Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Kejang mungkin sederhana,
dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal
dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang salah
atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi
nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah
memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi
kemungkinan penyebabnya.

BAB II
PEMBAHASAN
1.

DEFINISI
1

Kejang adalah bangkitan atau cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara
mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak dapat dikendalikan.
Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari kejang bisa bermacam-macam,
dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan),
konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang dari kejang yang
terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan).
Konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak bisa
dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering dikenal orang
sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari seizure.
2.

EPIDEMIOLOGI
Gangguan kejang adalah masalah neurologis umum. Insiden kejang mencapai sekitar 5-8%
dan 3% dari seluruh kejadian kejang merupakan kasus epilepsy. Di Amerika Serikat, telah
diperkirakan bahwa lebih dari 4 juta orang memiliki beberapa bentuk epilepsi.

3.

KLASIFIKASI
Kejang dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab kejang serta subtipe serangan kejang.
International Classification of Epileptic Seizure membagi jenis kejang berdasarkan lokasi
pada otak.
a. Kejang Parsial
Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:

Tanda-tanda motoriskedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh :
umumnya gerakan kejang yang sama.

Tanda atau gejala otonomikmuntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil.

Gejala somatosensoris atau sensoris khusus-mendengar musik, merasa seakan jatuh


dari udara, parestesia.

Gejala psikisdejavu, rasa takut.

Kejang parsial kompleks


2

Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial


simpleks.

Dapat

mencakup

otomatisme

atau

gerakan

aromaticmengecapkan bibir,

mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan


tangan lainnya

Dapat tanpa otomatismetatapan terpaku.

B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)


Kejang Absans
Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.
Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan
sendirinya pada usia 18 tahun.
Kejang Mioklonik
Kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak. Myoclonic
kejang ditandai dengan gerakan menyentak singkat yang muncul dari sistem saraf pusat,
biasanya melibatkan kedua sisi tubuh. Gerakan ini mungkin sangat halus. Terdapat berbagai
macam sindrom yang terkait dengan kejang myoclonic, diantaranya :
a. Juvenile Myoclonic epilepsy
Ini termasuk sindrom yang sulit. Onset mulai 12-16 tahun. Jenis ini juga termasuk
epilepsi idiopatik. Kasusnya mencapai 5-10% dari seluruh kasus. Gejala khasnya adalah
gerakan mioklonik seperti terkejut pada saat bangun tidur yang diikuti kejang general
tonik klonik. Mioklonik ini dipicu oleh kelelahan, gangguan tidur atau pengaruh alkohol.
Manajemen epilepsi jenis ini adalah mengubah lifestyle. Pengobatan paling efektif
dengan valproate. Lamotrigine juga efektif tetapi biasanya dikombinasi dengan
valproate karena valproate sangat efektif untuk kejang mioklonik, jelas Nelly yang
tergabung dalam ahli saraf anak. Kondisi epilepsi jenis ini merupakan kondisi seumur

hidup. Artinya, kejang kembali datang dalam hitungan minggu atau bulan bila
pengobatan dihentikan.
b. Lennox-Gastaut Syndrome
Sindrom ini juga termasuk yang sulit ditangani. Lennox-Gastaut Syndrome
termasuk dalam bentuk epilepsi general yang simtomatik dengan prevalensi sekitar 2-3%
dari seluruh kasus epilepsi. Puncak onset terjadi di usia 3-5 tahun.
Secara umum sindrom ini berkaitan dengan tipe kejang yang multipel. Tetapi
yang paling khas adalah adanya axial tonic seizure yang menyebabkan cedera. Sedangkan
kejang atypical absence , atonic atau drop attack serta kejang mioklonik dan tonik klonik,
juga bisa ditemui. Hasil EEG secara umum lambat (< 2 Hz). Biasanya penderita memiliki
IQ rendah dan ada kemunduran mental.
Prognosis sindrom ini juga sangat buruk, lebih dari 80% tidak bisa disembuhkan.
Untuk mengatasi sindrom ini diperlukan politerapi yaitu kombinasi topiramate,
lamotrigine dan valproate.
c. West syndrome
Sindrom ini sering juga disebut infantile spasms. West Syndrom bisa dibedakan
menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis simptomatik disebabkan
karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak diketahui
penyebabnya.
Jenis spasmenya adalah berkelompok (kluster) dan dalam satu kluster bisa
mencapai 125 spasme. Biasanya gejala timbul setelah bangun tidur. Pada saat terjadi
spasme biasanya anak menangis dan spasme ini bisa terus berlangsung. Gambaran EEG
sangat tidak beraturan.
Pengobatan infantile spasms sampai saat ini belum memuaskan. ACTH diyakini
lebih efektif dibandingkan penggunaan kortikosteroid sehingga rekomendasi lini pertama
adalah ACTH sedini mungkin. Namun efek samping ACTH harus diwaspadai. Sedangkan
melalui penelitian, topiramate cukup efektif untuk monoterapi pada anak di atas 2 tahun.
Kejang MioklonikLanjutan
4

Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaankedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.

Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.

Kehilangan kesadaran hanya sesaat

Kejang Tonik-Klonik

Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas,
batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit

Kejang biasanya berlangsung 5 - 20 menit

Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kemih dan usus.

Tidak adan respirasi dan sianosis

Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.

Letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical

Kejang Atonik

Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun,
kepala menunduk atau jatuh.

Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

Status Epileptikus
Definisi :
status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang
mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau
lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
Klasifikasi Status Epileptikus
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau
kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik
dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari
Lenox-Gestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
6

(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor
atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi
psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized
spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
1. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu
tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa
(status afasik).
2. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral
yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
7

keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
4.

ETIOLOGI
Banyak kelainan sistem saraf dapat mengakibatkan aktivitas kejang. Kejang dapat juga
terjadi pada sistem saraf normal ketika terjadi gangguan keseimbangan metabolik.
Berikut ini terdapat beberapa faktor yang secara umum dapat menyebabkan kejang :
a. Faktor genetik
Beberapa orang mempunyai faktor genetik yang dapat berkembang menjadi kejang
dikemudian hari.
b. Cedera kepala
Kejang dapat terjadi pada saat terjadi cedera kepala atau satu tahun post trauma (biasanya
tidak lebih dari dua tahun). Cedera kepala baik terbuka atau tertutup dapat
mengakibatkan kejang.
c. Stroke ( gangguan serebrovaskular)
Kejang dapat terjadi pada saat stroke atau beberapa tahun kemudian post stroke. Kejang
dapat terjadi dengan stroke karena kurangnya aliran darah ke otak atau karena adanya
perdarahan di dalam otak yang mengiritasi korteks. Setelah terjadi injuri serebral pada
stroke, korteks yang terlibat akan mengalami perubahan strktural dan fungsional yang
dapat meningkatkan eksitabilitas kortek tersebut atau menurunkan aktivitas inhibisi
neuronal sehingga menimbulkan kejang epileptik pada 6-9% pasien stroke. Proses yang
terjadi diawali degan injuri serebral, diteruskan dengan periode latensi (epileptogenesis;
kerusakan neuronal segera atau lambat, neurogenesis, gliosis, axonal dan dendritic
plastisitas, angiogenesis, inflamasi, dan reorganisasi molekular reseptor dan kanal ion) ),
kemudian berakhir dengan kejang spontan (epilepsi).
d. Gangguan metabolik
Perubahan metabolism didalam tubuh juga dapat mengakibatkan kejang. Beberapa
keadaan yang berhubungan dengan gangguan metabolisme tubuh yang dapat

mengakibatkan kejang :
Ketidakseimbangan elektrolit (natrium, kalsium)
Hipoglikemia atau hiperglikemia
Gagal ginjal : uremia
Hepatic failure (penyakit hati yang berat)
8

Hipoksia
e. Toksik
Penggunaan obat tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya kejang. Penghentian
obat secara tiba tiba juga dapat mengakibatkan kejang. Beberapa obat yang dapat
memicu terjadinya kejang adalah : antidepresan trisiklik, lithium, antipsikotik,

aminofilin, dan penisilin dosis tinggi.


Penggunaan narkoba seperti kokain, heroin, amfetamin, dan PCP dapat menyebabkan

kejang.
Gejala putus alkohol juga dapat berhubungan dengan timbulnya kejang. Biasanya
kejang terajdi 12 24 jam setelah minum lakohol dan juga dapat terjadi sampai 48 jam

atau lebih.
f. Infeksi
Infeksi pada sistem saraf dapat mengakibatkan menurunkan ambang kejang. Beberapa
penyakit infeksi pada SSP adalah :
Meningitis
: infeksi pada meningen dan cairan cerebro spinalis
Ensefalitis
: infeksi pada otak
HIV (human immunodeficiency virus).
g. Tumor
Tumor otak baik maligna atau benigna dapat berhubungan dengan kejang. Letak dari
tumor itu sendiri dapat mengganggu bagian dari korteks sehingga memicu terjadinya
kejang.
h. Penyakit degeneratif
Terdapat beberapa penyakit neurodegenerative dapat memicu terjadinya kejang. Seperti :
neurofibromatosis, penyakit Tay-Sachs, fenilketonuria (PKU), dan sindrom SturgeWeber.
i. Demam Tinggi
Menyebabkan terjadinya kejang demam. Biasanya terjadi pada anak-anak dengan usia 3
bulan sampai 4 tahun dengan insiden 3% - 4% dari anak-anak.
5.

PATOFISIOLOGI
Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi klinis dari lepasnya muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala terganggunya
fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau
gabungan factor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi
otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapatlah difahami
9

bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak penyakit atau kelainan di antaranya
adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan
peredaran darah, hipoksia, anomaly congenital otak.
Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam-macam, dari yang ringan sampai rasa
tidak enak di perut sampai kepada yang berat(kesadaran menghilang disertai kejang
tonikklonik). Semua ini bergantung kepada sel-sel neuron mana dalam otak yang teransang
dan sampai berapa luas rangsangan ini menjalar.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Fenomen elektrik ini adalah wajar.
Manifestasi biologiknya berupa gerak otot atau suatu modalitas sensorik, tergantung dari
neuron kortikal mana yang melepaskan muatannya. Dalam keadaan fisiologik, neuron
melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial
postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial aksi itu disalurkan melalui akson yang
bersinap dengan dendrit neuron lain. Asetilkolin merendahkan potensial membran
postsinaptik. Apabila sudah cukup asetilkolin tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan
muatan listrik neuron-neuron kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh neuronneuron kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada
lebih banyak asetilkolin mesembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur.
Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai suatu konsentrasi yang dapat mengungguli
ambang lepas muatan listrik neuron. Oleh karena itu fenomena lepas muatan listrik epileptic
terjadi secara berkala.
Kurangnya zat gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai zat anti-konvulsi alamiah
akan menyebabkan neuron-neuron kortikal mudah sekali terganggu dan bereaksi dengan
melepaskan muatan listriknya secara menyeluruh.
Inti-inti intralaminar talamik dapat juga digalakkan oleh lepas muatan listrik dari
sekelompok neuron-neuron kortikal. Pada gilirannya inti-inti intralaminar talamik
melepaskan muatan listriknya dan merangsang seluruh neuron kortikal. Sehingga, kejang
dapat diawali dengan kejang fokal akibat lepasnya muatan listrik dari neuron kortikal
menjadi kejang tonik-klonik karena inti intralaminar talamik merangsang seluruh neuron
kortikal.
10

