Eksistensi
Eksistensi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sistem peradilan di Indonesia merupakan keseluruhan komponen
peradilan yang meliputi pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki
kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek yang bersifat prosedural yang
saling berkait sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum.
Mekanisme dari sistem peradilan di Indonesia bergerak menuju kearah
pencapaian misi dari hakekat keberadaan peradilan. Berdasarkan
pengertian dari sistem peradilan yang lebih mengarah kepada prosedur,
maka dalam pelaksanaannya prosedur ini terbagi menjadi 3 (tiga) tahap
yaitu tahap persiapan, beracara di pengadilan dan pelaksanaan.
Di dalam pelaksanaan prosedur dari sistem peradilan di Indonesia
Salah satu asasnya adalah cepat, sederhana, dan biaya murah. Asas
tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terdapat di
lembaga peradilan dalam hal ini adalah pengedilan. Perkembangan
teknologi pada saat ini telah berdampak terhadap kebutuhan masyarakat
akan segala sesuatu dengan cara cepat dan efisien. Hal ini berdampak juga
terhadap penyelesaian permasalahan maupun perselisihan yang terjadi di
masyarakat. Lembaga pengadilan tidak dapat lagi menyelesaikan suatu
perselisihan maupun kasus secara sederhana karena dalam beracara di
pengadilan prosesnya terlalu berbelit-belit. Penyebab lainnya yaitu sumber
daya dari lembaga pengadilan terbatas sedangkan jumlah perkara terus
penyelesaian
sengketa
yang
didalamnya
terdapat
cara
perselisihan
yang
diinginkan
oleh
masyarakat
sebenarnya telah ada semenjak dahulu dan terdapat pada unsur asli dari
masyarakat itu sendiri. Hukum adat merupakan hukum yang berasal dari
unsur asli masyarakat Indonesia yang didalamnya terdapat sifat communal,
penyelesaian
perselisihan
di
Indonesia
telah
Non
litigasi
merupakan
penyelesaian
perselisihan
juga
penting.
Berkembangnya
praktek
arbitrase
akan
Reglement van orde acara Perdata membahas mengenai hukum acara dari
arbitrase tersebut.
Berdasarkan kedua Pasal tersebut alternatif penyelesaian sengketa
sebenarnya telah ada sejak jaman penjajahan Belanda yang sebelumnya
juga telah hidup dalam hukum adat yang ada di Indonesia. Pemberlakuan
ketentuan pasal tersebut bagi orang Indonesia belum sepenuhnya dapat
terlaksana, hal ini disebabkan sistem hukum yang digunakan oleh orang
Belanda adalah Eropa Kontinental dimana sumber hukum yang utama
adalah Undang-Undang. Arbitrase sebagai salah satu cara untuk
penyelesaian sengketa di masyarakat Indonesia kurang mendapatkan
perhatian bagi masyarakatnya. Hal ini disebabkan penerapan lembaga
pengadilan oleh bangsa Belanda kepada masyarakat kita sangat kuat.
Apabila dilihat dari budaya bangsa Indonesia yang menerapkan
musyawarah dalam menentukan sesuatu maupun untuk menyelesaikan
10
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa : Eksistensi
artinya keberadaan, keadaan, adanya. Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dikemukakan bahwa : Eksistensi ; kebendaan, adanya. Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan eksistensi adalah suatu
keberadaan atau keadaan. Mendefinisikan apa sebenarnya yang terkandung dalam
eksistensi tersebut memang amat sulit. Kata-kata dan bahasa sesungguhnya tidak
sempurna, sehingga tidak dapat secara persis menyatakan pemikiran maupun
gagasan. Apalagi kata eksistensi demikian luas cakupannya. Walaupun demikian
bukan berarti kata eksistensi itu tidak dapat dijabarkan. Eksistensi erat
kaitannya dengan teori eksistensialisme yang dikemukakan oleh Jean Paul Sartre
11
5
6
12
ada pada masa kini berperan sebagai hakim. Pada masa penjajahan mulai
dikenalkan sistem peradilan dengan cara barat, dimana terdapat lembaga
pengadilan sebagai tempat untuk memutuskan suatu perselisihan. Model sistem
peradilan ini diadaptasi berdasarkan model yang ada di Belanda, dan sistem
hukum yang terdapat di Negara tersebut adalah Eropa Kontinental dimana sumber
hukum utama adalah Undang-Undang. Sistem hukum tersebut mendapat pengaruh
besar dari aliran legisme. Selain diluar Undang-Undang dipandang bukan sebagai
sumber dari hukum. Berdasarkan hal tersebut sebenarnya sistem peradilan yang
telah diterapkan oleh bangsa Belanda kepada Indonesia tidak sesuai dengan
prinsip kekeluargaan dan musyawarah mufakat dalam penyelesaian suatu
perselisihan. Pemilihan lembaga peradilan telah menjadi suatu kebiasaan bagi
masyarakat di Indonesia dalam memilih forum penyelesaian terhadap suatu
perselisihan. Musyawarah bukan lagi menjadi pilihan, melainkan telah terlupakan
oleh masyarakat. Hal ini sangat memprihatinkan, karena berdampak pada sistem
hukum yang digunakan tidak terkandung jati diri bangsa.
