungan/jaminan. Dalam hal asuransi jiwa, kita sangat sulit mengukur berapa besar
kerugian finansial akibat suatu kematian. Dalam hal ini, maka biasanya asuradur
menawarkan jumlah tertentu yang akan dipilih pemegang polis/peserta untuk disepakati
sebagai jumlah yang akan diasuransikan. Pilihan jumlah tertentu ini disebut quantifiable
(dapat ditetapkan jumlahnya) sehingga dapat dihitung premi yang hams dibayarkan. 6.
Ukuran risiko haruslah besar (large). Ukuran risiko (severity) memang relatif dan dapat
berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu lain. Risiko biaya rawat
inap sebesar Rp 5 juta bisa dinilai besar oleh yang berpenghasilan rendah akan tetapi dinilai
kecil oleh yang berpenghasilan diatas Rp 50 juta sebulan. Sebuah sistem asuransi harus
secara cermat menilai risiko mana yang akan diasuransikan. Dalam asuransi kesehatan,
kecenderungan di dunia adalah menjamin pelayanan kesehatan secara komprehensif karena
ada kaitan antara risiko yang besaran rupiahnya kecil, misalnya pengobatan dokter untuk
gejala demam, karena jika tidak dijamin bisa jadi gejala tersebut merupakan suatu kasus
demam berdarah yang mematikan yang memerlukan biaya perawatan yang mahal. Jadi
menjamin pelayanan kesehatan komprehensif merupakan kombinasi penurunan risiko (risk
reduction) dan transfer risiko. Suatu skema asuransi yang hanya menanggung risiko yang
kecil, misalnya hanya pengobatan di puskesmas-seperti yang dulu dipraktekkan dengan
skema dana sehat atau JPKM, tidak memenuhi syarat asuransi. Oleh karena itu, dimanapun
di dunia, model asuransi mikro seperti itu tidak memiliki sustainabilitas (kesinambungan)
jangka panjang. Umumnya skema semacam itu berusia pendek dan tidak menjadi besar.
Selain persyaratan sifat atau jenis risiko diatas, ada beberapa persyaratan yang terkait
dengan teknis asuransi dan kelayakan suatu risiko diasuransikan. Yang dimaksud dengan

kelayakan disini adalah khususnya kelayakan dalam aspek ekonomis. Suatu produk asuransi
yang preminya terlalu mahal tidak bisa dijual atau tidak menarik bagi masyarakat untuk ikut
asuransi tersebut. Harga premi atau besaran iuran yang menghabiskan 30% penghasilan
seseorang untuk premi atau iuran asuransi tidak layak untuk dikembangkan. Persyaratan
teknis asuransi adalah besamya probabilitas kejadian, besamya populasi yang terkena risiko
suatu kejadian, dan besamya pool. 1. Probabilitas suatu kejadian risiko relatif kecil. Ukuran
probabilitas besar dan kecil juga relatif. Akan tetapi suatu kejadian yang lebih dari 50%
kemungkinan

terjadinya

(dalam

bahasa

statistik

disebut

probabilitas

>0,5)

akan

menyebabkan biaya premi menjadi besar dan tidak menarik untuk diasuransikan. Kejadian
gagal ginjal yang membutuhkan hemodialisa atau cuci darah seminggu dua kali mempunyai
Introduksi Asuransi Kesehatan 8 HThabrany probabilitas sangat kecil, yaitu kurang dari satu
kejadian per 1.000 orang (p < 0,001). Demikian juga kejadian kecelakaan pesawat terbang
jauh lebih kecil lagi yaitu umumnya kurang dari satu per 100.000 penerbangan. Probabilitas
yang kecil menghasilkan besaran premi atau iuran yang juga kecil. 2. Kerugian tidaklah
boleh mengenai sejumlah penduduk/peserta yang besar jumlahnya atau katastrofik
(catastrophic) bagi asuradur. Pengertian katastrofik dapat berarti unitnya yang besar artinya
banyak orang yang terkena kerugian pada saat yang bersamaan. Contohnya, kerugian yang
terjadi akibat perang atau bencana alam besar seperti Tsunami di Aceh yang mengenai
penduduk yang banyak dengan besarnya kerugian mencapai triliunan rupiah tidak dijamin
oleh asuransi karena praktis suatu usaha asuransi akan bangkrut. Suatu penyakit yang
menjadi wabah, mengenai banyak orang, tidak dijamin asuransi akan tetapi dijamin
pemerintah melalui suatu undang undang wabah. Perusahaan asuransi tidak menanggung,
atau mengecualikan dari jaminan (exception), segala bentuk perawatan rumah sakit atau
dokter sebagai akibat bencana alam besar, peperangan ataupun suatu wabah. Katastropik
juga dapat berarti besarnya risiko yang terlalu besar atau terlalu mahal. Dalam bidang
kesehatan, biaya perawatan di ruang intensif yang lebih dari satu tahun pasti membutuhkan
biaya yang bisa mencapai milyaran rupiah. Besarnya biaya medis katastropik bervariasi
sesuai dengan kemampuan ekonomi suatu negara. WHO memberikan definisi biaya medis
katastropik bagi rumah tangga jika biaya pengobatan atau perawatan menghabiskan lebih

dari 40% penghasilan rumah tangga (WHO, 2000).2 Akan tetapi biaya medis yang bersifat
katastropik bagi rumah tangga ini justeru merupakan suatu persyaratan untuk diasuransikan.
Dalam buku-buku teks asuransi kesehatan, biaya perawatan yang mahal sering disebut
kasus-kasus major medicals (biaya medis mahal). 3. Hams ada sejumlah penduduk atau
masyarakat yang homogen yang cukup besar yang akan terkena risiko yang ikut serta dalam
suatu skema asuransi. Maksudnya adalah jika suatu asuransi diikuti oleh hanya sepuluh
orang saja sedangkan risiko yang timbul dapat bervariasi dari--katakanlah seribu rupiah
sampai satu milyar rupiah, maka iuran atau peremi dari peserta asuransi yang sepuluh orang
ini tidak dapat menutupi kebutuhan dana apabila risiko yang diasuransikan terjadi. Risiko
yang diperoleh dari sepuluh orang tersebut tidak bisa dijadikan patokan untuk menghitung
besarnya risiko yang akan timbul. Semakin besar suatu peserta semakin tinggi tingkat
akurasi prediksi biaya yang dibutuhkan untuk menjamin risiko. Dengan demikian, akan
semakin kuat kemampuan finansial sebuah perusahaan asuransi. Persyaratan besarnya
jumlah peserta atau pemegang polis merupakan suatu aplikasi hukum matematik yang
disebut hukum angka besar (the law of the large number). Hukum ini menyebabkan semakin
banyak usaha asuransi yang melakukan merjer (bergabung) agar lebih kuat bersaing atau
lebih mampu mengendalikan biaya atau mempunyai tingkat efisiensi yang tinggi. Program
asuransi kesehatan sosial selalu memenuhi hukum angka besar ini karena sifatnya yang
wajib. Sebaliknya usaha asuransi kesehatan komersial seringkali bangkrut karena tidak
mampu memiliki jumlah peserta atau pemegang polis yang cukup besar. Introduksi Asuransi
Kesehatan 9 HThabrany 1.4. lenis Asuransi Diatas telah dibahas bahwa asuransi merupakan
cara manajemen risiko dimana seseorang atau sekelompok kecil orang (yang disebut
pemegang polis/policy holder atau peserta/participant) melakukan transfer risiko yang
dihadapinya dengan membayar premi (iuran atau kontribusi) kepada pihak asuransi (yang
disebut asuradur/insurer atau badan penyelenggara asuransi). Dalam hal pemegang polis
atau peserta bersifat perseorangan, maka ia akan manjamin dirinya sendiri dan atau
termasuk anggota keluarganya. Dalam hal pemegang polis atau peserta bersifat kelompok
kecil (misalnya suatu perusahaan atau instansi), maka yang dijamin biasanya anggota
kelompok tersebut (karyawan dan anggota keluarganya). Dengan pembayaran premi/ iuran

tersebut, maka segala risiko biaya yang terjadi akibat kejadian yang telah disepakati dalam
perjanjian kontrak (atau ditetapkan dalam peraturan) yang terjadi pada pemegang polis,
peserta, dan anggota keluarganya (tergantung dari spesifikasi dalam kontrak) akan menjadi
kewajiban asuradur. Orang-orang yang termasuk dalam daftar yang dijamin dalam kontrak
atau peraturan disebut tertanggung atau insured. Risiko yang hams ditanggung asuradur
disebut benefit atau "manfaat" asuransi, yang besamya atau scopenya ditetapkan dimuka
dalam kontrak atau peraturan. Dalam asuransi kesehatan, manfaat ini sering disebut paket
jaminan (benefit package/packet) karena berbeda dengan manfaat asuransi jiwa atau
kerugian yang sering dalam bentuk sejumlah uang, manfaat asuransi kesehatan pada
umumnya berbentuk daftar pelayanan kesehatan yang dijamin oleh asuradur. Secara
sederhana pengertian asuransi dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut. Wajib/Sukarela
Premi Asuradur Peserta Manfaat III Uang/pelayanan Dari ilustrasi diatas dapat dilihat bahwa
ada dua elemen utama terselenggaranya asuransi yaitu ada pembayaran premi/ iuran dan
ada benefit! manfaat. Kedua elemen inilah yang mengikat kedua pihak (para pihak): peserta
dan asuradur. Pada hakikatnya dalam asuransi, secara umum, para pihak memiliki hak dan
kewajiban sebagaimana layaknya Introduksi Asuransi Kesehatan 10 HThabrany sebuah
kontrak. Tertanggung merupakan orang yang mempunyai kewajiban membayar premi.
Dalam program Jamsostek, Askes dan JPKM, yang nantinya semua akan diatur dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional, tertanggung disebut peserta-tanpa membedakan siapa
yang membayar iuran. Di dalam asuransi kesehatan tradisionall konvensional, yaitu asuransi
kesehatan yang dijual oleh perusahaan asuransi yang manfaatnya ditetapkan atau dibatasi
dengan nilai jumlah uang tertentu, peserta disebut pemegang polis (policy holder) dan
anggota keluarga yang dijamin disebut tertanggung. Dalam asuransi kesehatan yang
dikelola oleh bukan perusahaan asuransi di Amerika (yang biasa dikenal di Indonesia
dengan managed care) tertanggung disebut anggota atau member. Pemegang polis atau
peserta berkewajiban membayar premi/iuran sedangkan tertanggung tidak selalu merupakan
orang yang hams membayar premi. Asuradur adalah orang atau badan yang telah menerima
premi dan karenanya mempunyai kewajiban membayar atau menanggung manfaat asuransi.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 571/572 tahun 1993 tentang JPKM, yang

dimasa datang JPKM sukarela ini hanya akan menjual produk asuransi kesehatan
suplemen, asuradur ini disebut Badan Penyelenggara JPKM yang disingkat Bapel. 1.5.
Kontrak Asuransi Mekanisme asuransi merupakan hubungan kontraktual dimana peserta
mempunyai kewajiban membayar premi dan mempunyai hak mendapatkan manfaat
asuransi. Asuradur mempunyai hak menerima pembayaran premi dan berkewajiban
membayarkan manfaat, baik langsung kepada tertanggung dalam bentuk uang maupun
membayarkan manfaat tersebut kepada pihak ketiga yang memberikan pelayanan seperti
bengkel mobil atau fasilitas kesehatan. Namun demikian, dibandingkan dengan hubungan
kontraktuallainnya, kontrak asuransi memiliki ciri khas yang secara bersama-sama tidak
dimiliki oleh hubungan kontraktual lainnya. Karena kekhasan kontrak asuransi inilah, maka
pengelolaan atau bisnis asuransi sangat ketat diatur atau dilaksanakan langsung oleh
pemerintah. Ciri khas kontrak asuransi tersebut adalah sebagai berikut: Kontrak kondisional.
Dalam kontrak asuransi, kewajiban asuradur baru akan terjadi jika kondisi tertentu (sakit atau
kehilangan harta benda) terjadi pada diri tertanggung. Apabila tertanggung tidak mengalami
kejadian tersebut, maka tidak ada kewajiban bagi asuradur. Kontrak lain, seperti kontrak
pembelian barang atau sewa gedung, tidak memiliki sifat kondisional ini. Oleh karena itu,
dalam kontrak asuransi seperti asuransi kesehatan pegawai negeri, pegawai yang lebih dari
20 tahun tidak pemah sakit sedangkan ia terus membayar iuran (karena bersifat wajib dan
langsung dipotong dari gajinya), tidak berhak menuntut uang iurannya kembali kepada
Askes. Secara hukum, hal ini sah. Berbeda dengan kontrak tabungan hari tua (yang disebut
Dana Pensiun Lembaga Keuangan-DPLK) di bank, penabung atau ahli warisnya berhak
mendapatkan kembali uang yang disimpannya secara rutin tiap bulan pada suatu waktu
tertentu atau setelah penabung meninggal dunia. Kontrak unilateral. Pada umumnya kontrak
bersifat bilateral dalam artian masing masing pihak mempunyai kewajiban dan hak dan
masing-masing dapat dituntut jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya.
Dalam kontrak asuransi, pihak yang dapat dituntut karena tidak memenuhi kewajibannya
hanyalah pihak asuradur. Apabila tertanggung Introduksi Asuransi Kesehatan 11 HThabrany
tidak memenuhi kewajibannya, tidak membayar premi, ia tidak dapat dituntut. Akan tetapi
haknya otomatis hilang atau kontrak otomatis terputus (yang dalarn istilah asuransi komersial

disebut lapse). Kontrak unilateral ini merupakan padanan (offset) dari sifat kondisional
dimana kewajiban membayar manfaat asuransi tidak selalu harus dilakukan oleh asuradur.
Kontrak Aleatory. Kontrak pada umumnya mempunyai keseimbangan nilai tukar (economic
value) antara kewajiban dan hak bagi pihak pertarna maupun pihak kedua. Salah satu pihak
dapat (sah) menerima nilai yang jauh lebih besar dari kewajiban yang dibayarkannya, tanpa
ada hitungan hutang atau dapat digugat untuk membayar selisih nilai tukar. Sebagai contoh,
seseorang yang menjadi peserta asuransi kesehatan membayar premi sebesar Rp 250.000
tiap bulan. Baru saja empat bulan ia membayar premi (total premi yang dibayar menjadi 4 x
Rp 250.000 atau sarna dengan Rp 1 juta), ia terkena serangan jantung dan memerlukan
pembedahan yang memakan biaya (nilai tukar) Rp 150 juta yang dalarn kontrak asuransi
tersebut memang pembedahan jantung ditanggung penuh. Maka peserta ini berhak
menerima operasi jantung tanpa ada kewajiban membayar selisih biaya bedah jantung
dengan premi yang telah dibayarnya. Sebab, tanpa kontrak aleatori, sesungguhnya peserta
tersebut baru membayar sebesar Rp 1 juta sedangkan ia sudah menerima Rp 150 juta.
Dalam kontrak asuransi, peserta tersebut tidak berhutang Rp 149 juta. Jika saja ia berhenti
menjadi peserta setelah itu, dengan tidak membayar premi lagi misalnya, maka ia tidak
dapat dituntut untuk melunasi selisih biaya yang besarnya Rp 149 juta. Sebaliknya, seorang
peserta atau pemegang polis bisa saja telah membayar premi sebesar Rp 250.000 sebulan
untuk masa 10 tahun (atau sama dengan 10 tahun x 12 bulan x Rp 250.000 = Rp 30 juta,
tanpa hitungan bunga) akan tetapi ia tidak pemah sakit dan karenanya tidak pemah
mengklaim manfaat asuransi. Maka ia tidak berhak sarna sekali atas manfaat asuransi
(menerima hak senilai Rp 0 rupiah). Sedangkan asuradur telah menerima Rp 30 juta (plus
bunga) tanpa kewajiban membayar apapun kepada tertanggung. Kontrak Adhesi. Dalarn
ikatan kontrak pada umumnya kedua belah pihak mempunyai informasi yang relatif
seimbang tentang nilai tukar dan kualitas barang atau jasa. Dalarn kontrak asuransi, pihak
peserta atau pemegang polis--khususnya dalarn asuransi individual, tidak memiliki informasi
yang seimbang dengan informasi yang dimiliki asuradur. Asuradur tahu lebih banyak tentang
besarnya probabilitas sakit dan biaya-biaya pengobatan yang terkait sementara pihak
peserta tidak mampu mengetahuinya dengan baik. Akibatnya, sulit bagi peserta untuk

menilai apakah premi yang dikenakan murah, wajar, atau terlalu mahal. Dalarn kata lain,
peserta dalarn posisi yang lemah (ignorance). Itulah sebabnya, dalarn industri asuransi
dimanapun di dunia, pemerintah selalu mengatur dan mengawasi dengan ketat berbagai
aspek penyelenggaraan asuransi baik dalam hal paket jaminan, isi dan bahasa polis, bahkan
besamya huruf dalarn polis, dan berbagai persyaratan asuradur yang menjarnin peserta
akan menerima haknya, jika obyek asuransi terjadi. Dalarn dunia asuransi, kontrak semacam
ini sering disebut sebagai kontrak take it or leave it. Introduksi Asuransi Kesehatan 12
HThabrany

1.6.

Pembayaran

Premi

Dalam

pembayaran

premi,

menurut

sifat

kepesertaannya, kita dapat membagi asuransi menjadi dua golongan besar yaitu
pembayaran premi yang bersifat wajib dan bersifat sukarela (lihat ilustrasi). Dalam asuransi
sosial kepesertaan bersifat wajib, dalam asuransi komersial tidak ada kewajiban seseorang
untuk ikut atau membeli asuransi. Sifat membeli merupakan suatu transaksi sukarela dalam
perdagangan (commerce). Atas dasar kewajiban menjadi peserta inilah, asuransi secara
garis besar dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu asuransi sosial dan asuransi komersial.
Banyak pihak di Indonesia yang mengasosiasikan asuransi sosial sebagai asuransi bagi
kelompok masyarakat dengan ekonomi lemah, sehingga pada awalnya JPKM dinyatakan
sebagai bukan asuransi komersial. Dalam literatur asuransi dan jaminan sosial, kepesertaan
yang bersifat wajib merupakan ciri utama dari asuransi sosial. 1.6.1. Asuransi Sosial Banyak
pihak di Indonesia yang mempunyai pengertian yang keliru tentang asuransi so sial.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa asuransi sosial adalah suatu program asuransi
untuk masyarakat miskin atau kurang mampu. Dalam banyak kesempatan interaksi dengan
masyarakat di kalangan sektor kesehatan, banyak yang beranggapan bahwa Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diperkenalkan Departemen Kesehatan
(Depkes) juga merupakan program jaminan untuk masyarakat miskin. Hal ini barangkali
terkait dengan program JPKM dalam rangka Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan
(JPSBK) dimana Depkes memberikan insentif kepada organisasi di kabupaten yang disebut
pra bapel (hadan penyelenggara) untuk mengembangkan JPKM. Program JPSBK ini
memberikan dana Rp 10.000 per tahun untuk tiap keluarga miskin (gakin) kepada pra bapel
yang berjumlah 354 di seluruh Indonesia dimana Rp 800 diantaranya digunakan oleh pra

bapel untuk administrasi. Diharapkan bahwa setelah dua tahun program ini, pra bapel dapat
membuat produk JPKM dan menjualnya kepada masyarakat selain gakin. Mungkin dengan
program inilah maka terbentuk pemahaman bahwa program JPKM adalah program asuransi
sosial. Sebenarnya, konsep JPKM adalah konsep asuransi komersial yang dilandasi oleh
kepesertaan sukarela. Diskusi lebih lanjut tentang hal ini akan diberikan kemudian. Dalam
Undang-Undang No 2/92 tentang asuransi disebutkan bahwa program asuransi so sial
adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu undang
undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan
masyarakat. Dalam UU ini disebutkan bahwa program asuransi sosial hanya dapat
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (pasal 14). Namun demikian, tidak ada
penjelasan lebih rinci tentang asuransi sosial dalam UU tersebut. Untuk lebih menjelaskan
tentang apa, mengapa dan bagaimana asuransi sosial dilaksanakan, berikut ini akan
dijelaskan berbagai rasional dan contoh-contoh program asuransi sosial di dunia dan di
Indonesia. Mengapa harus diwajibkan? Apakah dalam jaman era globalisasi ini masih perlu
mewajibkan setiap tenaga kerja atau setiap penduduk untuk menjadi peserta asuransi
kesehatan seperti halnya asuransi kesehatan pegawai negeri? Mengapa harus dikelola
secara

Introduksi Asuransi

Kesehatan

13 HThabrany

terpusat

oleh

satu badan

penyelenggara pemerintah? Monopolikah itu namanya? Bukankah kini jamannya privatisasi?


Mengapa tidak dilepaskan kepada mekanisme pasar karena pasar begitu kuat dan mampu
mengatasi berbagai masalah? Bukankah kini jamannya otonomi daerah sehingga
sehamsnya daerah diberi kewenangan mengurus masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan
semacam itu kerap kali muncul sewaktu saya presentasi di berbagai kesempatan dan
daerah. Di atas sudah dijelaskan bahwa pelayanan kesehatan memiliki ciri uncertainty dan
akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan hak asasi setiap penduduk. Deklarasi PBB
tahun 1948 telah jelas menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan kesehatan
manakala ia sakit. Apakah setiap orang memiliki visi dan kesadaran akan risiko yang
dihadapinya di kemudian hari? Meskipun banyak orang menyadari akan risiko dirinya, pada
umumnya kita tidak mempunyai kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan menutup risiko sakit yang terjadi di masa depan. Orang-orang muda akan ambil

risiko, risk taker, terhadap masa depannya karena pengalamannya menunjukkan bahwa
mereka jarang sakit. Ancaman sakit 10-20 tahun ke depan dinilainya terlalu jauh untuk
dipikirkan sekarang. Pada umumnya mereka tidak akan membeli, secara sukarela dan sadar,
asuransi untuk masa jauh ke depan tersebut meskipun mereka mampu membeli.
Sebaliknya, orang-tua dan sebagian orang yang punya penyakit kronis, bersedia membeli
asuransi karena pengalamannya membayar biaya berobat yang mahal. Namun penghasilan
mereka sudah jauh berkurang. Meskipun penghasilannya cukup, biaya pengobatan sudah
jauh lebih besar dari penghasilanya. Orang-orang seperti ini mau membeli asuransi, akan
tetapi jika hanya orang-orang tersebut yang mau membeli, perusahaan asuransi/bapel akan
menarik premi sangat besar untuk menutupi biaya berobat yang tinggi. Atau mereka tidak
bersedia menjamin orang-orang yang risikonya sub standar (diatas rata-rata). Akibatnya
mereka tidak bisa dijamin. Jika orang-orang yang sudah sakit-sakitan tersebut menderita
penyakit menular, penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Penyakit menular yang tidak dapat
disembuhkan, karena tidak sanggup berobat dan tidak ada perusahaan asuransil bapel yang
mau menjaminnya, akan mengancam semua orang disekitamya, karena penyakitnya dapat
menular kepada orang lain (ekstemalitas). Meskipun mereka tidak menderita penyakit
menular, jika penyakit mereka sudah sangat parah, dan mereka tidak mampu membayar,
pada akhimya banyak pihak hams turun tangan membantu. Inilah prikemanusiaan yang
beradab. Tidak ada di dunia manapun dimana orang-orang seperti itu dibiarkan menderita
tanpa bantuan. Jika bantuan diberikan secara sukarela, jumlahnya seringkali tidak memadai.
Ancaman sakit seperti itu dapat terkena siapa saja, tua maupun muda, kaya maupun miskin.
Oleh karena setiap orang suatu ketika akan dapat menderita seperti itu, maka untuk
menjamin semua orang tidak tambah menderita karena tidak memiliki dana yang memadai,
maka perlu diwajibkan untuk berasuransi. Jika tidak diwajibkan, maka yang sakit-sakitan
akan beli asuransi sebagai alat gotong royong atau solidaritas sosial. Sementara yang sehat
dan yang muda merasa tidak perlu dan karenanya tidak membeli asuransi. Dengan demikian
tidak mungkin terselenggara gotong-royong antara kelompok kaya-miskin dan antara yang
sehat dengan yang sakit. Jadi asuransi sosial bertujuan untuk menjamin semua orang yang
memerlukan pelayanan kesehatan akan mendapatkannya tanpa perduli status ekonomi atau

usianya. Inilah Introduksi Asuransi Kesehatan 14 HThabrany prinsip keadilan sosial (social
equity/social justice) yang menjadi falsafah hidup semua orang di dunia. Jadi asuransi sosial
memiliki fungsi redistribusi hak dan kewajiban antara berbagai kelompok masyarakat: kayamiskin, sehat-sakit, muda-tua, risiko rendah-risiko tinggi. Inilah hakikat peradaban manusia
yang dapat diwujudkan dengan penyelenggaraan asuransi so sial. Oleh karenanya, tidak ada
satu negarapun di dunia-- baik itu negara liberal seperti Amerika maupun negara yang lebih
dekat ke sosialis, yang tidak memiliki sistem asuransi so sial atau jaminan oleh negara
langsung. Di Amerika misalnya, semua orang-tanpa kecuali, yang mempunyai penghasilan
hams membayar premi Medicare. Medicare adalah program asuransi sosial kesehatan untuk
orang tua/pensiunan (usia 65 tahun keatas) untuk orang orang yang menderita penyakit
terminal-penyakit yang tidak bisa sembuh. Setiap yang berpenghasilan otomatis dipotong
sebesar 1,45% penghasilannya untuk premi Medicare yang jaminannya baru diperoleh jika ia
berusia pensiun (65 tahun keatas). Majikannya, pemberi kerja, wajib juga menambahkan
1,45% gaji yang dibayarkan untuk premi asuransi tersebut. Jadi jumlahnya 2,9% dari
gaji/upah sebulan. Negara-negara Eropa yang lebih kuat ikatan sosialnya atau negaranegara Asia seperti Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, dan Muangtai; juga menyelenggarakan
sistem asuransi sosial. Ada yang digabungkan dengan sistem jaminan sosial (social security)
ada juga negara yang membuat undang-undang asuransi sosial khusus untuk kesehatan
seperti Taiwan, Filipina, Kanada, dan Jerman. Tanpa diwajibkan, maka tidak semua orang
akan ikut serta. Cina yang komunis juga menyelenggarakan sistem asuransi sosial untuk
rakyatnya. Jadi mewajibkan penduduk ikut serta dalam asuransi sosial bukanlah
pemerkosaan hak akan tetapi justeru untuk pemenuhan hak asasi yang dibiayai secara
kolektif. Membayar pajak adalah suatu kewajiban di negara manapun. Apakah kewajiban
membayar pajak merupakan pelanggaran hak asasi manusia? Kalau ada yang menjawab
ya, maka semua negara di dunia ini melanggar HAM. Mempunyai kartu penduduk atau
paspor adalah suatu kewajiban penduduk, dimanapun dan di negara manapun ia berada.
Jadi tidak seperti apa yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa menyelenggarakan
asuransi yang bersifat wajib adalah bertentangan dengan fitrah manusia madani (civilized
society). Justeru masyarakat madani memiliki banyak sekali kewajiban individu terhadap

masyarakat secara kolektif. Inilah bentuk perwujudan kehidupan berbudaya. Sesuatu yang
sifatnya wajib hams diatur oleh yang paling kuasa. Dalam kehidupan bemegara, yang paling
kuasa adalah undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat. Itulah sebabnya, sebuah
asuransi sosial yang memenuhi syarat haruslah diatur berdasarkan undang undang. Di
Indonesia, salah satu contoh asuransi sosial yang diatur UU adalah jaminan pemeliharaan
kesehatan dalam Undang-undang No. 3/1992 tentang Jamsostek. Mekanisme adverse
selection. Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan ditetapkan oleh UU sama atau
relatif sama bagi seluruh peserta dengan tujuan memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Seringkali manfaat ini disebut paket dasar. Dalam asuransi putus kerja atau pensiun,
besarnya manfaat memang relatif rendah untuk memenuhi kebutuhan minimum hidup, cukup
untuk makan, transportasi, perumahan, dan pendidikan. Manfaat pasti tidak diberikan agar
pesertanya dapat Introduksi Asuransi Kesehatan 15 HThabrany hidup mewah. N amun untuk
asuransi kesehatan, di Indonesia sayangnya banyak memiliki pemahaman sarna yaitu
menjamin pelayanan kesehatan dengan biaya murah. Sehingga kasus berat dan mahal tidak
dijamin. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip asuransi berat sama dipikul. Sebab yang menjadi
kebutuhan dasar, yang mempertahankan seseorang hidup dan berproduksi seringkali justeru
pelayanan operasi atau perawatan intensif di rumah sakit. Oleh karenanya, di negara-negara
lain, pada umumnya asuransi sosial dimulai dengan manjamin pelayanan rawat inap, bukan
rawat jalan yang murah. Tujuan penyelenggaraan asuransi so sial ini adalah terpenuhinya
kebutuhan penduduk, atau populasi tertentu, yang tanpa asuransi sosial kemungkinan besar
mereka tidak mampu memenuhinya sendiri-sendiri. Atau jika mereka secara sukarela
(komersial) membeli asuransi, mereka tidak sanggup atau tidak punya disiplin cukup untuk
membeli. Dalam asuransi sosial, premi ditetapkan oleh peraturan yang besarnya umumnya
proporsional terhadap pendapatan/upah. Kombinasi paket jaminan/manfaat asuransi yang
sama dengan premi yang proporsional upah memfasilitasi terjadinya equity egaliter (keadilan
yang merata). Secara singkat equity egaliter berarti you get what you need yang lebih pas
untuk kesehatan. Dalam prinsip equity egaliter dilaksanakan prinsip seseorang hams
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yang ada pada dirinya
tetapi membayar sesuai dengan kemampuan ekonomi dirinya. Itulah sebabnya peserta

diharuskan membayar persentase tertentu dari upahnya. Hal ini memungkinkan pemerintah
memenuhi hak asasi pelayanan kesehatan seperti yang termaktub dalam UUD kita pasal
28H. Hal ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari sila keadilan sosial dalam Pancasila.
Seluruh negara maju dan menengah menggunakan prinsip asuransi sosial ini, baik yang
terintegrasi denganjaminan sosial (social security) lainnya maupun yang dikelola tersendiri.
Contoh equity liberter adalah pelayanan kesehatan yang umumnya berlaku di Indonesia
sekarang ini. Seorang manajer yang sakit tifus masuk rumah sakit dan memilih perawatan di
kelas VIP dengan membayar biaya perawatan per hari Rp 250.000,- plus jasa dokter, obat,
pemeriksaan penunjang medis, dsb. Ia mendapat perawatan dari suster yang cantik-cantik,
doktemya berkunjung paling sedikit sekali dalam sehari (argo dokter jalan terus), dan
mendapat pilihan makanan yang enak. Total biaya perawatan waktu pulang adalah Rp 5 juta.
Adilkah (equitykah)? Tentu adil, sebab dia bayar mahal sehingga ia mendapatkan pelayanan
sesuai dengan yang ia bayar. Seorang pedagang sayur gendongan menderita sakit tifus dan
tidak diterima dirawat di RS Swasta karena tidak mampu membayar uang muka yang
diminta. Dengan menahan berbagai rasa sakit dan panas di badan, ia hams pergi ke RS
pemerintah yang mau menerimanya tanpa uang muka. Ia kemudian di rawat di kelas 11m
dengan bangsal yang rame, kamar mandi bersama, kebersihan ruangan dan bau yang
kurang nyaman, serta makanan yang standar. Dokter memeriksanya tiga hari sekali dan
perawatnya kurang ramah. Maklum karena perawat mendapat gaji UMR. Setelah dirawat 10
hari ia pulang dengan hanya membayar Rp 500.000,-. Adilkah? Cukup adil. Sebab ia hanya
mampu membayar pelayanan yang seperti itu. Seorang tukang ojek yang menderita tifus
tetapi takut ke rumah sakit karena ia sering mendengar tetangga dan kenalannya yang
dirawat di RS menghabiskan ratusan ribu sampai Introduksi Asuransi Kesehatan 16
HThabrany jutaan rupiah. Setelah berusaha mengobati sendiri dengan berbagai obat
penurun panas tidak sembuh, akhimya ia pingsan karena rupanya telah tejadi perforasi
(kebocoran) usus. Akhimya oleh tetangganya ia di bawa ke rumah sakit dan terpaksa hams
masuk perawatan intensif (ICU) dan pembedahan. la beruntung karena diberikan dispensasi
untuk membayar uang muka seadanya. Setelah pulang ia hams membayar Rp 5 juta, yang
paling banyak untuk perawatan intensif selarna dua hari yang memakan biaya Rp 3,5 juta.

Karena berhutang, ia hams menjual motomya dan masih meminjarn uang dari sanak
keluarga untuk melunasi tagihan rumah sakit tersebut. la tidak lagi berfikir darimana mencari
nafkah setelah itu, karena motor yang menjadi satu-satunya modal telah dilego. Untuk
makan keluarga setelah sembuh, terserah nasiblah. Adilkah? Menurut pandangan liberter,
adil. Sebab ia memang bemasib jelek dan berprilaku jelek takut berobat sejak dini. Seorang
tukang ojek lainnya yang juga menderita tifus dengan perforasi dan hams masuk ICU tetapi
bemasib kurang baik, karena rumah sakit yang didatanginya meminta uang muka Rp 3 juta
dan ia tidak memilikinya. Akhimya ia terpaksa pulang dengan menanda tangani surat "pulang
paksa" dimana risiko setelah pulang menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dua hari kemudian
ia meninggal dunia. Adilkah? Menurut pandangan liberter mumi, adil! Sebab memang ia
tidak mampu membayar. Pandangan egaliter menilai bahwa equity liberter baik untuk hal-hal
di luar kesehatan. Untuk kesehatan sangat tidak adil dan tidak manusiawi jika seorang yang
hanya karena tidak punya uang pada saat ia sakit hams kehilangan mata pencaharian dan
menyengsarakan hidup keluarganya atau meninggal dunia seperti dua kasus terakhir.
Pandangan equity egaliter dalarn pelayanan kesehatan menilai bahwa kedua orang pada
contoh terakhir sehamsnya mendapat pengobatan paling tidak seperti tukang sayur
gendong. Pasien harus mendapatkan pengobatan sesuai dengan kondisi medisnya dan
tidak tergantung pada kemampuannya membayar, apalagi sarnpai meninggal dunia. Lalu
siapa yang membiayainya? Untuk itulah hams diselenggarakan asuransi sosial dimana baik
si manajer maupun si tukang sayur atau tukang ojek membayar premi dimuka sebesar,
misalnya 5% dari penghasilannya. Mungkin sang manajer membayar premi Rp 250.000 per
bulan sedangkan si tukang sayur membayar Rp 10.000 sebulan dan tukang ojek membayar
Rp 20.000 sebulan untuk seluruh keluarganya. Pada waktu mereka sakit, rumah sakit tidak
perlu meminta uang muka. Si pasien tidak hams takut berobat ke rumah sakit karena ia telah
memiliki jaminan dan mengetahui bahwa ia tidak perlu membayar rumah sakit, kecuali
sejumlah iur biaya yang besamya terjangkau atau sarna sekali tidak membayar apa-apa.
Termasuk obat-obatan dan biaya ICU jika diperlukan, ia tidak perlu lagi membayar atau
hanya membayar iur biaya yang kecil. Hak perawatannya mungkin di kelas II atau kelas III.
Inilah yang disebut equity egaliter. Sang manajer yang ingin dirawat di ruang VIP dapat

menarnbah selisih biaya saja. Mungkin akhimya sang manajer hanya membayar biaya
tarnbahan ruangan dan makanan yang besamya hanya Rp 1-2 juta saja. Pada prinsipnya
premi asuransi sosial mirip pajak tetapi tidak progresif, bahkan cenderung regresif. Dalarn
peraturan pajak, mereka yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan prosentase
yang tinggi pula. Ini berlaku di seluruh dunia. Di Indonesia kalau kita berpenghasilan Rp 1
juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams dibayar adalah Introduksi Asuransi
Kesehatan 17 HThabrany 5% dari penghasilan kena pajak. Tetapi jika penghasilan kita
mencapai Rp 100 juta sebulan, maka pajak penghasilan yang hams kita bayar mencapai
35% dari penghasilan diatas Rp 200 juta setahun. Dalam asuransi sosial, justeru seringkali
diberlakukan batas maksimum. Misalnya premi asuransi so sial adalah 5% dari penghasilan
sampai batas Rp 5 juta. Artinya, jika penghasilan kita Rp 1 juta sebulan, maka kita bayar
premi sebesar Rp 50.000 sebulan untuk sekeluarga. Sedangkan jika penghasilan kita
sebesar Rp 10 juta sebulan, premi yang hams kita bayar adalah 5%x Rp 5 juta (batas
maksimal) atau hanya sebesar Rp 250.000 saja. Jika penghasilan kita Rp 100 juta sebulan,
maka premi yang kita bayar juga hanya Rp 250.000 saja. Perbedaan lain dengan pajak
adalah penggunaannya. Pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk
kegiatan atau benefit yang telah ditetapkan. Tidak bisa lain. Sementara penerimaan pajak
dapat digunakan untuk berbagai program yang tidak ditentukan dimuka. Itulah sebabnya,
premi asuransi sosial atau jaminan sosial sering disebut sebagai social security tax, jadi
sangat mirip dengan ear-marked tax. Karena sifatnya yang wajib dan mirip dengan
pengenaan pajak, maka pengelolaan asuransi sosial haruslah secara not for profit (nirlaba).
Jadi tidak tepat kalau Jamsostek dan Askes pegawai negeri dikelola oleh PT Persero yang
berorientasi laba (for profit). Ini suatu keajaiban dunia barangkali. Pengertian nirlaba hams
dipahami bahwa yang tidak mencari laba adalah badan atau lembaganya. Bukan juga berarti
bahwa lembaga tadi tidak boleh ada sisa dana. Bukan! Dulu istilah nirlaba dalam bahasa
Inggris disebut non profit (tidak ada laba atau sisa hasil usaha). Belakangan istilah itu telah
diluruskan menjadi not for profit artinya usaha yang dilakukan sarna sekali bukan untuk
mencari untung seperti layaknya perusahaan. Tetapi usaha atau upaya yang dilakukan
ditujukan untuk memberikan kesejahteraan sebesar besarnya bagi anggota. Jadi mirip

dengan negara. Negara tidak mencari laba, akan tetapi jika ada kelebihan anggaran, maka
anggaran itu dapat digunakan untuk tahun fiskal berikutnya atau untuk cadangan negara.
Jika lembaga pengelola asuransi sosial memiliki SHU, maka pemerintah tidak menarik PPh
(pajak penghasilan) badan. Sisa hasil usaha tersebut hams digunakan untuk kepentingan
peserta, seperti halnya bagi negara untuk kepentingan rakyat. Penggunaan SHU jika ada
dapat digunakan untuk perbaikan pelayanan, perluasan paket jaminan, atau dikembalikan
dalam bentuk potongan iuran pada periode berikutnya. Hams diingat bahwa meskipun
lembaga atau organisasi penyelenggara jaminan atau asuransi sosial bersifat nirlaba,
pegawai badan tersebut bersifat for profit. Setiap pegawai tetap wajib membayar PPh 21,
karena pegawai bersifat for profit. Jadi tidak benar kalau pegawai penyelenggara asuransi
sosial digaji rendah. Oleh kareanya pada umumnya penyelenggara asuransi sosial adalah
badan pemerintah atau kuasi pemerintah yang disebut Trust Fund atau dalam bahasa
Indonesia dapat diterjemahkan sebagai Dana Amanat. Bentuk Dana Amanat ini dimiliki oleh
seluruh peserta, mirip dengan model Usaha Bersama (mutual) pada Asuransi Jiwa Bersama
(AJB) Bumi Putera dimana pemegang sahamnya adalah seluruh pesertaipemegang polis.
Tetapi produk asuransi yang dijual Bumi Putera bersifat komersial, bukan asuransi sosial.
Asuransi sosial sering disebut sebagai asuransi publik (public insurance), untuk
membedakannya dengan asuransi swasta (private insurance) yang umumnya bersifat
komersial danfor profit. Ada banyak bentuk asuransi swasta yang komersial dan nirlaba. Di
Indonesia pandangan tentang pengelola publik sering bias karena pegawai di sektor publik
mendapat gaji yang sangat berbeda sehingga dalam memberikan pelayanan seringkali tidak
memuaskan Introduksi Asuransi Kesehatan 18 HThabrany atau meminta uang bawah meja.
Tak ada insentifbagi mereka untuk bekerja baik. Akibatnya, pandangan masyarakat tentang
pengelolaan lembaga publik atau pemerintahan pada umumnya buruk. Karena mereka
'pura-pura'nya digaji, maka mereka juga 'pura-pura' bekerja. Keunggulan Penyelenggaraan
asuransi sosial mempunyai banyak keunggulan mikro dan makro yang antara lain dapat
dijelaskan di bawah ini. 1. Tidak terjadi seleksi bias. Seleksi bias, khususnya adverse
selection atau anti seleksi, merupakan keadaan yang paling merugikan pihak asuradur. Pada
anti seleksi terjadi keadaan dimana orang-orang yang risiko tinggi atau di bawah standar

saja yang menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan. Hal ini terjadi pada asuransi yang
sifatnya sukarelaJkomersial. Dalam asuransi sosial, dimana semua orang-paling tidak dalam
suatu kelompok tertentu seperti pegawai negeri atau pegawai swasta wajib ikut, tidak terjadi
anti seleksi. Yang memiliki risiko standar, sub standar, maupun diatas standar semua ikut.
Hal ini akan memungkinkan sebaran risiko yang baik sehingga perkiraan klaim/biaya dapat
dihitung lebih akurat. 2. Redistribusi/subsidi silang luas (equity egaliter). Karena semua
orang dalam suatu kelompok wajib ikut; baik yang kaya maupun yang miskin, yang sehat
maupun yang sakit, dan yang muda maupun yang tua; maka asuransi sosial memungkinkan
terjadinya subsidi silang yang luas. Yang kaya memberi subsidi kepada yang miskin. Yang
sehat memberi subsidi kepada yang sakit, dan yang muda memberi subsidi kepada yang
tua. Dalam asuransi komersial hanya terjadi subsidi antara yang sehat dengan yang sakit
saja. 3. Pool besar. Suatu mekanisme asuransi pada prinsipnya
merupakan suatu risk pool, suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan
kecil menjadi risiko bersama dalam sebuah kumpulan yang jauh lebih besar. Semua anggota
kelompok tanpa kecuali harus ikut dalam asuransi sosial. Akibatnya pool atau kumpulan
anggota menjadi besar atau sangat besar. Sesuai dengan hukum angka besar, semakin
besar anggota semakin akurat prediksi berbagai kejadian. Ini hukum alamo Asuransi so sial
memungkinkan terjadinya pool yang sangat besar, sehingga prediksi biaya misalnya dapat
lebih akurat. Oleh karenanya, kemungkinan lembaga asuransi sosial bangkrut adalah jauh
lebih kecil dari lembaga asuransi komersial. 4. Menyumbang pertumbuhan ekonomi dengan
penempatan dana premi/iuran dan dana cadangan pada portofolio investasi seperti obligasi,
deposito, maupun saham. Pada umumnya portofolio investasi dana jaminan sosial/asuransi
sosial dibatasi agar tidak menganggu likuiditas dan solvabilitas program. 5. Administrasi
sederhana. Asuransi sosial biasanya mempunyai produk tunggal yaitu sama untuk semua
peserta, tidak seperti asuransi komersial yang produknya sangat Introduksi Asuransi
Kesehatan 19 HThabrany beragam. Akibatnya administrasi asuransi sosial jauh lebih
sederhana dan tidak membutuhkan kemampuan sekompleks yang dibutuhkan asuransi
komersial. Oleh karenanya pada umumnya negara yang kurang memiliki sumber daya
manusia yang faham berbagai seluk-beluk asuransi sekalipun mudah menerapkan asuransi

sosial. 6. Biaya administrasi murah. Selain produk dan administrasi sederhana, asuransi
sosial tidak membutuhkan rancangan paket terus-menerus, biaya pengumpulan dan analisis
data yang mahal, dan biaya pemasaran yang bisa menyerap 50% premi di tahun pertama.
Oleh karenanya biaya administrasi asuransi sosial di negara-negara maju pada umumnya
kurang dari 5% dari total premi yang diterima. Bandingkan dengan asuransi komersial yang
paling sedikit menghabiskan sekitar 12%, bahkan ada yang menghabiskan sampai 50% dari
premi yang diterima. 7. Memungkinkan pengenaan tarif fasilitas kesehatan seragam. Karena
pool yang besar, asuransi sosial memungkinkan pengaturan tarif fasilitas kesehatan yang
seragam sehingga semakin memudahkan administrasi dan membuat keseimbangan kerja
antar dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Tarif yang seragam ini memungkinkan juga
penerapan standar mutu tertentu yang menguntungkan peserta. 8. Memungkinkan kendali
biaya dengan buying power. Berbeda dengan mitos model organisasi managed care (seperti
HMO di Amerika dan bapel JPKM di Indonesia) yang membayar kapitasi dan pelayanan
terstruktur yang konon dapat mengendalikan biaya, asuransi sosial dapat mengendalikan
biaya lebih baik tanpa hams membayar dokter atau fasilitas kesehatan dengan sistem risiko,
seperti kapitasi. Meskipun lembaga asuransi sosial membayar fasilitas kesehatan per
pelayanan (fee for services) yang disenangi dokter, asuransi so sial masih mampu
mengendalikan biaya lebih baik dari model organisasi managed care. 9. Memungkinkan
peningkatan dan pemerataan pendapatan dokter/fasilitas kesehatan. Asuransi sosial
mempunyai pool yang besar dan menjamin lebih banyak orang dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Akibatnya lebih banyak orang mampu berobat.
Dengan kemampuan menerapkan tarif standar kepada fasilitas kesehatan, asuransi sosial
akan mampu memeratakan pendapatan para fasilitas kesehatan yang bersedia memenuhi
standar pelayanan dan tarif yang ditetapkan. Apabila asuransi sosial telah mencakup lebih
dari 60% penduduk, maka sebaran fasilitas kesehatanpun dapat lebih merata tanpa
pemerintah hams mewajibkan dokter bekerja di daerah-daerah. 10. Memungkinkan semua
penduduk tercakup. Orgasnisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukan faktor cakupan
asuransi kesehatan sebagai salah satu indikator kinerja sistem kesehatan negara-negara di
dunia.' Organisasi ini juga menganjurkan untuk perluasan cakupan hingga tercapai cakupan

universal, semua penduduk terjamin. Hal ini hanya mungkin jika asuransi yang
diselenggarakan adalah asuransi sosial yang mewajibkan semua penduduk menjadi peserta,
tentunya secara bertahap. Asuransi sosial memungkinkan terselenggaranya solidaritas
sosial maksimum atau 1 Laporan WHO 2000. Introduksi Asuransi Kesehatan 20 HThabrany
memungkinkan terselenggaranya keadilan sosial (social justice). Pendekatan asuransi
komersial tidak mungkin mencakup seluruh penduduk dan memaksimalkan solidaritas
sosial. Kelemahan Selain berbagai keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat baik secara
mikro maupun secara makro, asuransi sosial tidak lepas dari berbagai kelemahan.
Kelemahan kelemahan tersebut antara lain: 1. Pilihan terbatas. Karena asuransi sosial
mewajibkan penduduk dan pengelolanya yang paling tepat adalah suatu badan pemerintah
atau kuasi pemerintah, maka masyarakat tidak memiliki pilihan asuradur. Para ahli umumnya
berpendapat bahwa hal ini tidak begitu penting, karena pilihan yang lebih penting adalah
pilihan fasilitas kesehatannya. Asuransi sosial memungkinkan peserta bebas memilih
fasilitas kesehatan yang mana saja yang ia inginkan, karena fasilitas kesehatan dapat
dibayar secara FFS atau cara lain yang tidak mengikat. Berbeda dengan konsep HMO/JPKM
kini, yang memberikan pilihan asuradur tetapi setelah itu pilihan fasilitas kesehatan terbatas
pada yang telah mengikat kontrak. Mana yang lebih penting bagi peserta: bebas memilih
fasilitas kesehatan dengan biaya murah atau bebas memiliki asuradur tetapi pilihan fasilitas
kesehatan terbatas? 2. Manajemen kurang keratif/responsif. Karena asuransi sosial
mempunyai produk yang seragam dan biasanya tidak banyak berubah, maka kurang insentif
bagi pengelolanya untuk bekerja keras merespons terhadap demand peserta. Apabila askes
sosial dikelola oleh pegawai yang kurang selektif dan tidak memberikan insentif pada yang
berprestasi, maka manajemen cenderung kurang memuaskan peserta. Seringkali juga
karena penyelenggaranya tunggal, kurang ada tantangan sehingga respons terhadap
tuntutan peserta kurang cepat. 3. Pelayanan seragam. Pelayanan yang seragam bagi semua
peserta menyebabkan penduduk kelas menengah atas kurang memiliki kebanggaan khusus.
Kelompok ini pada umumnya ingin berbeda dari kebanyakan penduduk, sehingga kelompok
ini biasanya kurang suka dengan sistem asuransi so sial. Pelayanan yang seragam juga
sering menyebabkan waktu tunggu yang lama sehingga kurang menarik bagi penduduk

kelas atas. Namun demikian, lamanya waktu tunggu yang tidak bisa diterima oleh kelas atas
tertentu tidak bisa dijadikan alasan untuk membubarkan sistem asuransi sosial yang
berfungsi dan dinikmati lebih dari 90% penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah
biasanya memberikan kesempatan kepada mereka membeli asuransi suplemen/tambahan
seperti yang dikenal dengan Medisup/Medigap di Amerika. Atau penduduk kelas atas
dibiarkan tidak menggunakan haknya dalam asuransi sosial atau jaminan pemerintah dan
menggantinya dengan membeli asuransi komersial seperti yang terjadi di Inggris. Introduksi
Asuransi Kesehatan 21 HThabrany 4. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak begitu suka.
Profesional dokter seringkali merasa kurang bebas dengan sistem asuransi sosial yang
membayar mereka dengan tarif seragam atau dengan model pembayaran lain yang kurang
memaksimalkan keuntungan dirinya. Pada umumnya fasilitas kesehatan lebih senang
melayani orang perorang yang membayar langsung dan dengan tarif yang ditentukannya
sendiri. Tetapi perlu dipahami bahwa semua negara-negara maju, kecuali Amerika,
menerapkan sistem asuransi sosial sebagai satu-satunya sistem atau sebagai sistem yang
dominan di negaranya 1.6.2. Asuransi Komersial Seperti telah dijelaskan dimuka, asuransi
komersial berbasis pada kepesertaan sukarela. Kata komersial berasal dari bahasa Inggris
commerce yang berarti berdagang. Dalam berdagang tentu tidak boleh ada paksaan.
Dasarnya adalah pedagang menawarkan barang atau jasanya dan sebagian masyarakat
yang merasa memerlukan barang atau jasa tersebut akan membelinya. Tidak ada paksaan
bahwa seseorang hams membeli barang tersebutljasa tersebut. Agar seorang pedagang
atau suatu perusahaan dapat menjual barang atau jasanya, maka ia hams bekerja keras
memperoleh informasi barang atau jasa apa yang diminati (ada demand) masyarakat. Kalau
seorang pedagang menjual barang yang tidak diminati masyarakat, maka barang atau jasa
yang dijualnya tidak akan laku dan pedagang tersebut akan merugi. Sebaliknya jika
pedagang tersebut sangat jeli melihat minat masyrakat calon konsumennya, maka ia dapat
menjual barang atau jasa dalam jumlah besar dan memperoleh laba yang besar pula. Oleh
karena itu model pedagang perorangan atau perusahaan for profit sangat cocok terjun di
dunia komersial ini. Basis komersial inilah yang membedakan sistem asuransi mekanisme
pasar dengan sistem asuransi sosial yang berbasis regulasi, bukan pasar. Asuransi

komersial merespons terhadap demand (permintaan) masyarakat sedangkan asuransi sosial


merespons terhadap needs (kebutuhan) masyarakat. Tujuan utama dari penyelenggaraan
asuransi kesehatan komersial ini adalah pemenuhan keinginan (demand) perorangan yang
beragam. Dengan demikian, perusahaan akan merancang berbagai produk, bahkan dapat
mencapai ribuan jenis produk, yang sesuai dengan permintaan masyarakat. Secara teoritis
bahkan dapat dibuat lebih dari satu juta produk, apabila demand masyrakat memang
bervariasi sebanyak itu. Disinilah letak pemborosan, tidak efisien, secara makro karena pada
akhimya untuk dapat menjual produk yang sangat bervariasi tersebut dibutuhkan biaya
besar. Biaya besar tersebut dibutuhkan untuk riset pasar, perancangan produk,
pengembangan sistem informasi, penjualan, komisi agen atau broker, dan keuntungan
perusahaan. Jangan heran jika ada perusahaan asuransi yang mematok biaya pelayanan
sebesar 50% dari premi yang dijual. Artinya, setiap 100 rupiah premi yang diterima, hanya
Rp 50 saja yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan. Motif utama pengelola atau
asuradur adalah mencari laba. Itulah sebabnya asuransi model ini dikenal sebagai asuransi
komersial karena biasanya memang bertujuan dagang atau mencari untung. Namun bisa
saja suatu lembaga nirlaba, seperti yayasan atau perhimpunan masyarakat seperti Nahdatul
Ulama, Muhamadiah, perhimpunan katolik dll, menyelenggarakan model asuansi komerisal
tetapi tidak untuk mencari laba yang akan Introduksi Asuransi Kesehatan 22 HThabrany
dibagi-bagi kepada pemegang sahamnya. Laba yang diperoleh disumbangkan kepada yang
tidak marnpu dalarn berbagai bentuk seperti rabat harga premi atau bahkan pengobatan
gratis. Premi untuk asuransi ini disesuaikan dengan paket jaminan atau manfaat asuransi
yang ditanggung. Jadi asuransi model ini memulai dari penyusunan paket yang diperkirakan
diminati pembeli. Baru setelah itu harga premi dihitung untuk dijual. Di Indonesia paket paket
yang dijual sangat bervariasi dari hanya menjamin penyakit tertentu seperti penyakit kanker
atau gagal ginjal, paket komprehensif dengan paket platinum, emas, perak, perunggu,
plastik, dan mungkin kertas atau daun. Semakin tinggi atau luas jarninan dan semakin luks
jaminan paket yang dijual semakin mahal harga preminya. Asuransi ini memfasilitasi equity
liberter (You get what you pay for). Mereka yang miskin sudah pasti tidak bisa membeli paket
yang luas-misalnya menanggung pengobatan kanker, jantung, atau hemodialisa

karena

harga preminya tidak terjangkau. Dalarn pelayanan tentu saja jika mereka sakit kanker,
terpaksa asuransi tidak menjaminnya. Sifat kontrak adhesi, dimana asuradur tahu jauh lebih
banyak dari pemegang polis atau peserta, khususnya perorangan, sangat kuat. Peserta
dapat saja membeli paket yang jauh lebih mahal dari yang sepantasnya. Agen yang menjual
dengan mudah dapat mengarahkan atau bahkan menggiring orang membeli produk tertentu
yang kurang sesuai dengan kondisinya. Perusahaan yang kurang bertanggung jawab dapat
saja lalai atau menghilang setelah menerima premi cukup besar. Atau perusahaan yang
hanya memikirkan keuntungannya dapat saja menghentikan atau tidak memperpanjang
asuransi orang-orang yang temyata memiliki penyakit kronis setelah beberapa tahun menjadi
peserta. Itulah sebabnya, jika opsi ini yang dipilih sebagai pilihan dominan seperti di
Amerika, maka banyak sekali peraturan yang mengikat perusahaan dan praktek asuransi
guna melindungi peserta yang berada pada posisi lemah. Tahun 1997 misalnya, di Amerika
terdapat lebih dari 1,000 usulan peraturan di bidang asuransi kesehatan.' Peraturan yang
dikeluarkan pemerintah federal dan negara bagian Amerika, bukan hanya mengatur solvensi
perusahaan, akan tetapi mencakup pengaturan kontrak. Di Indonesia pengaturan kontrak
asuransi kesehatan sarna sekali belum ada. Tahun 1997 pemerintah federal Amerika
mengeluarkan peraturan yang menyangkut protabilitas asuransi dan batas boleh
memberlakukan pre-existing conditions. Pada polis asuransi perorangan ada peraturan
tentang

polis

non

cancellable,

dimana

perusahaan

asuransi

tidak

boleh

menghentikan/membatalkan polis bahkan menaikan premi jika seorang peserta menderita


suatu penyakit kronis." Kegagalan pasar asuransi komersial/Swasta Karena sifat uncertainty
mengundang usaha asuransi, maka kini banyak pemain baru, Kolusi antara dokter-rumah
sakit dan perusahaan farmasi menyebabkan harga pelayanan kesehatan terus semakin
mahal. Risiko sakit perorangan semakin mahal, maka demand baru terbentuk; membeli
asuransi kesehatan. Bagaimana pentaripan asuransi? Tidak bisa dilepaskan dari tarif jasa
dokter, rumah sakit, obat, laboratorium, dan alat-alat medis lainnya. Bisakan asuransi
mendapatkan harga yang pantas (fair)? Sulit! Meskipun perusahaan 2 HIAA. Managed Care
part B. Washington, D.C., 1997 3 HIAA. Health Insurance Premier, Washington, D.C., 2000
Introduksi Asuransi Kesehatan 23 HThabrany asuransil bapel JPKM dapat memperoleh

harga yang lebih murah, mereka juga punya interes untuk mendapatkan untung. Sementara
provider masih tetap memiliki market power yang kuat. Tidak banyak pilihan bagi perusahaan
asuransi, kecuali mengeruk keuntungannya dari pihak pasien/ konsumen. Tentu saja sebagai
"perantara", perusahaan asuransil bapel JPKM akan mencari untung dari kedua pihak, pihak
peserta/ pemegang polis dan pihak provider. Maka kini, seorang pasien/konsumen/peserta
mendapatkan pelaku baru yang juga melirik kantong mereka. Akankah konsumen mampu
untuk memilih produk asuransi dan harga sesuai kebutuhannya? Hampir tidak mungkin!
Karena disini juga terjadi informasi asimetri. Konsumen tidak mengetahui tingkat risiko
dirinya dan hampir tidak mungkin mengetahui apakah harga premi yang dibelinya pantas,
terlalu murah, atau terlalu mahal. Sementara penjual (perusahaan asuransi/bapel JPKM)
dapat menciptakan produk dan cara pamasaran yang menakutkan sehingga konsumen, jika
ia mempunyai kemampuan keuangan, memilih untuk membeli. Bagaimana dengan
konsumen yang tidak mampu? Sejauh pasar belum jenuh, asuradur akan memusatkan pada
perhatian kepada pasar yang mampu membeli dan profitable. Karena dalam pasar asuransi
(swasta/sukarela) asuradur akan menetapkan premi atas dasar risiko yang akan ditanggung
(paket jaminan), risk based premium, maka besarnya premi tidak dapat disesuaikan dengan
kemampuan membeli seseorang. Maka sudah dapat dipastikan bahwa penduduk yang
miskin tidak akan mampu membeli premi. Oleh karenanya, asuransi kesehatan
swasta/sukarela/komersial tidak akan mampu mencakup seluruh penduduk. Keinginan
mencakup seluruh penduduk dengan mekanisme asuransi kesehatan swasta hanyalah
sebuah impian belaka. Hal ini dapat dibuktikan di Amerika, yang menghabiskan lebih dari
US$ 4.000 per kapita per tahun (tahun 2000 ini diperkirakan Amerika menghabiskan US$
1,8 triliun), akan tetapi lebih dari 40 juta penduduknya (16%) tidak memiliki asuransi (HIAA,
1999)3. Dengan terbatasnya pasar dan persaingan yang tinggi, volume penjualan tidak bisa
mencapai jumlah yang besar. Persaingan antara asuradur akan memaksa asuradur
membuat produk spesifik yang juga menyebabkan pool tidak optimal untuk mencakup
berbagai pelayanan. Persaingan menjual produk spesifik dan volume penjualan untuk
masing-masing produk yang relatif kecil menyebabkan contigency dan profit margin yang
relatif besar. Perusahaan asuransi Amerika menghabiskan rata-rata 12% faktor loading

