PMO ini yang akan ikut mengawasi penderita minum seluruh obatnya.
Keberadaan PMO ini untuk memastikan bahwa penderita betul minum obatnya
dan bisa diharapkan akan sembuh pada masa akhir pengobatannya. PMO
haruslah orang yang dikenal dan dipercaya oleh penderita maupun oleh petugas
kesehatan. Mereka bisa petugas kesehatan sendiri, keluarga, tokoh masyarakat
maupun tokoh agama.
4. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan ini merupakan bagian dari sistem survailans penyakit
TB. Dengan rekam medik yang dicatat dengan baik dan benar akan bisa
dipantau kemajuan pengobatan penderita, pemeriksaan follow up, sehingga
akhirnya penderita dinyatakan sembuh atau selesai pengobatannya.
5. Panduan OAT jangka pendek
Panduan OAT jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan jangka waktu
pengobatan yang tepat sangat penting dalam keberhasilan pengobatan
penderita. Kelangsungan persediaan panduan OAT jangka pendek harus selalu
terjamin. (adi)
PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, dan penyakit
tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyadi masalah
kesehatan yang cukup memprihatinkan. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan (Depkes RI), tercatat bahwa tuberkulosis merupakan
penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler (jantung dan
pembuluh darah) dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia;
dan merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi.
Masalah yang timbul pada penyakit ini disebabkan jumlahnya penderitanya yang
banyak dan penyebaran penyakitnya yang mudah (melalui kuman yang
dibatukkan oleh penderita ke udara lihat topik terkait). Selain itu masalah yang
terpenting adalah tingkat kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang
rendah. Hal ini timbul karena umumnya penderita menghentikan pengobatannya
ketika mereka sudah tidak merasakan gejala penyakitnya dan menganggap
bahwa penyakitnya telah sembuh, padahal penyakit ini memerlukan pengobatan
jangka panjang yang teratur. Jangka waktu pengobatannnya tergantung kepada
kategori penyakit yang dideritanya (sesuai anjuran dokter yang memeriksa).
Menurut Program Pemberantasan TB paru , tujuan pengobatan tuberkulosis
dengan Obat anti TB (OAT) jangka pendek adalah memutuskan rantai penularan
dengan menyembuhkan penderita tuberkulosis paling sedikit 85 % dari seluruh
kasus tuberkulosis BTA positif yang ditemukan dan mencegah resistensi (kuman
yang kebal terhadap OAT).
Obat anti TB (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisid (membunuh kuman) dengan atau tanpa obat ketiga. Dasar
pemberian obat ganda adalah karena selalu didapatkan kuman yang sejak
semula resisten (kebal) terhadap salah satu obat pada kuman yang sensitif.
Tujuan pemberian OAT antara lain membuat konversi sputum BTA positif menjadi
negatif (lihat topik mengenai pemeriksaan penunjang TB) secepat mungkin
melalui efek bakterisid, mencegah kekambuhan dalam tahun pertama setelah
pengobatan dengan kegiatan sterilisasi (kemampuan membunuh kuman khusus
yang tumbuhnya lambat.), menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesi
melalui perbaikan daya tahan imunologis (kekebalan tubuh).
Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.
Jenis obat utama yang digunakan adalah Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Obat obat tersebut bersifat bakterisid
kecuali untuk etambutol yang bersifat bakteriostatik (menekan pertumbuhan
kuman). Jenis obat tambahan lainnya :Kanamisin, Kuinolon, derivat rifampisin
dan INH serta obat lain yang masih dalam penelitian yaitu makrolide dan
kombinasi amoksisilin dengan asam klavulanat. Kombinasi pengobatan (multy
drug theraphy) dan jangka waktu OAT yang diberikan tergantung jenis/kategori
penderita (ditentukan oleh dokter yang memeriksa). Jangka waktu pengobatan
minimal dilakukan selama 6 (enam bulan).
