Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Sistem peradilan di Indonesia merupakan keseluruhan komponen
peradilan yang meliputi pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki
kelembagaan peradilan maupun aspek-aspek yang bersifat prosedural yang
saling berkait sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum.
Mekanisme dari sistem peradilan di Indonesia bergerak menuju kearah
pencapaian misi dari hakekat keberadaan peradilan. Berdasarkan
pengertian dari sistem peradilan yang lebih mengarah kepada prosedur,
maka dalam pelaksanaannya prosedur ini terbagi menjadi 3 (tiga) tahap
yaitu tahap persiapan, beracara di pengadilan dan pelaksanaan.
Di dalam pelaksanaan prosedur dari sistem peradilan di Indonesia
Salah satu asasnya adalah cepat, sederhana, dan biaya murah. Asas
tersebut sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang terdapat di
lembaga peradilan dalam hal ini adalah pengedilan. Perkembangan
teknologi pada saat ini telah berdampak terhadap kebutuhan masyarakat
akan segala sesuatu dengan cara cepat dan efisien. Hal ini berdampak juga
terhadap penyelesaian permasalahan maupun perselisihan yang terjadi di
masyarakat. Lembaga pengadilan tidak dapat lagi menyelesaikan suatu
perselisihan maupun kasus secara sederhana karena dalam beracara di
pengadilan prosesnya terlalu berbelit-belit. Penyebab lainnya yaitu sumber
daya dari lembaga pengadilan terbatas sedangkan jumlah perkara terus

bertambah mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk mempercepat


proses ini tidak murah.
Kebutuhan masyarakat dalam penyelesaian suatu perselisihan
mendorong pemerintah maupun para pakar hukum untuk dapat mencari
suatu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat memenuhi kebutuhan
tersebut. Berdasarkan kebutuhan tersebut, maka dibentuklah suatu metode
alternatif

penyelesaian

sengketa

yang

didalamnya

terdapat

cara

penyelesaian suatu perselisihan diluar pengadilan. Cara tersebut antara lain


berupa konsultasi hukum, negosisasi, mediasi maupun arbitrase. Mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga terdapat
dalam proses peradilan. Setelah melengkapi proses pendaftaran suatu
perkara di pengadilan yang dilakukan oleh para pihak sebelum masuk
kepada proses persidangan adalah mediasi, hakim yang telah ditunjuk
wajib untuk melakukan hal ini dengan tujuan perkara tersebut dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah. Permasalahan yang timbul saat ini
adalah hakim yang ditunjuk sebagaian besar tidak memahami perkara yang
ada atau bukan merupakan orang yang berkompeten di bidangnya
sehingga tidak dapat tercapai kesepakatan untuk penyelesaian perkara
tersebut.
Penyelesaian

perselisihan

yang

diinginkan

oleh

masyarakat

sebenarnya telah ada semenjak dahulu dan terdapat pada unsur asli dari
masyarakat itu sendiri. Hukum adat merupakan hukum yang berasal dari
unsur asli masyarakat Indonesia yang didalamnya terdapat sifat communal,

magis-religius, konkret maupun kontan dan visual. Dalam penyelesaian


suatu permasalahan baik perdata maupun pidana yang terjadi pada
lingkungan adat dilakukan dengan cara musyawarah dengan melibatkan
para tetua adat setempat. Penyelesaiannya dilakukan dalam waktu yang
cepat yaitu pada hari terjadinya suatu permasalahan, selain itu pelaksaaan
putusan dari para tetua adat dilakukan secara turun-temurun dengan
mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat. Hal ini yang telah lama
hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang terdapat di
daerah perkotaan. Hukum barat yang merupakan produk hasil penjajahan
dari bangsa Belanda telah menggeser hukum yang telah lama ada di
Indonesia.
Perkembangan

penyelesaian

perselisihan

di

Indonesia

telah

melahirkan suatu terobosan dalam hal tersebut. Penerobosan tersebut


berupa tidak menjadikan lembaga pengadilan sebagai satu-satunya
lembaga untuk menyelesaikan suatu perselisihan dalam perkara perdata.
Hal ini berdampak pada timbulnya 2 (dua) macam cara penyelesaian
perkara dalam sistem peradilan di Indonesia, yaitu melalui non litigasi dan
litigasi.

