Anda di halaman 1dari 11

PENANGGULANGAN TBC DENGAN STRATEGI DOTS

Pada tahun 1993, Bank Dunia melaporkan bahwa TB merupakan pembunuh


utama dibandingkan penyakit infeksi lainnya, seperti malaria, diare, ISPA, dll.
Bahkan TB merupakan penyebab kematian utama pada wanita, lebih tinggi
dibandingkan penyebab kematian maternal.
Sejak ditemukannya Obat Anti TB (OAT) lebih dari 40 tahun yang lalu, strategi
penatalaksanaan TB telah berubah dengan bermakna dimana-mana. Perubahan
kedua adalah setelah ditemukannya rifampisin pada sekitar tahun 1970-an, dan
juga ditemukannya kembali pirazinamid sebagai salah satu OAT utama. Obatobat tersebut merupakan komponen paduan obat jangka pendek yang ternyata
lebih ampuh dalam penanggulangan TB. Meskipun demikian sampai dengan saat
ini TB masih tetap sebagai masalah kesehatan masyarakat hampir dimanamana. Di negara maju, hal ini karena timbulnya penyakit baru yaitu HIV/AIDS dan
di negara berkembang, karena memang sejak semula terdapat kesulitan tentang
kesinambungan persediaan obat.
Beberapa panduan OAT jangka pendek yang direkomendasikan WHO merupakan
hasil uji coba di beberapa negara, yang terutama dilakukan oleh IUAT-LD di Afrika
dan juga di Sulawesi. Panduan OAT jangka pendek ini jika dilakukan dengan baik
dan betul akan memberikan hasil yang bagus, angka kesembuhan lebih dari
85%. Hal ini telah terbukti di beberapa negara termasuk Indonesia, khususnya
Sulawesi.
Kunci utama keberhasilan adalah keyakinan bahwa penderita TB minum semua
obatnya sesuai dengan anjuran yang telah ditetapkan. Artinya harus ada
seseorang yang ikut mengawasi atau memantau penderita saat dia minum
obatnya. Inilah dasar strategi DOTS.
Strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-Course Chemotherapy), terbukti
efektif sebagai strategi penanggulangan TB. Strategi DOTS ini telah diadopsi dan
dimanfaatkan oleh banyak negara dengan hasil yang bagus, termasuk di negaranegara maju seperti Amerika Serikat.
Strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu:
1. Dukungan politik para pimpinan wilayah di setiap jenjang
Dengan keterlibatan pimpinan wilayah, TB akan menjadi salah satu prioritas
utama dalam program kesehatan, dan akan tersedia dana yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan strategi DOTS.
2. Mikroskop
Mikroskop merupakan komponen utama untuk mendiagnosa penyakit TB melalui
pemeriksaan dahak lansung pada penderita tersangka TB.
3. Pengawas Minum Obat (PMO)

