Posted by Robertus Arian D. under Keluarga, Masalah, Medis, Publikasi | Tag: audit klinik,
audit klinis, audit medis, clinical audit, medical audit, mutu, pelayanan medis |
Tinggalkan sebuah Komentar
Pendahuluan
Audit medis adalah salah satu bagian dari manajemen mutu pelayanan medis. Dengan audit
medis, kita bisa mengetahui apakah pelayanan medis dilakukan sudah sesuai dengan standar
yang ditetapkan. Dalam melakukan proses akreditasi tahun 2009/2010 di RS Panti Rapih dan
selama menemani teman-teman berproses dalam persiapan akreditasi di RS Panti Rini, RS
Panti Nugroho, dan RS St. Elisabet Ganjuran, penulis berkali-kali menekankan perlunya
menetapkan standar pelayanan medis sebelum melakukan audit medis. Dalam
perkembangannya, ternyata pendapat ini tidak selalu benar. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat
untuk menebus dosa penulis atas pernyataan tersebut. Lewat tulisan ini, penulis berharap
audit medis dapat lebih dimengerti dan menjadi kebiasaan baik yang dikembangkan terus
menerus di lingkungan Yayasan Panti Rapih.
Pengertian
Audit medis adalah produk peradaban Eropa. Sebuah tulisan lama dari Shaw dan Costain
(1989) menuliskan secara jelas definisi audit medis sebagai pendekatan sistematis untuk
menelaah pelayanan medis untuk mengidentifikasi peluang peningkatan mutu dan
menyediakan teknik yang tepat untuk mengidentifikasi peluang tersebut. Audit medis
ditekankan hanya untuk pelayanan medis, sementara audit klinis dapat lebih luas dari audit
medis karena dapat melibatkan pelayanan keperawatan dan profesi yang lain. Djasri (2012)
dari Universitas Gadjah Mada menulis bahwa audit klinis adalah suatu telaah kritis dan
sistematis terhadap mutu pelayanan klinis, termasuk prosedur diagnosis dan terapi,
penggunaan sumber daya rumah sakit, dan outcome serta kualitas hidup pasien. Sejalan
dengan Shaw dan Costain (1989), Kementerian Kesehatan lewat Peraturan Menteri
Kesehatan no. 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik Rumah
Sakit memilih untuk mendefinisikan audit medis sebagai upaya evaluasi secara profesional
terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam
medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
Williams (1996) pernah menulis bahwa audit sama sekali berbeda dengan riset medis atau
penelitian. Sebuah penelitian akan dapat menjawab apakah benar saya benar harus melakukan
amputasi pada penderita ulkus diabetikum dengan gangren. Sementara itu, sebuah audit akan
dapat menjawab apakah amputasi yang saya lakukan pada penderita ulkus diabetikum itu
dilakukan dengan benar. Penelitian mencari atau membuktikan informasi baru, sementara
audit meningkatkan mutu pelayanan medis.
Di Indonesia, audit medis bukanlah istilah yang nyaman untuk didiskusikan dengan para
dokter dan dokter spesialis. Penyelenggaraan audit maternal perinatal versi lama maupun
kegiatan lain yang diberi tajuk audit di dinas kesehatan nampaknya juga berkontribusi dalam
hal ini. Sering dalam kegiatan audit ini dilakukan semacam penghakiman kepada dokter
atas apa yang terjadi dengan pasien. Audit di bidang lain pun tak luput dari cap serupa.
Dengan metode audit yang akan dijelaskan di bawah ini, diharapkan stigma para klinisi
terhadap audit dapat sedikit demi sedikit terkikis dan peran audit sebagai salah satu alat
penting pengendalian mutu dapat meningkat.
Siklus Audit
Shaw dan Costain (1989) mengemukakan bahwa audit medis menyediakan metode yang
lebih sistematis dan terperinci dibandingkan misalnya presentasi kasus kematian maupun
ronde besar bersama di ruang rawat inap. Tahun dua ribu lima Kementerian Kesehatan pernah
menerbitkan keputusan mengenai penyelenggaraan audit medis. Audit medis dalam
keputusan menteri kesehatan ini dibagi menjadi first party audit dan second party audit. Saat
ini, metode ini sudah tidak dipakai. Walau demikian, siklus audit yang dipakai masih sama
seperti di bawah ini.
