Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

LAPORAN KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal MRS

: Tn. AC
: 18 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Pelajar
: Komplek AURI Tanjung Pinang
: 8 Juni 2015

1.2. Anamnesis
Dilakukan alloanamnesa dengan ibu pasien pada tanggal 8 Juni 2015 pukul : 01.00
WIB
Keluhan utama : Pasien post KLL, tidak sadar
a. Riwayat Perjalanan Penyakit :
Kronologis:

9 jam SMRS, pasien kecelakaan sepeda motor tunggal, dibawa ke RSUP


Tanjung Pinang dan saat ini pasien merupakan rujukan dari RSUP Tanjung Pinang
dengan diagnosis CKB, pada saat dibawa pasien dalam keadaan tidak sadar.

Sebelumnya os muntah >>5 kali

b. Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat alergi obat/makanan disangkal
c. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat kencing manis disangkal
1.3. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada 08 Juni 2015
Keadaan Umum

: Tampak sakit berat

GCS

: E2V3M5 = 15

Vital Sign

: Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Suhu

: 36,5C

Pernafasan

: 18 x/menit

A. Status Generalis
a.

Kulit

: Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis,


turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan
teraba hangat.

b.

Kepala

: Tampak hematoma pada regio temporal dextra, tak tampak


luka robek.

c.

Mata

: Tampak hematoma periorbital dextra, tidak terdapat


konjungtiva anemis dan sklera ikterik. Pupil anisokor,
kanan > kiri, diameter 4mm/3mm.

d.

Telinga

: Tidak

terdapat

jejas,

tidak

terdapat

hematoma

retroaurikuler, tidak terdapat perdarahan.


e.

Hidung

: Tidak terdapat perdarahan

f.

Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas.
2) Palpasi

: Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran


kelenjar tiroid dan kelenjar limfe.

e. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis (-)
b) Palpasi : Ictus cordis teraba pelan
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri
:
ii. Batas atas kanan
:
iii. Batas bawah kiri
:
iv. Batas bawah kanan
:
d)

SIC II LPS sinsitra


SIC II LPS dextra
SIC V LMC sinistra
SIC IV LPS dextra

Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta
tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan
tidak terdapat ketertinggalan gerak.
2

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru


d) Auskultasi: Tidak terdengar suara ronkhi pada kedua pulmo.
Tidak terdengar suara wheezing
f. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi
:
Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi :
Terdengar suara bising usus
c) Perkusi
:
Timpani
d) Palpasi
:
Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien
tidak teraba.
g. Pemeriksaan Ekstremitas :
Vulnus Excoriasi multiple pada tungkai dan lengan, tidak terdapat
massa
Turgor kulit cukup, akral hangat
1.3.

Pemerikaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Rutin (10 Mei 2015)
Hb

: 12,2 g/dl

(L: 14-18 g/dl)

Ht

: 35 vol%

(L: 40-48 vol%)

Eritrosit

: 3,9 juta

(4-6 juta/mm3)

Leukosit

: 22.300/mm3

(L: 5000-10.000/mm3)

Trombosit

: 348.000/mm3

(200.000-500.000/mm3)

Clotting Time

: 8 menit

(4-10 menit)

Bleeding Time

: 4 menit

(3-6 menit)

Kimia Klinik (07 Juni 2015)


GDS

: 129 mg/dl

(<140 mg/dl)

Ureum

: 18 mg/dl

(15-39 mg/dl)

Creatinin

: 0,67 mg/dl

(L: 0,9-1,3 mg/dl P: 0,6-1,0 mg/dl)

SGOT

: 81 U/L

(L: <37 U/L)

SGPT

: 20 U/L

(L; <42 U/L)

Imunologi (07 Juni 2015)


HbsAg

: Non Reaktif

HIV

: Non Reaktif

1.5.

Diagnosis Klinis
Epidural Hematoma

1.7.

Rencana Penatalaksanaan
- Pasang monitor, O2 NRM 10 lpm
- Pasang NGT terbuka
- IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
- IVFD Manitol 100 cc/6 jam
- Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam
- Inj. Ranitidine 25 mg/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 gr/8 jam
- Rencana Operasi Craniotomy Cito

Follow up post-operatif hari ke 1 (8 Juni 2015)


Subjektif
Objektif

: Gelisah

Vital sign:

Tekanan darah
Nadi
Suhu
Respirasi

: 130/70 mmHg
: 84 x/menit reguler
: 36,5 oC
: 20 x/menit

Status General
Keadaan umum: cukup, GCS: E4V5M6
Kepala/Leher
: pupil isokor 3-3 mm (produksi drain 20 cc)
Thorax
: dbn
Abdomen
: dbn
Status neurologi : parese sinistra membaik
Assessment
Post Op Craniotomi H+1 e.c. EDH
Terapi
-

Pindah ruangan

IVFD Nacl 0,9%

IVFD Manitol 100 cc/6 jam

Inj. Cefotaxim 1 gr/12 jam

Inj. Ranitidin 25 mg/12 jam

Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

Follow up post-operatif hari ke 2 (9 Juni 2015)


Subjektif
Objektif

: Gelisah, tidak bisa tidur

Vital sign:

Tekanan darah

: 130/70 mmHg

Nadi
Suhu
Respirasi

: 84 x/menit reguler
: 37 oC
: 20 x/menit

Status General
Keadaan umum: cukup, GCS: E4V5M6

Kepala/Leher
Thorax
Abdomen

: pupil isokor 3-3 mm (produksi drain 60 cc)