PMO ini yang akan ikut mengawasi penderita minum seluruh obatnya.
Keberadaan PMO ini untuk memastikan bahwa penderita betul minum obatnya
dan bisa diharapkan akan sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO
haruslah orang yang dikenal dan dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas
kesehatan. Mereka bisa petugas kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat
maupun tokoh agama.
4. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan ini merupakan bagian dari sistem survailans penyakit
TB. Dengan rekam medik yang dicatat dengan baik dan benar akan bisa
dipantau kemajuan pengobatan penderita, pemeriksaan follow up, sehingga
akhirnya penderita dinyatakan sembuh atau selesai pengobatannya.
5. Panduan OAT jangka pendek
Panduan OAT jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu
pengobatan yang tepat sangat penting dalam keberhasilan pengobatan
penderita. Kelangsungan persediaan panduan OAT jangka pendek harus selalu
terjamin. (adi)
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan penyakit
tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyadi masalah
kesehatan yang cukup memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan (Depkes RI), tercatat bahwa tuberkulosis merupakan
penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler (jantung dan
pembuluh darah) dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia;
dan merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
Masalah yang timbul pada penyakit ini disebabkan jumlahnya penderitanya yang
banyak dan penyebaran penyakitnya yang mudah (melalui kuman yang
dibatukkan oleh penderita ke udara lihat topik terkait). Selain itu masalah yang
terpenting adalah tingkat kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang
rendah. Hal ini timbul karena umumnya penderita menghentikan pengobatannya
ketika mereka sudah tidak merasakan gejala penyakitnya dan menganggap
bahwa penyakitnya telah sembuh, padahal penyakit ini memerlukan pengobatan
jangka panjang yang teratur. Jangka waktu pengobatannnya tergantung kepada
kategori penyakit yang dideritanya (sesuai anjuran dokter yang memeriksa).
Menurut Program Pemberantasan TB paru , tujuan pengobatan tuberkulosis
dengan Obat anti TB (OAT) jangka pendek adalah memutuskan rantai penularan
dengan menyembuhkan penderita tuberkulosis paling sedikit 85 % dari seluruh
kasus tuberkulosis BTA positif yang ditemukan dan mencegah resistensi (kuman
yang kebal terhadap OAT).
Obat anti TB (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisid (membunuh kuman) dengan atau tanpa obat ketiga. Dasar
pemberian obat ganda adalah karena selalu didapatkan kuman yang sejak
semula resisten (kebal) terhadap salah satu obat pada kuman yang sensitif.

Tujuan pemberian OAT antara lain membuat konversi sputum BTA positif menjadi
negatif (lihat topik mengenai pemeriksaan penunjang TB) secepat mungkin
melalui efek bakterisid, mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah
pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (kemampuan membunuh kuman khusus
yang tumbuhnya lambat.), menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi
melalui perbaikan daya tahan imunologis (kekebalan tubuh).
Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan adalah Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Obat obat tersebut bersifat bakterisid
kecuali untuk etambutol yang bersifat bakteriostatik (menekan pertumbuhan
kuman). Jenis obat tambahan lainnya :Kanamisin, Kuinolon, derivat rifampisin
dan INH serta obat lain yang masih dalam penelitian yaitu makrolide dan
kombinasi amoksisilin dengan asam klavulanat. Kombinasi pengobatan (multy
drug theraphy) dan jangka waktu OAT yang diberikan tergantung jenis/kategori
penderita (ditentukan oleh dokter yang memeriksa). Jangka waktu pengobatan
minimal dilakukan selama 6 (enam bulan).
Pemberian OAT jangka panjang terkadang dapat memberikan efek samping dari
obat yang diminum. OAT golongan pertama dan efek sampingnya, antara lain :
Isoniazid (INH) : efek sampingnya berupa neuritis perifer (radang saraf tepi)
untuk pencegahan harus diberikan suplemen vitamin B6, gangguan fungsi hati,
alergi obat;
Rifampisin : efek sampingnya berupa hepatitis drug induced (radang hati yang
dipicu oleh obat). Masalah yang paling menonjol dan dapat menyebabakan
kematian. Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi hati normal, tetapi
penyakit-penyakit hati kronik, alkoholisme dan usia lanjut dapat meningkatkan
angka kejadiannya. Flu-like Syndrome, Sindrom Redman (disebabkan dosis yang
berlebihan, terdapat kerusakan hati yang berat, warna merah terang pada urin,
air mata, ludah dan kulit);
Etambutol : efek sampingnya berupa Neuritis optic (peradangan pada saraf
mata), merupakan efek samping terpenting, yang berupa penurunan tajam
penglihatan dan buta warna merah/hijau. Gout/pirai (meningkatnya asam urat
dalam darah). Lain-lain : gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik (ulu hati), nyeri
perut, malaise (lemah-lesu), sakit kepala, linglung, bingung, halusinasi.
Pirazinamid : efek sampingnya berupa gangguan hati (efek samping tersering
dan terserius), gout/pirai (meningkatnya kadar asam urat dalam darah), lainlain : artralgia (sakit pada sendi), anoreksia tidak nafsu makan), mual-muntah,
disuria (sulit berkemih), malaise, demam.
Streptomisin : efek sampingnya berupa alergi obat, gangguan keseimbangan
(seperti sempoyongan), vertigo (sakit kepala berputar) dan tuli, dapat
menurunkan fungsi ginjal., rasa baal di muka.
Pengobatan TB merupakan kunci pokok terhadap keberhasilan pemberantasan
penyakit ini. Selain kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang dpaat

