Anda di halaman 1dari 14

BAB III

AUTISME
Anak autis bukan anak ajaib atau pembawa hoki (gifted child), seperti
kepercayaan sebagian orang. Jadi jangan mengharapkan keajaiban muncul darinya.
Namun, ia pun bukan bencana. Kehadirannya di tengah keluarga tidak akan
merusak keharmonisan keluarga.
Di tahun 1943 Leo Kanner menemukan 11 kasus anak yang mempunyai
kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Leo Kanner dalam tulisannya
Autistic Disturbance of Affective Contact, menyebutkan istilah autisme infantile.
Pada saat yang sama Dr. Hans Asperger menggambarkan bentuk yang lebih ringan
dari gangguan ini, yang kemudian dikenal dengan istilah Asperger syndrome. Dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR (edisi ke-empat),
kedua bentuk gangguan ini dikenal sebagai 2 dari 5 bentuk Gangguan
Perkembangan Pervasif.
Kanner

menggambarkan

anak-anak

dengan

gangguan

Autistik

menunjukkan kesepian autistik yang ekstrim, gagal untuk menerima sikap antisipasi,
perkembangan bahasa yang terlambat atau menyimpang dengan ekolalia dan
pemakaian kata sebutan yang terbalik (menggunakan kamu untuk saya),
pengulangan monoton bunyi atau ungkapan verbal, daya ingat jauh yang sangat
baik, keterbatasan rentang dalam berbagai aktivitas spontan, stereotipik dan
manerisme, keinginan yang obsesif untuk mempertahankan kesamaan dan rasa
takut akan perubahan, kontak mata yang buruk dan hubungan yang abnormal
dengan orang dan lebih menyukai gambar dan benda mati. Kanner mencurigai
sindroma tersebut lebih sering terjadi dibandingkan kelihatannya dan menyatakan
bahwa beberapa anak telah keliru diklasifikasikan sebagai retardasi mental atau
skizofrenik.
Untuk mendiagnosis gangguan autisme tidak memerlukan pemeriksaan
yang canggih, seperti brain mapping, CT-Scan,dan MRI. Pemeriksaan-pemeriksaan
itu hanya dilakukan jika ada indikasi tambahan, misalnya jika anak sering kejang,
baru dilakukan brain mapping atau EEG untuk melihat apakah mengidap epilepsi.
World Health Organization (WHO) telah merumusakan kriteria diagnosis autisme.
Rumusan ini dipakai di seluruh dunia, yang dikenal dengan ICD-10 (international

classification of disease) 1993. Rumusan diagnosis lainnya yang dapat dipakai


menjadi panduan adalah DSM-1V (diagnostic and statistical manual) 1994.
I. Definisi
Gangguan autistik atau Autism Spectrum Disorders adalah merupakan
gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan
atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan
ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang dari interaksi sosial, komunikasi
verbal dan nonverbal, dan perilaku yang terbatas dan berulang.
II. Epidemiologi
Studi epidemiologi untuk autisme pertama pada tahun 1960 oleh Victor
Lotter mendapatkan gangguan autistik terjadi dengan angka 4 sampai 5 kasus
per 10.000 anak usia 8 sampai 10 tahun, pada populasi di kota Middlesex,
London. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulan tetapi
mungkin tidak terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan
keparahan gangguan. Semakin dini diagnosis autisme dapat ditegakkan, maka
semakin cepat pula gangguan ini dapat dilakukan terapi.
Gangguan autistik ditemukan tiga sampai lima kali lebih sering pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan. Tetapi anak perempuan yang memiliki
gangguan autistik cenderung terkena lebih serius dan lebih mungkin memiliki
riwayat keluarga gangguan kognitif dibandingkan anak laki-laki.
III. Etiologi dan Patogenesis
Gangguan autistik adalah suatu gangguan perkembangan perilaku.
Walaupun gangguan autistik pertama kali dianggap berasal dari psikologis atau
psikodinamik, banyak bukti-bukti yang terkumpul mendukung adanya substrat
biologis.
Gangguan autistik dan gejala autistik berhubungan dengan kondisi yang
memiliki lesi neurologis, terutama rubella congenital, fenilketonuria (PKU),
skerosis tuberous, dan gangguan Rett. Anak autistik menunjukkan lebih banyak
tanda komplikasi perinatal dibandingkan kelompok pembanding dari anak-anak
normal dan anak-anak dengan ganguan lain.

Temuan bahwa anak autistik secara bermakna memiliki lebih banyak


anomali fisik kongenital yang ringan dibanding saudaranya dan kontrol normal
menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dalam trimester pertama adalah
bermakna. Empat sampai 32% orang autistik memiliki kejang grandmal pada
suatu saat dalam kehidupannya, dan kira-kira 20-25% orang autistik
menunjukkan pembesaran ventricular pada pemeriksaan tomografi komputer.
Berbagai kelainan elektroensefalogram (EEG) ditemukan pada 10-83% anak
autistik dan, walaupun tidak ada temuan EEG yang spesifik untuk gangguan
autistik, terdapat indikasi kegagalan lateralisasi serebral.

Dalam beberapa penelitian, antara 2-4% sanak saudara anak autistik


ditemukan terkena gangguan autistik, suatu angka yang 50% lebih besar
dibandingkan pada populasi umum. Angka kesesuaian gangguan autistik pada
2 penelitian besar terhadap anak kembar adalah 36% pada pasangan
monozigotik dibandingkan 0% pada pasangan dizigotik dan kira-kira 96% pada
pasangan monozigotik dibandingkan kira-kira 27% pada pasangan dizigotik
pada penelitian yang kedua.
Lobus temporalis telah diperkirakan sebagai bagian penting dalam otak
yang mungkin abnormal dalam gangguan autistik. Temuan lain pada gangguan
autistik adalah penurunan sel Purkinje di serebrum, kemugkinan menyebabkan
kelainan atensi, kesadaran, dan proses sensorik.
IV. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis suatu gangguan dengan gejala utama
autisme pada masa anak tidak selalu mudah karena sesungguhnya setiap anak
yang autistik mempunyai gambaran klinis yang khas, tidak semua gejala
spesifik dapat ditemukan pada anak tersebut. Evaluasi yang teliti harus
dilakukan supaya diagnosis pasti dapt ditegakkan. Pada tahun 1978 Rutter
mengusulkan suatu klasifikasi diagnostik yang menjadi landasan untuk
klasifikasi gangguan dengan gejala utama autisme pada anak selanjutnya.
Diusulkan untuk menggunakan istilah Gangguan Perkembangan pervasif
(GPP) dengan kriteria sebagai berikut:
1) Keterlambatan dan deviasi dalam hubungan sosial.

2) Gangguan komunikasi
3) Perilaku stereotipik dan mannerisme yaitu mengulang-ulang suatu
perilaku, minat, atau aktivitas.
4) Terjadi sebelum usia 36 bulan.
Karakteristik fisik
Kanner tertarik oleh kecerdasan anak autistik dan penampilan yang
menarik. Antara usia 2 dan 7 tahun, mereka juga cenderung lebih pendek
dibandingkan populasi normal.
Anak-anak gangguan autistik yang muda memiliki insidensi yang agak
lebih tinggi mengalami infeki saluran pernapasan bagian atas, bersendawa yang
berlebihan, kejang demam, konstipasi, dan gerakan usus yang kendur dibandingkan
kontrol. Banyak anak autistik bereaksi secara berbeda terhadap penyakit
dibandingkan anak-anak normal, yang mungkin mencerminkan sistem saraf otonom
yang abnormal atau imatur. Anak-anak autistik mungkin tidak mengalami
peningkatan temperatur pada penyakit infeksi, mungkin tidak mengeluh sakit secara
verbal atau dengan isyarat, dan mungkin tidak menunjukkan malaise pada anak
yang sakit.
Karakteristik perilaku
Sebenarnya anak autistik sudah menunjukkan perbedaan dengan anak
normal sejak masa bayi (satu tahun pertama), dalam aspek personal sosial yaitu
menunjukkan kontak sosial dengan orang lain dengan sangat terbatas. Misalnya,
tidak tidak tersenyum pada orang lain yang seharusnya dapat dilakukan (usia 3-6
bulan), tidak memberikan respon saat diangkat untuk digendong, tidak membutuhan
perhatian orang lain atau kurang keterikatan dengan orang lain dan menunjukkan
kebutuhan mereka dengan tangisan atau teriakan. Semua anak autistik gagal
menunjukkan keakraban yang lazimnya terhadap orang tua mereka dan orang lain.
Menghindari terjadinya kontak mata atau tidak pernah memandang orang lain
adalah temuan yang sering. Pada masa remaja akhir, orang autistik tersebut yang
paling

berkembang

seringkali

memili

keinginan

untuk

bersahabat.

Tetapi

kecanggungan pendekatan mereka dan ketidakmampuan mereka untuk berespon


terhadap minat, emosi, dan perasaan orang lain adalah hambatan yang utama
dalam mengembangkan persahabatan.
Pada umumnya anak autistik dibawa ke dokter atau menarik perhatian
dokter karena gangguan komunikasi. Gangguan komunikasi merupakan salah satu
karakteristik untuk gangguan autistik. Anak autistik bukannya enggan untuk

berbicara, tetapi mereka tidak memiliki kompetensi sosial dan komunikasinya tidak
ditandai dengan pertukaran yang responsif dan timbal balik. Defisit dan
penyimpangan yang jelas dalam perkembangan bahasa seperti keterlambatan
bahasa adalah salah satu kriteria utama untuk mendiagnosis gangguan autistik.
Mereka tidak mempunyai kompetensi sosial, dan percakapan mereka tidak ditandai
oleh saling tukar yang responsif dan timbal balik.
Aktivitas dan permainan anak autistik, jika ada, adalah kaku, berulang,
dan monoton. Fenomena ritualistik dan kompulsif adalah sering ditemukan pada
mada anak-anak awal dan pertengahan. Anak autistik seringkali memutarkan,
membanting, dam membariskan benda-benda dan menjadi terlekat menjadi yang
paling terganggu, menunjukkan berbagai kelainan gerakan. Stereotipik, manerisme,
dan seringai adalah paling sering terlihat jika anak ditinggalkan sendiri dan dapat
menurun pada situasi yang terstruktur.
Beberapa anak dengan gangguan autistik menunjukkan emosional yang
tiba-tiba, dengan ledakan tertawa atau tangisan tanpa terlihat alasan dan tidak
mengekspresikan pikiran yang sesuai dengan afek.
Anak-anak autistik mungkin responsif terhadap stimuli sensorik (sebagai
contohnya, suara dan nyeri). Mereka mungkin secara selektif mengabaikan ucapan
yang diarahkan pada dirinya,
Dan sehingga mereka sering disangka tuli. Tetapi, mereka mungkin menunjukkan
minat yang tidak lazim terhadap bunyi detik jam tangan.
Hiperkinesis adalah masalah perilaku yang sering pada anak autistik yang
muda. Agresivitas dan temper tantrum terlihat, seringkali dengan alasan yang tidak
jelas, atau disebabkan oleh perubahan atau tuntutan. Perilaku melukai diri sendiri
adalah berupa membenturkan kepala, menggigit, mencakar, dan menarik rambut.
Rentang perhatian yang pendek, ketidakmampuan sama sekali untuk memusatkan
pada pekerjaan, insomnia, masalah pemberian makanan dan makan, enuresis, dan
enkopresis juga sering ditemukan.
Fungsi intelektual
Kira-kira 40 persen anak-anak autisme infantil memiliki memiliki nilai
intelegensia (I.Q) di bawah 50 sampai 55 (retardasi mental sedang, berat, atau
sangat berat); 30 persen memiliki nilai 50 sampai kira-kira 70 (retardasi mental
ringan); dan 30 persen memiliki nilai 70 atau lebih. Penelitian epidemiologis dan

klinis menunjukkan bahwa risiko untuk gangguan autistik meningkat saat I.Q.
menurun. Kira-kira sepertiga dari semua anak autistik memiliki kecerdasan
nonverbal yang normal. Nilai I.Q. anak autistik cenderung mncerminkan masalah
dengan keterampilan verbal dan abstraksi, bukannya dengan keterampilan
visuospasial dan daya ingat jauh, yang mengesankan kepentingan defek dalam
fungsi yang berhubungan dengan bahasa.
Kemampuan kognitif atau visuomotorik yang tidak lazim atau lebih cepat
ditemukan pada beberapa anak-anak autistik. Kemungkinan contoh yang paling
jelas adalah sarjana idiot yang memiliki kemampuan daya ingat jauh dan berhitung
yang luar biasa. Kemampuan khusus mereka biasanya tetap di belakang
kemampuan-kemampuan teman sebayanya yang normal. Kemampuan terlalu cepat
lainnya pada anak autistik yang masih kecil adalah hiperleksia, suatu kemampuan
yang dini untuk membaca dengan baik (walaupun mereka tidak dapat mengerti apa
yang

dibacanya),

mengingat

dan

menceritakan,

dan

kemampuan

musikal

(menyanyikan irama atau mengenali alat-alat musik).


V. Perjalanan penyakit dan Prognosis
Gangguan autistik memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan prognosis
yang terbatas. Beberapa anak-anak autistik menderita kehilangan semua atau
beberapa kata bicara yang ada sebelumnya. Hal tersebut paling sering terjadi antara
usia 12 dan 24 bulan. Sebagai aturan umum, anak-anak autistik dengan I.Q. di atas
70 dan mereka yang menggunakan bahasa komunikatif pada usia 5 sampai 7 tahun
memiliki prognosis yang terbaik. Penelitian pada orang dewasa menunjukkan bahwa
kira-kira duapertiga orang dewasa autistik tetap mengalami kecacatan parah dan
hidup dalam ketergantungan, baik dengan sanak saudara atau dengan institusi
jangka panjang. Prognosis membaik jika lingkungan atau rumah adalah suportif dan
mampu memenuhi kebutuhan anak tersebut yang sangat banyak.
VI. Terapi
Tujuan

terapi

adalah

menurunkan

gejala

perilaku

dan

membantu

perkembangan fungsi yang terlambat, rudimenter, atau tidak ada, seperti


keterampilan bahasa dan merawat diri sendiri. Di samping itu, orang tua, yang sering
kecewa, memerlukan bantuan dan konseling.

Psikoterapi individual berorientasi tilikan telah terbukti tidak efektif. Metoda


penelitian dan perilaku sekarang dianggap perilaku yang terpilih.
Walaupun tidak ada obat yang ditemukan spesifik untuk gangguan autistik,
untuk psikofarmakoterapi adalah tambahan yang berguna bagi program terapi
menyeluruh. Pemberian haloperidol (Haldol) menurunkan gejala perilaku dan
memepercepat belajar. Obat menurunkan hiperaktivitas, stereotipik, menarik diri,
kegelisahan, hubungan objek abnormal, iritabilitas, dan afek yang labil. Bukti-bukti
pendukung menyatakan bahwa, jika digunakan dengan bijaksana, haloperidol tetap
merupakan obat efektif jangka panjang. Walaupun tardive dyskinesia dan diskinesia
putus dapat terjadi pada terapi haloperidol pada anak autistik, bukti-bukti
menyatakan bahwa diskinesia tersebut dapat menghilang jika haloperidol dihentikan.
Fenfluramin (pondimin), yang menurunkan kadar serotonin darah, adalah efektif
pada beberapa anak autistik. Perbaikan tampaknya tidak berhubungan dengan
penurunan kadar serotonin. Naltrexone (Trexan), suatu antogonis opiat, sekarang
sedang diteliti dengan harapan bahwa penghambatan opioid endogen akan
menurunkan gejala autistik. Lithium (Eskalith) dapat dicoba untuk perilaku agresif
atau melukai diri sendiri jika medikasi lain gagal.
Gangguan di otak tidak tidak dapat disembuhkan. Its curable but treatable
(tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi), dengan terapi dini, terpadu,
dan intensif. Gejala-gejala autime dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga
anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat,
berkarya, bahkan membina keluarga. Hal ini dikarenakan intervensi dini membuat
sel otak baru tumbuh, menutup sel-sel lama yang rusak.
Jika anak autis tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa
maka gejala autis tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa maka
gejala autis bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Melalui
beberapa terapi, anak autis akan mengalami kemajuan seperti anak normal lainnya.
Berbagai jenis terapi bagi anak autisme, antara lain terapi perilaku, terapi
okupasi, terapi wicara, terapi biomedis, terapi medikamentosa, dan pendidikan
khusus. Sebaiknya, sebelum terapi setiap anak mendapat evaluasi lengkap dari
dokter dan terapis, dengan kurikulum individual berdasarkan kebutuhan dan
kemampuan anak dalam setiap bidang.

Berikut ini beberapa jenis terapi bagi anak autis:


1. Terapi medikamentosa
Terapi

ini

dilakukan

dengan

obat-obatan

yang

bertujuan

memperbaiki

komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan


perilaku aneh serta diulang-ulang. Dalam kasus ini gangguan terjadi di otak
sehingga obat-obatan yang dipakai adalah yang bekerja di otak.
2. Terapi biomedis
Terapi ini bertujuan memperbaiki metabolisme tubuh melalui diet dn pemberian
suplemen. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya gangguan pencernaan,
alergi, daya tahan tubuh rentan, dan keracunan logam berat. Berbagai gangguan
fungsi tubuh ini akhirnya mempengaruhi fungsi otak.
3. Terapi wicara
umumnya, terapi ini menjadi keharusan bagi anak autis karena mereka
mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
4. Terapi perilaku
Terapi ini bertujuan agar anak autis dapat mengurangi perilaku tidak wajar dan
menggantinya dengan perilaku yang bisa diterima di masyarakat.
5. Terapi okupasi
Terapi ini bertujuan untuk membantu anak autis yang mempunyai perkembangan
motorik kurang baik, antara lain gerak-geriknya kasar dan kurang luwes. Terapi
okupasi akan menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan keterampilan otot halus
anak.
Selain itu, anak autis juga membutuhkan pendidikan khusus, yaitu pendidikan
individual terstruktur yang diterapkan dengan sistem satu guru-satu anak.sistem ini
paling efektif karena tidak mungkin anak autis memusatkan perhatian dalam satu
kelas besar.
Klasifikasi autisme
Autisme diklasifikasikan menjadi 3:

1. Autisme Persepsi
2. Autisme Reaksi
3. Autisme yang ditimbulkan kemudian
1. Autisme Persepsi
Autisme persepsi dianggap autisme asli dan disebut juga autisme internal
(endogenous) karena kelainan sudah timbbul sebelum lahir. Gejala yang dapat
diamati, antara lain:

Rangsangan dari luar baik yang kecil maupun yang kuat, akan
menimbulkan kecemasan. Tubuh akan mengadakan mekanisme dan
reaksi pertahanan hingga terlihat timbul pengembangan masalah.

Banyaknya pengaruh rangsangan dari orang tua, tidak bisa ditentukan.


Orang tua tidak ingin peduli terhadap kebingungan dan kesengsaraan
anaknya.

Kebingungan

anaknya

perlahan

berubah

menjadi

kekecewaan. Lama-kelamaan rangsangan ditolak atau anak bersikap


masa bodoh.

Pada kondisi begini, baru orang tua mulai peduli atas kelainan
anaknya, sambil terus menciptakan rangsangan-rangsangan yang
memperberat

kebingungan

anaknya,

mulai

berusaha

mencari

pertolongan.

Pada saat begini, si bapak malah sering menyalahkan si ibu kurang


memiliki kepekaan naluri keibuan. Si bapak tidak menyadari hal
tersebut malah memperberat kebingungan si anak dan memperbesar
kekhilafan yang telah diperbuat.

Kiranya keluarga menyadari bahwa autisme dan beberapa kelainan terjadi


akibat

pengaruh

dalam

keluarga

disertai

pengaruh

lingkungan.

Ketidakmampuan anak berbahasa, termasuk pada penyimpangan reaksi


terhadap rangsangan luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerja sama
dengan orang sekitarnya.
Anak yang terlalu peka atau sangat kurang peka terhadap rangsang dan
pengaruh luar, pada tahap awal sulit didiagnosa, tidak seperti memeriksa rasa

penciuman, atau rasa sedap makanan, atau kepekaan rangsang raba. Hanya
bisa dilakukan dengan pengawasan dan pengamatan yang ketat.
Yang menjadi pertanyaan: Apakah penerimaan anak terhadap rangsangan
luar ini sama pada semua anak? Apakah penerimaan rangsang ini bisa
diubah dengan obat-obatan? Jawaban untuk pertanyaan pertama adalah
banyak ahli berpendapat, secara garis besar, reaksi anak terhadap rangsang
dari luar boleh dikatakan sama. Jawaban untuk pertanyaan kedua adalah
memang tidak ada kelainan yang mutlak bisa sembuh/hilang dengan obatobatan. Tetapi paling tidak, pemberian obat-obatan bisa mengurangi beratnya
kelainan.
Salah satu contoh penderita autisme jenis persepsi yang diobati bernama
Georgina Stehli. Dia sudah didiagnosa pada usia 3 tahun dan sudah dibawa
berobat ke mana saja dengan hasil yang kurang memuaskan. Pada usia 11
tahun

ikut

progam pengobatan

di

Berard-Auditory untuk mengatasi

kekurangpekaan pendengarannya terhadap bunyi tertentu. Setelah program


program pengobatan auditory therapy tersebut, hasilnya sangat memuaskan,
dia

mulai

belajar

hidup

dengan

kelemahannya,

mulai

mengatasi

kekurangannya sehingga mekanisme pertahannya tidak dipergunakannya


lagi. Perlahan-lahan dia mulai bergaul dengan teman sebayanya, bercakapcakap normal, dan mulai belajar padahl sudah bertahun-tahun seperti
terisolasi dari lingkungan teman belajarnya. Pada umur 20-an, berhasil
meraih sarjana dalam urusan sejarah kesenian, kemudian menikah dan
berbaur dengan kehidupan normal.
2. Autisme reaktif
Pada autisme reaktif, penderita membuat gerakan-gerakan tertentu berulangulang dan kadang-kadang disertai kejang-kejang. Gejala yang dapat diamati,
antara lain:

Autisme ini biasa mulai terlihat pada anak usia lebih besar (6-7 tahun)
sebelum anak memasuki tahap logis. Namun demikian, bisa saja
terjadi sejak usia minggu-minggu pertama.

Mampunyai sifat rapuh, mudah terkena pengaruh luar yang timbul


setelah lahir, baik Karen trauma fisik atau psikis, tetapi bukan
disebabkan karena kehilangan ibu.

Setiap kondisi, bisa saja merupakan trauma pada anak yang berjiwa
rapuh ini, sehingga mempengaruhi perkembangan normal kemudian
harinya.

Beberapa keterangan yang perlu diketahui yang mungkin merupakan faktor resiko
pada kejadian autisme reaktif ini:
a. Anak yang terkena autis reaktif menghadapi kecemasan yang
berat pada masa kanak-kanak, memberikan reaksi terhadap
pengalamannya yang menimbulkan trauma psikis tersebut.
b. Trauma kecemasan ini terjadi sebelum anak berada pada
penyimpanan memory di awal kehidupannya tetapi proses
sosialisasi dengan sekitarnya akan terganggu.
c. Trauma kecemasan yang terjadi setelah masa penyimpanan
memori akan berpengaruh pada anak usia 2-3 tahun. Karena
itu, meskipun anak masih memperlihatkan emosi yang normal
tetapi kemampuan berbicara dan berbahasanya sudah mulai
terganggu. Ini yang membuat orang tua si anak menjadi
khawatir.
Sebab-sebab timbulnya autisme reaktif:

Trauma yang menyebabkan kecemasan anak, setelah beberapa


waktu yang cukup lama akan menyisakan kelainan, antara lain, tidak
bisa membaca (dysleksia), tidak bisa bicara (aphasia), serta berbagai
masalah yang mengahancurkan si anak yang menjelma dalam bentuk
autisme. Kadang-kadang trauma yang mencemaskan si anak atau
menimbulkan gejala sensoris lain yang terlihat sebagai autisme
persepsi.

Autisme yang hiperaktif, menurut para ahli mungkin berkaitan dengan


alergi terhadap makanan atau kelainan metabolisme. Karena itu
diperkirakan kedua hal tersebut merupakan trauma bagi anak yang
masih peka. Salah satu kasus jenis autisme ini bernama Jeremi,

seorang anak yang hiperaktif dan sejak kecil senang memperhatikan


roda yang sedang berputar. Informasi yang singkat tersebut sulit
dibuktikan secara pasti bagaimana masalah yang menimbulkan
trauma bisa timbul. Anak yang terlambat bicara juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor di lingkungan kehidupan si anak.
3. Autisme yang timbul kemudian
Kalau kelainan dikenal setelah anak agak besar tentu akan sulit
memberikan pelatihan dan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang
sudah melekat, ditambah beberapa pengalaman baru dan mungkin
diperberat dengan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah lahir.
Peran Orangtua Bagi Anak Autis
Banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orangtua anak autis. Pertama,
memastikan diagnosis, sekaligus mengetahui ada-tidaknya gangguan lain pada
anak untuk ikut diobati. Pilihlah dokter yang kompeten. Umumnya, adalah dokter
anak yang menangani autisme, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi medik.
Idealnya, orangtua harus membina komunikasi dengan dokter. Hal ini
dikarenakan kerjasama orangtua dengan dokter, keterbukaan orangtua tentang
kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka pengobatan atau treatment yang
disarankan akan mempengaruhi kemajuan anaknya dan merupakan syarat mutlak.
Komunikasi yang baik antara dokter dengan orangtua terlihat dari
kemampuan orangtua memeperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada
saat berobat bukan hanya datang, anak diperiksa, diberi resep obat, lalu pulang.
Jika itu yang terjadi maka waktu dan biaya yang dikeluarkan akan sia-sia.

Carilah dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orangtua
menganggap dokter kurang koperatif atau tidak memberikan konsultasi memadai.
Jangan fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya seorang dokter benar
secara mutlak. Jika kondisi ini terjadi, bukan tidak mungkin orangtua akan buta pada
apa yang akan terjadi pada anaknya.
Hal yang tidak kalah penting adalah jangan bohongi dokter saat konsultasi,
mislnya menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami anak. Kejujuran orangtua

dalam menceritakan kondisi keseharian anak akan sangat membantu dokter


mengevaluasi kondisi anak yang dapat mempengaruhi kemajuan anak.
Orangtua juga harus memperkaya pengetahuannya mengenai autisme,
terutama pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Hal ini
sangat penting karena fasilitas terapi di Indonesiamasih sangat terbatas dan ahlinya
pun masih masih langka. Selain itu, orangtua juga perlu menguasai terapi karena
orangtua selalu bersama anak, sedangkan pengajar atau terapis hanya sesaat dan
saling bergantian. Berdasarkan pengalaman beberapa ahli autisme di Jakarta,
orangtua yang ikut melaksanakan terapi secara intensif terhadap anaknya, akan
memperoleh hasil memuaskan, anak menunjukkan kemajuan sangat pesat.
Sebelum terapi dimulai, perlu diinformasikan bahwa orangtua juga terlibat dan tidak
ada terapi yang dilakukan tanpa persetujuan orangtua. Untuk mengoptimalkan
terapi, perlu adanya kerjasama orangtua dan pertemuan berkala antara orangtua
dengan terapis untuk mengevaluasi program maupun terapi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

1. American

Pschiatrics

Association.

Diagnostic

Criteria

from

DSM-IV-TR,

Washington DC, 2000


2. Andreasen, Nancy C., Donald W Black. Introductory Text Book of Psychiatry, 3 rd
Ed, Arlington, American Psychiatric Publishing, Inc, 2001
3. Danuatmaja B. Terapi Anak Autis di Rumah, Jakarta, Puspa Suara, 2003
4. Departemen Kesehatan R.I. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III
5. Faisal, Yatim. Autisme Suatu Gangguan Jiwa pada Anak-anak, Jakarta, Pustaka
Populer Obor, 2003
6. Kaplan, Harold I., Benjamin J. Sadock. Comprehensive Text Book of Psychiatry,
vol 2, 7th Ed, Philadelphia, Williams&Wilkins, 1994
7. Lumbantobing, SM. Anak dengan mental terbelakang.1 st ed. Jakarta ;

Balai

penerbit FKUI , 2001.


8. M Rutter, L Hersof. Child and Adolescent Psychiatry. Modern Approaches, 2 nd Ed,
Oxford, 1985

9. PPDGJ 3. Gangguan Perkembangan Pervasif. Autisme Masa Kanak, Jakarta,


1993
10. Rahajeng E , Beberapa Faktor Persalinan yang Mempengaruhi Retardasi Mental
Akibat Tindakan Obstetrik, MKI Agustus 1990 ; V ol 40.
11. Sidiarto, Lily ; Lazuardi S . Retardasi Mental . MKI, 30 Juni 1987 ; Vol 37
12. Sularyo, TS; Kadim M . Retardasi Mental , Sari Pediatri 2000 ; Vol 2.
13. W. Edith. Majalah Psikiatri Indonesia, Jakarta, Yayasan Kesehatan Jiwa
Darmawangsa, 200

Anda mungkin juga menyukai