Non

litigasi

merupakan

penyelesaian

perselisihan

/perkara/sengketa tanpa melalui lembaga pengadilan atau dapat disebut


sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Seperti yang telah dijelsakan
sebelumnya bahwa cara penyelesaian ini dapat dilakukan dengan
konsultasi hukum, negosiasi, mediasi maupun arbitrase. Dari keempat cara

tersebut yang telah memiliki lembaga tersendiri adalah arbitrase berupa


BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia).
Arbitrase sebagai sarana menyelesaikan sengketa hukum diluar
proses pengadilan bukan suatu hal yang baru dalam sistem penyelesaian
sengketa hukum di Indonesia, namun yang terjadi adalah Arbitrase
kurang menarik perhatian pada masyarakat kita. Berbeda dengan sekarang,
arbitrase dipandang sebagai pranata hukum penting sebagai cara
menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan. Meningkatnya peranan
arbitrase bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga baik nasional
maupun internasional. Terlebih lagi dengan telah dibentuknya UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) yang termuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3872. Bagi dunia peradilan, kehadiran
arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses
peradilan

juga

penting.

Berkembangnya

praktek

arbitrase

akan

mengurangi jumlah perkara di pengadilan. Hal tersebut akan berdampak


terhadap pengurangan beban perkara yang masuk ke pengadilan dan pada
akhirnya akan berimbas pula pada efektifitas kerja Majelis Hakim dalam
memeriksan, mempertimbangkan dan memutuskan perkara. Pengurangan
perkara tersebut akan membuat Majelis Hakim lebih konsentrasi dalam
menghadapi perkara di pengadilan.
Secara sederhana dari eksploitasi eksistensi pranata arbitrase
memiliki perbandingan lurus dengan efektifitas kerja Majelis Hakim di

pengadilan dan berbanding terbalik dengan jumlah perkara yang masuk ke


pengadilan. Eksistensi arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa memberikan suatu terobosan baru dalam tatanan sistem peradilan
di Indonesia. Terdapat beberapa kelebihan pranata tersebut dalam
penyelesaian perselisihan apabila dibandingan dengan upaya hukum yang
dilakukan melalui pengadilan. Dalam perkara perdata dimana perjanjian
merupakan dasarnya terdapat pilihan untuk penyelesaian suatu perselisihan
yang dapat dilakukan melalui pengadilan atau lembaga arbitrase.
Pengadilan merupakan pilihan yang sering digunakan oleh masyarakat
pada umumnya. Permasalahan ini yang mengakibatkan eksistensi dari
arbitrase dalam tatanan sistem peradilan di Indonesia menjadi pertanyaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas ,maka penulis akan
mencoba membahasnya dalam makalah berjudul Eksistensi Arbitrase
Sebagai Salah Satu Metode Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam
Tatanan Sistem Peradilan Di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
Bagaimanakah eksistensi arbitrase sebagai salah satu metode alternatif
penyelesaian sengketa dalam tatanan sistem peradilan di Indonesia
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami, dan
mengkaji eksistensi arbitrase sebagai salah satu metode alternatif
penyelesaian sengketa dalam tatanan sistem peradilan di indonesia
D. Kerangka Pemikiran

Bertitik tolak dari Pasal 377 HIR, yang berbunyi :


Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka
mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku
bagi orang Eropah.
Pasal 377 HIR tersebut menjadi titik tolak keberadaan dari arbitrase
dalam kehidupan dan praktek hukum. 1 Pasal ini menegaskan kebolehan
pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui juru
pisah atau arbitrase yang diberikan fungsi dan kewenangan untuk
menyelesaikannya

dalam bentuk keputusan. Pasal 615-651 (Rv)