Penurunan kesadaran karena lepasnya muatan listrik dari nuclei intralaminares talami
yang berlebihan. Input pada inti ini yang merupakan terminal lintasan asendens aspesifik
akan menentukan derajat kesadaran. Karena lepasnya berlebihan maka perangsangan
talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang otot seluruh tubuh dan sekaligus
menghalangi neuron-neuron pembina kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar
sehingga kesadaran menghilang.
6.

DIAGNOSIS
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, sangat
penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel 1:

Untuk mendiagnosis kejang dilakukan dalam beberapa tahapan :


Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang
Faktor pencetus atau penyebab kejang
Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya
Obat - obatan
11

Trauma
Gejala-gejala infeksi
Keluhan neurologis
Nyeri atau cedera akibat kejang
Kejang terjadi selama terjaga atau tidur ?
Apakah terjadi dehidrasi sebelumnya ?
Apakah sebelumnya pasien mengalami kurang tidur ?
Riwayat pemakaian narkoba dan alcohol
Onset mendadak atau makin berat ?
berapa lama saat kejang saat serangan ?
Apakah pasien sadar setelah kejang ?
Apakah pasien terlihat sianosis ?
Lidah tergigit atau luka lain
Gerakan ekstremitas
ada demam atau tidak ?
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari
faktor penyebab
Tanda-tanda vital
Tanda-tanda trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik
Terpapar zat toksik
Infeksi
Adanya kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan penunjang

Laboratorium : Darah lengkap, urin lengkap, elektrolit, lumbal punksi.

CT- Scan dan MRI, untuk melihat apakah terdapat kelainan sruktural pada otak.
12

EEG
Memberikan informasi tentang aktivitas listrik di otak. Digunakan untuk membantu
menetapkan jenis dan focus dan kejang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan)
neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan
timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh
gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak
bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.
Beberapa elektroda kecil diletakkan di titik-titik tertentu di kulit kepala pada kedua sisi
kepala untuk merekam aktivitas yang dihasilkan terutama oleh korteks otak. Aktivitas
gelombang otak biasanya dicatat selama 30-45 menit.

7.

PENATALAKSANAAN
1. Pada kejang yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian
obat harus dipertimbangkan
2. Obat yang diberikan disesuaikan dengan jenis kejang
3. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan berkurang,
mempermudah pemantauan dan menghindari interaksi obat
4. Dosis obat disesuikan secara individual
5. Evaluasi hasilnya
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya
Obat-obat yang dipakai untuk antikejang :
a. Golongan Lini Pertama
1. Fenitoin
Agen yang lebih umum digunakan dan sering dianggap sebagai obat lini pertama
untuk mengobati kejang. Obat ini bekerja dengan cara menekan aktivitas listrik di sel
saraf otak. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intravena (IV), dan bentuk baru
dari obat tersebut, fosphenytoin Cerebryx () dapat disuntikkan ke dalam otot. Bentuk
oral memiliki manfaat dosis sekali sehari. Fenitoin adalah agen lini pertama untuk
mengobati parsial dan umum tonik-klonik (grand mal) kejang. Hal ini juga salah satu
agen utama yang digunakan dengan pasien yang datang dengan status epilepticus.
tingkat obat . Fenitoin perlu dipantau dengan pengujian laboratorium. Dosis 5-7
13

mg/kg/hari dibagi 2 dosis. Selain itu, uji fungsi hati dan jumlah darah lengkap (CBC)
perlu diikuti. Fenitoin banyak berinteraksi dengan obat lainnya, dan kadarnya sendiri
dapat berfluktuasi ketika minum obat lain. Beberapa efek samping yang terkait dengan
penggunaan termasuk gingiva hiperplasia (pertumbuhan berlebih dari gusi), hirsutisme
/ hipertrikosis (pertumbuhan rambut berlebihan), ketidakseimbangan, kelesuan,
anemia, dan, dalam penggunaan jangka panjang, neuropati perifer (kelemahan).

2. Carbamazepine
Carbamazepine (Tegretol / Carbatrol ) telah digunakan selama lebih dari 30 tahun.
Hal ini umumnya diresepkan untuk pengobatan parsial dan umum tonik-klonik (grand
mal) kejang. Mekanisme yang kerjanya tidak dipahami dengan baik.Dosis rumatan:
15-20 mg/kg/hari dibadi dalam 2-4 dosis. Tes fungsi hati dan KBK juga perlu
diperiksa secara rutin. Carbamazepine dapat mempengaruhi beberapa kadar obat lain
dalam tubuh, dan kadar obat ini sendiri dapat berfluktuasi ketika agen lainnya diambil.
Terdapat

efek samping mengantuk, ketidakseimbangan, mual, anemia, dan

neutropenia (jumlah sel darah putih rendah,). Carbamazepine juga digunakan untuk
mengobati neuralgia trigeminal, gangguan saraf nyeri wajah, dan lain sindrom nyeri
neuropatik.
3. Fenobarbital
Fenobarbital adalah yang tertua dari kelompok anticonvulsants. Hal ini dapat
digunakan untuk mengobati kedua jenis kejang, baik parsial maupun umum. Hal ini
juga digunakan sebagai bagian dari protokol setelah digunakan fenitoin dalam status
epilepticus serta epilepsi neonatal. Ini tersedia dalam bentuk oral dan intravena. Dosis
3-5 mg/kg/hr dalam 2 dosis. Analisis darah lengkap juga harus rutin dilakukan.
Phenobarbital dapat menyebabkan perubahan dalam metabolisme obat lain melalui
tindakan pada enzim hati. Efek samping meliputi mengantuk, kerusakan kognitif, dan
lekas marah.
4. Valproate
Valproate (Depakote ) telah digunakan selama lebih dari 20 tahun. Obat ini dapat
digunakan untuk spektrum luas kebutuhan antikonvulsi, termasuk kejang parsial,
14

umum tonik-klonik (grand mal) , petit mal, dan epilepsi myoclonic. Mekanisme
kerjanya dianggap berkaitan dengan pengaruh zat otak yang dikenal sebagai GABA
(asam gamma-aminobutyric). Obat ini bisa diberikan 2 sampai 3 kali per hari untuk
dosis memadai. Tingkat obat harus dipantau, serta fungsi hati, dan hitung darah. Dosis
inisial 10-15 mg/kg/hr dinaikkan 10 mg/kg/hr sampai mencapai dosis rumat 30-60
mg/kg/hr. Efek samping termasuk hepatotoksisitas (kerusakan hati), mual, berat badan,
alopecia (rambut rontok), dan tremor.
b. Golongan Lini kedua
1. Topiramate
Topiramate (Topamax ) digunakan dengan obat antikonvulsan lainnya dalam
pengobatan kejang parsial dan kejang tonik-klonik umum pada orang dewasa dan
anak-anak usia 2 sampai 16. Meskipun mekanisme kerjanya yang tepat tidak
diketahui, salah satu teori menyatakan bahwa kegiatan antikonvulsi yang mungkin
karena sebagian untuk meningkatkan GABA (asam gamma-aminobutyric), sebuah
neurotransmitter yang menghambat eksitasi sel saraf di otak. Ini tersedia dalam
bentuk oral. Dosis inisial: 1-2 mg/kg/hari dinaikkan bertahap sampai mencapai 10
mg/kg/hari, dua kali/hari . efek samping utama termasuk kantuk, mual, pusing, dan
masalah koordinasi. Anak-anak mungkin memiliki kesulitan berkonsentrasi dan bisa
menjadi agresif. Glaukoma akut dan kelainan visual, telah dilaporkan di sejumlah
kecil pasien. Jika ada gejala visual normal terjadi, pasien harus memberitahu dokter
mereka dengan segera. Ada beberapa interaksi obat antara Topamax dan obat lain
atau anticonvulsants lainnya.
2. Gabapentin
Gabapentin (gabapentin ) diindikasikan untuk pengobatan adjunctive dari kejang
parsial, dengan atau tanpa generalisasi sekunder. Meskipun secara struktural terkait
dengan substansi GABA (asam gamma-aminobutyric), tidak berinteraksi dengan
reseptor GABA di otak, dan mekanisme kerjanya tidak diketahui. Ini tersedia dalam
bentuk oral dan harus diminum tiga kali sehari. Tidak ada pemantauan laboratorium
hati, ginjal, atau hematologi (darah) fungsi yang diperlukan dengan gabapentin .
efek samping utamanya adalah kelelahan, pusing, dan ketidakseimbangan.
Gabapentin juga telah berhasil digunakan pada pasien dengan sindrom nyeri
15

neuropatik. Lamotrigin (Lamictal ) digunakan untuk pengobatan adjunctive dari


kejang parsial. Mekanisme antikejangnya tidak diketahui. Hal ini saat ini tersedia
dalam bentuk oral. Lamictal dapat diberikan dua kali sehari. Efek samping
utamanya adalah munculnya ruam kulit, terutama untuk pasien yang juga sedang
mendapa valproate (Depakote ). Setiap pasien yang mendapat Lamictal bila terjadi
ruam harus segera melaporkannya kepada dokter-nya. efek samping lainnya termasuk
sakit kepala, mual, dan pusing.
3. Tiagabine
Tiagabine (Gabitril ) yang diindikasikan untuk terapi tambahan pada orang dewasa
dengan kejang parsial. Mekanisme tindakan mungkin berkaitan dengan efek pada
substansi otak GABA (asam gamma-aminobutyric). Ini tersedia dalam bentuk oral
dan dapat diberikan dalam dosis terbagi dua hingga empat kali sehari. Beberapa
kemungkinan ada interaksi ketika Gabitril diambil dengan anticonvulsants lain, dalam
metabolismenya dapat diubah. Efek samping termasuk pusing dan perubahan tidur.
4. Leviteracetam
Keppra (levetiracetam) Keppra telah disetujui untuk digunakan pada orang dewasa
sebagai terapi tambahan untuk pengobatan gangguan kejang parsial. Efek samping
yang dapat termasuk kelelahan, ketidakseimbangan dan perubahan perilaku, yang
sering menghilang setelah bulan pertama pengobatan.
5. Oxcarbazepine
Trileptal (oxcarbazepine) diindikasikan untuk monoterapi (digunakan sendiri) pada
orang dewasa yang memiliki serangan parsial dan dapat digunakan pada anak-anak
sebagai add-on terapi untuk kejang parsial. Efek samping yang paling umum adalah
pusing, kantuk, mual, dan ketidakseimbangan.
6. Zonisamide
Zonegram (Zonisamide) telah disetujui untuk digunakan pada orang dewasa sebagai
terapi tambahan untuk kejang parsial. Obat ini telah digunakan cukup luas di negaranegara lain untuk pengobatan kejang termasuk kejang umum, kejang dan bukan
kejang myoclonic. Efek samping dapat mencakup pusing, ketidakseimbangan dan

16

kelelahan. Individu yang alergi terhadap obat sulfinamide tidak boleh menggunakan
Zonisamide karena merupakan turunan dari kelas obat ini
8.

PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsy berbeda-beda tergantung
dari cara penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan Living
stone (1954) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9% yang menjadi
epilepsi, dan golongan epilepsy yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi
epilepsy.
Hemiparesis biasannya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai
kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu
timbul spasitas.
Dari suatu penelitian terdapat 431 pasien dengan kejang demam sederhana, tidak
terdapat kelainan pada IQ.tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat
gangguan perkembangan atau kelaianan neurologis akan didapat IQ yang lebih rendah. Jika
kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan retardasi
mental akan terjadi 5 kali lebih besar.

9.

DIAGNOSIS BANDING
EPILEPSI
A. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang
muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas
muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan
berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal
dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak
yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

17

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai
berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk
berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi dapat berupa
gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik
atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku
(psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang
epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenallah bermacam-macam jenis epilepsi.
B. Etiologi
Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai
epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan
peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai
simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox
Gastaut syndrome.
Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4%
anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan
anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi
serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid)
meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron,
ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan
epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan
keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan
menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekwensi serangan
epilepsi.
C. Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal,
lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme
18

yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada
otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter
yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
o Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
o GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil kolin,
sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan
oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga
terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada
sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi
seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang
ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi
yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu :
-Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi
GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung
konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA
ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
-Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem
pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan
peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
-Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan
pelepasan abnormal impuls epileptik.

19

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian
yang saling terkait :
-Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk menimbulkan
bangkitan.
-Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
-Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan
listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus
pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan
mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi
neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang
bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia,
stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi
impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer
sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersamasama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya
eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis
yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap
berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan
glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti
tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia
otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan
aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
D. Manifestasi Klinis
20

1.

Kejang kaku bersama kejutan-kejutan ritmis dari anggota badan dan hilangnya
kesadaran untuk sementara. Penderita kadang-kadang menggigit lidahnya sendiri dan
juga dapat terjadi inkontinensia urin atau feses.

2.

Serangan yang singkat seperti pada petit mal, biasanya antara beberapa detik
sampai setengah menit dengan penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-kejang.
Gejalanya berupa keadaan termangu-mangu (pikiran kosong, kehilangan respon
sesaat), muka pucat, pembicaraan terpotong-potong atau mendadak berhenti
mendadak.

3.

Pada serangan parsial, kesadaran dapat menurun hanya untuk sebagian tanpa
diikuti hilangnya ingatan. Penderita memperlihatkan kelakuan tidak sengaja tertentu
seperti gerakan menelan atau berjalan dalam lingkaran.

E. Diagnosis
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and
wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya
serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan
tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa
terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak,
asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan
aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
F. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita epilepsi adalah :

Menghindari kerusakan sel-sel otak

Mengurangi beban sosial dan psikologi pasien maupun keluarganya.

Profilaksis / pencegahan sehingga jumlah serangan berkurang

Pemberian obat anti epilepsi selalu dimulai dengan dosis rendah dinaikkan
bertahap sampai

epilepsi terkendali. Pemutusan obat secara mendadak


21

harus dihindari terutama

untuk golongan barbiturat dan benzodiazepin

karena dapat memicu kambuhnya serangan.


Tindakan non medis yang dilakukan pada penderita epilepsi saat ini adalah
menghilangkan penyebab penyakit setelah dilakukan operasi otak serta
menjauhkan dari segala faktor penyebab (stress, alkohol dll.).

Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu :
a. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin.
Fenitoin/Phenytoin biasa dalam bentuk garamnya yaitu Phenytoin Na dengan sediaan
kapsul 50 mg dan 100 mg, serta ampul untuk suntik 100mg/2 ml.
b. Golongan Barbiturat: Fenobarbital, Primidon.
Fenobarbital atau Phenobarbital tersedia dalam bentuk garamnya untuk sediaan suntik
dengan kemasan ampul 200 mg / 2 ml. Juga ada yang dikombinasi dengan golongan
hidantoin (Diphenylhidantoin) tersedia dalam bentuk tablet.
c. Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
d. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
e. Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam
f. Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
g. Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine
Lamotrigine dapat menyebabakan ruam yang berakibat fatal sehingga menimbulkan
cacat atau kematian. Beritahu dokter anda kalau anda minum juga obat golongan asam
valproat, karena obat golongan ini dapat meningkatkan efek samping Lamotrigine.
Selain sebagai obat epilepsi juga digunakan untuk memperpanjang periode serangan
pada penderita depresi, mania dan perasaan yang abnormal lainnya pada penderita
bipolar.
h. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin)
Pregabalin digunakan untuk mengontrol serangan epilepsi. Obat epilepsi ini tidak
menyembuhkan epilepsi dan hanya akan bekerja untuk mengontrol serangan epilepsi
sepanjang minum obat epilepsi ini. Obat ini juga digunakan untuk nyeri syaraf yang
disebabkan penyakit herpes (post herpetic neuralgia) dan nyeri akibat kerusakan syaraf
karena diabetes. Pregabalin baru tersedia dalam bentuk kapsul 75 mg.
22

i. Lainnya: Fenasemid, Topiramate


Topiramate merupakan obat epilepsi baru dengan sediaan tablet 25 mg, 50 mg dan 100
mg juga dalam bentuk kapsul sprinkle 15 mg, 25 mg dan 50 mg. Diminum sebelum
atau sesudah makan dengan air segelas penuh.
Obat
Karbamazepin
Etoksimid
Gabapentin
Lamotrigin
Fenobarbital
Fenitoin
Primidon
Valproat

Jenis epilepsi
Generalisata, parsial
Petit mal
Parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Kejang infantil, petit mal

Efek samping yg mungkin terjadi


Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang
Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang
Tenang
Ruam kulit
Tenang
Pembengkakan gusi
Tenang
Penambahan berat badan, rambut rontok

Tabel. Obat epilepsi dan efek sampingnya

STROKE
A. Definisi

Stroke adalah defisit neurologis baik fokal maupun global yang terjadi secara
mendadak akibat gangguan vaskular otak, yang pola dan gejalanya berhubungan dengan
waktu.
Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang
merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar 10%
dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca stroke pada
umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.
B. Klasifikasi dan Patogenesis
Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat atau lambat,
sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat disamakan dengan
kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar
2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat
23

kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2
minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke
dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang
patofisiologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah iskemia.
Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca stroke muncul
dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh stroke
hemoragik juga terjadi pada 24 jam pertama.
Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat
menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya.
Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas
glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai

dalam bentuk stroke

eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin memiliki peranan tersendiri dalam


pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk pengobatan kejang.
Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya kejang.
Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya status
epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.
Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf.
Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Sebuah
jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat, sama seperti
siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat
epilepsi pasca trauma.
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan
kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan
lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan
keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat
dikaitkan dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik
neuroimaging yang masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang
kecil yang menyebabkan terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer
otak, paling sering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu
penyebab kejang tidak dapat diketahui.
24

Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap
lebih epileptogenik pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Pada 123 pasien terjadi
peningkatan kejadian kejang yang ditandai dengan perdarahan dalam struktur kortikal
lobar (54%), perdarahan retromamilar basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan
thalamus. Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks
diprediksi akan terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul
bersamaan dengan kejang.
Mekanisme

kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari

metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang
mengarah pada kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang
diproduksi oleh deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering
terjadi perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus
frontal dan temporal.
Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat
keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan stroke yang lebih besar atau kecacatan
pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis
cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah kortikal yang lebih
luas.
C. Manisfestasi Klinis
Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal, kejang
fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya.
- Dalam sebuah studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah
jenis yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%).
- Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan
kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder.
- Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung
kambuh rata-rata kurang dari satu tahun.
Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status
epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih besar,
status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik
25

atau

hemoragik),

topografi

(keterlibatan

kortikal),

ukuran

lesi

atau

pola

electroencephalographic (EEG).
D. Diagnosis
Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi periodik
lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik lateralizing pada
EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pasien dengan fokus paku
juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar dan temuan normal pada
perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masingmasing 20%, 10% dan 5%. Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada
hasil studi pencitraan neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG
tunggal.
Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari
iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal.
EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke
fokal.
E. Penatalaksanaan
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol
dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan
pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium.
Fosphenytoin natrium juga merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan
stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin. Benzodiazepin, khususnya
lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang
berlangsung. Tidak ada data mendukung penggunaan berbagai agen untuk mengobati
kejang onset cepat dan kejang onset lambat.
Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama untuk
pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10% dari
penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, paling sering
menggunakan lamotrigin untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien
tua dengan diagnosis epilepsi, baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih baik dan
26

untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari
carbamazepine.
Meskipun banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam,
telah diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya
sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai
monoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat
yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.
Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American Heart
Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode akut setelah
perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas
kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi
koma, meskipun tidak ada data klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan
lesi pada cerebellar dan subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang
sangat rendah untuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati.
Studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan
profilaksis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah
yang terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang perdarahan
aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin tidak pernah terjadi. Penggunaan
jangka panjang agen antiepilepsi tidak dianjurkan untuk pasien dengan perdarahan
subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetapi harus dipertimbangkan setidaknya ketika
ada satu dari beberapa faktor risiko yang muncul.

TETANUS
A. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan onset akut hypertonia, kontraksi otot
yang menyakitkan (biasanya dari otot-otot rahang dan leher), dan kejang otot umum tanpa
penyebab medis lainnya jelas. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani, merupakan
basil Gram positif anaerob. Bakteri ini nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan
27

panas, pengeringan dan desinfektan. Spora adalah di mana-mana dan ditemukan di tanah,
debu rumah, usus hewan dan kotoran manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita,
lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Tetanus dapat terjadi apabila tubuh terkena luka dan luka tersebut kemudian
terkontaminasi oleh spora dari Clostridium tetani. Luka dengan potensi oksidasi reduksi
rendah membantu perkembangan spora menjadi bentuk vegetatif dan mampu memproduksi
toksin. Toksin ini menyebabkan jaringan mati, ditambah dengan adanya benda asing
menyebabkan infeksi aktif. Clostridium tetani tidak mencetuskan peradangan. Hipotesis
bahwa toksis pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor endplate dan aksis
silinder saraf tepi dan menyebar keseluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik,
terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin
tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin
diangkut kea rah sel secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga
kadar asetilkolin sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade
pada simpul pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot
meningkat dan menimbulkan kekakuan.
Dampak Toksin
1. Dampak ganglion pre sumsum tulang tulang belakang disebabkan oleh karena
eksotoksin memblok jalur sinaps antagonis, mengubah kesimbangan dan koordinasi
impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku
2. Dampak pada otak diakibatkan oleh toksin yang menempel pada serebral gangliosodes
diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan
gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block,
atau takikardia.
B.

Klasifikasi tetanus
1. Tetanus Generalisata

28

Tetanus Generalisata merupakan bentuk paling umum dari tetanus yang ditandai dengan
kontraksi otot tetanik dan hiperrefleksi, yang mengakibatkan trismus (rahang terkunci),
spasme glotis, spasme otot umum, opistotonus, spasme respiratoris, serangan kejang dan
paralisis.
2. Tetanus Lokal
Tetanus lokal termasuk jenis tetanus yang ringan dengan kedutan (twitching) otot lokal
dan spasme kelompok otot didekat lokasi cidera, atau dapat memburuk menjadi bentuk
umum (generalisata).
3. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah
trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan
disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Dysphagia dan
paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum adalah suatu bentuk tetanus infeksius yang berat dan terjadi selama
beberapa hari pertama setelah lahir, disebabkan oleh faktor-faktor seperti tindakan
perawatan sisa tali pusat yang tidak higienis atau pada sirkulasi bayi laki-laki dan
kekurangan imunisasi maternal.

C.

Gejala dan Tanda Tetanus


Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu). Makin lama masa inkubasi, gejala yang ditimbulkan makin ringan. Karakteristik
tetanus :
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian
timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme otot masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity ).
29

6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
D. Diagnosis Tetanus
Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita
hadapi juga mempunyai arti doagnostik dan prognostik. Anamnesis pada tetanus yang
dapat membantu diantaranya:
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah

atau gigitan binatang


Apakah pernah keluar nanah dari telinga
Apakah pernah menderita gigi berlubang
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local) dengan
kejang yang pertama.

Pada pemeriksaan fisik tetanus dapat ditemukan:


-

Trismus, yaitu kekauan otot mengunyah (otot masseter) sehingga sukar membuka
mulut. Pada neonatus kekauan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan
sehingga bayi tidak dapat menyusu. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan,

lebar bukaan mulut diukur setiap hari


Risus sardonicus, terjadi sebagai akibat kekauan otot mimic, sehingga tampak dahi

mengkerut, mata agak menutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah
Opistotonus adalah kekauan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang berat dapat menyebabkan tubuh

melengkung seperti busur.


Otot dinding perut kaku seperti papan
Bila kekakuan makin berat dapat timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi
setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang
kuat. Lambat laun masa istirahat kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam
status konvulsius.

30

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat kejang yang
terus menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia
dan kematian; pengaruh toksin pada saraf autonom menyebabkan gangguan sirkulasi,
dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekauan otot
sfingter dan otot polos lain sehingga dapat terjadi retensio alvi, retensio urin, atau
spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tukang belakang.
Pemeriksaan lab :
Hasil pemeriksaan laboratorik tidak khas, likuor serebrospinal normal, jumlah leukosit
normal atau sedikit meningkat. Biakan kuman memerlukan prosedur yang khusus untuk
kuman anaerobic. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti.

E. Pengobatan

Pengobatan pada tetanus terdiri dari pengobatan umum yang terdiri dari kebutuhan cairan
dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka
atau port d entre lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan
pengobatan khusus terdiri dari pemberian antibiotic dan serum anti tetanus.
Perawatan Umum :
1. Mencakupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Padahari pertama perlu pemberian cairan secara iintravena, sekaligus memberikan obatobatan dan bila sampai hari ketiga infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.
2. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu dilakukan trakeostomi
3. Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup (masker)
4. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4
jam sesuai gejala klinis. Bila terjadi kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam rectal 5 mg untuk BB< 10 kgdan 10 mg untuk anak dengan BB> 10 kg atau
dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis
31

pasien. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk
menghilangkanspasme akut, diikuti infus kontinu 15-40 mg/kgBB/hr. setelah 5-7 hari
dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai gangguan pernafasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d entre maka diperlukan
konsultasi dengan dokter gigi/THT.
Pengobatan Khusus :

Antibiotik
Lini pertama adalah metronidazol iv/oral dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan
30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Sebagai lini kedua
dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika
terdpat hipersensitifitas terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari
untuk anak usia >8 tahun
Jika terjadi sepsis atau bronkopneumoni, diberikan antibiotic yang sesuai.

Anti Tetanus serum


Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 im dan 50.000 iv. Bila
fasilitas tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3000-6000
IU.