Persoalan penegakan keadilan, adalah sesuatu yang sangat mendasar.
Oleh karena pengadilan negeri sebagai institusi formal milik Negara tempat
sengketa diperiksa dan diputus, berindikasi tidak mampu menjalankan amanah.
Akibatnya segala proses yang berlangsung di pengadilan dan keluarannya (output)
berupa putusan dirasakan telah tidak mampu memenuhi rasa keadilan terhadap
para pencarinya. Indikasi tersebut sekurang-kurangnya dapat dipahami melalui 2
(dua) faktor berikut ini:7
7
13
14
tindakan, meskipun kondisi dan norma serta situasi penting lainnya membatasi
kebebasan aktor. Berdasarkan hal tersebut, tindakan melakukan pilihan forum
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan pemerintah, merupakan ekspresi
kemauan manusia dalam memilih berbagai alernatif tindakan dalam rangka
mencapai tujuannya.
Pilihan forum penyelesaian sengketa merupakan salah satu bentuk
keterlibatan langsung manusia sebagai anggota masyarakat dalam pelaksanaan
hukum. Keterlibatan manusia dalam pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya
hubungan antara budaya dan hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan
sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di dalam masyarakat.
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat
tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Kesepakatan
dalam
penyelesaian suatu perselisihan hukum tidak terlepas dari pola
orientasi hukum yang umum dalam masyarakat, yang merupakan
pencerminan budaya hukum yaitu perncerminan dari nilai-nilai
budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan, dikehendaki
dan dikehendaki oleh masyarakat bersangkutan.9
Tiga pilar hukum dan tiga pilar penegakan hukum sangat berbeda.
Tiga pilar hukum adalah tiga unsur yang membangun hukum sebagai
sebuah sistem sebagaimana diteorikan oleh Lawrence M Friedman
sebagai three elements of legal system, yaitu struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum
(legal culture). Ketiganya seharusnya berjalan simultan dan sinergis.
Ibarat sebuah segitiga sama sisi, sistem hukum nasional yang
dibangun selama ini belum didukung dengan struktur, substansi, dan
budaya hukum yang kuat sehingga sistem hukum yang ada masih
terlalu rapuh bak segitiga patah sisi untuk dijadikan pijakan
kehidupan berbangsa dan bernegara.10
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan lebih dianggap dapat memenuhi
rasa keadilan bagi para pemilihnya, maka hal tersebut merupakan asumsi
fundamental yakni apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat sehingga
9
10
15
William H. Gill, The Law of Arbitration, 2nd Edition, Sweet and Maxwell, London, 1978
16
12
17
(the most formal and legally rational type). Hal tersebut dapat dilihat sebagai
berikut :
Hierarchy of Types of Disputes Resolution
Informal, Nonlegally Rational
Negotiatiom Mediation
Arbitration Litigation13
13
Gerald Turkel, Law and Society:Critical Approaches, Needham Heights:A Simon &
Schuster Company, 1996, Hlm.208
18
19
20
21
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sosialisasi terhadap cara penyelesaian dengan cara alternatif
penyelesaian sengketa khususnya arbitrase ini kurang diberikan kepada
masyarakat. Budaya hukum yang ada di Indonesia saat ini selalu
berpedoman kepada lembaga peradilan sebagai cara penyelesaian
sengketa/perselisihan. Arbitrase ini sebenarnya merupakan salah satu
alternatif penyelesaian sengketa yang sebenarnya telah ada pada budaya
hukum masyarakat adat Indonesia modelnya yaitu berupa musyawarah.
Sehingga seharusnya alternatif penyelesaian sengketa khususnya arbitrase
ini dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu perselisihan perdata.
Kenyataan bahwa selama ini lembaga peradilan kurang mampu dapat
mengakomodir tujuan hukum, dimana terdapat faktor-faktor lain yang
banyak mempengaruhinya dapat mendorong arbitrase sebagai pilihan lain
dalam penyelesaian sengketa. Eksistensi arbitrase di masyarakat memang
kurang apabila dihubungkan dengan budaya hukum yang ada pada saat ini,
22
namun dalam suatu sistem peradilan metode ini memiliki struktur yang
cukup baik.
B.
Saran
Pemerintah perlu merevisi beberapa pasal yang teradapat dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, karena arbitrase ini berbeda dengan alternatif
penyelesaian sengketa yang lainnya dan memiliki lembaga maupun
prosedur tersendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan Pakar hukum
perlu memberikan suatu sosialisasi metode alternatiif penyelesaian
sengketa khususnya arbitrase agar perilaku hukum masyarakat dalam
memilih alternatif penyelesaian sengketa dapat beralih dari lembaga
peradilan kepada lembaga arbitrase