Reglement van orde acara Perdata membahas mengenai hukum acara dari
arbitrase tersebut.
Berdasarkan kedua Pasal tersebut alternatif penyelesaian sengketa
sebenarnya telah ada sejak jaman penjajahan Belanda yang sebelumnya
juga telah hidup dalam hukum adat yang ada di Indonesia. Pemberlakuan
ketentuan pasal tersebut bagi orang Indonesia belum sepenuhnya dapat
terlaksana, hal ini disebabkan sistem hukum yang digunakan oleh orang
Belanda adalah Eropa Kontinental dimana sumber hukum yang utama
adalah Undang-Undang. Arbitrase sebagai salah satu cara untuk
penyelesaian sengketa di masyarakat Indonesia kurang mendapatkan
perhatian bagi masyarakatnya. Hal ini disebabkan penerapan lembaga
pengadilan oleh bangsa Belanda kepada masyarakat kita sangat kuat.
Apabila dilihat dari budaya bangsa Indonesia yang menerapkan
musyawarah dalam menentukan sesuatu maupun untuk menyelesaikan

M Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, Hlm.1.

suatu masalah bertolak belakang dengan penerapan lembaga pengadilan.


Dalam kaitannya itu Satjipto Raharjo mengatakan
Memang tak dapat disangkal bahwa musyawarah untuk
mufakat itu merupakan sebagaian dari kekayaan kebudayaan
kita. Namun di dalam konteks masyarakat yang menjadi
semakin terbuka dan individualistis serta pengorganisasian
masyarakat secara modern rasional, maka pranata tersebut
masih membutuhkan penyempurnaan secara kelembagaan serta
penghayatan oleh masyarakat Indonesia sendiri.2
Setelah Indonesia merdeka landasan mengenai arbitrase ditetapkan
dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.
Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saaat ini
berlangsung pesat. Dinamika yang terjadi membawa implikasi yang cukup
mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum. Implikasi tersebut
disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung
kegiatan ekonomi dan bisinis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut
kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum
di bidang ekonomi.Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas
substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan
membuat peraturan perundang-undangan baru yang menunjang kegiatan
ekonomi dan bisnis. Implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap
lembaga hukum berdampak pada pengadilan yang telah dianggap tidak

Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa, 1981, Hlm.52.

professional lagi dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, tidak


independen. Bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral.
Para ahli mengkaitkan antara struktur dan pelapisan
masyarakat dengan pola penyelsaian sengketa di dalamnya.
Dalam konteks ini seharusnya masyarakat bisnis menurut
kategori Chambliss dan Seidman, terletak pada tingkat
pelapisan sosial yang tinggi dan lebih kompleks. Menurut
tesisnya Hart masyarakat bisnis sejatinya berada pada
peringkat secondary rules of obligation yang ditandai dengan
kehidupan masyarakat yang terbuka, lusa dan kompleks. Pada
kondisi ini semestinya kecenderungan penyelesaian sengketa
berada pada penerapan peraturan melalui lembaga pengadilan.
Seperti halnya yang dikemukakan Yehezkel Dror, bahwa
tidankan-tindakan di dalam masyarakat yang semata-mata
bersifat instrumental seperti dalam kegiatan komersial,
dengan nyata sekali dapat menerima pengaruh dari peraturanperaturan hukum yang baru dibandingkan dengan bidangbidang kehidupan social yang erat hubungannya dengan
kepercayaan.3
Pada realitasnya masyarakat bisnis kadang-kadang tidak
menyukai mekanisme penyelesaian sengketa yang terlalu
formal, rasional serta birokratis. Pada masyarakat bisnis yang
tergolong modern justru muncul kecenderungan terjadinya
privatisasi.4
Penyelesaian sengketa yang mengarah pada model win-win
solution dan bukan lagi menganut pola win-loose sebagaimana yang
berlangsung di lembaga pengadilan. Alternatif penyelesaian sengketa ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa. Sejak tahun 1983 upaya ke arah
pengaturan mengenai arbitrase telah dilakukan, meski baru tahun 1999
dapat disahkan dan diundangkan. Berdasarkan landasan tersebut arbitrase
3

Adi Sulistitono, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-litigasi dalam


Rangka Pendayagunaan alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan
Intelektual, Semarang, PDIH, 2002, Hlm.24