(biaya operasional, laba, dan berbagai biaya non medis lainnya) (Shalala dan Reinhart,
1999). Departemen Kesehatan membolehkan bapel menarik biaya loading sampai 30%.4
Asuradur swasta di Indonesia memiliki rasio klaim yang bervariasi antara 40-70%,
tergantung jenis produknya, sehingga menyebabkan biaya tambahan bagi konsumen
sebesar 30-60%. Jadi berbagai skenario dan fakta yang terjadi, sudah dapat dipastikan
bahwa asuransi kesehatan swasta tidak bisa menurunkan biaya pelayanan kesehatan dan
tidak mampu mencakup seluruh penduduk. Jelaslah ketergantungan pada sistem asuransi
kesehatan swasta/ komersial (termasuk disini sistem JPKM yang sekarang berlaku) gagal
menciptakan cakupan universal dan mencapai efisiensi makro. Trade off antara risk pooling
dan biaya yang ditanggung konsumen tidak seimbang. Sementara itu, hampir semua negara
menginginkan cakupan universal. Oleh karenanya, jika kedua komponen tujuan, universal
dan efisensi makro, ingin Introduksi Asuransi Kesehatan 24 HThabrany dicapai; maka
membuat asuransi kesehatan swasta/ komersial akan gagal mencapai tujuan tersebut.
Semua negara-negara maju telah meratifikasi konvensi PBB tentang hak asasi manusia dan
menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu hak dasar penduduk (fundamental
human right). Sebagai konsekuensi peletakkan hak dasar ini pemerintah mengusahakan
suatu sistem kesehatan yang mampu mencakup seluruh penduduk (universal) secara adil
dan merata (equity). Negara-negara maju pada umumnya mewujudkan peran serta
masyarakat dalam pembiayaan dan penyediaan kesehatan publik yang diatur oleh suatu
undang-undang. Pembiayaan publik dimaksudkan adalah pembiayaan oleh negara atau oleh
sistem asuransi kesehatan sosial yang didasarkan oleh undang-undang. Penyelenggara
pembiayaan publik dapat suatu badan pemerintah dapat pula badan swasta yang nirlaba.
Penyediaan kesehatan publik adalah penyediaan rumah sakit, klinik, pusat kesehatan, dan
sebagainya yang disediakan oleh negara yang dapat diselenggarakan secara otonom
(terlepas dari birokrasi pemerintahan) ataupun tidak otonom. Dengan menempatkan salah
satu atau kedua faktor pembiayaan dan atau penyediaan oleh publik (public not for profit
enterprise) memungkinkan terselenggaranya cakupan universal dan pemerataan yang adil.
Penempatan kesehatan sebagai hak asasi tidak selalu berarti bahwa pemerintah hams
menyediakan seluruh pelayanan dengan cuma-cuma. Yang dimaksud pendanaan oleh publik

adalah pendanaan oleh pemerintah dalam bentuk anggaran belanja negara atau oleh
penyelenggara asuransi social atau jaminan social. Penyelenggara asuransi/jaminan social
dapat dikelola langsung oleh organisasi birokrasi pemerintah atau dikelola oleh
badan/agency yang dibentuk pemerintah yang berfungsi otonom, tidak dipengaruhi birokrasi
pemerintah. Di Indonesia, banyak orang mengkhawatirkan penempatan kesehatan sebagai
hak asasi akan menyebabkan beban pemerintah menjadi sangat berat. Pada hakikatnya,
pembiayaan maupun penyediaan pelayanan dapat dilakukan oleh pemerintah bersama
swasta yang secara umum dapat dilihat dari gambar-l . Gambar-l. Matriks Pembiayaan dan
Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik
Inggris Indonesia dan negara berkembang lainnya Swasta Kanada, Jerman, Jepang Amerika
dan Taiwan * Jepang dan Jerman menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan
penyediaan kepada sektor s was ta, akan tetapi bersifai sosial (nirlaba) yang diatur oleh
pemerintah, sementara Amerika menyerahkan kepada mekanisme pasar (for profit dan not
for profit). Apabila pembiayaan diserahkan kepada sektor publik, yang bersifat sosial atau
nirlaba, maka terdapat dua pilihan utama yaitu pembiayaan dari penerimaan pajak (general
tax revenue) seperti yang dilakukan Inggris dan pembiayaan melalui asuransi sosial seperti
Introduksi Asuransi Kesehatan 25 HThabrany yang dilakukan Kanada, Taiwan, Jepang dan
Jerman. Kanada dan Taiwan memberlakukan sistem monopoli Propinsi dan Negara dengan
hanya menggunakan satu badan penyelenggara, yang sering dikenal Asuransi Kesehatan
Nasional. Sementara Jerman dan Jepang menggunakan undang-undang wajib asuransi
sosial kesehatan dengan banyak penyelenggara dari pihak swasta yang nirlaba. Di
Indonesia, pengertian asuransi sosial sangat sering disalah artikan dengan pengertian
derma atau pelayanan cuma-cuma. Sementara penyelenggaraan asuransi sosial kesehatan
yang sudah ada, program JPK PNS/Askes dan program JPK Jamsostek, diselenggarakan
oleh perusahaan publik yang berbentuk badan hukum berorientasi laba (Persero). Hal ini
menyebabkan semakin kacaunya pemahaman asuransi sosial. Distorsi pemahaman ini
menyebabkan sulitnya usaha-usaha mengusahakan suatu sistem asuransi sosial yang
konsisten. Asuransi sosial adalah asuransi yang diselenggarakan atau diatur oleh
pemerintah yang melindungi golongan ekonomi lemah dan menjamin keadilan yang merata

(equity). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka suatu asuransi sosial haruslah didasari pada
suatu undang-undang dengan pembayaran premi dan paket jaminan yang memungkinkan
terjadinya pemerataan. Dalam penyelenggaraanya, pada asuransi sosial mempunyai ciri (a)
kepesertaan wajib bagi sekelompok atau seluruh penduduk, (b) besaran premi ditetapkan
oleh undang-undang, umumnya proporsional terhadap pendapatan/gaji, dan (c) paketnya
ditetapkan sama untuk semua golongan pendapatan, yang biasanya sesuai dengan
kebutuhan medis (Thabrany, 1999i. Dengan mekanisme ini, maka dimungkinkan tercapainya
keadilan sosial yang egaliter. Dari segi pembiayaan, asuransi sosial mempunyai keunggulan
dalam mencapai efisiensi makro karena tidak memerlukan biaya perancangan produk,
pemasaran, dan pencapaian skala ekonomi yang optimal. Taiwan misalnya hanya
menghabiskan kurang dari 3% premi untuk biaya administrasi (Depkes Taiwan, 1997)6.
Program Medicare di Amerika hanya menghabiskan biaya administrasi sebesar 3-4%
sementra asuransi komersial swasta di Amerika menghabiskan rata-rata 12% (Shalala dan
Reinhardt, 1999f Kekuatan 1. Pemenuhan kebutuhan unik seseorang atau sekelompok
orang. Karena sifat asuransi komersial yang memenuhi demand, maka perusahaan asuransi
akan bereaksi cepat terhadap perubahan demand atau terhadap demand dari sekelompok
orang. Oleh karenanya asuransi kesehatan komersial akan lebih sesuai dengan permintaan
kelompok tertentu yang khususnya ingin mendapatkan pelayanan yang nyaman dan
bergengsi. Asuransi kesehatan komersial juga dapat memberikan pelayanan khusus kepada
suatu kelompok, misalnya perusahaan besar, dengan membuat paket khusus (tailor made)
yang sesuai dengan permintaan pembeli. 2. Merangsang pertumbuhan perdagangan/
ekonomi. Besamya keuntungan yang dapat dijanjikan oleh asuransi kesehatan dapat
merangsang investor terjun menanam modalnya di sektor ini. Meskipun jika dibandingkan
dengan asuransi jiwa mungkin Introduksi Asuransi Kesehatan 26 HThabrany asuransi
kesehatan relatif kurang menguntungkan, tetapi penjualan asuransi kesehatan oleh
perusahaan asuransi jiwa akan menambah efisiensi perusahaan. Dana yang terkumpul dari
premi asuransi kesehatan juga dapat ditanam dalam berbagai portofolio investasi sehingga
dapat juga menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. 3. Kepuasan peserta relatif lebih
tinggi. Karena asuransi komersial sangat fleksibel dalam menyusun paket jaminan dan

banyaknya pelaku menimbulkan persaingan, maka asuransi komersial dapat memenuhi


selera pesertanyaJ pemegang polisnya dengan cepat. Karenanya, dibandingkan dengan
asuransi sosial, kepuasan peserta pada umumnya lebih tinggi pada asuransi komersial.
Namun demikian harus disadari bahwa kepuasan yang lebih tinggi tersebut hams dibayar
dengan premi yang lebih mahal. 4. Produk akan sangat beragam sehingga memberikan
pilihan bagi konsumen. Dalam asuransi kesehatan komersial, setiap perusahaan atau bapel
akan merancang produk yang diharapkan dapat memenuhi permintaan calon konsumennya
(prospeknya). Bahkan setiap perusahan dapat menawarkan banyak produk. Akibatnya akan
banyak sekali tersedia produk yang dapat dipilih oleh prospek sesuai persepsi kebutuhannya
dan sesuai juga dengan kemampuan keuangannya. Kelemahan 1. Pool relatif kecil.
Bagaimanapun hebatnya perusahan asuransi komersial, pool jumlah peserta tidak akan
mampu menyamai pool asuransi sosial. Bahkan karena sifatnya yang komersial atau usaha
dagang maka usaha asuransi komersial terkena undang undang antimonopoli sehingga
pelakunya akan banyak. Dengan pelaku yang banyak, maka kepesertaan penduduk akan
tersebar di berbagai perusahaan asuransi yang menyebabkan skala ekonomi bisa tidak
tercapai. 2. Produk sangat beragam dan manajemen kompleks. Beragamnya produk
asuransi kesehatan, yang secara teoritis dapat mencapai jutaan jenis, selain memberikan
pilihan bagi konsumen juga menuntut manajemen yang kompleks. Administrasi kepesertaan
harus dibuat berdasarkan basis data perorangan. Apalagi jika tiap tertanggung dikenakan
biaya awal (deductible), coinsurance, dan batas maksimum yang berbeda-beda. Maka untuk
mengelolanya diperlukan kecermatan tersendiri yang lebih kompleks dari manajemen
nasabah bank. 3. Menyediakan Equity liberter. Bagi masyarakat yang tidak suka
memberikan bantuan kepada pihak yang lebih lemah atau kepada pihak lain, maka asuransi
komersial menyediakan fasilitas bagi mereka. Premi yang dibayar asuransi kesehatan
komersial disesuaikan dengan risiko kelompok dimana seseorang berada (bukan risiko tiap
orang). Disinilah terjadi you get what you pay for. Peserta yang membeli paket platinum
dapat pelayanan yang spesial yang sesuai dengan paketnya. Sementara yang membeli
paket standar hams puas dengan pelayanan yang sesuai dengan harga premi yang
dibayamya. Introduksi Asuransi Kesehatan 27 HThabrany 4. Biaya administrasi tinggi.

Karena kompleksnya produk asuransi komersial, maka biaya administrasi (loading) menjadi
relatif jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem asuransi sosial. Perusahaan asuransi
komersial hams menyewa aktuaris, melakukan riset pasar, melakukan perbagai upaya
pemasaran dan penjualan, dan hams membayar dividen atas laba yang ditargetkan
pemegang saham. Seluruh biaya biaya tersebut pada akhimya hams dibayar oleh pemegang
polis/peserta. 5. Tidak mungkin mencapai cakupan universal. Seperti telah dijelaskan diatas,
penduduk/kelompok kecil yang meskipun memilik demand akan tetapi tidak memiliki uang,
tidak akan membeli asuransi. Akibatnya tidak mungkin seluruh penduduk tercakup asuransi
kesehatan. Maka di banyak negara asuransi kesehatan komersial hanya bisa dijual sebagai
produk suplemen atau asuransi tambahan terhadap asuransi so sial kepada mereka yang
ingin mendapat pelayanan yang lebih memuaskan. 6. Secara makro tidak efisien. Dominasi
asuransi kesehatan komersial, bukan sebagai produk suplemen, akan menyebabkan pada
akhimya biaya kesehatan tidak terkendali, meskipun mayoritas produk yang dijual dalam
bentuk managed care (bentuk JPKM sekarang). Hal ini disebabkan oleh: pertama, tingginya
biaya administrasi. Kedua, tidak mungkinnya penduduk miskin membeli asuransi kesehatan
yang mengakibatkan pemerintah tetap hams mengeluarkan anggaran khusus untuk
penduduk miskin. Ketiga, berbagai pelayanan yang secara medis tidak esensial tetapi
penting untuk menarik konsumen untuk membeli dimasukan dalam paket. 1.7. Asuransi
Sosial Kesehatan di Berbagai Negara dan Berbagai Indikator Makro Kesehatan Seperti telah
disampaikan diatas, negara-negara yang lebih konsisten mencari cakupan universal dan
efisiensi makro (biaya kesehatan nasional yang rendah) tidak menggantungkan sistemnya
pada asuransi kesehatan swasta, baik dalam bentuk tradisional indemnitas maupun dalam
bentuk managed care (HMO, PPO, maupun POS). Tentu saja argumen teoritis yang
dikemukan diatas tidak cukup meyakinkan tanpa adanya data empirik. Data empirik yang
menyajikan cakupan universal dan efisiensi makro saja, juga tidak cukup meyakinkan
manfaat asuransi sosial kesehatan (ASK). Oleh karena itu kita hams juga melihat indikator
outcome (keluaran) secara makro. Tujuan cakupan universal dan efisiensi saja tidak
memadai jika pelayanan yang diberikan tidak cukup berkualitas. Untuk menentukan
pelayanan yang berkualitas, antara lain, kita bisa melihatnya dari keluaran yaitu status

kesehatan. pengukuran status kesehatan yang lazim digunakan adalah angka kematian bayi
dan umur harapan hidup. Memang kedua indikator ini tidak hanya dipengaruhi oleh sistem
kesehatan, akan tetapi berbagai analisis menunjukkan bahwa sistem tersebut mempunyai
korelasi yang kuat terhadap keluaran status kesehatan. Dalam Tabel-l disajikan
perbandingan data empirik yang di olah dari karya Anderson dan Paullier, 19998. Introduksi
Asuransi Kesehatan 28 HThabrany Tabell Perbandingan model asuransi, cakupan, biaya dan
status kesehatan di berbagai negara maju. Askes %penddk BiayaRIper Biaya Kes per
Negara domi-nan dijamin hari (US$), kapita (US$), IMR, LE, wntlpria, ASK 1996 1997 1996
1996 Amerika Komers 33,3 1.128 3.925 7,8 79,4/72,7 Australia Sosial 100 242 1.805 5,8
81,1175,2 Austria Sosial 99 109 1.793 5,1 80,2173,9 Belanda Sosial 72 225 1.838 5,2
80,4174,7 Belgia Sosial 99 263 1.747 6,0 81,0174,3 Ceko Sosial 100 75 904 6,0 77,2170,5
Denmark Sosial 100 632 1.848 5,2 78,0/72,8 Finlandia Sosial 100 168 1.447 4,0 80,5173,0
Inggris Negara, 100 320 1.347 6,1 79,3174,4 NHS Islandia Sosial 100 192 2.005 5,5
80,6176,2 Itali Sosial 100 339 1.589 5,8 81,3174,9 Jepang Sosial 100 83 1.741 3,8
83,6177,0 Jerman Sosial 92,2 228 2.339 5,0 79,9173,6 Kanada Nasio-nal 100 489 2.095 6,0
81,5175,4 Korea Sosial 100 110 587 9,0 77,4/69,5 Luksemberg Sosial 100 180 2.340 4,9
80,0173,0 Norwegia Sosial 100 123 1.814 4,0 81,1175,4 Perancis Sosial 99,5 284 2.051 4,9
82,0174,1 Portugal Sosial 100 249 1.125 6,9 78,5171,2 Selandia Barn Nasio-nal 100 254
1.352 7,4 79,8174,3 Spanyol Sosial 99,8 343 1.168 5,0 81,6174,4 Turki Sosial 66 73 260
42,2 70,5/65,9 Yunani Sosial 100 144 974 7,3 80,4175,1 Catatan: RJ= rawat inap,
IMR=infant mortality rate, LE=life expectancy. Dari tabe1 tersebut dapat kita lihat bahwa
Amerika yang merupakan satu-satunya negara maju yang menggantungkan sistem
asuransinya pada asuransi komersia1 mempunyai kinerja keuangan yang sangat maha1,
hampir dua kali biaya termaha1 di negara lain, dan 1ebih dari dua kali dari biaya kesehatan
di Jepang dan Jerman yang sarna-sarna memiliki banyak badan penye1enggara asuransi
kesehatan. Bahkan biaya rawat inap perhari di Amerika mencapai 5-10 kali 1ebih maha1
dibandingkan negara-negara maju 1ainnya yang memiliki pendapatan per kapita yang tidak
jauh berbeda. Jika dilihat cakupan asuransinya, Amerika masih memiliki 17% penduduk (43
juta jiwa) yang tidak mempunyai jaminan (uninsured). Sementara indikator makro kesehatan,

IMR dan LE, tidak menunjukan status yang 1ebih baik dari banyak negara atau dari
tetangganya Kanada. Data diatas menunjukkan angka-angka cross sectional yang dapat
menunjukkan bias waktu. Apakah tingginya biaya kesehatan di Amerika konsisten dari waktu
ke waktu? Berbagai literatur ekonomi kesehatan menunjukkan konsistensi tersebut. Tentu
saja, kita tidak bisa membandingkan angka-angka ni1ai nominal do1ar tersebut dengan
keadaan di Indonesia. Negara yang kaya memang akan menge1uarkan biaya besar karena
memang biaya hidup tinggi. Suatu ukuran yang dapat memantau beban finansia1 ada1ah
besamya

biaya

kesehatan

dibandingkan

dengan

produk

domestik

bruto

(PDB).

Perkembangan persentase biaya kesehatan terhadap PDB di enam negara OECD, 19701997 te1ah di1akukan oleh Ikegami dan Campbell (1999)9. Hasil penelitian tersebut
disajikan pada Gambar-2. Introduksi Asuransi Kesehatan 29 HThabrany Penelitian kedua
orang tersebut menunjukkan bahwa Amerika secara konsisten menghabiskan biaya
kesehatan sebagai prosentasi terhadap PDB yang terns meningkat tak terkendali.
Dibandingkan dengan Jepang dan Inggris yang memiliki sistem pembiayaan dan penyediaan
kesehatan yang terkendali (bukan managed care) temyata Amerika menghabiskan jauh lebih
besar, baik dalam nilai nominal dolar maupun dalam prosentase terhadap PDB. Dari enam
negara yang dibandingkan, hanya Amerikalah yang menggantungkan pembiayaan
kesehatan yang dominan kepada mekanisme pasar asuransi kesehatan komersial/ swasta,
termasuk berbagai bentuk managed care seperti HMO, PPO, danPOS. Gambar-2
Perkembangan Biaya Kesehatan (% PDB) di Enam Negara Maju, 1970-1997 16T~~~~~-=;=7e~~r-------------1 Amerika 14 Kanada 12 10 8 6 4 2 o +-------_r------~r_------,_-----_r--------r_----~ ------------------- --- :::: ~:~:- - - - - - - - - -~ - - - - - - - - - -~ -::::::: :~::::
---------------------------------------------------------------- 1970 1975 1980 1985 1990 1997 Disusun
dari data Health Affairs 1.8. Pemberian Benefit Dari segi pemberian atau pembayaran
manfaat kita dapat membagi jaminan asuransi menjadi dua bagian besar, yaitu pembayaran
manfaat dalam bentuk uang atau penggantian uang dan pemberian jaminan berbentuk
pelayanan. Dalam asuransi kesehatan, pembayaran dalam bentuk uang dikenal dengan
nama asuransi kesehatan tradisional yang dapat memberikan penggantian uang lump sum,
sejumlah tertentu (indemnitas) atau sesuai dengan tagihan (reimbursement). Sedangkan

manfaat yang diberikan dalam bentuk pelayanan kini dikenal dengan istilah populer di
Amerika sebagai managed care (pelayanan terkendali). Pemberian jaminan dalam bentuk
uang ataupun pelayanan dapat diberikan baik oleh asuransi kesehatan sosial maupun
asuransi kesehatan komersial. Introduksi Asuransi Kesehatan 30 HThabrany 1.8.1. Jaminan
Uang Tradisi asuransi, termasuk asuransi kesehatan, adalah memberikan penggantian uang.
Undang-undang No.2/92 tentang Asuransi di Indonesia juga mempunyai definisi yang sarna.
Dalarn asuransi kesehatan di masa lalu, dimana provider belum cukup banyak dan moral
hazard belum meluas, jaminan uang berjalan cukup baik. Dalarn praktek, pemberian
jarninan uang sering bermasalah karena mudahnya moral hazard terjadi dan kesulitan teknis
menentukan kebutuhan yang pas. Asuransi mobil di Indonesia juga seringkali memberikan
jaminan dalarn bentuk pelayanan jika mobil yang diasuransikan rusak karena kecelakaan.
Perusahaan asuransi biasanya mengirim mobil yang rusak ke bengkel tertentu. Prinsip yang
sarna digunakan dalam pelayanan kesehatan, dimana pasien hams mendapat pengobatan
atau perawatan di provider tertentu di rumah sakit atau klinik. Bukan hanya bapel JPKM yang
melakukan hal itu, perusahaan asuransi juga melakukan hal yang sarna. Dalam asuransi
kesehatan pemberian jarninan berupa uang hams dikelola lebih rumit karena kebutuhan
tidak selalu pas dengan uang jarninan sementara kebutuhan pelayanan medis tidak dapat
ditunda. Akibatnya permainan kuitansi atau pelayanan mudah "disesuaikan" yang pada
akhimya meningkatkan premi. Penggantian dengan kwitansi mengundang moral hazard
yang lebih tinggi lagi. Pemberian jarninan dalarn bentuk uang dalam asuransi kesehatan
mempunyai berbagai kelebihan dan kekurangan seperti: 1. Tidak perlu ada kontrak atau
kerja sarna dengan Pemberi Pelayanan Kesehatan (fasilitas kesehatan, provider). Pada
asuransi indemnitas dimana peserta dapat mengajukan klaim berdasarkan kwitansi biaya
berobat di rumah sakit tidak diperlukan kontrak khusus antara perusahaan asuransi dengan
provider. Pada umumnya produk indemnitas di Indonesia hanya menanggung biaya rumah
sakit. 2. Pilihan fasilitas kesehatan luas. Akibat tidak adanya kontrak dengan fasilitas
kesehatan, maka peserta atau tertanggung mempunyai kebebasan memilih fasilitas
kesehatan dimana ia akan mendapatkan pengobatan. Pilihan yang luas ini sangat disukai
orang-orang yang menghendaki pelayanan yang sesuai dengan seleranya. Pada umumnya

golongan ekonomi atas, apalagi yang mobilitasnya tinggi, sangat menyukai asuransi model
ini. Pilihan bebas ini dapat diberikan oleh usaha asuransi komersial maupun asuransi sosial
pada asuransi kecelakaan kerja (workers' compensation, occupational injury, dll). 3.
Pembayaran fasilitas kesehatan FFS. Karena jarninan diberikan dalarn bentuk uang jumlah
tertentu atau reimbursement dan tanpa ada kontrak, maka pembayaran fasilitas kesehatan
dilakukan sesuai dengan jasa yang diberikan (fee for service). Cara pembayaran ini sangat
disukai oleh fasilitas kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak perlu menanggung risiko
finansiaI. 4. Kepuasan peserta lebih tinggi. Kepuasan peserta tinggi karena mereka tidak
hams mendapatkan pelayanan dari fasilitas kesehatan yang belum mereka kenaI. Apabila
mereka mendapatkan fasilitas kesehatan yang kurang baik pelayanannya, peserta tidak bisa
menyalahkan kepada asuradur. Introduksi Asuransi Kesehatan 31 HThabrany lIustrasi
asuransi kesehatan komersial dan sosial Contoh asuransi kesehatan sosial. Pegawai negeri
golongan IA bergaji Rp 500.000 per bulan dan membayar premi sebesar 2% dari gajinya
atau Rp (2/100) x Rp 500.000 = Rp 5.000,- sebulan untuk satu keluarganya, satu istri dan
dua anak. Jadi premi perbulan per orang menjadi hanya sebesar Rp 1.250. Jika salah
seorang anggota keluarganya hams dirawat inap atau hams menjalani cuci darah, maka
Askes menjaminnya (dengan tambahan iur biaya saat ini). Pegawai negeri lain bergolongan
IV C dengan gaji sebesar Rp 1.500.000 per bulan. Pegawai ini membayar premi 2% atau
(2/100) x Rp 1.500.000,- atau = Rp 30.000 per keluarga per bulan. Karena anaknya sudah
besar ia hanya menanggung istrinya. Jika salah seorang dari keduanya hams rawat inap
atau harus hemodialisa, maka Akses menanggung pelayanan hemodialisa (saat ini dengan
iur biaya) yang sarna besarnya seperti pegawai golongan IA tadi. Contoh diatas
menunjukkan adanya subsidi silang antara yang lebih kaya kepada yang lebih miskin atau
dari golongan IVC kepada golongan IA. Contoh Asuransi Komersial (contoh ini adalah
produk yang dijual di Jakarta dan Jawa Barat tanpa menyebutkan nama perusahaannya).
Sebuah perusahaan asuransi menjual paket standar perawatan kelas III dengan premi Rp
12.500 per orang per bulan dan TIDAK menanggung hemodialisa. Seorang pegawai atau
pedagang bergaji Rp 500.000 dan memiliki dua anak tidak akan mampu membeli paket ini
karena ia hams membayar 4 x Rp 12.500 = Rp 60.000 per bulan. Ini sarna dengan 12%

penghasilannya sebulan. Kalau anggota keluarga ini perlu rawat inap atau hemodialisa,
maka ia harus bayar sendiri. Jika ia tidak memiliki uang, maka ya mungkin nyawa
mengancam jiwanya karena tidak ada yang menanggung. Seorang pengusaha kecil
berpenghasilan Rp 5.000.000 sebulan merasa perlu memilki asuransi dan membeli paket
standar diatas. Dia memiliki dua anak dan satu istri juga, maka dia mampu membayar Rp
60.000,- yang merupakan 1,2% dari penghasilannya. Akan tetapi karena paketnya tidak
menanggung hemodialisa, maka jika anggota keluarganya memerlukan hemodialisa,
perusahaan asuransi tidak menanggungnya. Ia tetap masih hams membayar seluruh biaya
cuci darah yang mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya setiap bulan. Jadi
perlindungannya tidak memadai. Sebuah bapel JPKM menjual produknya dengan premi
sebesar Rp 15.000 per bulan dengan paket santunan rawat inap maksimum Rp 500.000 dan
tidak menanggung hemodialisa. Seorang penduduk dengan penghasilan sebesar Rp
500.000 dan mempunyai satu istri dan dua anak, hams membayar 12% penghasilannya (Rp
60.000) sebulan. Jikapun ia memaksakan membeli JPKM, jika ia perlu rawat inap berbiaya
Rp 3.000.000,- maka bapel tersebut hanya membayar Rp 500.000,- saja. Keluarga ini tidak
akan sanggup membayar sisa biaya perawatan yang lima kali lebih besar dari
penghasilannya. Kalau keluarganya perlu hemodialisa sudah pasti keluarga tersebut akan
bangkrut atau keluarganya terpaksa direlakan kembali ke pangkuan Ilahi. Introduksi Asuransi
Kesehatan 32 HThabrany 5. Kepuasan fasilitas kesehatan lebih tinggi. Pembayaran jasa per
pelayanan dan pilihan bebas fasilitas kesehatan memberikan kepuasan tinggi kepada
fasilitas kesehatan tidak ada risiko finansial. Provider yang mampu memberikan pelayanan
baik dan memuaskan akan mendapat lebih banyak pasien. 6. Fraud atau kecurangan dan
abuse atau pemakaian berlebihan sangat tinggi. Baik peserta maupun fasilitas kesehatan
tidak memiliki insentif untuk menggunakan pelayanan lebih sedikit akan tetapi justeru
sebaliknya. Peserta dapat merasa bahwa pelayanan kesehatan dapat mereka terima dengan
tidak perlu membayar. 7. Pengendalian mutu dan utilisasi kepada fasilitas kesehatan tidak
relevan Di Indonesia asuransi yang memberikan jaminan dalam bentuk uang diberikan oleh
perusahaan asuransi, baik yang langsung atau melalui kartu kredit. Mereka menawarkan
asuransi biaya perawatan dan pembedahan kepada pemegang kartu kredit, selain kepada

kumpulan seperti perusahaan. Asuransi kecelakaan Jasa raharja dan Jaminan Kecelakaan
Kerja Jamsostek juga memberikan jaminan dalam bentuk penggantian uang atau sejumlah
uang tertentu. Sebagian program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek
maupun JPK bagi pegawai negeri juga dapat memberikan penggantian uang, khususnya
untuk pelayanan yang bersifat gawat darurat. 1.8.2. Jaminan Pelayanan 1. Perlu kerja
samalkontrak dengan fasilitas kesehatan. Untuk bisa memberikan jaminan dalam bentuk
pelayanan, maka diperlukan sebuah ikatan kerja sama atau kontrak dengan fasilitas
kesehatan. Tentu saja tidak semua fasilitas kesehatan dapat dikontrak. Untuk itu ada proses
kredensialing. 2. Mengurangi moral hazard dari sisi pesertaipemegang polis. Pemberian
jaminan melalui fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai dua keuntungan. Pertama,
peserta digiring pada pelayanan yang biayanyaitarifnya sudah disepakati atau diketahui
sehingga lebih mudah memperkirakan biayanya. Kedua, apabila kontrak dengan fasilitas
kesehatan disertai berbagai upaya kendali biaya dan moral hazard, misalnya dengan
pengunaan formularium yang disepakati, maka jaminan pelayanan dapat mengurangi biaya.
Kontrak dengan fasilitas kesehatan, hams disadari, tidak menjamin menghilangkan moral
hazard dari sisi fasilitas kesehatan itu sendiri. 3. Pembayaran fasilitas kesehatan dapat
bervariasi. Dengan melakukan kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka terbuka
kemungkinan berbagai cara pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Cara pembayaran
dapat dilakukan per jasa pelayanan yang disukai fasilitas kesehatan baik dengan rabat
tertentu atau tanpa rabat. Cara pembayaran lain adalah dengan tarif paket tertentu baik itu
per hari rawat, per tindakan, per diagnosis (di Indonesia belum berkembang), maupun
dengan pembayaran tanggung risiko yang disebut kapitasi. Introduksi Asuransi Kesehatan
33 HThabrany 4. Pilihan fasilitas kesehatan terbatas. Membuat kontrak dengan fasilitas
kesehatan tentu tidak bisa dilakukan terhadap semua fasilitas kesehatan yang ada di suatu
kota tertentu. Akibatnya adalah pilihan fasilitas kesehatan tidak bisa seluas pada pemberian
jaminan dalam bentuk uang atau penggantian biaya. Tertanggung hams memilih pelayanan
pada jaringan fasilitas kesehatan tertentu, paling tidak hams ada insentif agar tertanggung
mau menggunakan jaringan fasilitas kesehatan yang dikontrak. Jika tidak ada insentif
finansial, maka sistem kontrak pelayanan tidak akan berfungsi. 5. Kepuasan peserta menjadi

kurang. Kontrak fasilitas kesehatan yang mengakibatkan pilihan fasilitas kesehatan semakin
terbatas mempunyai potensi keluhan dan ketidak puasan peserta. Apabila ada sedikit saja
pelayanan yang peserta kurang berkenan, maka peserta akan mengeluh atau bahkan
mengadukan hal tersebut. 6. Perlu kendali mutu. Karena kontrak fasilitas kesehatan
memberikan pilihan fasilitas kesehatan terbatas, maka calon peserta hams diyakinkan
bahwa fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai standar mutu tertentu. Hal ini
menimbulkan kehamsan asuradur melakukan berbagai upaya kendali mutu. Kendali mutu
melalui fasilitas kesehatan ini amat berguna untuk keperluan pemasaran atau kepuasan
peserta, atau memantau tanggung jawab pihak yang dikontrak terhadap berbagai standar.
Kendali mutu ini berlaku untuk semua asuradur yang melakukan kontrak pelayanan. Jadi
kendali mutu bukanlah monopoli organisasi managed care/bentuk JPKM. 7. Pada
pembayaran tertentu, misalnya kapitasi, perlu ada telaah utilisasi (utilization review). Apabila
pembayaran fasilitas kesehatan dilakukan dengan sistem yang berdasarkan risiko seperti
kapitasi, maka terdapat potensi dimana fasilitas kesehatan mengorbankan mutu pelayanan
atau mengurangi jumlah pelayanan yang sehamsnya diterima oleh tertanggung. Oleh
karenanya, cara pembayaran kapitasi secara intrinsik mengharuskan adanya telaah utilisasi.
1.9. Ringkasan Setelah berbagai model asuransi kesehatan dibahas diatas, maka di bawah
ini disajikan ringkasan berbagai aspek yang dapat dihasilkan dari jenis asuransi kesehatan
tersebut dan contoh-contoh yang ada di Indonesia dan di dunia. Introduksi Asuransi
Kesehatan 34 HThabrany Berbagai aspek yang dapat dihasilkan atau difasilitasi oleh
asuransi kesehatan sosial dan komersial ~ Sosial (Wajib) Komersial (Sukarela) Aspek Sifat
gotong royong antar Tua-muda Sehat-sakit golongan Kaya-rniskin Sehat-sakit Seleksi bias
Tidakada Adverse ataufavorable, tergantung keahlian bapel/ asuradur Prerni Not risk-related
Risk-related Biasanya proporsional (%) Biasanya dalarn jurnlah harga terhadap upah tertentu
Paket Sarna untuk seluruh peserta Bervariasi sesuai pilihan peserta KeadilanJ equity
Egaliter, sosial Liberter, individual Pilihan bapel/asuradur Biasanya tidak ada atau kecil Luas
Pilihan provider Umumnya sangat luas Pada model tradisional, umumnya Pada penerapan
teknik managed sangat luas care, pilihan jadi terbatas Pada model managed care, pilihan
terbatas Kemampuan pengendalian biaya Sangat tinggi Sangat rendah Komnetisi

bapel/asuradur Umumnva kecil/rendah Umumnva tinzzi Response pelayanan medis


Pemenuhan kebutuhan medis Pemenuhan perrnintaan medis (medical needs) (demand)
Badan penyelenggara Pemerintah atau quasi pemerintah Bebas (pemerintah atau swasta)
Bersifat nirlaba Bersifat pencari labalnirlaba Pembayaran fasilitas kesehatan Bervariasi dari
kapitasi sampai Bervariasi dari kapitasi sampai fee for service fee for service Contoh badan
asuransi/asuradur dan pemberian manfaat asuransi ~ Asuransi Sosial (wajib) Asuransi
Komersial Manfaat (sukarela) Uang (indemnitas/ Jasa Raharja, JKK Produk Lippo, Metlife,
ING, reimbursement) Jamsostek, Medicare di AS Aetna, Jiwasraya, Bringin, Kartu kredit, dll,
Askes tradisional di AS Pelayanan Askes wajib, JPK Jamsostek, Yang dijual oleh PT
Askes, /managed care AKN Kanada, AKN Taiwan, PT Allianz managed care, AKN Filipina,
AKN Korea, dan bapel JPKM AKN Muangtai, dan askes Di Amerika: Blue CrosslBlue semua
negara maju lainnya Shield, HMO, PPO, POS di dunia (managed care organizations) AKN=
Asuransi Kesehatan Nasional Introduksi Asuransi Kesehatan 35 HThabrany Matriks
Pembiayaan dan Penyediaan (delivery) pelayanan kesehatan yang dilaksanakan berbagai
negara di dunia Pembiayaan Penyediaan Publik Swasta Publik Inggris Indonesia dan negara
berkembang lainnya Swasta lCanada, Jerman, Jepang Amerika dan Taiwan Jepang dan
Jerman. menyerahkan sebagian besar pembiayaan dan penyediaan kepada sektor swasta,
akan tetapi bersifat sosial (nirlaba) yang diatur oleh pemerintah, sementara Amerika
menyerahkan kepada mekanisme pasar {for profit dan not for profit). Yang dimaksud
dengan pembiayaan publik adalah pembiayaan dari dana pemerintah atau asuransi sosial/
jaminan sosial Istilah Penting Negara Kesejahteraan Jaminan sosial Asuransi sosial Public
insurance Bantuan sosial Means test Asuransi komersial Private insurance Asuradur Risk
based premium Non-risk related premium Income based premium Kebutuhan dasar layar
(decent basic needs) Kebutuhan dasar kesehatan Nirlabalnot for profit Pencari laba/For profit
Dividen Badanhukum Dana AmanatITrust Fund Wali amanat Board of Trustees/Majlis Wali
Amanat Pengelolaan profesional Insurance/ Asuransi Risiko Telaah utilisasi/utilization review
Uncertainty Introduksi Asuransi Kesehatan 36 HThabrany Risk avoidance Risk reduction
Risk transfer Risk asumption Risk taker Risk averter Measurable Quantifiable Populasi
homogen Accidental Pure risk Catastrophic Risk sharing Adverse selection/anti selection

Bias

selection

Premi/iuranlkontribusi

Favorable

selection

Sukarela/voluntary

Insured/tertanggung

Benefitlmanfaat

Wajib/mandatory/compulsory

Policy

holder/pemegang polis Anggota/member Managed care Kondisional Unilateral Aleatory


Adhesi JPKM Gakin JPSBK Deklarasi PBB 1948 Ekstemalitas Social justice Social equity
Medicare Market failure Equity egaliter Equity liberter Pasal 28H UUD 45 amendemen
Earmarked tax PT Persero SHU, sisa hasil usaha PPh21 PPh badan U saha
bersama/mutual Introduksi Asuransi Kesehatan 37 HThabrany Risk pool Portofolio Biaya
administrasi fasilitas kesehatan/provider Jasa per pelayanan/fee for services Organisasi
Kesehatan DuniaIWHO Medisup/Medigap Demand Need You get what you need You get
what you pay for Pre existing conditions Non cancellable Profitable Contigency Profit margin
Loading Fairness in health care financing Fundamental human right Tailor made
Antimonopoli Deductible Coinsurance Reimbursement Indemnitas Moral hazard Workers'
compensation Occupational injury Fraud Kredensialing Rujukan 5 Thabrany, Hasbullah.
Asuransi Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI, Depok 200l.
WHO. World Health Report 2000. Geneva, 2001 Health Insurance Association of America
(HIAA). Source Book of Health Insurance Data. HIAA, Wahington D.C., 1999. Depkes RI.
Pembinaan Bapel JPKM: Kumpulan Materi. Depkes RI, Jakarta, 1995. Thabrany, H.
Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, 1999.
Depkes Taiwan. Public Health in Taiwan, ROC. Taipei, 1997 2 3 4 6 Introduksi Asuransi
Kesehatan 38 HThabrany 7 Shalala, DE dan Reinhardt UE. Interview: Viewing the US Health
Care System from Within: Candid TalkfromHHS. Health Affairs 18(3): 47-55,1999 Anderson,
GF. And Paullier, JP. Health Spending, Access, and Outcomes: Trends in Industrialized
Countries; Health Affairs, 18(3):178-192 Ikegami, N dan Campbell, JC. Health Care Reform
in Japan: The Virtue of Muddling Trhouqh; Health Affairs 18(3):56-75. 8 9 Introduksi Asuransi
Kesehatan 39 HThabrany BAB2 Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri Sipil 2.1. Pendahuluan
Penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan keluarganya saat
ini didasarkan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 69/91 yang ditanda-tangani Presiden
Suharto pada tanggal 23 Desember 1991. Dalam PP tersebut istilah yang digunakan adalah
jaminan pemeliharaan kesehatan, tidak disebutkan asuransi kesehatan. Kata asuransi

kesehatan dapat ditemui pada PP No 2/92 tentang penunjukkan PT Asuransi Kesehatan


Indonesia disingkat PT Askes sebagai badan penyelenggara program pemeliharaan
kesehatan PNS. Istilah asuransi kesehatan yang disingkat askes digunakan karena istilah
tersebut sudah sangat populer di kalangan peserta pegawai negeri pada waktu badan
penyelenggara bemama Perum Husada Bhakti yang diatur oleh PP 22/1984 tentang
Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri Sipil dan Penerima Pensiun beserta anggota
keluarganya. Asuransi kesehatan pegawai negeri sipil merupakan suatu asuransi sosial yang
diikuti oleh seluruh pegawai negeri dan pensiun pegawai negeri dan merupakan program
asuransi kesehatan tertua di Indonesia. Asuransi sosial lain yang diikuti oleh seluruh peserta
adalah asuransi kecelakaan lalu lintas yang dikelola oleh PT Jasa Raharja. Namun demikian,
asuransi kecelakaan tersebut juga memberikan pertanggungan kematian. Asuransi
kesehatan pegawai negeri, yang selanjutnya disebut askes, juga merupakan satu-satunya
asuransi kesehatan yang mempunyai jumlah kepesertaan mencapai 13,8 juta jiwa. Dalam
usianya yang lebih tua dari usia negeri ini, jika diperhitungkan masa pemberian jaminan bagi
pegawai negeri di jaman penjajahan, telah banyak mengalami perubahan struktural.
Meskipun dalam praktek PT Asuransi Kesehatan Indonesia menawarkan produk produk
asuransi kesehatan komersial yang berbentuk JPKM, dalam Bab ini hanya akan dibahas
porsi asuransi kesehatan sosial (wajib). Porsi asuransi kesehatan komersial yang dijual PT
Askes akan dibahas pada Bab 4 tentang JPKM karena kesamaan sifat produk yang dijual PT
Askes dengan JPKM. Sistem asuransi kesehatan wajib ini juga menggunakan teknik-teknik
managed care seperti yang digunakan oleh JPKM. Perbedaannya dengan JPKM adalah
bahwa askes PNS ini bersifat wajib atau merupakan bentuk asuransi sosial sehingga lebih
tepat disebut Asuransi Sosial Kesehatan Terkendali (managed social health insurance). 2.2.
Sejarah Di jaman penjajah Belanda, pegawai negeri yang berkebangsaan Eropa mendapat
jaminan kesehatan yang diatur oleh peraturan pemerintah Belanda (Staatsregeling Nol/34).
AskesPNS 40 H Thabrany Empat tahun kemudian jaminan ini diperluas kepada pegawai
pemerintah pribumi karena protes dari pegawai pribumi. Namun demikian terdapat
perbedaan jaminan dimana bangsa Eropa dan kelas atas pribumi dapat menggunakan
fasilitas kesehatan swasta sedangkan pegawai kelas menengah dan bawah hanya dapat

menggunakan fasilitas pemerintah. Sistem jaminan yang diberikan adalah sistem


penggantian atau reimbursement atas biaya pelayanan kesehatan dengan menunjukkan
bukti kwitansi. Pengelola jaminan ini adalah Departemen Kesehatan beserta kantor
kesehatan, inspektur kesehatan, di propinsi. Pada peri ode awal kemerdekaan yaitu di tahun
1948 sistem penggantian biaya berobat ini diteruskan dengan tetap mempertahankan dua
sistem pegawai tinggi dan rendah, hanya saja batasannya adalah gaji bulanan 420g. Selain
itu pada jaman awal kemerdekaan ini pegawai dikenakan kontribusi 3% dari biaya yang
diajukan sedangkan sisanya mendapat penggantian dari Depkes, melalui Ikes. Di tahun
1949 setelah uang Indonesia sudah digunakan, batas gaji diubah menjadi Rp 850 sebulan.
Pengelolaan dana untuk penggantian biaya berobat PNS ini dilakukan oleh Dinas Restitusi
Dirjen Bina Waluya. Pegawai yang sudah memasuki pensiun tidak mendapatkan
penggantian biaya berobat. Dapat dibayangkan bahwa dengan cara penggantian yang
didasarkan atas jasa per pelayanan, maka banyak terjadi penyalah-gunaan dan mendorong
timbulnya moral hazard. Pada tahun 1960 Menteri Kesehatan waktu itu mengeluarkan
instruksi untuk mengembangkan jaminan kesehatan ini kepada pensiunan dan pegawai
pemerintah dengan nama "Jakarta Pilot Project" yang memang dimulai di Jakarta. Sistem
penggantian biaya diganti dengan sistem pembayaran langsung kepada PPK dan tidak lagi
ada perbedaan antara yang golongan gaji tinggi dengan golongan gaji rendah. Jaminanpun
terbatas pada jaminan rawat inap dan obat-obatan. Sistem pembayaran masih tetap
menggunakan per pelayanan. Birokrasi pemerintah menyebabkan sistem ini juga tidak
efisien. Proyek ini berhasil memperluas cakupan namun demikian biaya yang hams
ditanggung pemerintah terus membengkak. Padahal sistem ini tidak membayar jasa dokter.
Karena jasa dokter tidak dibayar inilah akhimya sistem ini tidak juga memberikan keadilan
yang merata, karena pegawai yang miskin tidak mendapatkan pelayanan yang sarna dengan
pegawai yang kaya yang mampu membayar dokter. Pilot ini menyebabkan pemerintah defisit
sebesar Rp 600 juta pada saat itu. Sejalan dengan konsep kewajiban masyarakat untuk ikut
bertanggung jawab atas kesehatannya, maka mulai dipikirkan untuk menggalang pembiyaan
dari pegawai negeri sendiri. Pada tahun 1966 Menteri Kesehatan Siwabessy mengeluarkan
instruksi pembentukan Komite "Dana Sakit" dengan iuran dari pegawai negeri sendiri. Dana

yang dihimpun hams digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peserta, bukan
untuk mencari laba bagi pengelola. Sayangnya komite tersebut tidak berhasil menelurkan
konsep yang diharapkan. Pada tahun 1968 Menkes kemudian membentuk Panitia
Pembentukan Badan Pemeliharaan Kesehatan Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun.
Pada masa itu pemerintahan Orde Baru masih mengalami kesulitan keuangan akibat
Pemberontak PKI di tahun 1965. Mulai tahun anggaran 1968/69 pemerintah tidak lagi
mengalokasikan dana untuk penggantian biaya kesehatan pegawai negeri. Pada 18 Maret
1968, Menteri Tenaga Kerja Awaloedin Djamin membentuk Tim Kerja Kesejahteraan
Pegawai Negeri (TKKPN) setelah upaya memperoleh persetujuan dari Presiden tidak
berhasil. Tim ini mendirikan tonggak sejarah penting AskesPNS 41 H Thabrany
berkembangnya asuransi kesehatan wajib di Indonesia. Modal awa1 ada1ah 50% dana
kesejahteraan pegawai negeri yang se1ama itu te1ah terkumpu1 dari potongan 10% gaji
pegawai aktif dan 5% uang pensiun. Badan hukum pengelola dikuatkan oleh Kepres No 230
tangga1 15 Juli 1968 yang merupakan cika1 baka1 PT Askes Indonesia. Untuk mendanai
program tersebut dike1uarkan Kepres no 122/68 menetapkan potongan gaji pegawai negeri
sebesar 5% untuk membiayai pemeliharaan kesehatan. Se1ama Pelita I sampai Pelita III
atau sejak tahun 1968 sampai tahun 1984, asuransi kesehatan pegawai negeri ini dikelola
oleh suatu badan yang disebut Badan Penye1enggara Dana Pemeliharaan Kesehatan
(BPDPK) yang berada di Departemen Kesehatan. luran untuk asuransi kesehatan ini
besamya 5% dari gaji pokok. Pada awa1nya jaminan diberikan dengan bebas dimana
peserta dapat memilih fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta dengan pembayaran fee
for service. Manajemen masih sangat sentralistis. Pemakaian berlebihan tentu saja tidak
dapat dihindari, tidak heran pada awa1nya program ini juga menga1ami defisit anggaran.
Pada tahun 1970 besamya iuran dikurangi menjadi hanya 3,89% gaji pokok untuk pegawai
aktif sementara pensiunan masih mengiur 5% dari pensiun yang diterima yang diatur dengan
Kepres No. 22170. Sampai dengan tahun 1973, berbagai upaya pengendalian biaya dan
pe1ayanan terus di1akukan guna menye1amatkan program ini dari kebangkrutan. Bahkan
upaya untuk memperluas program asuransi kesehatan PNS kepada masyarakat non PNS
sebenamya sudah mu1ai dipikirkan pada periode ini. Pada periode yang sama mutu

pe1ayanan sudah mu1ai mendapat perhatian dan karena berbagai standar pe1ayanan dan
pengaturan obat sudah mu1ai di1akukan. Pada tahun 1974, besar iuran dikurangi 1agi dari
3,89% mejadi 2,75% gaji pokok, pensiunan tetap membayar iuran 5%. Pada tahun 1977
dike1uarkan Kepres No 8177 yang menetapkan potongan iuran sebesar 2% gaji pokok yang
berlaku bagi pegawai aktif dan pensiunan. Sistem kapitasi kepada puskesmas sudah mu1ai
diperkenalkan pada tahun 1979 di Jakarta. Se1ama periode ini dasar-dasar pengendalian
biaya yang kini dikena1 dengan teknik managed care sudah di1aksanakan oleh BPDPK.
Pada tahun 1980 jumlah anak yang ditanggung dibatasi sebanyak-banyak tiga orang. Untuk
meningkatkan profesionalitas dan mengurangi birokrasi maka pada tahun 1984 pengelolaan
asuransi kesehatan PNS ini mu1ai dipisahkan dari Depkes me1a1ui PP No. 22 dan 23 tahun
1984. Perubahan bentuk badan ini juga untuk menyesuaikan diri fungsi pengelolaan dana
masyrakat yang tidak bisa dikelola menurut sistem akuntansi pemerintahan yang masih
terikat dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet) yang menghamskan sega1a dana disetor
ke kas negara. Mu1ai tahun 1984 itu BPDPK berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum
Husada Bhakti atau disingkat Perum PHB. Menteri teknis yang mengawasi PHB ini tetap
Menteri Kesehatan. Prakteknya, penye1enggaraan Perum PHB baru di1aksanakan secara
penuh pada 23 April tahun 1986. Di daerah-daerah dibentuk Kantor Cabang yang terus
berkembang seja1an dengan pertambahan jum1ah pegawai negeri. Pada awa1 tahun 1992
jum1ah cabang di se1uruh Indonesia sudah berjum1ah 27 cabang, masing-masing satu
cabang di tiap propinsi. Pada masa PHB ini1ah tenaga-tenaga khusus yang mengerti
masa1ah asuransi kesehatan mu1ai dididik. Untuk pendidikan ini PHB bekerja sama dengan
Pusdiklat Depkes RI, USAID, dan Zieken Fonds Be1anda. Pada masa ini sistem pe1ayanan
terkendali dengan menggunakan teknik-teknik managed care semakin dimantapkan. Daftar
obat yang dijamin disusun berdasarkan Daftar Obat Esensia1 Nasiona1 dan diperkena1kan
dengan nama Daftar P1afon Harga Obat, DPHO, di tahun 1987. Berbeda dengan bentuk
BPDK, pada masa AskesPNS 42 H Thabrany Perum PHB ini sumber dana tidak lagi hanya
bergantung dari iuran peserta akan tetapi sudah dapat ditambahkan dari penghasilan
investasi dana yang belum terpakai. Untuk lebih memberikan keluwesan perusahaan,
menjawab tantangan jaman, dan memenuhi peraturan yang telah dikeluarkan sebelumnya,

maka status PHB ditingkatkan menjadi PT Persero melalui PP No. 6/92 dengan nama PT
Asuransi Kesehatan Indonesia disingkat dengan nama PT Askes. Dengan bentuk Persero
ini, Askes diberikan wewenang untuk memperluas kepesertaan kepada berbagai badan
usaha pemerintah maupun swasta. Pada awalnya kewenangan ini sempat menimbulkan
ketegangan antara PT Askes dan PT Jamsostek yang ditunjuk untuk mengelola JPK untuk
pegawai swasta. Namun setelah komunikasi semakin baik, terdapat saling pengertian yang
baik. PT Askes memang mendapat kemudahan dari PP 14/93 yang mengatur bahwa
perusahaan yang memberikan jaminan lebih baik boleh tidak mendaftarkan diri pada PT
Jamsostek. Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih rinci sejarah asuransi kesehatan PNS
ini dapat membaca buku Historical Development PT Askes Indonesia:' 2.3. Peserta Peserta
Askes PNS diatur oleh PP 69/91 sebagai berikut: 1. Peserta adalah Calon dan Pegawai
Negeri Sipil, Penerima Pensiun, Veteran dan Perintis Kemerdekaan. Pegawai negeri sipil
aktif di lingkungan TNI dan Polri dan anggota aktif TNI dan Polri tidak wajib menjadi peserta
Askes karena mereka mendapat jaminan dari sistem jaminan kesehatan bagi TNI dan Polri
yang dikelola Departemen Hankam. 2. Penerima Pensiun meliputi: a. Pegawai Negeri Sipil
yang berhenti dengan hak pensiun; b. Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan dan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang berhenti dengan hak pensiun; c. Pejabat Negara yang
berhenti dengan hak pensiun; d. Janda atau duda atau anak yatim piatu dari Pegawai Negeri
Sipil, Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta Pejabat Negara yang mendapat
hak pensiun 3. Keluarga yang ditanggung meliputi isteri atau suami dari peserta dan anak
yang sah atau anak angkat dari peserta sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Semua yang tersebut diatas wajib menjadi peserta Askes dengan pembayaran
premi yang dipotong langsung dari gaji atau pensiun mereka. Dengan alasan untuk
meningkatkan efisiensi dan perluasan kepesertaan, pegawai badan usaha dan badan
lainnya serta penerima pensiunnya dapat menjadi peserta Askes dengan cara membayar
premi tersendiri. Masa menjadi peserta dimulai pada waktu iuran dipotong dari gaji seorang
pegawai atau pembayaran premi oleh badan non pemerintah. Masa kepesertaan berhenti
jika iuran atau 1 __ Historical Development PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia. PT

Askes. Jakarta, 1995 AskesPNS 43 H Thabrany premi tidak lagi dibayarkan. Peraturan
pemerintah itu juga mengatur kewajiban peserta sebagai berikut: I. Peserta wajib
memberikan keterangan yang sebenarnya tentang jati dirinya beserta keluarganya untuk
penyusunan data peserta. 2. Peserta beserta keluarganya wajib memiliki tanda pengenal diri
yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara, 3. Peserta dan keluarganya wajib mengetahui
dan mentaati peraturan penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan. 2.4. Premi Pegawai
Negeri Sipil, Penerima Pensiun wajib membayar iuran setiap bulan yang besarnya serta tata
cara pemungutannya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Besarnya premi yang
ditetapkan Kepres saat ini adalah 2% dari gaji pokok pegawai negeri. Pemerintah sebagai
majikan mulai ikut membayar iuran sebesar 0,5% upah di tahun 2004 dan akan terus
dinaikan secara bertahap. Kewajiban Pemerintah tersebut ditetapkan dengan PP 28/2003.
Sebelum otonomi daerah, pemungutan iuran Askes dilakukan langsung oleh Dirjen
Anggaran Departemen Keuangan dengan cara pemotongan langsung dana gaji pegawai
sebelum gaji tersebut dikirimkan kepada bendaharawan pembayar gaji di berbagai instansi
pemerintah. Setelah masa otonomi daerah, pemotongan gaji dilakukan oleh bendaharawan
pembayar gaji di daerah yang kemudian menyetorkannya ke Dirjen Anggaran. Barulah
kemudian Dirjen Anggaran menyerahkan dana tersebut kepada PT Askes. luran untuk
Veteran dan Perintis Kemerdekaan, ditanggung Pemerintah atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. luran atau premi dari badan lainnya yang ikut program
Askes secara sukarela/komersial diatur dan ditagih langsung oleh PT Askes. Dari tabel 2.1
dapat dilihat perkembangan jumlah peserta dan penerimaan premi peserta wajib dari tahun
ke tahun. Jumlah penerimaan premi telah meningkat dari Rp 104 milyar di tahun 1989
menjadi Rp 519 milyar di tahun 1999. Hal ini menunjukkan pertumbuhan penerimaan premi
rata-rata sebesar 17, I % per tahun selama II tahun. Sementara jumlah pegawai dan pensiun
yang menjadi peserta mengalami pertumbuhan dari 3,7 juta pegawai menjadi 5,1 juta
pegawai. Sementara itu jumlah tertanggung telah meningkat dari 11,8 juta di tahun 1989
menjadi 13,7 juta di tahun 1999. Perhatikan bahwa jumlah peserta dan tertanggung
mengalami penurunan di antara tahun 1994-1996. Hal tersebut disebabkan karena
perbaikan sistem informasi sehingga data ganda dapat dikurangi. Selain itu, penurunan

jumlah tertanggung yang cukup drastis disebabkan karena perubahan kebijakan jaminan
jumlah anak yang ditanggung dari tiga orang menjadi hanya dua orang saja. Jumlah premi
yang diterima perkaryawan mengalami kenaikan dari Rp 28.136 di tahun 1989 at
u Rp 2.345 per pegawai per bulan menjadi Rp 101.272 tahun 1999 atau Rp 8.349 per
pegawai per bulan. Jika diperhitungkan be saran premi per tertanggung, maka penerimaan
premi di tahun 1989 adalah Rp 8.786 atau Rp 732 per kapita per bulan dan AskesPNS 44 H
Thabrany Rp 37.844 di tahun 1999 atau sebesar Rp 3.154 per kapita per bulan. Tentu saja
jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan paketjaminan komprehensifyang hams
dijamin. Jika diperhitungkan dengan nilai konstan 1993, penerimaan premi PT Askes dari
tahun 1992 meningkat dari Rp 193 milyar menjadi Rp 257 milyar di tahun 1997 akan tetapi
kemudian menurun menjadi hanya Rp 175 milyar di tahun 1999. Apabila diperhitungkan
penerimaan premi per pegawai dengan harga konstan, maka penerimaan premi tertinggi
diterima tahun 1993 sebesar Rp 50.756 per pegawai per tahun dan terendah pada tahun
1998 dengan jumlah premi Rp 33.134 per pegawai per tahun. Apabila diperhitungkan
dengan penerimaan premi per kapita per tahun dengan harga konstan 1993, maka premi
tertinggi diperoleh pada tahun 1993 dan terendah juga pada tahun 1998 dengan hanya
12.284 per kapita. Artinya pada tahun 1998, Askes hanya menerima premi sebesar Rp 1.023
per kapita per bulan pada harga konstan 1993. Dengan melihat penurunan premi riiI, maka
dapat dipastikan bahwa pelayanan yang diberikan tidak mungkin mengalami perbaikan
dibandingkan dengan kualitas pelayanan di tahun 1993. Masalah utama penerimaan premi
pegawai negeri adalah kecilnya gaji pokok pegawai negeri yang menyebabkan juga
rendahnya premi yang diterima. Penggajian pegawai negeri menggunakan sistem
penggajian gaji pokok, tunjangan-tunjangan keluarga, jabatan, tunjangan perbaikan
penghasilan, dU., dan penghasilan tambahan dari honor proyek. Meskipun dalam prakteknya
pegawai negeri merupakan kelompok yang relatif lebih kaya dibandingkan dengan pegawai
swasta', premi dari gaji pokok pegawai negeri menjadi sangat kecil, Karena besarnya premi
hanya diperhitungkan dari gaji pokok. Baru pada tahun 2001 ini pemerintah mengubah
sistem penggajian "pura-pura" menjadi gaji yang "lebih realistis", meskipun belum memadai,
dengan memasukkan tunjangan ke dalam komponen gaji pokok. Besarnya penerimaan