: dbn
: dbn

Status neurologi :
Tangan
5555/4444
dbn
+/+
-/-

Kekuatan Motorik
Tonus
Klonus
R. fisiologi
R. patologis

Kaki
5555/4444
dbn
+/+
-/-

Assessment
Post Op Craniotomi H+2 e.c. EDH
Terapi
-

Pindah ruangan

IVFD Nacl 0,9% 1000 cc/24 jam

IVFD Manitol 100 cc/8 jam

Diit susu/lunak

Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam

Inj. Ranitidin 25 mg/12 jam

Inj. Dexketoprofen 25 mg/8 jam

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pendahuluan

2.1 Anatomi
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.

B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang
bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
8

pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura)
yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinussinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis.4 Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi
oleh pia mater.
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa sekitar
14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum

retikular yang berfungsi dalam


kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga

mengganggu

penyerapan

CSS

dan

menyebabkan

kenaikan

takanan

intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150
ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan
tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis

10

2.2 ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA


a. Hukum Monroe-Kellie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak
elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponenkomponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan
volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl
b. Tekanan Perfusi Serebral
Adalah selisih antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intarkranial (ICP). Pada
seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan selama
MAP berkisar 50-150mmhg. Hal ini dapat terjadi akibat adannya autoregulasi dari
arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi dalam upaya menjaga agar
aliran darah ke otak berlangsung konstan.
PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu
benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala.Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut
lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak
bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak

11

memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan

dari benturan (contrecoup).


Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria
ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed.
Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkanlokasinya. Sebagai pegangan umum,
depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi
elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara
laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan
operasi perbaikan segera.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien
yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan
20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli
bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.15
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,
hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok
cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan

12

perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi
lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural
relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera
kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih
terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas
dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,
dan 20% pada pasien koma dalam.12,14
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater
dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%
penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan
dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya
sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif.

Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir
selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus
frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
13

menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.
KLASIFIKASI
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.16 Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada
tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip
penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan
survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua
pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
14

4. Nyeri kepala sedang hingga berat


5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan
suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat
berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid,
barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan
tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,
temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
2. dari 20 cc di daerah infratentorial
3. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan
4. tanda fokal neurologis semakin berat
5. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
6. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
7. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
8. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
9. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
10. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

15

BAB III
ANALISIS KASUS
Dari kasus di atas, pasien laki-laki usia 46 tahun tinggal di Tanjung Pinang
datang dengan keluhan pancaran buang air kecil melemah sejak 6 bulan yang lalu.
Dari anamnesa didapatkan keluhan berupa sulit BAK, BAK mengejan, setelah
BAK penderita merasa tidak puas dan diikuti oleh pancaran urine yang lemah,
dipertengahan miksi seringkali miksi berhenti kemudian memancar lagi (intermitensi).
Keluhan ini merupakan gejala obstruktif saluran kemih. Jadi kesimpulan yang diambil
bahwa penderita mengalami suatu gejala obstruktif saluran kemih. Dan juga ditemukan
adanya keluhan sering berkemih (frequency) terutama pada malam hari (nocturia),
sehingga pasien ini disimpulkan mengalami gejala iritatif dari saluran kemih.
Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami gejala obstruktif dan gejala
iritatif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms).
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan pada
saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada saluran
kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi (straining),
menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness), miksi terputus
(intermitten) dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif meliputi rasa ingin
miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi (frequency), sering miksi pada
malam hari (nocturia) dan nyeri ketika miksi (dysuria). Dari keluhan utama dan
anamnesis pada pasien ini didapatkan pancaran buang air kecil melemah yang disebabkan
berkurangnya diameter dan atau elastisitas urethra yang disebabkan oleh jaringan uretra
yang diganti jaringan ikat yang kemudian mengkerut meyebabkan lumen urethra
mengecil. Penyempitan lumen urethra yang disebabkan oleh dinding urethra mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, 12 tahun yang lalu os mengaku
memiliki riwayat kencing batu. Awalnya pinggang kiri terasa sakit, namun os tidak
memeriksakannya ke dokter dan buang air kecil mengeluarkan 2 batu sebesar kepala
jarum pentul, lalu nyeri pinggang kiri hilang. Lalu hal tersebut terulang kembali di 5
tahun berikutnya, os tidak berobat ke dokter dan BAK kembali mengeluarkan 2 batu

16

sebesar kepala jarum pentul. Riwayat pernah trauma, pemakaian kateter, penyakit gula
darah dan penyakit tekanan darah tinggi disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis didapatkan vital sign dalam
batas normal, konjungtiva tidak pucat dan sklera tidak ikterik. Pada inspeksi regio CVA
dan regio supra pubik didapatkan dalam keadaan normal, regio genitalia externa tidak
ditemukan bloody discharge. Pada pemeriksaan Digital Rectal Examination (Rectal
Toucher) didapatkan tonus spingter ani dalam keadaan baik sehingga hal ini dapat
menyingkirkan diagnosis bahwa retensio urine yang terjadi diakibatkan oleh neurogenic
bladder. Selain itu juga prostat dalam keadaan normal, sehingga diagnosis retensio urine
akibat hiperplasia prostat dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan kimia klinik dalam batas
normal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pasien ini didiagnosa dengan
Striktur Uretra.
Pada pasien ini akan ditatalaksana dengan pemberian antibiotik dan analgetik
untuk pengobatan secara simtomatik, kemudian rencana untuk dilakukan uretrotomi
interna dengan pisau sachse.
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam dubia ad bonam.

17

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar, edisi IV, cetakan kelima. Jakarta :
PT Dian Rakyat. 87-95. 1999
2. Sidharta, Priguna. Sakit Neuromuskuloskeletal Dalam Praktek Umum. Jakarta :
PT Dian Rakyat. 182-212.
3. Purwanto ET. Hernia Nukleus Pulposus. Jakarta: Perdossi
4. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran, edisi III,
jilid kedua, cetakan keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59. 2004

18

Anda mungkin juga menyukai