Satjipto raharjo, Hukum dan Masyarakat..Op.cit, Hlm.121

mulai diperkenalkan kembali di masyarakat Indonesia. Tujuan utama dari


Undang-Undang tersebut adalah menyediakan payung hukum bagi
penyelesaian sengketa bisnis di luar forum pengadilan.
Arbitrase tergolong ke dalam penyelesaian sengketa yang bersifat
formal, karena terdapat prosedur adminitratif maupun proses yang harus
dilalui oleh para pihak yang berperkara dalam suatu lembaga arbitrase.
Pada system peradilan di Indonesia eksistensi dari model penyelesaian
sengketa ini cukup berpengaruh terhadap lembaga pengadilan yang sering
digunakan oleh para pelaku bisnis. Keberadaannya memberikan pengaruh
positif terhadap efisiensi dari lembaga pengadilan dalam menangani
perakara yang ada, namun eksistensi dari pranata arbitrase ini menjadi
berkurang ketika tahap terkahir dari prosedurnya masih memerlukan
lembaga pengadilan dalam penetapannya.
Dalam Pengembangan dan pembangunan model penyelesaian
sengketa diluar pengadilan melalui arbitrase jelas sekali bukan proses yang
mudah.

Sejumlah faktor sangat signifikan berpengaruh terhadap

pengembangan arbitrase. Untuk itu perlu uapaya-upaya membangun


kepercayaan serta minat masyarakat terutama kalangan pengusaha agar
bersedia menggunakan pranata arbitrase dalam menyelesaikan sengketa
bisnis mereka. Membangun kepercayaan berarti mengubah perilaku
manusia, hal ini berkaita dengan salah satu fungsi hukum sebagai a tool of
social engineering. Pada tingkat yang lebih tinggi mengubah perilaku
berarti merubah kultur daru suatu masyarakat dan membutuhkan waktu
yang cukup panjang untuk melakukannya.

10

BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa : Eksistensi
artinya keberadaan, keadaan, adanya. Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dikemukakan bahwa : Eksistensi ; kebendaan, adanya. Berdasarkan
penjelasan tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan eksistensi adalah suatu
keberadaan atau keadaan. Mendefinisikan apa sebenarnya yang terkandung dalam
eksistensi tersebut memang amat sulit. Kata-kata dan bahasa sesungguhnya tidak
sempurna, sehingga tidak dapat secara persis menyatakan pemikiran maupun
gagasan. Apalagi kata eksistensi demikian luas cakupannya. Walaupun demikian
bukan berarti kata eksistensi itu tidak dapat dijabarkan. Eksistensi erat
kaitannya dengan teori eksistensialisme yang dikemukakan oleh Jean Paul Sartre

11

seorang filsuf dari Perancis. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an


manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Kebebasan manusia
dalam memilih segala sesuatu agar esensinya menjadi bermanfaat bagi dirinya
maupun masyarakat.5
Sebagai suatu fenomena sosial, sengketa atau konflik akan selalu
dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan bermasyarakat 6. Dalam setiap
masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa
ditangani. Sengketa tidak hanya dapat diatasi dengan jalan mengajukannya ke
forum pengadilan, melainkan terdapat aneka ragam cara yang dapat ditempuh
masyarakakat untuk menyelesaikan sengketa.
Sistem Peradilan Nasional adalah suatu keseluruhan komponen peradilan
nasional, pihak-pihak dalam proses peradilan, hirarki kelembagaan peradilan
maupun aspek-aspek yang bersifat prosedural yang saling berkait sedemikian
rupa, sehingga terwujud suatu keadilan hukum. Tujuannya, yaitu mewujudkan
keadilan hukum bilamana komponen-komponen sistemnya berfungsi dengan baik.
Proses penyelesaian sengketa di Indonesia sebelum masa penjajahan adalah
mengikuti hukum adat di masing-masing daerah. Hukum adat memiliki
karakteristik religious, communal (kebersamaan/kekeluargaan), konkret, dan
tunai. Dalam melakukan penyelesaian perselisihan juga dilakuan dengan cepat
dan sederhana dimana peran tetua adat sangat penting dalam memberikan suatu
keputusan maupun hukuman. Tetua adat apabila dilhat dari sistem peradilan yang

