Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian


Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas sangat
memerlukan berbagai macam moda transportasi baik darat, laut dan
udara yang terintegrasi dengan baik sehingga mampu menjaga
kedaulatan dan pembangunan yang adil merata di seluruh wilayah
kepulauan Republik Indonesia.
Transportasi udara adalah yang paling massif pemanfaatannya
setelah moda transportasi darat, terbukti dari pertumbuhan penumpang
dari tahun ke tahun yang selalu meningkat. Seiring semakin
meningkatnya jumlah permintaan jasa transportasi udara dan semakin
ketatnya persaingan dunia usaha penerbangan maka setiap organisasi
yang bergerak dalam pemberian jasa transportasi udara dituntut untuk
selalu memberikan kepuasan kepada konsumen melalui penyampaian
jasa yang bermutu dan berkualitas.
Kualitas layanan yang baik tidak hanya diukur dari kemewahan
fasilitas kelengkapan teknologi dan penampilan fisik petugasnya, tetapi
juga diukur dari keselamatan, efisiensi dan efektifitas serta ketepatan
pemberian pelayanan kepada konsumen.
Pemerintah Indonesia pada tahun 1962 telah memulai
melakukan korporitisasi pelayanan bandar udara dengan membentuk

perusahaan negara Angkasa Pura "kemayoran" melalui PP Nomor 33


Tahun 1962 yang selanjutnya berkembang menjadi PT. Angkasa Pura I
dan PT. Angkasa Pura II.
Kemudian pada tahun 1978 dibentuklah Sentra Operasi
Keselamatan Penerbangan (SENOPEN). Berdasarkan Keputusan
Menteri Perhubungan nomor KM 50/OT/Phb-78, tentang "Susunan
organisasi dan tata kerja pelabuhan udara dan Sentra Operasi
Keselamatan Penerbangan (SENOPEN)", terbentuk kantor SENOPEN
di tujuh lokasi yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Surabaya, Bali,
Ujung Pandang dan Biak". Fungsi unit kerja kantor SENOPEN adaiah
pemberian

pelayanan

navigasi

SENOPEN

bertanggungjawab

penerbangan.

memberikan

Masing-masing

pelayanan

navigasi

penerbangan pada ruang udara yang telah ditetapkan.


Sesuai

dengan

berkembangnya

pengelolaan

pelayanan

bandar udara serta demi effisiensi organisasi SENOPEN maka mulai


tahun 1989 satu persatu aset SENOPEN,

melalui

Pemerintah

dan tanggungjawab

(PP),

dialihkan

kekayaan

Peraturan

pengelolaannya kepada PT Angkasa Pura I (FIR Ujung Pandang) dan


PT Angkasa Pura II (FIR Jakarta) dan semenjak itu kedua persero itu
selain memberikan pelayanan jasa bandar udara juga memberikan
jasa navigasi penerbangan.

Demikianlah pada awal tahun 2008 Kementerian Perhubungan


mulai merasa perlu untuk memisahkan kekayaan dan fungsi pelayanan
navigasi penerbangan dari PT (Persero) Angkasa Pura I dan PT
(Persero) Angkasa Pura II serta Unit Pelaksana Teknis Bandar Udara
Kementerian Perhubungan kepada suatu entitas baru yang mandiri
sehingga

dapat

lebih

fokus

serta

meningkatkan

keselamatan

Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No.77 Tahun 2012 maka


ditetapkan badan hukum baru dalam bentuk Perusahaan Umum
Lembaga

Penyelenggaran

Pelayanan

Navigasi

Penerbangan

Indonesia atau yang biasa disebut Airnav Indonesia.


Pembentukan LPPNPI berdasarkan PP No.77 Tahun 2012
adalah upaya menyatukan beberapa "ATS provider" yang ada
sebelumnya yang diharapkan oleh pemerintah akan menjadi satusatunya

penyelenggaran

pelayanan

navigasi

penerbangan

di

Indonesia agar tercipta pelayanan lalu lintas penerbangan yang efektif


dan efesien. Pemahaman-pemahaman mengenai organisasi layanan
jasa lalu lintas penerbangan yang mandiri, terkemuka dan berkualitas
dalam memberikan pelayanan harus diterapkan dalam mengelola
organisasi layanan
mengenai

jasa lalu lintas penerbangan. Pemahaman

kemandirian

meningkatkan

pelayanan

adalah

upaya

organisasi

mengembangkan

layanan

jasa

lalu

dan
lintas

penerbangan oleh organisasi layanan jasa lalu lintas penerbangan itu


sendiri, terutama di bidang pelayanan jasa dan pembiayaan jasa.

Ditinjau dari aspek jumlah volume pergerakan pesawat,


penumpang dan barang, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta
(SHIA) merupakan Bandar udara tersibuk dan terbesar di Indonesia.
Dengan kode dari International Air Transport Association : CKG dan
kode dari International Civil Aviation Organization : WIII, Bandar udara
Soekarno-Hatta dari sisi landside dikelola oleh PT .Angkasa Pura II
dan pada sisi airside dikelola oleh Perum Lembaga Penyelengara
Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia atau yang lebih sering
dikenal sebagai Airnav Indonesia.
Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) pada tahun 2013
tercatat sebagai bandara tersibuk ke-8 di dunia dan ke 4 di Asia Pasifik
berdasarkan rilis Airport world yang merupakan media resmi dari
Airport Council International. Sepanjang tahun lalu, jumlah pergerakan
penumpang di Bandara Internasional Soekarno-Hatta mencapai 62,1
juta penumpang, meningkat 3,5 persen dibandingkan tahun 2012
mencapai 60 juta penumpang.
Memiliki dua runway Bandara Soekarno-Hatta, pada awalnya
hanya mampu menampung 52 pergerakan pesawat per jam, kemudian
meningkat menjadi 64 pesawat per jam pada akhir tahun 2013 dan di
tahun 2014 pergerakan pesawat kembali bertambah menjadi 72
pesawat per jam, dan diharapkan dapat mencapai nilai optimal
pergerakan 86 pesawat per jam pada tahun 2015.

Untuk mendukung program ini, AirNav Indonesia telah


menyediakan dana sebesar Rp 1,3 triiiun yang akan digunakan untuk
membeli perangkat navigasi yang baru. peralatan komunikasi,
navigasi, dan surveillance. Namun pembenahan dalam rangka
meningkatkan pergerakan pesawat tersebut belum menyentuh sektor
fisik infrastruktur bandara yang terkait dengan pergerakan pesawat,
namun hanya sebatas pembenahan pada manajemen dan Standard
Operational Procedure sehingga pada akhirnya Petugas Pengatur Lalu
Lintas Udara menjadi ujung tombak dari pembenahan tersebut.
Peningkatan kapasitas landasan pacu menjadi 72 pesawat
perjamnya tidak diimbangi dengan peningkatan infrastruktur runway
dan taxiway, yang artinya jumlah runway dan taxiway saat ini masih
sama persis dengan kondisi saat kapasitas landasan pacu masih 52
pesawat perjamnya. Hal ini tentu sangat berdampak terhadap
peningkatan tingkat beban tanggung jawab dan stress seorang
petugas pemandu lalu lintas udara yang pada akhirnya sangat
berdampak terhadap tingkat Safety dalam pemberian pelayanan
pengaturan pesawat.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik memilih
judul analisis beban kerja Pengatur Lalu Lintas Udara dengan
diterapkan kebijakan Increased Runway Capacity 72 pada Menara
Kontrol Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

masalah

diatas,

peneliti

mengidentifikasi masalah yang ada sebagai berikut :


1) Kebijakan penerapan

Increased Runway Capacity 72

tidak

didukung oleh sumber daya yang memadai


2) Jumlah permintaan moda transportasi udara yang sangat tinggi
3) Persaingan antar operator penerbangan yang tidak sehat dengan
berlomba menambah jumlah armada
4) Tuntutan jasa

transportasi udara

yang

terlalu tinggi

untuk

memberikan pelayanan yang terbaik dalam upaya memberikan


kepuasan
5) Tingkat pertumbuhan permintaan jasa transportasi udara yang
sangat tinggi dalam waktu yang cepat, tidak didukung infrastruktur
yang memadai
6) Pembenahan regulasi dalam upaya peningkatan pelayanan lalu
lintas penerbangan berjalan lambat
7) Pembenahan regulasi dan infrastruktur yang dilakukan tidak tepat
waktu
8) Pembenahan hanya kepada regulasi dan SOP bukan pada
peningkatan infrastruktur
9) Fasilitas kerja yang sangat terbatas
10)Tuntutan yang sangat tinggi terhadap petugas pengatur lalu lintas
udara untuk selalu mampu memberikan pelayanan yang terbaik

C. Fokus Penelitian
Dengan banyaknya faktor yang teridentifikasi, maka penulis
dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti keterbatasan waktu,
tenaga dan biaya, dengan ini melakukan pembatasan penelitian yang
terfokus pada analisis beban kerja Pengatur Lalu Lintas Udara dengan
diterapkan kebijakan Increased Runway Capacity 72.

D. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana beban kerja Pengatur Lalu Lintas Udara dengan
diterapkan kebijakan Increased Runway Capacity 72 pada Menara
Kontrol Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Tangerang?

E. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana beban kerja Pengatur Lalu
Lintas Udara dengan diterapkan kebijakan Increased Runway Capacity
72 pada Menara Kontrol Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta
Tangerang

F. Manfaat Penelitian
1) Sebagai bahan informasi bagi pimpinan organisasi layanan jasa
lalu lintas penerbangan JATSC Airnav Indonesia dalam penerapan
SOP pemberian layanan terhadap kepuasan operator pengguna
jasa navigasi penerbangan.

2) Sebagai bahan pembanding atau referensi bagi peneliti-peneliti


selanjutnya, khususnya penelitian mengenai beban kerja petugas
pengatur lalu lintas udara

Anda mungkin juga menyukai