Anda di halaman 1dari 6

RHINOSINUSITIS KRONIS

DEFINISI
Rhinosinusitis merupakan peradangan pada mukosa kavum nasi dan sinus paranasal.
Terminologi rhinosinusitis digunakan karena sinusitis hampir selalu diikuti inflamasi dari
mukosa nasal.
FISIOLOGI DASAR
Kavum nasi berperan dalam menghangatkan dan melembabkan udara yang
terinhalasi. Terdapat beberapa variasi dari teori mengenai fungsi dari sinus paranasal,
fungsinya antara lain (1) sebagai ruang resonasi suara, (2) proteksi terhadap otak dan orbital
dari trauma, (3) melmbabkan udara, dan (4) meringankan berat tulang fasial.
Mukosa sinonasal dilapisi oleh epitel pseudostratifikatum kolumnar bersilua.
Epithelium respiratorius terdiri dari sel-sel bersilia (75%), sel goblet (20%), dan sel basal
(5%). Terdapat kurang lebih 50-200 silia pada permukaan apikal dari sel-sel epitel. Pada
kondisi normal, mucus pada hidung atau sinus dibersihkan dalam 10 menit. Frekuensi silia
bervariasi terhadap bahan kimia, mekanik, suhu, perubahan pH, dan stimulus hormon.
Kerusakan pada pembersihan mukosilia menyebabkan stasis mukus, di mana di bawah
kondisi tertentu dapat mendukung pertumbuhan bakteri dan infeksi.
Mukus yang disekresikan sel goblet terdiri dari air, glikoprotein, immunoglobulin,
leukosit, garam, dan neurotransmitter. Mukus terdiri dari 2 lapis: gel phase pada superfisial
dan sol phase pada bagian dalam. Patogen aerosol dan partikel yang lebih besar dari 0,5-1 m
akan terperangkap pada gel layer dan akan terbawa ke posterior pada nasofaring dan
orofaring untuk ditelan. Di dalam sinus, mukus ditransportasikan ke ostium nasi. Mukus juga
berperan dalam proses olfaksi. Olfaktans harus dilarutkan terlebih dahulu pada mukosa nasal
sebelum terjadi respon olfaksi.

Gambar 1. Anatomi hidung dan sinus paranasal


ETIOLOGI
Pada dasarnya etiologi rhinosinusitis akut dan kronis berbeda secara mendalam. Pada
rhinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai penyebab
utama. Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rhinosinusitis kronik bersifat
multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui. Rhinosinusitis kronik merupakan sindrom
yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam
mengkategorikan etiologi rhinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang
dihubungkan dengan kejadian rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu ciliary impairment,
alergi, asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H. Pylori, dan
refluks laringofaringeal.
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rhinosinusitis kronuk merupakan
hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor, yaitu faktor sistemik,
faktor lokal, dan faktor lingkungan.
Genetic/Physiologic Factors
Airway hyperreactivity
Immunodeficiency
Aspirin sensitivity
Cilliary dysfuction
Cystic fibrosis
Autoimmune disease
Granulomatous disorders

Environmental Factors
Allergy
Smoking
Irritans/pollution
Viruses
Baceria
Fungi
Stress

Structural Factors
Septal deviation
Concha bullosa
Paradoxic middle turbinate
Haller cells
Frontal cells
Scarring
Bone inflammatio
Craniofacial anomalies

Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
Tabel 1. Faktor etiologi rhinosinusitis kronis

PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang nomal, baik dari
segi viskositas, volume dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah
stasis mukus dan kemungkinan infeksi, serta patensi kompleks ostiomeatal untuk
mempertahankan drainase dan aerasi.
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus
anterior (frontalis, ethmoid anterior, dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport
mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah
pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang
sangat berperan bagi terjadinya rhinosinusitis kronik. Namun demikian, kedua faktor yang
lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rhinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau
lebih faktor di atas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya
kaskade yang berkembang menjadi rhinosinusiitis kronik dengan perubahan patologis pada
mukosa sinus dan juga mukosa nasal.

Gambar 2. Siklus patologis rhinosinusitis kronik

DIAGNOSIS
Pada 2007, guideline klinis dikembangkan untuk meningkatkan dan memperbarui
penegakan diagnosis rhinosinusitis. Rhinosinusitis kronik didefinisikan berdasarkan 2 atau
lebih keluhan berikut yang berlangsung 12 minggu atau lebih:
-

Sekret mukopurulen (anterior, posterior, atau keduanya)


Obstruksi nasal (kongesti)
Nyeri wajah / nyeri tekan, nyeri kepala
Penurunan kemampuan penciuman

Serta inflamasi yang dapat dilihat dari tanda berikut:


-

Mukus purulen atau edema pada meatus media atau regio ethmoid
Polip pada kavum nasi atau meatus media
Pencitraan radiologi yang menunjukkan inflamasi dari sinus paranasal

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rhinoskopi anterior dan posterior.


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi
nasal, pencitraan (foto polos sinus, transluinasi, CT-Scan, dan MRI), pemeriksaan fungsi
mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman, dan pemeriksaan laboratorium.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua, yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rhinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedhan mungkin menjadi pilihan yang
lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi, infeksi, dan
kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik,
yaitu berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan
menjadi rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang
dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga
hidung.
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain:

1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik mengingat


terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika
spektrum luas, antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Fluorokuinolon: ciprofloksasin
d. Makrolid: eritromisin, klaritromisisn, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori, dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
a. Kortikosteroid topikal: beklometason, flutikason, mometason
b. Kortiosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik dengan
polip nasi dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya, meliputi:
a. Dekongestan oral atau topikal, yaitu golongan agonis -adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan
dan nutrisi yang cukup
Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralata yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi.
Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip
ialah:
1. Sinus maksila
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus ethmoid
a. Ethmoidektomi intranasal, eksternal, dan transantral
3. Sinus frontal
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (Functional Endoscopuc Sinus Surgery) dipublikasika
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis akut rekuren atau kronik
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal

pertama kali oleh

d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.

Mikosis sinus paranasal


Benda asing
Osteoma kecil
Tumor (terutama jinak, atau pada bebeaoa tumor ganas)
Dekompresi orbita / n. Opticus
Fistula likuor serebrospinalis dan meningoensefalokel
Atresia koanae
Dakriosistorinotomi
Kontrol epistaksis
Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

DAFTAR PUSTAKA
1. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 3rd ed. United State: McGraw Hill, 2012; 291-301.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypid rhinosinusitis: Classification, Diagnosis and
Treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins, 2006;
406-416.
3. Clerico DM. Medical Treatment of Chronic Sinus Disease. In Kennedy DW, Bolger
WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of The Sinuses Diagnosis and Management.
Hamilton: BC Decker Inc, 2001; 155-165.
4. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
5. Hamilos DL. Chronic Sinusitis. Current Reviews of Allergy and Clinical
Immunology, 2000; 106: 213-226.
6. Siswantoro. Tatalaksana Bedah pada Rinosinusitis. In Mulyarjo< Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskap Lengkap Perkembangan Terkini
Diagnosis dan Penatalaksanaan Rhinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL. Univ.
Airlangga, 2004; 67-74.

Anda mungkin juga menyukai