5
6

www.wikipedia.com Diunduh pada Tanggal 1 Juli 2013


Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum dan Masalah Penyelesaian Konflik, Semarang, CV
Agung, 1990, Hlm.26-30

12

ada pada masa kini berperan sebagai hakim. Pada masa penjajahan mulai
dikenalkan sistem peradilan dengan cara barat, dimana terdapat lembaga
pengadilan sebagai tempat untuk memutuskan suatu perselisihan. Model sistem
peradilan ini diadaptasi berdasarkan model yang ada di Belanda, dan sistem
hukum yang terdapat di Negara tersebut adalah Eropa Kontinental dimana sumber
hukum utama adalah Undang-Undang. Sistem hukum tersebut mendapat pengaruh
besar dari aliran legisme. Selain diluar Undang-Undang dipandang bukan sebagai
sumber dari hukum. Berdasarkan hal tersebut sebenarnya sistem peradilan yang
telah diterapkan oleh bangsa Belanda kepada Indonesia tidak sesuai dengan
prinsip kekeluargaan dan musyawarah mufakat dalam penyelesaian suatu
perselisihan. Pemilihan lembaga peradilan telah menjadi suatu kebiasaan bagi
masyarakat di Indonesia dalam memilih forum penyelesaian terhadap suatu
perselisihan. Musyawarah bukan lagi menjadi pilihan, melainkan telah terlupakan
oleh masyarakat. Hal ini sangat memprihatinkan, karena berdampak pada sistem
hukum yang digunakan tidak terkandung jati diri bangsa.
Persoalan penegakan keadilan, adalah sesuatu yang sangat mendasar.
Oleh karena pengadilan negeri sebagai institusi formal milik Negara tempat
sengketa diperiksa dan diputus, berindikasi tidak mampu menjalankan amanah.
Akibatnya segala proses yang berlangsung di pengadilan dan keluarannya (output)
berupa putusan dirasakan telah tidak mampu memenuhi rasa keadilan terhadap
para pencarinya. Indikasi tersebut sekurang-kurangnya dapat dipahami melalui 2
(dua) faktor berikut ini:7
7

H.Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema penegakan keadilan, Bandung, Fikahati


aneska, 2012, Hlm.48

13

1. Putusan hakim pengadilan tidak mungkin dapat memuaskan


kedua belah pihak yang bersengketa, sehingga selalu akan
mencerminkan ada pihak yang kalah dan pihak yang menang.
Di dalam sistem peradilan kita dewasa ini dikenal pula asas
kebebasan hakim atau kebebasan peradilan (pasal 1 UU no.14
th 1970), dalam arti seperti yang telah dikemukakan di atas,
bahwa hakim bebas dalam atau bebas untuk mengadili. Bebas
dalam arti menurut hati nuraninya tanpa dipengaruhi oleh
siapapun: ia bebas dalam memeriksa, membuktikan dan
memutus perkara berdasarkan hati nuraninya. Di dalam Pasal 4
ayat 3 Undang-Undang No.14 tahun 1970 jo. Undang Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
ditentukan bahwa segala campur tangan datam urusan peradilan
oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang
Dasar Negara republic Indonesia tahun 1945. Kenyataan yang
ada bahwa saat ini putusan dari hakim banyak dipengaruhi oleh
berbagai macam kepentingan dari beberapa oknum;
2. Dalam realitas lembaga pengadilan tidak lagi semata-mata
sebagai tempat pencari keadilan tetapi juga menjadi ajang jual
beli putusan, sehingga putusan hakim seringkali sulit untuk
diramalkan (unpredictable) dan tidak mampu memberikan
solusi secara adil pada pihak-pihak yang bersengketa maupun
mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
Dalam hubungan dengan aneka ragam cara yang dapat ditempuh
manusia untuk menyelesaikan sengketa di atas terdapat beberapa
teori yang dapat digunakan sebagai sarana melakukan kajian
berkaitan dengan hal tersebut. Menurut teori voluntaristik dari
aksi (voluntaristic theory action) dari Talcott Parson,8 individu
selaku aktor memiliki cara-cara tertentu untuk mencapai
tujuannya. Aktor mengejar tujuan dalam situasi dimana normanorma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara atau alat,
tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk memilih.
Kemampuan itulah yang oleh Parson dosebut sebagai
voluntarism. Dalam pengertian lain, voluntarism adalah
kemampuan individu melakukan tindakaan dalam arti
menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia
dalam rangka mencapai tujuannya.
Berdasarkan pada teori tersebut, manusia selaku aktor adalah pelaku aktif,
kreatif, dan evaluatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih alternatif

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (penyandur :


Alimandan), jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, Hlm.48-49.

