Anda di halaman 1dari 23

Sesak Napas

A.

Kasus
Skenario
Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas,
penderita terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.

B.

Kata Kunci
1. Laki-laki, 25 tahun
2. Sesak napas
3. Pucat dan kebiruan (sianosis)
4. Nadi cepat dan lemah

C.

Pertanyaan
1. Bagaimana prinsip penilaian primer dan penanganan awal pada pasien dengan sesak napas!
2. Bagaimana prinsip penilaian sekunder pada pasien dengan sesak napas!
3. Apa penyebab terjadinya sesak napas?
4. Bagaimana cara memberikan tindakan lanjut apabila penanganan awal gagal!
5. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi jika penanganan terlambat?
6. Bagaimana hubungan antara sesak napas dengan pucat dan kebiruan pada pasien!
7. Bagaimana hubungan sesak napas dengan nadi yang cepat dan lemah!
8. Bagaimana penanganan apabila terjadi kegagalan sirkulasi!
9. Bagaimana pemberian obat-obatan pasien trauma!
10. Bagaimana syarat-syarat melakukan transportasi dan rujukan pada pasien!
11. Jelaskan macam-macam alat bantu pernapasan!

D.

Jawaban
1. Survey Primer adalah pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera
berat dengan prioritas pada ABCD, fase ini harus dikerjakan dalam waktun singkat dan
kegawatan pada penderita sudah harus dapat ditegakkan pada fase ini. Kegiatan pada survey
primer meliputi penilaian :
a. A : AIRWAY maintenance adalah mempertahankan jalan napas. Hal ini dapat dikerjakan
dengan teknik manual ataupun menggunakan alat bantu. Tindakan ini mungkin akan

banyak memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk menjaga stabilisasi tulang
leher.
b. B : BREATHING adalah menjaga pernapasan atau ventilasi dapat berlangsung dengan
baik. Setiap penderita trauma berat memerlukan tambahan oksigen yang harus diberikan
pada pasien dengan cara efektif.
c. C : CIRCULATION adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan tindakan untuk
menghentikan perdarahan.
d. D : DISABILITY adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya
e.

gangguan neurologis.
E : EXPOSURE / ENVIROMENT adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita
untuk melihat jejas atau tanda- tanda kegawatan yang mungkin tidak terlihat dengan
menjaga supaya tidak terjadi hipotermi.

Penanganan awal
A. Airway + Cervical Spine Control
Look

: -

Melihat adanya darah/cairan di sekitar mulut


Melihat adanya obstruksi baik oleh benda asing/cairan.

Listen

: Suara pernapasan

Feel

: Merasakan hembusan nafas korban.

Gangguan pada Airway


a. Obstruksi Total akibat (benda asing)
1. Bila korban masih sadar:
a) Korban memegang leher dalam keadaan sangat gelisah
b) Mungkin ada kesan masih bernapas walaupun tidak ada ventilasi
Penatalaksanaan: Hemlich manuever/abdominal thrust (kontra pada ibu hamil dan
bayi).
2. Bila tidak sadar.
Tentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger
sweep) ke dalam faring sampai belakang epiglotis. Jika tidak berhasil, lakukan
Abdominal Thrust dalam keadaan penderita berbaring.
b. Obstruksi Parsial
Obstruksi parsial bisa disebabkan berbagai hal. Biasanya korban masih bisa bernapas
sehingga timbul berbagai macam suara pada pemeriksaan listen, tergantung penyebabnya:
1) Cairan (Darah/Sekret)

Timbul suara gurgling (suara napas + suara cairan) , bisa terjai pada aspirasi
akut. Penatalaksanaan :
Tanpa alat

: Lakukan log roll lalu finger sweep

Alat

: Suction(Orofaring atau Nasofaring) / ETT

2) Lidah jatuh ke belakang.


Bisa terjadi karena tidak sadar. Timbul suara snoring (mendengkur) .
Penatalaksanaan :
Tanpa alat : Jaw Thrust
Alat

: Oropharyngeal Tube.

3) Penyempitan di laring / trakea.


Oedema dapat terjadi karena berbagai hal : Keracunan, Luka bakar. Timbul
suara crowing/stridor. Penatalaksanaan : Trakheostomi.
B. Breathing (Ventilasi)
Airway (jalan napas) yang baik tidak menjamin breathing (dan ventilasi) yang baik.
Breathing artinya pernapasan atau proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Airway
yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik menggambarkan fungsi
baik dari paru, dinding thoraks dan diafragma. Pada saat pemeriksaan breathing dada
korban harus dibuka untuk melihat pernapasan yang baik. Dalam pemeriksaan breathing
berpedoman pada :
1)

Inspeksi
Inspeksi breathing berupa observasi dada, yang dinilai :
a. Keadaan umum pasien tampak sesak dengan tangan menopang pada tempat tidur
dengan maksud supaya otot-otot bantu pernapasan dapat membantu ekspirasi,
pernapasan cuping hidung, tachypneu dan sianosis. Selain itu juga mungkin dapat
didengar wheezing (ekspirasi yang memanjang) dan bentuk dada barrel chest
(terjadi pemanjangan diameter antero-posterior disertai sela iga yang melebar dan
sudut epigastrium yang tumpul). Keadaan ini bisa dijumpai pada keadaan saluran
napas yang menyempit seperti asma. Yang dapat dilakukan memposisikan pasien
pada posisi senyaman mungkin, biasanya posisi setengah duduk dan diberi
oksigen pada asma ringan. Sedangkan pada asma berat diberi bronkhodilator.

Pada kasus trauma stabilisasi penderita dilakukan pada posisi stabil dengan
menggunakan bantuan oksigen baik itu dengan endotracheal tube ataupun dengan
ventilator. Indikasi pemberian oksigen antara lain :
i. Pada saat RJP.
ii. Setiap penderiat trauma berat.
iii.
Setiap nyeri prekardial
iv. Gangguan paru seperti asma, COPD, dan sebagainya.
v. Gangguan jantung.
b. Pergerakan dada apakah simetris antara dinding thoraks kiri dan kanan pada saat
inspirasi dan ekspirasi. Ketidaksimetrisan ini salah satunya disebabkan oleh
trauma pada thoraks sehingga terdapat udara dan darah dalam cavum pleura.
Terdapatnya udara dalam cavum pleura disebut pneumothorax dan gejalanya
disertai dengan nyeri dada, sesak napas dan dugaan diperkuat lagi jika terdapat
luka terbuka di daerah dada (dx : Pneumothorax terbuka). Jika terdapat darah
pada cavum pleura disebut hemothorax dan gejalanya pun disertai sesak napas
dan nyeri dada. Pada kedua kasus tersebut kadang dijumpai deviasi trachea dan
pergeseran mediastinum pada stadium yang berat. Untuk pneumothorax terbuka
bisa memasang kasa tiga sisi.
c. Frekwensi napas dan iramanya.
2)

Palpasi
Palpasi dilakukan untuk memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi berupa adanya ekspansi dada dan posisi apex jantung. Apex
jantung berubah dapat disebabkan dorongan oleh kelainan mediastinum, efusi pleura dan
lain-lain. Yang dinilai pada palpasi :
a. Nyeri Tekan dan Krepitasi
Hal ini mungkin mengarah pada fraktur kosta. Nyeri timbul akibat
penekanan kosta ke pleura parietalis sedang krepitasi adalah bunyi tulang kosta
yang patah.
b. Vocal Fremitus atau Tctil Fremitus
Hal ini dilakukan untuk mengetahui perambatan suara ke dinding dada
yang dirasakan oleh kedua tangan yang dirapatkan, tepatnya di sela-sela kosta.
i.

Peningkatan fremitus menandakan adanya konsolidasi paru misalnya pada


Pneumonia (kelainan infiltrat)

ii.

Penurunan fremitus hampir selalu disebabkan oleh kelainan non infiltrat.

Misalnya Pneumothorax, Hemotrax.


c. Deviasi Trachea
Artinya terjadi penyimpangan trachea akibat pendorongan di dalam
mediastinum. Pada pneumothorax misalnya : deviasi trachea akan mengarah ke arah
sehat. Hal ini akan membantu dalam melakukan NTS (Needle Thoracocintesis) jika
tidak ada foto. NTS dilakukan pada ICS dengan menggunakan ABBOCATH.
d. DVS (Desakan Vena Sentralis)
Peningkatan DVS yang menyertai sesak biasanya mengarah pada sesak yang
disebabkan oleh kelainan jantung.
3)

Perkusi
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Suara perkusi yang normal adalah sonor. Suara perkusi redup, pekak, hipersonor atau
timpani menandakan adanya kelainan pleura atau paru.
a. Perkusi yang pekak (dullness percussion, stone dullness) misalnya pada hemothorax.
Penanganannya dengan WSD (Water Seal Drainage) pada ICS V atau VI.
b. Perkusi yang hipersonor ditemukan misalnya pada Pneumothorax.
Perkusi inilah yang biasanya membantu membedakan Pneumothorax dan
Hemotrax selain foto thorax. Dalam melakukan perkusi hendaknya selalu
membandingkan tempat yang sehat dan lesi (dari atas ke bawah; dari medial ke
lateral).

4)

Auskultasi
Auskulatasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Pada
keadaan normal didapatkan napas bronchial pada trachea, napas bronchovesikuler di
daerah intraclaviculer, suprasternal dan interscapular. Sedangkan suara napas vesikuler
di luar lokasi diatas. Bila didapatkan suara napas bronchial/ bronchovesikuler pada
lokasi yang seharusnya vesikuler, menandakan adanya suatu kelainan pada tempat
tersebut.
a.

Suara napas vesikuler yang melemah menandakan adanya halangan hantaran suara

b.

ke dinding dada misalnya efusi pleura, pneumothorax dan hemotrax.


