Anda di halaman 1dari 15

53

Jurnal Hukum, Vol. XVIII, No. 18, April 2010 : 53 - 68

ISSN1412 - 0887

PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE


DALAM INVESTASI PERDAGANGAN

Soemali, SH., MHum.1


Lidia Noor Yulyanti2

ABSTRAK
Penyelesaian sengketa investasi perdagangan dapat dilakukan melalui dua cara yaitu
litigasi dan non litigasi. Salah satu bentuk penyelasain sengketa nin litigasi yang biasa
digunakan dalam investasi perdagangan adalah arbtrase. Arbistrase mulai dikenal
dalam sistem hukum di Indonesia semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada suatu
perjanjian yang bersifat tertulis yang disepakati oleh kedua belah pihak. Terhadap
putusan arbitrase pada dasarnya adalah bersifat final dan mengikat sehingga dapat
dieksekusi secara sederhana. Akan tetapi apabila salah satu merasa dirugikan dapat
mengajukan keberatan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat.
Kata Kunci: Penyelesaian sengeta Non litigasi, Arbitrase, final dan mengikat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Era perdagangan bebas menjadikan negara seakan-akan tanpa batas khususnya
dalam bidang perdagangan internasional atau dagang internasional, yaitu yang
melibatkan beberapa negara. Dalam menyongsong perdagangan bebas diperlukan suatu
perangkat aturan yang jelas dan memadai, yang tidak menimbulkan masalah di
kemudian hari dalam mengadakan transaksi dagang. Timbulnya masalah dari
perdagangan atau dagang internasional umumnya berkaitan dengan risiko tertentu yang
terjadi karena penerapan peraturan hukum yang berbeda, apalagi jika salah satu negara
tidak mengakui hukum nasional negara asing. 3
Dalam menjalin hubungan dagang antara para pihak, baik dalam skala domestik
maupun internasional, para pihak senantiasa menghendaki agar segala apa yang telah
disepakati dan dituangkan kedalam perjanjian dapat dipenuhi dan dilaksanakan
1
2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya

Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc., Printed
In USA, 1990, h. vii

54

sebagaimana mestinya, yaitu, sesuai dengan tujuan diadakannya kesepakatan dalam


kontrak tersebut.. Hal ini mengandung maksud bahwa ikatan dagang yang telah
disepakatinya tersebut terdapat kepastian hukum terhadap segala hak dan kewajiban
yang timbul dari perjanjian dagang tersebut. Pemenuhan hak dan kewajiban
sebagaimana telah diperjanjikn akan menimbulkan proses resiprositas diantara para
pihak, dengan maksud agar para pihak yang telah mencapai kata sepakat untuk
mengadakan perjanjian dagangterjalin suatu hubungan yang langgeng, sehingga dapat
berlangsung untuk jangka panjang, serta mencegah kemungkinan timbulnya sengketa.
Penyelesaian sengketa dagang baik domestik maupun internasional semula
diselesaikan oleh lembaga peradilan umum (litigasi), namun dengan pertimbanganpertimbangan tertentu, sengketa dagang internasional tersebut diselesaikan melalui
lembaga di luar sidang pengadilan (non litigasi). Penyelesaian dagang melalui lembaga
peradilan umum dilangsungkan oleh lembaga pengadilan negeri, sedangkan
penyelesaian sengketa dagang melalui lembaga non litigasi diselenggarakan oleh
lembaga arbitrase.
Penyelesaian melalui lembaga arbitrase di Indonesia diawali pada tahun 2007
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing
mengenai Penanaman Modal. Diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
(selanjutnya disingkat UU No. 25 Tahun 2007) merupakan suatu bentuk ratifikasi dari
Konvensi International Centre for the Settlement of Investment Desputes between States
and Nationals of other States (ICSID). Meskipun telah ada ketentuan yang
mengaturnya, namun dibentuk juga peraturan yang mengatur masalah arbitrase yaitu
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (selanjutnya disingkat UU
No. 30 Tahun 1999).
Rumusan Masalah
1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
2. Upaya hukum para pihak yang menolak putusan arbitrase.
Metode Penulisan
1 . Pendekatan Masalah
Penelitian ini tergolong penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan
konsep (conceptual approach). Statute approach yaitu pendekatan yang dilakukan
dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku
berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan conceptual approach yaitu
pendekatan dengan cara membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung
pembahasan.