14

tindakan, meskipun kondisi dan norma serta situasi penting lainnya membatasi
kebebasan aktor. Berdasarkan hal tersebut, tindakan melakukan pilihan forum
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan pemerintah, merupakan ekspresi
kemauan manusia dalam memilih berbagai alernatif tindakan dalam rangka
mencapai tujuannya.
Pilihan forum penyelesaian sengketa merupakan salah satu bentuk
keterlibatan langsung manusia sebagai anggota masyarakat dalam pelaksanaan
hukum. Keterlibatan manusia dalam pelaksanaan hukum memperlihatkan adanya
hubungan antara budaya dan hukum. Budaya hukum inilah yang menentukan
sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang terhadap hukum di dalam masyarakat.
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat
tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Kesepakatan
dalam
penyelesaian suatu perselisihan hukum tidak terlepas dari pola
orientasi hukum yang umum dalam masyarakat, yang merupakan
pencerminan budaya hukum yaitu perncerminan dari nilai-nilai
budaya mengenai hukum dan keadilan yang dirasakan, dikehendaki
dan dikehendaki oleh masyarakat bersangkutan.9
Tiga pilar hukum dan tiga pilar penegakan hukum sangat berbeda.
Tiga pilar hukum adalah tiga unsur yang membangun hukum sebagai
sebuah sistem sebagaimana diteorikan oleh Lawrence M Friedman
sebagai three elements of legal system, yaitu struktur hukum (legal
structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum
(legal culture). Ketiganya seharusnya berjalan simultan dan sinergis.
Ibarat sebuah segitiga sama sisi, sistem hukum nasional yang
dibangun selama ini belum didukung dengan struktur, substansi, dan
budaya hukum yang kuat sehingga sistem hukum yang ada masih
terlalu rapuh bak segitiga patah sisi untuk dijadikan pijakan
kehidupan berbangsa dan bernegara.10
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan lebih dianggap dapat memenuhi
rasa keadilan bagi para pemilihnya, maka hal tersebut merupakan asumsi
fundamental yakni apa yang dianggap adil dan tidak oleh masyarakat sehingga
9

Hilman Hadikusuma, Antropologi hukum Indonesia, bandung, Alumni, 1986, Hlm.53

10

http://id.answers.yahoo.com diunduh pada tanggal 10 Juli 2013

15

memilih forum merupakan komponen substansif dari budaya hukum. Tercapainya


kesepakatan dalam penyelesaian sengketa hukum tidak terlepas dari pola orientasi
hukum yang umum dalam masyarakat.
Penyelesaian perselisihan suatu perkara perdata sebenarnya tergantung
pada pemilihan forum maupun pranata dalam prosesnya. Pemilihan forum ini
berkaitan erat dengan kompetensi absolut yang ditentukan berdasarkan
kesepakatan dari para pihak yang melakukan kerjasama. Berdasarkan Pasal 1338
KUHPerdata yang pada intinya terdapat asas kebebasan berkontrak, salah satu
kebebasan tersebut adalah dalam pemilihan cara penyelesaian sengketa yang
timbul dari adanya perjanjian maupun kesepakatan tersebut. Apabila telah dipilih
forum maupun cara penyelesaian suatu perselisihan, maka kewengannya terdapat
pada lembaga yang telah dipilih dalam perjanjian tersebut. Dalam sistem peradilan
di Indonesia arbitrase merupakan proses penyelesaian sengketa secara litigasi, hal
ini disebabkan dalam prosesnya arbitrase memiliki prosedur dalam hal
penanganan perkara. Prosedur tersebut meliputi mulai dari pemilihan arbitrase
sebagai lembaga penyelesaiannya, pendaftaran dalam BANI (Badan Arbitrase
Nasional), pemilihan arbiter, pemutusan perkara, dan pelaksanaan putusan melalui
penetapan Pengadilan Negeri.
Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabaran suatu bentuk
tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana
menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang
secara hukum final dan mengikat.
William H. Gill memberikan definisi arbitrase sebagai berikut :11
11

William H. Gill, The Law of Arbitration, 2nd Edition, Sweet and Maxwell, London, 1978

16

An artibtration is the reference of a dispute or difference betweetn


not less than two persons for determination after hearing both sides
in judicial manner by another person or persons, other than a court
of competent jurisdiction
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan
persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati
keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.12
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan
bahwa:Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersangkutan. Sedangkan pasal 1 ayat (10)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dinyatakan :Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pendapat ahli.
Dalam menyelesaikan suatu sengketa, para pihak data menggunakan tipetipe penyelesaian sebagiman yang dikemukakan oleh Gerald Turkel. Penjenjangan
dibuat dari tipe penyelesaian sengketa yang paling rasional informal dan tdak
berdasarkan hukum (the most informasl and nonlegally rational type of dispute
resolution) sampai dengan tipe paling rasional formal dan berdasarkan hukum

12

Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung, 1992, hlm.1.

17

(the most formal and legally rational type). Hal tersebut dapat dilihat sebagai
berikut :
Hierarchy of Types of Disputes Resolution
Informal, Nonlegally Rational

Formal, Legally Rational

Negotiatiom Mediation

Arbitration Litigation13

Berdasarkan tabel tersebut apabila negosisasi tidak berhasil untuk


menyelesaikan sengketa para pihak, maka dapat dilanjutkan dengan pola mediasi.
Apabila tidak berhasil juga, mereka dapat menggunakan arbitrase. Arbitrase tidak
berhasil, maka para pihak dapat melanjutkannya kepada adjudikasi. Sebagai tahap
awal dalam hierarki tersebut, negosiasi dan mediasi dilakukan dengan metode dan
interaksi yang berlangsung secara informal, sukarela serta didasarkan pada akal
sehat. Selanjutnya hierarki penyelesaian sengketa bergerak kearah arbitrase dan
kemudian litigasi dengan struktur yang lebih formal baik peran maupun prosedur,
tidak berlangsung secara sukarela dan lebih dibatasi oleh alasan-alasan hukum
serta alat-alat pembuktian. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa menjadi lebih
bersifat perlawanan, lebih terbuka kepada masyarakat umum, dan semakin diatur
oleh kaidah-kaidah hukum. Meskipun arbitrase tergolong lebih formal apabila
dibandingkan dengan negosisasi dan mediasi, namun Turkel menyatakan bahwa
Arbitration does not have formal rules of evidence and is not
subject to technical legal rules. While the parties play adversarial
roles in the arbitrartion hearing, their communication is not
completely formal and controlled by legal procedure.

13

Gerald Turkel, Law and Society:Critical Approaches, Needham Heights:A Simon &
Schuster Company, 1996, Hlm.208

18

Alasan utama orang memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan


karena cara penyelesaiannya dianggap lebih cepat dan tepat, mengurangi biaya
dan waktu serta menjaga kebersamaan. Hal terlihat dari cara penyelesaiannya
ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa menuju win-win
solution daripada harus diselesaikan lewat pengadilan yang mendatangkan winlose solution belum lagi menyangkut waktu dan biaya.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa pada umumnya
lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan.
Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a) kerahasiaan sengketa para pihak dijamin;
b) keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari;
c) para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai
masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
d) para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e) putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan
melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang

19

disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses


peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan
arbitrase dibandingkan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya
tidak dipublikasikan. Selanjutnya, di dalam Penjelasan disebutkan bahwa
penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi,
terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.
Walaupun arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase, namun lembaga
arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase. Hal ini terjadi karena masih adanya keharusan
untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Sehingga ini
menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap
para pihak untuk menaati putusan. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan
arbitrase berdasar Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, antara lain mengenai
penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada
kesepakatan dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun
internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu
pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi
arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam hal sengketa para pihak yang telah ditentukan penyelesaian
sengketanya melalui lembaga arbitrase, maka Lembaga Peradilan diharuskan
menghormati lembaga arbitrase sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 ayat

20

(2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif


Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan dalam
suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal tersebut
merupakan prinsip limited court involvement. Namun, dalam prakteknya masih
saja ditemukan pengadilan yang menentang, bahkan ketika lembaga arbitrase itu
sendiri sudah menjatuhkan putusannya.
Arbitrase di indonesia kurang begitu banyak masyarakat yang mengetahui,
hal ini menyebabkan dalam lembaga arbitrase BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) hanya menangani beberapa kasus saja. Hal ini berkaitan dengan
sosialisasi terhadap cara penyelesaian model ini kurang diberikan kepada
masyarakat. Budaya hukum yang ada di Indonesia saat ini selalu berpedoman
kepada lembaga peradilan sebagai cara penyelesaian sengketa/perselisihan.
Perlunya perana pemerintah maupun para pakar hukum terhadap sosialisasi
mengenai arbitrase ini, budaya hukum yang ada harus berjalan secara dinamis.
Arbitrase ini sebenarnya merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
yang sebenarnya telah ada pada budaya hukum masyarakat adat Indonesia
modelnya yaitu berupa musyawarah. Sehingga seharusnya alternatif penyelesaian
sengketa khususnya arbitrase ini dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu
perselisihan perdata. Kenyataan bahwa selama ini lembaga peradilan dalam
tatanan struktur hukum kurang mampu dapat mengakomodir tujuan hukum,
dimana terdapat faktor-faktor lain yang banyak mempengaruhinya dapat

21

mendorong arbitrase sebagai pilihan lain dalam penyelesaian sengketa. Eksistensi


arbitrase di masyarakat memang kurang apabila dihubungkan dengan budaya
hukum yang ada pada saat ini, namun dalam suatu sistem peradilan metode ini
memiliki struktur yang cukup baik. Beberapa kelemahan dari metode ini
seharusnya dapat diperbaiki oleh pemerintah terutama dalam hal kewenagan
absolutnya dan pelaksanaan putusan.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Sosialisasi terhadap cara penyelesaian dengan cara alternatif
penyelesaian sengketa khususnya arbitrase ini kurang diberikan kepada
masyarakat. Budaya hukum yang ada di Indonesia saat ini selalu
berpedoman kepada lembaga peradilan sebagai cara penyelesaian
sengketa/perselisihan. Arbitrase ini sebenarnya merupakan salah satu
alternatif penyelesaian sengketa yang sebenarnya telah ada pada budaya
hukum masyarakat adat Indonesia modelnya yaitu berupa musyawarah.
Sehingga seharusnya alternatif penyelesaian sengketa khususnya arbitrase
ini dapat diterapkan dalam menyelesaikan suatu perselisihan perdata.
Kenyataan bahwa selama ini lembaga peradilan kurang mampu dapat
mengakomodir tujuan hukum, dimana terdapat faktor-faktor lain yang
banyak mempengaruhinya dapat mendorong arbitrase sebagai pilihan lain
dalam penyelesaian sengketa. Eksistensi arbitrase di masyarakat memang
kurang apabila dihubungkan dengan budaya hukum yang ada pada saat ini,

22

namun dalam suatu sistem peradilan metode ini memiliki struktur yang
cukup baik.
B.

Saran
Pemerintah perlu merevisi beberapa pasal yang teradapat dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, karena arbitrase ini berbeda dengan alternatif
penyelesaian sengketa yang lainnya dan memiliki lembaga maupun
prosedur tersendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan Pakar hukum
perlu memberikan suatu sosialisasi metode alternatiif penyelesaian
sengketa khususnya arbitrase agar perilaku hukum masyarakat dalam
memilih alternatif penyelesaian sengketa dapat beralih dari lembaga
peradilan kepada lembaga arbitrase

Anda mungkin juga menyukai