CEDERA KEPALA
Cedera kepala tetap merupakan penyebab tersering kejang didapat. Insidensi
bervariasi bergantung pada tipe dan keparahan cedera. Dalam kaitannya dengan patofisiologi
kejang, terdapat dua faktor penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat gaya mekanis
yang merobek prosesus dendritik, merusak kapiler dan menganggu lingkungan ekstrasel.
Cedera sekunder ditimbulkan oleh edema serebrum. Penimbunan produk metabolik toksik dan
iskemia akibat hipotensi, hipoksia, dan hiperkarbia ikut berperan menimbulkan edema
serebrum. Mekanisme patofisologik timbulnya kejang setelah trauma kepala adalah iskemia
akibat terganggunya aliran darah, efek mekanis dari jaringan parut, destruksi kontrol
inhibitorik dendrit, gangguan sawar darah-otak dan perubahan dalam sistem penyangga ion
ekstrasel.
32

Terapi profilaktik bagi pasien cedera kepala untuk kejang setelah cedera otak terus
menimbulkan kontroversi. Kejang terjadi paling sering dalam 30 sampai 90 hari pertama
setelah cedera kepala. Sebagian besar institusi mengobati secara profilaktis pasien yang
dianggap berisiko tinggi. Karakteristik pasien berisiko tinggi adalah skor Glasgow Coma
Scale kurang dari 10, adanya perdarahan intrakranium, cedera menembus dura, atau fraktur
depresi tulang tengkorak, atau kombinasinya. Fenitoin (Dilantin) adalah obat pilihan untuk
terapi profilaktik.
HIPONATREMIA
Bahan baku untuk metabolism otak adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dimana oksigen disediakan dengan peantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui system kardiovaskuler. Jadi sumber energy otak adalah glokusa yang melalui proses
oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari
permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal
membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit
dilakukan oleh ion Natrium (Na+) dan electron lainnya, kecuali ion Klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel
neuron terdapat keadaan sebaliknya. Kerana perbedaan jenis dan konsentrasi ion di salam
dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membrane dari sel
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energy dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Manifestasi klinis hiponatremia tidak khas pada periode awal saat kadar natrium
serum lebih dari 120 mEq/L. Hiponatremia adalah suatu gangguan elektrolit yang sering
terjadi pada pasien rawat inap. Pasien yang menunjukkan satu atau lebih faktor risiko, perlu
dipantau dengan seksama sehingga hiponatremia dapat cepat diketahui dan ditangain
sebelum berlanjut membahayakan jiwa pasien.
Gejala dan

tanda hiponatremia terutama mencerminkan terjadinya disfungsi

neurologis yang disebabkan oleh hipoosmolalitas. Seiring dengan menurunnya osmolalitas


serum, air memasuki sel-sel otak (seperti pada sel-sel lainnya); sehingga menyebabkan
overhidrasi intrasel dan peningkatan intrakranial. Keparahan gejala neurologis berkaitan
33

dengan kecepatan dan beratnya penurunan konsentrasi natrium serum. Pasien mungkin tidak
memperlihakan gejala hiponatremia ringan kadar Na+ serum diatas 125 mEq/L). Apabila
kadar Na+serum berkisar antara 120-125 mEq/L dapat timbul gejala-gejala dini berupa
kelelahan, anoreksia, mual, kejang otot, dan akan berlanjut menjadi kejang serta koma jika
terus terjadi penurunan kadar natrium.
Bila keadaan seperti ini (<120 mEq/L) berkembang dalam waktu kurang dari 24 jam,
maka angka mortalitas mencapai 50%. Sebaliknya, pasien dapat tetap asimtomatik jika
penurunan kadar Na+ serum tersebut terjadi secara bertahap dalam kurun waktu berhari-hari
sampai berminggu-minggu. Hiponatremia yang terjadi secara perlahan menyebabkan gejala
yang lebih ringan karena terjadi kehilangan kompensatorikzat terlarut seperti Na +, K+, dan
asam amino dari sel otak, sehingga turut mengurangi pembengkakan intraselular.
Diagnosis hiponatremia (seperti halnya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
lainnya) membutuhkan analisis berdasarkan pada hasil anamnesis, tanda dan gejala klinik,
serta pemeriksaan laboratorium. Tiga pemeriksaan laboratorium sederhana yang membantu
menegakkan diagnosis penyebab hiponatremia adalah: osmolalitas serum, osmolalitas urine,
dan Na+ urine. Kadar osmolaloitas serum akan normal atau meningkat jika penyebab
hiponatremia adalah gagal ginjal atau hiperglikemia diabetik. Kadar osmolalitas urine akan
rendah (<100 mOsm/kg atau berat jenis <1,004) bila disebabkan oleh polidpsi primer
dengan ekskresi air yang normal; dan akan tinggi (>100 mOsm/kg atau berat jenis >1,004)
untuk penyebab lain hiponatremia yang mengganggu eksresi air. Akhirnya Na + urine rendah
(<10 mEq/L) bila hiponatremia disebabkan oleh edema atau volume yang berkurang akibat
penyebab diluar ginjal; Na+ urine tinggi (>20 mEq/L) bila terjadi kelainan ginjal borosgaram atau SIADH.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Bladin

C,

Alexandrov

A,

Bellavance

A,

et

al.

Seizures

after

stroke:

prospectivemulticenter study. Arch Neurol. 2001;57:1617-1622.


2. Dewanto, George. dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2007. Jakarta : EGC.
3. Ginsberg, Lionel. Lecture Note Neurologi edisi ke-8. 2007. Jakarta : Erlangga.
4. Janz D. Epilepsia dan Obat epilepsi. 2010; 16: 159-169. http//www.medicastore.com.

35

Anda mungkin juga menyukai