Anda di halaman 1dari 15

38

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN
1. Gambaran umum RSI Kendal
Rumah Sakit Islam Kendal terletak di Jl Ar Rahmah 17-A Weleri. Tanggal
15 Januari 1996 berdiri dibawah yayasan Muhammadiyah Kabupaten
Kendal. Rumah Sakit Islam merupakan rumah sakit yang berada di
Kabupaten Kendal, yang terdiri dari ruang kelas VIP, kelas I, kelas II dan
kelas 3 serta juga menerima pasien dengan BPJS. Batas wilayah Rumah
Sakit Islam Kendal sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Batang,
sebelah selatan berbatasan dengan desa Sumberagung, sebalah utara
berbatasan dengan desa Jenar sari dan sebelah timur berbatasan dengan
desa Caruban.
Sampel dalam penelitian ini mengguankan total sampling yaitu mengambil
seluruh anggota populasi di masing-masing kelompok yang menjadi
kriteria sampel untuk menjadi sampel dalam penelitian. Sampel dalam
penelitian ini sebanyak 55 tindakan pemasangan infus dan responden yang
dipasang infus dan peneliti mendapatkan semua sampel yang diinginkan
sehingga tidak ada kriteria eksklusi.
Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal 12 Maret s.d 29 Maret 2014,
setiap hari peniliti mendapatkan sampel 3-4 responden yang melakukan
pemasangan infus dan responden yang dilakukan pemasangan infus,
peneliti melakukan observasi pada responden yang terpasang infus diruang
perawatan mulai dari ruang UGD, ruang Ali, ruang Fatimah, ruang
Luqman dan ruang VIP A.

Data ini berdasar dari rekapitulasi data demografi responden yang meliputi
jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan dari pasien yang telah dilakukan

38

39

tindakan pemasangan infus oleh perawat di RSI Kendal pada tanggal 12


Maret 29 Maret 2014.

2. Karakteristik responden yang melakukan pemasangan infus


a. Jenis kelamin yang melakukan pemasangan infus
Tabel 4.1. Distribusi frekuensi jenis kelamin yang melakukan
pemasangan infus di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total

Frekuensi
12
43
55

Persentase
21,8
78,2
100,0

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar yang melakukan


pemasangan infus berjenis kelamin perempuan sebanyak 43 tindakan
(78,2%) dan responden terkecil yang melakukan pemasangan infus
dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 12 tindakan (21,8%).

b. Umur yang melakukan pemasangan infus


Tabel 4.2. Distribusi frekuensi umur yang melakukan pemasangan
infus di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Mean

Median

27,11

25,00

Nilai
minimum
22

Nilai
maksimum
37

Standar
deviasi
4,246

Tabel 4.2 menunjukkan umur rata-rata yang melakukan pemasangan


infus 27,11, nilai tengah 25,00, umur responden ninimum 22 dan
maksimum 37 dan standar deviasi yang melakukan pemasangan infus
4,246.

40

c. Pendidikan yang melakukan pemasangan infus


Tabel 4.3. Distribusi frekuensi pendidikan yang melakukan
pemasangan infus di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Pendidikan
D3
S1 ners
Total

Frekuensi
53
2
55

Persentase
96,4
3,6
100,0

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar yang melakukan


pemasangan infus berpendidikan D3 keperawatan sebanyak 53 tindakan
(96,4%) dan yang melakukan pemasangan infus berpendidikan S1 ners
sebanyak 2 tindakan (3,6%).

d. Masa kerja yang melakukan pemasangan infus


Tabel 4.4. Distribusi frekuensi masa kerja yang melakukan
pemasangan infus di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Mean

Median

4,55

4,00

Nilai
minimum
2

Nilai
maksimum
12

Standar
deviasi
2,672

Tabel 4.4 menunjukkan masa kerja rata-rata yang melakukan


pemasangan infus 4,55, nilai tengah 4,00, nilai minimum 2 dan nilai
maksimum 12 dan standar devisiasi yang melakukan pemasangan
infuse 2,672.