Suara wheezing, menciut (highed pitch) misalnya pada asma dan gagal jantung.

c. Ronchi halus dan sedang dapat disebabkan oleh cairan misalnya pada pneumonia
dan edema paru.
d. Bunyi berkurang/menghilang menunjukkan adanya cairan/udara dalam rongga
pleura/ kolaps paru.
e. Bunyi napas bernada tinggi misalnya pada Tension Pneumothorax.
f. Bunyi rub misalnya pada peluritis, infark paru dan lain-lain.
Setelah evaluasi breathing dan hasilnya baik, harus periksa kembali Airway
sebelum melanjutkan ke Circulation. Bila tiba-tiba pasien henti napas maka pernapasan
buatan bisa dengan :
I.
II.

Mouth to mouth ventilation/Mouth to nose.


Mouth to mask ventilation
Bila dipasang saluran oksigen pada fase mask maka konsentrasi oksigen dapat
mencapai 55%.

III.

Ambu-Bag
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan diantaranya ada katup.

IV.
V.

Jackson-REES.
Ventilator.

C. Circulation
Hal yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah status hemodinamik dari pasien.
Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan tekanan
darah dan nadi (tanda vital). Juga perhatikan ada tidak tanda-tanda syok seperti hipotensi,
pucat, berkeringat, akral dingin, dan perubahan status mental.
Bila ada tanda-tanda syok tersebut maka segera posisikan pasien dengan posisi
Trendelenberg untuk menjamin sirukulasi ke otak. Kemudian segera pasang infus untuk
memasukkan cairan intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan eksternal yang
nyata maka segera hentikan perdarahan tersebut dengan kompresi atau penekanan langsung
di tempat perdarahan atau bebat tekan. Kontrol perdarahan ini diperlukan agar status
hemodinamik pasien tidak semakin memburuk.
Setelah tindakan tersebut dilakukan maka evaluasi kembali keadaan pasien mulai
dari tindakan yang pertama yaitu Airway atau jalan napas, Breathing atau pernapasan dan
Circulation atau sirkulasi. Juga evaluasi tindakan yang telah kita lakukan.

Pada skenario kasus tampak nadi pasien lemah dan pucat. Keadaan ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami gejala awal dari syok. Untuk itu tindakan sirkulasi
perlu kita lakukan. Tindakan yang dilakukan adalah membaringkan pasien dengan posisi
kaki lebih tinggi dari kepala untuk menjamin sirkulasi ke otak tetap baik. Kemudian
masukkan cairan intravena/infus. Cairan yang dapat diberikan adalah kristalloid dimana
cairan ini relatif mudah ditemukan di puskesmas dan relatif murah.
d. Disability & Drugs
Setelah Circulasi & Bleeding Control tertangani, kita beralih ke tahap primary
survey Disability & Drugs. Cara pemakaian obat-obatan darurat adalah dengan kanulasi
vena perifer, yaitu melakukan penusukan pada vena yang letaknya superfisial di lengan,
tungkai, leher atau kepala dengan kateter intra vena (infusse). Selain untuk media
masuknya obat-obatan darurat, kanulasi vena perifer juga diindikasikan untuk : pemberian
cairan & elektrolit, sebagai bagian dari resusitasi, sebelum dilakukan tindakan operasi dan
untuk pemberian nutrisi perenteral perifer. Contoh obat-obatan resusitasi antara lain :
Adrenalin/efineprin, naloxon, Na bikarbonat, dsb.
Disability adalah penilaiaan status neurologis atau penggunaan obat-obatan
resusitasi. Status neurologis meliputi : GCS (Lihat Tabel).

Variabel

Respon Buka Mata


(M)

Nilai

Spontan

Terhadap Suara

Terhadap Nyeri

Tidak Ada

Respon Motorik
Terbaik (M)

Respon Verbal (V)

Menuruti Perintah

Melokalisir Nyeri

Fleksi Normal (Menarik Dari Nyeri)

Fleksi Abnoemal (Dekortikasi)

Ekstensi Abnormal

Tidak Ada

Berorientasi

Bicara Membingungkan

Kata-kata Tak Teratur

Suara tak jelas

Tidak ada

Nilai GCS = ( M + M + V), nilai terbaik = 15, Nilai terburuk = 3


Refleks pupil, yang dimulai adalah diameter pupil isokor.
a.
b.
c.
d.

Anisokor adalah jika perbedaan diameter kedua pupil lebih dari 1 mm.
Isokor adalah jika perbedaan diameterkedua pupil kurang dari 1 mm.
Miosis.
Midriasis.
Lateralisasi adalah ketidakmampuan sebagian fungsi sensoris
berdasarkan ada tidaknya jejas atau massa intrakranial.

E. Environment

dan motoris

Dalam environment kita melakukan penilaian head to toe, untuk mengetahui


adanya cedera lain yang nampak dengan melepas semua pakaian yang melekat, cegah
jangan sampai pasien hipotensi, asidosis, dan koagulopati, yang merupakan Trias of Death.
F. ABC RJP
ABC RJP yang dilakukan pada korban dengan henti jantung dapat memberikan
kemungkinan hasil :
a. Korban/pasien menjadi sadar kembali.
b. Korban/pasien dinyatakan mati.
c. Korban/pasien belum dapat dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan.
Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut (bantuan hidup lanjut).
d. Denyut lanjut spontan timbul, tetapi korban/pasien belum pulih kesadarannya. Ventilasi
spontan bisa ada atau tidak.
Selain kompresi dada luar, yang juga termasuk bantuan sirkulasi adalah
penghentian perdarahan dan penentuan posisi untuk mengatasi syok, yaitu dengan
meletakkan kepala lebih rendah daripada kaki.
Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Lie Support)
Bantuan hidup lanjut (BHL) bertujuan melalui kembali sirkulasi spontan dan
mempertahankan sistem jantung paru dengan cara memulihkan transport oksigen arteri
mendekati normal. BHL diberikan setelah dilakukan ABC RJP an belum timbul denyut
jantung spontan. Yang termasuk dalam BHL adalah DEF RJP, yaitu : Drugs Fluids
Intravenous Infusion (pemberian obat-obatan dan cairan melalui infus intravena tanpa
menunggu hasil EKG)
Sumber : Advanced Trauma Life Support For Doctors ATLS Student Course Manual
Eight Edition. American College Of Surgeons Comitte On Trauma.2008.
2. Survey Secunder baru dilakukan setelah primary survey telah tertangani, resusitasi dilakukan
dan ABCDE-nya penderita dipastikan membaik. Secondary survey adalah pemeriksaan
menyeluruh kepada pasien, mulai dari kepala sampai kaki (head to toe).
a. Anamnesis

Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat


perlukaan. Seringkali data seperti ini tidak bisa didapatkan dari penderita sendiri, harus
didapat dari petugas lapangan atau keluarga.
Anamnesis yang harus diingat :
A : Alergi
M :Mekanisme dan sebab trauma
M :Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
P :Past illness
L :Last meal (makan minum terakhir)
E : Event/ Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis pasien, dimulai dari kepala sampai kaki, seperti:
i.
Kepala & Maksilofacial
Seluruh kulit kepala, kepala, dan muka harus diperiksa akan adanya luka,
kontusio, maupun fraktur, dan udem. Mengecek apakah pasien mengalami trauma
capitis atau tidak. Memeriksa kelainan yang ada pada mata, seperti perdarahan
konjungtiva dan fundus, luka tembus mata, dislokasi lentis, penurunan visus, dan
ukuran pupil. Memeriksa kelainan yang ada pada mulut, seperti perlukaan
(tumpul/tajam), udem. Memeriksa kelainan yang ada pada hidung, seperti adanya
epistaksis, deviasi, fraktur, maupun perlukaan (tajam/tumpul). Memeriksa kelainan yang
ada pada telinga, seperti adanya perdarahaan, fraktur, perlukaan (tajam/tumpul), serta
adanya cairan serebrospinal yang keluar dari meatus akustikus.
ii.
Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma capitis hampir selalu dicurigai mengalami fraktur
servicalis juga. Maka harus dilakukan imobilisasi sampai vertebra servicalis diperiksa
dengan teliti. Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Melihat dan
meraba apakah ada kelainan pada leher, nodus limfatikus, trakea, kelenjar tiroid, serta
arteri karotis dan vena jugularis.
iii.
Thoraks
Pemeriksaan Thoraks meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi: Memperhatikan bentuk dada dan cara dada bergerak. Memperhatikan apakah
ada perlukaaan, deformitas, asimetris, adanya otot-otot bantu pernapasan, retraksi,
maupun adanya salah satu sisi yang tertinggal.
Palpasi: Ketika melakukan palpasi dada, nyeri adalah fokus utama.
Perkusi: Perkusi dilakukan untuk mengetahui batas-batas organ dan bunyi yang ada di
rongga thoraks seperti batas paru dengan hepar, sonor pada paru yang normal.
Auskultasi: Auskultasi dilakukan untuk mengetahui bunyi napas (bunyi paru) yang
normal maupun bunyi tambahan.
iv. Abdomen
Pemeriksaan abdomen juga meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi.
Memeriksa adanya perlukaan (tumpul/tajam), nyeri tekan dan lepas, adanya asites,
v.

dan bising usus.


Perineum, rektum
Perineum diperiksa akan adanya perlukaan, kontusio, perdarahan uretra.
Dilakukan pula colok dubur untuk memastikan apakah ada perdarahan pada rektum,

vi.

letak prostat, serta tonus spinter ani.


Musculoskeletal
Ekstremitas diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, perlukaan, deformitas,

vii.

krepitasi maupun fraktur.


Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, pemeriksaan motori dan sensorik.

c. Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan dilakukan untuk diagnostik yang lebih spesifik. Seperti
pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Misalnya foto polos untuk ekstremitas dan
tulang belakang, CT-scan untuk kepala, dada, abdomen dan spine, urografi dan
angiografi, USG, bronkhoskopi, esofagoskopi, dan lain sebagainya.
Sumber :
1.
American Collage Surgeon: ATLS, Advanced Trauma Life Support, 7th ed. United
2.

3.

States of America, 2004.


Hasibuan, Lisa Y, dkk: Luka dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Sjamsuhidajat de
Jong, Edisi 3. Jakarta: EGC. 2007. Hal: 95-120.
Bickley, Lynn S: Bates, Buku Ajar pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan, Edisi
8. Jakarta: EGC. 2009.

3. Penyebab Sesak Napas, terbagi atas :

a. Non Trauma :
i.
Infar Miokard Akut (IMA) dimana dispneu serangannya terjadi bersama-sama
ii.

dengan nyeri dada yang hebat.


Kegagalan jantung kiri (IMA dengan komplikasi edema paru kardiogenik) dimana
dispneu terjadi mendadak pada malam hari saat pendirita lagi tidur. Pada keadaa ini
biasa disertai dengan otopneu dimana dispneu akan berkurang pada saat mengambil

iii.

posisi duduk.
Asma brochiale, yang khas disini adalah terdapatnya pemanjangan dari ekspirasi

iv.

dan wheezing (mengi)


Fibrilasi atrium, dispneu timbul secara tiba-tiba, dimana sudah terdapat penyakit

katub jantung sebelumnya.


b. Trauma
i.
Pneumotoraks, adanya udara atau gas lain dalam rongga pleura. Ini bisa terjadi
tanpa adanya penyakit tertentu(pneumothoraks saja) atau mungkin terjadi sebagai
akibat dari beberapa kelainan thorak atau paru.
Pneumothoraks di bagi menjadi :
i. Pneumothoraks sederhana.
Pleura parietal dan viser seharusnya dipertahankan tetap berkontak karena ada
gabungan tekanan intrapleura yang negative dan tarikan kapilere oleh
ii.

sejumlah kecil cairan pleura.


Tension pneumothoraks
Jika lebih banyak udara memasuki ruang pleura saat inspirasi di bandingkan

iii.

dengan yang keluar pada saat ekspirasi, akan tercipta efek bola berkatup.
Pneumothoraks terbuka
Walaupan ada trauma tembus, udaya yang masuk keruang pleura lebih banyak
berasal dari paru-paru yang rusak daripada dari efek dinding dada.

ii.

Hamathoraks, akumulasi darah dalam dada atau hemothoraks adalah masalah yang
paling relative paling sering karena cedera ke struktur intrathoracic atau diding
dada. Hemothoraks adalah kumpulan darah didalam dada. perdarahan kedalam
ruang pleura terjadi pada hampir setiap sel-sel daeri dinding dada dan selaput paruparu atau intrathoracic struktur.

Sumber : http://www.scribd.com/mobile/doc/82851560
4. Tindakan lanjutan jika penanganan awal gagal

Airway yang terbuka tidak akan berguna bagi pasien terkecuali jika pasien juga
mempunyai ventilasi adekuat. Apabila pernapasan tidak membaik dengan terbukanya airway,
penyebab lain harus dicari. Bila ditemukan masalah atau dicurigai, tindakan sebaiknya yaitu
memperbaiki oksigenasi secepatnya untuk mengurangi risiko bahaya pernapasan lebih lanjut.
Ini berupa teknik-teknik mempertahankan airway dengan tindakan Airway Definitive.
Terdapat 3 macam Airway Definitive yaitu Intubasi Endotracheal yang terdiri atas Intubasi
Orotracheal dan Intubasi Nasotracheal, serta Surgical Airway dengan melakukan
Cricothyroidotomi. Penentuan pemasangan Airway Definitive didasarkan pada penemunpenemuan klinis yaitu adanya apnue, ketidakmampuan mempertahankan airway dengan caracara lain, kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah dan vomitus,
ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, adanya cedera kepala tertutup yang
memerlukan bantuan napas (GCS 8), dan ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi
yang adekuat.
Pada Intubasi Endotracheal penting untuk memastikan ada atau tidaknya fraktur ruas
tulang kepala. Jika tindakan intubasi tidak berhasil, diperlukan Tracheostomi. Namun,
apabila Tracheostomi dilakukan dalam keadaan darurat dapat menyebabkan perdarahan yang
banyak dan mungkin memerlukan waktu yang lama. Cricothyroidotomi mungkin pilihan
yang

dapat

menyelamatkan

pasien.

Cricothyroidotomi

lebih

dianjurkan

daripada

tracheostomi. Cricothyroidotomi dilakukan jika Intubasi endotracheal gagal. Tindakan ini


mudah dilakukan, perdarahan lebih sedikit, dan lebih cepat dikerjakan daripada
Tracheostomi.
Sumber : Advanced Trauma Life Support For Doctors ATLS Student Course Manual Eight
Edition. American College Of Surgeons Comitte On Trauma.2008. Hal: 29-31; 36-37; 42.
5. Komplikasi yang dapat terjadi jika penanganan sesak napas gagal ;
a. Pneumothorax adalah keadaan dimana trdapat udara atau gas dalam rongga pleura
sehinga paru-paru kesulitan untuk mengembang.
b. Hipoksia cerebri adalah kekurangan oksigen dalam darah yang menuju keotak.
c. Asidosis mtabolik adalah prubahan PH darah arteri hingga dibawah 7,35
d. Pneumomediastinum adalah adanya udara atau gas bebas yang ditemukan di
mediastinum.

e. Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan


saluran udara atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
f. Koma
Sumber : Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Pnyakit Dalam jilid 2, edisi IV.
Jakarta;Departemen Ilmu Pnyakit Dalam FK UI
6. Patomekanisme sesak napas (dispneu)
Terdapat beberapa patofisiologi daripada dispneu :
1) Kekurangan oksigen ( O2 )
a. Gangguan konduksi maupun difusi gas keparu-paru
i.
Obstruksi dari jalan nafas, misalnya pada bronchospasme & adanya benda asing
ii.
Berkurangnya alveoli ventilasi, misalnya pada edema paru, radang paru,
iii.
iv.
b.
i.

ii.

iii.
iv.

emfisema dsb
Fungsi restriksi yang berkurang, misalnya pada. pneumotoraks, efusi pleura dan
barrel chest.
Penekanan pada pusat respirasi
Gangguan pertukaran gas dan hipoventilasi
Gangguan neuro muskular
a) Gangguan pusat respirasi, misal karena pengaruh sedatif
b) Gangguan medulla spinalis misalnya sindrom guillain-barre
c) Gangguan saraf prenikus, misalnya pada poliomielitis
d) Gangguan diafragma, misalnya tetanus
e) Gangguan rongga dada, misalnya kifiskoliosis
Gangguan obstruksi jalan nafas
a) Obstruksi jalan nafas atas, misal laringitis/udem laring
b) Obstruksi jalan nafas bawah, misal asma brochiale dalam hal ini status
asmatikus sebagai kasus emergency
Gangguan pada parenkim paru, misalnya emfisema dan pneumon.
Gangguan yang sirkulasi oksigen dalam darah, misalnya pada keadaan ARDS dan

keadaan kurang darah.


c. Pertukaran gas di paru-paru normal tapi kadar oksigen di dalam paru-paru berkurang.
i.
ii.

Kejadian ini oleh karena 3 hal, yaitu :


Kadar Hb yang berkurang
Kadar Hb yang tinggi, tapi mengikat gas yang afinitasnya lebih tinggi misalnya

iii.

CO ( pada kasus keracunan ketika inhalasi gas)


Perubahan pada inti Hb, misalnya terbentuknya met-Hb yang mempunyai inti Fe
3+

.
d. Stagnasi dari aliran darah, dapat dibagi atas :
i.
Sentral, yang disebabkan oleh karena kelemahan jantung.

ii.

Gangguan aliran darah perifer yang disebabkan oleh renjatan (shock), contoh syok

hipovolemik akibat hemototaks.


iii.
Lokal, disebabkan oleh karena terdapat vasokontriksi lokal
iv.
Dapat pula disebabkan oleh karena jaringan tidak dapat mengikat O 2 , terdapat
contohnya pada intoksikasi sianida.
2) Kelebihan carbon dioksida ( CO2 )
Karena terdapatnya shunting pada COPD sehingga menyebabkan terjadinya aliran
dari kanan ke kiri ( right to the left ).
3) Hiperaktivasi refleks pernafasan
Pada beberapa keadaan refleks Hearing-Breuer dapat menjadi aktif. Hal ini
disebabkan olek karena refleks pulmonary stretch.
4) Emosi
5) Asidosis
Banyak hubungannya dengan kadar CO2 dalam darah dan juga karena kompensasi
metabolik.
6) Penambahan kecepatan metabolisme
Pada umumnya tidak menyebabkan dispneu kecuali bila terdapat penyakit penyerta
seperti COPD dan payah jantung (dekomensasi kordis).
Sianosis merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan
oleh kelainan jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang
tidak mengandung O2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit, terutama
dalam kapiler. Hb yang tidak mengandung O2 memiliki warna biru gelap yang terlihat melalui
kulit. Pada umumnya sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari 5 gram Hb yang tidak
mengandung O2 dalam setiap desiliter darah.
Sumber : Sylvia A. Price. 2006. Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit. EGC;
Jakarta. Halaman 775, 778.
7. Patomekanisme takikardi
Takikardi : nadi > 100 x/menit.
Penyebab umum :
1) Sistem saraf otonom & endokrin
a. Stress (Fight or flight)

b. Stimulant (caffeine)
c. Penyakit endokrin (pneucromocytoma)
2) Haemodinamik
a. Dehidrasi
b. Perdarahan
c. Hipotensi ortostatik
Postural ortostatic tachycardia syndrome (POTS)
3) Cardiac Aritmia
a. Supraventrikular takikardi
b. Ventrikular takikardiai
8. Yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah status hemodinamik dari pasien.Pemeriksaan
tersebut dilakukan dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan tekanan dan nadi (tanda
vital).Juga memperhatikan ada tidaknya tanda syok seperti hipotermi, pucat, berkeringat,
akral dingin, dan perubahan status mental.
Langkah awal dalam mengelola syok adalah mengetahui tanda-tanda klinisnya.
Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda yang timbul akibat dari perfusi organ dan
oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Selanjutnya mencari penyebab syok yang untuk
penderita trauma berhubungan dengan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan
mengalami syok hipovolemik, tetapi mungkin mereka menderita syok kardiogenik,
neurogenik, dan bahkan kadang-kadang syok septic. Mungkin juga, tension pneumothoraks
dapat mengurangi pengembalian darah ke jantung dan mengakibatkan syok. Syok neurogenik
diakibatkan oleh cedera berat pada system saraf pusat atau pada medulla spinalis.
Bila ada tanda syok tersebut maka segera posisikan pasien dengan posisi
Trendelenberg untuk menjamin sirkulasi ke otak.Kemudian segera pasang infus untuk
memasukkan cairan intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan eksterna yang
nyata maka segera hentikan pendarahan tersebut dengan menekan langsung tempat
pendarahan atau bebat tekan.Kontrol penderahan ini diperlukan agar status hemodinamik
pasien tidak semakin memburuk. Setelah tindakan tersebut dilakukan maka evaluasi kembali
keadaan pasien mulai dari tindakan yang pertama yaitu airway, breathing, dan
circulation.Selalu melakukan evaluasi setiap tindakan yang telah kita lakukan.

Pada skenario kasus tampak nadi pasien melemah dan pucat, keadaan ini
menunjukkan bahwa pasien mengalami gejala awal dari syok.Untuk itu tindakan sirkulasi
perlu kita lakukan, yaitu dengan trendelenberg kemudian masukkan cairan infus kristaloid.
a. Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ
1) Umum
Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak mamadai, yang digunakan untuk
diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respon penderita. Pulihnya
tekanan darah ke normal ,tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang
menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu,
pengamatan tersebut tidak member informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada
status system syaraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai
peningkatan perfusi, tetapi kuantitasnya sukar ditentukan. Perubahan pada tekanan
vena sentral dapat memberikan informasi yang berguna dan resiko pemasangan jalur
vena sentral harus diambil bila kasusnya rumit. Pada kebenayakan penderita maka
pengukuran CVP sudah mencukupi.
2) Produksi urine
Dalam batas tertentu, produksi urine dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah
ginjal. Penggantian volume yang mamadai seharusnya menghasilkan keluaran urin
sekitar 0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak dan 2
ml/kg/jam untuk bayi. Bila krang, atau makin turun produksi urin dengan berat jenis
yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut
ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostic.
3) Keseimbangan asam/basa
Penderita syok hipovolemik dini akan mengalami alkalosis pernafasan karena
takpnea. Alkalosis respiratorik seringkali disusul dengan asidosis metabolic ringan
dalam tahap syok dini dan tidak perlu terapi. Asidosis metabolic yang berat dapat
terjadi pada syok yang sudah lama atau akibat syok berat. Asidosis metabolic terjadi
karena metabolism anaerobic akibat perfusi jaringan yang kurang dan produksi asam
laktat. Asidosis yang persisten biasanya akibat resusitasi yang tidak adekuat atau
kehilangan darah terus menerus dan pada penderita syok normothermic harus diobati
dengan cairan, darah, dan dipertmbangkan intervensi operasi untuk mengendalikan
perdarahan. Deficit basa yang diperoleh dari analisa gas darah arteri dapat berguna

dalam memperkirakan beratnya deficit perfusi yang akut. Jangan gunakan sodium
karbonat secara rutin untuk mengobati asidosis sekunder pada syok hipovolemik.
Sumber : Advanced Trauma Life Support For Doctors ATLS Student Course Manual Eight
Edition. American College Of Surgeons Comitte On Trauma.2008.
9. Obat-obat emergency
Tujuan : Untuk mengendalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat
lainnya dengan menggunakan obat-obatan
a. Epinefrin
a. Indikasi : Henti jantung, anafilaksis, reaksi alergi berat
b. Dosis : anak : 1 mg IV diberikan setiap 3-5 menit
b. Atropin
a. Indikasi : Bradikardi simtomatis
b. Dosis : anak : 0,02 mg/kgBB IV
c. Lidokain
a. Indikasi : obat pilihan utama untuk PVC
b. Dosis : 1mg/kgBB
d. Natrium bikarbonat
a. Indikasi : hiperkalemia
b. Dosis : anak : 1meq/kgBB
e. Kalsium klorida
a. Indikasi : untuk perbaikan kontraksi otot jantung
b. Dosis : 20-25 mg/kgBB IV
f. Noradrenalin : shock kardiogenik
a. Dosis : 20-25 mg/kgBB IV
g. Dopamin
a. Indikasi : shock kardiogenik pada infark miokard
b. Dosis : 1-20 mg/kgBB
h. Aminofilin
a. Indikasi :menghilangkan dan mencegah gejala asma dan bronkospasme
b. Dosis : 500 g/kg/jam IV infus
i. Efedrin
a. Indikasi : asma bronchial
b. Dosis : 0,5 mg/kgBB IM
j. Dexamethason
a. Indikasi : shock anafilaksis
b. Dosis : 0,024-0,034 mg/kgBB/hari
k. dizepam
a. Indikasi :anti konvulsif , agitasi, psikosis
b. Dosis : 10 mg/2ml
Sumber : Farmakologi dan Terapi FK-UI. Edisi 5. 2010. Jakarta. Hal : 77-95

10. Syarat merujuk pasien kegawatdaruratan :


a. Unstable cirkulation
b. Fraktur-fraktur terbuka
c. Dan pada saat merujuk jangan

ke

satu

rumah

sakit

saja,

harus

dibagi-bagi dan dirujuk sesuai indikasi. Contoh :


i. Cuma fraktur ringan di bawa ke rumah sakit lokal.
ii. Trauma kepala dibawa ke rumah sakit pusa yang punya ct scan dan peralatan yang
lengkap.
Transportasi pasien dengan :
a.
b.
c.
d.
e.

Long spine board


Servical collar
Vacuum mattress
Ked (kendrick exrication device)
Scoop stretcher.
Syarat ditransportasi yaitu keadaan pasien/korban harus stabil dulu gangguan airways,

breathing (example tenion pneumothoraks) dan usahakan sudah diberi penanganan awal
pendarahan.
Sumber : Advanced Trauma Life Support For Doctors ATLS Student Course Manual Eight
Edition. American College Of Surgeons Comitte On Trauma.2008.
11. Macam-macat alat bantu pernapasan
a. Sungkup muka sederhana merupakan sistem aliran rendah dengan hidung, nasofaring,
orofaring sebagai penyimpanan anatomik. Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan
konsentrasi O2 mencapai 60%. Terbagi atas :
i.
Sungkup muka dengan kantong rebreating:
a) Aliran O2 diberikan 6-10 liter/menit dengan konsentrasi O2 dicapai 80%.
b) Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi dimana 1/3 bagian
volume udara exhalasi masuk kekantong dan 2/3 nya melalui lubang-lubang
bagian samping.
Sungkup muka dengan kantong non rebreating:
a) Aliran O2 diberikan 8-12 liter/menit, dengan konsentrasi O2 mencapai 100%.
b) Udara inspirasi tak bercampur dengan udara ekspirasi(exhalasi) dan tidak

ii.

dipengaruhi oleh udara luar.


Kerugian pakai sungkup yaitu mengikat sungkup dengan ketat teus melekat pada pipi
pasien agar tak terjadi kebocoran. Dapat terjadi aspirasi bila pasien muntah terutama
kalau tidak sadar.

b. Sungkup venturi: Konsentrasi oksigen berkisar antara 25-40% tergantung kebutuhan


pasien dipakai pada pasien dengan tipe ventilasi tidak teratur, hiperkarbi dan hipoksemia
sedang samapi berat. Yang penting kita harus mengetahui berapa persen kadar oksigen
yang kita berikan dengan cara apapun dan berapa besar kebutuhan pasien.
Tabel pemberian oksigen :
No

Cara pemberian

Aliran oksigen
Liter/menit

Konsentrasi O2(FiO2)
%

1.

2.

Nasal kateter/kanul

Simple mask

1-2

24- 28

3-4

30- 35

5-6

38 44

5-6

40

6-7

50

7-8

60

60

70

80

9-10

90-99

3. Masker dengan kantong


simpan

4. Masker venturi

Aliran tetap

24-35

5. Head box

8-10

40

6. Ventilator

bervariasi

21-100

7. Mesin anestesi

bervariasi

21-100

3-8

sampai 40

8. Inkubator

===========================================================
Sumber : http://indoanesthesia.wordpress.com/category/anestesi-lanjutan/oksigen-terapi/

DAFTAR PUSTAKA
1. Advanced Trauma Life Support For Doctors ATLS Student Course Manual Eight Edition.
2.

3.

4.
5.

6.

7.
8.

American College Of Surgeons Comitte On Trauma.2008.


Hasibuan, Lisa Y, dkk: Luka dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Sjamsuhidajat de Jong,
Edisi 3. Jakarta: EGC. 2007. Hal: 95-120.
Bickley, Lynn S: Bates, Buku Ajar pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan, Edisi 8.
Jakarta: EGC. 2009.
http://www.scribd.com/mobile/doc/82851560
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Pnyakit Dalam jilid 2, edisi IV.
Jakarta;Departemen Ilmu Pnyakit Dalam FK UI
Sylvia A. Price. 2006. Patofisiolgi Konsep klinis Proses-Proses Penyakit. EGC; Jakarta.
Halaman 775, 778.
Farmakologi dan Terapi FK-UI. Edisi 5. 2010. Jakarta. Hal : 77-95
http://indoanesthesia.wordpress.com/category/anestesi-lanjutan/oksigen-terapi/

Makassar, 18 Desember 2013

LAPORAN PROBLEM BASIC LEARNING


MODUL 1
SESAK NAFAS

KELOMPOK 2
Pembimbing : dr. Aziz Beru Gani

MUH. HUSNI TRENGGONO


(1102070089)
TRI RAHAYU
(1102080006)
SRI SUCI MARDIYANTI
(1102100028)
SITI HAJRAH IRSAN
(1102100029)
YUNI KARTIKA
(1102100062)
DIAN FAHMI UTAMI
(1102100063)
SURYADI
(1102100095)
M. HAPSI S.
(1102100096)
NENO FEBRIYANTI S.
(1102100109)
HUSNI HARMANSYAH
(1102100110)

KAHHAR RAMADANSYAH

(1102100144)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013

Anda mungkin juga menyukai