Siklus audit ada enam langkah. Langkah pertama adalah pemilihan topik audit, dilanjutkan
dengan penetapan kriteria dan standar, pengumpulan data, analisis data, menetapkan
perubahan, dan terakhir reaudit. Siklus ini terus berulang dan setiap kali reaudit harus ada
penilaian apakah pada saat ini pencapaian performa klinis sudah lebih baik dibandingkan
dengan saat audit periode yang lalu. Siklus audit medis digambarkan dalam gambar 1 di
bawah ini.
Pemilihan Topik
Pemilihan topik audit merupakan langkah awal yang penting dalam audit medis. Pemilihan
topik audit dapat ditentukan dari rapat komite medis, rapat komite medis dengan direksi
rumah sakit, maupun mekanisme lain yang melibatkan komite medis. Kebiasaan yang
berlaku adalah memprioritaskan kasus-kasus dengan ciri high volume, high risk, dan high
cost. Dapat pula ditambahkan dalam daftar kriteria tersebut beberapa kondisi lain misalnya
kerawanan terhadap complain, problem prone, masukan dari direksi, dan data penyimpangan
lain.
Topik audit selain merupakan diagnosis juga dapat merupakan prosedur tertentu, misalnya
sectio caesaria, apendiktomi, tonsilektomi, dan lain-lain. Bila rumah sakit mempunyai
clinical pathway, audit medis dapat dipakai untuk menilai clinical pathway tersebut. Bila
topik telah ditetapkan, susunlah dokumen sederhana mulai dari latar belakang, rasionalitas
pemilihan topik, dan fakta lain misalnya ketersediaan guideline atau standar lain.
Setelah topik audit ditetapkan, komite medis dapat membuat tim untuk melaksanakan audit.
Tim ini sebaiknya diketuai oleh ketua subkomite mutu dan beranggotakan dokter dengan
reputasi yang baik di rumah sakit tersebut. Selain para dokter, tim audit ini sebaiknya juga
beranggotakan perekam medis dalam jumlah yang cukup karena sebagian besar pengumpulan
data nanti akan bersumber dari rekam medis. Tentukan juga jumlah sampel (misal 100 kasus
terakhir) atau kisaran cakupan waktu (semua kasus tiga bulan terakhir).
Penetapan Kriteria dan Standar
Penetapan kriteria dan standar ini tidak harus selalu mengacu pada standar yang sudah ada.
Bila rumah sakit telah mempunyai panduan praktek klinis (dulu sering disebut standar
pelayanan medis) atau clinical pathway, maka kriteria dan standar dapat diambil dari
dokumen tersebut. Kriteria adalah bukti yang diperlukan dan harus ada bahwa pasien telah
diberi pelayanan pada taraf seoptimal mungkin. Standar adalah baku nilai yang menjelaskan
kriteria tersebut. Usahakan membuat kriteria dan standar mulai dari input, proses, dan output.
Dapat juga kriteria dibuat mulai dari proses penegakan diagnosis, proses terapi, dan luaran
pasien. Sebagai contoh, dalam audit medis kasus demam dengue dapat dibuat kriteria
penegakan diagnosis berupa pemeriksaan temperatur, pemeriksaan rumple leede, dan
pemeriksaan darah rutin; kriteria proses terapi: pemberian antipiretika adekuat, pemberian
cairan rumatan; dan kriteria luaran: bebas panas 24 jam pada hari ketujuh. Shaw dan Costain
(1989) memberikan pendapat bahwa kriteria audit ini harus mencakup prosedur diagnostik,
prosedur terapi, manajemen kondisi klinis tertentu, dan, bila mungkin, pengukuran luaran.
Pengumpulan Data
Agak berbeda dengan definisi audit medis pada Permenkes, pengumpulan data pada audit
sebenarnya bisa retrospektif (dari rekam medis) maupun prospektif (pengamatan langsung).
Bias pada penelitian prospektif tentu lebih mudah terjadi karena klinis tahu sedang diamati
untuk audit. Dengan demikian, studi retrospektif melalui berkas rekam medis lebih disukai.
Williams (1996) telah mengingatkan bahwa pengumpulan data dapat menjadi pekerjaan yang
melelahkan dan menjemukan. Data tidak akan menjadi informasi apabila data tersebut tidak
bisa menjawab secara spesifik permasalahan yang mengemuka. Oleh sebab itu, kriteria dan
standar yang telah disusun pada langkah selanjutnya perlu dirumuskan menjadi pertanyaan
yang spesifik.
Salah satu contoh dari kriteria dan standar di atas, yaitu pemeriksaan darah rutin pada
kelompok kriteria penegakan diagnosis dapat diubah menjadi pertanyaan spesifik sebagai
berikut: Apakah pemeriksaan darah rutin dilakukan dalam rangkaian pemeriksaan pasien?.