dimonitor melalui pogram DOTS (baca topik terkait), hal lain yang penting
diperhatikan adalah adanya tanda-tanda efek samping OAT mengingat jangka
waktu pemberiannya yang panjang.. Hal ini penting untuk diperhatikan karena
jika ternyata didapatkan adanya tanda-tanda dari efek samping obat maka
dokter akan mencari alternatif kombinasi lain yang sesuai sedini mungkin. Kunci
penting keberhasilan pengobatan TB adalah kerjasama antara penderita, dokter
dan orang di sekitarnya (pengawas minum obat-DOTS), karena tanpa kerja sama
yang baik akan sangat sulit sekali mengobati penyakit ini bahkan akan timbul
penyakit TB dengan kuman yang resisten (kebal) terhadap pengobatan yang ada
dan akan sangat sulit sekali diobati. (mds)
Jangan dikira penyakit TB alias tuberkulose sudah musnah. Justru sejak awal
tahun 1990-an penyakit yang menyerang paru-paru ini kembali mendapat
perhatian dunia. Di Indonesia TB malah merupakan penyebab kematian pertama
untuk kelompok penyakit menular. Penyakit ini pun sangat erat hubungannya
dengan virus HIV.
Tuberkulose atau tuberculosis (dulu disingkat TBC) sebenarnya sudah diderita
manusia sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan penelitian pada mumi peninggalan
zaman Mesir kuno, saat itu sudah banyak orang meninggal gara-gara penyakit
ini.
Belakangan, ketika penderita HIV/AIDS semakin bertambah jumlahnya, penyakit
TB pun tampil kembali setelah lama tak terdengar ulahnya. Kedua penyakit itu
rupanya sangat erat hubungannya. Menurunnya daya tahan tubuh yang drastis
mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi seperti TB. Tentu
saja terjangkitnya TB pada penderita HIV akan semakin memperburuk ketahanan
tubuhnya serta mempercepat replikasi virus dalam tubuhnya. Berarti infeksi HIV
akan mempercepat perjalanan penyakit TB.
Sebaliknya, TB dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV akan semakin
mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS. Dalam kasus ini TB menjadi
amat sulit dibasmi dan acap kali berakibat fatal. Sekitar sepertiga kematian pada
penderita AIDS disebabkan oleh TB, dan sekitar 40% kematian pada penderita
AIDS di Afrika dan Asia disebabkan oleh TB. Menurut perkiraan WHO, akhir abad
ini virus HIV akan menyebabkan sedikitnya 1,4 juta kasus TB aktif.
Dengan tanda awal demam, bobot badan menurun, cepat lelah, berkeringat
dingin malam hari, gejala TB juga disertai batuk yang dahaknya acap kali
bercampur darah.
Penyakit ini mulai menyebar ke segala penjuru dunia pada abad XVII XVIII. Saat
itu TB menyebabkan kematian hampir seperempat jumlah kaum dewasa di
Eropa. Di AS bagian utara, dari tahun 1800 sampai awal 1900-an, TB merupakan
penyebab kematian utama.
Walaupun mikrobakteri tuberkulose sudah ditemukan oleh dr. Robert Koch pada
24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, penyakit ini baru bisa diberantas setelah
ditemukan obatnya

pada 1940 1950-an. Obat pertama yang diproduksi antara lain streptomycin,
isioniazid, dan para-aminosacylic acid. Kemudian muncul obat ethambutol,
rifampicin, thiacetazone, dan pyrazinamide.
Sejak itu, TB sempat mereda dan tidak lagi terlalu dimasalahkan oleh kalangan
kedokteran. Namun, awal tahun 1990-an TB kembali menjadi bahan
pembicaraan dunia kedokteran karena ternyata masih membunuh sekitar 2 3
juta penduduk dunia, khususnya di negara ekonomi lemah dan menengah. Dari
tujuh juta penderita TB, lebih dari setengahnya berada di negara berpendapatan
menengah seperti Brasil, Indonesia, Iran, Meksiko, Filipina, Rusia, Afrika Selatan,
dan Thailand. Belum lagi di negara berpendapatan rendah seperti Afghanistan,
India, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sudan, atau Uganda.
Menurut dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli penyakit paru-paru dari RS Persahabatan,
Jakarta, kini diperkirakan setiap tahun di dunia muncul empat juta penderita TB
menular. Belum lagi sekitar empat juta penderita yang tidak menular atau
pembawa kuman TB. Setiap tahun diperkirakan tiga juta orang meninggal karena
penyakit ini, di antaranya satu juta kaum wanita dan sekitar 100.000 anak-anak.
Di Indonesia sendiri TB masih merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan, peringkat pertama penyebab
kematian karena penyakit menular. Jumlah penderitanya sekitar 500.000
orang/tahun dan kematian sekitar 175.000 orang/tahun, khususnya di daerah
pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman itu.
Di Singapura, negara termaju di Asia Tenggara itu, penambahan penderita TB
hanya sekitar 2% atau sekitar 56 orang per 100.000 penduduk. Tapi jumlah ini
masih 5 10% lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju lain. Sebagian
besar kasus TB di Singapura terdeteksi pada para pendatang asing yang
mengajukan izin kerja. Jumlahnya sekitar 12% dari 2.483 2.786 pendatang.
Sedangkan di negara-negara maju, penderita TB sebagian besar para pengungsi
atau gelandangan.
Harus diberantas tuntas
Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di
lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang
akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita.
Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB
hendaknya segera disarankan untuk berobat. Bila dirawat di rumah hendaknya di
kamar tersendiri dengan segala peralatan atau perlengkapan tersendiri pula.
Lantai ruangan harus setiap hari dibersihkan dengan disinfektan yang cukup
kuat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup.
Anak-anak hendaknya dijauhkan dari penderita mengingat mereka rentan
terhadap penyakit sehingga lebih mudah tertular, terutama kalau sanitasi dan
higiene lingkungan serta gizi makanan anak kurang memenuhi syarat.

Kuman TB bisa juga menyerang hewan seperti babi, unggas, dan sapi. Sebab itu
TB juga bisa ditularkan melalui susu sapi yang terkontaminasi kuman (M. Bovis)
kalau tidak dipasturisasi secara saksama.
Namun selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu
banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah
putih.
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion
(pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau
pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada).
Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat
menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah. Terkadang pula infeksi primer
TB tidak terjadi pada paru-paru (10%), tapi pada sendi atau tulang, ginjal, usus,
rahim serta getah bening (leher).
Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit.
Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat
bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain
dari paru-paru. Pada taraf ini mungkin penderita masih merasa sehat sampai
gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dll.
Pengetesan terhadap kuman TB yang sederhana adalah melalui ludah.
Sedangkan untuk pencegahan biasanya digunakan vaksin BCG. Vaksin ini berupa
kuman TB yang sudah dilemahkan. Sebelum mendapatkan suntikan ini,
seseorang harus mendapatkan tes Manteaux terlebih dulu untuk mengetahui
apakah ia memang masih terbebas dari kuman itu. Melalui foto X-Ray-thorax
dapat diketahui pula keadaan paru-paru penderita (paru-paru penderita TB
tampak berawan). Ada kalanya, pada stadium lanjut paru-paru sampai
berlubang-lubang. Pada paru-paru yang pernah terjangkit penyakit TB pun pasti
akan tetap terlihat bebas-bekasnya. Khusus untuk orang yang terinfeksi virus
HIV, pencegahan TB dilakukan dengan langsung memberikan obat INH.
Jangan sampai kebal
Dalam usaha menumpas penyakit TB ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia)
sebenarnya telah memperkenalkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short-course). Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya
komitmen politik, tersedianya pelayanan pemeriksaan mikroskopik, terjaminnya
penyediaan obat yang merata dan tepat waktu, adanya sistem monitoring yang
baik, dan adanya program pengawasan keteraturan minum obat disertai jaminan
agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Penanganan TB secara
langsung, terawasi, cepat, dan tuntas ini sebenarnya ampuh dan efektif untuk
menumpas TB.
Namun, di beberapa negara, termasuk Indonesia, upaya pemberantasan TB
masih berlangsung lamban. Hambatannya antara lain letak geografis wilayah
Indonesia yang terpencar-pencar, kurang penerangan, kurang teraturnya
pengobatan, dll. Bahkan, di negara-negara berpenghasilan rendah, proyek ini

masih tertunda. Padahal pengobatan penyakit TB tidak boleh setengahsetengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling
sedikit enam bulan.
Kalau pengobatan tidak tuntas, menurut dr. Tjandra, malah menyebabkan kuman
kebal obat dan tentu akan muncul lebih ganas. Setelah makan obat dua atau
tiga bulan, tidak jarang keluhan pasien memang hilang. Tapi ini belum berarti
sudah sembuh total, katanya. Padahal, kalau saran DOTS dari WHO itu
dijalankan dengan baik, pada tahun 2001 nanti sedikitnya 70% kasus TB di dunia
dapat terdiagnosis dan terobati. Diharapkan angka kesembuhan nanti mencapai
85 95%. Artinya, dapat dicegah seperempat kasus baru dan kematian akibat
TB.
Dalam pemberantasan TB, Singapura pernah menerapkan STEP(Singapore
Tuberculosis Elimination Program)atau Program Pemberantasan TB. Caranya,
Kementerian Kesehatan setempat mengadakan kampanye pendidikan
masyarakat agar waspada terhadap bahaya penyakit menular ini. Juga kepada
para dokter diberikan bimbingan dalam mendiagnosis serta mengobati pasien
TB. Dokter diharapkan segera memberitahukan dan menyarankan untuk
pengobatan kepada pasien yang terdeteksi mengidap penyakit ini. Bagi pasien
yang resisten atau kurang (tidak) bereaksi terhadap obat yang diberikan,
langsung ditangani di bawah kontrol program DOTS agar ditanggulangi sampai
tuntas.
Kadang-kadang, menurut dr. Tjandra, kuman TB kebal atau resisten terhadap
obat TB. Di India misalnya, pernah dilaporkan, adanya kombinasi obat rifampisin,
INH, serta obat lain lagi yang tidak tercampur baik sehingga malah
menyebabkan keadaan resisten yang disebut Multi Drug Resistance Tuberculosis
(MDR-TB). Penyebab lain MDR adalah penderita tidak minum obat secara teratur
sampai tuntas. Kasus MDR biasanya ditangani dengan obat sekunder yang mahal
harganya walaupun kadang masih kurang ampuh. Dalam hal ini diperlukan
penanganan sangat khusus dan membutuhkan waktu pengobatan rutin yang
jauh lebih lama (bisa dua tahun atau lebih).
Menurut sebuah laporan di AS, MDR-TB, khususnya pada mereka yang telah
terinfeksi virus HIV, menyebabkan angka kematian lebih tinggi (7 80%) dalam
waktu hanya 4 16 minggu. Sangat menyedihkan bahwa sekarang diperkirakan
sekitar 50.000 kasus TB di 35 negara (lima benua), atau 20% penduduk dunia,
telah tertular atau terinfeksi MDR TB ini, khususnya di Rusia, Latvia, Estonia,
India, Argentina, Cina, Pantai Gading, serta Republik Dominika.
Sebenarnya, tidak sulit membasmi penyakit TB asalkan penderita mengikuti
semua nasihat yang diberikan dokter. Untuk menyebarluaskan pencegahan serta
pengobatan TB tentu masih diperlukan tenaga non-medis yang dapat ikut
membantu menyebarkan informasi sampai ke pelosok yang sulit terjangkau.
(Nanny Selamihardja).
KONSULTASI

Ancaman Bangkitnya Kuman Tuberkulosis


Resistensi Kuman Penyebab TB Meningkat Tajam
Diasuh oleh Tim Dokter RS Mediros
Ada tiga penanya tentang penyakit Tuberkulosis yaitu tentang Kekambuhan dan
Pengobatannya dari Sutarno Jakarta Utara, Ny. Abdullah Tangerang, Ny.
Budiono Cirebon. Berikut ini diberikan jawaban yang lebih luas, karena penting
untuk diketahui masyarakat. Pengasuh Rubrik
Apakah Anda percaya, di seluruh dunia ada sekitar dua miliar orang terinfeksi
TB? Ini adalah sepertiga jumlah penduduk dunia! Dan tahukah Anda Indonesia
adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan Cina? Di Indonesia setiap
dua menit ada satu penderita TB baru, ada satu orang meninggal setiap empat
menitnya? Angka yang terdeteksi penderita TB di Indonesia adalah 587 ribu
orang menurut data WHO tahun 2003 lalu! Tidak disangka memang. Di dunia
modern dengan kemajuan teknologi sedemikian hebatnya, di era biologi
molekuler di mana gen manusia sudah berhasil terpetakan. Era di mana penyakit
baru dapat disembuhkan.
Tuberkulosis, penyakit yang umurnya sama dengan manusia, penyakit yang
rahasianya sudah terkuak, baik dari segi patologi, etiologi, cara penularan,
maupun diagnosis klinisnya, bahkan pengobatan pencegahan dan penyembuhan
bagi orang dewasa dan anak-anak sudah diketahui. Namun penyakit ini masih
serius. Ini memang membingungkan kita, termasuk para ahli. Penyakit infeksi ini
sudah diklaim musnah beberapa tahun lalu. Lalu pada 1993 WHO malah
menyatakan TB sebuah kedaruratan dunia (a global emergency).
Untuk menjawab keheranan di atas tentu saja tidaklah sederhana. Paling tidak,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan di bidang-bidang tertentu yang
merupakan mata rantai permasalahan: epidemiology, diagnosis, pengobatan,
resistansi obat. Belum lagi dengan permasalahan teknis dan nonteknis
menyangkut individu, institusi dan strategi serta kebijakan.
Sejarah Pengobatan TB
Konon kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab utama TB ini sudah ada
sejak planet ini ada. Beberapa bukti kuman ini menginfeksi manusia ditemukan
beberapa abad sebelum Masehi, misalnya di Jerman, dan Mesir. Bahkan di Mesir,
TB merupakan penyakit yang biasa.
Sebelum abad ke-19, para ahli belum tahu apa dan bagaimana penyebab
penyakit yang diistilahkan oleh Hipocrates sebagai Phthisis. Penyakit yang
menyebar luas yang menyebabkan kematian. Akhirnya Robert Koch berhasil
melihat kuman penyebab TB ini pada tahun 1882. Sebuah penemuan ilmiah
yang sangat brilian.
Sejak itu dimulailah pertempuran melawan kuman penyebab utama kematian
selama ribuan tahun itu. Baru di pertengahan Perang Dunia Kedua terjadilah

terobosan Chemotherapy (kemoterapi). Pada awalnya kemoterapi penyakit


infeksi menggunakan sulfonamid dan penisilin, tetapi ini tidak begitu efektif.
Kemudian pencarian obat antikuman ini dilakukan oleh Selman A Waksman,
tahun 1940 menemukan anti-TB, antibiotik actinomycine. Sayang sekali obat ini
beracun bagi manusia.
Sukses barulah diraihnya 1943 setelah ditemukannya
Streptomycin, sebuah antibiotik yang dihasikan oleh Streptomyces griseus, yang
terbukti dapat menghambat pertumbuhan kuman TB ini. Sukses terlihat sangat
impresif ketika kuman pada dahak pasien TB yang parah hilang.
Sukses yang cepat didapat dengan penemuan-penemuan obat anti-TB lain.
Penemuan-penemuan ini sangat penting, karena ternyata, terapi tunggal
streptomycine menyebabkan kekebalan (resistansi) kuman dalam kurun waktu
bulanan.
Setelah streptomycine, kemudian ditemukan p-aminosalicylic acid (1949),
isoniazid (1952), pyrazinamide (1955), cycloserine (1955), ethambutol (1962)
dan rifampicin (1963).
Adalah Dr. John Crofton seorang Inggris yang mengusulkan mengkombinasi obatobat TB pada tahun 60-an, hasilnya memang sangat menggembirakan karena
ternyata TB dapat disembuhkan.
Antara 1950 sampai 1985, terjadi penurunan tingkat kejadian TB serta
kematiannya. Misalnya saja di Amerika Serikat, 1953 kejadian TB 84 ribu orang,
tetapi pada tahun 1985 menjadi sekitar 20 ribuan. Insidiensi kematian karena TB
tahun 1953 sekitar 20 ribu tetapi di tahun 1985 hanya berkisar 1.800 orang.
Kembalinya TB
Akan tetapi, masih di Amerika Serikat, setelah tahun 1985-an, penurunan angka
kejadian TB berhenti. Bahkan kebalikannya cenderung meningkat sekitar 9% per
tahunnya. Sementara di negara industri lain trennya sama. Hal ini paling tidak
ada kaitannya dengan tingkat imigran atau pengungsi dari negara berkembang.
Jumlah kasus TB yang dilaporkan di seluruh dunia sangat berhubungan dengan
kondisi ekonomi suatu negara dengan jumlah GNP rendah. Kejadian yang
tertinggi berasal dari negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Latin. WHO
memperkirakan sekitar 8 juta jiwa terinfeksi TB setiap tahun, di mana 95%nya
berasal dari negara berkembang. Hal lain yang menjadi meningkatnya kasus TB
adalah berhubungan dengan Infeksi HIV. Satu dari 10 penderita HIV akan
menjadi TB yang aktif. Faktor terakhir kebangkitan TB adalah munculnya
Resitensi Ganda TB (multi drug resistant, MDR).
Pengobatan TB mempunyai dua tujuan utama. Efektivitas penyembuhan
maksimal dan kemampuannya mencegah resitansi. Resitensi ganda TB terutama
terjadi karena, pertama terapi terputus/pengobatan tidak lengkap (erratic drug
intake), kedua pengobatan hanya dengan satu jenis obat anti-TB saja.