41

3. Karakteristik responden (pasien)


a. Jenis kelamin responden
Tabel 4.5. Distribusi frekuensi jenis kelamin responden
di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Jenis kelamin responden
Laki-laki
Perempuan
Total

Frekuensi
26
29
55

Persentase
47,3
52,7
100,0

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis


kelamin perempuan sebanyak 29 orang (52,7%) dan responden yang
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 26 orang (47,3%).

b. Umur responden
Tabel 4.6. Distribusi frekuensi umur responden
di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Mean

Median

28,47

32,00

Nilai
minimum
3

Nilai
maksimum
60

Standar
deviasi
20,028

Tabel 4.6 menunjukkan masa kerja rata-rata yang melakukan


pemasangan infus 28,47, nilai tengah 32,00, nilai minimum 3 dan nilai
maksimum 60 dan standar devisiasi yang melakukan pemasangan
infuse 20,028

42

c. Pendidikan responden
Tabel 4.7. Distribusi frekuensi pendidikan responden
di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Pendidikan responden
TK
SD
SMP
SMA
Total

Frekuensi
17
2
33
3
55

Persentase
30,9
3,6
60,0
5,5
100,0

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan


SMP sebanyak 33 orang (60,0%) dan responden berpendidikan SD
sebanyak 2 orang (3,6%).

4. Analisis univariat
a. Kepatuhan tindakan pemasangan infus
Tabel 4.8. Distribusi frekuensi kepatuhan tindakan pemasangan
infus pemasangan infus di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Kepatuhan
Tidak patuh
Patuh
Total

Frekuensi
19
36
55

Persentase
34,5
65,5
100,0

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa sebagian besar responden patuh dalam


melaksakan SOP pemasangan infus sebanyak 36 orang (65,4%) dan
responden terkecil tidak patuh dalam melaksakan SOP pemasangan
infus sebanyak 19 orang (34,5%).

43

b. Kejadian phlebitis
Tabel 4.9. Distribusi frekuensi kejadian phlebitis
di RSI Kendal, 2014 (n=55)
Kejadian phlebitis
Phlebitis
Tidak phlebitis
Total

Frekuensi
16
39
55

Persentase
29,1
70,9
100,0

Tabel 4.9 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak


mengalami phlebitis sebanyak 39 orang (70,9%) dan responden terkecil
mengalami phlebitis sebanyak 16 orang (29,1%).

5. Analisis Bivariat
Hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP
pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam Kendal
Tabel 4.7 Hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan
SOP pemasangan infus dengan kejadian phlebitis
di RSI Kendal, Maret 2014 (n=55)

Kepatuhan
perawat
Tidak patuh
Patuh
Total

Kejadian phlebitis

Total

Tidak phlebitis
Frekuensi (%)
5 (9,1)
34 (61,8)

Phlebitis
Frekuensi (%)
14 (25,5)
2 (3,6)

19 (34,5)
36 (65,5)

39 (70,9)

16 (29,1)

55 (100)

P
value

0,000

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden yang tidak patuh dalam


melaksanakan SOP pemasangan infus dengan kejadian phlebitis sebanyak
14 orang (25,5%) dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 5 (9,1%) sedangkan
responden yang patuh dalam melaksanakan SOP pemasangan infus dengan

44

kejadian phlebitis sebanyak 2 (3,6%) dan tidak terjadi phlebitis sebanyak


34 (61,8%)
Hasil statistik menggunakan Chi-square didapatkan nilai p value 0,000 (p<
0,05) menunjukkan ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam
melaksanakan SOP pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah
Sakit Islam Kendal.

B. PEMBAHASAN
1.

Kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP pemasangan infus


Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden patuh
dalam melaksakan SOP pemasangan infus sebanyak 36 orang dan
responden terkecil tidak patuh dalam melaksakan SOP pemasangan infus
sebanyak 19 orang. Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam
melaksanakan suatu aturan dalam dan perilaku yang disarankan (Bart,
2004) kepatuhan tersebut jika perawat menuruti suatu perintah atau suatu
aturan dalam pemasangan infus.
Pemasangan infus yaitu tindakan yang dilakukan pada pasien yang
memerlukan masukan cairan atau obat, langsung ke dalam pembuluh darah
vena, dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set
(Potter, 2005). Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan
merupakan tindakan yang sering dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini
tinggi resiko terjadinya infeksi yang akan menambah tingginya biaya
perawatan dan waktu perawatan. Tindakan pemasangan infus akan
berkualitas apabila dalam pelaksanaannya selalu mengacu pada standar
yang telah ditetapkan oleh rumah sakit (Priharjo, 2008).