Untuk memudahkan rekapitulasi data, buatlah tabel dalam spreadsheet atau alat bantu lain
seperti contoh dalam tabel berikut ini. Berikan kode 1 bila ada data dalam rekam medis
bahwa kriteria tersebut dilakukan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Kode 2 diberikan
bila ada data bahwa kriteria tersebut dilakukan namun tidak ada bukti sesuai standar. Kode
3 diberikan bila tidak ada bukti apapun pada rekam medis bahwa kriteria tersebut
dilakukan.
Nomor Kasus
1 2 3 4
.. 100
Kriteria
Penegakan
Diagnosis
Pemeriksaan temperatur
Pemeriksaan rumple leede
Pemeriksaan darah rutin
Kriteria Proses Terapi
Pemberian
antipiretika
adekuat
Pemberian cairan rumatan
Kriteria Luaran
Bebas panas 24 jam pada
hari ketujuh
Williams (1996) menulis bahwa bagian paling penting dalam audit medis adalah
implementasi perubahan menuju peningkatan mutu klinis. Hal ini sesuai dengan tujuan audit
yang telah dijelaskan di atas. Muncul masalah mengenai bagaimana perubahan ini
diimplementasikan. Pertama, hendaknya analisis data yang telah disimpulkan tersebut
dijadikan dasar dalam membuat plan of action atau rencana tindak lanjut (RTL). Rencana
tindak lanjut ini sebaiknya disusun bersama oleh pihak-pihak yang berkompeten dan
berkepentingan terhadap hasil audit ini. Batas waktu implementasi perubahan ini juga
sebaiknya dikerjakan dalam lingkup waktu yang spesifik dan terukur.
Komunikasi yang elegan antara pelaksana audit dan sejawatnya sangat menentukan
keberhasilan tahap perencanaan dan implementasi perubahan ini. Para klinisi mungkin akan
tersinggung apabila pemimpin audit mengatakan kepada mereka, Penatalaksanaan demam
dengue kita masih jelek karena penyimpangan pada penegakan diagnosis terjadi pada lebih
dari separuh kasus. Sebagai gantinya, pemimpin audit dapat mengatakan hasil tersebut
dengan kalimat lebih positif yang bermakna kurang lebih sama seperti misalnya, Kita masih
perlu bekerja sama untuk meningkatkan ketelitian pada sempurnanya penegakan diagnosis
demam dengue yang dicapai baru mendekati separuh kasus.
Reaudit
Prosedur reaudit sama dengan prosedur audit kecuali tentu pemilihan topik, kriteria, dan
standar. Hasil reaudit seharusnya lebih baik daripada hasil audit sebelumnya karena reaudit
dilakukan setelah implementasi perubahan dilakukan. Apabila hasilnya sama saja, analisis
dan perencanaan perubahan perlu diperbaiki lebih lanjut.
Penutup
Audit medis, sesuai uraian di atas merupakan gabungan proses yang melibatkan tim
kompeten, dilakukan secara sistematis, dianalisis sesuai perkembangan keilmuan terkini, dan
bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan. Menilik tujuan dan kepentingannya,
disarankan supaya audit medis ini dapat secara rutin dilakukan sebagai salah satu tugas rutin
para klinisi dalam mempertanggungjawabkan mutu pelayanan klinisnya di rumah sakit.
Salam! (RAD)
Referensi
Djasri H, Audit Klinik/Medik Sebagai Bagian dari Proses Peningkatan Mutu Pelayanan
Rumah Sakit, Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM, Yogyakarta, 2012
Keputusan Menteri Kesehatan no. 496/MENKES/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis
di Rumah Sakit (Telah dicabut dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan no.
755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit)
Peraturan Menteri Kesehatan no. 755/MENKES/PER/IV/2011 tentang Penyelenggaraan
Komite Medik di Rumah Sakit
Shaw CD, Costain DW, Guidelines for medical audit: seven principles, Br Med J
1989;299:498-9
Williams O, What is clinical audit?, Ann R Coll Surg Engl 1996; 78: 406-411
Penulis
Robertus Arian Datusanantyo adalah dokter jaga gawat darurat dan ruang rawat inap di RS
Panti Rapih Yogyakarta dan saat ini sedang menempuh pendidikan pasca sarjana ilmu
kesehatan masyarakat dengan peminatan manajemen rumah sakit di Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada.