1.1 Definisi
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu bukan termasuk emfisema.
Namun, keadaan tersebut hanya sebagai overinflation. (Suradi. 2004. 60).
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada
kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang
diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan
sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paruparu lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya
dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang
terjadi dalam paru-paru :
1. CLE (Centrilobular Emphysema atau Centroacinar)
Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada
region paru-paru atas. Inflamasi berkembang sampai bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar
tetap bersisa. (Suradi. 2004. ...).
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dindingdinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar
tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung
sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih
banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A.
Price 1995).
dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat
menimbulkan emfisema masih belum jelas.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya menimbulkan
jaringan elastik paru rusak. Struktur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase
yang
penting
adalah
pankreas, sel
sel PMN,
dan
marofag
alveolar
(pulmonary
alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi
menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase, yaitu sistem enzim alfa
1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan
karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2008)
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Terdapat hubungan yang erat
antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV). (Nowak,2004). Rokok secara
patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus. Gangguan
pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan
bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan
mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah. Disamping
itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease
(proteolitik), dan menginaktifasi
terjadi
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi
udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat
fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar
pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
1.3 Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan atau kerusakan yang terjadi pada dinding alveolar dapat
menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara terganggu akibat dari
perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya
destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan napas kolaps sebagian, dan kehilangan
elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan
di antara ruang alveolar (blebs) dan di antara parenkim paru-paru (bullae). Proses ini akan
mengakibatkan peningkatan ventilator pada dead space atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah.
Kerja napas meningkat dikarenakan kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan
pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru.
Akibat lebih lanjutnya adalah penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa
tingkat emfisema di anggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal
kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronkitis kronis dan merokok. (Suradi.
2004. ...).
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas
ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu
defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim
proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan
demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam
paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak
2.
3.
4.
Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium akhir
5.
Pemeriksaan Fisik
Pada klien emfisema paru akan di temukan tanda dan gejala seperti berikut ini.
1.
2.
3.
Pada auskultrasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan napas dalam
4.
5.
6.
Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung.Kor pulmonal timbul pada stadium akhir
1.6 Komplikasi
1.
2.
3.
4.
5.
Pneumonia
6.
Atelaktasis
7.
Pneumothoraks
8.
9.
1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema dalah meningkatkan kualitas hidup,
memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar tidak
terjadi hipoksia. Penatalaksanaan emfisema paru dilakukan secara berkesinambungan untuk
mencegah timbulnya penyulit, meliputi:
1.7.1 Pendekatan terapi mencakup:
1. Pemberian terapi untuk meningkatan ventilasi dan menurunkan kerja napas
2. Mencegah dan mengobati infeksi
3. Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi paru
4. Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi pernapasan yang
edekuat
5. Dukungan psikologis
6. Edukasi dan rehabilitasi klien (Suradi. 2004. 60).
Edukasi yakni memberikan pemahaman kepada penderita untuk mengenali gejala dan
faktor-faktor pencetus kekambuhan emfisema paru.
2.7.2 Jenis obat yang di berikan berupa:
1. Bronkodilators
Obat-obat bronkodilator dan mukolitik agar dahak mudah dikeluarkan.
2. Terapi aerosol
Aerosolisasi dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk
membantu dalam bronkodilatasi.
Aerosol yang dinebuliser menghilangkan brokospasme, menurunkan edema mukosa, dan
mengencerkan sekresi bronchial. Hal ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus,
membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi
3. Terapi infeksi
Pasien dengan emfisema rentan terjadap infeksi paru dan harus diobati pada saat awal
timbulnya tanda-tanda infeksi.
4. Kortikosteroid
Digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi.
5. Terapi oksigenasi (Suradi. 2004. 60).