45

Perawat profesional yang bertugas dalam memberikan pelayanan


kesehatan tidak terlepas dari kepatuhan perilaku perawat dalam setiap
tindakan prosedural yang bersifat invasif seperti halnya pemasangan infus.
Pemasangan infus dilakukan oleh setiap perawat. Semua perawat dituntut
memiliki kemampuan dan keterampilan mengenai pemasangan infus yang
sesuai standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditentukan rumah
sakit.
Perawat yang patuh dalam melaksanakan SOP pemasangan infus
diantaranya peralatan yang dibawa saat pemasangan infus sudah sesuai,
perawat melaksanakan prosedur sesuai dengan tahap pra interaksi, tahap
orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi. Perawat yang patuh dalam
pemasangan infus tersebut diharapkan tidak membuat pasien trauma dalam
pemasangan infus.
Hasil penelitian didapatkan responden patuh dalam prosedur pemasangan
infus sesuai dengan SOP di Rumah Sakit Islam Kendal meliputi perawat
melakukan teknik cuci tangan yang baik, mengatur tetesan infus dengan
benar sesuai kebutuhan pasien, melakukanb fiksasi dengan benar serta
melakukan pemasangan dengan teknik aseptik dan teknik pemasangan
intravena kateter yang baik.
Hasil observasi tindakan pemasangan infus yang dilakukan di RSI Kendal
ada yang tidak patuh dalam melaksanakan SOP pemasangan infus
diantaranya saat pemasangan infus banyak yang tidak menggunakan perlak
dan responden tidak diberikan disinfektan pada area tusukan hanya
langsung diplaster saja.

Hasil penelitian didapatkan ada perawat yang tidak patuh dalam


melaksanakan SOP pemasangan infus hal ini dikarenakan perawat
beranggapan jika sesuai SOP membutuhkan waktu yang lama, perawat
tergesa-gesa saat pemasangn infus serta banyaknya pasien yang membuat

46

perawat tidak patuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Andares (2009), menunjukkan bahwa perawat kurang memperhatikan
kesterilan luka pada pemasangan infus. Perawat biasanya langsung
memasang infus tanpa memperhatikan tersedianya bahan-bahan yang
diperlukan dalam prosedur tindakan tersebut, tidak tersedia handscoen,
kain kasa steril, alkohol, pemakaian yang berulang pada selang infus yang
tidak steril.
Hasil penelitian Mulyani (2011), yang melakukan penelitian dengan judul
Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan
Infus Pada Pasien Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS PKU
Muhammadiyah Gombong menunjukan perawat cenderung tidak patuh
pada persiapan alat dan prosedur pemasangan infus yang prinsip. Hasil
penelitian terhadap 12 perawat pelaksana yang melakukan pemasangan
infus, perawat yang tidak patuh sebanyak 12 orang atau 100% dan yang
patuh sebanyak 0 atau 0%.
Hasil penelitian Pasaribu (2008), yang melakukan analisa pelaksanaan
pemasangan infus di ruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan
menunjukan bahwa pelaksanaan pemasangan infus yang sesuai Standar
Operasional Prosedur katagori baik 27 %, sedang 40 % dan buruk 33 %.
Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang bersangkutan
untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam
melaksanakan SOP pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu
sendiri. Perilaku kepatuhan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
yang mempengaruhi kepatuhan dapat dikategorikan menjadi faktor
intrernal yaitu karakterisitk perawat itu sendiri (umur, jenis kelamin,
agama, pendidikan, status perkawinan, kepribadian, sikap, kemampuan,
persepsi dan motivasi) dan faktor eksternal (karakteristik organisasi,
karakteristik

kelompok,

karakteristik

lingkungan) (Andareas, 2009).

pekerjaan,

dan

karakteristik

47

Penelitian ini menunjukkan tingkat kepatuhan perawat yang baik, hal ini
dikarenakan perawat di RSI Kendal sudah tahu adanya SOP pemasangan
infus, perawat mengikuti pelatihan inhouse trening dan saat saat perekutan
karyawan diadakan tes skill tindakan keperawatan termasuk pemasangan
infus.

2.

Kejadian phlebitis dirumah sakit


Hasil penelitian didapatkan sebagian besar responden tidak mengalami
phlebitis sebanyak 39 orang dan responden terkecil mengalami phlebitis
sebanyak 16 orang. Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan
oleh iritasi kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau
sepanjang vena (Brunner dan Sudarth, 2003).
Pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita
di semua lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu
terapi utama. Sebanyak 70% pasien yang dilakukan rawat inap
mendapatkan terapi cairan infus. Tetapi karena terapi ini diberikan secara
terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan infus,
salah satunya adalah infeksi (Hinlay, 2006).
Salah satu infeksi yang sering ditemukan dirumah sakit adalah infeksi
nosokomial. Infeksi nosokomial tersebut diakibatkan oleh prosedur
diagnosis yang sering timbul diantaranya phlebitis. Keberhasilan
pengendalian infeksi nosokomial pada tindakan pemasangan infus
bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan
oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan klien secara benar
(Andares, 2009).

