Anda di halaman 1dari 5

Paradoks Inflasi di Bulan Suci

Rusli Abdulah1

Tidak

henti-hentinya,

menjelang

Ramadhan

dan

selama

Ramadhan

harga-harga naik. Selalu berulang dari tahun ke tahun. Bahkan,


kenaikan
kemarin

harga

yang

(menjelang

dicerminkan
puasa)

oleh

merupakan

inflasi,
inflasi

pada

Mei

tertinggi

2015

selama

kurun waktu 7 tahun terakhir. Inflasi Mei tertinggi terakhir


terjadi pada tahun 2008, sebesar 1,14 persen. Tingginya angka
inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga BBM pada bulan
Mei 2008.
Pun demikian dengan inflasi Juni dimana bulan puasa sudah
dimulai,

inflasi

mencapai

0,54

persen,

jauh

lebih

tinggi

dibandingkan dengan inflasi pada bulan yang sama di 2014 sebesar


0,43

persen.

Besaran

inflasi

tersebut

disumbang

oleh

inflasi

bahan makanan dengan andil 0,33 persen, tertinggi dibandingkan


kelompok barang lain.
Fenomena
pemerintahan

di
dan

atas

merupakan

paradoks

di

sebuah

paradoks.

masyarakat.

Paradoks

Pemerintah

di

sebagai

entitas yang memiliki legalitas memperlancar kegiatan ekonomi


tidak pernah belajar akan berulangnya kejadian kenaikan harga

1 Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance)

menjelang Ramadhan dan selama Ramadhan. Jika belajar, pastinya


tidak akan terjadi kenaikan harga menjelang dan selama Ramadhan.
Paradoks masyarakat tercermin dari buyarnya makna puasa.
Puasa merupakan laku prihatin dalam rangka mendekatkan diri
kepada

Sang

Pencipta.

Laku

prihatin

tersebut

tercermin

dalam

pengurangan porsi konsumsi bagi orang yang berpuasa dari 3 kali


makan menjadi 2 kali makan, waktu berbuka dan waktu sahur.
Secara

nalar

sederhana,

sejatinya

permintaan

akan

bahan

makanan di masa menjelang Ramadhan dan selama Ramadhan menurun.


Tapi hal ini tidak berlaku. Fakta yang terjadi di lapangan adalah
konsumsi

justru

cenderung

meningkat.

Ramadhan

yang

sejatinya

dijadikan sebagai bulan laku prihatin, berubah menjadi bulan


laku bukber dengan jenis dan tingkat konsumsi melebihi konsumsi
di luar bulan Ramadhan.
Inflasi : Pasokan Vs Rente
Secara

garis

besar,

penyebab

inflasi

ada

dua

yakni

kelangkaan pasokan di sisi lain permintaan tetap dan cenderung


meningkat serta permintaan berlebih yang tidak dibarengi pasokan
yang

mencukupi.

Kelangkaan

pasokan

disebabkan

dua

hal

yakni

produksi yang berkurang dan atau adanya permainan di tingkat


distribusi.

Permainan

di

tingkat

distribusi

didasari

pada

kepentingan perburuan rente ekonomi dengan memainkan instrumen


harga.

Secara

kelembagaan,

mengendalikan

inflasi

pemerintah

yang

lebih

mudah

untuk

sisi

pasokan.

Bahan

disebabkan

makanan sebagai penyumbang inflasi terbesar salama ini berada di


bawah kontrol pemerintah yakni bahan makanan, terutama beras.
Melalui
Pusat

Kementerian

Statistik,

Pertanian

pemerintah

dan
bisa

berkolaborasi

dengan

memperkirakan

hasil

Badan
panen,

apakah bisa memenuhi kebutuhan atau tidak. Jika tidak bisa, impor
menjadi

kata

kunci

terakhir

pemerintah

untuk

memenuhi

keterbatasan suplai. Cukup simpel.


Namun apabila kelangkaan pasokan dikarenakan adanya ganjalan
di

rantai

distribusi,

memulihkan

pasokan.

sandungan

pemerintah

distribusi.

pemerintah

Permainan
dalam

ekonomi

susah

lagi

dengan

oknum

di

berkepentingan

terhadap

relatif

rente

jika

untuk

rente

pasokan

perburuan

pemerintahan
demi

sulit

pemburu

menetralisir

Terlebih

bersekongkol

akan

menjadi

di

jalur

rente

sudah

yang

sama-sama

keberlangsungan

politik

mereka.
Langkah
Pun

keledai

sebagai

hewan

paling

dungu,

tidak

akan

terjerambab kedua kalinya pada lobang yang sama di jalan yang


sama.

Peribahasa

pemerintah

untuk

tersebut
tidak

seharusanya

membiarkan

menjadi

pengulangan

lecutan
inflasi

bagi
tinggi

menjelang Ramadhan dan selama Ramadhan terjadi. Bagaimanapun juga

inflasi yang tidak terkendali menyakitkan, menggerus daya beli


masyarakat dan menambah kemungkinan jumlah orang miskin.
Pencegahan inflasi dari sisi produksi sejatinya bisa dengan
mudah

dikendalikan.

Pertanian,

Koordinasi

Kementerian

yang

Perdagangan

baik

dan

antara

Badan

Kementerian

Pusat

Statistik

dalam memberikan update data menjadi hal yang wajib dalam menjaga
pasokan produksi, baik dengan produksi sendiri ataupun impor.
Kedua, memberantas pemburu rente dalam rantai distribusi
yang terkadang menahan barang untuk mendapat harga tinggi. Secara
kelembagaan,

pemerintah

bisa

menggunakan

legalitasnya

untuk

mengoprak-oprak para distributor nakal untuk mengeluarkan stok


barangnya, seperti yang tercantum dalam Perpres 71 tahun 2015
tentang

Penetapan

dan

Penyimpanan

Harga

kebutuhan

Pokok

dan

Barang.
Ketiga, dan merupakan bagian kebijakan yang harus dilakuan
dalam perspektf jangka pendek dan jangka panjang yakni rekayasa
konsumsi masyarakat. Rekayasa yang dimaksud adalah mengalihkan
perilaku konsumsi dari beras ke non beras ataupun mengurangi
produk makanan impor.
Keduanya

bisa

dilakukan

dengan

cara

kampanye

kuliner

nusantara yang menggunakan bahan dasar non beras dan non impor.
Contoh paling nyata yang saat ini dengan sendirinya berada pada
jalur pengurangan bahan makanan impor adalah brownes dari bahan
dasar ubi, bukan tepung terigu atau gandum.

Selain

makanan

berkabohidrat,

minuman

kopi

juga

menjadi

salah satu bukti nyata. Menjamurnya kafe-kafe dengan minuman kopi


asli nusantara menjadi bukti bahwa taste kuliner masyarakat kita
tidak harus melulu makanan impor. Sekiranya dua contoh di atas
bisa

diambil

benang

merahnya

untuk

diaplikasikan

pada

jenis

komoditas lain, terutama komoditas sumber karbohidrat sebagai


pengganti beras.
Ketiga hal tersebut di atas bisa tercapai jika pemerintah
dan

stakeholder

terkait

memiliki

political

will

yang

sangat

tinggi untuk mewujudkan bulan suci tanpa inflasi yang tinggi(*).

Anda mungkin juga menyukai