55

2 . Sumber Bahan Hukum


a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan
permasalahan yang dibahas, yaitu, UU No. 30 Tahun 1999 dan peraturan lainnya
yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan
hukum primer, dalam hal ini bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum
yang berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai
media cetak yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang sedang
dibahas.
PEMBAHASAN
A. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam investasi perdagangan ditinjau
dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking an
abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of
carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and vexation of ordinary litigation".
Istilah arbitrase (arbitrage = arbitration) berasal dari bahasa Latin, yakni
arbitrari yang berarti suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim
(arbitrator) atau para hakim (arbitrator) berdasarkan persetujan bahwa mereka tunduk
dan mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih
atau tunjuk tersebut.4 H.M.N. Putwosutjipto menerjemahkan istilah arbitration (Inggris)
atau arbitrage (Belanda) dengan perwasitan. Kemudian perwasitan itu didefinisikan
sebagai suatu peradilan perdamaian dimana para pihak bersepakat agar perselisihan
mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili
oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak oleh hakim yang tidak
memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan
putusannya mengikat kedua belah pihak.5
Arbitrase menurut Subekti diartikan sebagai berikut: Arbitrase adalah
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para halim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan
oleh hakim atau para hakim mereka pilih atau tunjuk tersebut.6 Menurut Pasal 1 angka
1 UU No. 30 Tahun 1999 mengartikan arbitrase sebagai berikut: Arbitrase adalah cara

Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum


Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994, h. 58.
5

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan,


Jakarta, 1992, h. 1.
6

Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981, h 5.

13

56

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Memperhatikan definisi arbitrase sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan
bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum,
didasarkan perjanjian, yang dibuat secara tertulis, oleh para pihak yang bersengketa.
Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi
perjanjian arbitrase, di antaranya:
1. perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
2. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3. perjanjian tersebut ditujukan untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di
luar peradilan umum.
Penyelesaian perkara perdata melalui lembaga peradilan tidak cukup hanya pada
lembaga peradilan dalam arti Pengadilan Negeri saja, karena jika dengan putusan
peradilan tingkat pertama tersebut terdapat pihak yang merasa dirugikan, dapat
mengajukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi yaitu upaya banding pada
Pengadilan Tinggi. Jika putusan Pengadilan Tinggi tersebut mengakibatkan salah satu
pihak merasa keberatan karena dirugikan, maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi
pada Mahkamah Agung, dan demikian juga jika salah satu pihak merasa keberatan
terhadap putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat mengajukan upaya
hukum peninjauan kembali pada Mahkamah Agung. Pada kondisi yang demikian
tentunya penyelesaian melalui lembaga peradilan memerlukan waktu yang cukup lama,
tentunya juga menyangkut masalah biaya dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sudargo Gautama, bahwa para pedagang pada
umumnya takut untuk berperkara bertahun-tahun lamanya. Tentunya banyak biaya yang
harus dikeluarkan sebelum dapat diperoleh suatu putusan dengan kekuatan pasti
(enforceable), artinya dapat dijalankan melalui eksekusi. 7 Oleh karena itu tentunya
penyelesaian melalui lembaga peradilan khususnya bagi para pedagang kurang diminati,
sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy bahwa pada
perkembanganya, terutama menyangkut masalah transaksi (kerjasama) bidang dagang
internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu diminati oleh
pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini disebakan oleh adanya beberapa faktor, di
antaranya:8
1. lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata;
2. lamanya penyelesaian sengketa dapat pula disebabkan oleh panjangnya tahapan
penyelesaian sengketa,
3. lama dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut
tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan;
7

Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, (selanjutnya disingkat


Sudargo Gautama 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 2-3.
8

Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media,
Yogyakarta, 1999.

57

4. sidang pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal disisi lain
kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan dagang;
5. seringkali hakim yang menangani atau menyelesaikan sengketa dalam dagang
kurang menguasai substansi hukum sengketa yang bersangkutan atau dengan
perkataan lain hakim dianggap kurang profesional, dan
6. adanya citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan Indonesia.
Penyelesaian sengketa dagang dapat dilakukan di luar lemabaga peradilan yaitu
penyelesaian dengan menggunakan jasa arbitrase (non litigasi). Pada umumnya
pengusaha asing lebih senang menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase,
dengan pertimbangan:
Pertama, pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian
arbitrase di luar negeri karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat
asing bagi mereka.
Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan bahwa hakim-hakim negara
berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan hubunganhubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit.
Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa melalui pengadilan
akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang besar, karena proses pengadilan yang
panjang dari tingkat pertama sampai dengan tingkat Mahkamah Agung.
Keempat, keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa di depan
Pengadilan bertolak dari anggapan bahwa Pengadilan bersifat subjektif kepada mereka,
karena sengketa diperiksa dan diadili berdasarkan bukan hukum negara mereka, oleh
hakim bukan dari negara mereka.
Kelima, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang salah dan siapa
yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan hubungan dagang antar mereka.
Keenam, penyelesaian sengketa melalui perjanjian arbitrase tertutup sifatnya, sehingga
tidak ada publikasi mengenai sengketa yang timbul. Publikasi mengenai sengketa suatu
yang tidak disukai oleh para pengusaha.
Dengan kondisi sebagaimana di atas, penyelesaian melalui lembaga arbitrase
mempunyai kelebihan-kelebihan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur
peradilan umum. Kelebihan tersebut di antaranya adalah:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal proseduran dan
administrasi;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempu-nyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup menge-nai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;

58

e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun lang-sung dapat
dilaksanakan.9
Arbitrase merupakan salah satu alternatif diantara sekian banyak alternatif forum
penyelesaiann sengketa dagang. Arbitrase termasuk dalam model penyelesaian sengketa
yang bersifat non ligitigasi (out of court dispute settlement). Selain arbitrase, terdapat
pula berbagai alternatif penyelesaian sengketa dagang secara non litigasi, antara lain
meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain sebagainya. Di antara berbagai model
penyelesaian sengketa non litigasi tersebut, maka arbitrase yang memiliki ciri
tersendiri yang tergolong unik. Di satu pihak, arbitrase termasuk sebagai model non
litigasi, oleh karena menyangkut penyelesaian sengketa dagang di luar lembaga
peradilan atas dasar kesukarelaan para pihak. Para pihak yang bersengketa memiliki
otonomi luas (party autonomie) dalam dan menentukan forum, aturan, prosedur,
arbitrase, dan lain sebagainya yang dianggap sesuai dengan kehendak bersama para
pihak. Termasuk adanya prinsip private and confidential yang merupakan ciri yang
paling litigasi. Di pihak lain, putusan yang telah dihasilkan melalui proses arbitrase
bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga putusannya dimungkinkan
untuk dilaksanakan sebagaimana layaknya sebagai putusan lembaga peradilan
(enforceable). Putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat memberikan
penyelesaian sengketa dagang yang efektif dan efisien kepada pihak yang bersengketa.
Selain dari pada itu, dengan dimungkinkannya pelaksanaan putusan arbitrase melalui
lembaga peradilan memberikan efek kepastian hukum kepada pihak yang bersengketa.
Menurut. Subekti10 bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa
lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia
dilakukan :
a) dengan cepat;
b) oleh ahli dari;
c) secara rahasia.
Sementara itu Purwosutjipto11 mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit
(arbitrase) adalah: Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat. Para wasit
terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan
mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. Putusan akan lebih sesuai
dengan perasaan keadilan para pihak. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga
umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Namun Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, ada keharusan untuk mendaftarkan putusan
arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak
mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.

Periksa Penjelasan UU No. 30 Tahun 1999.


Subekti 1, Op. cit., h. 21

10

11

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang, Jambatan, Jakarta: 1988.

59

Apabila hubungan dagang terjadi suatu sengketa, penyelesaian sengketa dapat


dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya: 1) model penyelesaian sengketa dagang
dilakukan oleh dan melalui lembaga peradilan (in court dispute settlement), 2) model
penyelesaian sengketa dagang dilakukan di luar lembaga peradilan (out of court dispute
settlement), yang masing-masing mempunyai karakteristik dan konsekuensi yang
berlainan.12
Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa dasar penunjukkan
lembaga arbitrase oleh para pihak dalam hubungan dagang adalah kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak dagang tersebut. Hal ini mengandung maksud bahwa
penunjukkan penyelesaian sengketa dagang oleh lembaga arbitrase harus dicantumkan
secara jelas dalam klausula dagang, sejalan dengan asas yang terkandung dalam
kebebasan berkontrak, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 angka 1 KUH Perdata).
Perihal arbitrase, terdapat tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi
Arbitrase sebagai bentuk perjanjian yang dibuat antara pihak-pihak yang terlibat
dalam perdagangan baik nasional maupun internasional, maka harus dibuat memenuhi
syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif perjanjian arbitrase, selain perjanjian harus dibuat oleh pihakpihak yang telah cakap bertindak dalam hukum dan sepakat antara kedua belah pihak,
perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak-pihak yang demi hukum dianggap
mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian. Para pihak yang membuat
perjanjian arbitrase tidak dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata,
melainkan juga termasuk di dalamnya subjek hukum publik. Meskipun sebagai salah
satu pihak adalah subjek hukum publik, tidaklah berarti arbiter dapat mengadili segala
sesuatu yang berhubungan dengan hukum publik. Sengketa yang melibatkan subjek
hukum publik diselesaikan melalui arbitrase yang sifatnya terbatas.
Syarat objektif perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan
diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa. Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di
luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara
itu ayat 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa
yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur
dalam B.W. Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Penyelesaian perselelisihan melalui arbitrase adalah institusi hukum alternatif
bagi penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Sebagian pengusaha lebih suka
12

Ibid., h. 4.

60

menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka melalui perjanjian arbitrase dari
pada pengadilan. Pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui perjanjian
arbitrase di luar pengadilan karena menganggap sistem hukum dan pengadilan setempat
asing bagi mereka. Oleh karenanya bisa saja negara yang bersangkutan mempunyai
prasangka yang jelek terhadap sistem hukum negara di mana modal akan ditanamkan,
khususnya yang menyangkut masalah kepastian hukum dan keadilan serta kredibilitas
hakim penyelesaian sengketa tersebut. Oknum-oknum yang cenderung mempersulit
proses pencarian keadilan, peradilan yang ada di Indonesia saat ini dianggap kurang
dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa penyelesaian masalah
secara arbitrase di Indonesia berkembang setelah diundangkannya UU No. 30 Tahun
1999. Penyelesaian melalui arbitrase banyak dipilih karena sifat kerahasiaannya dan
waktu yang dibutuhkan jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan penyelesaian
melalui peradilan umum. Selain itu penyelesaian melalui arbitrase lebih menjaga
kerahasiaan pihak-pihak

B. UPAYA HUKUM PARA PIHAK YANG MENOLAK PUTUSAN ARBITRASE


Di atas telah dijelaskan bahwa arbitrase diatur dalam Rv., sebagai satu-satunya
aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan Hindia Belanda sampai
masa kemerdekaan Republik Indonesia, hingga dikeluarkannya Undang-undang No. 30
tahun 1999 ini.
Sebagaimana telah disinggung pada uraian terdahulu bahwa keberadaan lembaga
arbitrase diatur dalam RV mulai Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal 615 ayat (1)
Rv. menguraikan: Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu
sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuaaannya untuk
melepaskannya, untuk menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau
beberapa orang wasit. Kemudian dalam ayat (3) Pasal 615 ayat (3) Rv. ditentukan :
Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan
sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seorang
atau beberapa orang wasit. Ketentuan tersebut jelas bahwa setiap orang atau pihak
yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada
seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut
menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersengketa. Para pihak yang bersengketa berhak untuk melakukan penunjukkan itu
setelah ataupun sebelum sengketa terjadi, dilakukan dengan pencantuman klausula
arbitrase dalam perjanjian pokok mereka (Pactum De Kompromitendo). Sedangkan
penunjukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit
dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (Akta Compromis).
Sehubungan dengan macam-macam arbitrase, secara umum dalam praktek
dikenal dua macam arbitrase dalam praktek, yaitu :
1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter Arbitrase);
2. Arbitrase Institusional (Lembaga Arbitrase).13
13

Ibid., h. 19.