Pemberian OAT jangka panjang terkadang dapat memberikan efek samping dari
obat yang diminum. OAT golongan pertama dan efek sampingnya, antara lain :
Isoniazid (INH) : efek sampingnya berupa neuritis perifer (radang saraf tepi)
untuk pencegahan harus diberikan suplemen vitamin B6, gangguan fungsi hati,
alergi obat;
Rifampisin : efek sampingnya berupa hepatitis drug induced (radang hati yang
dipicu oleh obat). Masalah yang paling menonjol dan dapat menyebabakan
kematian. Hepatitis jarang terjadi pada pasien dengan fungsi hati normal, tetapi
penyakit-penyakit hati kronik, alkoholisme dan usia lanjut dapat meningkatkan
angka kejadiannya. Flu-like Syndrome, Sindrom Redman (disebabkan dosis yang
berlebihan, terdapat kerusakan hati yang berat, warna merah terang pada urin,
air mata, ludah dan kulit);
Etambutol : efek sampingnya berupa Neuritis optic (peradangan pada saraf
mata), merupakan efek samping terpenting, yang berupa penurunan tajam
penglihatan dan buta warna merah/hijau. Gout/pirai (meningkatnya asam urat
dalam darah). Lain-lain : gatal, nyeri sendi, nyeri epigastrik (ulu hati), nyeri
perut, malaise (lemah-lesu), sakit kepala, linglung, bingung, halusinasi.
Pirazinamid : efek sampingnya berupa gangguan hati (efek samping tersering
dan terserius), gout/pirai (meningkatnya kadar asam urat dalam darah), lainlain : artralgia (sakit pada sendi), anoreksia tidak nafsu makan), mual-muntah,
disuria (sulit berkemih), malaise, demam.
Streptomisin : efek sampingnya berupa alergi obat, gangguan keseimbangan
(seperti sempoyongan), vertigo (sakit kepala berputar) dan tuli, dapat
menurunkan fungsi ginjal., rasa baal di muka.
Pengobatan TB merupakan kunci pokok terhadap keberhasilan pemberantasan
penyakit ini. Selain kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang dpaat
dimonitor melalui pogram DOTS (baca topik terkait), hal lain yang penting
diperhatikan adalah adanya tanda-tanda efek samping OAT mengingat jangka
waktu pemberiannya yang panjang.. Hal ini penting untuk diperhatikan karena
jika ternyata didapatkan adanya tanda-tanda dari efek samping obat maka
dokter akan mencari alternatif kombinasi lain yang sesuai sedini mungkin. Kunci
penting keberhasilan pengobatan TB adalah kerjasama antara penderita, dokter
dan orang di sekitarnya (pengawas minum obat-DOTS), karena tanpa kerja sama
yang baik akan sangat sulit sekali mengobati penyakit ini bahkan akan timbul
penyakit TB dengan kuman yang resisten (kebal) terhadap pengobatan yang ada
dan akan sangat sulit sekali diobati. (mds)
Jangan dikira penyakit TB alias tuberkulose sudah musnah. Justru sejak awal
tahun 1990-an penyakit yang menyerang paru-paru ini kembali mendapat
perhatian dunia. Di Indonesia TB malah merupakan penyebab kematian pertama
untuk kelompok penyakit menular. Penyakit ini pun sangat erat hubungannya
dengan virus HIV.
Tuberkulose atau tuberculosis (dulu disingkat TBC) sebenarnya sudah diderita
manusia sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan penelitian pada mumi peninggalan
zaman Mesir kuno, saat itu sudah banyak orang meninggal gara-gara penyakit
ini.
Belakangan, ketika penderita HIV/AIDS semakin bertambah jumlahnya, penyakit
TB pun tampil kembali setelah lama tak terdengar ulahnya. Kedua penyakit itu
rupanya sangat erat hubungannya. Menurunnya daya tahan tubuh yang drastis
mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi seperti TB. Tentu
saja terjangkitnya TB pada penderita HIV akan semakin memperburuk ketahanan
tubuhnya serta mempercepat replikasi virus dalam tubuhnya. Berarti infeksi HIV
akan mempercepat perjalanan penyakit TB.