Pengobatan TB seharusnya menggunakan kombinasi obat-obat anti-TB sehingga


dapat membunuh kuman TB dengan tuntas. WHO merekomendasi kombinasi
obat-obat tersebut: Isonizid (H), Rifampisin (R), Pyrazinamide (Z) Ehambutol (E)
dan Streptomycine (S), dengan dosis dan durasi pengobatan yang telah
ditetapkan.
Kenyataan di lapangan misalnya pasien tidak menebus dan meminum semua
obat yang sudah diresepkan sampai batas waktu yang ditetapkan.
Ketidakpatuhan pasien, baik dalam meminum jumlah dan macam obat, dan tidak
teratur serta tidak tuntasnya pengobatan dari yang dianjurkan merupakan
pemicu terjadinya resistansi ganda TB.
Mungkin Anda dapat bayangkan sekaligus memahami. Ketidakpatuhan tersebut
terjadi, karena seorang pasien TB harus meminum kombinasi obat-obat TB paling
tidak 12 tablet/kapsul sehari pada fase intensif, yaitu kombinasi RHZE tiga kali
sehari dengan lamanya pengobatan selama dua bulan, sedangkan empat bulan
selanjutnya merupakan fase lanjutan dengan meminum paling tidak enam
tablet/kapsul dalam sehari berupa kombinasi RH (atau EH selama 6 bulan).
Kebosanan dan ketidakpraktisan pengobatan TB untuk pasien yang memicu
ketidakpatuhan merupakan salah satu kendala utama dari upaya memberantas
TB ini.
Kombinasi Dosis Tetap
Sebagai bagian dari elemen kunci strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short Course), suatu strategi yang dijalankan badan kesehatan dunia untuk
memerangi TB, WHO menganjurkan penggunaan kombinasi obat anti-TB dua
sampai empat obat dalam satu kapsul.
Sekarang, sebagian besar negara sudah mulai mengganti penggunaan obat
tunggal dengan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) ini sebagai bagian dari program
DOTS nya masing-masing termasuk Indonesia.
Khusus untuk KDT empat obat regimen yang dianjurkan WHO adalah Rifampisin
150 mg, Isoniazid 75 mg, Pyrazinamide 400 mg dan Ethambutol 275 mg. KDT ini
digunakan dalam fase intensif, sedangkan untuk fase lanjutan dianjurkan
menggunakan KDT dua obat regimen berisi Rifampisin 300 atau 150 mg,
Isoniazid 150 atau 75 mg.
Latar belakang pemikiran rekomendasi penggunaan KDT empat obat ini adalah
menyederhanakan pengobatan dan manajemen pengadaan obat serta untuk
mencegah terjadinya resistansi.
Dengan menyederhanakan pengobatan membantu pasien untuk lebih patuh,
karena pasien hanya menelan tiga sampai empat obat sehari selama fase
intensif. Selain itu juga akan meminimalkan kesalahan penulisan resep oleh
dokter, karena hanya menuliskan satu nama saja, dan tidak harus empat nama
obat, dan dosis yang dianjurkan juga menjadi lebih mudah diingat.

Hal penting lain dari sediaan empat KDT adalah terjaminnya mutu dari sediaan
ini terutama mengenai ketersediaan hayati/bioavailibilitas dari Rifampisin. Zat ini
sangat tidak stabil dalam sediaan kombinasi, dan memerlukan teknis khusus
dalam perlakuannya sehingga dapat menjamin bioavalibilitasnya dalam tubuh
pasien untuk menjamin efek terapinya dan untuk menghindari resistansi kuman
TB.
Menyadari akan hal itu, WHO telah membuat aturan khusus tentang pembuatan
sediaan jenis ini dengan membuat sistem kendali mutu, dengan menetapkan
laboratorium penilai di Medical Research Council, Pretoria Afrika Selatan dan
Department of Pharmaceutics, National Institute of Pharmaceutical, Education
and Research, Punjab, India.
Semua produsen yang akan memproduksi sediaan ini harus menyiapkan
dokumen yang diperlukan, termasuk data bioavailibilitasnya. Uji bioavailibilitas
dapat dilakukan di berbagai WHO Laboratory Network for Quality Control of
FDCs.
Dewasa ini di Indonesia sudah ada preparat empat KDT, Rimstar, serta tiga KDT,
Rimcure.

Anda mungkin juga menyukai