PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan
nama Potts disease. Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott
pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak
bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan
dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun
1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Spondilitis tuberkulosa merupakan
50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang sedang
berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun
sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua.
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang
sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus kasus tertentu
diperlukan tindakan operatif serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan
dengan baik sebelum ataupun setelah penderita menjalani tindakan operatif.
BAB II
PEMBAHASAN
terdapat discus
atau "shock
makin merapat,
kemampuan kerja
discus
menjadi makin
Otot punggung
sesuai dengan
bawah dikelompokkan
fungsi gerakannya.
Otot yang
mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan
berfungsi
secara aktif
II.II DEFINISI
II.IV ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi
sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95%
disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari
tipe human dan 1/3 dari tipe bovin dan 5-10% oleh
mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokasi tuberkulosis tulang
belakang terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari
suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya
melalui pleksus batson pada vena paravertebralis.3
II.V
PATOFISIOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat
terjadi
darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena batson pada vena
paravertebralis atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau
melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada
sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya,fokus infeksi
primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling
sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
8
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah
bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya
atau melalui pleksus batson's yang mengelilingi columna vertebralis yang
menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan
pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua
vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau
lebih vertebra.6
Tuberkulosis tulang belakang paling sering mengenai
vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2.
Destruksi awal yang terletak di sentral korpus vertebra
sering terjadi pada anak-anak, sedangkan pada orang
dewasa lebih sering terjadi di paradiskus. Destruksi
anterior biasanya lebih karena penjalaran perkontinuitatum
dari vertebra diatasnya. Destruksi tulang akibat
pengkejuan menimbulkan fraktur kompresi. Penyempitan
discus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi discus
sehingga discus mengalami herniasi ke dalam corpus vertebra yang telah
rusak. Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses
ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan
oleh akumulasi cairan akibat edema, abses kaseosa, jaringan
granulasi,sequester tulang atau diskus.4,5,7
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu
vertebra. Focus yang pertama dapat terletak pada centrum corpus
vertebrae atau pada metaphyse, bisa juga pertama kali bersifat subperiosteal.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau
daerah epifisial korpus vertebra. Proses infeksi Myocobacterium
tuberculosis akan mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan stimulator
poten dari proses resorpsi tulang sehingga akan terjadi destruksi korpus
vertebra di anterior. Proses perkijuan yang terjadi akan menghalangi proses
pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan segmen tulang yang
Eksudat
(yang
terdiri
10
11
12
saraf sensoris.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak
bawah tapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak
bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita
serta hipestesia/anastesia.
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan
motoris disertai gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat
terjadi secara dini atau lambat tergantung dari
keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh
karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral
atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang
belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia
pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi
oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis
spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa.
Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan
dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut
paraparesis dan derajat IV disebut paraplegia.
13
14
15
16
dan dapat pula ditemukan pola jalan dengan langkah kaki yang
pendek untuk menghindari nyeri di punggung.
b. Foto
polos
toraks
posisi PA
paru aktif
c. Pemeriksaan darah perifer leukositosis,limfositosis, LED
meningkat
d. CT-Scan assessing the extent of osseous
destruction,posterior element disease, and infections of
the craniovertebral and cervicodorsal junctions and the
sacroiliac joints, which are not easily seen on
radiographs
e. MRI merupakan gold standard untuk menentukan
penyebaran penyakit pada jaringan (soft tissue),
penyebaran abses tuberkulosa dan penekanan saraf. MRI
juga berguna untuk membedakan spondylitis tuberkulosa
dengan infeksi pyogenic. Pemeriksaan MRI secara
berkala dapat menilai respon terapi dan derajat
penyembuhan penyakit.
18
PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya penatalaksanaan tuberkulosis tulang
1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi
maupun yang tidak dioperasi
d. Pemberian obat antituberkulosa
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program
P2TB adalah :
Kategori 1 penderita baru BTA (+) dan BTA
(-)/rontgen(+) diberikan dalam 2 tahap :
o Tahap I diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750
mg, INH 300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. obat
diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama.
19
20
II.VIII
a
b
DIAGNOSIS BANDING
Osteitis piogen : lebih cepat timbul demam
Fraktur kompresi traumatik atau akibat tumor : tidak
kerangka
Poliomielitis : paresis/paralisis tungkai, skoliosis bukan
kifosis
Skoliosis idiopatik : tanpa gibus dan tanda paralisis
21
II.X KOMPLIKASI
a Cedera corda spinalis ( Spinal cord injury).
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus
tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis
(contoh : Pott's paraplegia - prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis - prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan
Mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
b
II.XI PROGNOSIS
Prognosis tuberkulosis tulang belakang bergantung pada
cepat dan tepatnya terapi yang diberikan serta tidak ada
komplikasi neurologi.3
BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis
di tempat lain di tubuh. Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir
sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya dan
punggung, deformitas tulang belakang dan dapat pula ditemui defisit neurologis.
Pada tuberkulosis tulang beakang juga dapat ditemukan cold abses yang sesuai
dengan lokasi lesi pada tulang belakang. Penatalaksanaan pada tuberkulosis tulang
22
belakang dapat berupa konservatif dan operatif jika terapi konservatif gagal.
Adapun komplikasi serius yang dapat terjadi pada tuberkulosis tulang belakang
adalah spinal cord injury. Prognosis pada pasien dengan tuberkulosis tulang
belakang bergantung pada terapi yang telah diberikan dan ada atau tidak nya
komplikasi neurologis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell RS. Punggung. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. In: Hartanto H, et.al, ed. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 2006.
2. Anatomi fungsional vertebra. Accessed on 21st November 2014. Available at:
http://fisiosby.com/anatomi-fungsional-vertebrae.
3. Rasjad C. Infeksi dan Inflamasi. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsif
Watampone, Jakarta. 2007.
4. Hidalgo JA, Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). Accessed on 21 st
November
2014.
Available
at:
http://www.emedicine.com/med/infecmedical_topics.htm.
5. De Jong. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah. In: Sjamsuhidajat,
et.al, ed. Penertibu Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2010.
6. Rajasekaran S, Kanna RM, Shetty AP. Pathophysiology and treatment of
spinal tuberculosis. JBJS REVIEWS. 2014;2:9
doi.org/10.2106/JBJS.RVW.M.00130.
23
7. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis : a review. J Spinal Cord Med.
Sep 2011; 34(5): 440454.
8. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of spine. J
Craniovertebr Junction Spine. 2010 Jul-Dec; 1(2): 7485.
9. Unknown. Spinal tuberculosis. JIACM 2007; 8(1): 110-4.
10. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E,
Eisen A. ed. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and
Management. London:Springer-verlag. 1997 : 378-87.
24