61

Arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrase sifatnya tidak permanen atau insidentil.
Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus
sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase
ad hoc inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. Arbiter yang menanganai
penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang
bersengketa; demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan
penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaiann sengketa tidak memiliki
bentuk yang baku. Hanya saja dalam pemilihan dan penentuan tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang.
BATAS WAKTU PROSES PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI
LEMBAGA ARBITRASE
Huruf Pasal

Uraian

Pointer

Jumlah hari

NEGOSIASI
A

6 (2)

Pertemuan langsung

6 (4)

MEDIASI
Melalui mediator independen

6 (5)

Penunjukkan mediator oleh


Lembaga Arbitrase

6 (6)

14

A + 14

14

B+7

Melalui mediator yang ditunjuk oleh Lembaga Arbitrase

6 (7)

Pendaftaran kesepakatan di PN

6 (8)

Pelaksanaan kesepakatan

C + 30

30

A/B/D + 30

30

F + 30

30

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN SENGKETA


MELALUI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELE-

125

SAIAN SENGKETA DAN PELAKSANAAN PUTUSAN


ARBITRASE
Persetujuan untuk melaksanakan
penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dan penunjukan arbiter

14 (3)

Pengangkatan arbiter tunggal

15 (3)

Pengangkatan arbiter dalam


Majelis arbitrase

15 (4)

G + 14

14

G + 30

30

I + 14

14

Pengangkatan arbiter ketiga dalam


Majelis arbitrase

62

16 (2)

Penentuan atau penolakan oleh Arbiter

24 (3) & Tuntutan ingkar terhadap arbiter

H/J + 14
H/I + 14

14
14

24 (4)
M

38

Pemasukan surat permohonan gugatan

39

Jawaban oleh termohon arbitrase

40 (2) & Panggilan untuk menghadap di depan

41
44 (2)

M + 14

14

N + 14

14

sidang arbitrase
Panggilan ke-2 untuk menghadap di
Depan sidang arbitrase

44 (2)

Pemeriksaan sidang tanpa kehadiran

P + 10

10

Termohon
R

48

57

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN


SENGKETA MELALUI ARBITRASE
Putusan diucapkan

58

Koreksi putusan

S + 14

14

59 (1)

Pendaftaran di Pengadilan Negeri

S + 30

30

62 (2)

U + 30

30

Eksekusi oleh Pengadilan Negeri


PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Permohonan pembatalan putusan

71

72 (2) Putusan permohonan pembatalan putusan arbitrase oleh Mahkamah Agung

180
R + 30

30

270
U + 30

30

W + 30

30
30

72 (4) Pengajuan banding ke Mahkamah Agung

W + 30

72 (5) Putusan oleh Mahkamah Agung atas

R + 60

60

AA 74 (2) Penundaan tugas arbiter (48)

R + 60

60

AB 75 (3) Pengangkatan arbiter pengganti

R + 30

30

banding putusan pembatalan

JANGKA WAKTU TAMBAHAN


TOTAL JANGKA WAKTU YANG DIPERLUKAN

150
455

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan maksimum jangka waktu


penyelesaian sengketa melalui arbitrase dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase tersebut. Selain itu Undang-undang juga

63

melahirkan tanggung jawab perdata bagi arbiter atau majelis arbitrase atas pemenuhan
perjanjian penyelesaian sengketa diantara arbiter atau majelis arbitrase trersebut denga
para pihak yang bersengketa.
Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tatacara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Karena para arbitrator ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, maka
logisnya putusan arbitrator harus ditaati oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak
tidak mau tunduk pada putusan tersebut, maka ia menjadi pihak yang melakukan
wanprestasi. Putusan arbitrase adalah putusan terakhir, termasuk dalam kesepakatan
kedua belah, bahwa putusan wasit maupun putusan terakhir, jadi tidak ada banding atau
kasasi, sesuai dengan Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, bahwa putusan arbitrase bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa (Pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999).
Terhadap putusan Arbitrase Internasional diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, namun penyelesaiannya harus melalui lembaga
ICSID dan putusan arbitrase internasional tersebut harus ditempuh dengan syarat-syarat
bahwa, putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan, putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud
dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertibann umum, putusan Arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat; dan Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan segelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat (Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999):
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah
putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, penyampaian berkas permohonan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: lembar asli atau salinan
otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahann resminya dalam Bahasa Indonesia, lembar asli atau
salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai
ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam
Bahasa Indonesia, keterangan dari perwakilan diplomatik Republik di negara tempat
Putusann Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara

64

pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan
negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional, (Pasal 68 UU No. 33 Tahun 1999).
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut
surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaann, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari
hasil tipu muslihat yang dilakukann oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
sebagaimana Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri sebagaimana Pasal 71 UU No. 30 Tahun 1999. Permohonan
pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri. Apabila
permohonan dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat
pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima. Terhadap
putusan Pengadilann Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung
mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah
Agung sesuai dengan Pasal 172 UU No. 30 Tahun 1999.
Berdasarkan uraian dan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat
dijelaskan bahwa putusan arbitrase sifatnya final, namun jika dengan putusan tersebut
ada pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan atas keputusan
arbitrase tersebut. Permohonan pembatalan atas putusan arbitrase diajukan kepada
Pengadilan Negeri pada daerah hukum di mana para pihak tersebut bersengketa.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.

Penyelesaian masalah secara arbitrase di Indonesia didasarkan atas UU No. 30


Tahun 1999 tentang arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase dapat
menekan lamanya waktu, biaya dan tenaga serta sifatnya tertutup, sehingga sangat
tepat untuk para pebisnis dari negara asing.

2.

Putusan Arbitrase pada hakikatnya adalah bersifat final dan mengikat secara
langsung terhadap pihak yang bersengketa. Karena Penyelesaian menggunakan
arbitrase merupakan pilihan kedua belah pihak yang bersengketa dan seharusnya
hasil keputusan arbiter tersebut mengikat kedua belah pihak, namun jika hasil

65

keputusan arbitrase tersebut merugikan salah satu pihak, maka upaya hukum para
pihak yang menolak
putusan arbitrase adalah mengajukan permohonan
pembatalan keputusan arbitrase tersebut pada Pengadilan Negeri.
B. Saran
1.

Penyelesaian secara arbitrase di Indonesia nampaknya kurang sosialisasi, sehingga


sebagian masyarakat belum mengetahui eksistensi lembaga arbitrase untuk itu
hendaknya mengenai eksistensi lembaga arbitrase ini disosialisasikan kepada
masyarakat luas.
2. Penyelesaian secara arbitrase merupakan suatu hasil kesepakatan kedua belah pihak
yang ditungkan dalam perjanjian, untuk itu kaitannya dengan upaya hukum
permohonan pembatalan keputusan pada Pengadilan Negeri, hendaknya Pengadilan
Negeri mempertimbangkan kesepakatan kedua belah pihak dan menekan waktu
dalam menerbitkan penetapan atas permohonan tersebut.

66

DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Boediono, Ekonomi Internasional, BPFE, Yogyakarta, 2001.
Keinichi Ohmal, Berderless Word, Herper Business, Maknesey Company Inc., Printed
In USA, 1990
Mariam Darus Badrulzaman, Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum
Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994.
Pitlo, Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, 1986.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 1, Djambatan,
Jakarta, 1992.
Retnowulan Soetantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1998.
Ricky W. Griffin dan Michail W. Pustay, Bisnis Internasional, Jilid I, Indeks, Jakarta,
2005.
Ridwan Khairandy, et. all, Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Ghama Media,
Yogyakarta, 1999.
Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka
Kartini, Jakarta, 1995.
_______, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1989.
Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Jakarta 1998.
Subekti, Arbitrase Perdagangan, BPHN-Binacipta, Jakarta, 1981.
_______, Hukum Perjanjian, , Intermasa, Jakarta, 1991.
Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1979.
Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht, Terjemahan
Adiwimarta, Gajahmada, Yogyakarta, 1962.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, 1991.

67

B. Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengetahuan Ratifikasi Trade Relate
Asfect Propertus Rungkit.

Anda mungkin juga menyukai