Refarat THT Pengaruh Alergi Terhadap Oma
Refarat THT Pengaruh Alergi Terhadap Oma
Oleh:
Ratna Febrialti
NIM. 09101046
Pembimbing:
dr. Asmawati Adnan, Sp.THT-KL
1. 2. KAVUM TIMPANI
Kavum timpani merupakan suatu ruangan yang berbentuk irreguler
diselaputi oleh mukosa. Kavum timpani terdiri dari 3 bagian yaitu
epitimpanium yang terletak di atas kanalis timpani nervus fascialis,
hipotimpananum
yang
terletak
di
bawah
sulcus
timpani,
dan
1. 3. TUBA EUSTACHIUS
Tuba eustachius adalah saluran yang meneghubungkan kavum timpani
dan nasofaring. Panjangnya sekitar 31-38 mm, mengarah ke anteroinferomedial, membentuk sudut 30-40 dengan bidang horizontal, dan 45
denganbidang sagital. 1/3 bagian atas saluran ini adalah bagian tulang
yang terletak anterolateral terhadap kanalis karotikus dan 2/3 bagian
bawahnya merupakan kartilago. Muara tuba di faring terbuka dengan
ukuran 1-1,25 cm, terletak setinggi ujung posterior konka inferior.
Pinggir anteroposterior muara tuba membentuk plika yang disebut torus
tubarius, dan di belakang torus tubarius terdapat resesus faring yang
disebut fossa rosenmuller. Pada perbatasan bagian tulang dan kartilago,
lumen tuba menyempit dan disebut isthmus dengan diameter 1-2 mm.
Isthmus ini mudah tertutup oleh pembengkakan mukosa atau oleh infeksi
yang berlangsung lama, sehingga terbentuk jaringan sikatriks. Pada anakanak, tuba ini lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal dibandingkan
orang dewasa, sehinggga infeksi dari nasofaring mudah masuk ke kavum
timpani.1,3
ventilasi
dari
telinga
tengah
dan
memelihara
1. 4. PROSESUS MASTOIDEUS
Air cell system tulang mastoid merupakan perpanjangan dari rongga
pada telinga tengah yang berasal dari kantung pharyngeal pertama.
Proses
ini
terjadi
pada
perkembangan
tulang
temporal
yang
2. 2. EPIDEMIOLOGI
Hampir 85% anak mempunyai paling sedikit satu episode otitis
media akut pada umur 3 tahun, dan 50% anak akan mempunyai dua
episode atau lebih. Bayi dan anak kecil berisiko paling tinggi untuk
menderita otitis media, frekuensi insiden adalah 15 20% dengan puncak
terjadi dari umur 6 36 bulan dan 4 6 tahun. anak yang menderita otitis
media pada umur tahun pertama mempunyai kenaikan risiko penyakit
akut kumat atau kronis. Insiden penyakit cenderung menurun sebagai
fungsi dari umur sesudah umur 6 tahun. insiden tinggi pada laki laki,
kelompok sosioekonomi lebih rendah, suku asli Alaska, suku asli
Amerika, dan lebih tinggi pada orang kulit putih daripada orang kulit
hitam.7
2. 3. ETIOLOGI
Kuman penyebab utama pada OMA ialah bakteri piogenik, seperti
Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, Pnemokokus. Selain itu
kadang kadang ditemukan juga Hemofilus influenza, Eschericia colli,
Streptokukus anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas
aerugonosa.6
Hemofilus influenza paling sering ditemukan pada anak yang
berusia dibawah 5 tahun.6
2. 4. PATOFISIOLOGI
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan
tubuh. Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama
penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba
Eustachius, terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi
tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif di telinga
tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus
terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).6,8
Makin sering anak anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah
karena : 1. Morfologi tuba Eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya
agak horizontal; 2. Sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan;
3. Adenoid pada anak relatif lebih besar dibandingkan orang dewasa dan
sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah.8
2. 5. STADIUM OMA
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi
atas 5 stadium.6
a. Stadium oklusi tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai
oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani
negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara.
Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih
horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada
tuba Eustachius juga menyebabkan tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadang - kadang tetap normal dan tidak ada
kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah
terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan
dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan
alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.6
b. Stadium hiperemis
Pada stadium hiperemis tampak pembuluh darah yang melebar di
mebran timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis
serta edem. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat
eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.6
c. Stadium supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
eptel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) kearah
liang telinga luar.6
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu
gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan
gangguan pendengaran konduktif.6
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik
akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya
nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi
penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan
akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler
membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah
nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow
spot.6,8
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi
pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga
tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani
akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang
tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani
mungkin tidak menutup kembali jika tidak utuh lagi.6,8
d. Stadium perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga
sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari
e. Stadium resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan
berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh
membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran
timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan
akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini
berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani
masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. 6
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut
menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa
perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar
secara terus-menerus atau hilang timbul.6
2. 6. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari
komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi
membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.6,8
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah
hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam
larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik.6,8
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam
darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis
terselubung,
gangguan
3.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Adams G, Boies L, Higler P. Buku Ajar Penyaki THT. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC; 1997.
4.
5.
6.
Djaafar ZA, Helmi, Ratna DR. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Buku Ajar
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007. Hal 64 9.
7.
8.
9.
10.