48

Phlebitis dikarateristikkan dengan adanya dua atau lebih tanda nyeri,


kemerahan, bengkak, indurasi dan teraba mengeras di bagian vena yang
terpasang kateter intravena (La Rocca, 1998). Hal ini menjadiakan
phlebitis sebagai salah satu pemasalahan yang penting untuk dibahas di
samping phlebitis juga sering ditemukan dalam proses keperawatan
(Jarumi Yati, 2009).
Dalam penelitian ini phlebitis terjadi karena adanya mikroorganisme atau
bakteri yang masuk melalui lubang tusukan kateter infus dan ada perawat
yang tidak patuh dalam melaksanakan SOP pemasangan infus karena
kejadian phlebitis sangat di pengaruhi oleh ketepatan dalam melaksakan
pemasangan infus kurang dilakukan atau tidak sesuai SOP yang ada di
rumah sakit tersebut.
Hasil penelitian didapatkan responden yang tidak mengalami phlebitis
setelah 1-2 hari dipasang infus tidak terdapat tanda-tanda kemerahan
ditempat penyuntikan, responden tidak merasakan nyeri, dan tidak adanya
tanda bengkak disekitar tempat pemasangan infus. Sedangkan hasil
penelitian ada responden yang mengalami phlebitis dengan tanda-tanda
bengkak pada tempat pemasangan infus dan responden merasakan nyeri
ditempat pemasangan infus.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis
diantaranya mencegah phlebitis bakteri dengan cara perawat melakukan
cuci tangan sebelum memasang infus, selalu waspada dan melakukan
pemasangan infus dengan tindakan aseptik, rotasi kateter yaitu melakukan
penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi,
melakukan aseptic dressing dan melakukan kecepatan pemberian infus
(Darmawan, 2008).
Hasil penelitian ini yang dilakukan oleh Mulyani (2010), yang menyatakan
rata-rata kejadian phlebitis waktu 24 jam dan 72 jam setelah

49

pemasangan terapi intravena. Dan hasil penelitian menunjukkan bahwa


lokasi pemasangan infus terletak pada vena sefalika dan tidak terjadi
phlebitis sebanyak 11 responden (91,7%). Sedangkan lokasi pemasangan
infus terletak pada vena metacarpal dan terjadi phlebitis sebanyak 20
responden (41,7%).
Gayatri dan Handayani (2003) menyatakan bahwa 35% dan 60 responden
mengalami phlebitis dengan jenis kelamin rata-rata laki-laki. Semakin jauh
jarak pemasangan terapi intravena dan sendi maka resiko terjadinya
phlebitis akan semakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan karena
kurangnya fiksasi dan dekatnya persambungan selang kanul dengan
persendian lainnya. Hal utama yang perlu diperhatikan sebaiknya jarak
pemasangar infus minimal 3-7 cm dan persendian. flehitis yang terjadi
dalarn penelitian termasuk phlebitis mekanik. Angeles dalam Gayatri &
Handayani (2003) menyatakan hahwa phlebitis mekanik atau fisik dapat
terjadi karena kanul yang terlalu besar untuk vena, iritasi vena selama
pemasangan, atau adanya pergerakan kanul di dalam vena.
Penelitian ini menunjukkan responden tidak mengalami phlebitis hal ini
dikarenakan perawatan infus di RSI Kendal dilakukan setiap hari,
kebijakan

rumah

sakit

yang

mengharuskan

penggantian

tempat

pemasangan infus pada hari keempat. Perawat melakukan pemasangan


infus pada tempat penusukan yang benar sehingga tidak muncul tandatanda infeksi nosokomial phlebitis seperti bengkak pada tempat penusukan
dan terlihat kemerahan.

3. Hubungan

kepatuhan

perawat

dalam

melaksanakan

SOP

pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah Sakit Islam


Kendal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang tidak patuh dalam
melaksanakan SOP pemasangan infus dengan kejadian phlebitis sebanyak
14 orang dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 5 orang sedangkan responden