Sebaliknya, TB dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV akan semakin
mempercepat perjalanan penyakit menjadi AIDS. Dalam kasus ini TB menjadi
amat sulit dibasmi dan acap kali berakibat fatal. Sekitar sepertiga kematian pada
penderita AIDS disebabkan oleh TB, dan sekitar 40% kematian pada penderita
AIDS di Afrika dan Asia disebabkan oleh TB. Menurut perkiraan WHO, akhir abad
ini virus HIV akan menyebabkan sedikitnya 1,4 juta kasus TB aktif.
Dengan tanda awal demam, bobot badan menurun, cepat lelah, berkeringat
dingin malam hari, gejala TB juga disertai batuk yang dahaknya acap kali
bercampur darah.
Penyakit ini mulai menyebar ke segala penjuru dunia pada abad XVII XVIII. Saat
itu TB menyebabkan kematian hampir seperempat jumlah kaum dewasa di
Eropa. Di AS bagian utara, dari tahun 1800 sampai awal 1900-an, TB merupakan
penyebab kematian utama.
Walaupun mikrobakteri tuberkulose sudah ditemukan oleh dr. Robert Koch pada
24 Maret 1882 di Berlin, Jerman, penyakit ini baru bisa diberantas setelah
ditemukan obatnya
pada 1940 1950-an. Obat pertama yang diproduksi antara lain streptomycin,
isioniazid, dan para-aminosacylic acid. Kemudian muncul obat ethambutol,
rifampicin, thiacetazone, dan pyrazinamide.
Sejak itu, TB sempat mereda dan tidak lagi terlalu dimasalahkan oleh kalangan
kedokteran. Namun, awal tahun 1990-an TB kembali menjadi bahan
pembicaraan dunia kedokteran karena ternyata masih membunuh sekitar 2 3
juta penduduk dunia, khususnya di negara ekonomi lemah dan menengah. Dari
tujuh juta penderita TB, lebih dari setengahnya berada di negara berpendapatan
menengah seperti Brasil, Indonesia, Iran, Meksiko, Filipina, Rusia, Afrika Selatan,
dan Thailand. Belum lagi di negara berpendapatan rendah seperti Afghanistan,
India, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Sudan, atau Uganda.
Menurut dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli penyakit paru-paru dari RS Persahabatan,
Jakarta, kini diperkirakan setiap tahun di dunia muncul empat juta penderita TB
menular. Belum lagi sekitar empat juta penderita yang tidak menular atau
pembawa kuman TB. Setiap tahun diperkirakan tiga juta orang meninggal karena
penyakit ini, di antaranya satu juta kaum wanita dan sekitar 100.000 anak-anak.
Di Indonesia sendiri TB masih merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit jantung dan pembuluh darah. Bahkan, peringkat pertama penyebab
kematian karena penyakit menular. Jumlah penderitanya sekitar 500.000
orang/tahun dan kematian sekitar 175.000 orang/tahun, khususnya di daerah
pedesaan miskin dan daerah kumuh perkotaan yang rawan kuman itu.
Di Singapura, negara termaju di Asia Tenggara itu, penambahan penderita TB
hanya sekitar 2% atau sekitar 56 orang per 100.000 penduduk. Tapi jumlah ini
masih 5 10% lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju lain. Sebagian
besar kasus TB di Singapura terdeteksi pada para pendatang asing yang
mengajukan izin kerja. Jumlahnya sekitar 12% dari 2.483 2.786 pendatang.
Sedangkan di negara-negara maju, penderita TB sebagian besar para pengungsi
atau gelandangan.
Harus diberantas tuntas
Bakteri TB, yang berbentuk batang dan bertahan hidup sampai berbulan-bulan di
lingkungan kering, mudah disebarkan lewat batuk, bersin, dan ludah. Seseorang
akan terinfeksi bila terjadi kontak dekat secara terus-menerus dengan penderita.
Sebab itu, bila dalam sebuah keluarga ada seseorang yang terjangkiti TB
hendaknya segera disarankan untuk berobat. Bila dirawat di rumah hendaknya di
kamar tersendiri dengan segala peralatan atau perlengkapan tersendiri pula.
Lantai ruangan harus setiap hari dibersihkan dengan disinfektan yang cukup
kuat. Sambil diobati, gizi makanan penderita harus baik dan istirahat cukup.
Anak-anak hendaknya dijauhkan dari penderita mengingat mereka rentan
terhadap penyakit sehingga lebih mudah tertular, terutama kalau sanitasi dan
higiene lingkungan serta gizi makanan anak kurang memenuhi syarat.
Kuman TB bisa juga menyerang hewan seperti babi, unggas, dan sapi. Sebab itu
TB juga bisa ditularkan melalui susu sapi yang terkontaminasi kuman (M. Bovis)
kalau tidak dipasturisasi secara saksama.
Namun selama daya tahan tubuh kuat dan bakteri yang masuk tidak terlalu
banyak, beberapa bakteri dengan sendirinya akan mati oleh serangan sel darah
putih.
Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita TB antara lain pleurel effusion
(pengumpulan cairan di antara paru-paru dan dinding rongga dada) atau
pneumothorax (terdapat udara di antara paru-paru dan dinding rongga dada).
Keadaan akan fatal kalau kerusakan paru-paru sudah luas. TB ada kalanya dapat
menjalar ke organ tubuh lain melalui aliran darah. Terkadang pula infeksi primer
TB tidak terjadi pada paru-paru (10%), tapi pada sendi atau tulang, ginjal, usus,
rahim serta getah bening (leher).
Jutaan manusia sebenarnya hidup dengan kuman TB tanpa harus menjadi sakit.
Namun suatu saat bila daya tahan tubuh menurun, kuman tubercle dapat
bangkit memperbanyak diri kembali, kemudian menyerang masuk ke bagian lain
dari paru-paru. Pada taraf ini mungkin penderita masih merasa sehat sampai
gejalanya muncul, misalnya saat fungsi pernapasan terganggu, batuk, dll.
Pengetesan terhadap kuman TB yang sederhana adalah melalui ludah.
Sedangkan untuk pencegahan biasanya digunakan vaksin BCG. Vaksin ini berupa
kuman TB yang sudah dilemahkan. Sebelum mendapatkan suntikan ini,
seseorang harus mendapatkan tes Manteaux terlebih dulu untuk mengetahui
apakah ia memang masih terbebas dari kuman itu. Melalui foto X-Ray-thorax
dapat diketahui pula keadaan paru-paru penderita (paru-paru penderita TB
tampak berawan). Ada kalanya, pada stadium lanjut paru-paru sampai
berlubang-lubang. Pada paru-paru yang pernah terjangkit penyakit TB pun pasti
akan tetap terlihat bebas-bekasnya. Khusus untuk orang yang terinfeksi virus
HIV, pencegahan TB dilakukan dengan langsung memberikan obat INH.
Jangan sampai kebal
Dalam usaha menumpas penyakit TB ini WHO (Organisasi Kesehatan Dunia)
sebenarnya telah memperkenalkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Short-course). Strategi ini terdiri atas lima komponen utama yakni adanya
komitmen politik, tersedianya pelayanan pemeriksaan mikroskopik, terjaminnya
penyediaan obat yang merata dan tepat waktu, adanya sistem monitoring yang
baik, dan adanya program pengawasan keteraturan minum obat disertai jaminan
agar setiap pasien pasti minum obat sampai tuntas. Penanganan TB secara
langsung, terawasi, cepat, dan tuntas ini sebenarnya ampuh dan efektif untuk
menumpas TB.
Namun, di beberapa negara, termasuk Indonesia, upaya pemberantasan TB
masih berlangsung lamban. Hambatannya antara lain letak geografis wilayah
Indonesia yang terpencar-pencar, kurang penerangan, kurang teraturnya
pengobatan, dll. Bahkan, di negara-negara berpenghasilan rendah, proyek ini
masih tertunda. Padahal pengobatan penyakit TB tidak boleh setengahsetengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling
sedikit enam bulan.
Kalau pengobatan tidak tuntas, menurut dr. Tjandra, malah menyebabkan kuman
kebal obat dan tentu akan muncul lebih ganas. Setelah makan obat dua atau
tiga bulan, tidak jarang keluhan pasien memang hilang. Tapi ini belum berarti
sudah sembuh total, katanya. Padahal, kalau saran DOTS dari WHO itu
dijalankan dengan baik, pada tahun 2001 nanti sedikitnya 70% kasus TB di dunia
dapat terdiagnosis dan terobati. Diharapkan angka kesembuhan nanti mencapai
85 95%. Artinya, dapat dicegah seperempat kasus baru dan kematian akibat
TB.
Dalam pemberantasan TB, Singapura pernah menerapkan STEP(Singapore
Tuberculosis Elimination Program)atau Program Pemberantasan TB. Caranya,
Kementerian Kesehatan setempat mengadakan kampanye pendidikan
masyarakat agar waspada terhadap bahaya penyakit menular ini. Juga kepada
para dokter diberikan bimbingan dalam mendiagnosis serta mengobati pasien
TB. Dokter diharapkan segera memberitahukan dan menyarankan untuk
pengobatan kepada pasien yang terdeteksi mengidap penyakit ini. Bagi pasien
yang resisten atau kurang (tidak) bereaksi terhadap obat yang diberikan,
langsung ditangani di bawah kontrol program DOTS agar ditanggulangi sampai
tuntas.
Kadang-kadang, menurut dr. Tjandra, kuman TB kebal atau resisten terhadap
obat TB. Di India misalnya, pernah dilaporkan, adanya kombinasi obat rifampisin,
INH, serta obat lain lagi yang tidak tercampur baik sehingga malah
menyebabkan keadaan resisten yang disebut Multi Drug Resistance Tuberculosis
(MDR-TB). Penyebab lain MDR adalah penderita tidak minum obat secara teratur
sampai tuntas. Kasus MDR biasanya ditangani dengan obat sekunder yang mahal
harganya walaupun kadang masih kurang ampuh. Dalam hal ini diperlukan
penanganan sangat khusus dan membutuhkan waktu pengobatan rutin yang
jauh lebih lama (bisa dua tahun atau lebih).
Menurut sebuah laporan di AS, MDR-TB, khususnya pada mereka yang telah
terinfeksi virus HIV, menyebabkan angka kematian lebih tinggi (7 80%) dalam
waktu hanya 4 16 minggu. Sangat menyedihkan bahwa sekarang diperkirakan
sekitar 50.000 kasus TB di 35 negara (lima benua), atau 20% penduduk dunia,
telah tertular atau terinfeksi MDR TB ini, khususnya di Rusia, Latvia, Estonia,
India, Argentina, Cina, Pantai Gading, serta Republik Dominika.
Sebenarnya, tidak sulit membasmi penyakit TB asalkan penderita mengikuti
semua nasihat yang diberikan dokter. Untuk menyebarluaskan pencegahan serta
pengobatan TB tentu masih diperlukan tenaga non-medis yang dapat ikut
membantu menyebarkan informasi sampai ke pelosok yang sulit terjangkau.
(Nanny Selamihardja).
KONSULTASI
Hal penting lain dari sediaan empat KDT adalah terjaminnya mutu dari sediaan
ini terutama mengenai ketersediaan hayati/bioavailibilitas dari Rifampisin. Zat ini
sangat tidak stabil dalam sediaan kombinasi, dan memerlukan teknis khusus
dalam perlakuannya sehingga dapat menjamin bioavalibilitasnya dalam tubuh
pasien untuk menjamin efek terapinya dan untuk menghindari resistansi kuman
TB.
Menyadari akan hal itu, WHO telah membuat aturan khusus tentang pembuatan
sediaan jenis ini dengan membuat sistem kendali mutu, dengan menetapkan
laboratorium penilai di Medical Research Council, Pretoria Afrika Selatan dan
Department of Pharmaceutics, National Institute of Pharmaceutical, Education
and Research, Punjab, India.
Semua produsen yang akan memproduksi sediaan ini harus menyiapkan
dokumen yang diperlukan, termasuk data bioavailibilitasnya. Uji bioavailibilitas
dapat dilakukan di berbagai WHO Laboratory Network for Quality Control of
FDCs.
Dewasa ini di Indonesia sudah ada preparat empat KDT, Rimstar, serta tiga KDT,
Rimcure.