Askes dengan perubahan kebijakan tersebut diperkirakan dapat meningkat sampai dua kali
lipat dari tahun sebelumnya. Masalah kedua dari premi Askes ini adalah kenaikan gaji pokok
pegawai negeri tidak selalu mengikuti perubahan biaya kesehatan atau perubahan hargaharga pelayanan kesehatan dan obat. Bahkan kenaikan tersebut tidak dapat ditentukan
periodenya. Pada suatu ketika kenaikan gaji dapat berlaku tiga tahun sekali akan tetapi pada
waktu lain bisa terjadi perubahan kenaikan gaji setahun setelah perubahan gaji sebelumnya.
2 Thabrany, H. Pegawai Negeri Memang Lebih Kaya. Kompas 1996. AskesPNS 45 H
Thabrany TabeI2.1. Perkembangan peserta wajib dan besarnya iuran per peserta dan
tertanggung PT Askes Indonesia, 1989-1999 Penerimaan Premi premi (Rp Jumlah
peserta /peserta /th Jumlah Premi/tertanggung/ Tahun [uta) (pegawai) I(Rp) tertanazuna th
(Rp) 1989 104.132 3.701.024 28.136 11.852.220 8.786 1990 112.232 4.021.075 27.911
12.486.084 8.989 1991 112.220 4.241.556 26.457 13.304.182 8.435 1992 179.500
4.446.110 40.372 13.951.215 12.866 1993 241.787 4.763.733 50.756 14.162.680 17.072
1994 268.800 5.075.329 52.962 18.449.601 14.569 1995 292.266 5.326.994 54.865
15.783.935 18.517 1996 318.319 5.513.026 57.739 16.478.587 19.317 1997 418.507
5.451.267 76.772 15.853.439 26.398 1998 475.919 5.034.450 94.532 13.579.991 35.046
1999 519.169 5.126.474 101.272 13.718.754 37.844 Diolah dari berbagai sumber Buku
Kegiatan Perasuransian 1995-1999, dan Buku Historical Development PT Askes 19953.
Tabel2.2 Penerimaan premi PT Askes Indonesia tahun 1992-1999 menurut harga konstan
1993 Penerimaan Premi /pegawai/ Premi /kapita Tahun premi (Rp jt) tahun (Rp) /tahun (Rp)
1992 193.011 43.411 13.835 1993 241.787 50.756 17.072 1994 244.364 48.147 13.245
1995 243.555 45.721 15.431 1996 243.549 44.177 14.780 1997 257.068 47.158 16.215
1998 166.814 33.134 12.284 1999 175.099 34.156 12.763 3 __ Laporan Kegiatan Usaha
Perasuransian Indonesia, 1995. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 1996 ___ Laporan Kegiatan
U saha Perasuransian Indonesia, 1999. Direktorat Asuransi, Depkeu RI, 2000 AskesPNS 46
H Thabrany 2.5. Paket laminan Secara teori, PT Askes hams memberikan jaminan yang
disebut komprehensif meliputi upaya peningkatan! promosi, pencegahan, penyembuhan, dan
pemulihan kesehatan. Namun dalam prakteknya, jaminan yang diberikan lebih ditekankan
pada penyembuhan dan pemulihan dengan mengenakan iur biaya (cost sharing) yang cukup

besar, meskipun pelayanan diberikan di dalam jaringan PPK yang ditunjuk. Dalam Pasal 12
PP 69/91 memang disebutkan bahwa " Semua biaya yang melebihi standar pelayanan dan
tarif sebagaimana yang ditetapkan Menteri Kesehatan menjadi beban dan tanggung jawab
peserta". Menyadari bahwa iuran peserta tidak akan mencukupi untuk membiayai jaminan
yang hams disediakan oleh PT Askes, maka peraturan menggariskan bahwa jaminan
tersebut terutama diberikan di PPK pemerintah, dengan sistem pelayanan terstruktur.
Peserta hams menggunakan pelayanan puskesmas dulu sebelum bisa mendapatkan
pemeriksaan dan pengobatan di rumah sakit pemerintah, dan beberapa RS swasta yang
bersedia. Untuk mencukupi pembiayaannya, maka tarif ke puskesmas dan RS pemerintah
yang hams dibayar oleh PT Askes ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan. Tarif yang hams dibayar PT
Askes kepada PPK pemerintah, khususnya RS, ditetapkan secara nasional dengan
memberikan pembagian kelas RS. Tarif untuk RS tipe B lebih mahal dari tarif untuk RS tipe
C dan D. Perbedaan biaya dan tarif Perda (Peraturan Daerah) antar daerah tidak
terakomodir. Akibatnya, RS di kota besar dimana tarifPerda dan tarif yang ditetapkan sendiri
oleh RS (untuk perawatan di kelas II dan kelas I) banyak mengeluh akibat rendahnya tarif
SKB. Beberapa RS di kota kecil dimana Perda menetapkan tarif yang amat rendah, tarif SKB
bisa jadi lebih tinggi dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan RS sendiri. Akan tetapi untuk
RS di kota besar, tarif SKB bisa jadi sangat jauh dari tarif Perda atau tarif yang ditetapkan
RS. Akibatnya RS merasa mendapat beban dalam melayani pasien Askes dan karenanya
pelayanan kepada peserta Askes dinilai kurang mendapat perhatian. Hal ini menimbulkan
banyak keluhan, khususnya dari kalangan kelas menengah. Berbagai survei kepuasan
peserta baik yang dilakukan oleh Askes maupun oleh pihak lain menunjukkan sebagian
besar (84-97%) peserta merasa puas dengan berbagai tingkat pelayanan. Namun demikian,
penilaian hasil survei hams dikaji lebih dalam bagaimana pengukuran dan bagaimana data
kepuasan peserta diperoleh. Selanjutnya pada era persaingan ketat sekarang ini, berbagai
usaha mentargetkan kepuasan 100% untuk mampu bersaing. Pemeriksaan dan pengobatan
rawat jalan pertama hams dilakukan di puskesmas. Setiap pegawai negeri yang telah
mendaftarkan diri dan keluarganya sebagai peserta Askes, dengan membawa bukti-bukti

bahwa yang bersangkutan adalah pegawai negeri, memilih satu puskesmas dimana ia dan
keluarganya akan berobat. PT Askes telah melakukan kontrak pembayaran kapitasi kepada
Dinas Kesehatan untuk memberikan pelayanan rawat jalan tingkat I di puskesmas. Obatobatan yang dibutuhkan disediakan di puskesmas dan harga obat ini sudah diperhitungkan
dalam kontrak pembayaran kapitasi. Apabila dokter di puskesmas menilai perlu perawatan
mjukan, maka dokter akan memjuknya ke RS terdekat. Dalam prakteknya, khususnya di kota
besar, banyak peserta yang datang ke puskemas hanya AskesPNS 47 H Thabrany meminta
surat rujukan ke rumah sakit. Dengan cara ini , seluruh pegawai negeri yang tinggal di
berbagai kota dan desa, misalnya guru-guru SD dan petugas puskesmas sendiri, akan
mendapatkan pelayanan di puskesmas di seluruh tanah air. Di Puskesmas tersebut
merupakan pelayanan kesehatan dasar. Namun demikian, menurut PP 69/91, pelayanan
kesehatan dasar dapat juga diberikan oleh dokter umum, dokter gigi, balai pengobatan, balai
kesehatan ibu dan anak (BKIA) , rumah bersalin dan sarana kesehatan dasar lainnya. Hanya
saja, untuk asuransi kesehatan wajib ini, pelayanan oleh dokter umum belum bisa dilakukan
secara luas karena minimnya biaya kapitasi. Uji coba sudah dilakukan di Jawa Timur atas
biaya dari Proyek Kesehatan IV Depkes, akan tetapi perluasan penggunaan dokter umum
praktek sore atau dokter keluarga belum dilakukan. Padahal jika premi cukup memadai,
sistem pelayanan melalui dokter keluarga akan sangat besar pengaruhnya tehadap efisiensi
sistem kesehatan di Indonesia. Pelayanan kesehatan rujukan adalah pelayanan kesehatan
yang diberikan melalui sarana pelayanan kesehatan rujukan antara lain dokter spesialis,
dokter gigi, rumah sakit, dan sarana pelayanan kesehatan spesialistik lainnya. Termasuk
dalam pelayanan kesehatan tersebut diatas adalah pelayanan persalinan yang diberikan
oleh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), balai pengobatan ibu dan anak (BKIA),
rumah bersalin dan rumah-rumah sakit. Rawat jalan rujukan dapat diperoleh di rumah sakit
terdekat, pada umumnya rumah sakit pemerintah daerah, pusat, atau rumah sakit tentara
atau Polri. Di rumah sakit, pasien Askes sehamsnya diperiksa oleh spesialis yang diperlukan.
Namun dalam praktek di daerah, pemeriksaan rawat jalan rujukan tidak selalu dilakukan oleh
spesialis yang diperlukan karena ketiadaan tenaga spesialis tersebut. Apabila dalam
pelayanan rujukan diperlukan pemeriksaan laboratorium, radiologi, atau tindakan medik lain,

maka dokter spesilis di rumah sakit dapat merujuk pasien ke dokter atau sarana lainnya. Hal
ini disebut rujukan II. Pemeriksaan atau tindakan medik penunjang yang ditanggung antara
lain berbagai pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, pemeriksaan radiologi sampai CT
Scan. Namun pemeriksaan CT Scan hanya dibatasi untuk CT Scan kepala satu kali,
sementara CT Scan organ tubuh lainnya tidak dijamin. Perawatan dengan menginap di
rumah sakit dapat dilakukan di rumah sakit pemerintah, termasuk rumah sakit tentara dan
Polri, atau di rumah sakit swasta yang ditunjuk. Pasien hams mendapatkan surat rujukan
dari dokter puskesmas. Untuk pegawai negeri golongan I dan II kelas perawatan yang
diberikan adalah kelas III di rumah sakit pemerintah. Sementara untuk untuk golongan III
diberikan perawatan di kelas II, dan untuk golongan IV diberikan perawatan di kelas I RS
pemerintah. Lama hari perawatan secara teori tidak dibatasi. Namun peserta hams
membayar cost sharing untuk lama hari perawatan yang melebih 180 hari sesuai kelasnya.
Tindakan bedah mencakup berbagai tindakan bedah kecil sampai bedah besar seperti
bedah jantung dijamin sesuai dengan tarif yang ditetapkan Menteri. Untuk kasus bedah
jantung, sesuai dengan SK Menkes, PT Askes hanya memberikan penggantian maksimum
sekitar Rp 50 juta rupiah. Apabila biaya perawatan temyata melebihi dari yang dijamin PT
Askes, misalnya karena peserta meminta perawatan di kelas yang lebih tinggi atau
menerima obat yang di luar daftar DPHO, maka peserta hams membayar kelebihan
biayanya. Yang dimaksud dengan AskesPNS 48 H Thabrany kelebihan biaya yang menjadi
tanggung jawab peserta adalah apabila peserta mempergunakan pemeliharaan kesehatan
yang melebihi standar pelayanan kesehatan. Karena standar pelayanan ini tidak tersedia
secara luas dan tidak dipahami oleh para peserta, seringkali dalam penerimaan rawat inap--khususnya di kota besar, seorang peserta hams membayar cukup mahal. Beberapa keluhan
peserta dan RS menyampaikan bahwa biaya yang dijamin oleh PT Askes, sesuai dengan
SKB Menteri, hanya menutupi sekitar 20% biaya saja. PT Askes sendiri secara jujur
mengakui bahwa penggantian biaya sesuai SKB memang jauh dari biaya yang dibutuhkan
untuk memberikan pelayanan. Pada saat buku ini ditulis, perubahan tarif lama yang sudah
berlangsung sekitar tiga tahun untuk Askes sedang dalam proses. Sejalan dengan
perubahan sistem gaji pokok PNS, maka diharapkan tahun 2001 ini penerimaan premi PT

Askes akan meningkat tajam dan karenanya pembayaran ke RS dapat ditingkatkan. Pada
sistem penggantian biaya rumah sakit sekarang ini, praktis nilai asuransi PNS menjadi
sangat kecil. Sebab dalam banyak hal, besarnya selisih biaya yang hams ditanggung peserta
bisa lebih besar dari biaya yang ditanggung Askes. Obat-obat yang diperlukan diresepkan
oleh dokter rumah sakit. Pasien mengambil obat-obat tersebut di apotik yang ditunjuk. Jika
obat-obat yang diresepkan termasuk dalam Daftar Pelafon Harga Obat (DPHO) maka pasien
tidak perlu membayar lagi. Namun apabila obat yang diresepkan tidak termasuk dalam
DPHO, maka pasien hams membayar sendiri. Daftar obat Askes dikembangkan oleh tim
dokter yang mempunyai keahlian klinik dan farmakologik untuk menjamin bahwa obat-obat
yang masuk dalam DPHO adalah obat-obat yang secara esensial dibutuhkan oleh peserta
dalam berbagai kasus penyakit yang diderita. Obat DPHO bukanlah obat generik, akan
tetapi obat yang dibutuhkan dapat diberikan dengan harga yang memenuhi plafon tertentu.
Bisa jadi suatu obat bermerek lokal, mee too drug, yang oleh pasien dianggap sebagai obat
paten masuk dalam DPHO. Obat penyakit kanker juga termasuk dalam daftar obat yang
ditanggung Askes. Sebenarnya obat-obat yang tidak termasuk dalam DPHO akan tetapi
mutlak dibutuhkan oleh pasien masih dapat ditanggung asal ada surat keterangan dokter
bahwa obat tersebut secara medis dibutuhkan. Misalnya sebuah antibiotik mahal bisa
ditanggung untuk suatu kasus penyakit infeksi, apabila dari hasil uji sensitifitas obat (kultur)
temyata obat tersebutlah yang bisa menyembuhkan. Tindakan hemodialisa, cuci darah, dan
transplantasi ginjal juga ditanggung oleh Askes. Hal ini tentu saja membuat biaya yang
sedikit itu menjadi sangat kurang jika sebagian besar biaya semua pelayanan hams
ditanggung. Biaya untuk tindakan hemodialisa saja saat ini sudah melampaui Rp 30 milyar
setahun. 2.6. Kinerja Dalam usianya yang melebihi 30 tahun, termasuk ketika menjadi
BPDPK, PT Askes telah mengalami pasang surut yang cukup bervariasi. Sebagai
perusahaan asuransi, Askes hams menunjukkan kemampuan solvabilitas keuangan yang
memadai untuk memenuhi berbagai kewajibannya. Sebagai suatu asuransi kesehatan sosial
yang menerapkan prinsip prinsip managed care PT Askes hams mampu mengendalikan
biaya berapapun besarnya penerimaan. Jika di dalam pembahasan mengenai premi telah
digambarkan bahwa premi yang diterima sangat kecil bila dibandingkan dengan kewajiban

Askes untuk menanggung AskesPNS 49 H Thabrany begitu 1uas pe1ayanan, maka di


bawah ini disajikan rasio klaim terhadap premi dan terhadap penerimaan total. Penerimaan
PT Askes bersumber dari penerimaan premi dan dari penerimaan investasi dan penerimaan
lain-lain. Sejak sebe1um menjadi PT Askes, dana-dana cadangan teknis dan ke1ebihan
dana (sete1ah dipotong pajak penghasi1an badan, tantiem atau bonus bagi pengelola, dan
dividen kepada pemerintah) disimpan da1arn bentuk berbagai instrumen investasi. Tarnpak
pada garnbar 2.1 perkembangan aset, investasi, dan cadangan teknis PT Askes dari tahun
ke tahun. Hams disadari disini bahwa berkembangnya aset dan investasi sejak tahun 1993
antara lain juga ikut dipengaruhi oleh perkembangan bisnis asuransi komersia1nya,
meskipun jumlahnya masih jauh 1ebih keci1 dibandingkan dengan aset dan investasi dari
program sosia1nya. Tarnpak bahwa di tahun 1993 PT Askes te1ah memiliki aset sebesar Rp
400 mi1yar dengan investasi sebesar Rp 353 mi1yar. Cadangan teknis yang dikelola pada
saat itu berjumlah Rp 115 mi1yar. Pada tahun 1999 aset PT Askes te1ah berkembang
menjadi Rp 702 mi1yar dan investasi sebesar Rp 610 mi1yar. Cadangan teknis di tahun
1999 mencapai harnpir Rp 256 mi1yar. Melihat kinerja keuangan tersebut, Sampai tahun
1999 PT Askes masih mempunyai kinerja keuangan yang baik, yang da1arn kriteria
pemeriksa pemerintah (BPKlBPKP) masuk kategori sehat. Gambar 2.1 Perkembangan aset,
investasi, dan cadangan teknis PT Askes Indonesia 1993-1999 1993 1994 1995 1996 Tahun
1997 1998 1999 800.-------------------------------------------------. 600 f3 Aset m Investasi EI Cad
Tek ~ ~ ~400 ~ 200 o Sumber: Berbagai Laporan Kegiatan Usaha Perasuransian Indonesia,
1993-1999. Apabi1a dilihat dari kemampuan PT Askes mengendalikan biaya, maka
tarnpaknya Askes masih mampu mengendalikan biaya pe1ayanan. Perkembangan
penerimaan premi menurut harga berlaku hanya tumbuh rata-rata sebesar 17,1 % setahun
se1ama kurun waktu 1989-1999, akan tetapi perkembangan biaya kesehatan se1arna
periode yang sarna tumbuh dengan rata-rata sebesar 19,2% setahun. Perkembangan biaya
kesehatan

tersebut

te1ah

memperhitungkan

berbagai

upaya

pengendalian

biaya.

Ke1arnbatan pertumbuhan penerimaan premi ini dapat ditutupi dengan penerimaan lain-lain
seperti hasi1 investasi. Da1arn kurun waktu lima be1as tahun 1ebih, 1984-1999, Askes PNS
mempunyai rasio klaim terhadap AskesPNS 50 H Thabrany penerimaan premi tahun yang

sarna berkisar antara 54,5% sampai 93,3%. Rasio terendah terjadi di tahun 1993 sedangkan
rasio tertinggi terjadi di tahun 1991. Rata-rata rasio klaim terhadap penerimaan premi selama
kurun waktu tersebut adalah 72,1%. Cukup menggembirakan bahwa selama krisis ekonomi
berlangsung di Indonesia, khususnya tahun 1998 -1999, rasio klaim terhadap premi masih
dapat ditekan sampai 76,7% dan 82,4%. Pada kolom ketiga disajikan data rasio klaim
terhadap total pendapatan Askes. Tampak bahwa jika dilihat dari kinerja keuangan saja,
Askes memiliki kinerja yang baik karena rata-rata selama 15 tahun tersebut Askes hanya
menghabiskan 60% dana yang diterima untuk biaya kesehatan. Jika dilihat dari kedua rasio
klaim tersebut, Askes sehamsnya masih mampu memberikan pelayanan yang lebih baik
kepada pesertanya. Rasio klaim tersebut baik untuk program asuransi komersial yang tentu
saja hams membukukan keuangan yang memadai bagi pemegang saham. Rasio klaim ini
sangat jauh lebih rendah dari rasio klaim kebanyakan program asuransi sosial di negara lain.
Selisih antara penerimaan premi dan klaim dikenal dengan biaya administrasi untuk program
asuransi sosial. Jadi selama 15 tahun, rata-rata biaya administrasi adalah 27,9% dari premi
yang diterima. Angka ini jauh lebih tinggi dari biaya administrasi asuransi sosial di Amerika
(Medicare) yang 4%, Medicare Canada juga 4%, asuransi kesehatan nasional di Taiwan
bahkan hanya 3%, dan asuransi kesehatan sosial pluralistik di Jerman hanya menghabiskan
5% biaya administrasi", Besarnya prosentasi biaya administrasi dipengaruhi oleh besaran
premi yang diterima. Semakin besar premi yang diterima akan semakin kecil porsi biaya
administrasi. Di negara-negara maju dimana besaran premi sudah diperhitungkan dengan
baik dan dibuat untuk memberikan pelayanan yang memadai, maka rasio biaya administrai
akan jauh lebih rendah. Sayangnya di Indonesia belum ada standar berapa biaya
administrasi yang layak untuk suatu program asuransi sosial. 2.7. Upaya Pengendalian Biaya
dan masalah yang dihadapi Peraturan pemerintah menghamskan badan penyelenggara,
dalam hal ini PT Askes, terus mengembangkan sistem guna memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan pesertanya. Untuk itu, peraturan ini memberikan pedoman
pembayaran PPK dan penarikan dana melalui berbagai cara seperti iuran biaya (co
payment, cost sharing), pembayaran berdasarkanjumlah peserta (sistem kapitasi), sistem
anggaran! budget, sistem tarif berdasarkan kelompok pelayanan (sistem paket), dan tarif

berdasarkan diagnosa (DRG). Oleh karenanya PT Askes telah melaksanakan berbagai uji
coba sistem pembayaran kapitasi parsial, kapitasi "total" dan pembayaran sistem paket.
Pembayaran kapitasi total yang diselenggarakan oleh Askes belumlah merupakan
pembayaran kapitasi total yang kita kenaI di Amerika. Sebab pembayaran kapitasi total yang
dilakukan Askes tidak mentransfer risiko sepenuhnya kepada PPK. Dalam pembayaran
sistem kapitasi total Askes, Dinas Kesehatan diberikan plafon untuk pembayaran rawat jalan
rujukan dan rawat inap. Pembayaran ke rumah sakit tetap dilakukan oleh PT Askes. Dinas
Kesehatan hanya mendapat bonus jika jumlah rujukan tidak 4 Thabrany, H. Kegagalan
Asuransi Kesehatan Komersial. MKI, Juni 2000. AskesPNS 51 H Thabrany melampuai target
tertentu. Hal ini tentu saja tidak memberikan risiko berarti bagi Dinas Kesehatan untuk
mengendalikan biaya. Selain itu, para dokter dan manajer (kepada Dinas) juga tidak
mendapat insentif yang memadai untuk mengendalikan biaya karena biaya yang diterima
Puskesmas bukanlah menjadi hak mereka. 01eh karenanya sistem pembayaran kapitasi
yang dilakukan Askes tidak memberikan pengendalian biaya yang besar seperti yang
diharapkan terjadi secara teori atau yang terjadi di negara-negara maju. Namun demikian,
sistem kapitasi ini telah memberikan penurunan tren kenaikan biaya seperti yang dilaporkan
Sulastomo.' Tabel2.3 Perkembangan rasio klaim (biaya kesehatan) terhadap premi diterima
dan terhadap total pendapatan PT Askes, 1984-1999 Rasio Rasio klaim klaim/premi /total
Tahun diterima pendatan 1984 68,1% 62,3% 1985 83,0% 75,2% 1986 63,6% 57,3% 1987
70,3% 59,1% 1988 65,5% 52,2% 1989 72,2% 56,1% 1990 83,3% 67,3% 1991 93,3% 66,9%
1992 67,1% 53,2% 1993 54,5% 45,6% 1994 64,0% 54,7% 1995 66,9% 58,1% 1996 73,1%
61,8% 1997 68,8% 63,4% 1998 76,7% 61,1% 1999 82,4% 65,8% Rata-rata 72,1% 60,0%
Pembayaran prospektif yang digariskan oleh PP tersebut mengandung konsekuensi
pengorbanan mutu pelayanan dan utilisasi. Hal ini sudah diantisipasi dan karenanya PPK
yang dikontrak diharuskan memberikan pelayanan kesehatan sebaik-baiknya sesuai dengan
kebutuhan medis. Tentu saja karena pelayanan diberikan di fasilitas pemerintah dan dikelola
5 Sulastomo. Sistem Pembayran Kapitasi di PT Askes. Dalam Thabrany H dan Hidayat B
(Ed). Pembayaraan Kapitasi. FKMUI, Depok, 1998. AskesPNS 52 H Thabrany oleh pegawai
negeri, seharusnya hal itu tidak terjadi. Namun dalam praktek tentu bisa dimaklumi jika tidak

semua tenaga kerja di PPK memahami peraturan ini. Dalam prakteknya, banyak keluhan
peserta yang merasa tidak diberi penjelasan tentang hak-haknya. Sebenarnya dalam
peraturan disebutkan bahwa peserta berhak memperoleh penjelasan dari Pemberi
Pelayanan Kesehatan. Namun tidak semua PPKjuga memahami apa yang terjadi pada
sistem asuransi kesehatan pegawai negeri. Banyak tenaga kerja di PPK bahkan direktur RS
yang selalu mengeluh bahwa mereka dibayar dengan tidak memadai, dan tentu saja hal
berpengaruh pada pelayanan yang mereka lakukan. Falsafah dasar pembayaran Askes
kepada PPK diatur oleh SKB Menkes dan Mendagri adalah untuk mencukupi iuran yang
memang disadari tidak memadai. Surat ketetapan tarif ini bersifat nasional dengan
pengelompokan jenis RS bukan daerah. Pada kota-kota besar, biaya pelayanan jauh lebih
mahal karena memang tuntuan tenaga kerja di rumah sakit, fasilitas, dan biaya-biaya
operasional jauh lebih tinggi dari biaya rumah sakit sejenis di daerah. Tentu saja
pembayaran yang sama antara rumah sakit di kota besar dan di daerah menimbulkan
kesenjangan. Rumah sakit di kota pada umumnya tidak puas dengan besarnya penggantian
dari Askes sementara RS di kota kabupaten tidak mempersoalkan, bahkan bisa jadi lebih
senang dengan pembayaran Askes. Banyak dearah yang mematok tarif Perda perawatan,
pemeriksaan penunjang, dan tindakan medis yang sangat rendah, dengan harapan biaya
tersebut dapat terjangkau oleh semua pihak. Pada masa otonomi daerah, pembayaran
dengan tarif SKB menjadi masalah karena kini RSUD merasa tidak ada kaitan struktural
kerja dengan Depdagri atau Depkes. Oleh karenanya SKB Menkes dan Mendagri yang
mengatur pembayaran Askes ke RSUD dinilai tidak lagi cocok. Untuk RSUD di daerah yang
secara historis menetapkan tarif yang relatif rendah, pembayaran Askes mungkin tidak jadi
masalah. Akan tetapi RSUD di kota besar yang ingin mendapatkan pemulihan biaya (cost
recovery rate) yang memadai, bisa jadi tarif yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari
kemampuan Askes membayar. Oleh karenanya mulai ada suara-suara yang tidak menerima
tarif SKB. Namun demikian, sampai saat ini hal tersebut belum sampai pada penolakan
pasien Askes. Jalan keluar yang dikeluarkan oleh PT Askes adalah dengan memberikan
kewenangan kepada RS untuk menagih langsung selisih biaya antara tarif RS dengan
besarnya biaya yang dibayar Askes kepada pasien. Hal ini memang tidak bertentangan

dengan PP 69 karena memang disitu iur biaya dibenarkan. Namun yang menjadi masalah
adalah berapa besarnya iur biaya tersebut. Di negara-negara lain iur biaya biasanya terbatas
sebagai alat kendali utilisasi tetapi tidak memberatkan peserta. Di Amerika dan Jepang, iur
biaya biasanya berkisar pada 20-30% saja dengan batas maksium tertentu. Namun dalam
kasus Askes banyak keluhan bahwa iur biaya menjadi besar sekali, lebih besar dari yang
dijamin oleh Askes. Jika hal ini terus berlanjut asuransi menjadi tidak ada manfaatnya.
Dalam perjalanan Askes yang melampaui usia 30 tahun, banyak terjadi perubahan
demografis dan epidemiologis pada peserta. Penyakit kronis semakin meningkat sementara
iuran dihitung atas dasar pola penyakit lama yang masih lebih banyak penyakit menular.
Pengobatan penyakit kronis memakan waktu lama dan memakan biaya yang jauh lebih
besar daripada pengobatan penyakit menular. Sebagai ilustrasi dapat dilihat perkembangan
kasus AskesPNS 53 H Thabrany gaga1 ginja1 dan tindakan hemodialisa (Tabe1 2.3) yang
menunjukkan kenaikan pesat dari tahun ke tahun. Kasus- kasus seperti ini dapat menyerap
dana sampai 10% dari total biaya kesehatan. 01eh karenanya sehamsnya besaran premi
disesuaikan dengan perkembangan po1a penyakit tersebut. Apabi1a ha1 ini tidak di1akukan
sementara PT Askes masih tetap berbentuk PT Persero, maka manfaat Askes kepada
pesertanya akan semakin menurun. Table 2.3 Tren kenaikan jumlah penderita gagal ginjal
dan tindakan hemodialisis 1989-1994 Tahun Jum1ah Jumlah penderita tindakan 1989 481
23.882 1990 800 32.336 1991 1.059 42.511 1992 1.327 53.735 1993 1.567 65.015 1994
1.740 80.421 Upaya pengendalian biaya me1a1ui negosiasi dengan rumah sakit dan
puskesmas atau menghimbau dokter spesialis menggunakan obat yang 1ebih rasiona1
menghadapi berbagai kenda1a. Salah satu kenda1a penting ada1ah bentuk badan hukum
PT Persero yang tidak seja1an dengan penye1enggaraan asuransi sosial. Sejak awa1
Menteri Siwabessy mengharapkan pengumpu1an dana asuransi kesehatan ini bukan untuk
cari untung. Namun demikian, pandangan pengambi1 keputusan pemerintah hanya melihat
bahwa bentuk Persero 1ebih mampu meningkatkan mutu pe1ayanan dan menghasi1kan
1aba tanpa melihat misi utama asuransi sosial. Banyak RS yang mengatakan bahwa "mas a
kami RSU hams mensubsidi PT yang mencari untung?". Dengan pembayaran RS yang jauh
1ebih rendah sehingga direktur RS hams memutar aka1 menutupi selisih biaya untuk pasien

Askes berarti RS mensubsidi Askes. Sementara PT Askes terns membukukan 1aba. Hal ini
yang menimbu1kan kecemburuan di ka1angan pengelola RS pemerintah. Sementara itu,
1aba yang dipero1ah Askes tidak dirasakan manfaatnya oleh peserta, padaha1 setiap bulan
gaji peserta dipotong sebagai premi. Sarna ha1nya dengan Jamsostek, bentuk Persero ini
mernpakan bentuk yang tidak konsisten sebagai pengelola asuransi sosial. Sehamsnya lab a
yang diterima menjadi hak peserta bukan hak pemerintah, sebagai pemegang saham.
Ketidak sesuaian ini sebenamya dapat dise1esaikan apabi1a PP yang mengatur PT Askes,
meskipun berbentuk Persero, disebutkan khusus sebagai 1embaga not for profit. Contoh ha1
ini terdapat di Filipina dimana the Philippine Health Insurance Corporation je1as-je1as
disebutkan sebagai 1embaga nir1aba. AskesPNS 54 H Thabrany BAB3 lPK lamsostek 3.1.
Pendahuluan Program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) merupakan suatu program
jaminan yang diselenggarakan pemerintah untuk memenuhi Konvensi ILO (International
Labour Organization) tentang hak-hak tenaga kerja yang meliputi program jaminan hari tua
(JHT), jaminan kematian (JKM), jaminan kecelakaan kerja (JKK), dan jaminan pemeliharaan
kesehatan (JPK). Sebagai salah satu negara yang meratifikasi (negara pihak) konvensi
international tersebut yang sudah disepakati hampir setengah abad yang lalu, Indonesia
berkewajiban memenuhi hak-hak tenaga kerja. Dalam pemenuhan hak-hak tenaga kerja
tersebut, Indonesia telah mengeluarkan UU No.3/1992 tentang Jamsostek. Undang-undang
ini dikeluarkan dalam waktu hanya semingga setelah UU No. 2/92, tentang asuransi yang
secara eskplisit memberikan ijin kepada perusahaan asuransi jiwa dan kerugian untuk
menjual produk asuransi kesehatan. Program jaminan sosial merupakan program yang
diselenggarakan oleh semua negara maju di dunia dan merupakan program pemerintah
dalam rangka ketahanan nasional dalam bidang sosial. Luasnya program jaminan sosial
tergantung dari kemampuan ekonomi dan kemampuan umum suatu negara. Organisi tenaga
kerja dunia dalam Konvensi Jaminan Sosial No 102/52 menetapkan sembilan macam
program yang merupakan bagian dari jaminan sosial, yaitu: pemeliharaan kesehatan,
tunjangan sakit, jaminan hamil dan bersalin (maternity benefit), santunan kecelakaan kerja,
tunjangan cacat, tunjangan kematian, tunjangan hari tua, santunan pengangguran, dan
tunjangan keluarga. Secara umum Indonesia sudah hampir memenuhi kesembilan program

tersebut, hanya saja beberapa program digabung menjadi satu. Istilah program JPK yang
digunakan memang tidak lepas dari pengaruh Departemen Kesehatan yang pada saat yang
sama mengembangkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
yang akan dibahas pada Bab 4. Program Jamsostek wajib diikuti oleh seluruh pemberi kerja
(perusahaan, dalam artian seluruh lembaga yang menjalin hubungan ketenaga-kerjaan
termasuk diantranya lembaga seperti yayasan, rumah sakit, sekolah, lembaga swadaya
masyarakat, dsb.). Untuk tahap pertama program ini hanya diwajibkan kepada pemberi kerja
atau majikan yang memiliki 10 orang karyawan atau lebih, atau membayar upah lebih dari
Rp 1 juta per bulan. Jadi pemberi kerja yang hanya memiliki empat orang karyawan tetapi
membayar upah (bukan gaji pokok, tetapi take home pay) lebih dari Rp 1 juta untuk keempat
karyawan tersebut, wajib mengikut sertakan tenaga kerjanya pada program Jamsostek. UU
Jamsostek kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No 14/93 yang menjabarkan
lebih lanjut tentang program secara rinci. Lebih lanjut, pasal-pasal dalam PP JPK Jamsostek
55 HThabrany tersebut dijabarkan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 5/93. Dalam
UU No 2/92 tidak disebutkan bahwa penyelenggara program Jamsostek adalah PT (Persero)
Jamsostek. Penunjukkan PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara adalah berdasarkan
PP No 36/95. Sebelum PP ini dikeluarkan penyelenggaraan Jamsostek dilaksanakan oleh
PT Astek yang merupakan pendahulu PT Jamsostek. 3.2. Perbedaan lPK lamsostek dengan
Program lamsostek Lainnya Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek adalah
bagian dari program jaminan sosial tenaga kerja. Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga
program lainnya, program JPK memiliki perbedaan sebagai berikut: 1. Program JPK
merupakan program yang manfaatnya (benefit) diberikan dalam bentuk pelayanan sementra
ketiga program lainnya manfaat diberikan dalam bentuk uang tunai. 2. Yang menjadi
tertanggung (berhak menerima manfaat) tidak hanya tenaga kerja akan tetapi anggota
keluarga tenaga kerja juga berhak memperoleh jaminan 3. Sifat kepesertaan JPK adalah
wajib bersyarat sementra ketiga program lainnya wajib mutlak. Pemberi kerja yang telah
memiliki program JPK yang lebih baik boleh tidak mendaftarkan karyawannya kepada PT
Jamsostek. 4. Besarnya kontribusi/premi antara tenaga kerja lajang dan tenaga kerja yang
telah berkeluarga berbeda besarnya. Untuk tenaga kerja lajang besamya premi adalah 3%

upah sementara untuk tenaga kerja kawin besarnya premi adalah 6% dari upah sebulan. 5.
Terdapat batas penghasilan dimana kontribusi karyawan dibatasi (cap/ceiling) sampai upah
sebesar Rp 1 juta per bulan. Jadi untuk tenaga kerja kawin yang bergaji Rp 5 juta per bulan
besarnya premi adalah Rp 60.000 (6%), sama be saran premi untuk tenaga kerja bergai Rp
1 juta. 6. Bersama dengan program JKK dan JKM, program JPK merupakan program
berbasis asuransi sosial sedangkan program JHT berbasis program tabungan. 3.3.
Manfaat/Paket laminan lPK lamsostek Pemberian paket JPK Jamsostek menggunakan
teknik-teknik managed care, khususnya HMO di Amerika. Oleh karena itu, jaminan yang
diberikan meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif akan tetapi aspek kuratif
dan rehabilitatif lebih ditekankan. Secara singkat paket jaminan JPK dijelaskan dalam UU
menjamin pelayanan sebagai berikut: 1. Rawat jalan tingkat pertama 2. Rawat jalan tingkat
lanjutan/rujukan 3. Rawat inap minimal rawat mondok satu hari dengan rujukan. Pelayanan
rawat inap diberikan di RSU pusat dan daerah dan RS Swasta yang ditunjuk JPK Jamsostek
56 HThabrany 4. Pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan baik persalinan normal
maupun persalinan patologis dan/atau gugur kandungan 5. Penunjang diagnostik yang
dipandang perlu oleh pelaksana pelayanan kesehatan rujukan yang meliputi pemeriksaan
laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lain 6. Pelayanan khusus yang meliputi
kaca mata, prothese gigi, alat bantu dengar, prothese anggota gerak, dan prothese mata. 7.
Pelayanan gawat darurat yang merupakan pelayanan yang hams segera dilakukan untuk
menghindari hal yang fatal bagi penderita. Paket jaminan tersebut dijabarkan lebih lanjut
dalam PP 14/93 dan dalam Peraturan Menaker No. 05/Men/1993. Secara rinei jabaran lebih
lanjut tentang JPK adalah sebagai berikut: Table 1. Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Jamsostek Menurut Peraturan yang berlaku Paket Diatur PP 14/93, pasal Diatur Permenaker
05/93 pasal 20-40 33-46 Jumlah Istri/suami yang sah dan anak tertanggung sebanyakbanyaknya 3 (tiga) orang Paketjaminan Semua tertanggung berhak atas paket jaminan dasar
diberikan secara menyeluruh, terstruktur, terpadu, dan berkesinambunzan Pemberian 1.
Pelayanan diberikan oleh Paket rawat jalan tingkat I meliputi pelayanan pelaksana pelayanan
pelayanan: kesehatan (PPK) 1. Bimbingan dan konsultasi berdasarkan petjanjian 2.
Pemeriksaan kehamilan, nifas, dan ibu tertulis dengan PT menyusui Jamsostek 3. Keluarga

berencana 2. PT Jamsostek membayar 4. Imunisasi bayi, anak, dan ibu menyusui PPK
secara praupaya 5. Pemeriksaan dan pengobatan dokter dengan sistem kapitasi umum 3.
Pelayanan diberikan sesuai 6. Pemeriksaan dan pengobatan dokter gigi kebutuhan medis
dan 7. Pemeriksaan laboratorium sederhana standar pelayanan dengan 8. Tindakan medis
sederhana memperhatikan mutu 9. Obat DOEN (Daftar Obat Esensial pelayanan Nasional)
Plus 4. Tertanggung dapat 10. Rujukan ke rawat jalan II memilih PPK yang Pelayanan
rujukan meliputi: ditunjuk badan 1. Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter penyelenggara
spesialis 5. Dalam keadaan tertentu 2. Pemeriksaan penunjang diagnostik tertanggung
dapat lanjutan menerima pelayanan dari 3. Obat DOEN Plus atau generik PPK di luar yang
ditunjuk 4. Tindakan khusus lainnya JPK Jamsostek 57 HThabrany Paket Diatur PP 14/93,
pasal Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Pelayanan rawat jalan I 1.
PPK I meliputi: Balai pengobatan, kesehatan diberikan oleh PPK I Puskesmas, dan Dokter
umum praktek rujukan 2. Apabila diperlukan swasta rujukan, maka PPK I hams 2. Peserta
hams memilih satu PPK I dimana memberikan surat rujukan ia akan mendapat pelayanan
tingkat I kepada PPK rujukan yang 3. Pelayanan dokter spesialis memerlukan ditunjuk rujuan
dari PPK I 4. Pelayanan tindakan/pemeriksaan spesialistik memerlukan rujukan dari dokter
spesialis Pelayanan 1. Pelayanan rawat inap yang 1. Pelayanan rawat inap meliputi: rawat
inap melebihi ketentuan pemeriksaan dokter, tindakan medis, Menaker maka selisih
penunjang diagnostik, obat DOEN biayanya hams dibayar Plus/generik, menginap dan
makan sendiri oleh peserta 2. Maksimum rawat inap adalah 60 hari termasuk perawatan
ICU/ICCU untuk tiap jenis penyakit dalam satu tahun 3. Maksimum rawat inap ICU?ICCU
adalah 20 hari 4. Standar rawat inap adalah di kelas II RS pemerintah atau kelas III RS
Swasta Pelayanan 1. Dalam keadaan gawat Termasuk kategori gawat darurat adalah: gawat
darurat darurat tertanggung dapat 1. Kecelakaan/ruda paksa bukan akibat langsung
menerima kerja pelayanan dari PPK 2. Seranganjantung terdekat 3. Serangan asma berat 2.
Apabila diperlukan rawat 4. Kejang inap, maka dalam tempo 7 5. Pendarahan berat (tujuh)
hari peserta hams 6. Muntah berak dengan dehidrasi menyerahkan bukti bahwa 7.
Kehilangan kesadaran/koma termasuk ia masih bekerja ayan 3. Apabila perawatan 8.
Gelisah atau gangguanjiwa diberikan di luar RS yang 9. Persalinan mendadak, perdarahan,

dan ditunjuk, maka jaminan ketuban pecah dini hanya diberikan sampai 7 (tujuh) hari dengan
standar biaya yang ditetapkan JPK Jamsostek 58 HThabrany Paket Diatur PP 14/93, pasal
Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Diberikan di rumah 1. Hanya
persalinan I, II, dan III yang kehamilan dan bersalin yang ditunjuk ditanggung yang ditolong
dokter

persalinan

2.

Apabila

terdapat

umum,

bidan

atau

dukun

yang

diakui

penyulitlkomplikasi maka 2. Apabila sewaktu masuk Jamsostek pelayanan dapat diberikan


sudah memiliki tiga anak, persalinan diRS tidak lagi ditanggung 3. Persalinan yang
ditanggung adalah jika usia kehamilan mencapai 26 minggu atau lebih 4. Lama menginap
persalinan yang ditanggung adalah antara 3-5 hari, termasuk perawatan ibu dan bayi 5.
Persalinan dengan penyulit yang memerlukan tindakan spesialistik diperhitungkan sebagai
kasus rawat inap biasa 6. Biaya persalinan normal tiap anak Rp 50.000 (1993), Rp 75.00 di
tahun 1997 dankiniRp ... Obat 1. Resep obat hams diambil Obat yang ditanggung adalah
obat yang di apotik yang ditunjuk termasuk dalam DOEN Plus atau generik. 2. Obat yang
diberikan Jumlahjenis obat dalam daftar ini adalah standar obat yang mencakup .. jenis
obat ditetapkan Jamsostek 3. Apabila obat yang diberikan di luar standar, maka selisih biaya
menjadi tanggungan peserta JPK Jamsostek 59 HThabrany Paket Diatur PP 14/93, pasal
Diatur Permenaker 05/93 pasal 20-40 33-46 Pelayanan 1. Kaca mata hanya diberikan 1.
Tindakan diagnostik yang ditanggung khusus melalui optik yang meliputi pemeriksaan
elektro ditunjuk atas dasar resep ensefalografi (EEG), elektro dr. spesialis mata kardiografi
(BeG), Ultra sonografi 2. Prothese mata hanya (USG), dan computerized tomography
diberikan melalui RS atau scanning (CT-scan). perusahaan alat kesehatan Besamya
maksimum biaya penggantian atas resep dr. spesialis adalah sebagai berikut (1997): mata 2.
Frame dan lensa Rp 60.000 3. Prothese gigi diberikan di 3. Lensa tiap dua tahun Rp 30.000
balai pengobatan gigi yang 4. Frame tiap tiga tahun Rp 20.000 ditunjuk atas dasar resep 5.
Prothese mata Rp 100.000 seorang drg. 6. Prothese gigi Rp 100.000 4. Alat bantu dengar 7.
Prothese tangan Rp 125.000 diberikan di RS atau 8. Prothese kaki Rp 150.000 perushaan
alat kesehatna 9. Alat bantu dengar Rp 100.000 yang ditunjuk atas dasar 10. Penggantian
prothese dan orthese resep dr. spesialis THT akibat rusak atau hilag tidak diganti 5.
Prothese anggota gerak hanya diberikan di RS Rehabilitasi atas dasar resep dr. spesialis

Lain-lain 1. PT Jamsostek melakukan Pelayanan yang dipantau meliputi angka pemantauan


mutu kunjungan, pemakaian obat, rujukan pelayanan yang diberikan penunjang diagnostik,
dan lama perawatan olehPPK Pelayanan yang tidak ditanggung oleh JPK Jamsostek adalah:
I. Pelayanan kesehatan di luar PPK yang ditunjuk 2. Penyakit atau cedera yang diakibatkan
karena hubungan kerja dan karena kesengajaan 3. Penyakit yang diakibatkan oleh alkohol,
narkotik, penyakit kelamin, dan AIDS 4. Perawatan kosmetik 5. Pemeriksaan kesehatan
berkala (medical check up) 6. Transplantasi organ tubuh, termasuk sumsum tulang 7.
Pemeriksaan dan tindakan untuk kesuburan/fertilitas 8. Penyakit kanker 9. Hemodialisa 10.
Obat-obat vitamin, berbentuk makanan tambahan atau susu, susu bayi, obat gosok, obat
infertilitas, dan obat kanker. 11. Alat perawatan seperti termometer dan eskap 12. Biaya
transportasi ke dan dari PPK 13. Biaya tindakan medik superspesialistik JPK Jamsostek 60
HThabrany Seperti telah dijelaskan diatas, program JPK Jamsostek menggunakan teknikteknik HMO dalam pengendalian biayanya. Teknik-teknik yang digunakan adalah: 1. Peserta
hams menggunakan PPK I yang telah menjalin kontrak dengan Jamsostek. Apabila peserta
tidak menggunakan PPK I yang ditunjuk, maka peserta hams menanggung sendiri biaya
pelayanan, kecuali dalam keadaan gawat darurat. 2. Untuk mendapatkan pelayanan rujukan
seperti pemeriksaan oleh dokter spesialis atau perawatan di rumah sakit, diperlukan surat
rujukan dari PPK I. Tanpa rujukan peserta tidak dapat mendapatkan pelayanan rujukan 3.
Pembayaran kepada PPK dilakukan dengan sistem kapitasi. Dalam prakteknya, pembayaran
kapitasi pada umumnya dilakukan kepada PPK I saja. Sedangkan kepada rumah sakit,
pembayaran kapitasi hanya dilakukan pada daerah tertentu yang jumlah pesertanya
memadai (purwoko dan Masud, 1998). Di Jakarta dan di berbagai cabang lainnya, PT
Jamsostek mengontrakkan kepada bapel JPKM (kini tidak lagi menjadi kehamsan) secara
kapitasi untuk selanjutnya melakukan kontrak kepada berbagai PPK. Bapel JPKM dan badan
lainnya ini disebut Main Provider. 4. Mengadakan telaah utilisasi dan pengendalian mutu
pelayanan. Ratio pelayanan rujukan dengan kunjungan PPK I yang terlalu rendah atau
terlalu tinggi merupakan indikasi untuk telaah selanjutnya. Begitu juga dengan lama hari
rawat yang panjang atau terlalu pendek menjadi indikator untuk telaah utilisasi. 3.4.
Perkembangan lPK lamsostek Program JPK Jamsostek dimulai dengan penyelenggaraan

pilot proyek Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja di lima Propinsi selama lima
tahun sebelum UU Jamsostek disahkan. Jumlah peserta mencapai lebih dari 70.000 orang.
Pengelolaan uji coba dilakukan oleh PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) yang juga
sebuah persero yang pada waktu itu hanya mengelola asuransi kecelakaan kerja. Atas dasar
uji coba yang bersifat sukarela itulah kemudian JPK Jamsostek diperluas dengan
menjadikan program JPK wajib melalui UU Jamsostek. Namun demikian dalam PP 14/93,
kewajiban itu dibatasi hanya pada pemberi kerja yang belum memberikan jaminan kesehatan
yang lebih baik dari yang diberikan oleh JPK Jamsostek. Klausul opsional (opt-out) ini antara
lain, menurut satu sumber di Jamsostek sendiri, menunjukkan bahwa PT Jamsostek belum
siap untuk mengelola jumlah peserta yang sangat besar. Disisi lain, dalam proses
perundang-undangan, banyak sekali perusahaan asuransi yang menuntut agar mereka
diberikan ruang untuk berbisnis dalam bidang asuransi kesehatan. Apalagi UU No 2/92
tentang asuransi juga dikeluarkan pada bulan Februari juga dan peraturan pemerintah untuk
kedua UU tersebut juga baru dikeluarkan setahun kemudian. Antara UU dan dikeluarkannya
PP cukup banyak tersedia waktu melobi pemerintah untuk mengatur pelaksanaan program
Jamsostek. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa pada akhimya kemudian PP 14/93
memberikan peluang kepada perusahaan asuransi untuk mengambil kue dalam program
JPK Jamsostek. JPK Jamsostek 61 HThabrany Provisi opt-out dimana perusahaan atau
pemberi kerja (untuk mudahnya selanjutnya disebut perusahaan) dapat membeli asuransi
kesehatan atau

menyediakan sendiri pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi

perkembangan program JPK Jamsostek. Meskipun klausul tersebut menyebutkan bahwa


perusahaan yang diberikan harus lebih baik dari yang diberikan JPK Jamsostek, dalam
prakteknya hal ini belum bisa dikendalikan. Pada bulan Februari 1998, Menteri Tenaga Kerja
mengeluarkan surat keputusan menteri tentang kriteria pelayanan yang lebih baik.
Permenaker No 5/93 juga mengharuskan perusahaan tersebut menyampaikan laporan
secara periodik tentang jaminan kesehatan yang diberikan kepada karyawannya. Namun
demikian, hingga saat ini penegakkan hukum tentang hal ini belum berjalan sebagaimana
mestinya. Akibatnya perusahaan yang tidak memberikan jaminan kesehatan kepada
karyawannya, alias melanggar UU Jamsostek, tidak mendapatkan sangsi. Tentu saja hal ini

tidak mendorong perusahaan untuk bergabung dengan Jamsostek. Di lain pihak, banyak
perushaan yang menilai bahwa jaminan yang diberikan Jamsostek tidak memenuhi harapan
mereka, baik kualitasnya maupun jumlahnya. Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak
mendaftarkan karyawannya ke Jamsostek. 01eh kerena itu perkembangan kepesertaan JPK
Jamsostek berjalan sangat lamban, jika dibandingkan dengan potensi jumlah peserta yang
memenuhi syarat. Tabel 3.1 menyajikan perkembangan jumlah perusahaan, peserta (tenaga
kerja), tertanggung (anggota keluarga), besarnya penerimaan premi JPK dan rasio klaim
(biaya medis) terhadap premi yang diterima. Tabel3.1 Perkembangan Jumlah Peserta dan
Tertanggung JPK Jamsostek, 1991-2000 Tahun Pemberi Tenaga Kerja Tertanggung Premi
diterima Rasio biaya Kerja (RpOOO) medis (%) 1991 723 85,926 199,695 4,553,000 63.9
1992 958 110,345 238,022 8,280,000 62.2 1993 3,419 256,402 537,173 13,657,000 59.1
1994 5,624 458,257 963,619 28,263,000 67.5 1995 8,034 698,052 1,414,175 44,365,000
80.7 1996 9,452 961,594 1,725,618 64,314,563 79,7 1997 10,892 989,094 1,949,011
86,233,060 76.1 1998 14,225 1,110,478 2,338,075 100,220,435 88.5 1999 15,628
1,235,818 2,567,576 136,103,858 74,6 2000 16,707 1,321,844 2,699,977 155,360,770 65,4
Rata-rata Rata-rata tumbuh 53% 40% 38% 51% 72% 91-2000 (%) ... Sumber: PT
Jamsostek, Divisi JPK, 2001 Jika dilihat dari pertumbuhan jumlah perusahaan, peserta, dan
penerimaan premi maka kinerja yang JPK Jamsostek cukup baik. Jumlah perusahaan yang
mendaftarkan karyawannya ke JPK Jamsostek meningkat rata-rata 53% setahun. Jumlah
karyawan meningkat rata-rata 40% setahun sedangkan jumlah tertanggung meningkat
hanya 38% per JPK Jamsostek 62 HThabrany tahun. Artinya, semakin hari lebih banyak
karyawan bujang atau keluarga kecil yang bergabung dengan JPK Jamsostek. Data ini juga
menunjukkan bahwa kebanyakan hanya perusahaan kecil, rata-rata 91 karyawan per
perusahaan selama 10 tahun, yang mendaftarkan diri pada program JPK Jamsostek. Namun
apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang seharusnya mendaftar pada JPK
Jamsostek, jumlah tersebut masih sangat sedikit. Peraturan Pemerintah No. 14/93 yang
mewajibkan pemberi kerja yang membayar upah lebih dari Rp 1 juta per bulan wajib
mendaftarkan karyawannya kepada Jamsostek. Peraturan ini masih berlaku sampai saat ini.
Apabila peraturan ini ditegakkan, maka paling tidak 100 juta orang seharusnya sudah

mendapatkanjaminan dari JPK Jamsostek. Perorangan yang mempunyai seorang sopir dan
dua pembantu sudah terkena kewajiban ini, karena untuk ukuran Jakarta dengan upah
minimum Rp 426.000 per bulan, orang tersebut sudah termasuk pemberi kerja yang wajib
mendaftarkan ke JPK Jamsostek. Jika dilihat jumlah tertanggung yang hanya mencapai 2,7
juta jiwa di tahun 2000, jumlah ini kurang dari 3% dari jumlah penduduk yang memenuhi
syarat. Jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terdaftar pada ketiga program
Jamsostek lainnya yang mencapai 18,8 juta jiwa, pendaftar JPK hanya mencapai 1,3 tenaga
kerja. Ini berarti hanya 6,9% tenaga kerja yang mengambil JPK dari seluruh peserta
terdaftar', Jika dibandingkan dengan potensi tenaga kerja yang menjalin hubungan kerja,
yang menurut survei ILO berjumlah 56,2 juta", maka jumlah tenaga kerja terdaftar pada JPK
hanya 2,5% dari potensi tenaga kerja. Pertumbuhan penerimaan premi mencapai rata-rata
51 % per tahun dari Rp 4,5 milyar di tahun 1991 menjadi Rp 155 milyar di tahun 2000.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan penerimaan premi oleh perushaan asuransi
komersial, maka besarnya premi yang diterima JPK Jamsostek jauh lebih rendah. Total
premi asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dari perusahaan asuransi komersial di tahun
1999 mencapai Rp 722 milyar.' Jika diperhitungkan besamya premi yang diterima per kapita,
maka di tahun 1991 JPK Jamsostek menerima premi sebesar Rp 22.800 per kapita per
tahun sedangkan di tahun 2000 besarnya mencapai Rp 57,542 per kapita per tahun. Jika
jumlah itu dibagi 12, maka premi bulanan yang diterima JPK Jamsostek di tahun 2000 hanya
mencapai Rp 4.795,-. Jelas jumlah tersebut sangat kecil untuk menutupi kebutuhan
kesehatan yang relatif luas. Bandingkan dengan premi sebesar Rp 125.520 per jiwa per
bulan untuk jaminan rawat inap saja dengan santunan tahun pertama Rp 100.000,- yang
dijual PT Central Asia Raya.' Namun jia dilihat dari rasio klaim yang rata-rata hanya 72% dari
premi yang diterima, PT Jamsostek tidak mengalami kerugian dalam mengelola JPK. Hal ini
dapat terjadi karena pelayanan yang diberikan menggunakan teknik-teknik managed care
tertutup sehingga biaya dapat terkendali. Hanya saja untuk bisa mengendalikan biaya yang
sekecil itu, diperlukan upaya yangkeras. Jika diperhatikan besarnya kontribusi dari gaji per
tenaga kerja (TK) maka tampak bahwa tenaga kerja yang terdaftar pada umumnya adalah
tenaga kerja berupah rendah. Jika pada tahun 2000 rata-rata premi per tenaga kerja adalah

Rp 9.794, maka dapat diperkirakan besarnya upah tenaga kerja tersebut. Jika diambil ratarata premi sebesar 4,5% maka upah per 1 Djaelani. F. Perkembangan Asuransi Kesehatan
di Indonesia. Seminar N asional Asuransi Kesehatan, Jakarta, Oktober 2000. 2 Iklan pada
harlan Kompas, 22 September 2001 JPK Jamsostek 63 HThabrany bulan tenaga kerja yang
didaftarkan rata-rata hanya Rp 217,650 per bulan. Jelas upah tersebut merupakan upah di
bawah upah minimum. Perkembangan premi per tenaga kerja hanya tumbuh sebesar ratarata 11 % dalam sembilan tahun terakhir dan premi per kapita tumbuh rata-rata dengan 13%
per tahun. Jelas perkembangan premi ini tidak bisa mengikuti perkembangan biaya
kesehatan yang lebih tinggi. Tabel3.2 Analisis perkembangan premi JPK Jamsostek, 19912000 Premi ier bulan Ratio Ratio Pertumbuhan (%) Tahun PerTK Per kapita TTGITK TKipers
PremilTK Premi/ kapita 1991 4.416 1.900 2,3 119 - - 1992 6.253 2.899 2,2 115 42% 53%
1993 4.439 2.119 2,1 75 -29% -27% 1994 5.140 2.444 2,1 81 16% 15% 1995 5.296 2.614
2,0 87 3% 7% 1996 5.574 3.106 1,8 102 5% 19% 1997 7.265 3.687 2,0 91 30% 19% 1998
7.521 3.572 2,1 78 4% -3% 1999 9.178 4.417 2,1 79 22% 24% 2000 9.794 4.795 2,0 79 7%
9% Rata-rata 2,1 91 11% 13% 3.5. Masalah-masalah yang dihadapi Dalam perkembangan
JPK Jamsostek yang hampir 10 tahun, tampak jelas sekali bahwa JPK Jamsostek tidak
masih jauh dari tujuan jaminan sosial untuk memberikan perlindungan yang memadai
kepada seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Tujuan tersebut tidak bisa tercapai tanpa
perubahan mendasar berbagai peraturan JPK Jamsostek. Berbagai masalah struktural yang
terdapat dalam peraturan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Opsi boleh tidak ikut JPK
Jamsostek dimanfaatkan oleh perusahaan untuk tidak mengikuti JPK Jamsostek. Disinyalir
banyak perusahaan yang tidak memberikan jaminan kesehatan kepada karyawannya
sekalipun tidak mendaftarkan tenaga kerjanya ke JPK Jamsostek. 2. Batas gaji untuk
perhitungan premi yang masih tetap Rp 1 juta sebulan sering ditafsirkan sebagai hanya
pegawai yang bergaji rendah saja yang wajib ikut JPK Jamsostek. Padahal sebenarnya
seluruh tenaga kerja harus menjadi peserta, akan tetapi untuk yang gajinya lebih dari Rp 1
juta hanya membayar premi maksimum Rp 60.000. Batas ini membuat iuran JPK tidak akan
memadai untuk memberikan pelayanan yang bermutu dan lebih luas. Jika hal ini berlanjut,
maka pelayanan yang JPK Jamsostek 64 HThabrany diberikan JPK Jamsostek akan

semakin menurun kualitasnya. Batas besaran upah ini juga menyebabkan tidak optimalnya
subsidi silang yang diharapkan terjadi pada program jaminan sosial. 3. Hanya perusahaan
yang diwajibkan membayar premi sementara tenaga kerja tidak diwajibkan. Hal ini tidak
menimbulkan rasa memiliki oleh tenaga kerja. Di berbagai belahan dunia, tenaga kerja
biasanya ikut berkontribusi sehingga terdapat rasa memiliki karena merekajuga ikut
membayar. Bagi pengusaha, kewajiban yang hanya dibebankan kepadanya sering dirasakan
sebagai beban sehingga banyak yang tidak melaporkan besar upah atau jumlah karyawan
yang sebenarnya untuk mengurangi kewajiban membayar premi. 4. Jaminan kesehatan ini
tidak diberikan kepada mereka yang telah pensiun atau tidak lagi dalam hubungan kerja.
Akibatnya, para pensiunan yang tidak lagi menerima upah dan mempunyai risiko sakit yang
lebih tinggi tidak mendapatkan jaminan. Hal ini menjadi beban yang berat bagi penduduk
lanjut usia (lansia) di Indonesia. Begitu juga mereka yang terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK) tidak mendapatkan jaminan selama mereka belum bekerja di tempat baru. 5.
Batas jaminan sampai anak ketiga dan persalinan ketiga yang bertujuan untuk menunjang
program KB menimbulkan diskriminasi bagi anak keempat. Hal ini akan menjadi beban berat
bagi tenaga kerja, khususnya bila anak keempat atau persalinan keempat menderita suatu
penyakit atau penyulit berat. 6. Cakupan pelayanan yang tidak menjamin pengobatan kanker
dan hemodialisa dapat memberatkan ekonomi tenaga kerja, bukan saja bagi mereka yang
berpenghasilan rendah tetapi juga yang berpenghasilan tinggi. 7. Rumitnya pengelolaan JPK
dan tingginya rasio klaim dibandingkan dengan tiga program lainnya tentu saja kurang
memberi insentif kepada PT Jamsostek sendiri untuk mendorong pertumbuhan peserta yang
tinggi. Hal ini juga ditambah kurangnya tenaga yang menguasai dan mau memberikan
perhatian khusus kepada JPK Jamsostek. 8. Penegakan hukum terhadap pelanggaran oleh
perusahaan, seperti pelaporan upah yang lebih rendah dari yang sebenarnya, tidak
mendaftarkan JPK padahal juga tidak memberikan jaminan, dan berbagai pelanggaran
lainnya tidak berada pada PT Jamsostek. Penegakkan hukum merupakan kewenangan
Depnakertrans. Visi dan pemahaman pentingnya jaminan sosial antara petugas di PT
Jamsostek dan di Depnakertrans mungkin sangat berbeda sehingga tidak terjadi koordinasi
yang baik. 9. Besarnya denda bagi perusahaan yang melanggar sebesar Rp 50 juta

merupakan sanksi yang ringan sehingga tidak mendorong perusahaan untuk secara aktif
mengikuti program ini. 10. Rumitnya manajemen akibat tingginya mutasi tenaga kerja, baik
karena pindah kerja, perubahan status perkawinan, penambahan atau pengurangan anggota
keluarga, dsb., belum ditunjang oleh sistem informasi yang memadai. 11. Bentuk badan
hukum PT Persero yang bersifat pencari laba tidak konsisten dengan sifat penyelenggaraan
jaminan sosial yang wajib yang bertujuan memaksimalkan pelayanan bagi peserta. Bentuk
badan hukum ini juga telah menimbulkan banyak campur tangan pemerintah, selaku
pemegang saham, terhadap manajemen Jamsostek. Sehamsnya pesertalah yang lebih
menentukan manajemen. Oleh karenanya perubahan bentuk badan hukum menjadi Trust
Fund yang dikendalikan secara tri- JPK Jamsostek 65 HThabrany partit (pengusaha, tenaga
kerja, dan pemerintah) sedang dalam pertimbangan. Selain itu, karena bentuk persero ini
juga timbul kesalah-fahaman bahwa Jamsostek bertentangan dengan UU anti monopoli.
Undang-undang anti monopoli berlaku untuk usaha memproduksi sesuatu yang sifatnya
sukarela, sementara program Jamsostek merupakan program wajib yang merupakan
kepentingan orang banyak tidak berlaku. 01eh karenanya di berbagai belahan dunia,
jaminan sosial tidak masuk dalam subyek yang terkena UU anti monopoli dan hal ini diatur
pada pasal 51 UU No5/99 tentang Larangan Praktek Monopoli. Surat Pembaca Kompas,
tanggal 23 Desember 2003, hal 5 Tanggal17 November 2003, saya mengajukan klaim
penggantian biaya atas istri saya yang dirawat inap di rumah sakit akibat kecelakaan. Saya
mengajukan klaim kepada PT Jamsostek Cabang Salemba, Jakarta, temyata ditolak.
Kelangkapan surat yang saya ajukan memang salin an, tetapi sarat hukum dan sah karena
telah dilegalisasi oleh pihak rumah sakit sesuai dengan aslinya. Sementara surat kuitansi
yang asli digunakan untuk klaim asuransi lainnya. Kalau memiliki tiga asuransi, apakah
sebanyak itu pula kuitansi asli harus dibuat untuk mengajukan klaim? Sementara pihak
rumah sakit hanya mengeluarkan satu kuitansi asli dan satu salin an yang telah dilegaliasi.
Mengacu pada ketentuan PT Jamsostek yang meminta kuitansi asli pula, berarti dari sekian
banyak asuransi hanya dapat satu klaim asuransi, semen tara premi dibayar terus TONI Kmp
Baru Kb Koja RT 012 RW 016, Penjaringan, Jakarta Utara i Jamsostek web data, 2001 ii
JLO. National labor force survey, 2000 JPK Jamsostek 66 HThabrany BAB4 Asuransi

Kesehatan Komersial di Indonesia 4.1. lPKM Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Masyarakat (JPKM) mulai dikenal luas setelah dikeluarkan UU No 23/92 tetang kesehatan
yang pada pasal 66 menggariskan bahwa pemerintah mengembangkan, membina dan
mendorong JPKM sebagai cara pemeliharaan kesehatan praupaya berasaskan usaha
bersama dan kekeluargaan. Sebelum JPKM masuk dalam UU kesehatan tersebut, berbagai
upaya memobilisasi dana masyarakat dengan menggunakan prinsip asuransi telah dilakukan
antara lain dengan program DUKM (Dana Upaya Kesehatan Masyrakat) dan uji coba PKTK
oleh PT Astek. Dengan memobilisasi dana masyarakat diharapkan mutu pelayanan
kesehatan dapat ditingkatkan tanpa hams meningkatkan anggaran pemerintah. Konsep yang
ditawarkan adalah secara perlahan pembiayaan kesehatan hams ditanggung masyarakat
sementara pemerintah akan lebih berfungsi sebagai regulator. Upaya memobilisasi dana
masyarakat tidak terlepas dari berbagai upaya swastanisasi di dunia yang memandang
bahwa dominasi upaya pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat akan
menghadapi masalah biaya, efisiensi, dan mutu pelayanan. Program swastanisasi besarbesaran dilaksanakan di Inggris pada masa Perdana Menteri Margaret Tacher untuk
berbagai program pemerintahnya pada awal tahun 80an. Perusahaan penerbangan British
Airways dan radio serta televisi BBC yang tadinya dikelola pemerintah merupakan contoh
bentuk swastaniasi upaya pemerintah Inggris. Sejak itu gelombang privatisasi di dunia terus
meluas. Di dalam sistem kesehatan Indonesia upaya itu antara lain dapat dilihat dari upaya
menggerakan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat dan transformasi RSVP menjadi RS
Perjan (Perusahaan Jawatan). Namun demikian, di Inggris sendiri sistem pelayanan
kesehatan masih tetap dikelola pemerintah dengan sistem National Health Service. Tetapi
reformasi NHS terus berjalan hingga saat ini. Dalam kerangka pikir inilah program JPKM
yang bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat guna membiayai pelayanan kesehatan
dikembangkan. Perkembangan JPKM tidak lepas dari peran pemerintah Amerika Serikat
melalui program bantuan pembangunannya (the United States Agency for International
Development, USA/D). Pada tahun 1988 USAID membiayai proyek Analisis Kebijakan
Ekonomi Kesehatan (AKEK) di Depkes selama lima tahun. Dalam proyek inilah antara lain
berkembang pemikiran-pemikiran pembiayaan kesehatan yang semua dikenal dengan

konsep Dana Upaya Kesehatan Masyarakat (DUKM) yang secara operasional dijabarkan
dalam bentuk JPKM. Karena seperti biasanya proyek-proyek USAID selalu membawa
konsultan dari Amerika yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran yang pada
waktu itu sangat populer di Amerika. Selama pertengahan tahun 1970an dan pertengahan
1980an Askes Komersial di Indonesia 67 H Thabrany memang banyak sekali publikasipublikasi yang mengemukakan keberhasilan model Health Maintenance Organization (HMO)
di Amerika dalam mengendalikan biaya kesehatan. Sebenarnya keberhasilan HMO di
Amerika dalam pengendalian biaya kesehatan relatif dibandingkan dengan model asuransi
kesehatan tradisional. Artinya, keberhasilan HMO di Amerika hanya dibandingkan dengan
model asuransi lain yang ada di Amerika, tidak dibandingkan dengan model asuransi yang
ada di negara-negara maju lainnya yang mempunyai kemampuan pengendalian biayajauh
lebih kuat dari HMO. N amun demikian, karena proyek AKEK dan berbagai proyek
pembiayaan kesehatan lainnya di Indonesia selama dekade tahun 1980an lebih banyak
didominasi oleh pengaruh Amerika, maka tidaklah mengherankan jika konsep sistem
pembiayaan kesehatan kita pada waktu itu (hingga saat ini) lebih banyak mengikuti pola
Amerika yang boros dan tidak egaliter. Sementara pengaruh donor-donor dari negara-negara
lain pada waktu itu tidak banyak. Hal ini tidak saja berlaku dalam model JPKM, akan tetapi
juga mempengaruhi sistem asuransi lainnya dan sistem lainnya seperti sistem pendidikan
dan keuangan. Pada prinsipnya JPKM merupakan program asuransi kesehatan komersial
yang mengambil bentuk managed care, khususnya bentuk HMO di Amerika. Dalam ayat 4
pasal 66 UU 23/92 yang sama disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah. N amun demikian, sampai saat ini
PP dimaksud belum pemah berhasil dikeluarkan. 4.1.1. Peraturan JPKM Penyelenggaraan
JPKM sampai saat ini masih menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes) No.
527 dan 571 tahun 1993, padahal amanat UU 23/1992, pasa166 ayat 4 menghamskan
pengaturan lebih lanjut dari JPKM diatur oleh Peraturan Pemerintah. Sebenarnya usulan PP
tentang JPKM sudah diajukan oleh Depkes untuk disahkan sebagai peraturan JPKM yang
isinya tidak banyak berbeda dengan dua Perarturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.
527 dan 571 tahun 1993. Namun demikian, sampai saat ini PP tersebut tidak pemah

disetujui ditingkat nasional/diluar Departemen kesehatan. Dalam penjelasannya, Dirjen


Binkesmas pemah menyampaikan kepada media masa bahwa karena ketiadaan PP padahal
program JPKM hendak digerakkan, maka Permenkes tersebut digunakan sebagai landasan
peraturan. Secara hukum, Permenkes kurang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
sektor lain, apalagi dengan sistem peraturan perundangan baru di Indonesia, Permenkes
tidak lagi tercantum dalam hirarki perundangan. Hirarki perundangan secara berurutan
adalah UUD45, UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan terakhir Peraturan
Daerah. Jika dipelajari dengan seksama, tampak bahwa Permenkes 527 dan 571
mengandung banyak pengulangan dan mengatur hal-hal yang tidak esensial, sehingga jika
dilaksanakan secara konsekuen, maka bapel JPKM akan sulit menjual produknya. Hal ini
berbeda dengan peraturan asuransi yang lebih luwes. Sebagai contoh pada pasal 7
Permenkes 527 mengatur paket dasar hams mempertimbangkan pola penyakit, pola
pemanfaatan, pola biaya rata-rata, pola jenis dan jumlah sarana kesehatan. Contoh lain
tentang pembayaran kapitasi (pasal 24) yang hams sesuai karakteristik peserta dan
penyesuaian besarnya pembayaran hams mendapat persetujuan Dirjen. Untuk memudahkan
Askes Komersial di Indonesia 68 H Thabrany para pembaca, dibawah ini disajikan
rangkuman kedua peraturan tersebut. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 527/93 dan
nomor 571 /93 mengatur hal-hal sebagai berikut: 1 Tujuan program JPKM adalah
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal melalui: 1. Pembudayaan prilaku
hidup sehat 2. Penciptaan kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai
pelayanan kesehatan yang diperlukan 3. Penyelenggaraan PK paripurna dengan
mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit 4. Pemberian
jaminan kepada setiap peserta untuk mendapatkan PK yang sesuai dengan kebutuhannya,
bermutu, dan berkesinambungan 5. Penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan secara
berhasil guna dan berdaya guna Paket jaminan 1. Paket jaminan mencakup pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, penyembuhan, dan dilaksanakan secara paripurna
(komprehensif), berkesinambungan, dan bermutu. Paket tersebut hams disusun sesuai
dengan kebutuhan peserta. 2. Paket terbagi atas paket dasar dan paket tambahan. Paket
dasar yang wajib diselenggarakan oleh sebuah bapel. Karena bapel dapat menjual paket

tambahan hanya setelah menjual paket dasar, maka paket dasar ini pada hakikatnya sama
dengan peraturan minimum benefit dalam peraturan asuransi kesehatan di Amerika. 3. Paket
pemeliharaan dasar adalah sebagai berikut: a. Rawat jalan meliputi promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif (pemulihan) sesuai kebutuhan medis. Pelayanan ini hams mencakup
imunisasi, keluraga berencana, pelayanan ibu dan anak dengan catatan pelayanan
persalinan hanya diberikan sampai anak kedua. b. Rawat inap sesuai kebutuhan medis
meliputi 5(1ima) hari rawat. c. Pemeriksaan penunjang meliputi radio diagnostik dan atau
ultrasonografi, laboratorium klinik. 4. Paket tambahan dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan bapel dengan peserta 5. Dalam keadaan gawat darurat peserta dapat
memperoleh pelayanan pada setiap PPK. 6. Peserta tidak perlu membayar lagi di PPK
apabila pelayanan yang diberikan sesuai dengan paket yang dipilihnya ___ Landasan
Hukum Penyelenggaraan JPKM. Dirjen Bina Peran Serta Masyarakat, Depkes, 1996 Askes
Komersial di Indonesia 69 H Thabrany Badan Penyelenggara (bapel) 1. Badan
penyelenggara hams berbentuk badan hukum pemerintah atau swasta yang dapat berupa
Perseroan Terbatas atau Koperasi. 2. Badan penyelenggara hams mendapat ijin operasional
dari Depkes. Syarat untuk mengajukan ijin adalah: a. Hasil studi kelayakan dengan
kesimpulan layak b. Memiliki rencana usaha yang meliputi: organisasi, tenaga yang
memenuhi kualifikasi yang diperlukan, jaringan PPK, dan tatalaksana penyelenggaraan c.
Memiliki rencana operasional setiap tahun yang mencakup peserta, modal, dana cadangan,
investasi, paket, pembiayaan, dan ketenagaan. d. Memiliki modal dan dana cadangan 3.
Penyelenggaraan JPKM hams terpisah dari program lain secara organisasi, pengelolaan,
tenaga, sarana dan dana 4. Bapel wajib menyelenggarakan paket dasar 5. Bapel hams
meminta persetujuan Dirjen tentang besarnya atau perubahan besar beban biaya (premi) p
nyelenggaraan pemeliharaan kesehatan 6. Bapel membuat ketentuan tertulis mengenai
informasi bagi peserta dan PPK, paket, dan tata cara memperoleh pelayanan 7.
Pembentukan kantor cabang jika peserta lebih dari 500 orang dan kantor pembantu cabang
jika peserta kurang dari 500 orang di suatu wilayah hams mendapat persetujuan dari Dirjen
(Kesmas). 8. Kantor cabang mempunyai fungsi yang sama denga bapel 9. Kantor pembantu
cabang berfungsi: mewakili kantor pusatlcabang, pemasaran, pendaftaran peserta,

mengelola keuangan, melaporkan kegiatan pengelolaan keuangan ke kantor cabang/pusat,


mendistribusikan kartu peserta, dan membantu menangani keluhan peserta 10. Bapel hams:
a. Memiliki modal paling sedikit sama dengan anggaran operasional satu tahun pertama. b.
Memiliki Dana cadangan sebanyak 25% dari anggaran pelayanan kesehatan satu tahun
yang disesuaikan tiap tahun. Dana cadangan ini hams berbentuk Deposito atas nama
Menteri Kesehatan c. Hams menyisihkan sebagian sisa hasil usaha untuk cadangan teknis
d. Menyediakan dana setiap bulan paling sedikit sama dengan 3 (tiga) bulan anggaran
pemeliharaan kesehatan, dalam bentuk tunai atau saldo bank. e. Investasi dana hams
mempertimbangkan kelangsungan penyelenggaraan dan hanya dapat ditanam dalam
bentuk: deposito, obligasi, tanah, atau tanah dan bangunan f. Memberikan kemudahan
kepada peserta dalam bentuk: memberikan kartu peserta, menyediakan PPK, memberi
informasi yang jelas kepada peserta g. Menampung dan menyelesaikan segala keluhan
peserta untuk memperoleh pelayanan 11. Badan penyelenggara dapat mengiklankan
produknya tetapi hams jujur dan bertanggung jawab serta tidak bertentangan dengan
peraturan yang berlaku. Pelaksanaan iklan hams terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
Dirjen. Askes Komersial di Indonesia 70 H Thabrany 12. Bapel hams melakukan
pemantauan standar pelayanan, mutu pelayanan, dan saranaJprasarana yang dimiliki PPK
13. Bapel hams membayar PPK dengan cara kapitasi berdasarkan perhitungan yang hams
dapat dikaji ulang. 14. Bapel dan PPK secara bersama hams menyediakan dana cadangan
untuk pelayanan peserta. Dana cadangan tersebut dihimpun dengan menahan sebagian
pembayaran kapitasi kepada PPK yang besarnya antara 15-45% dari seluruh pembayaran
bapel yang hams tercantum dalam kontrak. Dana cadangan ini hams dimanfaatkan untuk
kepentingan PPK, peserta, dan bapel dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
Dirjen. 15. Bapel hams melakukan koordinasi dengan bapellain dalam hal peserta memiliki
jaminan ganda yang hams dinyatakan dalam kontrak. 16. Bapel hams melakukan
pencatatan pelaporan yang mencakup: laporan bulanan, tahunan, evaluasi pelaksanaan tiap
6 (enam) bulan, rencana perluasan, dan kegiatan lain yang diperlukan. Laporan tersebut
hams disampaikan kepada Dirjen/pejabat yang ditunjuk. 17. Badan yang tidak memenuhi
peraturan diatas diancam denda Rp 500 juta atau kurungan penjara paling lama 15 tahun

sesuai dengan UU 23/92 pasal 80(2). Kepesertaan 1. Setiap orang, secara perorangan atau
kelompok, dapat menjadi peserta program JPKM 2. Setiap orang yang menjadi peserta pada
lebih dari satu bapel hams melaporkan untuk koordinasi manfaat 3. Kepesertaan dapat
dilakukan setiap saat. Untuk peserta perorangan, beban biaya paket tidak boleh melebihi
110% paket terendah. 4. Pembayaran beban biaya PK wajib dilakukan setiap bulan atau
untuk jangka waktu tertentu 5. Kepesertaan setiap orang mulai berlaku saat kesepakatan
ditanda-tangani 6. Peserta berhak mengajukan keluhan dan memperoleh penyelesaian atas
keluhan yang diajukan Masalah utama dalam peraturan JPKM adalah bahwa program JPKM
berusaha

untuk

memenuhi

kebutuhan

(bukan

permintaan)

masyarakat

dengan

mengutamakan usaha promotif dan preventif melalui sistem komersial. Padahal sistem
komersial kurang perduli dengan kebutuhan (need) akan tetapi lebih menekankan pada
aspek permintaan (demand). Sehingga jika suatu bapel dipaksakan hams menjual produk
yang mengutamakan promotif dan preventif, yang nota bene lebih merupakan barang publik,
tentu saja akan sulit mendapatkan pembeli. Dalam peraturan tersebut tampak tidak
sesuainya tujuan program dan rancang bangun program yang tercermin dalam kedua
Permenkes tersebut. 4.1.2. JPKM dan HMO Secara garis besar antara JPKM dan HMO
terdapat banyak sekali persamaan dan sedikit perbedaan. Secara umum persamaan antara
JPKM dan HMO adalah: Askes Komersial di Indonesia 71 H Thabrany 1. Kerniripan narna.
Sarna-sarna rnenggunakan kata pemeliharaan kesehatan (health maintenance) 2. Tidak
diatur UU asuransi. Keduanya sarna-sarna diatur oleh UU tersendiri. 3. Kepesertaan
sukarela. Di Indonesia tidak begitu jelas, disebut kepesertaan aktif, tetapi yang jelas bukan
wajib (compulsory/mandatory) 4. Sarna-sarna rnernberikan jarninan dalarn bentuk
pelayanan pada PPK tertentu. 5. Sistern terutup, Sarna-sarna rnenggunakan sistern tertutup,
artinya apabila peserta berobat di luar jaringan PPK yang dikontrak, bapellHMO tidak
rnenanggung. 6. Pernbayaran kapitasi. Narnun pernbayaran kapitasi tidak lagi rnenjadi ciri
HMO sekarang, karena dalarn praktek tidak rnungkin HMO hanya rnernbayar secara
kapitasi. 7. Pelayanan kornprehensif. Sarna-sarna rnengklairn rnernberikan pelayanan
kornprehensif 8. Keharusan prograrn jaga rnutu. Meskipun dalarn praktek di Indonesia hal ini
belum berjalan sesuai yang diharapkan 9. Keharusan prograrn rnanajernen utilisasi. Juga di

Indonesia belum berjalan sebagairnana yang diharapkan 10. Keharusan penanganan


keluhan. Juga di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang diharapkan Selain persarnaan
diatas, terdapat beberapa perbedaan penting, yaitu: 1. Perijinan dan pengawasan. Di
Indonesia perijinan bapel diberikan oleh Depkes. Di Amerika, Depkes hanya rnernberi
rekornendasi, sedangkan perijian dan pengawasan dilakukan oleh Departernen Asuransi
yang lebih rnerniliki kernarnpuan untuk rnengawasi usaha asuransi 2. Pengaturan. Di
Amerika peraturan HMO yang dikendalikan oleh pernerintah pusat (federal) hanyalah untuk
HMO yang ingin rnendapatkan kualifikasi pernerintah federal. Pada umumnya HMO diatur
oleh peraturan pernerintah negara bagian berdasarkan NAIC MHO Model Act (suatu
kerangka peraturan yang dibuat oleh Asosiasi Direktur Departernen Asuransi negara
bagian). Di Indonesia pertauran JPKM bersifat nasional. 3. Badan penyelenggara. Di
Indonesa badan penyelenggara digiring kepada bentuk for profit sernentara di Amerika
badan not for profit yang dirangsang untuk rnendirikan HMO dengan berbagai insentif. Oleh
karenanya di Arnerika narna badan penyelenggara disebut dengan kata Organization,
karena serikat pekerja, yayasan, atau universitas juga dapat rnendirikan HMO. 4.
Persyaratan permodalan. Di Amerika modal HMO hams dikaitkan dengan risiko/tanggung
jawab HMO (risk base capital). Di Indonesia, persyaratan permodalan HMO rnasih terlalu
rendah sehingga rnenirnbulkan potensi kesulitan solvabilitas. Secara lebih rinci, perbedaan
dan persarnaan JPKM dan HMO di Amerika dapat dilihat dari tabel berikut ini. Askes
Komersial di Indonesia 72 H Thabrany Persamaan dan Perbedaan JPKM dan HMO di
Amerika Item JPKM HMO Dasar Respons terhadap uncertainty. Respons terhadap
uncertainty. Transfer Transfer risiko risiko Dasarhukum UU 23/92 (belum dilengkapi dengan
Undang-undang HMO untuk federally PP yang dibutuhkan) qualified HMO (1973 dan
amanedemen Permenkes 527 dan 571/1993, selanjutnya) dan NAIC HMO Model 568/1996
Tujuan Pembudayaan prilaku hidup Memastikan bahwa kebutuhan sehat pelayanan
kesehatan peserta terpenuhi Kemandirian masyarakat dalam Meningkatkan derajat
kesehatan membiayai pelayanan Meningkatkan produktifitas kerja kesehatan Pemberian
pelayanan yang berhasil Meningkatkan derajat guna dan berdaya guna kesehatan
Pemberian pelayanan yang berhasil guna dan berdaya guna Kepesertaan Sukarelalaktif

Sukarela Kontrak Unilateral Unilateral Kondisional Kondisional Aleatory Aleatory


Adhesi adhesi Transfer risiko Dengan membavar prerni Dengan membayar iuran/prerni
Pooling risiko Pooling risiko perorangan, Pooling risiko perorangan, kelompok kelompok
homogen dan heterogen homogen dan heterogen (community rating) (community & adjusted
community rating) Sharing risiko Sharing risiko antara yang sakit dan Sharing risiko antara
yang sakit dan yang yang sehat, provider dan payer. sehat, provider dan payer. Payer/HMO
tanzzunz risiko penuh Yang dapat menjadi Suatu yang berbadan hukum. Secara
Perorangan, serikat pekerja, organisasi, bapel eskplisit PT, BUMN, BUMD, dan LSM,
Yayasan, Perusahaan Koperasi Bapel yang didorong Berbagai bentuk. Misalnya Bapel
nirlaba mendapat hibah modal tetapi pemerintah pemberian JPSBK diberikan baik bapel for
profit hanya diberikan jaminan yang berbentuk yayasan maupun PT pinjaman Perijinan dan
Departemen Kesehatan Departemen asuransi dan (+ HCFA pengawasan keuangan untuk
Federally Qualified HMO) Concern terhadap Harus Harus solvency Pemasaran dan Fokus
pada kumpulan F okus pada kumpulan underwriting Ancaman bias selection Ada Ada
Ancaman moral hazard Ada Ada Kontrol terhadap Belum ada aturan khusus Open
enrollement adverse selection Kontrol terhadap moral Terutama kepada PPK. Melalui
Terutama kepada PPK (kinijuga melalui hazard peserta dalam bentuk paket terbatas
peserta) Bentuk benefit Melalui PPK secara tertutup, Melalui PPK secara tertutup, kecuali
untuk kecuali untuk kasus gawat darurat kasus gawat darurat Askes Komersial di Indonesia
73 H Thabrany Item JPKM HMO Pelayanan Secara teori, belum pelaksanaan. Sudah
dilaksanakan. Tidak ada tingkatan komprehensif Permenkes mengatur paket dasar paket
dasar komprehensif. tapi disebut komprehensif Program promotif dan Harus ada Harus ada
pencegahan Limitasi dan eksklusi Dalam praktek sangat banyak Umumnya sedikit, kecuali
beberapa pelavanan tertentu Pembayaran PPK Secara teori hanya kapitasi. Dalam Dulu
hanya kapitasi. Kini yang terbanyak pelaksanaan sebagian besar tidak dengan FFS dengan
diskon membavar kapitasi Manajemen utilisasi Harus dilaksanakan. Dalam praktek Selalu
ada. Penekanan melalui provider belum berjalan karena PPK masih dengan juga melalui
peserta jauh lebih kuat. Berlum berkembang Ada prospective, concurrent, dan retrospective
utilization revie. Manajemen mutu Menjadi penting (dan suatu Menjadi penting untuk

meyakinkan keharusan menurut peraturan) penjualan dan menghindari moral hazard untuk
meyakinkan penjualan dan dariPPK menghindari moral hazard dari PPK Penanganan
keluhan Diharuskan ada, untuk menjamin Diharuskan ada, untuk menjamin bahwa bahwa
pelayanan yang diberikan pelayanan yang diberikan memenuhi memenuhi standar tertentu
standar tertentu Upava bisnis rutin Upaya bisnis rutin 4.1.3. JPKM sebagai asuransi Judul
diatas mungkin menggelitik sebagian orang dan juga dimasukkannya Bab 4 yang membahas
JPKM di dalam buku ini dapat dipertanyakan. Sampai saat ini masih banyak orang yang
berpendapat bahwa JPKM bukan asuransi. Alasannya adalah "asuransi memberi
penggantian uang sedangkan JPKM tidak memberikan penggantian uang". Topik ini sengaja
disajikan disini agar para pembaca dapat memahami benar berbagai pendapat yang ada di
masyarakat. Alasan yang dikemukakan diatas mungkin hanya benar secara peraturan
perundang undangan, karena dalam perakteknya perusahaan asuransi yang menjual
asuransi kesehatan tidak selalu memberi penggantian uang. Dalam UU No 2/92 definisi
asuransi memang berbeda dengan definisi JPKM. Dalam UU No 2/92 pada Bab I pasal 1
dijelaskan defisini asuransi atau pertanggungan sebagai ''perjanjian antara dua pihak atau
lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan'", Dalam UU No 23/92 pasal 66
ayat 2 disebutkan "Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara
penyelenggaraan 2 __ Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Usaha
Perasuransian. Dirjen Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan RI. Jakarta 1993 Askes
Komersial di Indonesia 74 H Thabrany pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya,
dikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib di/aksanakan
oleh setiap badan penyelenggara". Dalam Permenkes No 571/1993 dijelaskan bahwa JPKM
adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan
asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang

terjamin serta pembiayaan yang di/aksanakan secara praupaya. Kemudian pada butir b
disebutkan Program JPKM adalah upaya pemeliharaan kesehatan untuk peserta suatu
badan penyelenggara yang pembiayaannya di/akukan secara praupaya dan dikelola
berdasarkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. i Jadi menurut definisi yang
digunakan oleh kedua UU tersebut, memang terdapat perbedaan. Undang-undang asuransi
memang menyebutkan kata 'penggantian', namun dalam prakteknya penggantian tidak
selalu dalam bentuk uang. Baik dalam asuransi kesehatan maupun asuransi kendaraan
bermotor, apabila terjadi peristiwa sakitlkerusakan kendaraan akibat kecelakaan, tidak
semua perusahaan asuransi memberikan penggantian dalam bentuk uang. Banyak
perusahaan asuransi yang mengganti biaya pengobatan dengan membayar langsung ke
rumah sakit yang ditunjuk. Banyak perusahaan asuransi yang menunjuk bengkel mobil
tertentu dimana tertanggung menerima beres perbaikan mobil yang rusak. Jadi soal
penggantian tidaklah hams berbentuk uang. Dalam dunia asuransi di Amerika hal ini
dilengkapi dengan pemyataan assignement of benefits yang ditanda tangani oleh pemegang
polis. Soal penggantian uang atau pemberian pelayanan (sebagai pengganti uang) hanyalah
suatu mekanisme pelaksanaan tanggung jawab badan penyelenggara atau asuradur dalam
memberikan benefit seperti yang telah dibahas dalam Bab I. Ciri manajemen utilisasi,
pembayaran kapitasi, pengendalian mutu, penanganan keluhan peserta dan "jurus-jurus"
lain yang ada di JPKM bukan merupakan ekslusi asuransi. Program-program tersebut
adalah bentuk upaya pengendalian biaya untuk mengurangi risiko biaya dan upaya
pemasaran, khususnya yang terkait dengan sistem pembayaran kapitasi kepada PPK. Jurusjurus JPKM adalah kiat manajemen yang hams dilakukan akibat pembayaran benefit
diberikan dalam bentuk pelayanan kepada PPK yang dikontrak dengan pembayaran kapitasi.
Seandainya perusahaan asuransi kesehatan tradisional melakukan kontrak kapitasi juga,
mereka akan melakukan hal itu meskipun tidak diatur oleh pemerintah. Menyatakan bahwa
"JPKM bukan asuransi" mempunyai konsekuensi standar ganda pada saat kita
berkomunikasi di dunia intemasional. Dari segi substansi, penulis berpendapat bahwa
perdebatan tentang hal ini tidak perlu dipermasalahkan, jika hanya untuk memuaskan salah
satu pendapat. Hal ini perlu dituntaskan karena hal ini membawa konsekuensi sosial,

ekonomi dan kebijakan yang dapat mengganggu tujuan Nasional dalam bidang kesehatan.
Perbedaan persepsi ini mempunyai dampak yang sangat serius dalam pengembangan
JPKM itu sendiri di kemudian hari. Beberapa pihak menganggap hal ini perlu ditegaskan
agar rujukan pelaksanaan program asuransi kesehatan atau JPKM menjadi jelas. Ada yang
berpendapat bahwa jika JPKM itu suatu asuransi, maka program JPKM hams tunduk pada
UU No. 2/92 tentang asuransi. Tetapi, jika JPKM bukan asuransi, maka UU No. 2/92 tidak
bisa digunakan untuk pengaturan atau rujukan program JPKM. Lalu bagaimana dengan UU
No. 3/92? Apakah program JPK Askes Komersial di Indonesia 75 H Thabrany Jamsostek itu
suatu JPKM atau asuransi kesehatan atau bukan? Kalau JPK Jamsostek adalah JPKM atau
asuransi, maka kenapa harus tunduk pada UU sendiri? Soal peraturan mana yang
mengatur; apakah itu UU No. 2/92, No. 3/92, atau UU No. 23/92, semuanya sarna saja bagi
penduduk atau peserta yang akan mendapatkan jaminan kesehatan. Semuanya adalah
undang-undang Negara RI. Semuanya disetujui oleh DPR dan diundangkan oleh Presiden.
Jadi semuanya sama-sama ikut mengatur agar penduduk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan. Kemanapun suatu program mengacu, tidak jadi masalah bagi
masyarakat. Semuanya dapat ditempatkan dan diatur bersama, sehingga bisa saling
memperkuat kepentingan Nasional di dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan,
produktifitas dan kualitas hidup rakyat. Secara objektif kita hams membandingkan ciri-ciri
kontrak asuransi dan kontrak JPKM. Apabila keduanya memiliki kesamaan, maka JPKM
adalah asuransi. Pada Bab I kita sudah membahas empat ciri utama kontrak asuransi yaitu
kondisional, unilateral, aleotary, dan adhesi. Keempat ciri kontrak tersebut juga terdapat
dalam JPKM dan JPK Jamsostek. Oleh karenanya, baik JPKM maupun JPK Jamsostek
merupakan juga asuransi yang tidak diselenggarakan oleh perusahaan asuransi. Literatur
international sangat jelas mengenai klasifikasi ini. Jika pada bagian terdahulu kita sudah
membahas persamaan dan perbedaan JPKM dengan HMO, yang sangat mirip, maka kita
bisa belajar juga dari yang terjadi di Amerika. Di Amerika, HMO memang juga bukan
perusahaan asuransi tetapi yang memberikan ijin dan yang mengawasi solvensi dan
berbagai masalah hubungan peserta HMO diatur oleh Departemen Asuransi. Karena
meskipun HMO bukan perusahaan asuransi, produk yang dijualnya adalah produk asuransi.

Untuk membuat pengoperasian HMO relatif standar di tingkat federal, maka the National
Association of Insurance Commisioner (NAIC) membuat apa yang disebut NAIC HMO
Model, yang merupakan dasar untuk pengaturan HMO di masing-masing negara bagian.
Dari kepentingan publik dan kesehatan masyarakat, apakah JPKM suatu asuransi kesehatan
atau bukan, menurut hemat penulis, tidak ada bedanya. Peserta JPKM atau asuransi
kesehatan hams dapat terlindungi dari kesulitan akses (karena biaya atau ketiadaan fasilitas)
apabila mereka terkena musibah suatu penyakit secara adil, terjangkau, dan efisien secara
nasional. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama. Kita tidak ingin ada orang sakit yang tidak
bisa berobat karena tidak memiliki uang. Kita tidak ingin orang yang tidak perlu berobat, lalu
diobati hanya karena petugas kesehatan atau pemilik usaha di bidang kesehatan
memerlukan uang. Kita tidak ingin ada pelayanan untuk orang miskin dan ada pelayanan
untuk orang kaya. Yang kita inginkan adalah adanya pelayanan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan medis seseorang, terlepas dari status ekonomi
orang tersebut (equity egaliter). Apakah mekanisme pemberian pemeliharaan kesehatan itu
diberikan melalui asuransi dengan penggantian biaya, ditanggung pemerintah, ditanggung
asuransi dengan jaminan pelayanan, atau ditanggung JPKM dengan pelayanan di tempat
tertentu; buat masyarakat tidak jadi masalah. Yang jadi masalah bagi masyarakat adalah jika
mereka tidak bisa mendapatkan jaminan yang memadai atau mendapat jaminan yang
memadai tetapi biayanya (premi, iuran, kontribusi, dll) mahal. Askes Komersial di Indonesia
76 H Thabrany Konsekuensi serius dapat terjadi jika kita bersikeras bahwa JPKM bukan
asuransi dan karena JPKM tidak dikelola menurut prinsip-prinsip asuransi. Hal ini akan
membawa akibat sangat berat bagi peserta JPKM sendiri. Peserta JPKM akan mudah sekali
menjadi korban karena adanya kontrak adhesi dimana peserta berada pada posisi lemah.
Karena bisnis JPKM adalah bisnis risiko, maka persyaratan permodalan dan manajemen
hams diatur sangat ketat agar peserta tidak dirugikan. Kasus bapel JPKM nIBI (International
Health Benefit Indonesia) yang kini bangkrut sementara dana deposito (modal) yang disetor
di Depkes hanya sekitar 2,5% dari kewajibannya yang tidak dibayarkan ke RS (menurut
sebuah sumber), merupakan pelajaran yang sangat berharga. Jika saja JPKM dikelola
menurut prinsip-prinsip asuransi yang baik, hal itu kecil kemungkinannya terjadi. Akibatnya

banyak RS di Jakarta yang kehilangan kepercayaan terhadap JPKM. Inilah salah satu
contoh, akibat serius dari tidak tepatnya kita menempatkan JPKM. Apakah Depkes tidak
boleh mengatur asuransi kesehatan? Menurut penulis, tidak ada alasan untuk itu. Di
Amerika, Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial bahkan menyelenggarakan sendiri
asuransi kesehatan sosial (Medicare), yang di dalam administrasinya dikelola oleh Health
Care Financing Administration (HIAA, 1996; HIAA, 1995; Kongsvedt, 1 996)ii. Undangundang asuransi sosial kesehatan di Jerman diatur dan diawasi oleh Departemen Kesehatan
Federaliii. Di Taiwan, Biro Asuransi Kesehatan Nasional merupakan lembaga di bawah
Departemen Kesehataniv. Tidak ada alasan bahwa Departemen Kesehatan tidak boleh
mengatur asuransi kesehatan, sehingga JPKM hams bukan asuransi. 4.1.4. Perkembangan
dan rencana ke depan Sampai dengan saat ini terdapat 21 bapel yang telah mendapatkan
ijin operasional JPKM dari Depkes. Masih puluhan permohonan yang sedang dalam proses
perolehan ijin. Pada umumnya bapel yang telah mendapat ijin hanya bermodal sangat kecil
untuk ukuran asuransi kesehatan. Ada bapel yang hanya bermodalkan Rp 30 juta rupiah
yang telah mendapatkan ijin operasional dari Depkes. Bapel yang bermodal relatifbesar
hanya memiliki modal Rp 500 juta saja. Hal ini tentu saja mempengaruhi kinerja penjualan
dan pelayanan yang diberikan oleh para bapel tersebut. Jumlah tertanggung sebuah bapel di
tahun 1999 ada yang hanya mencapai 441 jiwa sedangkan jumlah peserta bapel terbesar (di
luar peserta perusahaan asuransi) hanya berkisar pada 28.878 orang saja (yang pada akhir
tahun 2000 telah bangkrut karena kesulitan solvabilitas)", Jumlah tertanggung yang mampu
diraih oleh bapel JPKM tersebut adalah sebagai berikut: 3 Thabrany, H. Pujianto,
Mundiharno, Djazuli. Laporan Subsidi Silang Bapel dan Pemda. PT MJM-Dirat JPKM,
Jakarta 2001 Askes Komersial di Indonesia 77 H Thabrany Tabel4.1 Perkembangan jumlah
tertanggung yang diperoleh oleh bapel JPKM, 1998-1999 1998 1999 2000 Jumlah bapel 14
17 21 Jumlah tertanazuna 108.000 108.000 286.734* Sumber: Profil Kesehatan 2000,
Laporan Subsidi Silang JPKM, Dirat JPKM. * Angka perkiraan dan termasuk peserta bapel
IHBI dan BCS yang telah bangkrut, yang berjumlah sekitar 30.000 tertanggung .. Produk
yang dijual bapel JPKM maupun oleh perusahaan asuransi sangat bervariasi dari yang
hanya menanggung perawatan di puskesmas dengan pembayaran kapitasi dan penggantian

biaya rawat inap di RS maksimum Rp 250.000 sampai yang menanggung perawatan di luar
negeri. Paket dengan jaminan sampai perawatan di luar negeri dijual oleh PT Askes
Indonesia, yang akan dibahas tersendiri di bagian belakang bab ini. Premi jual bervariasi dari
Rp 1.000 sampai yang berharga diatas Rp 100.000 per orang per bulan. Salah satu contoh
paket dan preminya dicantumkan dalam Bab I tentang ilustrasi produk asuransi kesehatan
komersial dan sosial. Penyebab lambatnya pertumbuhan bapel dan peserta JPKM antara
lain adalah: 1. Konsep JPKM dinilai terlalu ideal padahal konsep tersebut bertumpu pada
mekanisme asuransi kesehatan komersial yang sehamsnya merespons permintaan.
Akibatnya tidak banyak investor berpengalaman yang berminat menanamkan modalnya
dalam bidang ini. 2. Peraturan bapel dan PPK yang tidak kondusif untuk bisnis jaminan dan
terlalu birokratis. Dalam prakteknya Depkes tidak mampu memantau dan menjamin
peraturan yang dibuatnya dipatuhi oleh badan penyelenggara. 3. Tersedia pilihan menjual
asuransi kesehatan di luar JPKM yaitu yang berdasarkan UU Asuransi. Perusahaan asuransi
dapat menjual produk asuransi kesehatan tradisional, yang lebih mudah dan menarik,
maupun produk yang mirip JPKM tanpa hams terikat pada peraturan JPKM. 4. Biaya
kesehatan yang mahal belum menjadi masalah utama pembiayaan kesehatan kita, bahkan
justeru sebaliknya. Program JPKM yang menjanjikan pengendalian biaya menjadi tidak
re1evan. Hal ini sangat berbeda dengan di Amerika dimana hampir semua orang sangat
khawatir akan mahalnya biaya kesehatan, sehingga berbagai upaya pengendalian biaya
melalui managed care menjadi pilihan yang menarik. 5. Contoh-contoh penyelenggaraan
JPKM yang diselenggarakan Depkes memberikan kesan bahwa JPKM adalah produk
inferior. Percontohan JPKM di Klaten dan di berbagai proyek HP IV menggunakan sarana
puskesmas sebagai PPK dan dengan premi yang hanya berkisar pada Rp 1.000 - Rp 2.000
per bulan. Hal ini sama sekali tidak bisa meyakinkan pembeli bahwa JPKM mempunyai jurus
jaga mutu atau meyakinkan bahwa mutu pelayanan yang diberikan patut untuk dibeli. 6.
Masih murahnya pelayanan kesehatan yang dapat diperoleh di puskesmas dan rumah sakit
pemerintah menyebabkan masyarakat tidak merasakan sakit sebagai ancaman keuangan
mereka di kemudian hari. 7. Masih luasnya sikap risk taker di masyarakat dimana kesakitan
dinilai sebagai suatu fenomena alamiah yang harus diterima sebagai takdir. Askes Komersial

di Indonesia 78 H Thabrany 8. Masih kuatnya sifat gotong royong tradisional masyarakat


dimana apabila salah seorang keluarga atau kerabat sakit, masyarakat yang lain ikut
membantu meringankan beban biaya si sakit. 9. Belum memadainya sumber daya manusia
yang mampu mengelola asuransi kesehatan, apalagi JPKM yang manajemennya lebih
kompleks dari pengelolaan asuransi kesehatan tradisional 10. Belum baiknya peraturan dan
penegakan hukum dalam praktek asuransi kesehatan termasuk JPKM, sehingga kasuskasus penyimpangan penyelenggaraan asuransi kesehatan dan asuransi lainnya menjadi
trauma masyarakat yang mendorong mereka tidak berasuransi. Penjualan produk JPKM
yang dijual perusahaan asuransi lebih berkembang ketimbang yang dijual oleh bapel-bapel
JPKM yang mendapat ijin operasional dari Depkes. Produk JPKM antara lain juga di jual
oleh perusahaan asuransi sepert PT Askes, PT Tugu Mandiri, dan PT Allianz.
Perkembangan produk JPKM yang dijual oleh perusahaan asuransi jauh lebih banyak dari
yang dijual oleh Bapel JPKM. Jumlah tertanggung atau anggota yang mampu diraih oleh
perusahaan asuransi jauh lebih banyak dari yang mampu dijual oleh bapel JPKM. Jumlah
peserta yang diraih PT Askes tahun 1999 sudah mencapai lebih dari 650 ribu peserta dari
2.239 perusahaan dan pada tahun 2001 ini diperkirakan mencapai satu juta jiwa (Lihat Tabel
4.1). Perusahaan asuransi Tugu Mandiri dan Allianz masing-masing telah mampu
memperoleh lebih dari 50.000 peserta managed care yang secara garis besar sarna dengan
produk JPKM. Hal ini antara lain disebabkan karena kepercayaan pembeli (perusahaan) jauh
lebih tinggi kepada perusahaan asuransi daripada kepada bapel JPKM. Kedua, pemilikan
modal bapel JPKM pada umumnya sangat lemah sehingga bapel tersebut tidak mampu
merekrut tenaga profesional yang memadai jumlah dan kualitasnya. Ketiga produk yang
dijual bapel JPKM kurang mampu bersaing (cakupan dan harganya) dengan produk yang
dijual oleh perusahaan asuransi. Gambar 4.1. Perkembangan penjualan produk HMO/JPKM
PT Askes Indonesia, 1995-1999 700 600 500 400 300 200 100 o 1995 1996 1997 1998
1999 Sumber: Laporan Manajemen PT Askes Indonesia, 1999 Askes Komersial di Indonesia
79 H Thabrany Perkembangan jumlah bapel dan jumlah penduduk yang dijamin melalui
bapel JPKM yang tidak memuaskan, kemudian mendorong Depkes memperluas program ini.
Pada waktu menjadi Menkes Prof. Farid Moeloek berhasil meyakinkan Presiden Habibie

bahwa kesehatan dan pendidikan merupakan kunci keberhasilan Indonesia di dalam


bersaing di dunia global. Untuk itu dicanangkan Indonesia Sehat 2010 yang dimaksudkan
untuk menjadikan setiap langkah pembangunan berwawasan kesehatan. Dalam Indonesia
Sehat 2010 ini terdapat empat pilar utama yaitu: paradigma sehat, profesionalise,
desentralisasi, dan JPKM. Masuknya JPKM sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat 2010
mendorong berbagai upaya untuk memperluas JPKM. Dibentuklah Direktorat Khusus JPKM
yang diharapkan dapat memperkuat perkembangan JPKM. Sebelum itu, JPKM hanya diurus
di bawah koordinasi Sub Direktorat BIUK (Bina Institusi Upaya Kesehatan) yang tidak khusus
menangani JPKM. Untuk mendorong meluasnya cakupan bapel JPKM, maka dalam rangka
program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) dikembangkan stimulasi
JPKM dengan pendirian pra bapel di setiap kotalkabupaten di akhir tahun 1998. Setiap pra
bapel diberikan dana sebesar Rp 10.000 per keluarga miskin untuk menjadikan keluarga
tersebut anggota JPKM. Pra bapel diberikan dana 8% (Rp 800 per keluarga) untuk biaya
manajemen seperti penerbitan kartu dan pemantauan pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Sisa dana yang Rp 9.200 dibayarkan kepada puskesmas untuk digunakan khususnya untuk
upaya promotif dan preventif. Tercatat 354 pra bapel (termasuk beberapa bapel berijin)
mendapatkan dana stimulan tersebut. Direncanakan dana tersebut akan diberikan selama
dua tahun dan selama masa tersebut diharapkan para bapel dapat berkembang menjadi
bapel penuh dan mampu menjual produk JPKM kepada keluarga yang tidak miskin.
Besamya dana yang dikucurkan pemerintah seluruhnya berjumlah Rp 180 milyar. Program
ini tidak mendapatkan dana pada tahun kedua seperti yang direncanakan semula. Sampai
saat ini pada umumnya pra bapel tersebut belum atau tidak bisa berkembang menjadi bapel
penuh. Selain alasan dana tahun kedua yang tidak dikucurkan, hampir semua bapel yang
dikembangkan tidak memiliki modal sendiri yang memadai. Pada umumnya pra bapel
tersebut juga tidak memiliki pengalaman dalam berbisnis jaminan kesehatan sehingga tidak
berkembang seperti yang diharapkan. Menyadari bahwa JPKM secara sukarela tidak bisa
berkembang seperti yang diharapkan, maka Depkes berkeinginan menjadikan kepesertaan
JPKM wajib. Sebenamya bisa dihasilkan PP, akan tetapi PP tidak bisa bertentangan dengan
UU Kesehatan yang tidak menyebutkan keanggotaan JPKM bersifat wajib. Jadi jika JPKM

mau diwajibkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali hams membuat suatu UU yang
mewajibkan. Maka sejak Desember 1998 dirancanglah RUU JPKM. Namun demikian
sampai Oktober 2001 , draft tersebut belum dibahas di DPR. 4.1.5. Masalah yang dihadapi
Banyak pihak tidak melihat bahwa JPKM berhasil merealisir model-model yang diharapkan.
Penyebab utamanya adalah terlalu idealnya program disusun yang tidak sesuai dengan
keadaan pasar di Indonesia. Konsep HMO yang terdengar rasional seperti menjamin Askes
Komersial di Indonesia 80 H Thabrany paket komprehensif, bermutu, dan berkesinambungan
dengan biaya terkendali tidak sesuai dengan keadaan pasar di Indonesia. Keinginan JPKM
mampu mengendalikan biaya dengan pembayaran kapitasi tidak ditunjang oleh pasar
pelayanan yang 85% masih didominasi pembayar per orangan dengan tingkat harga yang
masih sangat rendah. Pemberi pelayanan tidak suka dan tidak siap menerima pembayaran
kapitasi, karena pasar dari pasien perorangan masih sangat kuat. Tingkat persaingan antara
PPKpun, kecuali di kota besar seperti Jakarta, masih sangat rendah. Biaya kesehatan di
Indonesia juga masih sangat rendah sehingga tidak mendorong berbagai pihak memikirkan
pengendalian biaya. Bahkan masalah utama pembiayaan kesehatan di Indnesia adalah
rendahnya pengeluaran pemerintah dan masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan
masalah pembiayaan kesehatan di Amerika yang sudah memprihatinkan semua pihak.
Dengan demikian, upaya menerapkan konsep-konsep HMO di Indonesia tidak bisa berjalan
seperti yang diharapkan. Jaminan komprehensif yang dijagokan pada akhirnya hanya
sampai slogan belaka karena kemampuan pembeli pada umumnya belum sanggup untuk
menjamin pelayanan komprehensif. Perusahaan asuransi besarpun tidak semuanya
menjamin paket komprehensif seperti yang diselenggarakan HMO di AS atau asuransi
kesehatan lainnya di dunia. Jaminan pelayanan yang bermutu sangat kontradiktif dengan
percontohan JPKM dan program JPKM JPSBK yang menggunakan puskesmas sebagai
PPK. Meskipun pasien yang berkunjung ke puskesmas di Jakarta setiap harinya memang
banyak, pada umumnya golongan menengah keatas, yang mampu tidak ke puskesmas.
Mereka yang mampu, bahkan yang kurang mampu sekalipun, lebih memilih ke dokter
praktek sore untuk mendapatkan pelayanan yang dipercaya lebih bermutu. Akibatnya timbul
stigma bahwa program JPKM adalah program untuk orang miskin. Dengan melekatnya citra

puskesmas yang bagi masyarakat menengah keatas dinilai tidak bermutu, maka
kepercayaan terhadap JPKM menjadi tererosi. Bercampur-baurnya konsep membantu yang
miskin, menggerakan pembiayaan oleh masyarakat model dana sehat, harapan efisiensi dari
usaha pencari laba, menjual premi sesuai kemampuan peserta, dan berbagai keinginan
ideal lainnya bercampur baur dalam konsep JPKM. Akibatnya program ini tidak bisa
bergerak karena terlalu banyak arah/ tujuan yang hendak dicapai. Terjadilah gerakan yang
saling berlawanan sehingga program tidak bergerak. Sebagai contoh, JPKM diharapkan
sebagai program memandirikan masyarakat dalam membiayai kesehatan, tetapi banyak pra
bapel bahkan beberapa bapel menempatkan target sasaran program JPKM justeru
masyarakat ekonomi lemah. Program JPKM ingin memberikan pelayanan bermutu dan
dengan biaya terkendali, akan tetapi pra bapel dan beberapa bapel menjual produknya
dengan premi sesuai kesepakatan atau atas dasar perhitungan tarif puskesmas. Jelas hal ini
bertentangan dengan konsep komersial yang menjadi bisnis utama badan usaha yang
seharusnya menjawab permintaan. Persyaratan bapel dan kewajiban bapel yang digariskan
oleh Permenkes 527 dan 571 tidak ditunjang oleh kemampuan pemerintah memantau,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat.
Lemahnya kemampuan keuangan dan manajemen para bapel berijin juga membuat
pemerintah setengah-setengah dalam mengendalikannya. Jika dikendalikan terlalu ketat,
sesuai peraturan yang ada, bisa jadi semua bapel akan mundur. Jika peraturan tidak
ditegakkan maka akan menjadi preseden yang tidak baik bagi perkembangan JPKM
selanjutnya. Askes Komersial di Indonesia 81 H Thabrany Singkatnya, JPKM tidak
berkembang seperti yang diharapkan karena terlalu banyak yang hendak dicapai oleh
program ini pada situasi yang belum memungkinkan untuk itu. If we want to get everything
then we will get nothing. Agar JPKM yang sudah menjadi salah satu pilar Indonesia Sehat
2010 dapat berkembang, perlu perhatian serius dari pemerintah. Berbagai peraturan JPKM
perlu ditinjau kembali (apabila tujuan yang hendak dicapai tidak berubah) untuk lebih
menyesuaikan JPKM dengan kondisi lingkungan yang memungkinkannya berkembang. 4.2.
Asuransi Kesehatan Tradisional Seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I pasal 1, yang
dimaksud asuransi kesehatan tradisional adalah sistem asuransi yang pada umumnya

memberikan penggantian dalam bentuk uang tunai atau penggantian biaya berobat. Bentuk
yang paling tradisional adalah dimana asuradur tidak melakukan kontrak dengan PPK.
Dalam prakteknya, bentuk ini tidaklah banyak, baik di Indonesia maupun di Amerika. Di
Indonesia banyak perusahaan asuransi yang melakukan kontrak dengan PPK, khususnya
rumah sakit, untuk memberikan pelayanan kepada pemegang polis dan tertanggung
kemudian RS tersebut melakukan penagihan kepada asuradur. Pembayaran kepada RS
biasanya dilakukan secara fee for services (FFS). Dalam konteks seperti ini, tidak ada
perbedaan berarti antara asuradur tradisional dengan bapel JPKM, karena kebanyakan
bapel JPKM juga membayar RS menurut pelayanan yang diberikan (FFS). Hams disadari
bahwa cara pembayaran tersebut sangat tergantung pada kondisi pasar setempat dan
tingkat persaingan asuransi. Dengan demikian, membagi produk asuransi berdasarkan
bentuk JPKM dan asuransi kesehatan tradisional sangat sulit dilakukan. Faktanya
perusahaan asuransi juga menjual produk yang mirip dengan JPKM atau produk hibrid
seperti PPO (preferred provider organization) di Amerika. Untuk lebih memudahkan
penyajian, apa yang akan dibahas di dalam bab ini adalah produk-produk asuransi yang
dijual oleh Perusahaan Asuransi yang beroperasi atas dasar UU Asuransi No. 2/1992.
Sejarah penjualan asuransi kesehatan tradisional sebenamya telah berlangsung lama. Pada
awal tahun 1970an perusahaan asuransi Nasuha telah menjual produk asuransi kesehatan.
Beberapa produk asuransi kesehatan penyakit kanker telah juga dijual pada tahun 70an.
Namun pada umumnya penjualan produk asuransi kesehatan pada saat itu pada umumnya
berbentuk produk tumpangan (rider) dan hanya dijual oleh beberapa perusahaan asuransi
saja. Produk asuransi kesehatan belum mendapat perhatian masyarakat, peraturan belum
jelas dan pasamya juga masih sangat terbatas. Baru setelah UU No 2/92 mencantumkan
bahwa perusahaan asuransi jiwa boleh menjual produk asuransi kesehatan dan UU
Jamsostek dikeluarkan seminggu kemudian, maka penjualan asuransi kesehatan menjadi
ramai. Askes Komersial di Indonesia 82 H Thabrany 4.2.1. Landasan Hukum Kata kesehatan
masuk dalarn UU No 2/92 pada dua bagian yaitu pada bagian obyek asuransi dan pada
pasal

1.

Dalam

pasal

disebutkan

"Perusahaan

asuransi

jiwa

hanya

dapat

menyelenggarakan usaha di bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan

diri ... ".4 Pada awalnya pasal ini menimbulkan kontroversi dan protes di kalangan
perusahaan asuransi kerugian. Dalarn UU Asuransi, usaha asuransi dibagi menjadi dua
bagian besar yaitu: Asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selain kedua bentuk usaha
asuransi tersebut, terdapat usaha re-asuransi dan penunjang asuransi seperti aktuaria,
agen, dan penilai risiko yang diperkirakan menjadi beban asuradur (underwriter). Melihat
sifat risikonya, asuransi kesehatan merupakan asuransi kerugian karena besarnya
kehilangan dapat diukur dengan mudah, yaitu biaya pengobatan atau perawatan akibat
kehilangan kesehatan. Sementara pada asuransi jiwa, besarnya risiko tidak bisa diukur akan
tetapi bisa dikuantifikasi. Oleh karenanya sifat alarniah jenis asuransi jiwa berbeda dengan
asuransi kesehatan. Narnun, jika dilihat dari obyeknya sarna-sarna manusia, usaha asuransi
jiwa dan kesehatan sangat erat hubungannya. Itulah sebabnya dalarn UU tersebut hanya
disebutkan bahwa usaha asuransi jiwa dapat menjual asuransi kesehatan sementara
penegasan itu tidak perlu dilakukan karena asuransi kesehatan merupakan asuransi
kerugian. Jadi perusahaan asuransi kerugian secara otomatis boleh menjual asuransi
kesehatan. Banyak orang berpendapat bahwa adanya UU Asuransi, UU Jamsostek dan UU
Kesehatan menimbulkan konflik karena semuanya mengatur asuransi kesehatan. Hal ini
sebenamya tidak tepat. Undang-undang asuransi tidak mengatur asuransi kesehatan. UU
asuransi mengatur berbagai persyaratan modal, operasional, dan pelaporan perusahaan
asuransi, reasuransi, dan penunjang asuransi. Undang-undang asuransi sarna sekali tidak
mengatur kontrak spesifik asuransi kesehatan seperti halnya berbagai UU di Amerika yang
misalnya mengatur paket minimum, pre-existing condition, dan portabilitas. Undang-undang
dan peraturan lain yang merincinya hanya mengatur bisnis asuransi, tanpa mengatur produk
masing-masing asuransi. Sementara itu UU Kesehatan juga tidak mengatur asuransi
kesehatan

meskipun

dalarn

pasal

66

disebutkan

bahwa

pemerintah

mendorong

pengembangan JPKM, yang merupakan salah satu produk asuransi kesehatan. Namun
demikian, dalarn pengaturan JPKM selanjutnya yang diatur dengan Permenkes, pada
hakikatnya Permenkes tersebut memang mengatur bisnis asuransi kesehatan yang dijual
oleh bukan perusahaan asuransi (yaitu oleh bapel JPKM). Memang di Amerika, produk yang
sarna dengan JPKM (HMO) umumnya diatur oleh Departemen Asuransi karena meskipun

produk HMO sarna sekali tidak menggunakan narna asuransi, pada hakikatnya produk yang
dijual adalah produk asuransi kesehatan. 4.2.2. Produk asuransi kesehatan traditional dan
manfaat pelayanan Produk asuransi kesehatan tradisional dapat dibagi menjadi dua bagian
besar yaitu produk asuransi kumpulan/grup dan produk perorangan. Produk asuransi
kumpulan dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu: 4 __ Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Bidang Usaha Asuransi. Dirjen Lembaga Keuangan RI, 1993. Askes
Komersial di Indonesia 83 H Thabrany 1. Produk standar yang dibuat perusahaan dimana
pembeli tinggal memilih produk produk yang telah dibuat. Produk ini sama dengan produk
asuransi kesehatan perorangan dimana pembeli hanya bisa memilih dari produk yang telah
ada. Untuk produk kumpulan, produk standar ini dijual ke kumpulan (umumnya masih ke
perusahaan) yang relatif kecil, 2. Produk rancangan khusus (taylor made) yang dibuat atas
dasar permintaan pembeli yang menginginkan pelayanan tertentu dijamin. Misalnya, ada
perusahaan yang meminta jaminan rawat inap sampai 90 hari tanpa memperhitungkan
jumlah hari rawat di ICU. Ada perusahaan yang menginginkan transplantasi ginjal dan
sumsum ditanggung, Bahkan ada perusahaan yang menginginkan tidak ada batasan.
Mengingat sifatnya yang komersial, produk asuransi kesehatan dapat sangat beragam yang
mencerminkan kombinasi dari jaminan yang diberikan, cara pembayaran manfaatlbenefit,
besarnya biayalbeban sendiri, dan jaringan PPK yang boleh digunakan, Jika dihitung
kombinasi dari berbagai aspek tersebut diatas, maka secara teoritis dapat tersusun lebih dari
satu juta produk asuransi kesehatan. Hal tersebut tergantung dari berbagai kombinasi,
seperti : 1. Cakupan pelayanan yang ditanggung yang dapat bervariasi dari pelayanan
promotif preventif sampai pelayanan jangka panjang (long term care) (lihat gambar 4.2). 2.
Besamya biaya sendiri yang dapat berupa biaya pertama (deductible), iur biaya (co
payment/coinsurance), batas pertanggungan maksium (limit) per perawatan, per penyakit,
atau total manfaat setahun. 3. Cara pembayaran manfaatlbenefit yang dapat berupa uang
tunai tanpa terkait dengan pelayanan yang diberikan, penggantian biaya dengan atau tanpa
batas maksium per pelayanan atau per perawatan setelah tertanggung membayar dulu di
muka, pembayaran langsung ke PPK, ataupun kontrak pembayaran khusus seperti kapitasi.
4. Pilihan PPK seperti dokter praktek, dokter spesialis, rumah sakit, kelas perawatan, PPK

tertentu yang telah dikontrak atau bebas memilih dimana saja, tanggungan pelayanan
kesehatan di dalam dan di luar negeri. 5. Pelayanan tambahan lain yang digabungkan yang
dapat berupa santunan kecelakaan diri, sakit pada waktu bepergian ke luar negeri, santunan
kematian,

ongkos

ambulan,

biaya

repatriasi/evakuasi,

santunan cacat tetap,

dan

pengembalian premi Askes Komersial di Indonesia 84 H Thabrany Gambar4.2 Potensi


Cakupan Pelayanan Dalam Paket Pertanggungan Asuransi Kesehatan Promotif Sehat Mati
11/

,,::)!

Klinis

.:-.:""

:"'":..;..:..;..:..:...:..:...:..:...:.;...:

..

:-...,.

Ganggu

kegiatan ::::::::::.:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::: :Ar. : :.: : d produlrtif:yg:hilang::::::: ............


i/Gagill: : : : : : : : : : : : : : : : : : : Pen: . embuhan' iak :seiii . Utiiaicacat WaktulUmur Pada
umumnya paket jaminan yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi adalah sebagai berikut:
1. Rawat Inap di Rumah Sakit a. Biaya rawat inap Umumnya masa rawat inap yang dijamin
bervariasi dari maksimum 60 hari sampai 365 hari setahun Umumnya untuk setiap
perawatan di rumah sakit asuradur memberikan santunan berupa uang sejumlah tertentu,
misalnya Rp 100.000 Rp 500.000 per hari. Tertanggung dapat menggunakan dana tersebut
untuk membiayai perawatan dan atau keperluan lain misalnya transportasi, biaya keluarga di
rumah, dan lain-lain. b. Penggantian biaya ruang perawatan dan makanan (room & board)
Mencakup biaya ruang, makanan, dan pelayanan asuhan keperawatan rutin. Penggantian
biaya atas dasar plafonibatas maksimum per hari sesuai paket yang dibeli peserta atau
perusahaan. Biasanya penggantian mengacu pada tarif kamar tertentu di RS swasta,
misalnya kelas III, kelas II, dsb. Penggantian biaya penuh sesuai tagihan rumah sakit. Pada
produk ini seringkali asuradur membayarkan langsung ke RS atas tagihan RS. Askes
Komersial di Indonesia 85 H Thabrany c. Biaya pelayanan dan bahan medis lain (biaya
aneka) Biaya konsultasi dokter/visite yang dapat dibatasi jenisnya (dokter umum/spesialis)
atau jumlahnya per hari atau dalam bentuk maksimum biaya yang diganti. Kebanyakan RS
membedakan jenis-jenis biaya ini dalam tagihan/k1aimnya. Biaya obat atau bahan medis
yang masuk kelompok medicines, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan laboratorium,
pemakaian ruang operasi, dan pelayanan ambulan atau fasilitas lain. Bebarapa produk
membatasi biaya obat pada obat-obat generik atau sesuai dengan resep dokter Biaya
pembedahan yang mencakup sewa kamar operasi, bahan dan obat-obatan, dan honor

dokter bedah. Biaya anestesi (jasa dan bahan) pada umumnya dimasukkan sebagai
komponen jaminan pembedahan. Biaya-biaya ini dibayar dengan tiga cara: * Biaya
maksimum untuk tiap pelayanan yang diberikan. * Untuk pembedahan seringkali
digabungkan antara biaya dokter bedah dan anestesi dengan plafon penggantian tertentu.
Ada produk yang membedakan operasi khusus, sedang, kecil, dsb. * Dibayar penuh sesuai
tagihan rumah sakit d. Biaya Pelayanan Intensif (Intensive Care Unit) Perawatan intesif
penyakit jantung (ICCU) atau pelayanan intensif umum (ICU) biasanya ditanggung sampai
maksimum jumlah hari, atau biaya, atau kombinasi keduanya. e. Biaya penunjang medik
Biaya penunjang medik seperti laboratorium, radiologi, patologi anatomi, dan pemeriksaan
penunjang medis lain biasanya ditanggung dengan plafon tertentu. 2.Rawat Jalan Rawat
jalan dokter umum maupun dokter spesialis biasanya ditanggung dengan plafon penggantian
tertentu. Ada produk yang mengharuskan rujukan dari dokter umum untuk menjamin
perawatan oleh dokter spesialis Biaya obat atau pemeriksaan penunjang ditanggung
dengan plafon tertentu per kali atau pertahun. 3. Asuransi Kecelakaan Diri Asuransi
kecelakaan diri (AKD) merupakan kombinasi dari asuransi kesehatan dan jiwa karena
jaminan yang diberikan tidak hanya terbatas pada biaya pengobatan apabila terjadi
kecelakaan. Justeru yang lebih ditawarkan dari AKD ini adalah jaminan cacat tetap dan
jaminan kematian akibat kecelakaan. Biasanya jaminan diberikan dalam bentuk Askes
Komersial di Indonesia 86 H Thabrany penggantian sejumlah uang apabila terjadi
kecelakaan yang memenuhi syarat pertanggungan, Perkembangan AKD dari segi premi
menempati urutan pertama asuransi kesehatan dalam periode awal. Namun demikian, kini
jumlah premi dari penjualan asuransi kesehatan yang bukan AKD sudah mulai melampaui
jumlah premi yang diperoleh perusahaan asuransi di Indonesia. 4. Asuransi Perjalanan
Asuransi perjalanan (travel insurance) kini juga mulai ramai diperdagangkan sejalan dengan
semakin banyaknya penduduk yang melakukan perjalanan untuk tujuan pekerjaan maupun
liburan. Asuransi perjalanan juga menjamin mahasiswa yang akan belajar di luar negeri.
Asuransi ini dijual untuk perjalanan satu minggu hingga satu tahun dan berlaku di seluruh
dunia. Paket jaminannya mencakup biaya perawatan/pengobatan selama perjalanan yang
diberikan dalam bentuk uang tunai, biaya evakuasi medis/repatriasi, santunan cacat, dan

mencakup santuan kematian. 5. Asuransi Kesehatan Pensiun Beberapa perusahaan


asuransi seperti Bringin Life dan Tugu Mandiri sudah menawarkan produk asuransi
kesehatan dengan pembayaran premi sekaligus atau berkala selama masa kerja. Jaminan
diberikan ketika pegawai tersebut memasuki usia pensiun sampai pegawai tersebut dan
pasangannya meninggal dunia. Karena saat ini tidak tersedia program pemerintah yang
menjamin pensiunan mendapatkan pelayanan kesehatan, produk seperti ini menarik pasar.
Namun demikian, banyak pembeli yang belum bisa yakin benar dengan produk yang
ditawarkan karena belum banyak pengalaman. Contoh paket yang ditawarkan oleh Asuransi
Bringin Life adalah: R awat man Paket Jaminan (Rp) ITEM A B C D Biaya Kamar & Makan /
Hari 250.000 125.000 75.000 50.000 Aneka Biaya Perawatan RS 10.000.000 5.000.000
3.000.000 2.000.000 Biaya Operasi 10.000.000 5.000.000 3.000.000 2.000.000 Kunjungan
Dokter / Hari 62.500 31.250 18.750 12.500 Maksimum santunan per tahun 48.125.000
24.062.500 14.437.500 9.625.000 Rawat jalan Rawat jalan juga ditanggung dengan jaminan
maksimum per tahun dan rincian sebagai berikut: A B 1.250.000 1.000.000 Askes Komersial
di Indonesia 87 H Thabrany Ruang Lingkup Rawat Jalan : a. Rawat Jalan Tingkat Pertama :
Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum. Pemeriksaan dan pengobatan oleh
dokter gigi Pemberian obat-obatan sesuai dengan kebutuhan medis b. Rawat Jalan Tingkat
Lanjutan : Pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter spesialis Pemberian obat-obatan
sesuai dengan kebutuhan medis c. Penunjang Diagnostik : Pemeriksaan laboratorium klinik
dan pelayanan radiology Pelayanan elektromedis : EEG, EKG, EMG dan USG Pelayanan
Endoskopi, CT Scanning dan MRI d. Pelayanan Emergency (Gawat Darurat) :
Kecelakaan/rudapaksa Serangan jantung Serangan asma berat Kehilangan kesadaran
Kejang dengan demam tinggi Muntah berak disertai dehidrasi Kolik (kejang perut) e.
Pelayanan Rehabilitasi Kacamata Gigi palsu Alat Bantu dengar Alat kesehatan : pin,
srew Askes Komersial di Indonesia 88 H Thabrany Contoh produk askes tradisional (dari
sebuah iklan di harian Kompas, 21 September 2001). Produk: Santunan tunai harian untuk
rawat inap Karakteristik produk/manfaat: * Santunan uang tunai, maksimal Rp 200.000
apabila peserta dirawat di rumah sakit di tahun pertama * BONUS tambahan santunan Rp
50.000 per hari untuk tahun kedua dan seterusnya * Lama kontrak delapan tahun Daya tarik

yang ditawarkan: * Uang kembali 100%. Seluruh premi yang dibayarkan akan dikembalikan
pada akhir tahun ke delapan, meskipun peserta telah mengajukan klaim berkali -kali * Bebas
memilih rumah sakit di dalam dan di luar negeri * Tidak perlu pemeriksaan kesehatan. *
Peserta diberikan waktu 15 hari untuk mempelajari polis. Apabila dalam 15 hari prospek
merasa polis tidak sesuai harapannya, maka polis dapat dibatalkan dan premi yang telah
dibayar dikembalikan 100% * Pendaftaran mudah, melalui pos atau fax. Tabel: Santunan
tunai harian dan per tahun (Rp) Masa PaketA PaketB PaketC kontrak Perhari Perth Perhari
Perth Perhari Perth Thke 1 100.000 36.500.000 150.000 54.750.000 200.000 73.000.000
Thke2 150.000 54.750.000 200.000 73.000.000 250.000 91.250.000 Thke3 200.000
73.000.000 250.000 91.250.000 300.000 109.500.000 Thke4 250.000 91.250.000 300.000
109.500.000 350.000 127.750.000 Thke5 300.000 109.500.000 350.000 127.750.000
400.000

146.000.000

Thke6

350.000

127.750.000

400.000

146.000.000

450.000

164.250.000 Thke7 400.000 146.000.000 450.000 164.250.000 500.000 182.500.000 Thke8


450.000 164.250.000 500.000 182.500.000 550.000 200.750.000 Tabel: Besarnya premi
bulanan per orang (Rp) Usia (tahun) PaketA PaketB PaketC 0-15 42.000 50.520 58.500 1639 125.250 148.500 171.750 40-44 168.750 200.250 232.500 45-49 230.250 272.250
314.250 50-54 338.250 399.750 462.000 55-57 406.500 485.250 563.250 Askes Komersial
di Indonesia 89 H Thabrany 4.2.3. Perkembangan Perkembangan kepesertaan dan
pero1ehan premi sete1ah dike1uarkannya

undang

undang

asuransi menunjukkan

perkembangan yang menggembirakan perusahaan asuransi. N amun demikian, pasar


asuransi kesehatan tradisiona1 ini pada umumnya masih sangat terbatas di kota-kota besar
dan dari perusahaan-perusahaan yang cukup besar pula. Perkembangan penerimaan premi
dan klaim usaha asuransi kesehatan ada1ah seperti tercantum da1am tabe1 4.2. Tampak
da1am tabe1 tersebut perkembangan penerimaan premi oleh perusahaan asuransi kerugian,
yang menggabungkan 1aporan AKD dengan asuransi kesehatan. Tampak pertumbuhan
penerimaan premi melonjak tajam antara tahun 1996-1997. Be1um je1as benar apa yang
menyebabkan lonjakan penerimaan premi AKD dan Kesehatan ini. Namun sete1ah tahun
1997 terjadi peningkatan yang pesat rata-rata mencapai 24% setahun. Jika dibandingkan
dengan penjua1an premi AKD dan Kesehatan yang di1akukan oleh perusahaan asuransi

jiwa, tampaknya perusasaan asuransi jiwa 1ebih mampu memanfaatkan pe1uang asuransi
kesehatan ini. Di tahun 1999 perusahaan asuransi jiwa mampu mengumpu1kan premi
sebesar hampir Rp 180 mi1yar dari produk AKD dan Rp 222 mi1yar dari asuransi kesehatan
murni. Jika dilihat perbedaan antara perusahaan asuransi nasiona1 dengan patungan,
tampaknya perusahaan patungan dengan asing 1ebih mampu mengeruk premi asuransi
kesehatan. Hal ini mungkin terkait dengan tingkat kepercayaan konsumen dan tingkat
keahlian perusahaan asuransi international, khususnya perusahaan asuransi Amerika yang
te1ah banyak berpenga1aman menjua1 asuransi kesehatan. Jumlah premi asuransi
kesehatan tersebut tidak termasuk dengan besamya premi yang diterima oleh PT Askes dari
penjua1an produk asuransi kesehatan komersia1nya yang mencapai Rp 100 mi1yar tahun
1a1u. TabeI4.2. Perkembangan volume asuransi kesehatan dan kecelakaan diri yang dijual
perusahaan asuransi kerugian 1995-1999 (Rp juta) Premi Pertumbuhan Tahun 1995 50.231
1996 54.243 8,0% 1997 145.568 168,4% 1998 180.130 23,7% 1999 225.049 24,9%
Sumber: Laporan Kegiatan Asuransi 1999 Perkembangan usaha asuransi kesehatan
tradisiona1 di Indonesia memang baru tahap permu1aan yang mu1ai berkembang sete1ah
UU Jamsostek dike1uarkan. Pertumbuhan asuransi kesehatan tradisiona1, se1ain
disebabkan banyak usaha asuransi patungan yang te1ah berpenga1aman menjua1 produk
asuransi kesehatan, khususnya perusahaan asuransi yang pernah beroperasi di Amerika,
juga didorong oleh PP 14/93 tentang Jamsostek yang Askes Komersial di Indonesia 90 H
Thabrany membolehkan perusahaan yang sudah memberikan pelayanan lebih baik untuk
tidak ikut JPK Jamsostek. Tanpa klausul ini, usaha asuransi kesehatan sulit berkembang
lebih cepat lagi. Tabel4.3 Perkembangan penerimaan premi AKD dan asuransi kesehatan
1998-1999 (Rpjuta) Jenis Premi 1999 Klaim 1999 perusahaan AKD Askes AKD Askes
ASURANSI KERUGIAN BUMN - Nasional 100.884,3 11.868,6 Patungan 76.029,8 28.409,0
Reasuransi 48.135,6 35.410,6 Total Asurnasi kerugian 225.049,70 75.688,2 ASURANSI
nWA BUMN 2.465,4 608,5 Nasional 132.883,8 67.379.9 Patungan 44.455,7 154.906,8 Total
179.804,9 222.895,3 Asurnasi Jiwa Grand 627.749,9* TOTAL Sumber: Laporan Kegiatan
Asuransi 1999 *Jumlah tersebut tidak termasuk produk Askes komersial yang dijual PT
Askes yang masuk dalam kelompok JPKM i _ Landasan Hukum Penyelenggaraan JPKM

(kumpulan peraturan). Ditjen DPSM, Jakarta 1996. ii _ Managed care: Managed care:
Integrating the Delivery and Financing of Health Care, Part A. HIAA, Wshington D.C., 1995
__ Managed care: Managed care: Integrating the Delivery and Financing of Health Care,
Part B. HIAA, Wshington D.C., 1996 Kongstvedt, P.R. The Managed Health Care Handbook.
Third Ed. Aspen Publication, Gaithersburg, MD. 1996 iii _ Health Care in Germany. The
Federal Ministry for Health, Germany. Kiel, Germany, 1995. iv _ Bureau of National Health
Insurance, Taiwan. Askes Komersial di Indonesia 91 H Thabrany BABS Asuransi Kesehatan
Nasional: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 5.1. Pendahuluan Hampir 60 tahun
lamanya, kita mendengungkan sila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab", tetapi sebagian besar penduduk Indonesia belum merasakan
adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila orang sakit tidak dirawat karena tidak
mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan orang semacam itu sudah dianggap suatu
hal yang rutin dan diterima secara budaya. Kini semakin banyak dokter dan rumah sakit yang
semakin kurang mementingkan kesehatan pasiennya, tetapi lebih memelihara tingkat
penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat sesuatu karena adanya informasi asimetri
yang menempatkan pasien pada posisi lemah (consumer ignorance). 1,2,3 Kecendrungan
ini akan menambah beban berat bagi masyarakat miskin dan yang tidak miskin sekalipun.
Sampat saat ini belum ada kekuatan penyeimbang atas informasi asimetri, kesenjangan
informasi yang amat jauh, antara dokter/provider dengan pasien yang hampir tak punya
pengetahuan dan kemampuan dalam mengambil keputusan konsumsi pelayanan kesehatan.
Sebuah sistem asuransi kesehatan nasional merupakan alat yang ampuh dalam mengatasi
masalah informasi asimetri tersebut dalam menolong konsumen (peserta/pasien) yang
ignorance. Setelah dimulainya program jaminan kesehatan masyarakat kurang mampu
melalui subsidi iuran pemerintah untuk penduduk kurang mampu, sekitar 54 juta jiwa, kini
sekitar 145 juta penduduk masih terancam menjadi miskin jika ia terserang penyakit berat
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Oleh karenanya ada pemikiran untuk
menjamin pelayanan perawatan di RS pemerintah kelas III, apapun kelas ekonomi
penduduk. Kita tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar dalam mencegah dan
menolong proses pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei rumah tangga

menunjukkan bahwa lebih dari 80% rumah tangga Indonesia menghabiskan 60% atau lebih
dari pendapatannya sebulan untuk belanja makanan. Jika sebuah rumah tangga hams
membayar lebih dari 40% pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga tersebut
terancam mengorbankan konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan berbagai
komplikasi penyakit dan komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan kehidupan sebuah
keluarga. Pemberian asuransi/jaminan kesehatan merupakan suatu upaya preventif terhadap
bertambah beratnya suatu penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap berbagai
masalah so sial dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang hams kita pahami. AKN: Contoh
dan Masa Depannya di Indonesia 92 H Thabrany 5.2. Mengapa Asuransi Kesehatan
Nasional ? Istilah asuransi di Indonesia sesungguhnya belum mendapat tempat yang cukup
baik karena pengalaman dan ketidak-tahuan penduduk. Praktek-praktek bisnis asuransi yang
masih sering menimbulkan kekecewaan pemegang polis (atau yang di Indonesia lebih sering
dikenal dengan istilah peserta), baik karena ketidak-fahaman peserta, polis yang kurang
melindungi peserta, polis yang tercetak dengan hump kecil dan sulit dibaca, maupun karena
tindakan moral hazard dari pengelola bisnis asuransi, telah menimbulkan image yang kurang
baik dari kata-kata asuransi. Ketidak-fahaman tentang asuransi di kalangan masyarakat luas
juga telah menimbulkan kesan negatif dari upaya-upaya penyediaan asuransi secara
nasional, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang perlindungan hari tua maupun
kematian. Kesanjeleknya pelayanan Askes (oleh PT Askes) yang dahulu dirasakan oleh
banyak peserta pegawai negeri golongan III dan IV masih banyak membekas dan sering
diungkapkan sebagai kelemahan nasional. Meskipun sesungguhnya banyak perbaikan telah
dilakukan Askes, namun sebagian masyarakat pegawai negeri dan swasta, masih memiliki
kesan pelayanan yang buruk. Kenyataannya PT Askes beberapa kali mendapat
penghargaan dari pengamat asuransi kesehatan dan pengamat BUMN sebagai pengelola
asuransi kesehatan terbaik. Tentu tidak mudah dan tidak cepat mengubah persepsi yang
sudah terlanjur kurang baik, khususnya oleh masyarakat kelas atas. Data pemantauan
Askes memang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan peserta terhadap pelayanan Askes
mencapai sekitar 80%, artinya masih ada sekitar 20% peserta yang kurang atau tidak puas.
Sesungguhnya tingkat kepuasan ini merupakan tingkat yang tinggi untuk suatu asuransi

sosial. Praktek penyelenggaraan asuransi sosial juga telah terdistorsi, dengan menyamakan
badan penyelenggara sebagai unit bisnis yang hams mendapatkan keuntungan finansial,
sehingga menambah buruk kesan asuransi yang sesungguhnya sangat netral dan
merupakan alat ampuh dalam menjalin kegotong-royongan penduduk dimanapun di dunia.
Sejarah masih mencatat sampai saat ini bahwa lima badan penyelenggara asuransi sosial,
yaitu PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT Taspen, PT ASABRI, dan PT Jasa Raharja
adalah BUMN Persero yang bertujuan mencari laba.4 Bentuk badan hukum penyelenggara
asuransi sosial yang merupakan PT Persero, yang secara legal bertujuan mencari
keuntungan dan inheren tidak mendapatkan subsidi pemerintah, sama sekali tidak sesuai
dengan prinsip universal, visi dan misi suatu program asuransi sosial. Kebijakan masa lalu
ini merupakan kebijakan 'keajaiban dunia ke delapan' di dunia, karena sepanjang
pengetahuan penulis, Indonesia adalah satu-satunya negara yang menyelenggarakan
program asuransi sosial dimana badan penyelenggaranya menyetorkan laba bagi keuangan
negara. Syukurlah, Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah
melumskan penerapan konsep asuransi sosial dengan menetapkan keempat BUMN tersebut
sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang hams bersifat nirlaba. Artinya, jika
terdapat surplus operasional, maka dana surplus tersebut akan dikembalikan sepenuhnya
untuk manfaat bagi peserta. Pengaturan lebih Istilah moral hazard umum digunakan untuk
tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk memanfaatkan informasi asimetri
guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh pengelola
asuransi. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 93 H Thabrany rinci dari prinsip
nirlaba ini, pada saat ini sedang dalam proses perumusan yaitu perubahan PP tentang BPJS
yang kini masih PT Persero tersebut. Kata asuransi pernah 'diharamkan' karena dinilai
begitu jelek. Penggunaan kata asuransi pernah dihindari untuk 'membenarkan' bahwa suatu
upaya tidak terkena aturan UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah 'jaminan' yang
diperdebatkan sebagai 'bukan asuransi'. Asuransi sebagai suatu instrumen sosial
mempunyai mekanisme transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal dalam
mengatasi berbagai risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala
sesuatu yang mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah

sama sekali dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi hams mendapat tempat yang
baik. Dalam bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak,
antara lain oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.5,6,7,8 Kini semakin
banyak orang memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan
yang mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia
international telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur
maupun dalam penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan
asuransi selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Judul
Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) sengaja digunakan disini karena memang istilah AKN
(National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan, khususnya di
dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada, Amerika Serikat,
Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi Kesehatan Nasional
sebagai suatu mekanisme transfer risiko dan pengumpulan dana (pooling risks), kegotongroyongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing) pelayanan kesehatan bagi
penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya memberikan jaminan
kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD pasal
28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2). 5.3. Asuransi Kesehatan Nasional di Berbagai Negara
Apa sesungguhnya Asuransi Kesehatan Nasional (AKN)? Istilah AKN (National Health
Insurance) kini semakin banyak digunakan di dunia internasional. Inggris merupakan negara
pertama yang memperkenal AKN di tahun 19119. Meskipun sistem kesehatan di Inggris kini
lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS), sesungguhnya sistem tersebut
juga merupakan AKN yang dibiayai dari kontribusi wajib oleh tenaga kerja (termasuk di
sektor informal) dan pemberi kerja. Namun demikian, karena penyaluran dananya melalui
belanja negara langsung, semacam APBN di Indonesia, maka sistem di Inggris tersebut
lebih dikenal dengan NHS (tax-funded) ketimbang AKN. Negara-negara Eropa lain, pada
umumnya juga memiliki cakupan universal dengan sistem NHS yang mengikuti pola
Inggris.l'' Baik NHS maupun AKN mempunyai tujuan yang sama yaitu menjamin bahwa
seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
penduduk tersebut. Yang berbeda adalah bahwa pendanaannya AKN lebih bertumpu pada

kontribusi khusus yang bersifat wajib (yang ekivalen dengan pajak) dan dikelola secara
terpisah dari anggaran belanja AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 94 H
Thabrany negara, baik dikelola lanS.sunf. oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi
pemerintah yang otonom.U:' ,13,1 ,15 Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan
tujuan, penyelenggaraan AKN di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN
yang kini disebut Medicare di tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal,
portabel, paket jaminan yang sama bagi semua penduduk dan dilaksanakan otonom di tiap
propinsi. Pendanaan AKN merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari
anggaran pemerintah pusat. Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada
tahun 1972, paketjaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh penduduk Kanada
menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa hams memikirkan berapa besar biaya
yang mereka hams keluarkan dari kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun.
Beberapa jenis pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin AKN
merupakan pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 16,17,18 Negara tetangga Kanada
telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN. Pasa saat ini, AS mempunyai asuransi
kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk diatas 65 tahun saja yang disebut Medicare
part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk
usia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini merupakan suatu bukti kegagalan
mekanisme pasar dalam bidang kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh asuransi
kesehatan komersial. Dengan belanja kesehatan per kapita lebih
dari US$ 5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya negara maju yang tidak mampu memiliki
asuransi kesehatan nasional.!" Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan UU (Bill)
AKN yang semuanya kandas karena begitu banyak interes bisnis dan politik sehingga
kepentingan publik tidak terlindungi dengan baik.20 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak
memiliki asuransi kesehatan yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat
ini, 18% penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak mampu
meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang dikala itu tinggal 23% saja.
Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan Amerika dengan UU Portabilitas Asuransi
dan berbagai UU lain yang bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN, gagal

meningkatkan cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market failure
dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah
diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan menjadi
tiga model yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran pemerintah, (2)
perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh penduduk, dan (3)
bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.r' Upaya terakhir
untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden Bill Clinton di tahun 1993 yang
sekali lagi gaga! karena kekuatan perusahaan asuransi, yang memiliki dana lebih besar dan
takut kehilangan pasar, lebih mampu mempengaruhi anggota Kongres untuk menolak usulan
Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan AKN, yang lebih mementingkan kepentingan
pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang hams sejak dini kita hindari. Jerman
dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi kesehatan sosial di
jaman Otto von Bismark di tahun 1883. Pada masa lalu, jumlah badan AKN: Contoh dan
Masa Depannya di Indonesia 95 H Thabrany penyelenggara asuransi kesehatan so sial
(sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah ribuan. Namun demikian,
karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak sickness funds yang merjer sehingga kini
jumlahnya sudah menyusut menjadi 420 saja. Semua penduduk dengan penghasilan di
bawah EUR 3.375 per bulan wajib marnbayar kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah
sebulan. Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta sickness
funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan membeli asuransi kesehatan
komersial, mereka tidak diperkenankan ikut. Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman
yang membeli asuransi komersial.22,23,24,25 Jerman memang tidak memiliki satu lembaga
asuransi kesehatan yang secara khusus dirancang untuk menjarnin seluruh penduduk.
Namun demikian, Jerman telah menjamin seluruh penduduknya dengan biaya yang separuh
dari yang dikeluarkan Amerika. Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi
kesehatan di Belanda sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi disanasini. Belanda sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis
yang besar (exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan bersekala
nasional A WBZ. Sementara pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai

badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU
Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan untuk
membeli asuransi kesehatan komersial.26,27,28 Dengan model yang harnpir sarna dengan
model Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang berskala
Nasional untuk perawatan kasus-kasus medis yang mahal. Australia mengeluarkan UU
Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan memberikan jaminan pelayanan komprehensif
kepada seluruh penduduk Australia, baik yang berada di Australia maupun yang berada di
beberapa negara tetangga seperti di Selandia Baru dan warga negara beberapa negara
Eropa yang tinggal di Australia. Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh
Health Insurance Commisioner di tingkat negara Federal. Seluruh penduduk Australia tidak
pemah hams memikirkan biaya perawatan manakala mereka sakit dan karenanya penyakit
tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga
untuk merangsang penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta diberikan
perangsang pengurangan kontribusi asuransi wajib?9,30,31 Sebagai sekutu Jerman dalarn
Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola sistem asuransi kesehatan yang mengikuti
pola Jerman dengan berbagai modifikasi. Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko
Hoken) digunakan untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (selfemployed), pensiunan swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya.
Penyelenggara AKN diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan
bagi pekerja aktif di sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara
terpisah. Sesungguhnya Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan
sejak tahun 1922. Akan tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal
saja tidak bisa menjarnin penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki
usia pensiun mendapatkan jarninan kesehatan. Untuk memperluas jarninan kesehatan
kepada seluruh penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan
asuransi kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalarn sistem asuransi kesehatan di
Jepang, AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 96 H Thabrany peserta dan
anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang bervariasi antara 2030% dari biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya inilah yang menjadi

pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 32,33,34 Negara Asia yang pertama kali
secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan melakukan pooling nasional adalah
Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat UU AKN dikeluarkan di tahun 1995
yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan.
Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan asuransi
kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang
sebelumnya dikelola secara sendiri sendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan
efisiensi dan kualitas pelayanan yang telah menjamin akses yang sama kepada seluruh
penduduk, dengan jaminan komprehensif yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus
meningkat diatas 70%. Sistem AKN di Taiwan merupakan salah satu sistem yang
menanggung pengobatan tradisional Cina dalam paket jaminan yang diberikan kepada
pesertanya.35,36,37,38,39 Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976
dengan mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian
diperluas sampai pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi
kesehatan. Cakupan askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan
pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa,
karena dalam waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi
penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang
bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national
dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi
kerja dan subsidi pemerintah.40,41,42 Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para
pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa
keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul
karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi
memikirkan

bisnis

mereka,

tanpa

harus

memikirkan

kesehatan

karyawannya.

Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan kini sedang
dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya sudah
mencakup seluruh penduduk (universal coverage). U sulan penyelenggaraan AKN di
Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi pembayaran

kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).43 Asuransi kesehatan di Muangtai


terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya amat liberal
dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup orang tua dan
mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan komprehensif
melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan pekerja informal
memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah lembaga independen
yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh penduduk di luar pegawai
swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan
hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau dirawat, termasuk perawatan
intensif dan pembedahan.44,45,46,47 Dengan demikian, seluruh penduduk Muangtai kini
juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih produktif membangun
negaranya. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 97 H Thabrany Filipina
merupakan negara berkembang setingkat Indonesia, yang memiliki penduduk tersebar di
lebih dari 7.000 pulau, yang menancapkan tekad AKN di akhir Milenium kedua. Di tahun
1995, Filipina berhasil mengeluarkan UU AKN yang menggabungkan penyelenggaraan
asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan pegawai swasta yang sebelumnya dikelola
sendiri-sendiri ke dalam suatu badan AKN. Sebagai negara berkembang yang kini
berpendapatan per kapita sedikit diatas US$ 1.000, Filipina merupakan negara berkembang
yang berhasil dalam mengembangkan AKN menuju cakupan seluruh penduduk. Memang
saat ini cakupan penduduknya baru mencapai sekitar 60% saja, namun demikian seluruh
pekerja di sektor formal telah menjadi peserta. Meskipun paket jaminannya belum
komprehensif, paling tidak Filipina sudah mampu meniadakan ancaman pemiskinan karena
sakit bagi sebagian besar penduduknya.48,49,50 5.4. Asuransi Kesehatan Sosial Sebagai
Tulang Punggung AKN Dari beberapa situasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah bahwa
AKN merupakan suatu alat menjamin cakupan universal yang semakin banyak diterapkan
oleh negara maju maupun berkembang. Sistem AKN menjadi suatu altematif sistem NHS
yang semakin menunjukkan kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat
diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU JS seperti
Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana AKN dapat dikelola

seluruhnya secara sentral atau mengakomodir pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana


kemampuan manajemen suatu negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan efisiensi
yang tinggi sehingga dana yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih optimal.
Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun berkembang. Pada waktu
Departemen Kesehatan dipimpin oleh Professor Siwabessy, di tahun 1968 Menkes pada
waktu itu sudah mencita-citakan terwujudnya sebuah Sistem AKN.51,52 Kini tampaknya
harapan Siwabessy mulai tampak di ufuk era Reformasi Indonesia. Pemerintah telah
mengajukan UU SJSN pada tangga126 Januari 2004 yang lalu dan telah diundangkan oleh
Presiden Megawati pada hari terakhimya di Istana. Penanda-tanganan UU SJSN, yang diberi
nomor 40 tahun 2004, pada hari terakhir dengan mengundang lima Menteri terkait,
merupakan hal yang tidak biasa, mengandung makna simbolik bahwa Presiden Megawati
ingin menyampaikan "inilah yang bisa kuwariskan" untuk rakyat Indonesia. Klausul-klausul
yang mengatur jaminan kesehatan dalam UU SJSN tentan~ Jaminan Kesehatan memenuhi
kriteria sebagai suatu usulan National Health Insurance. Meskipun dalam UU SJSN tidak kita
dapati istilah Asuransi Kesehatan Nasional, apa yang diatur dalam pasal-pasal merupakan
upaya mewujudkan sebuah sistem AKN sebagai bagian dari SJSN. Dalam UU itu jelas
disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi
sosial dan berlaku secara Nasional, oleh karenanya UU tersebut sesungguhnya merupakan
landasan terselenggaranya sebuah sistem AKN. Dengan demikian, kini kita akan memasuki
era baru dimana pemerintah telah memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan
AKN, yang ditahun 2005 telah dimulai dengan memberikan jaminan kesehatan bagi sekitar
54 juta penduduk termiskin melalui PT Askes. Seperti halnya di negara-negara lain yang
telah lebih dahulu AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 98 H Thabrany
menyelenggarakan AKN, komitmen pemerintah ini sangat dipengaruhi oleh komitmen
Presidennya. Presiden Megawati telah mempunyai komitmen untuk memulai penyelenggaran
AKN sejak ia menjadi Wakil Presiden. "Kalau orang lain bisa, masa kita tidak bisa!". Itulah
kata-kata singkat yang disampaikan Ibu Presiden pada waktu anggota Tim SJSN
melaporkan perkembangan dan hasil kerja Tim kepada beliau tanggal 20 Nopember 2003 di
Istana Negara. Kini Kabinet Indonesia Bersatu, dibawah pimpinan Presiden Susilo Bambang

Yudoyono, program memberikan jaminan kepada penduduk kurang mampu sudah dimulai.
Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling dan sharing health risks
merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya sudah lama dikenal di dunia.
Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari sebuah sistem jaminan sosiaI54,55,56 masih
belum difahami oleh banyak pihak. Sampai saat inipun, belum banyak pihak-baik di kalangan
intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi sosial. Masih banyak
pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu asuransi untuk orang miskin. Kata-kata
'sosial' di Indonesia telah melekat dengan 'orang miskin' yang tidak mendapat prioritas atau
dengan penyelenggaraan suatu kegiatan yang 'tidak didasarkan pada perhitungan
ekonomis'. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial adalah asuransi
yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan segala yang negatif. Rancang
bangun asuransi sosial di Indonesia selama ini telah menyuburkan kesalah-fahaman
tersebut. Disinilah perlunya pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di Indonesia.
Sesungguhnya defmisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian, semua definisi
tersebut mempunyai empat elemen yang sama, yaitu:57,58,59,60,61 1. Kepesertaan
asuransi sosial bersifat wajib. Kewajiban menjadi peserta merupakan suatu syarat mutlak,
agar setiap orang mendapatkan perlindungan, terjamin atau terasuransikan. Kelompok
penduduk yang diwajibkan dapat mencakup suatu kelompok tertentu, misalnya pegawai
negeri, pegawai swasta dari perusahaan dengan jumlah karyawan tertentu, atau seluruh
penduduk. Kelompok penduduk yang diwajibkan, hanyalah sebuah tahapan untuk menuju
cakupan seluruh penduduk. Masih banyak yang sulit memahami bahwa pentahapan
mewajibkan kelompok-kelompok tertentu sebagai tidak adil atau tidak tepat. Sesungguhnya
pentahapan kewajiban adalah pendekatan manajemen untuk mencapai tujuan, yang
merupakan suatu keharusan-sebuah langkah awal sebelum ribuan langkah berikutnya
diambil, bukan sebuah tujuan akhir. Masih banyak pihak yang memahami kepesertaan wajib
sebagai sesuatu 'pemaksaan yang tidak perlu' sehingga masih banyak pihak yang belum
mendukung konsep SJSN kerena kesalah-fahaman ini. Sesungguhnya, wajib berkontribusi
pada AKN atau SJSN adalah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penduduk,
sebagaimana wajib membayar pajak yang merupakan suatu keharusan di negara manapun

di dunia. 2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang dijamin adalah setara dengan kebutuhan
setiap peserta. Sesungguhnya asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar
sehingga manfaat asuransi seringkali disebut 'perlindungan dasar'. Pemenuhan kebutuhan
dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi. Namun demikian,
pemahaman tentang 'perlindungan dasar kesehatan' seringkali AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 99 H Thabrany disamakan dengan perlindungan dasar kebutuhan
dasar lain seperti pangan, sandang, dan papan. Sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan
sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kebutuhan dasar lain, seperti yang akan
saya bahas lebih lanjut. Pemahaman yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan
rancangan manfaat (benefit design) jaminan sosial kita yang kini sudah berjalan, baik Askes
pegawai negeri maupun Jamsostek bagi pegawai swasta menjadi kurang optimal dalam
mengatasi risiko finansial yang terkait dengan risiko sakit. Alhamduli11ah, konsep AKN
dalam UU SJSN merupakan suatu perbaikan dari rancangan manfaat yang kurang optimal
tersebut. 3. Kontribusi (iuran, premi) merupakan proporsi dari pendapatan. Kontribusi yang
proporsional, biasanya persentase tertentu dari upah, gaji, atau penghasilan merupakan
suatu cara pendanaan yang menjamin bahwa setiap orang yang memiliki penghasilan
mampu mengiur. Jika diperhatikan dengan kewajiban membayar pajak yang juga
proporsional, maka kontribusi ini memang sangat mirip. Oleh karenanya di beberapa negara
sering disebut sosial security atau sosial insurance tax. Sesungguhnya kontribusi asuransi
sosial merupakan pajak yang penggunaannya khusus untuk mendanai manfaat (benefit)
asuransi wajib tersebut, sehingga kadang disebut juga earmarked tax. Namun demikian ada
sedikit perbedaan kontribusi wajib asuransi sosial yaitu umumnya sedikit regresif jika
dibandingkan be saran kontribusi pajak yang umumnya progresif. 4. Pengelolaannya bersifat
nirlaba (not for profit). Jika kita perhatikan penyelenggaraan asuransi sosial di seluruh dunia,
maka terdapat kesamaan pola penyelenggaraan yaitu dikelola oleh suatu badan pemerintah
atau oleh suatu badan kuasi pemerintah yang bersifat nirlaba. Indonesia merupakan satusatunya negara yang saat ini masih mengelola asuransi sosial oleh BUMN Persero yang
bersifat for profit. Untunglah, UU SJSN telah menempatkan pengelolaan asuransi sosial di
Indonesia yang konsisten dengan prinsip-prinsip universal. 5.5. Perlindungan Dasar

Kesehatan yang juga belum difahami Penetapan manfaat (benefit) AKN yang menjamin
kebutuhan dasar kesehatan dapat menjadi perdebatan panjang yang merugikan publik. Saya
mengamati bahwa pemahaman kebutuhan dasar kesehatan di Indonesia masih beragam.
Banyak pihak memahami kebutuhan dasar kesehatan sebagai pelayanan kesehatan yang
'relatif murah'. Hal ini terjadi karena pada umumnya banyak pihak menyamakan kebutuhan
kesehatan dengan kebutuhan lain. Bahkan kebijakan kesehatan di Indonesia belum secara
khusus menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang harus dapat diperoleh
secara memadai. Karena sifat alamiah kebutuhan kesehatan yang sangat berbeda dengan
kebutuhan dasar lain, maka sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan hams difahami dan
diperlakukan secara berbeda. Pemahaman perbedaan kebutuhan dasar kesehatan ini
sangat penting dalam merancang jaminan yang bersifat dasar dalam bidang kesehatan.
Sebab, jaminan yang sifatnya diatas paket dasar menjadi bagian asuransi kesehatan swasta
atau AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 100 H Thabrany dilepas pada
mekanisme pasar. Tanpa adanya keseragaman pemahaman tentang kebutuhan dasar
kesehatan, maka pengaturan AKN akan lebih menguntungkan sebagian kecil orang yang
berbisnis di bidang kesehatan, bukan memihak kepada produktifitas penduduk secara
keseluruhan. Pada akhimya, negaralah yang dirugikan. Perbedaan fundamental adalah
bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan mempunyai sifat ketidak pastian (uncertainty)
sehingga

kebutuhan

biaya

kesehatan

pada

tingkat

rumah

tangga

tidak

dapat

dihitung.62,63,64 Suatu keluarga muda yang relatif sehat mungkin tidak pemah mempunyai
kebutuhan berobat dalam satu tahun dan karenanya biaya kesehatan rumah tangga itu
menjadi nol. Sebaliknya suatu keluarga pensiunan dapat menghabiskan biaya lebih dari Rp 2
juta sebulan untuk standar selera kualitas pelayanan dasar sekalipun. Sebuah keluarga yang
salah seorang anggota keluarganya hams masuk perawatan intensif membutuhkan biaya
puluhan juta rupiah. Apakah biaya kesehatan yang jutaan tersebut untuk memenuhi bukan
kebutuhan dasar atau diatas dasar? Apa sesungguhnya kebutuhan dasar? Secara filosofis
kebutuhan dasar dapat kita fahami sebagai kebutuhan seseorang yang hidup yang apabila
tidak dipenuhi ia tidak akan mampu berproduksi. Atas dasar asumsi inilah, batas garis
kemiskinan ditetapkan. Akan tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line) dapat bervariasi

besar di antara berbagai negara karena tingkat penghasilan dan pemahaman tentang
kebutuhan dasar yang terus berkembang. Di Indonesia, kebutuhan dasar pangan seseorang
dipatok 2.100 kalori sehari. Kebutuhan kalori tersebut, dengan minimum 44 gram protein,
dapat dipenuhi dengan biaya Rp 8.500 per hari apabila ia membeli bahan mentah dan
memasak sendiri. Jelas makan di restoran yang berharga Rp 15.000 per kali makan saja,
bukanlah kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar sandang dan papan yang memungkinkan
seseorang berproduksi, bersekolah atau bekerja, mudah dihitung. Orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan tersebut kita sebut orang miskin.
Apakah mereka yang tidak tergolong miskin selalu mampu memenuhi kebutuhan perawatan
atau pembedahan? Pasti tidak! Jika seseorang yang membutuhkan perawatan intensif tidak
dirawat, apakah ia bisa berproduksi? Pasti tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan
kebutuhan dasar kesehatan. Apakah perawatan di ICU, pengobatan kanker, atau
hemodialisa (cuci darah) bukankah kebutuhan-kebutuhan dasar? Seseorang bahkan dapat
meninggal, bukan hanya tidak berproduksi, jika kebutuhan akan pengobatan atau perawatan
tersebut tidak dipenuhi. Oleh karenanya lebih mudah menetapkan besaran jaminan pensiun
dasar daripada menetapkan jaminan kesehatan dasar, apalagi kemudian ada interest bagi
pihak swasta untuk menjual asuransi diatas kebutuhan dasar. Di Indonesia terdapat banyak
orang yang salah faham tentang arti kebutuhan dasar pelayanan kesehatan sebagai
pelayanan dasar rawat jalan tingkat pertama atau pelayanan kesehatan yang murah
biayanya seperti pengobatan di puskesmas. Rawat jalan rujukan dan rawat inap sering
disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang kemudian diasosiasikan sebagai
kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama sekali bertentangan dengan asas
kemanusiaan dan asas kebersamaan atau tanggung-jawab bersama. Kalau kita renungkan
kembali makna kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang memungkinkan seseorang hidup
dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru. Faham yang banyak dianut adalah
bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan tingkat kesulitan atau tingkat biaya
pelayanan kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan AKN: Contoh dan Masa Depannya di
Indonesia 101 H Thabrany adalah kebutuhan akan pelayanan yang merupakan upaya untuk
mempertahankan hidup dan tingkat produktifitas seseorang yang secara normatif diterima

oleh norma-norma masyarakat. Atas dasar pemahaman inilah, maka perlindungan dasar
dalarn bidang kesehatan hamslah terkait dengan kebutuhan medis. Suatu kebutuhan yang
relatifbagi tiap orang dan hanya diketahui oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah
nanti, letak sulitnya mengelola sebuah AKN. Dengan konsep dasar tersebut, maka
pemberian bantuan biaya kesehatan hanya kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang
kita gunakan sekarang, belumlah sesuai dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebab mereka yang tidak tergolong miskin, yang masih marnpu memenuhi kebutuhan dasar
pangan, sandang, dan papan, sering kali tidak marnpu memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan. Mereka itu, jika tidak dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis
adalah miskin (medically poor). Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan
negara-negara yang berorientasi kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan
kesehatan gratis untuk semua penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya
dibutuhkan AKN yang menjamin seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta
menunjukkan bahwa negara miskin sekalipun, yang memberikan pelayanan kesehatan
cuma-cuma, seperti Sri Lanka dan Kuba, mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari
status kesehatan di negara kita yang cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada
mekanisme pasar yang memberatkan masyarakat. Itulah pula sebabnya, ketika Kanada
memulai AKN di tahun 1961 pelayanan perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijarnin.
Sejak pertarna kali diundangkan, Medicare di Amerika (semacarn AKN untuk penduduk usia
diatas 65 tahun dan penduduk dibawah usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya
menanggung perawatan rumah sakit dan perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A)
seperti yang telah dijelaskan di muka. Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya
perawatan di RS. Inggris dan banyak negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah
sakit tanpa hams membayar bagi penduduknya/" Malaysia mengikuti pola NHS Inggris
dimana setiap penduduk yang perlu perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3
(setara dengan Rp 6.000) per hari, sudah termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan
intensif bahkan jika di~erlukan bedah jantung sekalipun. Banyak negara-negara lain juga
berbuat yang sarna.66,6 ,68 Semua itu dilandasi pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar
kesehatan bukanlah kebutuhan akan pelayanan yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR

hendaknya memaharni benar hal ini dan tidak terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang
mempunyai interes dalam berbisnis asuransi kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini
pemah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan
kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan
bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi kerja sendiri-sendiri membeli asuransi kesehatan
untuk karyawannya, seperti yang dibenarkan dalarn PP tersebut tidak akan menjamin bahwa
setiap pekerja dan anggota keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan
mereka.F' Hendaknya hal ini tidak terulang lagi dalam PP yang mengatur jaminan kesehatan
dalarn UU SJSN. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 102 H Thabrany 5.6.
Kebutuhan akan Asuransi Kesehatan Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita belum
sanggup malaksanakan AKN seperti yang dilakukan Malaysia, SriLanka, Muangtai atau
Filipina. Sesungguhnya kita belum memiliki visi dan faham yang sarna dan belum
mempunyai kemauan untuk itu. Bukan belum sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat
untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dari visi dan kemauan yang sarna tersebut.
Bukankah Malaysia dan Srilanka telah memulai kebijakan itu puluhan tahun yang lalu, di kala
kondisi ekonominya lebih buruk dari keadaan kita sekarang. Keraguan dan komentarkomentar tentang belum saatnya kita memikirkan AKN merupakan pandangan yang kurang
memperhatikan kebutuhan akan asuransi kesehatan. Sesungguhnya kebutuhan (needs)
akan asuransi kesehatan di Indonesia sangat besar, akan tetapi permintaan (demand)
terhadap asuransi kesehatan memang sangat kecil, Kondisi tersebut bukanlah suatu
anomali, karena prilaku masyarakat di negara manapun sarna saja. Sering kita keliru dalarn
mengarnbil kebijakan dengan menyampaikan argumen bahwa masyarakat kita belum
insurance minded. Manusia di seluruh dunia mempunyai prilaku yang sarna, tidak cukup
sadar dan tidak cukup bertindak dalarn menghadapi risiko kesehatan di masa depan. Itulah
sebabnya, tidak ada satu negara majupun, yang tidak menjamin pelayanan kesehatan-baik
melalui asuransi wajib ataupun melalui dana pajak (tax funded), paling tidak untuk penduduk
berusia lanjut dan berisiko tinggi seperti yang dilakukan AS. Sesungguhnya inilah hakikat
masyarakat berbudaya atau masyarakat madani (civilized society), membuat sebuah sistem
dimana pada akhirnya seluruh masyarakat terjarnin. Tidak ada satu negarapun yang

menunggu sampai ekonominya baik dan masyarakatnya sadar akan asuransi kesehatan.
Kesadaran akan sesuatu yang belum terjadi memang hams dipaksakan. Oleh karenanya
sebuah sistem AKN atau jarninan sosial memerlukan sebuah undang-undang, yang bersifat
memaksa untuk kepentingan dan kebaikan masa depan penduduk itu sendiri. Kebutuhan
akan asuransi dapat dilihat dari data-data survei Susenas maupun survei-survei rumah
tangga lainnya. Data-data survei secara konsisten menunjukkan bahwa untuk membiayai
rawat inap seorang anggota keluarga, sebuah rumah tangga Indonesia hams mengeluarkan
lebih dari sebulan gajinya.70,71 Tidaklah mengherankanjika pelayanan rawat inap di rumah
sakit pemerintah sekalipun, lebih banyak dinikmati oleh mereka yang kaya. Data
menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat di RS publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20%
penduduk terkaya, sementara 20% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari
rawat.72 Penduduk di kelompok menengah ke bawah merupakan penduduk yang
mempunyai beban berat memikul biaya rumah sakit yang mencapai 2-4 kali penghasilannya
sebulan.73 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah jelas memberikan pedoman terhadap
kasus biaya kesehatan katastropik untuk mengembangkan asuransi kesehatan'" sebagai
upaya mencegah penurunan produktifitas penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga
menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga dapat diorganisir dalarn sebuah sistem asuransi
kesehatan dengan membayar 5-6% penghasilannya sebulan, mereka tidak akan pemah
menghadapi risiko finansial yang dapat menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura
mewajibkan setiap rakyatnya menabung 6- 8% sebulan untuk biaya kesehatan." Korea,
Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico, AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia
103 H Thabrany dan negara-negara maju di Eropa dan Amerika yang sudah melaksanakan
asuransi/jaminan sosial secara luas mewajibkan kontribusi antara 2,5%-14% dari upah atau
penghasilan sebulan." Beban kontribusi rutin sebesar itu, tentujauh lebih ringan dan tidak
akan merusak tatanan ekonomi rumah tangga. Apalagi, jika pemerintah memberikan subsidi
kontribusi agar besaran kontribusi bisa turun, seperti yang dilakukan Muangtai. Gambar .
Skema Pengorganisasi Pendanaan yang Direkomendasi WHO. Yes Publkgood? 1---+ No
Yes---I 1----+ No I----Yes-- . I 1----+ No No I_--Yr=s ....--_---..;L...-_---._ No Yes------,
L,~~~~._J~----t_---_1-------ks No Yes J J 1001101 provide Hnanre pubHcly _--I 1------_ Leave

10 ~eg~ll~ted L..- __ .... pri11ale market 50urce:Adapted from MusgrOlre P,Publlc spending
on health Glre: howare different crnelia nelated7l1eaithPoJIcy, '199'),47(3): 207-223. Dikutip
dari WHR 2000. 5.7. Perlu Perubahan Cara Pandang Ada pihak-pihak yang memandang
bahwa sesungguhnya kita telah memiliki AKN atau NHS karena pemerintah sudah
mensubsidi lebih dari 70% biaya puskesmas dan rumah sakit. Yang kini menjadi beban
masyarakat adalah urun biaya (cost-sharing) saja. Sesungguhnya ide untuk meringankan
beban biaya kesehatan rumah tangga memang sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam
implementasinya kita telah terjebak pada semantik 'terjangkau', pada sistem yang kita
ciptakan yang kurang memahami aspek uncertainty atau un predictability biaya kesehatan di
tingkat rumah tangga. Pembangunan puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain
merupakan upaya agar pelayanan kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar
penduduk secara geografis. Pemerintah daerah menetapkan tarif pelayanan dengan prinsip
"terjangkau" atau "affordable" oleh semua pihak. Tetapi kita terjebak pada satu tarif jasa per
pelayanan, yang tidak mungkin kita memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa
mengatakan pelayanan tersebut terjangkau, kalau biaya akhir tidak pemah diketahui
jumlahnya. Sebagai contoh, kita tidak mungkin memastikan biaya akhir seorang yang dirawat
di RS pemerintah kelas III yang tarifnya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per hari--tidak
termasuk biaya obat dan tindakan operasi. Berapa yang hams dibayar seorang yang dirawat
selama 20 hari, dengan AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 104 H Thabrany
pembedahan, dan 7 hari di ICU? Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah sekalipun mencapai
diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini terjangkau semua lapis an masyarakat? Seorang sarjana
yang bergaji Rp 5 juta sebulan sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut, kecuali
keluarganya harus puasa sebulan penuh. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan
bahwa sesungguhnya kita telah memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang oleh fakta dan
secara konsepsional tidak valid. Konsep "terjangkau" bisa digunakan dan valid digunakan
untuk jasa transportasi, tarif listrik, tarif telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung
kebutuhannya dan tidak menimbulkan masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi.
Tetapi untuk kesehatan, konsep terjangkau dengan model tarif pelayanan kesehatan per
pelayanan sama sekali tidak valid. Pemerintah Muangtai, karenanya, menerapkan kebijakan

sederhana yang disebut '30 Baht Policy', dimana setiap penduduk yang belum menjadi
peserta jaminan sosial hanya membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali berobat
di rumah sakit, baik hanya rawat jalan maupun rawat inap---sudah termasuk obat-obatan dan
pembedahan jika diperlukan.77,78,79 Namun di Indonesia, justeru sebaliknya, banyak RS
sudah diBUMNkan dan bahkan di Jakarta RSUD dijadikan PT (Perseroan Terbatas) dan
diminta mandiri dalam pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja, RS
pemerintah menarik tarif operasi yang bersifat emergensi di luar jam kerja 1,5 sampai dua
kali lebih mahal dari tarif bukan emergensi. Dan tarif yang memanfaatkan keterpojokan
(karena emergensi di luar jam kerja) tersebut memang diatur pemerintah (permenkes). Jelas
sekali bahwa kebijakan tersebut bukanlah kebijkan yang memihak rakyatlpublik, tetapi lebih
memihak kepada pengelola-yang nota bene adalah pegawai negeri. Ada berbagai kebijakan
pelayanan kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah, akan menambah beban berat rumah
tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling fundamental. Tampak asuransi
kesehatan, kita akan semakin banyak melakukan pelanggaran prinsip keadilan so sial dan
kemanusiaan yang beradab karena adanya kecendrungan kebijakan yang mengarah lebih
banyak memberatkan masyarakat. Penerapan konsep ability to pay (ATP) dan willingness to
pay (WTP) dalam penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah)
sesungguhnya juga tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang
berat, jika tarif ditetapkan secara jasa per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak
menyatakan bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ATPIWTP
masyarakat dan karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu
kekeliruan konsep permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang "tidak pasti".
Konsep WTP yang banyak digunakan untuk evaluasi nilai hidup produktif dalam menghitung
opportunity losselo,81 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide
pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan
puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya
asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat membayar,
maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atauforced to pay (FTP) dalam
ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar. Pertanyaan yang

paling mendasar kemudian muncul, yaitu, "apakah manusiawi dan normal jika pemerintah
memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di luar kemampuannya?"
Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah penduduk miskin dan
penduduk yang diberi keringanan sangat kecil di rumah-rumah sakit AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 105 H Thabrany pemerintah (tidak usah kita sajikan RS swasta) di
Indonesia, jauh berada di bawah 5%. Artinya, penduduk tidak mampu mempunyai dua
pilihan, tidak berobat karena tidak punya uang atau dipaksa membayar---dalam
kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS). Kejadian DBD yang luar biasa baru-baru ini
dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan kebijakan tarif pelayanan kesehatan di
Indonesia. 5.8. Tantangan AKN Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas
menunjukkan bahwa terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta
penduduk Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai kebutuhan hidup yang
paling mendasar. Kebijakan publik yang ada sekarang ini belum mendukung terpenuhinya
hak-hak penduduk dalam bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal
28H(I). Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu kehamsan.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU SJSN adalah
langkah yang sangat tepat. Kalau kita mengikuti berita atau artikel di surat kabar, sudah
berulang kali kita baca beberapa pandangan orang asing yang menolak sistem yang
mewajibkan asuransi kesehatan. Beberapa kali penulis terlibat perdebatan dengan the
International Bussiness Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan menolak
AKN. Apa pasalnya? Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin memperoleh keuntungan yang
besar dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan USAID
malah

pemah

menyampaikan

analisis

bemada

menakut-nakuti

kepada

Menko

Perekonomian, dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan dalam waktu dekat,
maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah
benar demikian? Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka
hanya ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah bangsa Indonesia.
Dalam diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap pemyataan mereka, tampak jelas
bahwa mereka sama sekali tidak mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem

kesehatan. Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri mereka
tak faham. Tidak pemah terjadi di dunia ada program jaminan sosial atau asuransi sosial
yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita memang harus berhati-hati dalam menanggapi
komentar orang asing, bisa jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap
kemajuan bangsa Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas inlander masih kita
miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing, hanya karena ia
seorang bule! Buruh dan Pengusaha juga banyak yang terpengaruh provokasi penolakan
AKN dan kemudian menyatakan menolak atau meminta agar pembahasan RUU SJSN
ditunda.82 Dalam sebuah loka karya pembahsan RUU SJSN di Jakarta, tampak jelas di
mata penulis bahwa banyak serikat pekerja telah 'ditunggangi'. Dengan lantang mereka
menolak RUU SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek. Ironinya, apa yang mereka
tuntut sudah jelas tercantum dalam RUU SJSN, sesuai dengan apa yang mereka tuntut!
Sebuah sistem jaminan sosial memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik
bisnis. Saya AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 106 H Thabrany melihat tandatanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang ditunggangi, sehingga tanpa
membaca dan memahami apa yang akan diatur dalam RUU SJSN, yang sesungguhnya
menjamin hak-hak mereka dengan lebih baik, justeru mereka tolak. Penunggangan serikat
pekerja dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan status quo dalam
penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang dapat menguntungkan
beberapa pihak, namun rakyat akan terus menderita dan negara akan tetap mempunyai
ancaman stabilitas sosial. Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana tenaga kerja yang
berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81 % dari 98,8 juta angkatan kerja.83
Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah ditunggangi. Salah satu kendala dan
tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman tentang konsep asuransi sosial,
baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun tenaga kerja. Pemahaman yang
rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial kita, askes pegawai negeri dan
askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menjadi lebih negatif. Kinerja PT Askes,
yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang sangat baik di kalangan yang pemah
menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh pegawai negeri golongan atas yang justeru

tidak pemah menggunakannya. Sulitnya PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai


negeri dan pensiunan, antara lain karena tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak
memadai untuk mendanai seluruh pelayanan yang hams disediakannya. Akibatnya, di masa
lalu pegawai negeri masih hams membayar urun biaya yang cukup besar." Untunglah dalam
dua tahun terakhir, Askes telah bekerja keras untuk mengubah persepsi yang keliru tersebut.
Demikian juga sikap pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai mindset
kewajiban menjadi peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan, menyebabkan
rendahnya partisipasi mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap pengambil keputusan
dan masyarakat yang sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di negara lain menjadi
tantangan besar. Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang memihak publik hams
terus digalakkan. Masih banyak pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh politik,
bahkan akademisi yang masih memandang segala bentuk peraturan yang mewajibkan
penduduk atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang. Mereka tidak sadar bahwa
"hak" hanya dapat diperoleh setelah ada "kewajiban". Kewajiban membayar kontribusi sama
pentingnya dengan kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang
tidak mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya adalah bahwa pengelolaan
pungutan yang bersifat wajib hams dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi
pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU. Pada awal tahun 2005, DPRD Jawa Timur,
Satuan Pelaksana (Satpel) JPKM Rembang, dan Perhimpunan Bapel JPKM (perbapel)
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas UU SJSN khususnya pasal 5 yang
menetapkan PT ASABRI, PT ASKES, PT Jamsostek, dan PT Taspen sebagai BPJS yang
dinilai monopolistis dan tidak memberi kesempatan daerah mengembangkan jaminan social.
Permohonan judicial review tersebut dipicu oleh SK Menkes 1241 yang menunjuk PT Askes
untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi lebih dari 36 juta penduduk
dengan nilai dana sebesar Rp 2,1 Triliun. Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
memang membatalkan pasal 5 ayat 2,3 dan 4 UU SJSN karena dinilai menutup
kemungkinan daerah mengembangkan jaminan social. Namun demikan, MK tidak
membatalkan keempat BPJS tersebut untuk menyelenggarakan jaminan socsal tingkat
nasional/pusat. UU SJSN dinilai telah menampung keinginan AKN: Contoh dan Masa

Depannya di Indonesia 107 H Thabrany UUD45 pasal 34 ayat 2, namun MK menilai bahwa
pemerintah daerah tidak boleh dilarang untuk mengembangkan jaminan sosial. Yang
menjadi tugas pemerintah selanjutnya adalah bagaimana koordinasi antara program jaminan
sosial, misalnya kesehatan, yang nasional yang juga mencakup penduduk di daerah, dan
yang dikembangkan oleh daerah. Koordinasi benefit hams diatur dalam PP atau revisi UU
SJSN, jika diperlukan kelak. Pembahasan lebih lanjut tentang hasil MK ini dibahas dalam
Bab7. Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah pelanggaran
UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli melarang usaha
bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola suatu program
untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak memonopoli
pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan keamanan. Pengelolaan
jaminan sosial dan AKN di AS (Medicare), Kanada (Medicare), Australia (Medicare), Taiwan
(Medicare), Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga dimonopoli oleh pemerintah atau
lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang monopoli ini juga perlu diluruskan.
Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu yang pengelolaannya bersifat
monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian publik yang efektif, agar
kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas dan terjadi good governance.
Kita juga hams menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja yang bekerja pada sektor
formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri dengan atau tanpa dibantu
keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu memperluas asuransi kesehatan
kepada pekerja di sektor formal saja beserta anggota keluarga dan orang tua mereka, maka
kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk Indonesia. Hal tersebut sudah akan
berdampak besar bagi pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi kesehatan kepada pekerja di
sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya pemerintah untuk memberikan
subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat, misalnya dengan menetapkan tarif
tetap untuk suatu episode pengobatan ketimbang untuk tiap jenis pelayanan seperti yang
dilakukan di Malaysia atau Muangtai, hams tetap dipertahankan sampai seluruh penduduk
menjadi peserta AKN. Penyelenggaraan AKN memang merupakan upaya mulia dan

tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduk. Namun demikian,
fakta yang terjadi di dunia menunjukkan bahwa penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan
dari masalah politik. Pelaku politik yang lebih mementingkan interest kelompoknya dapat
saja menolak inisiatif AKN yang diajukan partai lain. Syukur alhamduli11ah, tampaknya hal
ini tidak terjadi di kalangan pimpinan partai politik di dalam Komisi VII DPR yang lalu dan
Komisi IX DPR saat ini. Dukungan penuh semua fraksi dalam UU asuransi sosial kesehatan
nasional, yang merupakan inisiatif DPR periode 1999-2004 dan tidak ada perbedaan prinsip
dengan yang diusulkan pemerintah dalam UU SJSN, menunjukkan rendahnya interest
golongan dalam hal ini. Begitu juga Komisi IX DPR periode 2004- 2009 cukup solid
mendukung kebijakan Depkes untuk menjamin penduduk kurang mampu melalui PT Askes.
Namun demikian, di tingkat bawah masih mungkin terdapat sentimen golongan yang dapat
mengurangi dukungan terhadap AKN. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 108 H
Thabrany Globalisasi dan kekuatan pasar memang tidak dapat dihindari dan tidak perlu
ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar memberikan peluang dan sekaligus ancaman
bagi kita, khsususnya dalam pengembangan sebuah AKN. Suka atau tidak suka, kita
saksikan banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang diartikan sebagai keharusan
liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada mekanisme pasar global yang
kemudian diartikan bahwa mewajibkan pekerja menjadi peserta AKN sebagai bertentangan
dengan globalisasi. Banyak pengusaha, bahkan juga pengambil keputusan, yang
berpandangan demikian yang menjadi faktor penghambat terselenggaranya AKN. Meskipun
seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan asuransi sosial dalam berbagai
bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada yang tidak setuju dengan konsep
asuransi so sial yang memandangnya hanya dari satu sisi saja seperti beban biaya bagi
dirinya atau bagi sektor publik. 85 Banyak pihak kita yang tidak menyadari bahwa ada market
failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang mengharnskan sektor publik
(pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan kekuatan pasar tidak akan menyelesaikan segala
macam masalah ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph Stiglitz, seorang ekonom terkemuka
pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak meneliti masalah informasi asimetri, dalam
bukunya yang terbit tahun lalu telah memperingatkan dunia akan adanya bahaya disamping

harapan dari globalisasi." Ketidak fahaman akan sebuah sistem jaminan sosial dan
globalisasi dapat menjadi penghambat besar bagi AKN. Ketidak-fahaman tentang
penyelenggaraan AKN khususnya dan jaminan sosial umumnya dapat kita lihat dari sikapsikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak bertanggung-jawab atas gangguan
kesehatan

keuangan

badan

penyelenggara.

Pertanyaan

"bagaimana

kalau

badan

penyelenggara bangkrut?" dan "bagaimana distribusi kekayaan yang dimiliki badan


penyelenggara?" menunjukkan rendahnya pemahaman tentang sebuah sistem jaminan
sosial. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu mensubsidi
badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara diserahkan kepada BUMN, yang
memang dasar pemikirannya harus secara finansial mandiri. Aneh!, minggu ini kita
menyaksikan keputusan Bank Indonesia menutup dua bank swasta dan pemerintah
menjamin dana nasabah tidak hilang. Bagaimana mungkin pemerintah tidak perlu turun
tangan untuk suatu sistem jaminan sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh
rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di negeri ini. Di banyak
negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari anggaran pemerintah di luar
kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi secara langsung. Sesungguhnya, suatu sistem
jaminan sosial atau AKN dirancang untuk tidak akan bangkrut kecuali pemerintah bangkrut.
Keseimbangan antara dana tekumpul dan kewajiban dalam sebuah sistem AKN atau
jaminan sosial akan terns dipantau dan disesuaikan agar selalu likuid dan solven. Inilah
hakikat sebuah jaminan sosial yang belum cukup difahami oleh banyak pihak di Indonesia.
Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi agar UU SJSN yang meletakan
fondasi AKN dapat segera berjalan seperti yang direncanakan. Tantangan terbesar adalah
ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan sosial. Di
Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance) masih sangat
kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang difahami. Pendidikan
kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman AKN: Contoh dan Masa
Depannya di Indonesia 109 H Thabrany tentang kekuatan pasar dan kegagalan pasar.
Kurangnya tenaga yang memaharni, mempunyai komitmen, dan menguasai manajemen
dapat merusak berbagai keutarnaan AKN. Dalarn jangka pendek, tantangan terbesar

tersebut dapat diatasi dengan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan; asal kita mau dan
punya tekad untuk itu. Dalarn jangka panjang, asuransi sosial dan jaminan sosial hams
masuk dalarn mata ajaran di bidang ekonomi, kesejahteraan, kebijakan publik, dan juga di
bidang kesehatan. 5.9. Prospek Asuransi Kesehatan Nasional Sebuah sistem jaminan sosial
ataupun AKN merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya
sebagian kecil orang dalarn waktu singkat. Sebuah jaminan sosial ataupun AKN adalah
suatu alat yang handal dalarn meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat dan dalarn
melakukan redistribusi pendapatan dalam mewujudkan keadilan sosial. Oleh karenanya, UU
SJSN yang merumuskan AKN sebagai salah satu sub sistemnya akan sangat dipengaruhi
oleh komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan pelaku bisnis, dukungan para pekerja,
dan dukungan para profesi kesehatan. Di penghujung Kabinet Gotong Royong tampak
secercah harapan terwujudnya sebuah SJSN. Komitmen Pemerintah dan DPR sudah
tarnpak, meskipun belum meluas. Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah
ada kemajuan besar dalarn perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya kesejahteraan
yang semakin merata. Perubahan UUD yang secara eksplisit mencantumkan hak rakyat
terhadap jarninan sosial dan pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan
jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin sadar
akan pentingnya SJSN. Sarnpai dokumen perubahan UUD, memang kemajuan tersebut
sudah terlihat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah benar-benar menyadari
bahwa perubahan UUD yang memaksa negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk
mewujudkan sebuah SJSN Pada waktu penyusunan RUU SJSN, banyak pihak yang sangsi
bahwa RUU tersebut akan selesai dibahas. Pada pidato pengukuhan penulis di Universitas
Indonesia, penulis yakin betul bahwa RUU SJSN akan selesai dibahas sebelum penggantian
anggota DPR hasil Pemilu 2004. Banyak pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di
Komisi VII-menurut pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan
dari kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka sudah
membuat dua UU inisiatif yang sarna-sarna berupaya memperbaiki dan menempatkan
sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang konsisten dengan prinsip-prinsip
universal sebuah jaminan sosial. Belum pemah terjadi anggota DPR dari berbagai fraksi

secara sadar dan aklarnasi berinisiatif mengusulkan UU Asoskenas dan UU Revisi UU


Jarnsostek, yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sarna dengan
UU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini merupakan arnanat Sidang
Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap bahwa UU SJSN akan dapat disetujui
sebelum Sidang Umum yang akan datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para anggota
Dewan juga berupaya sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan arnanatnya sendiri AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 110 H Thabrany sebelum masa jabatannya habis.
Kini kita akan bertaruh lagi, apakah AKN yang diatur dalam UU SJSN akan bisa
dilaksanakan segera? Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari komitmen
pemerintah (termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan lembaga
intemasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health
Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the
Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan
suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh ILO
Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual'", dalam bentuk laporan
sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping itu, WHO
Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali mensponsori berbagai studi, seminar,
loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan teknis di
Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank Pembangunan
Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembahaman sistem pembiayaan
publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan persetujuan
pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam pinjaman yang
diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam pemahaman masalah dan
opsi-opsi perbaikan sistemjaminan sosial di Indonesia. Banyak yang tidak menyadari bahwa
sesungguhnya kita telah memiliki pengalaman lebih dari 36 tahun dalam melaksanakan
sebuah sistem asuransi kesehatan so sial bagi pegawai negeri dan keluarganya. Disamping
keluhan dan hujatan yang sering kita dengar, yang umumnya datang dari kalangan atas
peserta, masa 36 tahun sesungguhnya merupakan pelajaran yang sangat berharga dan
merupakan pondasi yang kuat bagi perluasan asuransi kesehatan so sial. Selain

pengalaman

askes

pegawai

negeri,

askes

sosial

pegawai

swasta

juga

sudah

diselenggarakan sejak 10 tahun yang lalu. Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di
Indonesia, yang menyebabkan banyaknya keluhan dan hujatan, sesungguhnya bersumber
dari rancangan sistem itu yang dengan kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS
dan pensiunan pegawai negeri) hams menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak
tahun 2003 yang lalu, melalui PP 2812003 pemerintah telah mulai menambah kontribusi
dalam rangka perbaikan asuransi ini. Tanpa adanya perbaikan asuransi kesehatan pegawai
negeri, AKN akan sulit berkembang. Syukurlah bahwa PT Askes secara konsisten terus
berupaya memperbaiki kinerjanya terus-menerus. Pengenalan dan promosi Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) oleh Depkes, baik yang berhasil maupun yang
tidak berhasil, telah pula memberikan kontribusi kepada evolusi dan pemahaman kita
terhadap pentingnya AKN. Program JPS BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan)
yang telah diluncurkan sejak awal masa masa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang
kemudian diteruskan dengan program JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan dana
subsidi BBM, telah juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan
AKN. Program bagi penduduk miskin tersebut, yang meskipun belum menyelesaikan seluruh
masalah, telah memberikan pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN.
Program ini menunjukkan semakin kuatnya komitmen pemerintah dalam menyediakan
kebutuhan dasar kesehatan, sebagai suatu investasi SDM menuju masa depan bangsa
Indonesia yang lebih kompetitif. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 111 H
Thabrany Tanpa komitmen pemerintah yang kuat dan tanpa perubahan cara pandang
belanja kesehatan, dari sekedar membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM,
kinerja SDM kita akan terus terpuruk. Kita hams menyadari bahwa Indeks Pembangunan
Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing Indonesia yang berada
diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei. Negara-negara yang memiliki AKN dan sistem
jaminan sosial yang kuat mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi, bahkan
memiliki indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari oleh kita
semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menarnbah kazanah ilmu kita dalarn bidang
asuransi kesehatan. Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan

daya saing Indonesia di pasar intemasional. Bahkan, mC-menurut penulis dengan nada
menakut nakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan
berinvestasi di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri bam, kontribusi
jaminan sosial-termasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di
Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jarninan sosial atau tunjangan karyawan
(employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menarnbah beban
pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan
FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah tenaga
kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya.f Jika sebuah AKN dijalankan, maka
sesungguhnya tidak banyak beban tarnbahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah
efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan
mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat
membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita hams melihatnya tidak hanya
dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatnya moral pekerja, rasa arnan,
produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga
sekalipun, jika hams mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran
rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Hams diingat bahwa pengeluaran
tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk
membiayai diri mereka sendiri. Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan
membuat sebuah usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik
tahun 1993 sarnpai tahun 2000. Temyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita
yang cukup berarti sejak diundangkan UU Jarnsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek
sudah mewajibkan pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2%
kontribusi tenaga kerja). Temyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinya-beban tersebut
tidak mengurangi kemarnpuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis
lebih lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi
menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari biaya
produksi untuk upah tenaga kerjanya. Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang sepenuhnya
ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap peningkatan biaya

produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya produksi sebesar 0,4%.
Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada pemberi kerja dapat
menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan bahwa di pasar
Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang mewajibkan pemberi
kerja berkontribusi lebih besar dari itu. AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 112 H
Thabrany Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan, manfaat, dan kesediaan pemberi
kerja mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan sebuah survei kecil kepada 100
direktur/manajer

sumber

daya

manusia

di

Jakarta.

Survei

pendahuluan

tersebut

menunjukkan bahwa mayoritas direktur SDM mempunyai pandangan positif tentang AKN.
Bahkan 83% dari mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini. Bahkan ketika
ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan iuran 3%, 61 %
menyatakan tidak. Meskipun survei ini baru merupakan survei pendahuluan dan survei
dengan sampel yang lebih besar masih diperlukan, sudah mulai tergambarkan bahwa
sesungguhnya apabila pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan dilakukan oleh
sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi perusahaan dan
karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para pengusaha di Korea Selatan dan
Muangtai yang saya temui. Dengan demikian, kita tidak perlu takut memulai pengembangan
AKN. Apabila penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya, pengusaha bahkan
akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque. 89 Sebuah sistem AKN
sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses pelayanan kesehatan yang
merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang hidup di muka bumi ini. Sebuah
sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia lain dan bahkan
kepada good governance, baik dalam pemerintahan maupun dalam mengelola suatu badan
usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN juga akan berdampak pada peningkatan
kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN hubungan kontribusi wajib dengan manfaat
yang diterima oleh peserta akan sangat dekat. Hal ini merupakan suatu media pendidikan
kepatuhan penduduk dalam memberikan kontribusi untuk kepentingan bersama. Di bidang
praktek kedokteran, tidak diragukan lagi bahwa AKN mempunyai dampak besar bagi
profesionalisme praktek dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN akan lebih menjamin

terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicita citakan oleh
Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-fakta di dunia menunjukkan
bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya bisa berjalan apabila ditunjang oleh sebuah
sistem pembiayaan melalui AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Sebuah sistem
AKN juga akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit, karena terjadinya
maldistribusi dokter dan rumah sakit-yang terkonsentrasi di kota besar terjadi karena 'duit'nya
ada di kota. Tanpa AKN, hanya masyarakat kotalah yang mampu membeli jasa medik dokter
maupun rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang menjamin semua orang, uang akan
terdistribusi lebih merata (money follow patients). Dokter, rumah sakit, dan fasilitas
kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti distribusi peserta atau pasien. Untuk
mencakup seluruh penduduk kita memerlukan berbagai kondisi seperti, stabilitas politik,
stabilitas keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin meningkat, infrastruktur
perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan kemampuan manajemen."
Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar semua kondisi tersebut terpenuhi. Akan terlalu
banyak korban dan kesulitan jika kita menunggu kondisi tersebut terpenuhi. Stabilitas politik
dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan kondisi lainnya dapat kita bangun
bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN. Upaya untuk mencapai cakupan
universal melalui AKN dapat dimulai dari sektor yang AKN: Contoh dan Masa Depannya di
Indonesia 113 H Thabrany mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh pekerja di sektor formal
terlebih dahulu seperti yang dilakukan berbagai negera di dunia. N amun demikain, kita
hams menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai cakupan universal, bukan tujuan.
Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang telah dibuktikan di negara lain,
khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau penerimaan negara dari pajak
relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum sampai 5% penduduk Indonesia
yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin membayar pajak, sistem AKN jauh lebih
layak dari sistem NHS. Think big, start small, act now! Itulah yang harus kita lakukan. Kita
tidak boleh menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas kesehatan siap, atau sampai
kemampuan manajemen memadai. Pada waktu Otto von Bismark memperkenalkan asuransi
sosial kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita

sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 10% dari total tenaga kerja
pada waktu itu." Pada waktu Inggris memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan kemudian
mengubah menjadi NHS di tahun 1948, kondisi ekonomi dan fasilitas kesehatannya juga
tidak sebagus yang kita miliki sekarang. Pada waktu Presiden Rosevelt di Amerika
memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935, yang kemudian diamandemen dengan
manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan Amerika
tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu Malaysia memulai sistem NHSnya, atau
Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum sebaik yang mereka miliki sekarang. Akan
tetapi memang kita hams menyadari berbagai keterbasan yang kita miliki. Kita hams
melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan realistis. Ambisi yang terlalu besar hanya
akan menghancurkan sistem yang akan kita bangun. Fasilitas kesehatan dan mutu
pelayanan yang disediakannya hams terns diperbaiki, sambil kita memperluas cakupan
kepesertaan. Manajemen AKN hams terus dikembangkan untuk menjamin bahwa pelayanan
kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan harapan peserta dan kemudian seluruh
penduduk. Evaluasi hams terus menerus dijalankan agar kita dapat terus memperbaiki
kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak
puasan hams terus diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil
baik jika semua pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan
dengan menjadi peserta AKN. Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian
besar rakyat kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara
kita pun bisa jadi tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat
kita memerlukannya, jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita
tidak boleh mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan
hanya karena kita belum pemah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah
hakikat asuransi, menjamin masa depan, masa dimana kita belum pemah mengalaminya.
Inilah pula tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa
dirinya suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem
AKN. Kita memang hams menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk AKN:
Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 114 H Thabrany menujukkan bukti tersebut,

diperlukan keberanian bertindak. Tidak ada bukti, tanpa keberanian bertindak. Perjalanan
jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai dari pemasangan
batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan. Sebuah AKN yang
besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia menjadi bangunan besar.
Rujukan 1 Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY, USA.
1993 2 Henderson JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western Thomson
Learning. Mason, Ohio, USA 2002 3 Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam Asuransi
Kesehatan. MKl Juni 2001 4lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003 5 Azwar, A.
Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta,
1996 6 Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan Penerbit
Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1995 7 Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan Managed
Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia, Jakarta. 1997 8 Thabrany. H. Introduksi Asuransi
Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1999 9 HIAA. Gorup Health
Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997 10 Dixon A and Mossialos E. Health System
in Eight Countries: Trends and Challenges. The European Observatory on Health Care
Systems. London, 2002 11 Henderson JW. Op Cit 12 Rejda, GE. Social Insurance and
Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey, USA. 1988 13 Friedlander WA and
Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood, New Jersey, USA, 1980
14 Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA,
1976 15 Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica, CA, USA 1996 16
Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care Reform In Canada.
Health Affairs: 21(3): 32-46,2002 17 Vayda E dan Deber RB. The Canadian Health-Care
System: A Devdelopmental Overview. Dalam Naylor D. Canadian Health Care and The
State. McGill-Queen's University Press. Montreal, Canada, 1992 18 Roemer MI. Health
System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993 19 Thabrany, H.
Kegagalan Pasar. Op Cit 20 Keintz RM. National Health Insurance and Income Distribution.
D.C. Health and Company, Lexington, USA, 1976 21 Rubin, HW. Dictionary of Insurance
Terms. 4th Ed. Barron's Educational Series, Inc. Hauppauge, NY, USA 2000 22 Dixon and
Mossialos. Op Cit. 23 Stier1e. F. German Health Insurance System. Makalah disajikan pada

Seminar Asuransi Kesehatan Sosial, Jakarta 2001 AKN: Contoh dan Masa Depannya di
Indonesia 115 H Thabrany 24 Rucket, P. Universal Coverage And Equitable Access To
Health Care: The European and German Experience. Makalah disajikan pada Asia Pacific
Summit on Health Insurance and Managed Care. Jakarta, 22-24 Mei, 2002 25 Lankers, e.
The German Health Care System. Makalah disajikan pada Kunjungan Tim SJSN di Berlin,
24 Juni 2003 26 Schoultz F. Competition in the Dutch Health Care System. Rotterdam, 1995
27 Dixon and Mossialos. Op Cit 28 Roemer, Milton I. Op Cit 29 www.health.gov.au 30 Hall
JIourenco RA and Viney R. Carrots and Sticks- The Fall and Fall of Private Health Insurance
in Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999 31 Dixon A and Mossialos E. Op Cit 32
Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of Japan. University of Tokyo
Press, Tokyo, 1996 33 Okimoto DI dan Yoshikawa A. Japan's Health System: Efficiency and
Effectiveness in Universal Care. Faulkner & Gray Inc. New York, USA, 1993 34
Nitayarumphong S. Universal Coverage of Health Care: Challenges for Developing
Countries. Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002 35 Lee YC,
Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from Taiwan. Makalah
disajikan dalam Summit 36 BNHI. National Health Insurance Profile 2001. BNHI, Taipei 2002
37 Liu CS. National Health Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada Seminar
Menyongsong Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004 38 Rachel Lu J and
Hsiao We. Does Universal Health Insurance Make Health Care Unaffordable? Lessons From
Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88,2003 39 Cheng TM. Taiwan's New National Health
Insurance: Genesis and And Experience So Far. Health Affairs: 22(3):61-76 40 Am-Gu.
National Health Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya Sistem Jaminan
Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004 41 Thabrany, H. Universal Coverage in Korea and
Thailand. Laporan kepada Proyek Social Health Insurance, Uni Eropa. Oktober 2003. 42
Park, . National Health Insurance in Korea, 2002. Research Division, NHIe. Memeograph
presented for an Indonesian delegate. 43 Pongpisut. Achieving Universal Coverage of Health
Care in Thailand through 30 Baht Policy. Makalah disampaikan pada SEAMIC Conference,
Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002 44 Siamwalla A. Implementing Universal Health
Insurance. Dalam Pramualratana P dan Wibulpopprasert S. Health Insurance Systems in

Thailand. HSRI, Nonthaburi, Muangtai, 2002 45 Tangchareonsathien V, Teokul, W dan


Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System. Makalah disajikan pada Loka Karya
Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003 46 SSO. Social Health Insurance Scheme
in Thailand. SSO, Bangkok 2002 47 WHO/SEARO. Social Health Insurance: Report of a
Regional Consultation. WHO, New Delhi, 2003 48 Novales MA dan Alcantara MO. National
Health Insurance Program in Philippines. Makalah disampaikan pada Summit Jakarta 49
EkaPutri. A. National Health Insurance Program in Decentralized Government in Archipelago
Country: Lesson from the Philippine. Makalah Studio Asian Scholarship Foundation, 2003.
50 WHO/SEARO.Social HI. Op Cit 51 Sulastomo. Asuransi Kesehatan Sosial-Sebuah
Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2002 AKN: Contoh dan Masa Depannya di
Indonesia 116 H Thabrany 52 Sutadji OA. Pengalaman PT Askes dalam Menyelenggarakan
Asuransi Kesehatan Sosial untuk Masyarakat Umum. Makalah disampaikan pada Loka
Karya Menyongsong AKN, Jakarta 3-4 Maret 2004. 53 UU SJSN, 2004 54 Dionne G. Hand
Book of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000 55 Rejda. Op Cit 56 Rosen HS. Public
Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999 57 Dionne G, Op Cit. 58 Rosen, Oc Cit.
59 Rejda. Op Cit. 60 Butler Op Cit 61 WHO/SEARO Op Cit. 62 Thabrany, H. Rasional
Pembayaran Kapitasi. yP illI. 2000 63 Feldstein. Op Cit 64 Hederson Op Cit 65 Roemer. Op
Cit 66 Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan. Kompas 20-11-2001 67
Dixon Op Cit. 68 Roemer. Op Cit. 69 ILO Indonesia. Social Security and Coverage for All:
Restructuring Social Security Scheme in Indonesia-Issues and Options. ILO, Jakarta 2002
70 Thabrany dkk. Review Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian
Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002 71 Saadah F, Pradhan M, dan
Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social Economic Surveys for
1995,1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001 72 Pradhan M and Prescott N. Social
Risk Menagement Options for Medical Care in Indonesia. Health Econ. 11: 431--446 (2002)
73 Thabrany, H dkk. Review Pembiayaan. Op Cit 74 WHO. World Health Report 2000.p55,
Geneva, 2001 75 Asher MG. The Pension System in Singapore. The World Bank,
Washington DC, USA, 1999 76 ILO Int. Social Security of the World. ILO, Geneva 2002 77
Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI Bangkok, Juli 2003. 78 Pongpisut, Op

Cit. 79 SSO- Thailand. Op Cit 80 Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and
size of health benefit: an integrated model to test for 'sensitivity to scale'. Health Econ. 1: ....
(2003) 81 Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for estimating monetary
values. Health Econ. 4: (2003) 82 Jakarta Post, 13 Februari 2004 83 BPS. Statistik Indonesia
2001. BPS, Jakarta, 2002 84 Sutadji. Op Cit. 85 Gertler P and Solon O. Who Benefits from
Social Health Insurance in Developing Countries. memeograf, Berkeley, USA, 2000 86
Stiglitz. J. The Roraring Ninties-Seeds of Destruction. Allen Lane. London, UK, 2003 87 ILO
Indonesia. Op Cit 88 Chusnun, P. dkk. Laporan Survei Biaya Kesehatan Karyawan, PKEK
UI, 2003 89 Duque III FT. Universal Social Health Insurance Coverage in the Philippine.
Makalah disajikan pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003 90 Thabrany
H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999. 91 Rucket P. Op Cit
AKN: Contoh dan Masa Depannya di Indonesia 117 H Thabrany BAB6 Sistem Pembayaran
Fasilitas Kesehatan 6.1. Pendahuluan Pelayanan kesehatan di Indonesia tumbuh dan
berkembang secara tradisional mengikuti perkembangan pasar dan sedikit sekali pengaruh
intervensi pemerintah dalam sistem pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit pemerintah
maupun swasta sama-sama menggunakan sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for
service) karena secara tradisional sistem itulah yang berkembang. Sistem ini juga
merupakan sistem paling sederhana yang tumbuh dan terus digunakan karena tekanan
untuk pengendalian biaya belum tampak. Di negara maju, baik di Eropa, Amerika, maupun
Asia, tekanan tingginya biaya kesehatan sudah lama dirasakan. Semua pihak ingin
mengendalikan biaya kesehatan tersebut, karena semua pihak sudah merasakan beban
ekonomi yang berat untuk membayar kontribusi asuransi kesehatan sosial atau anggaran
belanja negara, atau membeli premi asuransi kesehatan. Tekanan inilah yang mendorong
implementasi berbagai sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Di Indonesia, biaya
pelayanan kesehatan masih sangat rendah, bahkan boleh dikatakan masalah sesungguhnya
yang kita hadapi adalah masalah rendahnya biaya kesehatan, rendahnya akses kepada
fasilitas kesehatan, dan bukan mahalnya biaya kesehatan. Meskipun tekanan untuk
penerapan berbagai sistem pembayaran belum besar di Indonesia, praktek beberapa sistem
pembayaran altematif, selain jasa per pelayanan, sudah dilaksanakan oleh beberapa pihak

misalnya PT Askes Indonesia dan beberapa perusahaan yang sudah merasakan perlunya
kendali biaya. Dalam bab ini kita akan mengupas berbagai altematif sistem pembayaran
yang di masa datang, mau tidak mau, kita akan menerapkannya. Undang-undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang akan mendorong tumbuhnya sistem asuransi
kesehatan sosial di Indonesia sudah mengantisipasi hal itu dan karenanya sudah
memberikan indikasi akan perlunya penerapan sistem pembayaran prospektif. Bahkan pada
tahun 2005 ini Departemen Kesehatan telah memulai penerapan SJSN tersebut dengan
memberikan jaminan kepada penduduk yang berobat ke puskesmas atau dirawat di RS
kelas III. Sistem jaminan oleh Pemerintah ini dikelola oleh PT Askes agar sistem
pembayaran dapat dilaksanakan guna mendorong efisiensi dalam sistem kesehatan
Indonesia. Dalam sistem tersebut, PT Askes sudah mencanangkan untuk membayar
puskesmas dengan sistem kapitasi dan membayar RS dengan sistem paket. Berbagai
sistem pembayaran lain akan dibahas dalam bab ini untuk memberikan pemahaman kepada
para pembaca. Sebelum kita memulai membahas sistem pembayaran, dalam bab ini akan
dibahas secara ringkas masalah-masalah dalam biaya kesehatan. Biaya kesehatan adalah
masukan (input) finansial yang diperlukan dalam rangka memproduksi pelayanan kesehatan,
baik yang bersifat promotif-preventif maupun yang bersifat kuratif-rehabilitatif. Tidak ada
dikotomi pembiayaan kesehatan untuk kegiatan promotif-preventif dengan kuratif-rehabilitatif.
Semua Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 118 H Thabrany kegiatan tersebut
merupakan suatu kesinambungan (continuum) yang perlu dilaksanakan guna mencapai
tujuan kesehatan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masukan finansial, berupa
dana dari pemerintah maupun dari masyarakat kemudian dihitung per unit pelayanan.
Jumlah uang yang dibelanjakan untuk memproduksi satu unit atau kelompok unit pelayanan
merupakan biaya produksi pelayanan kesehatan. Fasilitas kesehatan kemudian menagih
atau meminta pasien membayar (baik langsung dari kantong pasien sendiri maupun dari
pihak pembayarnya) sejumlah uang yang biasanya lebih besar dari biaya produksi. Tagihan
ini disebut harga pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Harga pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan merupakan biaya bagi pembayar. Sebagai contoh, tagihan rumah sakit
sebesar Rp 1.000.000 kepada seorang pasien peserta PT Askes atau PT Jamsostek

merupakan harga atau tarif (bukan biaya) bagi rumah sakit. Akan tetapi, tagihan tersebut
menjadi biaya bagi PT Askes atau PT Jamsostek karena besarnya uang yang dibayarkan
oleh kedua asuransi tersebut merupakan beban biaya yang hams dikeluarkan dalam rangka
produksi sistem asuransi yang dikelolanya. Dalam bab ini, fokus pembahasan adalah biaya
kesehatan yang diperlukan dalam memproduksi satu unit pelayanan kesehatan. Berbagai
faktor seperti biaya hidup pegawai fasilitas kesehatan, tuntutan dokter, harga obat obatan,
harga dan kelengkapan peralatan medis, biaya listrik, biaya kebersihan, biaya perijinan dan
sebagainya menentukan biaya pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Pelayanan
medis, khususnya di rumah sakit, mempunyai dilema yang tidak dimiliki oleh pelayanan lain
seperti pada pelayanan hotel, bengkel mobil, dan pelayanan restoran. Pelayanan medis di
rumah sakit merupakan pelayanan yang dibutuhkan setiap orang di era modem, paling
sedikit sekali dalam masa hidupnya. Pelayanan medis di rumah sakit bersifat tidak pasti
(uncertain) (Feldstein, 1998; Phelps; Rappaport;), baik waktu, tempat, maupun besar biaya
yang dibutuhkan (Thabrany, 2005).1 Karena sifat pelayanan yang tidak pasti, maka tidak
semua orang siap dengan uang yang dibutuhkan untuk membiayai pelayanan tersebut. Di
lain pihak, rumah sakit yang tidak mendapat pendanaan sepenuhnya dari pemerintah
mengalami dilema hams menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan seperti jasa dokter, bahan
medis habis pakai, sewa alat medis, biaya listrik, biaya pemeliharaan gedung, dan biayabiaya modal atau investasi lainnya. Dalam pelayanan rumah sakit, sering terdapat bad debt,
yang merupakan biaya rumah sakit yang tidak bisa ditagih kepada pasien atau keluarga
pasien. Agar rumah sakit bisa terus menyediakan pelayanan, besarnya bad debt hams
dikompensasi dengan penerimaan lain, yang seringkali dibebankan, baik secara eksplisit
maupun diperhitungkan dalam rencana perhitungan pentarifan, kepada pasien lain yang
mampu membayar atau yang dibayar oleh majikan pasien atau oleh perusahaan asuransi.
6.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya kesehatan Pada garis besarnya, biaya
pelayanan medis di rumah sakit terus meningkat dari tahun ke tahun di negara manapun.
Menurut Donald F Beck (1984i peningkatan biaya pelayanan medis bersumber dari dua
kelompok utama yaitu inflasi biaya normal dan biaya pelayanan yang baru dan lebih baik.
Komponen inflasi biaya rumah sakit mencakup dua pertiga kenaikan biaya rumah sakit dan

sepertiga kenaikan biaya bersumber dari pelayanan teknologi baru yang lebih baik dan lebih
mahal. Howard Smith dan Myron Fottler (1985)3 menyatakan Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 119 H Thabrany bahwa inflasi biaya kesehatan selalu lebih tinggi dari inflasi biaya
umum karena dalam banyak hal pimpinan rumah sakit tidak punya kendali atas biaya
pelayanan medis di rumah sakit itu. Selain rumah sakit, kebijakan pemerintah, pembayar
pihak ketiga seperti asuransi, tenaga kesehatan sendiri, dan masyarakat tidak memiliki
insentif untuk mengendalikan biaya. Apa yang disampaikan oleh para ahli di Amerika dapat
tampak jelas kita amati di Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan menggariskan tarif
pelayanan dengan mempertimbangkan biaya satuan (unit cost). Berbagai buku pedoman
dan pelatihan-pelatihan yang diberikan di berbagai perguruan tinggi telah menerjemahkan
biaya satuan dalam satuan terkecil seperti konsultasi dokter, biaya imunisasi, biaya pasang
pen, dan sebagainya. Karena dokter dibayar untuk tiap konsultasi, bukan untuk satu episode
pengobatan sampai pasien sembuh, maka dokter akan senang memberikan konsultasi atau
visite yang lebih banyak. Semakin banyak dokter visite kepada pasien yang dirawat, semakin
banyak penghasilannya. Di sisi lain, pasien menilai bahwa dokter yang sering visite adalah
dokter yang baik dan pasien lebih senang jika dokter lebih sering visite. Jika pasien hams
membayar sendiri, hampir tidak pemah pasien menolak visite dokter karena menyadari
bahwa biayanya akan tambah mahal. Pasien juga tidak mampu mengetahui apakah visite
dokter perlu sesering itu atau cukup sekali dua kali. Apabila perawatan pasien dibayar oleh
majikan atau asuransi, pasien tambah senang dengan semakin banyak visite dokter, karena
tidak ada beban biaya yang akan dikeluarkannya. Hatinya semakin tenang dan menilai
bahwa dokter tersebut baik sekali. Sang dokter pun semakin senang, karena penghasilannya
akan bertambah. Maka terjadilah kolusi sempuma yang menyebabkan biaya perawatan
tambah mahal. Kolusi dokter-pasien dalam sebuah sistem dimana pasien tidak membayar
sendiri sebagian besar biaya kesehatan bagi dirinya mendapat pupuk yang subur dari
kemajuan teknologi. Teknologi sinar rontgen, sinar gama, dan bahkan gelombang suara
telah digunakan dalam diagnosis suatu penyakit seperti CT Scan, Gama Knife, dan USG tiga
dimensi dan berwarna. Dokter semakin suka dengan perkembangan teknologi tersebut
karena banyak hal yang dahulu tidak bisa diketahui kini bisa diketahui dengan lebih akurat.

Namun hams disadari bahwa teknologi baru tersebut mahal harganya, karena riset
penemuannya ditambah marjin keuntungan pembuat alat-alat canggih memang tinggi.
Dokter tidak bertepuk sebelah tangan, karena pasien yang mendapat pelayanan teknologi
canggih yang bisa didemonstrasikan di hadapannya juga merasa senang. Seorang ibu hamil
akan sangat senang diperlihatkan tampilan pemeriksaan USG tiga dimensi dan bewama.
Yang tidak diketahui oleh pasien adalah harga yang hams dibayar atas kesenangan dirinya
dan kesenangan dokter yang menggunakan alat tersebut. Maka jadilah teknologi baru dan
lebih baik menambah tingginya biaya diagnosis dan pengobatan di rumah sakit. Tingginya
biaya kesehatan yang diperlukan untuk memproduksi satu unit pelayanan menyebabkan
rumah sakit menagih (charge) ke pasien atau ke pihak penjamin (asuransi) semakin tinggi.
Apalagi jika rumah sakit tersebut bersifat pencari laba (for profit) dimana pemodal menuntut
uang yang ditanam untuk membangun rumah sakit dan berbagai biaya yang terkait dengan
itu kembali dalam jangka waktu tertentu. Seperti telah disinggung dimuka, sistem
pembayaran jasa per pelayanan (retrospektif, karena biasanya baru diketahui besarannya
setelah seluruh pelayanan diberikan kepada pasien), lebih mendorong tingginya tagihan
yang hams dibayar penjamin atau pasien. Tingginya tagihan rumah sakit, yang menjadi biaya
bagi pihak asuransi, mendorong pihak asuransi atau pemerintah (dalam Sistem Pembayaran
Fasilitas Kesehatan 120 H Thabrany hal biaya rumah sakit bagi penduduk dibayar
pemerintah-seperti yang dilakukan di Malaysia), untuk mengembangkan sistem pembayaran
prospektif. Secara umum, sistem pembayaran pelayanan rumah sakit dapat berbentuk satu
atau lebih dari pilihan berikut (Kongstvedt, 1996). Sesuai tagihan, biasanya secara
retrospektif dan sesuai jasa per pelayanan Sesuai tagihan akan tetapi dengan negosiasi
diskonlrabat khusus Diagnostic related group Kapitasi Per kasus Per diem Bed
leasing (sewa tempat tidur) Performance based incentives Global budget 6.3. Sistem
Pembayaran Retrospektif Berbagai aspek pembayaran retrospektif Pembayaran retrospektif
sesuai narnanya berarti bahwa be saran biaya dan jumlah biaya yang hams dibayar oleh
pasien atau pihak pembayar, misalnya asuransi atau perusahaan majikan pasien, ditetapkan
setelah pelayanan diberikan. Kata retro berarti di belakang atau ditetapkan belakangan
setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran retrospektif merupakan cara pembayaran

yang sejak awal pelayanan kesehatan dikelola secara bisnis, artinya fihak fasilitas kesehatan
menetapkan tarif pelayanan. Oleh karenanya cara pembayaran ini disebut juga dengan cara
pembayaran tradisional atau fee for service (jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara
pembayaran jasa per pelayanan sering disebut dengan istilah cara pembayaran out of pocket
(dari kantong sendiri). Penggunaan istilah cara pembayaran dari kantong sendiri (DKS) untuk
cara pembayaran jasa per pelayanan (IPP) sesungguhkan tidak tepat. Cara pembayaran
jasa per pelayanan adalah cara fasilitas kesehatan menagih biaya yang dirinci menurut
pelayanan yang diberikan, misalnya biaya untuk tiap visite dokter, infus, biaya ruangan, tiap
jenis obat yang diberikan, tiap jenis pemeriksaan laboratorium, dsb. Sedangkan DKS
merupakan sumber dana untuk membayar secara IPP. Pembayran DKS dapat berbentuk IPP
dan dapat juga berbentuk sejumlah uang tetap. Misalnya di Malaysia, seorang pasien yang
berobat di RS publik (RS pemerintah) hanya membayar 3 RM per hari (setara dengan Rp
6.300 di tahun 2005) untuk setiap hari perawatan, meskipun perawatan tersebut merupakan
perawatan sakit ringan maupun perawatan untuk transplantasi ginjal. Jumlah pembayaran
DKS sendiri itu sudah termasuk obat-obtan dan segala macam tindakan yang diberikan
kepada pasien. Di Muangtai, pasien hanya membayar 30 Baht per episode perawatan,
artinya sarnpai pasien pulang dari rumah sakit tanpa memperhatikan jumlah hari perawatan.
Jadi cara pembayaran IPP tidak selalu sarna dengan cara pembayaran DKS. Selain DKS,
pembayaran IPP dapat dilakukan oleh sebuah perusahaan untuk seorang karyawan atau
anggota keluarga karyawan tersebut yang menjadi tanggungan perusahaan. Pembayaran
IPP juga dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang menjadi penanggung pembayaran
seorang pasien yang telah Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 121 H Thabrany
membeli polis asuransi. Bahkan di Indonesia, berbeda dengan teori yang dipromosikan,
bapel-bapel Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarkat (JPKM) juga masih membayar
rumah sakit dengan cara pembayaran JPP. Kekeliruan faham tersebut dapat difahami karena
lebih dari 80% pelayanan rumah sakit di Indonesia memang masih dibayar oleh pasien
sendiri (bukan oleh asuransi maupun majikan) dan karenanya sumber dananya adalah dari
kantong keluarga pasien (DKS). Memang cara pembayaran JPP akan tetap subur pada
lingkungan dimana pasien tidak memiliki asuransi dan membayar setiap pelayanan yang

ditagih fasilitas kesehatan. Dari sisi pengendalian biaya kesehatan, cara pembayaran JPP ini
mempunyai kelemahan karena fasilitas kesehatan maupun dokter akan terus dirangsang
(mendapat insentif) untuk memberikan pelayanan lebih banyak. Semakin banyak jenis
pelayanan yang diberikan semakin banyak fasilitas kesehatan atau dokter mendapatkan
uang. Jangan heran kalau pada beberapa rumah sakit, lima atau enam dokter spesialis
berbeda melakukan visite kepada seroang pasien yang sama setiap hari. Semakin banyak
visite dokter, semakin banyak dokter tersebut memperoleh jasa atau penghasilan. Begitu
juga dengan jenis tindakan diagnosis seperti laboratorium atau prosedur lainnya. Pasien
akan ditagih untuk setiap jenis pemeriksaan. Apabila dokter atau bahkan perawat-pada
beberapa kasus mendapat insentif (berupa bonus prosentase tertentu dari pemeriksaan),
maka dokter atau perawat akan lebih banyak meminta pemeriksaan lab untuk memantau
kondisi medis pasiennya. Padahal visite atau pemeriksaan berulang-ulang mungkin tidak
memberikan manfaat pada pasiennya. Sebagai contoh, visite pemeriksaan gula darah dua
hari sekali mungkin juga sudah cukup untuk proses penyembuhan pasien, akan tetapi
karena ada rangsangan uang untuk visite atau pemeriksaan gula darah setiap hari, maka hal
itu dilakukan. Kondisi seperti ini disebut moral hazard atau abuse dalam pelayanan
kesehatan. Di negara maju, pemberian bonus seperti itu dilarang oleh pemerintah karena
pasien atau pihak pembayar dapat dirugikan oleh prilaku tenaga kesehatan. Kesulitan besar
pengendalian biaya dengan pembayaran JPP adalah bahwa pasien tidak memahami apakah
suatu pelayanan memang diperlukan, diperlukan sesering yang diberikan, dan besarnya
tiap-tiap tarif jasa. Oleh karena cara pembayaran retrospektif ini mempunyai potensi
pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan, maka di seluruh dunia, pemerintah berupaya
mengendalikan biaya dengan melakukan cara pembayaran prospetif yang akan dibahas
kemudian dalam bab ini. Pembayaran retrospektif yang pada umumnya berbentuk
pembayaran JPP dapat bersumber dari: Uang yang dimiliki oleh pasien atau keluarga
pasien atau DKS Uang yang bersumber dari majikan pasien atau keluarga pasien Uang
yang bersumber dari perusahaan atau badan asuransi/jaminan sosial seperti PT Askes dan
PT Jamsostek atau badan asuransi komersial seperti bapel JPKM dan perusahaan asuransi
U ang pemerintah yang mengganti biaya seorang pasien misalnya pada korban pemboman

di Hotel Mariott atau di depan Kedutaan Besar Australia U ang yang bersumber dari
lembaga donor seperti Dompet Duafa, Dana Kemanusiaan Kompas, RCTI Peduli, Pundi
Amal SCTV dll U ang yang bersumber dari keluarga besar pasien atau kerabat pasien yang
menyumbang untuk pengobatan seorang pasien Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
122 H Thabrany 6.4. Sistem Pembayaran Prospektif Pembayaran retrospektif terdiri dari
berbagai jenis pembayaran seperti diagnostic related group, kapitasi, per diem, ambulatory
care group, dan global budget. Di bawah ini akan dibahas lebih dalam masing-masing sistem
pembayaran prospektiftersebut. 6.4.1. Diagnostic Related Group (DRG) Pengertian DRG
dapat disederhanakan dengan cara pembayaran dengan biaya satuan per diagnosis, bukan
biaya satuan per jenis pelayanan medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang
pasien dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Sebagai contoh, jika seorang pasien
menderita demam berdarah, maka pembayaran ke rumah sakit sama besarnya untuk setiap
kasus demam berdarah, tanpa memperhatikan berapa hari pasien dirawat di sebuah rumah
sakit dan jenis rumah sakitnya. Pembayaran dilakukan berdasarkan diagnosis keluar pasien.
Konsep DRG sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit mendapat pembayaran
berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk suatu
diagnosis. Jika di Jakarta misalnya terdapat 10 ribu kasus demam berdarah di tahun 2004
dan dari hasil analisis biaya diperoleh angka rata-rata biaya per kasus misalnya adalah Rp 2
juta, maka setiap rumah sakit di Jakarta yang mengobati pasien demam berdarah akan
dibayar Rp 2 juta untuk setiap pasien. Sejarah Mengahadapi dilema biaya kesehatan di
rumah sakit, upaya pengendalian biaya rumah sakit sudah banyak dilakukan orang. Smith
dan Fottler (1985) menyampaikan bahwa upaya mendapatkan rata-rata biaya per diagnosis
telah dilakukan oleh rumah sakit akademik Yale-New Haven oleh Robert Fetter dan John
Thomson. Riset kedua ahli tersebut dimulai di tahun 1970 dengan tujuan untuk memperbaiki
proses telaah utilisasi. Telaah utilisasi adalah upaya untuk menilai apakah pemberian
berbagai tindakan medis, baik untuk diagnosis maupun untuk terapi, memang wajar dan
diperlukan atau ada indikasi penyalah-gunaan. Awalnya DRG yang dikembangkan di Yale
tersebut terdiri atas pengelompokan yang luas yang berdasarkan klasifikasi ICD-8-Clinical
Modification. Data yang digunakan mencakup data rumah sakit di tiga negara bagian

Amerika yaitu New Jersey, Connecticut, dan South Carolina dengan menghasilkan 83
katagori mayor diagnosis. Upaya pengelompokan dilakukan atas dasar tiga prinsip yaitu (1)
pengelompokan secara pengelolaan klinis yang mencakup klasifikasi anatomis dan
fisiologis; (2) jumlah kasus cukup banyak untuk menghasilkan informasi statistik yang
signifikan; dan (3) mencakup berbagai diagnosis dalam ICD-8-CM tanpa adanya overlap.
Dengan menggunakan alogritme interaktif, pengelompokan lebih lanjut dilakukan dengan
memperhitungkan diagnosis sekunder, prosedur pembedahan, usia pasien, dan pelayanan
khusus, pada akhimya dihasilkan 383 DRG. Generasi kedua DRG dikembangkan di tahun
1981 untuk menyesuaikan DRG dengan pengelompokan diagnosis dalam ICD-9-CM. Pada
generasi kedua, data yang digunakan untuk menyusun DRG adalah data nasional dari 332
rumah sakit yang mencakup 400.000 Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 123 H
Thabrany catatan medis pasien yang keluar (discharged) rumah sakit. Pada generasi kedua
ini diperoleh 23 kelompok mayor yang menyangkut sistem tubuh yang terkena penyakit,
misalnya sistem pemafasan dan sistem pencemaan. Generasi kedua menghasilkan 467
DRG yang menyangkut ada tidaknya pembedahan dan komplikasi atau komorbiditas.
Komplikasi adalah penyulit suatu penyakit yang terjadi karena perjalan penyakit yang sudah
lanjut akibat terlambat diagnosis, pengobatan, atau ikut terganggunya sistem lain. Perforasi
usus merupakan suatu komplikasi dari penyakit tifus. Sedangkan komorbiditas adalah
adanya penyakit lain (yang tidak terkait dengan penyakit utama) yang secara kebetulan
terjadi secara kebetulan. Sebagai contoh, seorang yang menderita tifus bisa juga kebetulan
menderita diabetes mellitus. Secara formal, sistem pembayaran DRG digunakan oleh
pemerintah Amerika Serikat dalam program Medicare mulai tanggal 1 Oktober 1983 (Beck,
1984; Smith dan Fottler, 1985). Program Medicare adalah program asuransi sosial di
Amerika

yang

dananya

dikumpulkan

dari

iuran

wajib

pekerja

sebesar

1,45%

gaji/penghasilannya ditambah 1,45% lagi dari majikan pekerja. Namun demikian, dana yang
terkumpul tersebut hanya digunakan untuk membiayai perawatan rumah sakit dan
perawatanjangka panjang (long term care) bagi penduduk berusia 65 tahun keatas dan
penduduk yang menderita penyakit terminal (penyakit yang tidak bisa lagi disembuhkan)
seperti gagal ginjal. Jadi program Medicare merupakan program anak membiayai orang tua

yang dikelola secara nasional oleh pemerintah Federal Amerika. Kini sistem pembayaran
DRG juga digunakan dalam program Medicare di Australia, program Medicare di Taiwan,
program jaminan sosial di Muangtai, pembiayaan rumah sakit di Malaysia, dan juga program
asuransi kesehatan sosial di Jerman. Berbeda dengan program Medicare di Amerika,
program Medicare di Australia, Kanada, dan Taiwan merupakan program asuransi sosial
yang dibiayai dari iuran wajib seluruh penduduk yang berpenghasilan dan digunakan untuk
penduduk yang membayar iuran tersebut dan anggota keluarganya. Program Medicare di
luar Amerika merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional (AKN). Indonesia juga
sudah merintis program AKN seperti yang diatur dalam Undang-undang nomor 40 tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Hanya saja program AKN di
Indonesia saat ini belum diterapkan terhadap seluruh penduduk. Diharapkan di tahun 2010
nanti, separuh penduduk Indonesia sudah mendapatkan jaminan kesehatan melalui SJSN.
Arti pembayaran DRG Dalam pembayaran DRG, rumah sakit maupun pihak pembayar tidak
lagi merinci tagihan dengan merinci pelayanan apa saja yang telah diberikan kepada
seorang pasien. Akan tetapi rumah sakit hanya menyampaikan diagnosis pasien waktu
pulang dan memasukan kode DRG untuk diagnosis tersebut. Besamya tagihan untuk
diagnosis tersebut sudah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan pihak
pembayar misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif DRG tersebut telah ditetapkan
oleh pemerintah sebelum tagihan rumah sakit dikeluarkan. Contoh pembayaran DRG dari
program DRG di Australia dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Sistem Pembayaran
Fasilitas Kesehatan 124 H Thabrany Tabel: Contoh DRG dan besaran tarifDRG di Australia,
2004. DRG Description ALOS Average Cost per DRG ($) (Days) Total Direct Ohead DRG
AOIZ Liver Transplant 31.46 91,078 71,051 20,027 A02Z Multiple Organs Transplant 18.28
41,703 35,417 6,286 A03Z Lung Transplant 22.47 73,945 63,706 10,238 A04Z Bone Marrow
Transplant 22.34 29,427 23,743 5,685 A05Z Heart Transplant 19.62 60,568 51,615 8,953
A06Z Tracheostomy Any Age Any 29.76 52,976 40,678 12,298 Cond A40Z Ecmo - Cardiac
Surgery 16.14 48,748 37,440 11,308 A41Z Intubation Age<16 7.37 12,219 8,742 3,477 BOIZ
Ventricular Shunt Revision 5.85 6,458 4,737 1,721 B02A Craniotomy + Ccc 20.02 23,327
17,913 5,414 B02B Craniotomy + Smcc 11.10 12,757 9,771 2,986 B02C Craniotomy - Cc

7.88 9,947 7,609 2,338 B03A Spinal Procedures + Cscc 14.88 15,119 11,492 3,627 B03B
Spinal Procedures - Cscc 5.38 6,960 5,346 1,614 B04A Extracranial Vascular Pr +Cscc 8.11
9,006 6,733 2,273 Sumber: Website Department of Family Service Australia, 2004
Pembayaran dengan cara DRG mempunyai keutamaan sebagai berikut: Memudahkan
administrasi pembayaran bagi rumah sakit dan pihak pembayar Memudahkan pasien
memahami be saran biaya yang hams dibayarnya Memudahkan penghitungan pendapatan
(revenue) rumah sakit Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan
untuk menggunakan sumber daya seefisien mungkin Memudahkan pemahaman klien
dalam melakukan sosialisasi/pemasaran pelayanan rumah sakit Memberikan surplus atau
laba yang lebih besar kepada rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian bagi
rumah sakit yang tidak efisien. Aritnya cara pembayaran DRG akan mendorong rumah sakit
menjadi lebih profesional dan lebih efisien. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 125 H
Thabrany Selain memberikan keutamaan, pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan
sebagai berikut: Penerapannnya membutuhkan pembayar pihak ketiga yang cukup
dominan, misalnya dengan sistem asuransi kesehatan nasional atau pemerintah yang
membayar pelayanan medis bagi rakyatnya Penerapannya membutuhkan sistem informasi
kesehatan, khususnya pencatat rekam medis, yang akurat dan komprehensif. Sistem
komputerisasi dan teknologi kumputer kini sangat memudahkan penyelenggaraan sistem ini
Sistem pembayaran DRG di dalam lingkungan rumah sakit yang mayoritas pasiennya
membayar dari kantong sendiri sulit dilaksanakan kecuali jika ada komitmen kuat pemerintah
yang diwujudkan dalam peraturan yang ditegakkan pelaksanaannya. Pasien yang tidak
memiliki asuransi tidak akan sanggup membayar suatu biaya pelayanan medis untuk kasuskasus katastrofik (yang biaya pengobatan atau perawatannya besar) Cara pembayaran DRG
di Indonesia sudah menjadi wacana sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Namun demikian,
karena sistem asuransi kesehatan atau sistem pembayaran rumah sakit oleh pemerintah
belum berjalan dengan baik dan belum mencakup sebagian besar penduduk, maka cara
pembayaran DRG hanya sampai wacana. Berbagai seminar dan studi sudah dilakukan,
namun komitmen pemerintah untuk menggunakan cara pembayaran DRG untuk
mengendalikan biaya rumah sakit tampaknya masih sangat rendah. Rumah sakit sendiri

belum mendapat insentif atau rangsangan untuk menggunakan cara pembayaran DRG.
6.4.2. Pembayaran Kapitasi Sejarah singkat Cara pembayaran kapitasi sesungguhnya sudah
lama digunakan di Eropa, jauh sebelum HMO (Health Maintenance Organization), yang kita
tiru di Indonesia dengan nama IPKM, menggunakan sistem pembayaran kapitasi di Amerika.
Sistem asuransi kesehatan sosial di Belanda telah lebih dahulu membayar dokter keluarga
dengan cara pembayaran kapitasi untuk sejumlah orang yang menjadi tanggung-jawab
dokter keluarga. Di Jerman, asosiasi asuransi kesehatan sosial sesungguhnya membayar
kapitasi kepada asosiasi dokter di suatu wilayah dengan cara kapitasi. Dalam sistem
pembayaran kapitasi di Jerman, asosiasi dokter (semacam ikatan dokter) mendapat dana
dari badan asuransi kesehatan sosial berdasarkan jumlah orang yang akan dilayani di
wilayah dimana para dokter bergabung dalam asosiasi. Misalnya, di wilayah X ada 200.000
orang dan disepakati bahwa tiap orang mendapat pembayaran kapitasi, katakanlah, Euro
100 setahun; maka asosiasi dokter akan mendapatkan dana 200.000 x Euro 100 atau Euro
20 juta per tahun. Dana Euro 20 juta ini nantinya dikelola asosiasi dokter kepada para
anggotanya dengan cara IPP. Tetapi yang mengendalikan dana bukannya badan asuransi,
para dokter itu sendiri yang menjadi pengurus asosiasi yang akan membagikan dana Euro
20 juta kepada anggotanya. Di Eropa, hampir semua upaya asuransi kesehatan dilakukan
dalam bentuk asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib, jadi bukan jual-beli, dengan
cara setiap orang membayar iuran bulanan Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 126 H
Thabrany sejumlah prosentase tertentu dari gaji/upahnya. Penyelenggaranya adalah badan
asuransi, yang bukan perusahaan asuransi yang mencari untung. Badan asuransi tersebut
tidak mencari untung (nirlaba) dan karenanya lebih transparan dalarn manajemen dan
memiliki anggota harnpir seluruh penduduk. Di Amerika, upaya asuransi kesehatan
didominasi dengan sistem asuransi kesehatan komersial yang berupa jual-beli, baik dalarn
bentuk managed care seperti HMO maupun dalarn bentuk asuransi kesehatan tradisional. Di
Amerika pembayaran kapitasi lebih dikenal setelah Amerika mengeluarkan UU HMO di
tahun 1973 yang mendorong pembayaran kapitasi dari HMO kepada dokter dalarn praktek
grup dan perorangan (HIAA, Me A; Kongsvedt, 19964 ;Bolan,).5 Namun demikian,
pembayaran kapitasi kepada perorangan dokter praktek tidak berjalan di Amerika, karena

jumlah orang yang membeli asuransi HMO tidak banyak. Kebanyakan asuransi kesehatan
yang dijual di Amerika adalah asuransi kesehatan tradisional yang membayar fasilitas
kesehatan dengan lPP. Karena kondisi yang seperti itu, maka pembayaran kapitasi di
Amerika tidak berjalan sebaik pembayaran kapitasi di Eropa. Hakikaf pembayaran kapifasi
Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya dengan menempatkan
fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko, seluruhnya atau sebagian, dengan cara
menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Di Amerika, ada keharusan
bahwa HMO merupakan badan penanggaung risiko penuh (asume risk), sehingga kapitasi
penuh kepada fasilitas kesehatan tidak berarti bahwa fasilitas kesehatan akan menanggung
segala risiko katastropik. 6 Ada mekanisme stop loss dalarn kontrak kapitasi penuh. Artinya,
kalau temyata jumlah orang yang berobat jauh lebih tinggi dari yang diperhitungkan atau
disepakati dimuka, maka HMO tetap bertanggung-jawab menambah dana kepada fasilitas
kesehatan yang dibayar secara kapitasi. Meskipun di Indonesia, secara eksplisit hal ini
belum diatur, mengingat sifat alamiah fasilitas kesehatan bukanlah risk bearer, maka
mekanisme stop loss hamslah juga diberlakukan, jika nanti cara pembayaran kapitasi ini
diterapkan. Hal ini sangat penting dalarn menjaga kesinarnbungan kontrak kapitasi.
Mekanisme pembayaran cara kapitasi ini merupakan cara meningkatkan efisiensi dengan
memanfaatkan mekanisme pasar pada sistem pembayar pihak ketiga, baik itu asuransi,
maupun pemerintah. Secara teoritis, pada situasi pasar kompetitif, fasilitas kesehatan akan
memasang tarif sarna dengan tarif rata-rata di pasar (average market cost). Di semua
negara hal ini tidak terjadi karena mekanisme pasar tidak berlaku dalam pelayanan
kesehatan. Di banyak negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia pemerintahlah yang
menentukan tarif, karena kegagalan mekanisme pasar. Pada pasar monopoli atau oligopoli,
fasilitas kesehatan dapat menetapkan harga diatas average cost. Dalarn prakteknya, jika
tidak ada pengaturan pemerintah fasilitas kesehatan secara virtual selalu berada dalarn
kondisi pasar monopoli/oligopoli. Jika pembayar membayar dengan kapitasi, fasilitas
kesehatan akan menekan biaya hingga paling tidak biaya per unit pelayanan yang diberikan
sarna atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian fasilitas kesehatan akan menekan
jumlah kunjungan sehingga revenue akan sarna dengan atau lebih besar dari revenue jika ia

hams melayani pasien dengan cara pembayaran lPP. Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 127 H Thabrany Cara menghitung biaya kapitasi tidaklah sulit. Hanya saja, untuk
Indonesia saat ini barangkali data yang tersedia masih sangat terbatas. Tambahan, banyak
fasilitas kesehatan (health care provider) dan badan asuransi yang juga tidak memiliki
informasi yang cukup untuk bisa menghitung besar pembayaran kapitasi yang memuaskan
kedua belah pihak. Oleh karenanya, perlu dilakukan usaha bersarna untuk menghimpun
informasi yang akurat, agar baik fasilitas kesehatan maupun badan asuransi sarna-sama
menanggung risiko dan insentif finansial yang memadai. Jika pembagian risiko dan insentif
tidak memadai maka di masa datang akan banyak timbul konflik-konflik yang mengancarn
kesinarnbungan pembayaran kapitasi. Langkah-langkah menghitung biaya kapitasi adalah
sebagai berikut (Thabrany, 2001): 1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup
dalarn pembayaran kapitasi 2. Menghitung angka utilisasi dalam satuan jumlah pengguna
per 1.000 populasi yang akan dibayar secara kapitasi 3. Mendapatkan rata-rata biaya per
jenis pelayanan untuk suatu wilayah 4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap
jenis pelayanan 5. Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan. Tabel:
Contoh perhitungan kapitasi sebuah Perusahaan HMO di AS (dikutip dari Steenwyk, 1989)7
Jenis Pelayanan Rates /1000 orang/th Rata-rata biayaper pelayanan ($) Kapitasi per orang
per bulan ($) Kunjungan rawat jalan Kunjungan rumah sakit Kunjungan emergensi Checkup
BedahMinor Rawatinap Rawat pulang hari yang sarna Asisten bedah Kebidanan Psikiatri
Anestesi Imunisasi dan suntikan Lain Pelayanan medis lain 3.400 434,5 I 9,78 350 54,61
1,58 ~ 15_0~ ~ O:'~O f 0~,7--_5~1 ,200 1,00 s 2_40-----1 80,0 ; 1,~ f-' 4..:....5--;
""""""""""""""""""""",~"?..9.1.Q"",,,,;-1 -=-3z-, 1.:,...9-11 +-- 4..:....0 ---1 4?..9.,.Qj--- l=,5-=-0-11 I
15 225,0 O,~ a 2_5_, L?.Q.Q,.Q, 3"---,1_3---l1 "! -r-r- 250 85,0 1,7L 80 300,0 2,00 600 I 13,0
0,65 !----------o . 1.000 30,0 2,50 Total Kapitasi 29,73 Sistem Pembayaran Fasilitas
Kesehatan 128 H Thabrany Dalam situasi dimana pembayaran kapitasi sudah diberlakukan
secara luas, fasilitas kesehatan yang bersifat memaksimalkan laba dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut (Thabrany, 2001):8 Reaksi posifif Kapifasi 1. Fasilitas kesehatan
memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, dengan menegakkan diagnosis yang tepat
dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat. Dengan pelayanan yang baik ini,

pasien akan cepat sembuh dan tidak kembali ke fasilitas kesehatan untuk konsultasi atau
tindakan lebih lanjut yang menambah biaya. Taktik ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang
berupaya mendapatkan keuntungan jangka pendek 2. Fasilitas kesehatan memberikan
pelayanan promotif dan preventif untuk mencegah insidens kesakitan. Apabila angka
kesakitan baru menurun, maka peserta tentu tidak perlu lagi berkunjung ke fasilitas
kesehatan yang akan menurunkan utilisasi menjadi lebih rendah dan biaya pelayanan
menjadi lebih kecil. Strategi ini dilakukan oleh fasilitas kesehatan untuk mendapatkan
keuntungan jangka panjang. Strategi ini hanya bisa dilakukan pada situasi ada pembayar
pihak ketiga tunggal atau beberapa pembayar (misalnya asuransi kesehatan atau
pemerintah). 3. Fasilitas kesehatan memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak
kurang, untuk mempertahankan efisiensi operasi dan tetap memegang jumlah pasien JK
sebagai income security. Hal ini akan berfungsi baik untuk mencari keuntungan jangka
pendek maupun jangka panjang dan jika situasi pasar sangat kompetitif, dimana fasilitas
kesehatan sulit mencari pasien/langganan baru. Reaksi negafif 1. Jika kapitasi yang
dibayarkan terpisah-pisah (parsial) antara pelayanan rawat jalan primer, rawat jalan rujukan
dan rawat inap rujukan dan tanpa diimbangi dengan insentif yang memadai untuk
mengurangi rujukan, fasilitas kesehatan akan dengan mudah merujuk pasiennya ke spesialis
atau merawat di rumah sakit. Dengan merujuk, waktunya untuk memeriksa menjadi lebih
cepat dan risiko finansial menjadi lebih kecil. Dengan demikian, fasilitas kesehatan primer
dan sekunder dapat mengantongi surplus jangka pendek yang dikehendaki. 2. Fasilitas
kesehatan dapat mempercepat waktu pelayanan sehingga tersedia waktu lebih banyak untuk
melayani pasien non jaminan atau yang membayar dengan JPP yang "dinilai" membayar
lebih banyak. Artinya mutu pelayanan dapat dikurangi, karena waktu pelayanan yang
singkat. Jika ini terjadi, pada kapitasi parsial pihak pembayar ketiga pada akhimya dapat
memikul biaya lebih besar karena efek akumulatif penyakit yang menjadi lebih mahal di
kemudian hari. Pasien yang tidak mendapatkan pelayanan rawat jalan yang memadai akan
menderita penyakit yang lebih berat, akibatnya biaya pengobatan sekunder dan tersier
menjadi lebih mahal. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 129 H Thabrany 3. Fasilitas
kesehatan dapat tidak memberikan pelayanan dengan baik, supaya kunjungan pasien

kapitasi tidak cukup banyak. Hal ini menimbulkan banyaknya keluhan anggota atas
pelayanan yang tidak memuaskan. Untuk jangka pendek strategi ini mungkin berhasil
menarnbah surplus kepada fasilitas kesehatan, tetapi untuk jangka panjang hal ini akan
merugikan fasilitas kesehatan itu sendiri. Salah satu cara untuk mengevaluasi berbagai
reaksi negatif prilaku fasilitas kesehatan yang mendapatkan pembayaran kapitasi dan yang
mendapatkan pembayaran IPP adalah dengan mengevaluasi utilisasi biaya, status
kesehatan, dan kepuasan pasien. Di Indonesia, sepanjang pengetahuan saya, belum ada
evaluasi yang sahih dan terpercaya. Di Amerika, pada awal perkembangan HMO di mana
keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan HMO sangat tinggi, penelitian eskperimental
dilakukan oleh Rand Corporation. Hasilnya tidak menunjukkan adanya penurunan mutu
pelayanan .pada HMO yang membayar kapitasi akan tetapi terdapat efisiensi sarnpai 30%
(Rand, 1993). Keseimbangan informasi antara fasilitas kesehatan dan badan asuransi
merupakan kunci sustainabilitas pembayaran kapitasi. Transfer risiko tidaklah berarti bahwa
fasilitas kesehatan harus menanggung rugi karena informasi yang tidak memadai. Trasfer
risiko dengan pembayaran kapitasi menempatkan fasilitas kesehatan pada risiko fluktuasi
utilisasi yang bukan katastropik dan memberikan insentif kepada fasilitas kesehatan untuk
menghindari moral hazard. Karena rentang risiko kapitasi bagi fasilitas kesehatan adalah
fluktuasi normal dan pemberian insentif kepada fasilitas kesehatan untuk melakukan usaha
usaha pencegahan guna mendapatkan laba yang memadai, maka informasi utilisasi
haruslah diketahui bersarna. Artinya, keterbukaan data utilisasi antara badan asuransi dan
fasilitas kesehatan harus cukup memadai agar be saran pembayaran kapitasi tidak
menyebabkan salah satu pihak menderita kerugian sistematis. Jadi dalam sistem
pembayaran kapitasi, telaah utilisasi (utilization review) mutlak diperlukan untuk dua hal.
Pertarna, telaah utilisasi dapat memberikan informasi kepada badan asuransi dan fasilitas
kesehatan tentang apakah pelayanan yang diberikan selarna ini sudah pas, pada titik
optimal, atau belum. Utilisasi di bawah optiomal menunjukkan mutu pelayanan yang tidak
memenuhi standar. Sementara utilisasi yang berlebihan merugikan fasilitas kesehatan.
Telaah utilisasi dilakukan pada fasilitas kesehatan yang dikontrak kapitasi dan fasilitas
kesehatan rujukan. Dengan demikian dapat dipantau fasilitas kesehatan mana yang rajin

merujuk dan mana yang kurang merujuk. Telaah utlisasi ini juga sangat penting untuk
mengetahui apakah keluhan anggotaipeserta tentang kualitas yang kurang memadai
memang terjadi. Keterbukaan dan saling percaya merupakan faktor yang sangat penting
yang secara periodik dikomunikasikan. Telaah utlisasi membutuhkan keterbukaan ini,
sehingga badan asuransi dan fasilitas kesehatan sarna-sarna mengetahui besarnya risiko
yang ditransfer dari badan asuransi ke fasilitas kesehatan. Dengan demikian, maka besaran
kapitasi menjadi fair (adil). Pembayaran kapitasi yang ditetapkan sepihak tidak akan
menghasilkan status kesehatan yang optimal dan merupakan ancaman kelangsungan
hubungan badan asuransi dan fasilitas kesehatan. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
130 H Thabrany Dalam mengkomunikasikan data utilisasi, badan asuransi dan fasilitas
kesehatan hams sama-sama menyadari bahwa terjadi variasi di dalam fasilitas kesehatan
dan di luar fasilitas kesehatan. Di dalam suatu fasilitas kesehatan terjadi variasi utilisasi dari
waktu ke waktu dan dari suatu kelompok penduduk ke kelompok penduduk lain. Sementara
di antara berbagai fasilitas kesehatan terjadi juga variasi yang sarna. Besaran pembayaran
kapitasi dihitung berdasarkan rata-rata utilisasi antar fasilitas kesehatan, bukan hanya variasi
yang terjadi di dalam suatu fasilitas kesehatan. Hal ini dapat menimbulkan salah pengertian
jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Besarnya pembayaran kapitasi dengan penyesuaian
terhadap besarnya risiko yang hams ditanggung oleh suatu fasilitas kesehatan atau suatu
kelompok fasilitas kesehatan (adjusted capitation rate) dapat dilakukan untuk lebih menjamin
keadilan di antara fasilitas kesehatan. Namun hal ini tidak didasarkan atas variasi utilisasi di
dalam suatu fasilitas kesehatan, akan tetapi atas dasar variasi risiko kelompok suatu fasilitas
kesehatan yang berbeda dengan risiko rata-rata anggota seluruhnya. 6.4.3. Pembayaran per
kasusJpaket Sistem pembayaran per kasus (case rates) banyak digunakan untuk membayar
rumah sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran per kasus ini mirip dengan
pembayaran DRG, yaitu dengan mengelompokan berbagai jenis pelayanan menjadi satu
kesatuan (Kongstvedt, 1996). Pengelompokan ini hams ditetapkan dulu dimuka dan disetujui
kedua belah pihak, yaitu pihak rumah sakit dan pihak pembayar. Sebagai contoh, kelompok
pelayanan yang disebut per kasus misalnya pelayanan persalinan normal, persalinan
dengan sectio, pelayanan ruang intensif akan tetapi tidak berdasarkan diagnosis penyakit.

Rumah sakit akan menerima pembayaran sejumlah tertentu atas pelayanan suatu kasus,
tanpa mempertimbangkan berapa banyak dan berapa lama suatu kasus ditangani. Sebagai
contoh yang paling umum adalah persalinan normal, misalnya Rp 2 juta per persalinan
normal. Rumah sakit akan mendapat pembayaran sebesar Rp 2 juta, meskipun suatu
persalinan ada persalinan yang memerlukan infus, partus lama, ada perdarahan lebih dari
normal, ada yang dirawat satu hari atau empat hari. Seperti juga pada pembayaran DRG,
dengan pembayaran per kasus, RS akan didorong untuk lebih cermat dalam melakukan
diagnosis, lebih hemat dalam menggunakan sumber daya, lebih cermat dalam pemeriksaan
laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain. Apabila sebuah RS yang telah sepakat
mendapat pembayaran Rp 2 juta mampu melayani suatu persalinan dengan biaya hanya Rp
1,5 juta, maka RS tersebut mendapat surplus atau laba. Akan tetapi, kalau karena
kecerobohan dokter, bidan atau perawat menyebabkan terjadi suatu komplikasi, sehingga
baik si ibu maupun si bayi dirawat lebih lama dan menghabiskan biaya Rp 3 juta, maka
rumah sakit tersebut akan merugi Rp 1 juta pada kasus itu. Di Indonesia sesungguhnya
pembayaran per kasus sudah sering digunakan dengan mengelompokan pembedahan
menjadi bedah mikro, bedah kecil, bedah sedang, bedah besar, bedah khusus, perawatan
satu hari (one day care) dan sebagainya. Yang belum terjadi di Indonesia adalah tarif yang
sarna untuk kasus yang sarna di berbagai rumah sakit. Akibatnya, pasien perorangan yang
hams membayar DKS tidak mempunyai pilihan yang tepat dan tidak selalu dapat memilih
tarif per kasus yang sesuai dengan kantongnya. Apabila pemerintah Sistem Pembayaran
Fasilitas Kesehatan 131 H Thabrany menetapkan tarif per kasus yang berlaku sarna di
semua rumah sakit di suatu daerah, maka kondisi pasien yang pada umumnya tidak
terlindungi asuransi akan lebih tertolong. Di Malaysia dan Singapura misalnya, pemerintah
bersama organisasi profesi telah menetapkan tarif untuk berbagai kasus di rumah sakit
swasta sehingga pasien bisa mengira-ngira besarnya yang harus ia bayar. Sedangkan untuk
RS publik di Malaysia, penduduk hanya membayar per diem yang sangat murah. Di
Muangtai pemerintahnya menerapkan sistem skema 30 Baht yang dikelola oleh Health
Security Office dengan membayar kapitasi ke rumah sakit. Setiap penduduk Muangtai yang
berusia 16-59 tahun yang bukan pegawai negeri dan bukan pegawai swasta (yang keduanya

sudah memiliki jaminan kesehatan) hanya membayar sebesar 30 Baht (sekitar Rp 6.000)
setiap kali berobat atau dirawat. Pembayaran semacam ini bukanlah pembayaran per kasus
atau per episode pengobatan. Pembayaran seperti di Muangtai tersebut hanya merupakan
copayment, pembayaran formalitas bahwa perawatan yang diterimanya tidak gratis. Hampir
seluruh biaya perawatan tersebut sesungguhnya sudah dibayar oleh pemerintah Muangtai
kepada RS. 6.4.4. Pembayaran per diem Pembayaran per diem merupakan pembayaran
yang dinegosiasi dan disepakati dimuka yang didasari pada pembayaran per hari perawatan,
tanpa mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit (Kongstvedt, 1996).
Misalnya suatu badan asuransi atau pemerintah membayar per hari perawatan di kelas III
sebesar Rp 250.000 per hari untuk kasus apapun yang sudah mencakup biaya ruangan,
jasa konsultasi/visite dokter, obat-obatan, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksanaan
penunjang lainnya. Sebuah rumah sakit yang efisien dapat mengendalikan biaya perawatan
dengan memberikan obat yang paling cost effective, memeriksa laboratorium hanya untuk
jenis pemeriksaan yang memang diperlukan benar, memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan
dan bonus, serta berbagai penghematan lainnya; akan mendapatkan surplus. Esensi
pembayaran per diem adalah pembayaran dalam sistem mekanisme pasar, dimana RS
hams memenuhi kebutuhan dananya sendiri yang tidak mendapat dana dari pemerintah. Di
Malaysia, penduduk Malaysia juga membayar per diem untuk perawatan di RS pemerintah
sebesar 3 RM per hari (sekitar Rp 6.300), meskipun si pasien perlu dirawat di ruang
perawatan intensif atau memerlukan transplantasi sumsum tulang. Kalau penduduk Malaysia
dirawat di Institut Jantung Nasional maka ia hanya membayar 10 RM per hari. Meskipun
pembayaran tersebut merupakan pembayaran per diem, akan tetapi sifatnya berbeda.
Karena sesungguhnya, biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit bisa jadi lebih dari 2.000 RM
per hari. Hanya saja, pemerintah yang membayar hampir seluruh biaya yang dihabiskan RS,
bukan si pasien atau pembayar pihak ketiga. Rumah sakit publik mendapatkan dana secara
global, seperti yang akan dibahas dalam kemudian. Pembayaran per diem yang berbasis
pasar dapat juga dimodifikasi dengan melakukan kombinasi kasus atau jenis tindakan
(Kongstvedt, 1996). Sebagai contoh, RS dapat negosiasi untuk mendapatkan pembayaran
per diem untuk kasus pembedahan yang berbeda dengan pembayaran per diem untuk

kasus tanpa pembedahan. Demikian juga RS dapat bemegosiasi Sistem Pembayaran


Fasilitas Kesehatan 132 H Thabrany untuk mendapatkan pembayaran per diem dengan atau
tanpa perawatan intensif. Modifikasi lain juga dapat dilakukan dengan sliding scale per diem.
Dalam cara pembayaran ini, badan asuransi yang membayar sejumlah tertentu hari rawat,
misalnya kurang dari 1.000 hari rawat per tahun, akan membayar sedikit lebih mahal per hari
dibandingkan dengan badan asuransi yang membayar lebih dari 3.000 hari rawat per tahun.
Modifikasi per diem dapat juga dilakukan dengan tarif per diem differensial. Pada
pembayaran per diem differensial, rumah sakit akan dibayar dengan tarif per diem yang lebih
tinggi pada beberapa hari pertama dan tarifper diem yang lebih rendah pada hari tertentu
(misalnya hari ke lima) dan seterusnya. 6.4.5. Global budget Global budget (anggaran
global) untuk RS banyak dilakukan di Eropa (Sandier, dkk, 2002)10 dan juga di Malaysia.
Sesungguhnya global budget merupakan cara pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau
suatu badan asuransi kesehatan nasional dimana RS mendapat dana untuk membiayai
seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun. Alokasi dana ke RS tersebut diperhitungkan
dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun sebelumnya, kegiatan lain yang
diperkirakan akan dilaksanakan, dan kinerja RS tersebut. Manajemen RS mempunyai
keleluasaan mengatur dana anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional,
pemeliharaan RS, dll, Sistem ini pada umumnya dilaksanakan di negara-negara dimana
penduduk berhak mendapat pelayanan rumah sakit tanpa hams membayar atau membayar
sedikit copayment. Sebelumnya pendanaan dilakukan dengan anggaran global, rumah sakit
mendapat anggaran rutin dalam bentuk gaji pegawai, belanja pemeliharan, belanja investasi
dan sebagainya. Dengan model belanja seperti anggaran belanja pemerintah Indonesia
yang lalu, dimana ada anggaran rutin dan anggaran pembangunan, dana yang mengalir ke
rumah sakit sering tidak efisien atau dikorupsi. Untuk memberi insentif kepada manajemen
RS agar lebih efisien, maka manajemen RS diberikan sejumlah dana atau anggaran global
dengan kehamsan mencapai target jumlah dan kualitas pelayanan tertentu kepada
masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan cara demikian, maka anggaran akan
lebih terkendali. 6.5. Ringkasan Pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan di rumah sakit,
bukanlah pelayanan yang dapat mengikuti hukum pasar seperti halnya pelayanan bengkel

mobil atau pelayanan hotel. Akibatnya, mekanisme pasar yang dapat mengendalikan biaya
tidak terjadi di dalam pelayanan kesehatan. Biaya pelayanan kesehatan terus meningkat dari
tahun ke tahun yang lebih besar dari peningkatan karena inflasi. Biaya pelayanan kesehatan
meningkat karena ada inflasi umum dan juga karena ada pelayanan baru dan peningkatan
kualitas pelayanan karena adanya teknologi dan tuntutan baru. Berbagai pihak berupaya
melakukan pengendalian biaya pelayanan kesehatan dengan berbagai cara pembayaran.
Cara pembayaran tradisional yang jumlahnya ditentukan setelah pelayanan diberikan
(pembayaran retrospektif) justeru memberikan dorongan bagi inflasi yang lebih tinggi dan
pemberian pelayanan baru yang semakin mahal. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan
133 H Thabrany Para ahli ekonomi kesehatan kemudian mengembangkan berbagai cara
pembayaran prospektif, yaitu pembayaran yang jumlahnya sudah disepakati di muka,
meskipun pembayarannya dilakukan setelah pelayanan diberikan. Cara pembayaran
prospektif terdiri atas cara pembayaran kapitasi, pembayaran DRG, per kasus/paket, per
diem, ambulatory patient group, dan pembayaran anggaran global. Masing-masing cara
pembayaran membutuhkan syarat-syarat tertentu dan rumah sakit dapat menerima satu atau
lebih cara pembayaran. Rujukan 1 Thabrany, Hasbullah. 2005. Pendanaan Kesehatan di
Indonesia. RajaGrafindo Pers. Jakarta, 2005 2 Beck, Donald F. 1984. Principles of
Reimbursement in Health Care. Aspen Publication. Rockville, MD. USA. P 12 3 Smith,
Howard L. dan Fottler, Myron D. 1985. Prospective Payment. Aspen Publication. Rockville,
MD. USA.p2 4 Kongsvedt, Peter R. 1996. The Managed Health Cara Handbook. 3rd Ed.
Aspen Publication. Gaitersburg, MD, USA, 5 Bolan, Peter. Making Managed Healthcare
Work: A Practical Guide to Strategies and Solutions. 1993. Aspen Publication, Gaitersburg,
MD. USA 6 HIAA. 1997. Managed Care: Integrating Delivery and Financing of Health Care.
Part A. Washington, DC, USA. 7 Steenwyk. J. 1989. Costs and Utilization Rates:
Establishing Per Capita Budgets. dalam (Kongstvedt, P.R. Ed) The ManagedHealth Care
Handbook Aspen Pub., Rockville, NM. 8 Thabrany, Hasbullah. Rasional Pembayaran
Kapitasi. Yayasan Penerbitan IDL 2001 9 Rand Corporation. Free for All. 10 Sandier, Simon;
Polton, Dominique; Paris, Valerie; and Thomson, Sarah. 2002. France Health Care System.
Dalam Health Care Systems in Eight Countries: Trends and Challenges. Europen

Observatory Health Care System. Sistem Pembayaran Fasilitas Kesehatan 134 H Thabrany
BAB7 Asuransi Kesehatan Nasional Dalam Sistem laminan Sosial Nasional Sistem
pendaaan kesehatan di Indonesia kini menderita penyakit kronis dan masyarakat Indonesia
dapat menjadi miskin jika saja ada satu atau lebih anggota keluarganya yang hams dirawat
di rumah sakit, meskipun di RS pemerintah. Meminta pendanaan seluruhnya atau sebagian
besar dari anggaran belanja Pemerintah (baik pusat maupun daerah) seperti yang dilakukan
Muangtai dan Malaysia tidak bisa diharapkan saat ini. Kebanyakan pejabat kita belum
menerima konsep investasi kesehatan untuk pembangunan manusia Indonesia yang
tangguh. Karenanya anggaran kesehatan masih sangat minim dan pendanaan pelayanan
kesehatan, paling tidak biaya rumah sakit, bagi seluruh rakyat dinilai menghabiskan dana
publik. Dalam kondisi seperti ini, skema asuransi sosial yang bersifat wajib dan didanai dari
iuran yang proporsional terhadap penghasilan (prosentase upah, dan pasti terjangkau
semua pihak) merupakan solusi terbaik. Hal ini, Alhamdulillah, sudah disetujui DPR tanggal
28 September 2004 yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Upaya yang telah dirintis lebih dari tiga tahun akhimya membuahkan hasil tahun
2004. Berikut ini disajikan suatu konsep lebih rinci dari UU SJSN tersebut, yang Insya Allah
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Namun sebelum konsep
pendanaan dan pengaturan manfaat SJSN tersebut dibahas rinci, untuk memberikan
pemahaman mengapa altematif tersebut terpilih, berikut ini disajikan berbagai keunggulan
dan kelemahan dari beberapa altematif terpilih. 7.1. Alternatif Penyelenggaraan, Suatu
Analisis Pilihan altematif penyelenggaraan asuransi kesehatan so sial dapat dianalisis dari
dua sisi penting yaitu dari sisi badan penyelenggara dan dari sisi paket jaminan atau manfaat
yang menjadi hak peserta. Badan penyelenggara dapat berbentuk badan tunggal di tingkat
nasional (single payer), dapat berbentuk badan tunggal di tiap daerah yang secara aktuarial
memenuhi hukum angka besar, dapat hanya beberapa badan di tingkat nasional (oligo
payer) atau oligopoli di tingkat daerah, dan dapat terdiri atas banyak badan penyelenggara
(multi payer) baik di tingkat nasional maupun daerah. Tiap pilihan mempunyai keunggulan
dalam efisiensi, efektifitas, dan kecepatan responsif terhadap masalah di lapangan. Semua
pilihan sah saja, tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini. Akan tetapi masing-masing

altematif memiliki nilai plus dan minusnya. Pilihan altematif paket jaminan (manfaat)
sesungguhnya tidak banyak, kecuali kalau kita akan membahas secara rinci masing-masing
pelayanan yang dijamin dan yang tidak AKN dalam SJSN 135 HThabrany dijamin. Disini
akan dibahas opsi tiga jenis manfaat yaitu manfaat rawat inap dan biaya medis yang mahal
saja yang dijamin, pelayanan komprehensif dengan urun biaya (cost sharing) untuk
pelayanan tertentu dalam rangka mengendalikan moral hazard, dan komprehensif tanpa
urun biaya. Secara ringkas kelebihan dan kekurangan masing-masing opsi dapat dilihat
pada matriks di bawah ini Paket jaminan dimulai dengan Penyelenggara Opsi I. Rawat Inap
Opsi Il, Komprehensif OpsillI. dan biaya mahal dengan cost sharing Komprehensif tanpa cost
sharing Single payer di Efisien, egaliter, Efisien, egaliter, Kurang efisien, ega- tingkat
Nasional manajemen paling manajemen lebih liter, manajemen atau Provinsi . mudah,
sustaina- kompleks, sustain- kompleks, sustaina- bilitas tinggi abilitas tinggi bilitas tinggi
Oligo payer di Efisien, egaliter Efisien, egaliter dalam Kurang efisien, ega tingkat National
dalam kelompok, kelompok, manajemen liter dalam kelom pok, atau Provinsi manajemen
paling lebih kompleks, manajemen kompleks, mudah, sustaina- sustainabilitas tinggi
sustaina bilitas tinggi bilitas tinggi Multi payer 1 di Kurang efisien, Kurang efisien, egaliter
Lebih kurang efi sien, pusatJ provinsi egaliter dalam kelom dalam kelom pok, egaliter dalam
kelom pok, manajemen mu manajemen mudah, risk pok, manaje men dah, risk pool mung
pool mungkin masalah, mudah, risk pool kin masalah, sustaina sustainabilitas mungkin
mungkin ma salah, bilitas mungkin masalah sustainabilitas mungkin masalah masalah Multi
payer 2 di Kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien, tingkat egaliter dalam
dalam kelompok, egaliter makin terbatas, provinse~ab-kota kelompok, manajemen
kompleks, manajemen sukar, risk manajemen mudah, risk pool masalah, pool masalah
besar, risk pool masalah, ancaman sustainabilitas ancaman sustainabilitas ancaman
sustainabilitas Multipayer 3, Lebih kurang efisien, Kurang efisien, egaliter Paling tidak efisien,
dengan banyak egaliter dalam dalam egaliter makin terbatas, badan dari pusat kelompok,
kelompok,manajemen manajemen sukar, risk sampai kab-kota manajemen sukar, kompleks,
risk pool pool masalah besar, risk pool masalah, masalah, ancaman ancaman sustainabilitas
sustainabilitas sustainabilitas masalah AKN dalam SJSN 136 HThabrany Sesungguhnya

kelebihan dan kekurangan dari penyelenggaraan dan paket jaminan pelayanan yang
disediakan bervariasi lua
. Yang banyak terjadi di beberapa negara, karena latar belakang politik dan sosial yang
beragam, variasi luas yang terjadi umumnya dalam badan penyelenggara, bukan dalam
paket jaminan. Setelah didiskusikan bersama oleh berbagai unsur, altematif badan
penyelenggara selaku payer mempunyai kelebihan dan kekurangan tersebut dapat diringkas
dan disederhanakan seperti disajikan dari hasil rumusan sebagai berikut. Unsur Single
Single Oligo Single Multi Multi payer payer payer collector, payer payer Nasional Propinsi
Nasional multi payer district I district II Efisiensi +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Kualitas,
konsumen + ++ ++ ++++ ++++ ++++ Kualitas, fasilitas ++++ +++ +++ +++ + +/- kesehatan
Ketetjangkauan +++++ ++++ +++ ++ ++ +/- Keberlanjutan +++++ +++++ +++++ +++ ++ +/Subsidi silang +++++ ++++ ++++ ++++ + +/- Equity +++++ ++++ +++ ++++ ++ +/Portabilitas +++++ ++++ ++++ +++ ++ +/- Desentralisasi +/- +++ +/- ++ ++++ ++++ Di dalam
pengambilan keputusan bentuk yang paling pas untuk Indonesia kita hams mencermati
kelebihan dan kekurangan tersebut. Kombinasi beberapa bentuk dapat dilakukan. Yang
paling penting untuk diingat ialah bahwa salah satu bentuk mungkin pas untuk saat ini
kemudian pada masa yang akan datang dapat berubah menjadi bentuk yang lain. Misalnya,
untuk satu badan asuransi nasional meskipun banyak memiliki kelebihan mungkin sulit
dilakukan saat ini karena situasi politik yang belum memungkinkan. Dalam prakteknya,
pilihan bentuk badan penyelenggara merupakan pilihan yang paling sulit dan paling
dipengaruhi aspek politis dan kepentingan berbagai pihak. Undang-Undang SJSN telah
memberikan indikasi bahwa penyelenggaraan asuransi kesehatan nasional di Indonesia
paling tidak akan menjadi oligo-payer, ada dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS)
yang menyelenggarakan, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek (yang tidak lagi bertujuan
mencari laba, baca naskah UU SJSN terlampir). Pemerintah daerah tidak perlu khawatir,
sebab meskipun penyelenggara di daerah adalah kantor cabang PT Askes atau PT
Jamsostek, pekerjanya adalah orang daerah. Dana yang terkumpul juga dibayarkan kepada
fasilitas kesehatan daerah. Sehingga tidak terjadi aliran dana dari daerah ke pusat yang
digunakan olehpusat. AKN dalam SJSN 137 HThabrany 7.2. Rancangan Asuransi

Kesehatan Nasionallndonesia: Suatu Skenario Deklarasi Hak Asasi Manusia yang


dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa di tahun 1947 telah menempatkan kesehatan
sebagai salah satu hak asasi dan menyebutkan bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan
manakala ia sakit. Deklarasi ini telah diikuti oleh Konvensi International Labor Organization
(ILO) No 52 tahun 1948 yang memberikan hak tenaga kerja atas sembilan macam jaminan
termasuk di antaranya Jaminan Kesehatan. Indonesia sebagai negara yang telah
meratifikasi konvensi tersebut secara bertahap wajib mewujudkan terselenggaranya jaminan
kesehatan bagi semua, sesuai dengan kemampuan dan perkembangan negara. Untuk
Pegawai Negeri dan keluarganya, Indonesia telah mewujudkan jaminan kesehatan mereka
sejak tahun 1968. Akan tetapi anak yang ditanggung hanya sampai dua anak dan peserta
masih hams membayar urun biaya yang cukup banyak untuk pelayanan yang dijamin,
khususnya pelayanan yang mahal biayanya. Meskipun secara proporsional tampaknya tidak
begitu besar, akan tetapi beban biaya riil masih besar. Sebagai contoh, untuk operasi jantung
memang PT Askes menjamin sampai Rp 112 juta, namun peserta masih hams membayar
sampai Rp 36 juta. Jumlah yang hams dibayar peserta pegawai negeri tersebut, masih besar
sekali, lebih dari satu tahun gajinya. Di tahun 1992 Indonesia telah mengeluarkan UU
Jamsostek yang juga mewajibkan majikan membayarkan iuran untuk jaminan kesehatan.
Sayang, karena PP 14/1993 membolehkan opt out (perusahaan yang bisa memberikan
pelayanan yang lebih baik boleh tidak ikut) cakupan program JPK dari Jamsostek tidak lebih
dari 1,2 juta tenaga kerja. Selain itu manfaatnya masih sangat terbatas. Pengobatan penyakit
kanker, sakit jantung, dan hemodialisa tidak dijamin. Ini sangat ironis, sebab asuransi
bertujuan menghilangkan beban biaya yang besar, tetapi program JPK Jamsostek justeru
tidak menjamin pelayanan yang mahal yang tidak sanggup ditanggung sendiri oleh pekerja.
Selain itu, pegawai swasta yang pensiun, yang penghasilannya berkurang atau tidak ada
sama sekali, usia yang tua memiliki risiko sakit yang tinggi, tidak mendapat jaminan karena
program Jamsostek hanya menjamin dikala pekerja masih aktif. Kedua program jaminan
tersebut (Askes dan Jamsostek) tidak mengalami perbaikan berarti untuk masa yang cukup
lama, sementara standar kebutuhan hidup dan kebutuhan kesehatan telah berubah banyak.
Program jaminan, yang dapat digolongkan sebagai program jaminan sosial, juga belum

cukup memadai. Program pensiun untuk pegawai swasta masih belum terwujud sama sekali.
Jumlah dana jaminan sosial yang terkumpul oleh dua program jaminan hari tua dan pensiun
(PT Jamsostek dan PT Taspen) sampai saat ini masih kecil sekali, sekitar Rp 28 triliun, atau
kurang dari 2 % dari Produk Domestik Bruto. Jumlah tersebut tentu belum mempunyai daya
ungkit ekonomi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk merealisasi
komitmen global Indonesia dalam bidang jaminan sosial, Sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI di tahun 2000 dan 2002 telah mengamendemen UUD 1945 dengan
mencantumkan

pasal

28H

dan

pasal

34

yang

menugaskan

pemerintah

untuk

mengembangkan Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Secara universal jaminan sosial
mencakup jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja,
AKN dalam SJSN 138 HThabrany dan jaminan kesehatan termasuk jaminan persalinan
(maternity benefits). Dengan amendemen UUD tersebut, maka landasan hukum untuk
meningkatkan kesejahteraan (sekaligus meningkatkan produktifitas rakyat dan negara) bagi
seluruh rakyat dengan mengembangkan dan memperluas jaminan sosial sudah sangat kuat.
Untuk melaksanakan amanat pengembangan jaminan sosial tersebut, Presiden telah
mengeluarkan Kepres No. 20 tahun 2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang diketuai oleh almarhumah Prof. Yaumil Agus Achir, pada waktu itu bertugas
Deputi Wakil Presiden untuk Kesejahteraan Sosial dan kemudian Kepala BKKBN. Sebelum
dikeluarkan Keppres tersebut, tim sudah dibentuk dibawah SK Menko Kesra dan kemudian
SK Sekretaris Wakil Presiden yang pada waktu itu masih dijabat oleh Megawati
Seokarnoputri. Setelah Prof Yaumil meninggal dunia, Dr. Sulastomo, MPH, AAK ditugasi
menjadi Ketua Tim SJSN dengan Kepres Nomor 110/2003. Penulis sendiri termasuk sebagai
anggota Tim dan bertugas sebagai Sekretaris Sub Tim Jaminan Kesehatan dan kemudian
bertugas sebagai Konsultan Asian Development Bank untuk membantu Tim menyusun
Naskah Akademik dan RUU SJSN sampai RUU disampaikan ke DPR. Sejak dibentuknya
Tim, empat orang yang berperan penting dalam pengembangan SJSN yaitu Prof. Indra
Hattari, FSAI (aktuaris dan ahli jaminan pensiun), Prof Sentanoe (ahli jamianan sosial), Prof
Yaumil A. Achir, dan Drs. Mungid telah meninggal dunia sebelum menyaksikan hasil karya
besar bangsa. Dalam merumuskan konsep jaminan so sial untuk Indonesia Tim menyepakati

suatu jaminan sosial hams dibangun diatas tiga pilar yaitu: Pilar pertama yang terbawah
adalah pilar bantuan sosial (social assistance) bagi mereka yang miskin dan tidak mampu
atau tidak memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak. Dalam prateksnya, bantuan sosial ini diwujudkan dengan bantuan iuran
oleh pemerintah agar mereka yang miskin dan tidak mampu dapat tetap menjadi peserta
SJSN. Pilar kedua adalah pilar asuransi sosial yang merupakan suatu sistem asuransi yang
wajib diikuti bagi semua penduduk yang mempunyai penghasilan (meskipun kecil) dengan
membayar iuran yang proporsional terhadap penghasilannya. Pilar satu dan pilar kedua ini
merupakan fondasi SJSN untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak yang harus diikuti
dan diterima oleh seluruh rakyat (pilar jaminan sosial publik). Pilar ketiga adalah pilar
tambahan atau suplemen bagi mereka yang menginginkan jaminan yang lebih besar dari
kebutuhan standar hidup yang layak dan mampu menyediakan jaminan tersebut (pilar
jaminan swastaiprivat). Pilar ini dapat diisi dengan membeli asuransi komersial (baik
asuransi kesehatan, pensiun, atau asuransi jiwa), tabungan sendiri, atau program-program
lain yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok seperti investasi saham, reksa
dana, atau membeli properti sebagai tabungan bagi dirinya atau keluarganya. Pada pilar
ketiga jaminan kesejahteraan, yang akan dipenuhi adalah keinginan (want, demand)
sedangkan pada dua pilar pertama yang dipenuhi adalah kebutuhan (need). AKN dalam
SJSN 139 HThabrany Tim SJSN telah menyepakati untuk mengembangkan substansi
jaminan sosial yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua,
jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Semula disiapkan untuk menyediakan Jaminan
Penanggulangan Pemutusan Hubungan Kerja (JPPHK), namun karena keterlambatan
selesainya konsep SJSN dan UU Nomor 13/2003 tentang Ketenaga Kerjaan sudah
mewajibkan majikan membayar pesangon apabila terjadi PHK, maka JPPHK kemudian
dihilangkan. Tim juga bersepakat untuk memperbaiki sistem jaminan sosial yang ada (yang
dikelola oleh PT ASABRI, PT Askes, PT Jamsostek, dan PT Taspen) agar nantinya menjadi
jaminan yang seragam tanpa membedakan status pekerjaan penduduk. Pada awalnya
konsep Jaminan Sosial Nasional akan mendirikan tiga lembaga yaitu Lembaga Jaminan
Sosial Nasional yang merupakan suatu lembaga Tri Partit (Majelis Wali Amanat) yang

berfungsi sebagai pengambil kebijakan umum dan pengawasan yang tidak operasional.
Selain itu dibentuk satu Administrasi Jaminan Sosial Nasional yang bertugas mengelola
kepesertaan,

mengumpulkan

iuran

dan

mengelola

dana.

Terkahir

adalah

Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial yang terdiri dari dua badan yaitu Satu Badan yang mengelola
program yang bersifat jangka panjang (jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian,
dan jaminan pemutusan hubungan kerja) dan satu Badan Penyelenggara Jaminan yang
bersifat jangka pendek (jaminan kecelakaan kerja dan jaminan pemeliharaan kesehatan).
Namun demikian, karena berbagai ketakutan kehilangan peran, usul ini ditolak beberapa
wakil dari Departemen dan wakil Badan Penyelenggara yang ada. Sebagai kompromi
akhimya disepakati bahwa keempat badan penyelenggara tetap beroperasi sendiri-sendiri
tetapi hams berubah tujuan menjadi lembaga yang nirlaba, seseuai dengan prinsip dasar
penyelenggaraan jaminan sosial. Pada tahap ini belum diputuskan apakah tugas keempat
badan penyelenggara tersebut akan tetap atau akan ada spesialisasi penyelenggaraan
seperti yang diinginkan oleh sebagian anggota DPR dan anggota Tim SJSN. Tim juga telah
menyepakati untuk memperluas jaminan mulai dengan penduduk yang bekerja dengan
orang/badan dengan menerima upah dan penduduk miskin. Kelompok penduduk ini semula
disebut sektor formal yang merupakan sektor yang paling mudah dike lola, namun karena
dalam debat-debat di DPR tidak ada satu definisi sektor formal dan informal yang pas,
akhirnya istilah sektor formal dan informal dihapuskan. Secara bertahap jaminan akan
diperluas kepada yang tidak miskin yang tidak menerima upah/gaji secara rutin seperti
kelompok pedagang, petani, nelayan, dan pekerja rumah tangga sehingga suatu saat
seluruh rakyat mendapat jaminan untuk bisa hidup sehat, layak, dan produktif. Pentahapan
kepesertaan seperti ini tidak secara jelas, bisa difahami dalam UU SJSN. Landasan Hukum
yang kini tersedia dalam atau melandasi sistem jaminan sosial di sektor kesehatan adalah:
1. UUD 1945 amendemen pasal 28H ayat 1, bahwa setiap penduduk berhak atas pelayanan
kesehatan dan ayat 3 bahwa setiap penduduk berhak atas jaminan sosial. 2. UUD 1945
amendemen pasal 34 ayat 2, bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat 3. UUD 1945 amendemen pasal 34 ayat 3, bahwa negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak 4. UU No 3/1992 tentang Jamsostek 5. PP

69/1991 tentang JPK PNS 6. UU No 23/1992 tentang Kesehatan, khususnya pasa166 AKN
dalam SJSN 140 HThabrany 7. UU 43/1999 tentang pegawai negeri sipil 8. PP Nomor
2812003 tentang asuransi kesehatan pegawai negeri. 7.3. Ringkasan untuk sub sistem AKN
Dasar pertimbangan utama perluasan AKN adalah rendahnya cakupan asuransi kesehatan
di Indonesia jika dibandingkan dengan cakupan asuransi kesehatan di negara tetangga. Di
Muangtai, sudah 100% penduduknya (cakupan universal) memiliki jaminan kesehatan. Di
Filipina, cakupan asuransi kesehatan nasional sudah mencapai hampir 60% penduduk. Di
Indonesia, data Susenas 2001 menunjukkan bahwa baru sekitar 40 juta penduduk (20,2 %)
memiliki jaminan kesehatan dengan manfaat yang bervariasi. Dari jumlah itu, 6,8 % atau
sekitar 13,2 juta penduduk memiliki jaminan dalam bentuk Kartu SehatlJPK Gakin atau
jaminan yang bersifat sementara. Dengan demikian, hanya sekitar 27 juta penduduk (hampir
14 %) saja yang memiliki jaminan yang berkesinambungan, ini tidak jauh berbeda dengan
angka 13% penduduk yang terjamin di tahun 1992. Padahal, data-data survei angkatan kerja
maupun data Susenas menunjukkan bahwa sekitar 30 juta penduduk bekerja di perusahaan,
badan, atau pemerintah. Jika rata-rata setiap pekerja memiliki tiga tanggungan saja, maka
sekitar 90 juta jiwa sehamsnya sudah memiliki jaminan kesehatan. Selain itu, jaminan yang
dimiliki oleh 14 % penduduk itupun tidak seragam dan tidak selalu memenuhi kebutuhan
dasar medis karena masih tingginya urun biaya (cost sharing) untuk pelayanan mahal seperti
pengobatan kanker, hemodialisa dan operasi jantung atau bahkan tidak dijamin sama sekali
dalam program JPK Jamsostek atau jaminan yang diberikan oleh perusahaan. Sebagian dari
mereka yang memiliki asuransi kesehatan atau JPKM (dibelikan oleh majikan) juga
menerima manfaat asuransi yang bervariasi yang tidak selalu memenuhi kebutuhan dasar
medis pekerja dan keluarganya. Rendahnya cakupan penduduk dan kurang memadainya
jaminan kesehatan disebabkan karena perundang-undangan yang ada telah lama tidak
disesuaikan dengan kebutuhan yang berubah dan belum difahaminya konsep dan manfaat
jaminan atau asuransi sosial. Oleh karenanya, perubahan perundangan untuk memperluas
cakupan penduduk dan memperbaiki manfaat jaminan sudah tidak dapat ditunda lagi. a.
Tujuan dan Manfaat. Perluasan program Asuransi Kesehatan Nasional dalam SJSN
bertujuan untuk memperluas cakupan penduduk yang memiliki jaminan kesehatan yang

memenuhi kebutuhan dasar medis, tanpa membedakan status ekonomi penduduk. Dengan
pemenuhan kebutuhan dasar medis, penduduk akan dengan tenang melakukan kegiatan
produksinya setiap hari (belajar dan bekerja) sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
pendapatan negara melalui pajak penghasilan atau pajak penjualan hasil produksi penduduk
tersebut. Perlu dicatat bahwa pengertian kebutuhan dasar medis bukanlah pelayanan medis
(kesehatan) yang murah harganya seperti pelayanan dokter praktek, puskesmas, atau obat
generik. Kebutuhan dasar medis adalah kebutuhan pelayanan medis yang memungkinkan
seseorang hidup dan berproduksi, sehingga termasuk disini pelayanan hemodialisa atau
bedah jantung sekalipun, AKN dalam SJSN 141 HThabrany selagi tindakan medis tersebut
memang diperkirakan oleh dokter (secara obyektif) akan efektif untuk penyembuhan atau
mengembalikan produktifitas pasien. Pelayanan perawatan di kelas I atau VIP di rumah sakit
pemerintah atau RS swasta bukanlah kebutuhan dasar medis. Pemberian obat yang sekedar
menghilangkan gatal-gatal atau menjadikan penampilan seseorang lebih gagah atau lebih
cantik, bukanlah kebutuhan dasar medis. b. Prinsip dasar AKN Penyelenggaraan AKN
dilaksanakan berdasarkan pnnsip-pnnsip asuransi sosial yang menjamin solidaritas luas
diantara berbagai kelompok penduduk, penerapan teknik kendali biaya (managed care),
menjamin portabilitas dan penyelenggaraan yang akuntabel, transparan, dan responsif.
Untuk menjamin semua penduduk turut serta, maka seluruh pemberi kerja diwajibkan
mendaftarkan tenaga kerja dan anggota keluarganya ke BPJS yang menyelenggarakan AKN
dan sekaligus membayar iuran secara rutin ke rekening BPJS tersebut. Besarnya iuran
belum ditetapkan dalam UU SJSN dan akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Namun besaran iuran diperkirakan antara 5 %-6 % dari gaji/upah yang ditanggung bersama
antara pemberi kerja dan tenaga kerja. Pada program Jamsostek yang pada tahun 2004
masih berlaku, besaran iuran adalah 3% untuk pekerja lajang dan 6% untuk pekerja yang
telah berkeluarga. Perbedaan besaran iuran ini banyak disalah-gunakan pemberi kerja
dengan mendaftarkan tenaga kerja, umumnya wanita yang sudah berkeluarga, sebagai
tenaga kerja lajang guna mengurangi kewajibannya. Oleh karena itu, dalam SJSN
seharusnya tidak lagi dibedakan antara pekerja lajang dan pekerja yang telah berkeluarga,
seperti yang juga diterapkan di seluruh negara di dunia. Penduduk miskin akan didaftarkan

oleh pemerintah (kemungkinan yang terbaik adalah oleh Dinas Kesehatan atau Dinas Sosial)
dari suatu Kota/kabupaten. luran penduduk miskin dan tidak mampu (mempunyai
penghasilan tetapi tidak mencukupi) akan dibayar oleh Pemerintah. Besaran iuran penduduk
miskin ini adalah nilai nominal tertentu. Dalam prakteknya iuran ini hams diperhitungkan
sebesar rata-rata iuran bagi pekerja di daerah tersebut agar kebutuhan kecukupan dana
(prinsip adequacy dalam perhitungan aktuaria dapat terpenuhi). Bagi pekerja mandiri, iuran
sebaiknya ditetapkan berdasarkan rata-rata pendapatan dari berbagai kelompok pekerjaan.
Misalnya untuk petani mandiri, tukang becak, dan nelayan mandiri ada satu besar iuran.
Untuk sopir taksi, pedagang kios di pasar, atau pedagang kios di pusat perbelanjaan yang
dikerjakan sendiri iurannya lebih tinggi dari kelompok petani, karena nilai rata-rata
penghasilan yang diperoleh (dari survei) lebih tinggi. Peserta yang telah terdaftar (baik yang
bayar sendiri iurannya, yang dibayarkan oleh pemerintah atau pemberi kerja) akan
mendapatkan kartu peserta untuk berobat di fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dan
sepakat memberikan pelayanan dengan standar mutu yang ditetapkan BPJS. Dengan
demikian, fasilitas kesehatan tidak boleh dan tidak perlu membedakan pelayanan bagi
kelompok miskin maupun kelompok yang berpenghasilan rendah. Untuk mengendalikan
moral hazard, setiap kali peserta memerlukan pelayanan tertentu, maka peserta hams
membayar urun biaya (cost sharing) yang tidak besar tetapi cukup mengendalikan pelayanan
dan biaya. Besaran urun biaya akan diatur dalam PP, hendaknya bervariasi antara 10 %-30
% tergantung jenis pelayanan. Untuk menghindari beban berat bagi peserta, maka urun
biaya harus dibatasi sampai jumlah maksimum tertentu, AKN dalam SJSN 142 HThabrany
misalnya sebesar satu bulan UMP. Dana urun biaya merupakan hak fasilitas kesehatan yang
jumlahnya telah diperhitungkan dalam kalkukasi pembayaran prospektif dari BPJS kepada
fasilitas kesehatan. Untuk mengurangi moral hazard dari sisi fasilitas kesehatan, maka BPJS
hams melakukan telaah utilisasi (utilization review) guna menjamin ketepatan penggunaan
dan kualitas pelayanan yang diterima peserta. c. Strategi pengembangan Undang-undang
memang belum rinci menggariskan strategi pengembangan program dan perluasan
kepesertaan. Mudah-mudahan dalam waktu dekat strategi tersebut dapat dirumuskan.
Berikut ini disajikan strategi hipotetis atau usulan strategi yang dapat digunakan untuk

perluasan kepesertaan AKN maupun pengembangan sistem pelayanan kepada anggota dan
pembayaran kepada fasilitas kesehatan. Karena pada saat ini masih banyak jumlah
penduduk di sektor formal yang belum memiliki jaminan, maka pada 5-10 tahun pertama
perluasan kepesertaan akan dipusatkan pada kelompok sektor formal, khususnya yang
berada di perkotaan, dan penduduk miskin sebagai pengganti program JPSBKlJPK Gakin
yang kini sudah dimulai oleh Depkes dengan menjaminkan sekitar 54 juta penduduk
termiskin melalui subsidi iuran ke PT Askes. Prioritas kedua kelompok ini didasarkan pada
pertimbangan kemudahan mengumpulkan iuran yang merupakan faktor esensial dalam
suksesnya SJSN. Hal ini juga berkaitan dengan ketersediaan dan kesiapan fasilitas
kesehatan untuk melayani jumlah peserta yang besar. Sasaran perluasan lima tahun
pertama ditujukan kepada tenaga kerja yang saat ini sama sekali belum memiliki jaminan.
Pada saat yang bersamaan, Pemda mendaftarkan dan membayarkan iuran penduduk miskin
yang kini menerima JPK Gakin kepada BPJS yang ditunjuk. Kepesertaa penduduk pekerja
mandiri (sektor informal) hams tetap terbuka secara aktif. Artinya penduduk itu sendiri yang
berinisiatif mendaftar, akan tetapi mereka hams siap membayar secara rutin, bukan hanya
pada saat mereka menderita sakit dan membutuhkan pelayanan. Penegakan hukum, atau
upaya aktif BPJS mendatangi penduduk sektor ini hendaknya tidak dilakukan dalam 10 tahun
pertama, karena biaya administratifnya akan sangat besar dan tidak sebanding dengan iuran
yang akan terkumpul. Untuk menjamin bahwa penduduk sektor informal dapat memenuhi
kebutuhan dasr medisnya, maka pelayanan kesehatan di fasilitas pemerintah masih hams
tetap mendapatkan subisidi yang ditujukan bagi mereka yang belum menjadi peserta AKN.
d. Kelembagaan. Secara prinsip, Tim SJSN telah sepakat bahwa badan penyelenggara
hamslah bersifat nirlaba (prinsip Trust Fund atau Public Corporation). Ada berbagai pilihan
kelembagaan dari yang terpusat sampai yang tersebar (desentralisasi). Semakin terpusat,
penyelenggaraan semakin efisien dan semakin portabel tetapi juga kurang responsif
terhadap perubahan kebutuhan peserta. Sebaliknya semakin banyak penyelenggara maka
semakin tidak efisien dan tidak portabel akan tetapi semakin responsif terhadap perubahan
kebutuhan peserta. Agar penyelenggaraan benar-benar memihak kepada peserta, maka
biaya administrasi dibatasi AKN dalam SJSN 143 HThabrany sampai maksimum 5% dari

seluruh iuran yang diterima. Undang-Undang SJSN telah menyepakati mengambil bentuk
BPJS yang terpusat, yang kemungkinannya diberikan kepada PT Askes atau PT Jamsostek
atau kedua-duanya. Pilihan ini mempunyai potensi kurang responsif terhadap tuntutan
peserta di daerah. Untuk mengatasi hal itu, maka kantor cabang di daerah hams diberikan
otonomi luas dalam penyelenggarannya. Untuk antisipasi hal ini, UU telah menggariskan
bahwa besaran pembayaran dan cara pembayaran antara BPJS kepada fasilitas kesehatan
dinegosiasikan di tingkat wilayah. Hal ini akan menimbulkan perbedaan sistem pembayaran
dan besaran pembayaran antar daerah, yang memang memiliki karakteristik yang berbeda.
Ini adalah salah satu contoh otonomi kantor cabang di daerah yang diberikan UU untuk
menampung tuntutan masyarakat di daerah. Prinsip Dasar: Prinsip solidaritas sosial atau
kegotong-royongan. Jaminan Kesehatan Nasional (AKN) diselenggarakan berdasarkan
mekanisme asuransi sosial yang wajib untuk menuju cakupan universal (universal coverage)
yang akan dicapai secara bertahap, sehingga tercipta subsidi silang antara yang kaya
kepada yang miskin, antara yang muda kepada yang tua, antara yang sehat kepada yang
sakit, dan antara daerah kaya ke daerah miskin. Prinsip efisiensi. Manfaat terutama
diberikan dalam bentuk pelayanan yang terkendali, baik utilisasi maupun biayanya. manfaat
dalam bentuk santunan uang hanya diberikan untuk kondisi tertentu. Dalam efisiensi sistem
(pengendalian biaya), peserta diwajibkan membayar urun biaya dalam bentuk (co-insurance)
atau co-payment setiap kali peserta memanfaatkan pelayanan tertentu. Co-insurance adalah
pembayaran dalam bentuk prosentese tertentu dari biaya kesehatan yang dihabiskannya.
Sedangkan co-payment adalah pembayaran dalam jumlah tetap per kali kunjungan atau
perawatan. Prinsip ekuitas. Program AKN diselenggarakan berdasarkan pnnsip keadilan
dimana setiap penduduk, tanpa memandang suku, bangsa, agama, aliran politik, dan status
ekonomi, hams memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dasar
medisnya dan membayar iuran sesuai dengan kemampuan ekonominya. Prinsip
portabilitas. Seorang peserta tidak boleh kehilangan perlindungan/jaminan bagi dirinya atau
anggota keluarganya apabila ia pindah tempat tinggal, pindah kerja, atau sementara tidak
bekerja. Prinsip nirlaba (not for profit). Pengelolaan program AKN diselenggarakan atas
dasar tidak mencari atau memupuk laba untuk sekelompok orang atau pemerintah, akan

tetapi memaksimalkan pelayanan. Badan penyelenggara dibebaskan dari kewajiban


membayar pajak penghasilan badan (PPh Badan) atas sisa anggaran atau hasil usahalnilai
tambah. Badan penyelenggara juga tidak membayarkan dividen atas sisa anggaran atau
sisa hasil usaha atau keuntungan yang diperolehnya. Seluruh dana berupa sisa hasil usaha
atau anggaran yang tidak AKN dalam SJSN 144 HThabrany digunakan disimpan dan
diakumulasi dalam bentuk dana cadangan dari tahun ke tahun. Apabila jumlah dana
cadangan ini sangat besar suatu ketika, maka besaran iuran oleh seluruh peserta akan
diturunkan Prinsip tambahan yang perlu diperhatikan adalah: Prinsip responsif.
Penyelenggaraan AKN hams responsif terhadap tuntutan peserta sesuai dengan perubahan
standar hidup para peserta yang mungkin berbeda dan terns berkembang di berbagai
daerah Prinsip koordinasi manfaat. Dalam pemberian manfaat, tidak boleh terjadi duplikasi
jaminan atau pembayaran kepada fasilitas kesehatan antara program AKN dengan program
asuransi atau jaminan lain seperti jaminan kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang
peserta AKN. Koordinasi ini belum diatur dalam UU. Prinsip koordinasi ini menjadi penting
ketika Pemda mengembangkan (bukan yang berdiri sendiri) jaminan sosial lokal. Salah satu
contoh yang bisa diatur misalnya, jaminan kesehatan pusat menanggung biaya pengobatan
dan perawatan sementara jaminan kesehatan daerah menanggung biaya transportasi atau
menanggung urun biaya yang tidak dijamin oleh JKN yang bersifat nasional. 7.4. Key
Success Factor: Penyelenggaran AKN berhasil apabila: Mendapat dukungan dari pemberi
kerja dan organisasi tenaga kerja yang memahami bahwa program tersebut pada akhimya
akan bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas mereka. Manfaat yang diberikan cukup
layak dan memadai jumlah dan mutunya. Oleh karenanya pelayanan medis yang mahal
hams dijamin, sementara pelayanan yang murah dapat dikurangi atau dikenakan urun biaya.
Besamya manfaat hams secara reguler, dalam periode yang wajar, disesuaikan dengan
kebutuhan peserta yang berkembang sejalan dengan peningkatan tarafhidupnya. Jumlah
iuran hams cukup memadai untuk membiayai manfaat yang diberikan (prinsip adequacy).
Jumlah iuran yang melebihi manfaat yang diberikan akan lebih baik karena kelebihan dana
akan diakumulasi. Akan tetapi jumlah iuran yang terlalu besar dapat memberatkan sektor
usaha dan karenanya dapat menurunkan angka partisipasi. Penyelenggaraan dilakukan

dengan profesional, transparan, bersih, dan bertanggung jawab. Oleh karenya seluruh
peserta hams bisa memperoleh informasi akurat tentang penyelenggaraan, besaran iuran
yang terkumpul, dan besamya dana yang dihabiskan untuk pelayanan dan biaya
manajemen. AKN dalam SJSN 145 HThabrany Adanya kestabilan politik dan ekonomi yang
memungkinkan dunia usaha berkembang dengan inflasi yang terkendali dan prediktabel
Adanya dukungan pemerintah yang kuat yang menjamin berbagai pihak memenuhi
kewajibannya. Dukungan pemerintah hams diwujudkan dalam bentuk pemberian dana
subsidi atau talangan jika diperlukan. Dengan demikian, seluruh peserta dan pemberi kerja
tidak merasa khawatir kalau temyata biaya kesehatan membengkak dan BPJS bangkrut.
Sperti halnya Bank Indonesia, BPJS hanya bisa bangkrut apabila pemerintah bangkrut.
Ketegasan kewajiban pemerintah ini sudah tercantum dalam UU, guna menjamin tingkat
kesehatan BPJS 7.5. Status Hukum Badan Penyelenggara Oleh karena mekanisme Jaminan
Kesehatan merupakan suatu mekanisme asuransi sosial yang bertujuan memenuhi
kebutuhan bersama (gotong royong) yang bersifat wajib, maka badan penyelenggara
hamslah bersifat nirlaba. Bentuk yang ideal adalah suatu badan hukum tersendiri, yang
bukan Perusahaan Terbatas dan bukan pula BUMNIBUMD. Bentuk usaha mutual (usaha
bersama) seperti AJB Bumi Putra merupakan altematif yang mendekati bentuk ideal. Semua
peserta adalah pemegang saham. Tidak ada pendiri atau pemegang saham yang
mempunyai hak veto atau suara mayoritas. Bentuk yang ideal dari Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) adalah sebagai suatu badan hukum tersendiri yang diatur dalam UU
SJSN, seperti halnya Bank Indonesia yang diatur oleh UU BI dan Dana Pensiun Pemberi
Kerja yang diatur oleh UU Nomor 11/1992 tentang Dana Pensiun. Bentuk badan hukum
seperti ini memungkinkan penyelenggaraan asuransi yang bertujuan sosial secara taat asas
dengan pengelolaan yang otonom, tanpa campur tangan birokrasi, dan tanpa konflik dengan
UU lain. Satu-satunya kekuasaan yang mengatur diatasnya adalah Undang undang yang
mengatumya. Namun demikian, dalam UU SJSN para pakar hukum dan sebagian birokrat
tidak setuju dengan bentuk badan khusus tersebut, kecuali jika ada UU khusus yang
mengatumya, seperti UU BI yang mengatur bentuk badan tersebut. Sesungguhnya UU Bank
Indonesia dan UU Dana Pensiun (UU nomor 11/1992) telah memberikan contoh bentuk

Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagai badan seperti itu. Perdebatan mengenai hal itu
berkepanjangan dan tidak selesai dalam satu tahun. Jalan tengah yang diambil akhimya
untuk sementara UU SJSN menggunakan bentuk Persero akan tetapi ada pengaturan
khusus yang krusial yaitu bersifat nirlaba oleh UU SJSN. Ini sementara dapat kita terima.
Akan kita lihat apabila dalam penyelenggaraannya nanti timbul konflik dengan UU BUMN
atau pengawas yang mengawasi BUMN, maka bentuk Persero hams diubah kembali. Bantuk
Persero seperti yang diatur oleh BUMN mengandung keunggulan dimana penyelenggara
mempunyai otonomi luas dalam mengelola pegawai dan dana. Tujuan mencari laba, seperti
yang tercantum dalam UU BUMN saja yang berbeda dengan BPJS yang bertujuan nirlaba.
Perbedaan lain adalah bahwa kepemilikan BPJS sepenuhnya milik negara dan BPJS ini tidak
boleh menjual satu sahampun kepada perseorangan atau badan. Dalam UU sudah
disebutkan bahwa sisa hasil usaha, pendapatan investasi, dan segala macam dana yang
tidak atau belum digunakan akan digunakan untuk sebesar-besamya kepentingan peserta.
Jadi tidak ada lagi dividen yang akan AKN dalam SJSN 146 HThabrany dibayarkan oleh PT
Askes dan PT Jarnsostek kepada Pemerintah, seperti yang selarna ini berlangsung, yang
jumlahnya melebihi satu triliun rupiah setahun. Sejak BPJS menyesuaikan diri, diharapkan
tahun 2005 sudah selesai, maka dividen tersebut seluruhnya akan masuk ke rekening
peserta sesuai dengan jumlah iuran yang telah disetorkannya. Dengan keluarnya UU SJSN,
maka bapel-bapel JPKM yang sekarang ada atau pra bapel yang sebelumnya mengelola
JPKM JPSBK tidak bisa lagi beroperasi untuk melayani kebutuhan dasar medis. Begitu juga
dengan perusahaan asuransi atau perusahaan lain, yang melakukan kontrak dengan
perusahaan untuk menjarnin pelayananan atau biaya kesehatan karyawan suatu
perusahaan, tidak boleh lagi beroperasi untuk menjarnin kebutuhan dasar medis. Mereka
boleh beroperasi untuk menjual produk asuransi kesehatan suplemen atau tambahan, yang
tidak dijarnin oleh SJSN. Bisa saja sebuah perusahaan membelikan asuransi kesehatan
yang mencakup paket dasar tetapi tetap wajib iur untuk SJSN. Tentu hal ini bersifat duplikatif
dan menjadi lebih mahal bagi perusahaan. Bapel JPKM dapat juga mengubah diri menjadi
grup povider (kelompok fasilitas kesehatan) yang melakukan kontrak dengan BPJS, atau
menjadi lembaga penjamin manajemen mutu dan utilisasi yang independen. 7.6. Struktur

organisasi dan Manajemen Dalarn UU SJSN yang belum memiliki Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden yang mengatur lebih rinci penyelenggaraan, struktur organisasi BPJS
tentu

saja

belum

dirumuskan.

Berbagai

altematif

dapat

dikembangkan

untuk

mengoptimalkan penyelenggaraan dan manajemen jaminan kesehatan yang sesuai dengan


prinsip-prinsip dasar dan visi-misi penyelenggaraan jaminan sosial, yang memihak rakyat
banyak. Struktur organisasi dan manajemen akan diatur kemudian, praktisnya setelah
Dewan Jaminan Sosial Nasional dibentuk dan membuat rumusan kebijakan umum. Sebagai
sebuah Dewan yang berfungsi advokasi, pemantauan, dan pengawasan, DJSN tidak bisa
membuat peraturan dan tidak bisa menjadi lembaga pengawal berjalannya AKN dengan
baik. Fungsi pengawal dan penegakan hukum dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan,
Departemen Tenaga Kerja, atau Departemen Sosial. Dewan Jarninan Sosial Nasional akan
segera dibentuk setelah UU SJSN ditanda tangani Presiden tanggal 18 Oktober 2004.
Anggota Dewan terdiri dari 15 orang yang terdiri atas unsur Pemerintah, serikat pekerja,
serikat pengusaha, tokoh atau para ahli dalam bidang jaminan sosial (lihat naskah UU
terlarnpir). Semula RUU SJSN dalam dalam perdebatan di Panitia Kerja maupun Panitia
Khusus jumlah masing-masing wakil akan ditetapkan. Bahkan draf awal menyebutkan
proses seleksi dan pengangkatan anggota DJSN. Narnun, karena masalah tersebut cukup
sulit diputuskan, maka UU tidak menyebutkan. Presiden diharapkan akan menetapkan wakilwakilnya

secara

bijaksana.

Dewan

ini

akan

merumuskan

dan

menyinkronkan

penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Nantinya, seluruh rakyat akan memiliki
jaminan sosial yang sarna skemanya, setara prosentase iurannya, dan setara manfaat yang
akan diterima. Kesetaraan tidak berarti sarna persis, sebab tidak bisa dipastikan semua
peserta akan sarna pemah menerima operasi ginjal, akan tetapi setara dimaksudkan sesuai
dengan kebutuhan medis peserta. Iurannya pun setara, artinya kalau pegawai negeri
membayar 5% iuran dari gajinya, maka pegawai swasta juga membayar 5% AKN dalam
SJSN 147 HThabrany dari gajinya. Dengan demikian tidak ada diskriminasi antar golongan
pekerjaan. Tugas yang berat ini hams dilaksanakan oleh Dewan dan diharapkan dapat
selesai paling lama dalam waktu 5 (lima) tahun. Dewan ini memiliki kewenangan mengawasi
dan mengevaluasi keempat BPJS yang ditetapkan dalam UU. Untuk efisiensi dan efektifitas

fungsi DJSN, maka harus ada beberapa Komite yang terdiri dari para ahli dan yang seharihari mengerjakan evaluasi atas penyelenggaraan jaminan sosial yang sesuai dengan UU
SJSN. Komite dapat dibentuk secara permanen untuk terus-menerus memantau
penyelenggaraan, misalnya Komite Investasi, agar BPJS tidak seenaknya menempatkan
dana yang mungkin lebih didorong atas kepentingan tertentu. Komite yang diperlukan antara
lain: 1. Komite Aktuaria: tugasnya adalah melakukan evaluasi rutin tentang iuran dan
perkiraan biaya medis serta menerbitkan tabel iuran, khususnya untuk pekerja mandiri dan
penduduk miskin atau kurang mampu secara berkala. 2. Komite Investasi: Komite ini sangat
penting karena BPJS, khsusnya BPJS penyelenggara program Jaminan Hari Tua dan
Jaminan Pensiun akan mengakumulasi dan menghimpun ratusan Triliun rupiah (Dana
Amanat) di masa datang. Kalau saja dana tersebut diinvestasikan pada portofolio yang tidak
tepat, akan memberikan hasil pengembangan dana yang kurang optimal. Idealnya, Dana
Amanat akan memberikan hasil yang lebih tinggi dari bunga Deposito, paling sedikit 2%
diatas itu. Sehingga peserta akan merasa puas dengan perkembangan dana yang mereka
miliki. Komite ini bertugas menyusun perumusan dan pedoman portofolio investasi bagi
kantor pusat dan kantor cabang BPJS. 3. Komite Perselisihan: Perselisihan akan selalu
muncul pada operasi yang begitu besar, apalagi dalam program AKN. Komite memantau dan
menyelesaikan secara internal berbagai perselisihan yang menyangkut pembayaran iuran,
pembayaran kepada fasilitas kesehatan, dan perselisihan lain yang melibatkan badan,
peserta, pemberi kerja, dan atau fasilitas kesehatan 4. Komite pelayanan: Komite ini
khususnya diperlukan untuk program AKN dengan tugas melakukan pemantauan dan
perumusan jenis-jenis pelayanan, obat dan bahan medis habis pakai yang dijamin atau tidak
dijamin serta besaran urun biaya. Komite juga melakukan evaluasi dan perumusan tentang
mutu pelayanan fasilitas kesehatan, persyaratan mutu pelayanan, dan merumuskan tentang
pedomaan telaah utilisasi terhadap pelayanan yang diberikan kepada peserta 7.7.
Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan merupakan inti keberhasilan program AKN.
Apabila BPJS tidak mampu mengelola dana, mulai dari penerimaan iuran, investasi, sampai
pembayaran dan pencadangan dana, maka kepercayaan peserta (dan pengusaha) akan
hilang. Apabila kepercayaan tersebut hilang, maka penyelenggaraan AKN dan SJSN

otomatis berhenti atau AKN dalam SJSN 148 HThabrany bubar. Risiko hancurnya
penyelenggaraan SJSN adalah risiko negara, bukan risiko perusahaan atau sekelompok
orang pemegang saham, dalam hal penyelenggaraan asuransi kesehatan komersial. Oleh
karena itu, aturan pengelolaan keuangan harus secara eksplisit dirumuskan dan hams ditaati
betul oleh pengelola. Pengelola harus dipilih dari orang-orang yang bersih dan mempunyai
dedikasi tinggi untuk mewujudkan terselenggaranya AKN yang baik. Beberapa elemen
penting pengelolaan keuangan yang patut dipertimangkan adalah: Paling lambat setiap
tanggal 5 bulan berjalan, pemberi kerja wajib menyetorkan potongan iuran pekerja dan
menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya ke rekening BPJS. Misalnya, iuran untuk
bulan Januari 2005 hams sudah dibayarkan oleh pemberi kerja kepada BPJS paling lambat
tanggal 5 Januari 2005. Pengusaha yang lalai harus dikenakan sanksi berupa denda atau
kalau terus-menerus lalai, maka Direktur Keuangan atau Direktur Utama hams bisa diseret
ke pengadilan atau dikenai hukuman kurungan. Tanpa ada penegakan hukum yang tegas,
khususnya dalam lima tahun pertama penyelenggaraan, maka SJSN tidak akan berjalan
baik. Lima tahun pertama amat penting untuk meyakinkan semua pemberi kerja membayar
iuran. Kalau pemberi kerja tidak bisa yakin bahwa SJSN diselenggarakan dengan bersih,
jujur, dan betul-betul memihak peserta, maka akan sulit mengembangkan SJSN di kemudian
hari. Praktisnya pembayaran iuran akan dibayar sekaligus untuk semua program jaminan
sosial, hanya saja kepada rekening yang berbeda. Untuk keperluan pengawasan, BPJS
bersama dengan pegawai pengawas dari Departemen terkait dapat melakukan pemeriksaan
sewaktu-waktu kepda pemberi kerja dan mengajukannya ke pengadilan jika terdapat
pelanggaran. Pengalaman penyelenggaraan program Jamsostek menunjukkan bahwa
banyak pemberi kerja yang tidak jujur dengan laporan upah pekerja. Pemberi kerja
melaporkan upah yang lebih rendah kepada Jamsostek agar iurannya bisa lebih kecil. Ke
depan, hal ini akan mudah dideteksi oleh pekerja sendiri karena SJSN dirancang untuk lebih
transparan. Badan Penyelenggara diwajibkan melaporkan rekening peserta JHT dan JP
setiap tahun. Dengan demikian apabila pengusaha melaporkan upah yang lebih rendah,
akan tampak dari akumulasi iuran yang dibayarkan ke BPJS yang pada akhir tahun
laporannya akan diterima setiap peserta. Selain itu, peserta juga akan mengetahui dari

tahun ke tahun besaran dana yang dimilikinya untuk masa tuanya,. Akan tetapi peserta tidak
boleh mengambilnya, karena dana tersebut baru bisa diambil jika ia pensiun, mengalami
cacat total tetap, atau meninggal dunia. Badan pengelola AKN dalam lima tahun pertama,
sebelum jumlah peserta cukup besar, hanya dapat menggunakan iuran yang diterima untuk
biaya administrasi maksimum 15% iuran, pada tahun ke 6-10 besarnya biaya operasional
hams maksimum 10%, dan menjadi maksimum 5% pada tahun ke 11 dan seterusnya.
Dengan demikian, penyelenggaraan AKN ini akan lebih menguntungkan bagi perusahaan
yang selama ini membeli asuransi kesehatan yang mempunyai loading (biaya operasional,
biaya pemasaran dan keuntungan) yang mencapai 40% dari premi. Pembatasan ini sangat
penting dirumuskan dalam peraturan, agar semua peserta dan pemberi kerja yang akan
mengiur mengetahui dengan jelas bahwa mereka akan diuntungkan dengan pool yang besar
yang dikelola secara nasional. AKN dalam SJSN 149 HThabrany Dana yang terkumpul tidak
selalu hams habis pada tahun itu, akan tetapi hams cukup membiayai semua kebutuhan
yang akan timbul di tahun itu. Ini adalah prinsip solvabilitas. Untuk menjamin kecukupan
dana ini, maka dana yang terkumpul hams dikelola dengan sangat hati-hati (prudent) Dana
yang belum digunakan hams diinvestasikan agar memberikan nilai tambah untuk menutupi
biaya yang dibutuhkan dan untuk menambah dana cadangan. Akan tetapi investasi hams
dilakukan agar setiap saat dana dibutuhkan, dana tersebut dapat cairo Ini adalah prinsip
likuiditas. Manajemen keuangan hams benar-benar carmat agar tercapai kesimbangan
antara kebutuhan dana untuk membayar manfaat dan menginvestasikan yang belum
diperlukan. Untuk mencapai titik optium tersebut, tidak sembarang investasi dibolehkan.
Investasi yang berisiko tinggi, seperti saham dan properti hams dihindari, meskipun akan
memberikan hasil yang tinggi. Jikapun dibenarkan, proporsinya hams sangat dibatasi,
misalnya tidak lebih dari 5% dari total dana yang dapat diinvestasikan. Untuk dana jaminan
kesehatan, dana akan lebih banyak diinvestasikan dalam bentuk deposito, reksa dana, dan
sebagian mungkin dalam instrumen investasi jangka pendek lain yang aman seperti SBI.
Dana hari tua dan pensiun yang digunakan dalam jangka panjang, hams ditanam dalam
instrumen jangka panjang. Akan tetapi untuk jaminan kesehatan yang kebutuhan nya setiap
saat dapat terjadi, instrumen investasi jangka panjang tidak diperlukan. 7.8. Kewajiban BPlS

Secara garis besar, UU SJSN mewajibkan BPJS untuk memberikan jaminan kepada seluruh
peserta sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN dan yang diatur oleh peraturan
pemerintah, dan atau DJSN. Karena sistem AKN menggunakan teknik managed care dalam
pengendalian biaya, maka timbul masalah dimana bisa terjadi di suatu daerah yang cukup
banyak pesertanya, tetapi fasilitas kesehatan yang akan dikontrak tidak memadai jumlahnya
dan tidak selalu menyediakan pelayanan atau dokter spesialis yang dibutuhkan. Sebagai
contoh, di Kalimantan bisa jadi banyak perusahaan kayu yang memiliki ribuan karyawan,
akan tetapi rumah sakit atau dokter spesialis mungkin tidak tersedia. Dalam hal itu, BPJS
wajib menyediakan tenaga (baik dari dalam maupun luar negeri) dan atau fasilitas kesehatan
guna memenuhi kebutuhan kesehatan para pesertanya. Apabila penyediaan tenaga dan
fasilitas tidak efisien atau terlalu mahal, BPJS wajib memberikan kompensasi lain seperti
memberikan penggantian biaya berobat. Disinilah pentingnya ada Komite Pelayanan yang
selalu memantau kondisi di berbagai daerah, kepuasan peserta dan memantau kelayakan
manfaat program. Komite pelayanan melakukan evaluasi terhadap kepatuhan fasilitas
kesehatan yang dikontrak atas standar pelayanan dan standar mutu yang hams dipatuhi,
yang telah ditetapkan BPJS dalam rangka menjamin mutu dan kepuasan peserta. Komite
pelayanan dapat meminta Direksi untuk memutuskan kontrak kepada fasilitas kesehatan
yang tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan. Inilah yang dimaksud UU bahwa
BPJS mengembangkan sistem pelayanan dan pembayaran. Beberapa pihak di Depkes
kurang memahami hal ini dan menilai bahwa UU SJSN terlalu jauh memberikan
kewenangan, kewenangan mengembangkan sistem pelayanan dan pembayaran yang
sehamsnya kewenangan Depkes, kepada BPJS. Sesungguhnya yang diatur BPJS adalah
kewenangan sistem pelayanan dan pembayaran yang AKN dalam SJSN 150 HThabrany
terkait pelayanan kepada peserta, bukan sistem secara umum yang berlaku bagi semua
fasilitas kesehatan. Hanya fasilitas kesehatan yang mengikat kontrak dengan BPJS-Iah yang
terkena peraturan sistem pelayanan dan pembayaran BPJS. Sebagai contoh, BPJS dapat
mengembangkan sistem pelayanan terstruktur dengan pembayaran kapitasi global ke rumah
sakit, kapitasi parsial ke dokter keluarga, dan atau mengembangkan sistem pembayaran
DRG kepada rumah sakit. Undang-undang juga mewajibkan BPJS untuk mengumumkan

kinerja keuangan dan kinerja pelayanan (akses, biaya satuan per group pelayanan atau
diagnosis, kepuasan peserta per fasilitas dan kota/kabupaten, dll), Hal ini sangat perlu untuk
menjamin agar semua peserta memahami segala macam masalah yang dihadapi dan
memahami kalau misalnya diperlukan kenaikan biaya iuran, pengendalian yang lebih ketat
yang membutuhkan urun biaya lebih tinggi, dan meningkatkan kepercayaan peserta kepada
BPJS. Akan sangat baik jika BPJS menyampaikan laporan tersebut atau mempublikasikan
hasil-hasil penelitian yang dibiayainya setiap enam bulan di paling sedikit 10 media masa
nasional dan di website. Meskipun UU tidak secara eksplisit mengatur hal itu, untuk kinerja
yang terbaik, BPJS dapat melakukan yang lebih dari itu guna menjamin transparansi dan
pemahaman peserta akan masalah yang dihadapi BPJS. Salah satu komponen penting
dalam menjamin kepuasan peserta adalah tugas BPJS untuk menerbitkan buku saku yang
berisi hak dan kewajiban peserta dan anggota keluarganya, tata cara memperoleh
pelayanan, pelayanan yang ditanggung/dijamin, dan jaminan yang tidak ditanggung, besaran
urun biaya untuk berbagai pelayanan, dll, Selain itu BPJS wajib menerbitkan revisi buku saku
tersebut setiap terjadi perubahan kebijakan iuran, paket pelayanan, maupun prosedur
pelayanan dan mencantumkan seluruh isi buku saku tersebut dalam website BPJS.
Pengendalian mutu pelayanan merupakan faktor yang juga tidak kalah pentingnya. Oleh
karena itu BPJS wajib mengembangkan sistem kendali mutu (quality assurance) di berbagai
fasilitas yang dikontrak di barbagai daerah. Seharusnyalah BPJS melakukan berbagai upaya
untuk menjamin bahwa setiap peserta akan mendapatkan pelayanan kesehatan dengan
kualitas terbaik menurut standar profesi dan kemampuan tenaga dan keuangan suatu
daerah. 7.9. Hak peserta Seperti dikemukakan diatas, BPJS wajib memberikan informasi
yang rinci dan jelas kepada seluruh peserta tentang hak-hak peserta. Hak terpenting peserta
adalah hak atas pelayanan. Idealnya, seperti tercantum dalam UU SJSN, manfaat yang
diberikan bersifat komprehensif dan diberikan di fasilitas kesehatan swasta atau fasilitas
kesehatan pemerintah yang mandiri (otonom) dimana birokrasi pemerintah yang tidak efisien
tidak mempengaruhi kinerja pelayanan. Namun dalam jangka pendek tentu tidak mungkin
mencapai hal itu, karena biaya yang mahal dan transformasi fasilitas kesehatan pemerintah
menjadi suatu badan otonom-yang dalam UU Perbendahaan Negara disebut Badan

Layanan Umum (BLU), belum memungkinkan. Untuk 10 tahun pertama masih dapat ditolerir
perbedaan AKN dalam SJSN 151 HThabrany manfaat non-medis antara peserta yang
iurannya dibayar oleh pemerintah (penduduk miskin dan tidak mampu) dan penduduk yang
membayar iuran penuh dari upahnya, ditarnbah iuran oleh majikannya. Fasilitas kesehatan
untuk penerima bantuan iuran (PBI) dapat digunakan hanya fasilitas kesehatan publik
seperti puskesmas dan rumah sakit publik (pemerintah) yang masih mendapat subsidi
pemerintah pusat maupun daerah. Dokter keluarga pada peri ode 10 tahun pertama akan
digunakan untuk melayani pegawai negeri dan pegawai swasta yang selarna ini sudah
mendapat jaminan pelayanan komprehensif. Untuk menjarnin pelayanan terstruktur dapat
terselenggara dengan memuaskan, fasilitas kesehatan yang dikontrak sebaiknya rumah sakit
yang memiliki dokter keluarga binaan dimana rumah sakit tersebut akan mendapatkan
rujukan. Rujukan dari dokter keluarga hams dikomunikasikan (pasien dikembalikan dengan
informasi pelayanan medis yang telah diberikan) oleh fasilitas kesehatan agar dokter
keluarga dapat mengikuti perkembangan penyakit pasien yang dirujuknya. Rujukan yang
kurang tepat hams diperbaiki agar tidak terulang kembali. Dokter keluarga ini akan menjadi
dokter primer yang berfungsi sebagai gatekeeper. Sejalan dengan konsep Indonesia Sehat,
dan paradigma pencegahan lebih baik dari pengobatan, maka BPJS harus memberikan
pelayanan pencegahan. Pelayanan kontrasespi dan konseling keluarga berencana
merupakan pelayanan pencegahan penting dalarn mengendalikan besarnya jumlah peserta
dalam jangka panjang. Untuk menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, BPJS
harus mampu menyediakan Pelayanan ante natal lengkap, minimum 4 kali selarna
kehamilan dan pemeriksaan rutin setiap tiga bulan kepada ibu dan anaknya, sarnpai anak
mencapai usia lima tahun. BPJS harus mampu menjamin pemeriksaan medik rutin untuk
mendeteksi dini penyakit-penyakit kurang gizi dan penyakit infeksi kronis pada anak berusia
di bawah lima tahun. Program seperti ini akan jauh lebih cepat meningkatkan status
kesehatan yang selarna ini tidak cukup cepat meningkat. Angka kematian bayi dan ibu di Sri
Lanka dan Malaysia bisa jauh lebih rendah dari di Indonesia karena semua anak dan ibu
dapat menerima pelayanan tersebut secara gratis. Di Indonesia, seorang ibu yang bersalin di
puskesmas hams membayar tidak sedikit. Konon di Jakarta saat ini biaya persalinan di

puskemas dapat mencapai Rp 300.000. Dalarn kondisi seperti itu, tentu saja perempuan
miskin akan cendrung tidak ke puskesmas, tetapi ke dukun yang lebih murah atau tidak
sarna sekali. Kepada peserta yang relatif tua, pelayanan pencegahan dapat diberikan
dengan pemeriksaan medik berkala sederhana yang rinciannya ditetapkan DJSN tiap tiga
tahun sekali bagi peserta yang berusia 50 tahun atau lebih Banyak pihak yang mengkritisi
bahwa AKN hanya memberikan pelayanan kuratif dan tidak memberikan pelayanan preventif
kesehatan masyarakat. Hams disadari bahwa pelayanan kesehatan masyarakat seperti
penyuluhan masal, pembersihan lingkungan, dan penanganan polusi adalah tugas Dinas
Kesehatan yang hams didanai dari APBN/APBD. Meskipun demikian, pelayanan kuratif pada
hakikatnya juga memiliki nilai preventif untuk mencegah memberatnya kasus atau kematian
dini. Oleh karena itu, dalam AKN digariskan bahwa setiap peserta berhak atas jaminan
berupa pelayanan komprehensif. Meskipun ada peserta yang mungkin tidak menggunakan
haknya untuk kasus ringan seperti pilek dan alergi sederhana, mereka akan menggunakan
haknya dalarn pengobatan kasus-kasus rawat jalan mahal di rumah sakit dan pelayanan
perawatan di rumah sakit pemerintah atau swasta. AKN dalam SJSN 152 HThabrany
Jaminan yang diberikan mencakup biaya pemeriksaan dokter keluarga dan dokter spesialis,
biaya perawatan, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, bahan medis lainnya sejauh secara
medis diperlukan menurut standar profesi medis yang secara ilmiah telah dibuktikan
efektifitasnya. Ada juga yang mengkritik bahwa pelayanan hemodialisa dan operasi jantung
seharusnya tidak masuk dalam paket yang dijamin karena biayanya mahal. Kritik ini
sesungguhnya tidak tepat, karena pelayanan hemodialisa termasuk pelayanan dasar medis,
yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi. Jika hemodialisa tidak dijamin, maka
peserta yang mengalami gagal ginjal total akan otomatis meninggal dunia dalam dua
minggu. Tentu hal ini tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan. Untuk pelayanan kesehatan
primer, untuk mencegah dan mengobati kasus-kasus yang tidak perlu ditangani dokter
spesialis, BPJS hams melakukan kontrak dengan dokter keluarga. Dokter keluarga
(termasuk dokter gigi) adalah dokter yang mendapat pelatihan khusus dan mendapat
sertifikasi dari organisasi profesi (seperti IDI dan PDGI) sebagai dokter yang berkonstrasi
pada pelayanan kepada suatu keluarga secara utuh. Akan sangat baik dan memungkinkan

dengan sistem AKN, dokter keluarga akan mendapat kontrak pelayanan dengan
pembayaran kapitasi. Untuk pelayanan rujukan, peserta dapat memilih pelayanan di klinik
spesialis atau di rumah sakit yang dikehendaki tetapi hams mendapatkan rujukan dari dokter
keluarga yang dipilihnya. Pembayaran kepada klinik spesialis dan rumah sakit dapat saja
masih berdasar jasa per pelayanan, akan tetapi dengan tarif yang diatur sarna di suatu
wilayah dan dapat mencakup obat-obatan sekaligus. Jadi klinik dan rumah sakit hams
bekerja sama dengan apotik untuk mengatur obat-obatan yang cost-effective, guna
menjamin pengendalian biaya dan pemberian pengobatan yang rasional. Secara rinci hal ini
harus diatur oleh BPJS. Hak perawatan peserta idealnya sarna untuk seluruh peserta, yang
di negara maju disebut sebagai semi-private room and board. Di Indonesia barangkali ruang
perawatan tersebut setara dengan ruang perawatan kelas II yang distandardisasi. Artinya,
BPJS menetapkan besar ruangan, jumlah tempat tidur, rasio TT terhadap dokter dan
perawat, serta standar pelayanan lainnya, terlepas dari status kepemilikan RS (pemerintah
atau swasta). Namun untuk pertama kali, karena variasi tingkat penghasilan, pendidikan,
dan status sosial, program AKN masih hams mentolerir perbedaan perawatan di rumah sakit
kelas III (tiga) untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan yang memiliki upah 200%
UMP. Misalnya, di Jakarta UMP tahun 2004 adalah Rp 720.000 per bulan, seorang pekerja
yang mendapatkan upah atau gaji sebesar sampai dengan Rp Rp 1.000.000 akan mendapat
perawatan di kelas III (baik RS publik maupun swasta). Karena upah Rp 1 jtua tersebut
dibawah 200% UMP yang besarannya adalah 200%x Rp 720.000 atau Rp 1.440.000. Tentu
BPJS hams mengembangkan standar perawatan kelas III yang dapat diterima. Pekerja
dengan gaji dibawah Rp 1 juta tersebut, tentu masih dapat menerima perawatan di kelas III.
Untuk pekerja yang bergaji lebih tinggi, misalnya diatas Rp 1.440.000 akan mendapat
perawatan di kelas II (dua). Peserta yang mempunyai upah > 500% UMP, misalnya, akan
mendapat perawatan di kelas I. Tetapi peserta yang ingin dirawat di kelas VIP hams
membayar sendirinya selisih biayanya atau selisih biaya tersebut dibayar oleh perusahaan
asuransi atau bapel JPKM swasta. Inilah prinsip koordinasi manfaat. AKN dalam SJSN 153
HThabrany Guna mengendalikan moral hazard, maka peserta diminta membayar urun biaya
sebagai rem yang telah digariskan dalam UU. Untuk setiap perawatan di rumah sakit

pemerintah atau swasta di kelas II keatas, peserta wajib membayar urun biaya sebesar 10%
dari biaya-biaya pemeriksaan dokter, perawatan, dan biaya pemeriksaan penunjang dan
urun biaya sebesar 20% dari biaya obat dan bahan habis pakai. Penerapan urun biaya bisa
menimbulkan beban berat bagi peserta, dan jika ini terjadi, tujuan SJSN tidak tercapai. Inilah
plus-minusnya asuransi. Oleh karena itu, pengenaan urun biaya hams mencapai angka
maksimum tertentu, misalnya sampai sebesar UMP. Apabila besaran urun biaya melampaui
UMP, maka peserta hanya membayar sebesar UMP di suatu wilayah. Ketentuan besaran
urun biaya ini hams tercantum dalam perjanjian kerja sarna antara BPJS dengan fasilitas
kesehatan dan peserta hams mendapat informasi tertulis dalam brosur atau website. Di
beberapa negara, urun biaya lebih besar dikenakan untuk pelayanan rawat jalan yang lebih
besar tingkat moral hazardnya ketimbang rawat inap. Bahkan di Filipina rawat jalan tidak
dijamin, alias peserta hams membayar urun biaya 100% dari biaya rawat jalan. Di Indonesia
kita bisa menggunakan sistem berbeda mengingat orang Indonesia cendrung maunya
berobat ke spesialis, meskipun sesungguhnya tidak perIu. Peserta sering minta dirujuk, ini
moral hazard namanya. Untuk menghindari hal tersebut maka setiap peserta dapat
diwajibkan membayar urun biaya sebesar 30% dari biaya obat rawat jalan spesialis dengan
biaya maksium sebesar UMP. 7.10. Pelayanan yang tidak ditanggung BPlS (eksklusi)
Jaminan kesehatan bertujuan untuk menjamin seseorang memenuhi kebutuhan medisnya
jika suatu penyakit atau kecelakaan terjadi yang sifatnya accidental, atau tidak dikehendaki.
Dengan demikian, pelayanan yang sifatnya keinginan dan bukan kebutuhan tidak dijamin
(eksklusi). Berbagai Pelayanan kesehatan yang bersifat kosmetik, baik berupa pemeriksaan,
pengobatan, maupun pembedahan tidak boleh dijamin. Selain itu pelayanan kesehatan yang
timbul atau yang merupakan akibat dari pemakaian obat terIarang (narkoba) dan
penggunaan minuman keras juga hams tidak dijamin. Jika dijamin, maka program AKN akan
menyubsidi prilaku yang tidak sehat dan ini akan merangsang prilaku yang buruk tersebut
terus berkembang. Penyakit kelamin atau penyakit yang terkait dengan prilaku tidak sehat
seperti gonore, HIV-AIDS juga seharusnya tidak dijamin. Dilema timbul pada penjaminan
HIV -AIDS, karena bayi dan ibu hamil bisa tekena padahal ia berprilaku baik. Akan tetapi
kalai secara umum dinyatakan kasus HIV-ADIS dijamin, maka mungkin dana AKN akan

banyak tersedot untuk pecandu narkotika dan pekerja seks komersial (baik perempuan, lakilaki, maupun waria) yang sangat rawat terhadap AIDS. Maka penjaminan HIV-AIDS hams
dilakukan kasus per kasus. Disinilah perIunya ada Komite Pelayanan yang memberikan
penilaian secara rutin akan berhak-tidaknya sesorang terhadap pelayanan tertentu.
Pengguguran dan komplikasi dari pengguguran kandungan, kecuali upaya pengguguran
kehamilan dalam rangka menyelamatkan nyawa seorang ibu, juga sebaiknya tidak dijamin.
Terakhir, Pelayanan kesehatan yang timbul akibat upaya bunuh diri juga tidak perIu dijamin.
AKN dalam SJSN 154 HThabrany 7.11. Fasilitas Kesehatan Yang dimaksud dengan fasilitas
kesehatan adalah dokter keluarga, dokter spesialis, klinik praktek bersama, klinik 24 jam,
rumah bersalin, RS pemerintah, RS swasta, Apotik, Laboratorium klinik, laboratorium
radiologi, dan fasilitas lain yang akan ditetapkan oleh DJSN. Untuk menjamin bahwa setiap
peserta dan anggota keluarganya yang berhak menerima manfaat AKN menerima pelayanan
sesuai dengan kebutuhan medis, pelayanan harus diberikan oleh fasilitas kesehatan yang
diseleksi dan diterima oleh BPJS. Proses seleksi dan penerimaan untuk dikontrak sebagai
fasilitas kesehatan ini dikenal dengan istilah kredensialing (credentialing). Puskesmas dan
ruang perawatan kelas III RS pemerintah yang memberikan pelayanan dengan tarif subsidi
untuk sementara tidak dimasukan dalam kelompok fasilitas kesehatan dalam BPJS karena
fasilitas tersebut akan diarahkan untuk memberikan pelayanan kepada penduduk yang
belum terdaftar pada BPJS, sampai seluruh penduduk menjadi peserta BPJS. BPJS
membayar fasilitas kesehatan dengan tarifprospektif yang diarahkan pada tarifpaket seperti
kapitasi, tarifpaket rawatjalan, paket prosedur, paket per hari rawat, atau paket per kelompok
diagnosis (DRG). Sistem pembayaran kepada fasilitas kesehatan dibahas dan disepekati
dalam suatu musyawarah antara Kantor Cabang BPJS, Dinas Kesehatan setempat, dan
asosiasi profesi atau fasilitas kesehatan setempat. Besarnya biaya pengobatan dan
perawatan yang ditanggung oleh AKN ditetapkan bersama oleh Dinas Kesehatan dan
Asosiasi Fasilitas kesehatan setempat dengan mempertimbangkan pemenuhan biaya
produksi operasional fasilitas kesehatan dan total perkiraan biaya pelayanan untuk seluruh
peserta untuk satu tahun tidak melebihi 80% iuran setahun yang terkumpul di suatu
kotalkabupaten. Batasan 80% ini digunakan untuk memberikan ruang ketersediaan dana

cadangan (5%), dana untuk rujukan ke fasilitas kesehatan di provinsi atau di ibu kota (10%)
dan biaya operasional sebesar 5%. Fasilitas kesehatan yang dikontrak mempunyai hak dan
kewajiban atau tugas tertentu. Tugas pokok fasilitas kesehatan adalah sebagai berikut: 1)
Memberikan pelayanan kesehatan, termasuk promotif preventif terhadap pasien, sesuai
dengan kebutuhan medis peserta. 2) Memeriksa kelayakan pengobatan peserta pada tingkat
institusi. Pasien rujukan yang tidak memerlukan perawatan tidak diperkenankan dirawat inap.
3) Mematuhi aturan manajemen utilisasi dan manajemen mutu yang dikembangkan oleh
BPJS sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi. 4) Mengisi basis data laporan utilisasi dan
menyerahkan disket laporan atau mengirimkannya melalui email ke Pusat Informasi BPJS
setiap tanggal 10 untuk utilisasi bulan sebelumnya. 5) Melakukan pembinaan dan jika
mungkin memberikan kesempatan kepada dokter primer untuk berinteraksi aktif dengan
dokter spesialis yang merawat seorang peserta dalam rangka memantau derajat kesehatan
peserta yang menjadi tanggungannya. 6) Merujuk ke Dinas KesehatanIDinas Sosial setiap
orang sakit yang belum

menjadi peserta tetapi tidak

mampu membayar biaya

perawatan/pengobatan yang dibutuhkannya untuk menjadi peserta PBI. AKN dalam SJSN
155 HThabrany Tidak ada kewajiban tanpa hak dan sebaliknya, maka fasilitas kesehatan
mempunyai hak untuk: 1) Dilibatkan dalam melakukan kontrak dengan BPJS apabila fasilitas
kesehatan setuju dengan tarif yang telah ditetapkan bersama BPJS daerah dengan asosiasi
fasilitas kesehatan dan setuju dengan persyaratan lain seperti manajemen mutu dan
manajemen utilisasi. 2) Menerima pembayaran tepat waktu sesuai dengan tarif prospektif
yang disepakati dan mendapatkan pembayaran paling lambat 15 hari setelah klaim (dalam
hal pembayaran memerlukan klaim atau tagihan seperti pada pembayaran sistem DRG),
sesuai dengan ketetapan UU. 3) Secara bersama-sama dalam suatu propinsi, fasilitas
kesehatan berhak mengajukan permohonan peninjauan tarif atau cara pembayaran dan
kemudian bemegosiasi dengan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan setempet. 4) Mengatur cara
pembayaran dokter spesialis yang bertugas atau berpraktek di fasilitas kesehatan tersebut.
5) Mengambil keputusan medis atas peserta yang dirawat sesuai dengan standar pelayanan
medis yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi terkait yang tertinggi, yang dapat
diberikan di fasilitas kesehatan tersebut. 6) Dapat ikut serta dalam pembahasan iuran oleh

komite aktuaria, penetapan tarif dan penyelesaian perselisihan. 7) Mendapatkan informasi


tentang kinerja BPJS, peraturan-peraturan operasional yang terkait dengan pelayanan dan
informasi tentang data demografik peserta. 7.12. Penegakan hukum Badan penyelenggara
bersama Pemeriksa dari Departemen Terkait hams diberikan kewenangan untuk melakukan
inspeksi kepada pemberi kerja dan melaporkan setiap pelanggaran pemberi kerja dalam
memenuhi kewajibannya membayar iuran atau melaporkan besaran iuran yang tidak sesuai
dengan ketentutan UU. Kewenangan resmi berada di Departemen, namun demikian secara
praktis BPJS dapat dilibatkan untuk bersama-sama melakukan inspeksi. Pemberi kerja yang
terlambat membayarkan iurannya dikenakan denda dari jumlah iuran yang hams dibayarkan
untuk tiap bulan keterlambatan. Pembayaran iuran dalam hitungan hari dikenakan denda
rata-rata harian atas dasar besarnya denda bulanan. Pemberi Kerja yang terlambat
membayar iuran berturut-turut lebih dari tiga kali dalam setahun juga hams dikenakan denda
tambahan. Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajiban membayarkan iuran pada waktu
yang itetapkan atau membayarkan iuran tidak sesuai dengan peraturan perundangan
dikenakan denda. Agar permainan berlangsung seimbang, apabila terjadi kelalaian pada
pihak BPJS, maka pihak BPJS wajib membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan yang
lebih besar dari denda yang dikenakan kepada pemberi kerja. AKN dalam SJSN 156
HThabrany 7.13. Penyelenggaraan AKN Pasca Keputusan Mahkamah Konstitusi Pada
tanggal 1 Februari 2005, tiga pemohon masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Jawa Timur, Satuan Pelaksana Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(selanjutnya disebut sebagai SATPEL JPKM) , dan Perhimpunan Badan Penyelenggara
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (selanjutnya disebut sebagai PERBAPEL
JPKM) mengajukan gugatan (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU
SJSN. Para pemohon menilai bahwa Pasal 5 ayat (I), ayat (2), (3) dan ayat (4) dan Pasal 52
tidak sesuai dengan UUD45, bersifat monopolistis, tidak adil/selaras dengan UU Otonomi
Daerah. Oleh karenanya, ketiga pemohon meminta MK untuk membatalkan pasal dan ayat
tersebut dalam UU SJSN. Pasal 5 UU SJSN menyebutkan bahwa Pasal 5 ayat (I) yang
berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan Sosial hams dibentuk dengan undang-undang".
Sedangkan Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang ini,badan

penyelenggara jaminan so sial yang ada dinyatakan sebagaiBadan Penyelenggara Jaminan


Sosial menurut undang-undang ini". Sementara Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi "Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (I) adalah: a. Perusahaan
Perseroan (persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan
(persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c. Perusahaan
Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); d.
Perusahaan Perseroan (persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)" Pasal5 ayat (4)
berbunyi "Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada
ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undang-undang". Keputusan MK tentang
Permohonan Pada hal 237 Keputusan MK berbunyi "Menimbang, dengan pertimbangan
pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, terlepas dari terbukti-tidaknya daliI-daliI
Pemohon dalam pemeriksaan terhadap materi permohonan a quo, telah jelas bagi
Mahkamah bahwa Pemohon I cukup memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) UUMK sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku
Pemohon dalam permohonan a quo;" Pada hal 239 keputusan MK berbunyi "Menimbang,
berdasarkan uraian di atas, tampak nyata bahwa Pemohon II tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UUMK serta syarat kerugian konstitusional yang
telah menjadi pendirian Mahkamah sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga
Mahkamah AKN dalam SJSN 157 HThabrany berpendapat bahwa Pemohon II tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan a quo;" Pada hal 240 keputusan MK
berbunyi "Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, Pemohon III baik sebagai perorangan
warga negara Indonesia maupun atas nama PERBAPEL JPKM, tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
asal 51 ayat (1) UUMK sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing) dalam permohonan a quo;" Terhadap Isi gugatan, Keputusan MK
menyatakan (Hal 263-272) ". bahwa berdasarkan uraian di atas dan sete1ah membaca
se1uruh

Penje1asan

undang-undang

quo,

Mahkamah

berpendapat,

sepanjang

menyangkut sistem jaminan sosial yang dipilih, UU SJSN telah cukup memenuhi maksud
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, yakni bahwa sistem yang dipilih itu mencakup se1uruh rakyat

dengan maksud untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang 1emah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; bahwa oleh karena sistem jaminan sosia1
yang dipilih, menurut pendapat Mahkamah, te1ah memenuhi maksud Pasa1 34 ayat (2)
UUD 1945, maka berarti UU SJSN dengan sendirinya juga merupakan penegasan kewajiban
negara terhadap hak atas jaminan so sial sebagai bagian dari hak asasi manusia,
sebagaimana dimaksud Pasa1 28H ayat (3) UUD 1945, yang mewajibkan negara untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin pemenuhannya (to fulfil);
Menimbang, kendati Mahkamah berpendapat bahwa, sepanjang menyangkut sistem yang
dipilih, UU SJSN te1ah memenuhi ketentuan Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945, Mahkamah
masih perlu mempertimbangkan 1ebih 1anjut apakah undang-undang a quo te1ah tepat
da1am mengimp1ementasikan pengertian "Negara" da1am Pasa1 34 ayat (2) UUD 1945.
Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
bahwa, secara historis, cita negara yang tertuang da1am alinea keempat Pembukaan UUD
1945, tidak terlepas dari arus utama (mainstream) pemikiran yang berkembang pada saat
UUD 1945 disusun, yakni pemikiran yang dikena1 sebagai paham negara kesejahteraan
(welfare state atau welvaart staat), yang mewajibkan negara bertanggungjawab da1am
urusan kesejahteraan rakyatnya, yang antara lain di da1amnya termasuk fungsi negara
untuk mengembangkan jaminan sosia1 (social security) bagi rakyatnya; AKN dalam SJSN
158 HThabrany bahwa paham negara kesejahteraan dimaksud tercermin pula dalam judul
Bab XIV UUD 1945 yang berbunyi "KESEJAHTERAAN SO SIAL" yang dengan Perubahan
Keempat menjadi "PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SO SIAL" .
Kemudian, dalam pandangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai lembaga
yang berwenang membuat dan mengubah undang-undang dasar, fungsi negara untuk
mengembangkan jaminan sosial dimaksud bukan hanya dipandang masih tetap re1evan
melainkan justru dipertegas guna mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum sebagaimana
dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945 alinea keempat; hal mana temyata dari
ditambahkannya tiga ayat ke dalam Pasal 34 UUD 1945 pada saat MPR melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 untuk kali keempat; bahwa, dengan demikian, terminologi
"negara" dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara

kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial


negara bagi rakyat atau warga negaranya. Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari
fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945. Agar fungsi
dimaksud dapat berjalan, maka pemegang kekuasaan pemerintahan negara membutuhkan
wewenang; bahwa, menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan
oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah, sehingga pada Pemerintahan Daerah
pun melekat pula fungsi pelayanan sosial dimaksud. Dengan demikian, Pemerintahan
Daerah juga memiliki wewenang guna melaksanakan fungsi dimaksud. Hal itu sebagai
konsekuensi logis dari dianutnya ajaran otonomi, sebagaimana diatur terutama dalam Pasal
18 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan", sementara pada ayat (5)-nya ditegaskan bahwa otonomi yang dimaksud
adalah otonomi yang seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; bahwa Pemerintahan Daerah juga memiliki
wewenang dalam rangka pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara lebih jauh telah
dituangkan dalam UU Pemda, sebagaimana terutama temyata dari bunyi Pasal 22 huruf h
UU Pemda yang bahkan secara tegas menyebutkan bahwa pengembangan sistem jaminan
sosial merupakan kewajiban daerah. Sementara itu, menurut Pasal 167 ayat (1) dan (2) UU
Pemda, pengembangan sistem jaminan sosial dimasukkan sebagai bidang yang
anggarannya hams diprioritaskan sebagai bagian dari upaya perlindungan dan peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat dalam AKN dalam SJSN 159 HThabrany rangka pemenuhan
kewajiban daerah sebagaimana dimaksud Pasal 22 hurufh UU Pemda; Menimbang bahwa,
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa
UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa
sistem jaminan sosial yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan maksud UndangUndang Dasar yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan
mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, namun Mahkamah tidak
sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang

menyatakan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut


secara eksklusif merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), sebagaimana tercermin dari
ketentuan dalam Pasal 5, khususnya ayat (4), UU SJSN. Sebab, jika diartikan demikian, hal
itu akan bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup
Pemerintah (pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18
ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Pemda. Atas dasar Pasal 22 huruf
h UU Pemda, Pemerintahan Daerah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial. Namun, Mahkamah juga tidak sependapat dengan Pemohon yang
mendaliIkan kewenangan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial secara eksklusif
merupakan kewenangan Daerah dengan argumentasi bahwa sesuai dengan ajaran otonomi
yang seluas-luasnya, yang menurut Pemohon sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 dan Pasal167
ayat (1) dan (2), maka sepanjang suatu urusan oleh undang-undang tidak ditentukan
sebagai urusan atau kewenangan Pemerintah (Pusat), maka hal itu merupakan urusan atau
kewenangan Daerah. Mahkamah tidak sependapat dengan daliI Pemohon tersebut, sebab
jika jalan pikiran demikian diikuti, maka di satu pihak, besar kemungkinan terjadi keadaan di
mana hanya daerah-daerah tertentu saja yang mampu menyelenggarakan sistem jaminan
sosial dan itu pun tidak menjamin bahwa jaminan sosial yang diberikan tersebut cukup
memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak antara daerah yang satu dengan daerah
yang lain, serta di lain pihak, jika karena alasan tertentu seseorang terpaksa hams pindah ke
lain daerah, tidak terdapat jaminan akan kelanjutan penikmatan hak atas jaminan sosial
orang yang bersangkutan setelah berada di daerah lain. Keadaan demikian akan
bertentangan dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki hak atas
jaminan sosial itu hams dapat dinikmati oleh setiap orang atau seluruh rakyat; AKN dalam
SJSN 160 HThabrany

Menimbang, sejalan dengan pendapat

Mahkamah bahwa

pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan
sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang
kekuasaan pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan so sial
tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut

dalam UU Pemda khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan


Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU
SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan
sistem

jaminan

sosial.

Tertutupnya

peluang

Pemerintahan

Daerah

untuk

ikut

mengembangkan sistem jaminan so sial dikarenakan adanya ketentuan dalam Pasal 5 UU


SJSN yang berbunyi: (1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan
undangundang;

(2)

Sejak

berlakunya

undang-undang

ini,

badan

penyelenggara

jaminansosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara JaminanSosial menurut


undang-undang ini; (3) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah: a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI); d. Perusahaan Perseroan (persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES); (4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain
dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan undangundang ". Menimbang,
dengan membaca dan memahami secara seksama seluruh ketentuan dalam Pasal 5 UU
SJSN di atas, tampak bahwa, di satu pihak, perumusan Pasal 5 di atas menutup peluang
Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistem jaminan sosial dalam
kerangka sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari
ketentuan Pasal18 ayat (2) dan (5) UUD 1945. Di pihak lain, dalam ketentuan Pasal 5 itu
sendiri terdapat rumusan yang saling bertentangan serta sangat berpeluang menimbulkan
multi-interpretasi yang bermuara pada ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh
karena itu bertentangan dengan Pasa128D ayat (1) UUD 1945. AKN dalam SJSN 161
HThabrany Dikatakan menutup peluang Pemerintahan Daerah oleh karena dengan adanya
Pasal 5 ayat (4) dan kaitannya dengan Pasal 5 ayat (I) UU SJSN tidak memungkinkan bagi
Pemerintahan Daerah untuk membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat
daerah. Padahal, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di atas, Pemerintahan
Daerah justru diwajibkan untuk mengembangkan sistem jaminan sosial. Oleh karena itu,
Pasal 5 ayat (I) UU SJSN hams ditafsirkan bahwa ketentuan tersebut adalah dimaksudkan

untuk pembentukan badan penyelenggara tingkat nasional yang berada di pusat, sedangkan
untuk pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah dapat dibentuk
dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang sistem jaminan sosial
nasional sebagaimana diatur dalam UU SJSN; Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan
yang

saling

bertentangan

serta

berpeluang

menimbulkan

ketidakpastian

hukum

(rechtsonzekerheid) karena pada ayat (I) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial hams dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa
Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak
semua badan-badan tersebut dibentuk dengan undangundang. Seandainya pembentuk
undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan
sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan
penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan
Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN

di

atas

pembentuk

undangundang

bermaksud

menyatakan

bahwa

badan

penyelenggara jaminan sosial hams memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam


undangundang yang maksudnya adalah UU SJSN a quo - maka penggunaan kata "dengan"
dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna
frasa "dengan undang-undang" berbeda dengan frasa "dalam undang-undang". Frasa
"dengan undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan
penyelenggara jaminan sosial hams dengan undang undang, sedangkan frasa "dalam
undang-undang" menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial hams memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat
(4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang undang memang bermaksud
menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial hams dibentuk dengan undang-undang
tersendiri. AKN dalam SJSN 162 HThabrany Kemungkinan tafsir lainnya adalah, dengan
rumusan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU SJSN di atas, maka tidak ada lagi kebutuhan
untuk memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (I), sebab badan-badan sebagaimana yang disebut

pada ayat (2) dan (3) itulah yang dimaksud oleh ayat (I) dan pada saat yang sarna
sesungguhnya tidak ada kebutuhan bagi adanya rumusan sebagaimana tertuang dalam ayat
(4). Oleh karena itu, dengan menghubungkan ketentuan ayat (I), (2), (3), dan (4) dari Pasal 5
UU SJSN tersebut, maka tidak dapat ditarik kesimpulan lain kecuali bahwa memang
kehendak pembentuk undang-undang untuk menyatakan bahwa JAMSOSTEK, TASPEN,
ASABRI, dan ASKES sajalah yang merupakan badan penyelenggara jaminan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tidak mungkin lagi membentuk badan
penyelenggara jaminan sosial lain di luar itu. Kesimpulan demikian juga tercermin dari
keterangan Pemerintah, keterangan DPR, maupun keterangan para Ahli yang diajukan
Pemerintah sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Menimbang, oleh karena di satu
pihak, telah temyata bahwa Pasal 5 ayat (I), (2), (3), dan (4) UU SJSN saling berkait yang
sebagai akibatnya daerah menjadi tidak mempunyai peluang untuk mengembangkan sistem
jarninan sosial dan membentuk badan penyelenggara sosial, sementara di pihak lain
keberadaan undang undang yang mengatur tentang pembentukan badan penyelenggara
jaminan sosial nasional di tingkat pusat merupakan kebutuhan, maka Pasal 5 ayat (1) UU
SJSN cukup memenuhi kebutuhan dimaksud dan tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar sepanjang ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN tersebut ditafsirkan
semata-mata dalam rangka pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial nasional di
tingkat pus at. Menimbang bahwa, berdasarkan uraian-uraian dalam pertimbangan di atas,
sebagian daliI Pemohon yang menyangkut tertutupnya peluang Pemerintahan Daerah untuk
ikut mengembangkan suatu sistem jaminan sosial berdasarkan kewenangan yang
diturunkan dari Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945, sebagaimana telah dijabarkan lebih
lanjut khususnya dalam Pasal 22 huruf h UU Pemda, cukup beralasan, Sedangkan, terhadap
Pasal 52 UU SJSN yang juga dimohonkan pengujian oleh Pemohon, Mahkamah
berpendapat bahwa ketentuan Pasal 52 UU SJSN tersebut justru dibutuhkan untuk mengisi
kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid)
karena belum adanya badan penyelenggara jaminan sosial yang memenuhi persyaratan
agar UU SJSN dapat dilaksanakan. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
menyangkut Pasal52 UU SJSN, tidak cukup beralasan. AKN dalam SJSN 163 HThabrany

Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah


berpendapat permohonan Pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian yaitu: Pasal 5 ayat
(3), yang berbunyi "Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)

adalah:

a.

Perusahaan

Perseroan

(Persero)

Jaminan

Sosial

Tenaga

Kerja

(JAMSOSTEK); b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai


Negeri (TASPEN); c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRl); d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan
Indonesia (ASKES)" karena materi yang terkandung di dalamnya telah tertampung dalam
Pasal 52 yang apabila dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan
ketidakpastian hukum. Pasal 5 ayat (2) yang berbunyi "Sejak berlakunya undang-undang ini
badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menurut undang-undang ini" karena walaupun tidak dimohonkan dalam
petitum namun ayat ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari ayat (3)
sehingga jika dipertahankan juga akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum
sebagaimana Pasal5 ayat (3). Pasal 5 ayat (4) yang berbunyi "Dalam hal diperlukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru
dengan undang-undang" karena ternyata menutup peluang bagi Pemerintahan Daerah untuk
membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah
dalam kerangka sistem jaminan sosial nasional. Sedangkan Pasal5 ayat (1) yang berbunyi
"Bad an Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang"
tidakbertentangan dengan UUD 1945 asalkan ditafsirkan bahwa yang dimaksud oleh
ketentuan tersebut adalah pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial tingkat
nasional yang berada di Pusat. Dengan demikian permohonan Pemohon sepanjang
mengenai Pasal5 ayat (1), sebagaimana halnya Pasal52 UU SJSN, juga tidak cukup
beralasan. Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan (5) serta Pasal 57 ayat (I) dan (3) Undangundang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; AKN
dalam SJSN 164 HThabrany MENGADILI Mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian; Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4456) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menolak permohonan Pemohon selebihnya;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan)
Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 18 Agustus 2005, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Rabu, 31 Agustus 2005" ARTI
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Keputusan MK tersebut pada hakikatnya
menetapkan bahwa keempat BPJS, A SABRI, ASKES, Jamsostek, dan Taspen tetap berlaku
untuk program jaminan sosial tingkat nasional (hal 270). Namun demikian, apabila pemda
berminat membentuk dan mengembangkan badan penyelenggara tingkat daerah, tetapi
bukan eksklusif hanya badan daerah itu saja yang beroperasi (hal 265), maka pemda dapat
membentuk badan penyelenggara jaminan sosial tingkat daerah. Artinya, di tiap daerah yang
berminat mendirikan badan penyelenggara, dengan Perda, maka badan tersebut perlu
berkoordinasi dengan BPJS tingkat nasional/pusat. Pengaturan lebih lanjut tentang peran
badan penyelenggara daerah dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah. AKN dalam SJSN
165 HThabrany

Anda mungkin juga menyukai