50

yang patuh dalam melaksanakan SOP pemasangan infus dengan kejadian


phlebitis sebanyak 2 orang dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 34 orang.
Hasil statistik menggunakan Chi-square didapatkan nilai p value 0,000 (p<
0,05) menunjukkan ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam
melaksanakan SOP pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah
Sakit Islam Kendal.
Hasil penelitian didapatkan perawat yang patuh dalam melaksanakan SOP
pemasangan infus sehingga tidak menyebabkan pasien tidak phlebitis hal
ini dikarenakan perawat patuh dengan SOP yang dibuat di Rumah Sakit
Islam Kendal serta menjalankan dengan tepat dalam pemasangan infus
sehingga pasien tidak merasa sakit disekitar tempat pemasangan infus,
tidak ada pembengkakan serta pasien tidak mengeluh dengan infus yang
terpasang.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya phlebitis diantaranya obat
yang dimasukkan dalam suntikan, kecepatan aliran infus serta bahan
kateter yang digunakan, ukuran kateter infus dan lokasi penusukan yang
tidak sesuai (Smetlzer, 2001). Hasil penelitian didapatkan perawat yang
patuh dalam melaksanakan SOP pemasangan infus tetapi masih ada yang
terjadi phlebitis hal ini disebabakan karena faktor lain seperti tindakan
pengobatan yang dilakukan, penggunaan kateter infus yang kurang sesuai
dan pergerakan ekstermitas yang dipasang infus.
Phlebitis merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi di
rumah sakit. Ditandai dengan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi
kimia, mekanik maupun bakteri. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau
sepanjang vena. Di Rumah Sakit Islam Kendal phlebitis merupakan infeksi
nosokomial yang paling tinggi dibanding infeksi nosokomial lainnya.
didapatkan data infeksi nosokomial phlebitis sebanyak 3,38 %, yang mana

51

hasil ini masih termasuk tinggi karena menurut standar Depkes RI angka
phlebitis kurang atau sama dengan 1,5 %. Kejadian phlebitis masih sering
terjadi di RSI Kendal disebabkan karena perawat tidak melaksanakan
pemasangan infus sesuai SOP.
Pada penelitian ini didapatkan ada responden yang mengalami phlebitis
sebanyak 16 orang, penangan awal yang dilakukan jika ada timbul tandatanda phlebitis adalah mepaskan alat intravena, meninggikan ekstremitas,
mengkaji nadi distal terhadap area yang phlebitis, menghindari
pemasangan intravena berikutnya di bagian distal vena yang meradang
(Weinstein, 2001).
Penelitian yang sejalan dilakukan oleh Kamma (2010) dengan judul
hubungan antara pemasangan infus dengan kejadian phlebitis di Rumah
Sakit Prikasih Jakarta Selatan didapatkan hasil ada hubungan yang
bermakan antara lokasi pemasangan infus (pvalue = 0,042), jenis cairan
infus yang diberikan (pvalue = 0,001) dan pemasangan infus (pvalue
=0,011).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu, M
(2008) dengan judul Analisis Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur
Pemasangan Infus Terhadap Kejadian phlebitis Di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Haji Medan didapatkan hasil ada hubungan antara perawat
yang melaksanakan pemasangan infus sesuai SOP dengan kejadian
phlebitis pada pasien, hal ini terlihat dari p value 0,008. Dari 100 orang
sampel yang di observasi terdapat kejadian phlebitis sebanyak 52 orang
(52%) dan yang tidak phlebitis 48 orang (48%).
Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Wayunah (2009) tentang
hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infus dengan kejadian
phlebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap RSUD Indramayu
didapatkan hasil sebanyak 50.8% jumlah responden perawat memiliki

52

pengetahuan kurang baik, angka kejadian phlebitis sebesar 40%, dan


sebanyak 53.8% responden pasien merasa nyaman dengan pemasangan
infus yang dilakukan oleh perawat pelaksana. Hasil analisis lanjut
menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat
tentang terapi infus dengan kejadian phlebitis (p=0.000), dan ada
hubungan yang signifikan antara pengetahuan perawat tentang terapi infus
dengan kenyamanan (p=0.000).
Hasil penelitian menunjukkan di RSI Kendal ada hubungan antara
kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP pemasangan infus dengan
kejadian phlebitis hal ini terbukti perawat sudah melakukan prosedur
pemasangan infus sesuai SOP dirumah sakit sehingga pasien tidak terjadi
phlebitis dan pasien tidak merasakan sakit pada tempat penusukan,
bengkak pada tempat penusukan.

4. Keterbatasan peneliti
Saat pengambilan data, ada responden yang kurang percaya diri dalam
pemasangan infus sehingga peneliti kesulitan mendapatkan sampel, setelah
peneliti menjelaskan etika penelitian kemudian responden (perawat)
bersedia untuk diteliti dan diobservasi dalam pemasangan infus apakah
sudah sesuai dengan SOP dirumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai