Anda di halaman 1dari 6

Pendidikan Kewarganegaraan

PENDAHULUAN
Sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia dimulai era sebelum dan selama penjajahan,
kemudian dilanjutkan pada era perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga
era pengisian kemerdekaan akan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai
zamannnya. Perbedaan dan kondisi serta tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi bangsa
Indonesia berdasarkan kesamaan nilai yang senantiasa tumbuh dan berkembang berdasarkan
nilai perjuangan bangsa. Kesamaan nilai-nilai tersebut dilandasi oleh jiwa, tekad, dan
semangat kebangsaan, yang akhirnya sebagai pondasi kekuatan dalam proses terwujudnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Semangat perjuangan bangsa Indonesia yang tidak mengenal menyerah terbukti dengan
diproklamasikannya NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaaan itu tidak terlepas
dari anugrah Tuhan YME dan dilandasi rasa iman untuk rela berkorban.
Nilai-nilai perjuangan bansa Indonesia dalam perjuangan fisik baik dalam merebut,
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan telah mengalami pasang surut sesuai dinamika
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa yang telah
dilakukan dalam perjalanannya mengalami penurunan pada titik yang kritis, dan akhirnya
akan berpengaruh terhadap sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, hal tersebut
tidak terlepas dari pengaruh globalisasi.
Dalam menghadapi pengaruh globalisasi dan menyongsong masa depan yang lebih baik,
harus dilakukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidangnya masing-masing dengan
perjuangan yang dilandasi oleh nilai- nilai perjuangan bangsa Indonesia, sehingga kita tetap
memiliki wawasan dan kesadaran sikap dan prilaku yang cinta tanah air dan mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI.
Perjuangan non fisik tersebut memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi seluruh warga
Negara dengan melalui pendidikan kewrganegaraan.
1.1.Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
a.Dasar Pemikiran
Semangat dan jiwa yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 (antara lain
pasal 30), serta pengalaman perjuangan bangsa Indonesia untuk menjamin tetap tegaknya
NKRI selama lebih dari setengah abad telah menumbuhkan tekad dan keyakinan bangsa
Indonesia serta merupakan suatu hal yang tak terelakan, bahwa kelangsungan hidup bangsa
dan Negara Indonesia.
Semangat demikian inilah yang tersirat dalam pasal 30 UUD 1945 yang menegaskan bahwa “
Tiap-tiap warganegara Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan
Negara”. Rumusan pasal 30 UUD 1945 ini mengandung makna adanya semangat semangat
“demakratisasi” dalam penyelenggaraan pembelaan Negara. Dekratisasi dalam bidang aspek-
aspek kehidupan bangsa, mempersyaratkan tiap-tiap warganegara memiliki kesadaran akan
hak dan kewajibannya itu. Namun demikian disadari bahwa kesadaran warganegara terhadap
hak dan kewajibannya itu tidak dibawa sejak lahir, tetapi harus ditanamkan, ditumbuhkan
serta dikembangkan yaitu melalui upaya sosialisasi.
Sosialisasi adalah upaya memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada seseorang agar ia
dapat melaksanakan peranannya dalam kehidupan social tertentu. Upaya sosialisasi yang
terbaik adalah melalui pendidikan. Berdasarkan pada pemikiran demikian itu, pendidikan
kewiraan sebagai upaya untuk menumbuh kembangkan kesadaran hak dan kewajiban
warganegara dalam bela Negara dimasukan dalam kurikulum pendidikan tinggi.
b.Pendidikan Kewiraan
1. Pengertian, tujuan/sasaran Pendidikan kewiraan
Istilah pendidikan pada hakekatnya dari masa kemasa sejalan dan sederhana dinyatakan
merupakan usaha sadar untuk mengciptakan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa datang. Istilah kewiraan berdasarkan
pada kata Wira yang nmengandung beberapa arti seperti patriot, pahlawan, satria, perkasa
dan berani.
Atas dasar itu dirumuskanlah pengertian pendidikan kewiraan adalah usaha sadar untuk
menciptakan warganegara (sumber calon pemimpin bangsa) melalui kegiatan bimbingan,
bagi peranannya untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara menuju
kejayaannya.
Tujuan/sasarannya ialah terbentuknya sarjana Indonesia yang mencintai tanah airnya,
memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia yang tinggi, memiliki keyakinan
yang tinggi terhadap pancasila sebagai dasar dan ideology serta siap dan rela berkorban untuk
bangsa dan Negara.
Melalui pendidikan kewiraan ini diharapkan warganegra Indonesia memiliki sikap mental
yang meyakini hak dan kewajiban serta tanggung jawab sebagai warganegara yang rela
berkorban untuk membela bangsa dan Negara serta kepentingan nasionalnya.
2. Landasan Hukum
Pendidikan kewiraan dimasukan dalam kurikulum Pendidikan Tinggi berdasarkan keputusan
bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Pertahanan
Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melalui surat keputusan nomor
: 022/U/1973-kep/B/43/XII/1973 tanggal 8 desember 1973 tentang Penyelenggaraan
pendidikan kewiraan. Namun realisasi dari surat keputusan bersama tersebut baru terwujud
pada tahun akademik 1974/1975, berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan
No.0228/U/1974 tanggal 2 oktober 1974. Undang-undang yang melandasi kerjasama Menteri
Hankam dan Menteri Dikbud pada waktu itu ialah UU No.22 tahun 1954 tentang Perguruan
Tinggi.
Dengan terbitnya UU No.20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan
keamanan Negara, hal-hal yang berkaitan dengan Pendidikan kewiraan diakomodasikan
dalam UU itu sebagai berikut
1.Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) adalah Pendidikan dasar bela Negara guna
menumbuhkan kecintaan kepada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, kerelaan
berkorban untuk Negara serta memberikan kemampuan awal bela Negara
2.PPBN sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional
3.PPBN diselenggarakan guna memasyarakatkan upaya bela Negara serta menegakkan hak
dan kewajiban warganegara dalam bela Negara
4.PPBN wajib ikut oleh setiap warga Negara dan dilaksanakan secara bertahap yaitu :
a.Tahap awal pada Pendidikan Dasar sampai menengah Atas dan dalam gerakan
b. Tahap lanjutan dalam bentuk Pendidikan Kewiraan
Dengan terbitnya UU No.20 tahun 1982 itu, Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan ,
mengalami penyempurnaannya. Dengan surat keputusan bersama Mendikbud dan
Menhankam No.061/U/1985 dan No Kep/002/11/1985 tanggal I februari 1985 tentang
kerjasama dalam pembinaan Pendidikan Kewiraan dilingkungan Perguruan Tinggi dan
ditetapkan sebagai mata kuliah wajib dan merupakan bagian dari mata kuliah umum
(MKDU).
c. Pendidikan kewarganegaraan
Dalam era reformasi, berturut-turut dengan keputusan Mendiknas No.232/U/2000, Kep
Dirjen Dikti No.38/Dikti/Kep/2002, ditentukan bahwa nama mata kuliah Pendidikan
kewiraan secara formal tidak lagi digunakan, istilah yang digunakan Pendidikan
Kewarganegaraan. Dalam komponen kurikulum Pendidikan tinggi. Pendidikan
kewarganegaraan bersama-sama pendidikan pancasila dan pendidikan Agama merupakan
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK).
1.2.Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Dasar Kelompok MPK
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar kelompok Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) sesuai dengan keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.232/U/2000 .
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) ialah kelompok bahan kajian dari mata
pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, berkepribadian mantap dan mandiri serta
mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
1.3.Visi, Misi dan Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
a.Visi Pendidikan Kewarganegaraan
Visi Pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah : Menjadi sumber nilai dan
pedoman penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan
kepribadiannya selaku warga Negara yang berperan aktif menegakkan demokrasi menuju
masyarakat madani.
b. Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah : Membantu mahasiswa
selaku warga Negara agar mampu mewujudkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa Indonesia
serta kesadaran berbangsa, bernegara dalam menerapkan ilmunya secara bertanggunmg
jawab terhadap kemanusiaan
c.Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan
Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi bertujuan untuk menguasai
kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia
intelektual, serta mengantarkan mahasiswa selaku warga Negara RI yang memiliki :
1.Wawasan kesadaran bernegara untuk bela Negara dengan cinta tanah air
2.Wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa demi ketahanan nasional
3.Pola fakir, sikap yang komprehensif integrative (menyeluruh dan terpadu) pada seluruh
aspek kehidupan nasional.
1.4. Penutup
Pembahasan tentang pemahaman kesadaran bernegara untuk bela Negara dan memiliki pola
piker, pola sikap dan pola tindak bagi mahasiswa, agar cinta tanah air dan dapat diandalkan
oleh bangsa dan Negara. Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya sadar dari suatu
masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan
kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara, secara
berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa
berubah dan selalu terkait dengan kontak dinamika budaya, bangsa, Negara dan hubungan
internasionalnya.
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan Warga Negara Republik Indonesia diharapkan mampu
“Memahami, menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi masyarakat,
bangsa dan Negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan
nasional seperti yang digariskan dalam UUD 1945”.

”Peran dan Pergerakan Kemahasiswaan yang Tak Pernah Mati..”.


Oleh : Hasbulloh
Disampaikan pada Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) Universitas Pakuan
September 2006

MAHASISWA selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah
demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai
pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur
maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para
mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita
sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk
memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bila generasi muda khususnya para mahasiswa, selalu
dihadapkan pada permasalahan global. Setiap ada perubahan, mahasiswa selalu tampil
sebagai kekuatan pelopor, kekuatan moral dan kekuatan pendobrak untuk melahirkan
perubahan. Oleh karena itu kiranya sudah cukup mendesak untuk segera dilakukan penataan
seputar kehidupan mahasiswa tersebut.
Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam kelas menengah yang
kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di masyarakat. Bahkan di zaman
kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling terdidik yang harus diakui kemudian
telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan Indonseia ke gerbang kemerdekaannya.
Pergolakan dan perjalanan mahasiswa Indonesia telah tercatat dalam rentetan sejarah
yang panjang dalam perjuangan bangsa Indonesia, seperti gerakan mahasiswa dan pelajar
tahun 1966 dan tahun 1998. Masih dapat kita ingat 8 tahun yang lalu gerakan mahasiswa
Indonesia yang didukung oleh semua lapisan masyarakat berhasil menjatuhkan suatu rezim
tirani yaitu ditandainya dengan berakhirnya rezim Soeharto.
Legenda perjuangan mahasiswa di Indonesia sendiri juga telah memberikan bukti yang cukup
nyata dalam rangka melakukan agenda perubahan tersebut. Tinta emas sejarahnya dapat kita
lihat dengan lahirnya angkatan ‘08, ‘28, ‘45, ‘66, ‘74, yang masing-masing memiliki
karakteristik tersendiri tetapi tetap pada konteks kepentingan wong cilik. Terakhir lahirlah
angkatan bungsu ‘98 tepatnya pada bulan Mei 1998 dengan gerakan REFORMASI yang telah
berhasil menurunkan Presiden Soeharto dari kursi kekuasaan dan selanjutnya menelurkan
Visi Reformasi yang sampai hari ini masih dipertanyakan sampai dimana telah dipenuhi.
Dengan demikian adalah sebuah keharusan bagi mahasiswa untuk menjadi pelopor
dalam melakukan fungsi control terhadap jalannya roda pemerintahan sekarang. Bukan malah
sebaliknya.
Agenda reformasi adalah tanggung jawab kita semua yang masih merasa terpanggil
sebagai kaum intelektual, kaum yang kritis dan memiliki semangat yang kuat. Dan tanggung
jawab ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai rasa sosial yang tinggi.
Bukan orang-orang kerdil yang hanya memikirkan perut, golongannya dan tidak bertanggung
jawab. Hanya lobang-lobang kematianlah yang mampu menjadikan mereka untuk berpikir
bertanggung jawab. Jangan pikirkan mereka, mari pikirkan solusi untuk menghibur Ibu
Pertiwi yang selalu menangis dengan ulah-ulah anak bangsanya sendiri.
Kondisi tersebut tidak terlihat lagi pada masa kini, mahasiswa memiliki agenda dan
garis perjuangan yang berbeda dengan mahasiswa lainnya. Sekarang ini mahasiswa
menghadapi pluralitas gerakan yang sangat besar. Meski begitu, setidaknya mahasiswa masih
memiliki idealisme untuk memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya masing-masing.
Mahasiswa sudah telanjur dikenal masyarakat sebagai agent of change, agent of
modernization, atau agen-agen yang lain. Hal ini memberikan konsekuensi logis kepada
mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan gelar yang disandangnya. Mahasiswa
harus tetap memiliki sikap kritis, dengan mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-
akarnya.
Dengan adanya sikap kritis dalam diri mahasiswa diharapkan akan timbul sikap
korektif terhadap kondisi yang sedang berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan
harus hinggap dalam pola pikir setiap mahasiswa. Sebaliknya, pemikiran konservatif pro-
status quo harus dihindari.
Mahasiswa harus menyadari, ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan dan
diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di masa depan
harus diinterpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang positif. Tidak bisa dimungkiri,
mahasiswa sebagai social control terkadang juga kurang mengontrol dirinya sendiri.
Sehingga mahasiswa harus menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang
disandangnya, termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa.
Karena itu, kepedulian dan nasionalisme terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan
dengan keseriusan menimba ilmu di bangku kuliah. Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan
spesialisasi pada bidang ilmu yang mereka pelajari di perguruan tinggi, agar dapat
meluruskan berbagai ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan secara santun tanpa mengurangi esensi
dan agenda yang diperjuangkan. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi,
harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa. Sikap kritis harus tetap ada dalam diri
mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi
terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan. Dengan begitu, mahasiswa tetap
menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.
Peran Lembaga Kemahasiswaan cukup signifikan, baik untuk lingkup nasional,
regional maupun internal kampus itu sendiri. Ke depan, peran strategis ini seharusnya juga
dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus lainnya seperti pers mahasiswa, atau
kelompok studi profesi.
Secara garis besar, menurut Sarlito Wirawan, ada sedikitnya tiga tipologi atau
karakteristik mahasiswa yaitu tipe pemimpin, aktivis, dan mahasiswa biasa.
Pertama, tipologi mahasiswa pemimpin, adalah individu mahasiswa yang mengaku pernah
memprakarsai, mengorganisasikan, dan mempergerakan aksi protes mahasiswa di perguruan
tingginya. Mereka itu umumnya memersepsikan mahasiswa sebagai kontrol sosial, moral
force dan dirinya leader tomorrow. Mereka cenderung untuk tidak lekas lulus, sebab perlu
mencari pengalaman yang cukup melalui kegiatan dan organisasi kemahasiswaan.
Kedua, tipologi aktivis ialah mahasiswa yang mengaku pernah aktif turut dalam gerakan atau
aksi protes mahasiswa di kampusnya beberapa kali (lebih dari satu kali). Mereka merasa
menyenangi kegiatan tersebut, untuk mencari pengalaman dan solider dengan teman-
temannya. Mahasiswa dari kelompok aktivis ini, juga cenderung tidak ingin cepat lulus,
namun tidak ingin terlalu lama. Mereka tidak terlalu memersepsikan diri sebagai leader
tomorrow namun pengalaman hidup perlu dicari di luar studi formalnya. Sudah barang tentu
jumlah mereka itu lebih banyak daripada kelompok pemimpin.
Ketiga, tipologi mahasiswa biasa adalah kelompok mahasiswa di luar kelompok pemimpin
dan aktivis yang jumlahnya paling besar lebih dari 90%. Sesungguhnya cenderung pada hura-
hura yaitu kegiatan yang dapat memberikan kepuasan pribadi, tidak memerlukan komitmen
jangka panjang dan dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama. Mereka ingin segera
lulus, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang tidak segan-segan dengan cara menerabas
(nyontek, membuat skripsi "Aspal" dan lain-lain) agar segera lulus. Apakah hal ini
merupakan indikator kurangnya dorongan prestatif di kalangan mahasiswa, masih perlu
diteliti.
Fakta membuktikan, dinamika kehidupan bangsa dan mahasiswa pada umumnya
banyak dimotori oleh tipe pemimpin dan aktivis ini. Meskipun secara kuantitas kecil tetapi
mereka mampu menjadi pendorong dan agen utama perubahan dan dinamika kehidupan
kampus. Sebagian mereka karena telah terlatih menjadi pemimpin dan aktivis, maka tidak
sulit setelah selesai pada akhirnya mereka juga menjadi pemimpin dan aktivis setelah terjun
di masyarakat dan pemerintahan.
Urgensi bagi daerah
Dilihat dari segi kualitas maupun kuantitas, para mahasiswa tetap saja merupakan
komunitas elite yang patut diperhitungkan dari dulu dan sampai kini terlebih bagi suatu
daerah. Di daerah, masih relatif sedikit anggota masyarakatnya yang dapat menyekolahkan
sampai tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, keberadaan mahasiswa bagi suatu daerah
merupakan modal sosial yang luar biasa, yang dapat dimanfaatkan dan diberdayakan bagi
pembangunan suatu daerah. Namun mahasiswa, dapat juga menjadi suatu "ancaman" bagi
pemerintahan suatu daerah karena dapat bersikap kritis dan mengambil peran sebagai
kekuatan kontrol.
Demikian juga para mahasiswa harus mulai berorientasi ke daerah bukan lagi ke pusat
karena Pusat selain sudah overload juga menjadi simbol ketimpangan pembangunan di
Indonesia, sehingga diperlukan desentralisasi dan orientasi baru dalam pembangunan daerah.
Organisasi kemahasiswaan
Dinamika kehidupan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari wadah atau organisasi
yang menjadi instrumen bagaimana gagasan atau program berusaha diwujudkan, baik
organisasi intra maupun ekstra kampus. Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi
merupakan wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan
dan peningkatan kecendikiawanan serta integritas kepribadian mahasiswa untuk mewujudkan
tujuan pendidikan tinggi.
Mengingat mahasiswa merupakan bagian dari civitas academica dan sebagai generasi
muda dalam tahap pengembangan dewasa muda, maka dalam penataan organisasinya disusun
berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dan merupakan subsistem dari
perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pengalaman selama ini menunjukkan, perguruan tinggi yang telah berhasil
membentuk organisasi kemahasiswaan sesuai prinsip-prinsip tersebut cenderung akan
diterima oleh para mahasiswa dan memperoleh partisipasi secara optimal. Dengan demikian,
dapat diharapkan bahwa kegiatan kemahasiswaan di perguruan tinggi maupun antarkampus
dapat berjalan dengan lancar.
Perlu dicatat, dewasa ini kecenderungan organisasi kemahasiswaan yang bernuansa
keilmuan dan profesi yang kegiatannya antarkampus. Bahkan kadang-kadang berdimensi
internasional cukup meningkat. Hal ini, jelas memerlukan uluran tangan pimpinan perguruan
tinggi, baik dalam aspek bimbingan keilmuan maupun dukungan biaya yang tidak ringan.
Keterlibatan ikatan profesi senior mereka dan dunia usaha, diharapkan dapat menunjang
kegiatan ini.
Di Lingkungan Universitas ini, kami memperjuangkan pmebentukan lembaga
kemahaiswaan tingkat universitas yang insya allah pada tahun ini akan dibentuk secara
formal

Anda mungkin juga menyukai