Anda di halaman 1dari 60

Volume 30 No.

1, April 2013

J. Jalan - Jembatan

Vol. 30

ISSN : 1907 - 0284

No. 1

Hal. 1 - 53

Bandung
April 2013

Terakreditasi 484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012
Berlaku : 7 Agustus 2012 - 7 Agustus 2015

ISSN
1907 - 0284

Volume 30 No. 1, April 2013

ISSN : 1907 - 0284

Jurnal

JALAN - JEMBATAN
Jurnal Jalan-Jembatan adalah wadah informasi bidang Jalan dan Jembatan berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah
terkait yang meliputi Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan, Geoteknik Jalan, Transportasi Dan Teknik Lalu-Lintas serta Lingkungan
Jalan, Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan. Terbit pertama kali tahun 1984 dengan frekuensi terbit tiga kali setahun pada bulan April,
Agustus dan Desember. Sesuai Surat Keputusan LIPI No.484/AU3/P2MI-LIPI/08/2012 Jurnal Jalan-Jembatan telah mendapat Akreditasi.
Pelindung
Kepala Pusat Litbang Jalan dan Jembatan
Pembina
Ka.
Ka.
Ka.
Ka.
Ka.
Ka.
Ka.

Balai Bahan dan Perkerasan Jalan


Balai Geoteknik Jalan
Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan
Balai Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan
Bagian Tata Usaha
Bidang Sumber Daya Kelitbangan
Bidang Program dan Kerjasama

Penangung Jawab
Ka. Bidang Standar dan Diseminasi
Redaktur
Prof. (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc
Penyunting Editor
Ir. Benyamin Saptadi., M.Si
Dulmanan, SAB
Ir. Nono, M.Eng.Sc
Dra. Yeyeh Kursiah, Dipl. TEFL
Indira (Ira) Dwi Putri, S.Sos.
Dewi Siti Bayduri, ST
Roro Willis, S.Pd
Desain Grafis/ Fotografer
Gelar Ermaya Nugraha
Internal Editor
Prof (R) DR. Ir. Furqon Affandi, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan)
DR. Djoko Widajat, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Bahan dan Perkerasan Jalan)
Ir. GJW Fernandez (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan)
Dr. Ir. M. Eddie Sunaryo, M.Sc (Peneliti Utama Bidang Geoteknik Jalan)
Drs. Gugun Gunawan, M.Si (Peneliti Madya Bidang Teknik Lingkungan Jalan)
DR. Ir. Hikmat Iskandar, M.Sc (Peneliti Madya Bidang Lalu-Lintas Jalan)
Prof. (R) Ir. Lanneke Tristanto (Ahli Peneliti Utama Bidang Jembatan & Bangunan Pelengkap Jalan)
Mitra Bestari
Prof.
Prof.
Prof.
Prof.
Prof.

Ir. Wimpy Santosa, M.Sc. PhD (Bidang Transportasi dan Teknik Lalu-Lintas Jalan; Universitas Katolik Parahyangan)
Ir. Bambang Sugeng S, DEA (Bidang Teknik Perkerasan Jalan; Institut Teknologi Bandung)
DR. Ir. Aziz Jayaputra, M.Sc (Bidang Geoteknik; Institut Teknologi Bandung)
DR. Ir. Soegijanto, M.Si (Bidang Fisika Teknik/Lingkungan; Institut Teknologi Bandung)
DR. Ir. Bambang Suryoatmono, M.Sc (Bidang Teknik Struktur; Universitas Katolik Parahyangan)

Sekretariat
Anne K. Panggabean, AMd
Bernardus Respati Wibowo, SE

Jurnal Jalan-Jembatan diterbitkan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan
Umum.
Alamat Redaksi/Penerbit:

Puslitbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum


Jl. A.H. Nasution No. 264, Kotak Pos 2 Ujungberung Bandung 40294 Tlp. (022)7802251-7802252-7802253
e-mail : Jurnal.jalanjembatan@pusjatan.pu.go.id, Jurnaljalanjembatan@yahoo.com Fax. : (022)7802726-7811479

PENGANTAR REDAKSI
Redaksi mengucapkan selamat berjumpa kembali pada Jurnal Jalan - Jembatan edisi April 2013, yang
merupakan edisi pertama pada volume ini. Ada lima tulisan yang disajikan, yaitu mengenai Analisa
transportasi di perkotaan, Analisa temperatur perkerasan jalan untuk penentuan kelas kinerja aspal,
Analisa diafragma pada dek baja jembatan ortotropik, Pengaruh beban impak kapal terhadap bangunan
pengamanan pilar dan jembatan dan Pengembangan model keruntuhan lapis aspal.
Tulisan analisa transportasi di perkotaan, menyampaikan evaluasi kondisi awal sistem jaringan jalan di
perkotaan serta mengidentifikasi faktor faktor kunci yang berpengaruh dalam menghasilkan arah
kebijakan, pengembangan prasarana transportasi di perkotaan. Tulisan ke dua menyampaikan kajian
temperatur perkerasan jalan untuk menentukan kelas kinerja aspal dengan membuat model untuk
mendapatkan kelas kinerja aspal yang sesuai untuk suatu daerah, berdasarkan temperatur perkerasan
dan temperatur udara. Tulisan analisa diafragma jembatan ortotropik membahas analisis statik elemen
hingga 3D dalam memodelkan baja ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak.
Tulisan beban impak kapal terhadap bangunan pilar jembatan, menyampaikan bahasan beberapa
ketentuan dalam kriteria desain fender sesuai kondisi dan lokasi jembatan. Sajian berikutnya berkaitan
dengan model keruntuhan lapis beraspal berdasarkan pendekatan respon dasar material seperti
tegangan, regangan dan deformasi.
Pada kesempatan ini, kami ucapkan terima kasih banyak khusus kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Sugeng
DEA; Prof. Dr. Ir. Bambang Suryoatmono; Prof. Ir. Wimpy Santosa MSc. PhD, sebagai mitra bestari
atas bantuan dan penilaiannya dalam penerbitan edisi ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan juga
kepada Prof. Dr. Ir. Aziz Jayaputra dan Prof. Dr. Ir. Soegijanto atas segala bantuannya dan
perkenannya menjadi anggota mitra bestari Jurnal Jalan - Jembatan.
Mudah mudahan semua tulisan yang kami sajikan memberi manfaat besar bagi kita semua,
khususnya bagi para pengambil keputusan dan kebijakan di bidang jalan, pelaksana, konsultan, para
mahasiswa serta pembaca pada umumnya.

Selamat membaca.
Ketua Dewan Redaksi

Volume 30 No. 1, April 2013

ISSN : 1907 - 0284

JURNAL
JALAN-JEMBATAN
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi

Daftar Isi

ii

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan


Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan
(Analysis Of Sustainable Urban Development In Mamminasata Metropolitan Of South
Sulawesi Transportation Infrastructure)
Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo,
Mohamad Yani

1 15

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan


Kelas Kinerja Aspal
(Development Of Pavement Temperature Analytical Model For Determination Of
Bituminous Performance Grade)
Sri Yeni M, Djoko Widayat

16 21

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang
Jembatan
(Finite Element Analysis Of Diaphragm Component Of A Transverse Orthotropic Steel
Bridge Deck)
Anton Surviyanto

22 33

Pengaruh Beban-Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender


(Impact Load Effect Of Barge To Bridge Pier Fender)
N. Retno Setiati, Bagus Aditya. W

34 45

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal


(Development Of Failure Model For Bituminous Layer)
Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa

46 53

ii

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN PRASARANA


TRANSPORTASI PERKOTAAN DI METROPOLITAN
MAMMINASATA PROVINSI SULAWESI SELATAN
(ANALYSIS OF SUSTAINABLE URBAN DEVELOPMENT IN
MAMMINASATA METROPOLITAN OF SOUTH SULAWESI
TRANSPORTATION INFRASTRUCTURE)
Ignatius Wing Kusbimanto1), Santun R.P. Sitorus2), Machfud3), I.F. Poernomosidhi Poerwo4),
Mohamad Yani5)
1),2),3),4),5)
1),2),3),4),5)

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB,

Sekolah Pasca Sarjana, Kampus Institut Pertanian Bogor Baranangsiang Bogor


1)
e-mail: wingky65@gmail.com
2)
e-mail: santun_rps@yahoo.com
3)
e-mail: machfud@ipb.ac.id
4)
e-mail: pspoerwo@gmail.com
5)
e-mail: f226yani@gmail.com
Diterima: 28 Desember 2012; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK
Metropolitan Mamminasata yang terdiri dari Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar merupakan salah
satu dari delapan Kawasan Metropolitan di Indonesia. Permasalahan prasarana transportasi perkotaan saat ini
adalah kemacetan pada waktu jam sibuk, kesemerawutan lalu-lintas, tingginya angka kecelakaan, kebisingan
dan polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
mengatasi masalah transportasi namun belum efektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kondisi
eksisting sistem jaringan prasarana transportasi perkotaan dan status keberlanjutannya serta mengidentifikasi
faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam rangka menghasilkan arah kebijakan pengembangan prasarana
transportasi perkotaan berkelanjutan di Metropolitan Mamminasata. Ruang lingkup penelitian terbatas pada
jaringan jalan nasional. Data primer diperoleh dari survei perhitungan lalu-lintas dan wawancara dengan
responden secara purposive sampling. Berdasarkan data lalu-lintas tahun 2009 volume lalu-lintas rata-rata
adalah 2.299 smp/jam dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 3.520 smp/jam. Nilai derajat kejenuhan
mengalami peningkatan dari 0,43 pada tahun 2009 menjadi 0,66 pada tahun 2013. Tingkat Layanan (LOS)
kategori C dimana aliran jaringan jalan stabil mendekati tidak stabil dengan volume lalu-lintas tinggi. Multi
Dimensional Scaling (MDS) digunakan untuk menganalisis empat dimensi yang terdiri dari 59 atribut. MDS
menggunakan RAPTransport untuk mendapatkan Indeks Keberlanjutan. Nilai dimensi lingkungan adalah
51,87%, ekonomi dimensi 53,23%, dimensi sosial 49,19%, dan 51,68% dimensi keteknikan. Status keberlanjutan
cukup berkelanjutan yang ditunjukkan dengan nilai indeks keberlanjutan multidimensi adalah 50,18. MDS,
analisis kebutuhan dan ISM digunakan untuk untuk mendapatkan faktor kunci utama. Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam menetapkan arahan kebijakan dengan melakukan intervensi kebijakan dengan cara
meningkatkan faktor-faktor kunci yang sensitif dalam upaya meningkatkan status keberlanjutannya.
Kata kunci: prasarana transportasi perkotaan, berkelanjutan, tingkat pelayanan, keteknikan dan faktor kunci

ABSTRACT
The Mamminasata Metropolitan that consists of Makassar, Maros, Sungguminasa and Takalar is one of the
eight Metropolitan Regions in Indonesia. The current issues of urban transport infrastructure are traffic
congestion during rush hour, lack of road user discipline, the high number of accidents, noise and air pollution
caused by motor vehicle emissions. The government has made a sufficient effort to overcome the transportation
problems but has not effective. The purpose of the research is to evaluate the condition of existing urban
transport infrastructure network systems and the sustainability status and identify the influenced key factors that
influence in order to produce to produce a policy direction of sustainable urban transportation infrastructure
development in the Mamminasata Metropolitan. The scope of the research limited to the national road networks.
Primary data obtained from traffic counting surveys and interviews with respondents by purposive sampling.

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

Based on traffic count survey in 2009the average traffic volume was 2.299 pcu/hour and in 2013 increased to
3.520 pcu/hour.The degree of saturation increased from 0.43 in 2009 to 0.66 in 2013. Level of Service (LOS)
category was C where the roads network flow was stable but approaching unstable with high traffic volume. The
Multi Dimensional Scaling (MDS) used to analyze of four dimensions and 59 attributes included. The MDS used
RAPTransport to obtain Sustainability Index. The value of the Environmental dimension was 51.87%, economics
dimension 53.23%, social dimension 49.19%, and engineering dimension 51.68%. Sustainability status was
sufficient that showed with the value of the multidimensional index was 50.18. MDS, the stakeholders needs
analysis and ISM used to obtain the main key factors. Government and local governments in establishing policy
direction with policy intervention by improving sensitive key factors in order to increase its sustainability status.
Keywords: urban transportation infrastructure, sustainable, level of service, engineering and key factors

PENDAHULUAN
Metropolitan Mamminasata dengan Kota
Makassar sebagai kota inti, Kota Maros dan
Kota Sungguminasa sebagai kota satelit di
kawasan transisi serta Kabupaten Takalar
sebagai transisi hinterland di kawasan
pinggiran Metropolitan termasuk salah satu dari
delapan Kawasan Metropolitan di Indonesia
(Gambar 1). Luas wilayahnya 2.500,3 Km2 dan
jumlah penduduk 2,43 juta jiwa dengan
pertumbuhan 1,7 persen per tahun dan
diperkirakan pada tahun 2030 mencapai 3,4 juta
jiwa. Semakin meningkatnya pertumbuhan
jumlah penduduk, berdampak pada semakin
meningkatnya kebutuhan lahan untuk tempat
kegiatan, serta sarana dan prasarana.

Gambar 1. Peta Metropolitan Mamminasata

Mamminasata
termasuk
Kawasan
Strategis Nasional (KSN) dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). KSN
adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan,
karena
secara
nasional

berpengaruh sangat penting terhadap kedaulatan


negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.
Pembangunan Metropolitan Mamminasata
mengacu pada Peraturan Presiden nomor 55
tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Mamminasata.
Dalam rangka mewujudkan Kawasan
Mamminasata sebagai Kota Metropolitan yang
berkelanjutan memerlukan pengembangan
semua sektor, salah satu yang penting adalah
pengembangan
prasarana
transportasi
perkotaan. Permasalahan yang dihadapi pada
saat ini adalah kemacetan lalu-lintas pada waktu
jam sibuk, kesemerawutan dan ketidakdisiplinan pengguna jalan, tingginya angka
kecelakaan, kebisingan dan polusi udara akibat
emisi kendaraan bermotor.
Kemacetan pada beberapa ruas jalan
utama akibat volume lalu-lintas terus meningkat
seiring dengan semakin berkembangnya
pembangunan. Kapasitas jaringan jalan tidak
mudah untuk ditingkatkan karena terkendala
pembebasan lahan. Berdasarkan data dari
Sat/Korps lalu-lintas, jumlah pemilikan
kendaraan bermotor meningkat sekitar 14%
setiap tahun. Sedangkan data dari Ditjen Bina
Marga menunjukkan panjang jalan 1.593,46 km
terdiri dari jalan nasional 45,29 km dan jalan
kota 1.548,17 km dan kondisi kerataan
permukaan jalan rata-rata baik.
Pemerintah telah mencoba berbagai cara
mengatasi kemacetan dengan telah dilakukan
kegiatan penambahan lajur pada beberapa ruas
jalan dengan pelebaran di kedua sisi badan jalan
untuk meningkatkan kapasitas, membangun fly
over, jalur alternatif dan rekayasa lalu-lintas.
Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya
kemampuan
pemerintah
kota
dalam
pembebasan lahan dan kurang terkendalinya
penggunaan lahan.
Beberapa penelitian terdahulu yang
terkait dengan sistem transportasi perkotaan,

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

antara lain membahas tentang pertimbangan


prinsip-prinsip ekonomis, ekologis dan sosial
politis dalam pembangunan dan operasional
jalan
akan
mendukung
pembangunan
berkelanjutan (Purwaamijaya 2005), model
pengelolaan angkutan umum penumpang non
bus berkelanjutan yang terintegrasi dengan
rencana tata ruang kota, menganalisis sistem
pentarifan dan layanan dengan standar
operasional, mengidentifikasi emisi gas buang
dan penataan kawasan di kota Makassar
(Mansyur 2008), pencemaran udara akibat
transportasi dan kebisingan lalu-lintas di
lingkungan perumahan di kawasan pinggiran
metropolitan Kota Bandung (Panjaitan 2010)
dan model pengendalian emisi kendaraan
bermotor di kota Makassar. (Mandra 2013)
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi kondisi eksisting sistem
jaringan prasarana transportasi perkotaan
dan status keberlanjutannya.
2. Mengevaluasi faktor-faktor kunci yang
berpengaruh
dalam
pengembangan
prasarana transportasi perkotaan yang
berkelanjutan.
KAJIAN PUSTAKA
Sistem transportasi perkotaan
Masalah yang terjadi pada sektor
transportasi mempertegas betapa pentingnya
mengkaji kebijakan publik secara lebih tepat.
Langkah yang diambil oleh penentu kebijakan
harus memperhatikan faktor-faktor:
1. Ketergantungan
terhadap
kendaraan
bermotor dan bagaimana pengaruhnya
terhadap lokasi permukiman dan lokasi
kerja.
2. Sistem transportasi publik harus mampu
melayani seluruh wilayah secara efektif.
3. Kemampuan pemerintah dan kebijakannya
dalam menyediakan sistem transportasi yang
adil baik kepada yang memiliki kendaraan
ataupun tidak.
4. Kombinasi antara teknologi baru dan usaha
untuk menciptakan lingkungan kota yang
lebih baik dalam jangka panjang. (Owen
1976).
Sistem transportasi yang berkelanjutan
merupakan salah satu alat terpenting untuk

pemenuhan
kebutuhan
transportasi
di
perkotaan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti
interchanges, jalan layang (fly overs), jalan
bebas hambatan (freeways), jalur kereta layang
(elevated railways track), perambuan yang
terkoordinasi,
dilakukan
dalam
upaya
meningkatkan kecepatan dan menampung
kapasitas lalu-lintas yang lebih besar. Strategi
penanganan kemacetan lalu-lintas berdasarkan
multi-facet, dibagi dalam tiga bagian:
1. level makro didasarkan pada penataan ruang
berupa model compact city, transit oriented
development, dan kawasan hunian kepadatan
tinggi.
2. level mezzo yang didasarkan pada transport
demand management berupa sarana
angkutan cepat masal (mass rapid transit),
interface antar moda, park and ride
carpooling, ride sharing, High Occupancy
Vehicle (HOV).
3. level mikro yang didasarkan pada street
level, berupa perbaikan simpang, flyover,
pelebaran bottleneck, marka dan perambuan
serta road pricing termasuk tarif parker.
(Dardak 2010)
Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan mempunyai
tiga tujuan utama yaitu ekonomi (economic
objective), ekologi (ecological objective) dan
sosial (social objective). Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan
pertumbuhan (growth); tujuan ekologi terkait
dengan masalah konservasi sumber daya alam
(natural resources conservation); dan tujuan
sosial terkait dengan masalah pengurangan
kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity).
Tujuan pembangunan berkelanjutan pada
dasarnya terletak pada adanya harmonisasi
antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan
tujuan sosial. (Munasinghe 1993)
Sustainability issues merambah pada
semua bidang kehidupan manusia, termasuk
pada kebijakan pengembangan perkotaan harus
aspiratif terhadap kebutuhan dan eksitensi masa
depan dengan beberapa kata kunci seperti
efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi
di dalam upaya menyelaraskan pembangunan
kembali kota (sustainable urban redevelopment
movement), (Gambar 2).

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

Lingkungan
Memaksimalkan efisiensi energi
Konsevasi sumber daya alam dan habitat
Minimalisasi kerusakan/bencana

Kota
Positif secara keruangan
Berwawasan lingkungan
Efisiensi bagi transport
Bermanfaat dari sisi sosial
Vital bagi pembangunan
ekonomi

Sosial
kualitas
Meningkatkan
hidup
kesetaraan
Mendorong
sosial

Ekonomi
eksistensi
Mendorong
ekonomi lokal
Ketersediaan kesempatan
kerja

Sumber: Roychansyah 2006

Gambar 2. Pembangunan kota berkelanjutan

Tingkat pelayanan jalan


Analisis kondisi sistem jaringan jalan
yaitu analisis spesifik model kebutuhan
transportasi kota
berbasis
spasial
dan
non-spasial dengan persamaan matematis
regresi linier berganda (Miro 2005). Tingkat
pelayanan jalan yaitu analisis kualitatif yang
berkaitan dengan kecepatan dan waktu
perjalanan, kebebasan, kenyamanan, dan
bersifat kuantitatif dengan kapasitas, kecepatan
nyata, dan rasio volume per kapasitas. Nilai
kapasitas (C) dihitung dengan persamaan (1)
(Ditjen Bina Marga 1997):
C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS (1)
Keterangan:
C
= kapasitas jalan (smp/jam)
Co = kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyusuaian lebar jalur lalu-lintas
FCSP = faktor penyusuaian pemisahan arah
FCSF = faktor penyusuaian hambatan samping
FCCS = faktor penyusuaian ukuran kota
Analisis status keberlanjutan
Status keberlanjutan pengembangan
prasarana transportasi perkotaan Metropolitan
Mamminasata pada penelitian ini dianalisis
dengan empat dimensi keberlanjutan, yaitu
dimensi lingkungan, sosial, ekonomidan
keteknikan. Status keberlanjutan setiap dimensi
tersebut ditentukan berdasarkan hasil analisis
menggunakan program analisis keberlanjutan
Multi Dimensional Scaling (MDS) yang
dinyatakan dalam bentuk nilai indeks
keberlanjutan setelah diberi skor dari pendapat
para pakar dan kajian pustaka.

Status berkelanjutan empat dimensi akan


memudahkan dalam melakukan perbaikan
terhadap atribut-atribut sensitif yang berpengaruh
terhadap peningkatan status keberlanjutan
prasarana transportasi perkotaan guna mendukung
pengembangan sistem transportasi perkotaan di
Kawasan Metropolitan Mamminasata.
Dengan menggunakan analisis ordinasi
diperoleh
posisi
relatif
keberlanjutan
pengembangan prasarana transportasi yang dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good)
dan titik buruk (bad). Proses ordinasi
menggunakan RAPTransport yang merupakan
perangkat lunak hasil modifikasi RAPFISH
(Kavanagh
2004).
Proses
Algoritma
RAPTransport juga pada dasarnya mengikuti
proses algoritma RAPFISH.
Analisis
keberlanjutan
pengelolaan
prasarana transportasi dilakukan melalui tiga
tahapan yaitu:
1. Tahap penentuan atribut pengelolaan
prasarana transportasi berkelanjutan, yang
mencakup dimensi lingkungan, ekonomi,
sosial dan keteknikan. Secara keseluruhan,
terdapat 59 atribut yang dianalisis yang
terdiri dari 13 atribut lingkungan, 10 atribut
ekonomi, 18 atribut sosial, dan 18 atribut
keteknikan.
2. Tahap penilaian setiap atribut dalam skala
ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan
untuk setiap dimensi. Pemberian skor dari
hasil penyebaran kuesioner sesuai dengan
persyaratan yang telah ditetapkan. Rentang
skor antara 1 4, dari sangat tidak setuju
(buruk) sampai sangat setuju (baik).
3. Hasil skoring dianalisis menggunakan
RAPTransport untuk menentukan posisi
status
keberlanjutan
pengembangan
prasarana transportasi pada masing-masing
dimensi
dan
keterpaduan
dimensi
(multidimensi) yang dinyatakan dalam skala
nilai indeks keberlanjutan. Skala indeks
keberlanjutan antara 0 100 seperti tertera
pada Tabel 1.
Tabel 1. Indeks dan status keberlanjutan
Nilai Indeks
0,00 25,00
25,01 50,00
50,01 75,00
75,01 100,00

Kategori
Buruk (tidak berkelanjutan)
Kurang (kurang berkelanjutan)
Cukup (cukup berkelanjutan)
Baik (Berkelanjutan)

Hasil dari analisis ordinasi akan


mencerminkan status keberlanjutan dimensi
tersebut. Jika analisis untuk masing-masing
dimensi telah dilakukan maka analisis

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat


dilakukan dan divisualisasikan dalam bentuk
diagram layang-layang (kite diagram). Dalam
analisis MDS sekaligus dilakukan analisis
Leverage, analisis Monte Carlo, penentuan nilai
stress, dan nilai koefisien determinasi (R2).
Analisis leverage untuk mengetahui
atribut-atribut sensitif yang sangat berpengaruh
dalam meningkatkan status keberlanjutan
pengembangan prasarana transportasi perkotaan.
Penentuan atribut yang sensitif dilakukan
berdasarkan urutan prioritasnya pada hasil
analisis leverage dengan melihat bentuk
perubahan root mean square (RMS) ordinasi
pada sumbu X. Semakin besar nilai RMS, maka
semakin besar peranan atribut tersebut dalam
peningkatan status keberlanjutan pengembangan
prasarana transportasi perkotaan.
Analisis Monte Carlo digunakan untuk
menduga pengaruh galat (error) dalam proses
analisis
yang
dilakukan
pada
selang
kepercayaan 95%. Hasil analisis dinyatakan
dalam bentuk nilai indeks Monte Carlo, yang
selanjutnya dibandingkan dengan nilai indeks
analisis MDS. Apabila perbedaan kedua nilai
indeks tersebut kecil mengindikasikan bahwa:
1. Kesalahan dalam pembuatan skor setiap
atribut relatif kecil.
2. Variasi pemberian skor akibat perbedaan
opini relatif kecil.
3. Proses analisis yang dilakukan secara
berulang-ulang stabil.
4. Kesalahan pemasukan data dan data yang
hilang dapat dihindari.
Nilai stress dan koefisien determinasi
(R2) yang berfungsi untuk menentukan perlu
tidaknya
penambahan
atribut
untuk
mencerminkan dimensi yang dikaji mendekati
kondisi sebenarnya. Nilai ini diperoleh dari
pemetaan terhadap dua titik yang berdekatan, di
mana titik tersebut diupayakan sedekat
mungkin terhadap titik asal dalam skala
ordinasi. Teknik ordinasi (penentuan jarak)
dalam MDS didasarkan pada Euclidian
Distance. Dalam ruang dua dimensi, jarak
euclidian dengan persamaan (2) sebagai
berikut:
d = 1 2 2 + 1 2 2 . (2)

Sedangkan dalam n-dimensi, jarak Euclidian


dengan persamaan (3) sebagai berikut:
= 1 2 2 + 1 2 2 + 1 2 2 + .(3)

Keterangan:
d = jarak geometris (Euclidian Distance)
xi = koordinat x ke-i
yi = koordinat y ke-i
Titik tersebut kemudian diaproksimasi
dengan meregresikan jarak euclidian (dij) dari
titik i ke j dengan titik asal (dij) dengan
persamaan (4):
=++ ..... (4)

Dalam meregresikan persamaan di atas


digunakan teknik least squared bergantian yang
didasarkan pada akar dari Euclidian Distance
(squared distance) atau disebut metode
algoritma ASCAL. Metode ini mengoptimalisasi
jarak kuadrat (squared distance = dijk) terhadap
data kuadrat (titik asal oijk) yang dalam tiga
dimensi (i,j,k) yang disebut S-stress dengan
persamaan (5) sebagai berikut:
=

2
( 2 2 )
4

..(5)

Untuk mengetahui apakah atribut-atribut


yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan
cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, dilihat dari nilai Stress dan nilai
Koefisien Determinasi (R2). Hasil analisis
dianggap
cukup
akurat
dan
dapat
dipertanggungjawabkan apabila memiliki nilai
stress lebih kecil dari 0,25 atau 25% seperti
tertera pada Tabel 2 dan nilai koefisien
determinasi (R2) mendekati nilai 1,0 atau 100%.
(Kavanag dan Pitcher 2004)
Tabel 2. Nilai Stress
Nilai Stress
Lebih dari 20%
10% - 20%
5% - 10%
2.5% - 5%

Kesesuaian
Poor
Fair
Good
Excelent

Hukum Pareto
Ekonom berkebangsaan Italia bernama
Vilfredo Pareto (1848-1923) adalah orang yang
paling berjasa menemukan hukum Pareto
menyatakan bahwa sebuah grup selalu memiliki
persentase terkecil (20%) yang bernilai atau
memiliki dampak terbesar (80%). Prinsip Pareto
memiliki kesamaan makna dengan konsep Action
Coach, yaitu daya ungkit (leverage). Prinsip
80/20 adalah 80 % hasil datang dari 20% usaha
(Gambar 3). Prinsip ini bisa dikembangkan ke
dalam banyak bahasa, namun intinya tetap sama,

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

yaitu daya ungkit prioritas. (Wikipedia 2012)

Gambar 3. Hukum Pareto

Pareto dinilai kurang artikulatif dalam


mengemukakan temuannya ini berdasarkan
perkembangan
metodologi
dan
konteks
penelitian, akhirnya mendorong para pakar untuk
ikut terjun melengkapi rumus atau temuan yang
dinilai sangat berguna bagi pencerahan
peradaban manusia ini. Tahun 1949, George K
Zipf, seorang professor dari Harvard University,
mengembangkan wilayah penelitian dengan
menjadikan temuan Pareto sebagai referensi.
Hasilnya bahwa manusia, benda-benda, waktu,
keahlian, atau semua alat produksi telah
memiliki aturan alamiah yang berkaitan antara
hasil dan aktivitas dengan jumlah perbandingan
mulai dari 80/20 atau 70/30.
Interpretive Structural Modelling (ISM)
Salah
satu
permodelan
yang
dikembangkan untuk perencanaan kebijakan
strategis adalah teknik permodelan interpretasi
struktural. ISM adalah proses pengkajian
kelompok (group learning process) di mana
model-model struktural dihasilkan guna
memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem, melalui pola yang dirancang secara
seksama dengan menggunakan grafis serta
kalimat. Menurut Saxena (1992) ISM bersangkut
paut dengan interpretasi dari suatu obyek yang
utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi
teori grafis secara sistematis dan interative.
Metodologi dan teknik ISM terdiri dari
dua bagian yaitu penyusunan hierarkhi dan
klasifikasi sub-elemen serta memberikan basis
analisis dimana informasi yang dihasilkan
sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta
perencanaan strategis (Marimin 2004). ISM
dapat digunakan untuk mengembangkan
beberapa tipe struktur, termasuk struktur
pengaruh. ISM merupakan sebuah metodologi
yang interaktif dan diimplementasikan dalam
sebuah wadah kelompok. Metodologi tersebut
memberikan lingkungan yang sangat sempurna
untuk memperkaya dan memperluas pandangan
dalam struktur yang cukup kompleks.
6

ISM menganalisis elemen-elemen sistem


dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari
hubungan langsung antar elemen dan tingkat
hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan
tujuan kebijakan, target organisasi, faktor-faktor
penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung
dapat dalam konteks-konteks yang beragam
berkaitan dengan hubungan kontekstual.
HIPOTESIS
Dari
uraian
latar
belakang
dan
permasalahan yang terjadi di atas sehingga dapat
diduga kondisi eksisting prasarana transportasi
perkotaan di Metropolitan Mamminasasta saat ini
belum sesuai dengan fungsi jalan arteri, kolektor
dan lokal seperti diamanatkan dalam Undangundang Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan.
Kemacetan yang terjadi dikarenakan peningkatan
volume lalu-lintas sedangkan kapasitas jalan
cendrung tetap sehingga derajat kejenuhan
meningkat dan penurunan tingkat pelayanannya.
Status keberlanjutan prasarana transportasi
perkotaan diduga tidak berkelanjutan. Faktor
kunci yang berpengaruh dalam penetapan arah
kebijakan pengembangan prasarana transportasi
perkotaan berkelanjutan adalah peningkatan
kapasitas jalan.
METODOLOGI
Lingkup penelitian dibatasi pada jaringan
jalan nasional di Metropolitan Maminasata.Waktu
penelitian dilaksanakan pada tahun 2011-2013. Data
sekunder yang digunakan adalah peraturan
perundangan terkait dengan sistem transportasi dan
tata ruang, data statistik, hasil survei dan studi dari
instansi terkait. Data primer dari survei, pengamatan
dan wawancara dengan responden di lokasi studi.
Penentuan responden dilakukan dengan cara
purposive sampling dengan responden. Responden
yang dipilih adalah para pemangku kepentingan
(stakeholder) terdiri dari pemerintah, swasta dan
masyarakat. Survei perhitungan lalu-lintas
dilaksanakan selama tiga hari yang terdiri dari dua
hari kerja terpadat dan satu hari libur yaitu Senin,
Jumat, dan Minggu pada jam tersibuk pagi (06.3008.30), siang (12.00-14.00), dan sore (16.00-18.00)
pada waktu kondisi cuaca cerah dan tidak
menganggu pergerakan penduduk. Pos survei
penghitungan lalu-lintas tertera seperti pada Tabel 3.

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

Tabel 3. Lokasi survei perhitungan lalu-lintas


Pos
1.
2.
3.
4.

No & Nama Ruas


010.12 K Jl. Perintis
Kemerdekaan
010.11 KJl. Jend.
Sudirman
011.16 KJl. Sultan
Hanuddin
014.12 KJl. Jend.
Sudirman

Kota
Makassar

Durasi
6 jam

Maros

6 jam

Sungguminasa

6 jam

Takalar

6 jam

Hasil perhitungan kapasitas jalan tahun


dari 2009 sampai dengan tahun 2013 cenderung
tetap dengan kapasitas jalan rata-rata 5.326,5
smp/jam. Hal ini menggambarkan bahwa dalam
kurun waktu limagt tahun tersebut belum ada
kegiatan pelebaran jalan dalam upaya
peningkatan kapasitas pada lokasi pengambilan
sampel. Hasil perhitungan kapasitas seperti
tertera pada Gambar 5.

HASIL DAN ANALISIS


Kondisi eksisting jaringan jalan
Kondisi eksisting jaringan prasarana jalan
perkotaan di Kawasan Metropolitan cenderung
terjadi pengurangan kapasitas jalan disebabkan
oleh meningkatnya hambatan samping di
sepanjang koridor jalan arteri. Hambatan
samping diakibatkan antara lain oleh kendaraan
yang parkir di badan jalan, kegiatan
perdagangan di rumija dan badan jalan,
angkutan
umum
berhenti
sesukanya,
penempatan utilitas pada ruang milik jalan dan
pemasangan papan iklan reklame pada ruang
manfaat jalan, acara pesta perkawinan yang
menggunakan badan jalan dan pedestrian.
Berdasarkan hasil pengolahan data
sekunder tahun 2009-2010 dari hasil survei yang
dilakukan oleh P2JJ Sulsel dan data primer hasil
survei perhitungan lalu-lintas di empat pos tahun
2011-2013 didapatkan data volume tertinggi per
jam dalam satuan mobil penumpang (smp) pada
ruas
jalan
yang
mewakili
kawasan
Mamminasata. Volume rata-rata kendaraan
tertinggi pada tahun 2009 adalah 2.299 smp/jam
menjadi 3.520 smp/jam pada tahun 2013.
Pertumbuhan rata-rata volume kendaraan
bermotor di lokasi penelitian dalam kurun waktu
5 tahun sebesar 11,23% pertahun (Gambar 4).

Berdasarkan hasil analisis pada keempat


ruas jalan tersebut menggambarkan derajat
kejenuhan pada semua ruas jalan mengalami
peningkatan, setiap tahunnya terutama pada
ruas 010.12 K Jalan Perintis Kemerdekaan dari
0,58 pada tahun 2009 menjadi 0,87 pada tahun
2013 cenderung mendekati nilai 1. Hasil
analisis tersebut mengindikasikan bahwa selalu
terjadi kemacetan terutama pada jam sibuk sore
hari
pada
saat
berakhirnya
kegiatan
perkantoran, bisnis maupun sekolah. Khusus
pada ruas jalan perintis kemerdekan aktivitas
angkutan bus antar kota mulai beroperasi.
Derajat kejenuhan rata-rata keempat ruas jalan
yang diteliti mengalami peningkatan dari 0,43
pada tahun 2009 menjadi 0,66 pada tahun 2013
(Gambar 6).

Gambar 4. Volume lalu-lintas

Gambar 6. Derajat kejenuhan ruas jalan

Gambar 5. Kapasitas jalan

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

Seiring dengan bertambahnya jumlah


volume kendaraan namun di sisi lain kapasitas
jalan cenderung tetap yang mengakibatkan
meningkatkan derajat kejenuhan pada keempat
ruas jalan tersebut, hal tersebut juga
mengakibatkan kecepatan rata-rata kendaraan
yang terjadi pada semua ruas jalan mengalami
penurunan rata-rata yaitu dari 42,75 km/jam
pada tahun 2009 menjadi 37,75 km/jam pada
tahun 2013 (Gambar 7).

Gambar 7. Kecepatan rata-rata arus lalu-lintas

Penurunan kecepatan lalu-lintas akan


menyebabkan peningkatan penundaan sehingga
akan meningkatkan waktu tempuh perjalanan
(Gambar 8).

yang
dianalisis
mencakup
dimensi
lingkungan 13 atribut, ekonomi 10 atribut,
sosial 18 atribut, dan keteknikan 18 atribut.
2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal
berdasarkan kriteria keberlanjutan.
3. Skor dianalisis dengan alat analisis
RAPTransport untuk mendapatkan status
keberlanjutan pada masing-masing dimensi
sesuai dengan kategori indeks dan status
keberlanjutan.
Tingkat keberlanjutan pada dimensi
lingkungan
(enviromental
dimension)
dipengaruhi oleh tiga belas atribut yaitu:
1. Kualitas udara ambient.
2. Tingkat emisi kendaraan bermotor.
3. Tingkat kebisingan lalu-lintas.
4. Luasan ruang terbuka hijau (rth).
5. Tingkat
konversi
lahan
(kawasan
terbangun).
6. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang
ruas jalan.
7. Penghijauan sepanjang ruas jalan.
8. Kebersihan disepanjang ruas jalan.
9. Kondisi lansekap jalan.
10. Pedagang kaki lima pada rumija.
11. Tingkat konsumsi BBM.
12. Degradasi lahan.
13. Sistem drainase.
Hasil MDS menggunakan RAPTransport
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan
dimensi lingkungan sebesar 51,87%, yang
tergolong pada status cukup berkelanjutan
(Gambar 9).
60

Up

Other Distingishing Features

40

20
Bad
0

Good

51.87%

0
20

40

60

80

100

120

-20

-40

Gambar 8. Waktu tempuh (Travel Time)

Status keberlanjutan
Analisis keberlanjutan pengembangan
prasarana
transportasi
perkotaan
di
Mamminasata dilakukan melalui tiga tahapan
yaitu:
1. Penentuan dari hasil kuesioner 59 atribut
8

-60

Dow n
Environm ent Status

Gambar 9. Keberlanjutan dimensi lingkungan

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai


Root Mean Square (RMS) masing-masing
atribut dimensi lingkungan (Gambar 10).
Analisis Pereto untuk mendapatkan faktor kunci
Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

60

Up

40

Other Distingishing Features

yang sensitif dilakukan dengan mengurutkan


nilai RMS hasil analisis leverage dari nilai
terbesar sampai yang terkecil. Dilakukan
pembobotan dalam persentase kemudian
diakumulasikan. Selanjutnya diambil atribut
sampai batas nilai kumulatif maksimum 70%,
maka didapatkan tujuh atribut yang sensitif
berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan
dimensi lingkungan yaitu:
1. Tingkat emisi kendaraan bermotor.
2. Tingkat kebisingan lalu-lintas.
3. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang
ruas jalan.
4. Kualitas udara ambient.
5. Sistem drainase.
6. Degradasi lahan.
7. Tingkat konsumsi BBM.

20
Bad
0

Good

53.23%

0
20

40

60

80

100

120

-20

-40

-60

Dow n
Econom ic Status

Gambar 11. Keberlanjutan dimensi ekonomi

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai


Root Mean Square (RMS) masing-masing
atribut dimensi ekonomi (Gambar 12). Analisis
Pereto untuk mendapatkan faktor kunci yang
sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil
analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang
terkecil.
Dilakukan
pembobotan
dalam
persentase
kemudian
diakumulasikan.
Selanjutnya dambil atribut sampai batas nilai
kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan
empat atribut yang sensitif berpengaruh
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi yaitu:
1. Biaya perjalanan (travel cost).
2. Pertumbuhan ekonomi regional.
3. Produk domestik regional bruto (PDRB).
4. Jarak perjalanan.

Gambar 10. Nilai RMS dimensi lingkungan

Tingkat keberlanjutan pada dimensi


ekonomi (economic dimension) dipengaruhi
oleh sepuluh atribut yaitu:
1. Pertumbuhan ekonomi regional.
2. Produk domestik regional bruto (pdrb).
3. Anggaran penyelenggaraan jalan.
4. Penerimaan pemerintah daerah (pendapatan
asli daerah).
5. Biaya perjalanan (travel cost).
6. Pertumbuhan pusat kegiatan.
7. Kualitas angkutan umum.
8. Jarak perjalanan.
9. Peningkatan nilai lahan.
10. Luas kota.
Nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi sebesar 53,23%, yang tergolong status
cukup berkelanjutan (Gambar 11).

Gambar 12. Nilai RMS dimensi ekonomi

Tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial


(social dimension) dipengaruhi oleh delapan belas
atribut yaitu:
1. Pertumbuhan penduduk.
2. Tingkat kecelakaan.
3. Pelanggaran lalu-lintas.
4. Prilaku berkendaraan.
5. Tingkat kesehatan.

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

Hasil MDS dimensi sosial sebesar 49,19%, yang


tergolong pada status kurang berkelanjutan
(Gambar 13).

5.
6.
7.
8.

Pertumbuhan penduduk.
Kepadatan penduduk.
Fasilitas bagi penyandang cacat.
Fasilitas kendaraan non motor
Leverage of Attributes

Up

0.32
0.30

Fasilitas kendaraan non motor


Fasilitas pejalan kaki
Fasilitas jembatan penyeberangan
Akses ke tempat layanan umum

0.13
0.06
0.45
0.34
0.37

Keterpaduan stakeholder
Fasilitas bagi penyandang cacat
Kepadatan penduduk
Tingkat Kesejahteraan masyarakat
Kualitas Sumber daya manusia

0.02
0.02
0.26

Tingkat pendidikan
Pertumbuhan kendaraan pribadi
Tingkat kesehatan
Prilaku berkendaraan

0.10
0.22
0.22
0.65
0.73

Tingkat Kecelakaan
Pertumbuhan Penduduk

40

Other Distingishing Features

0.47

Penegakan hukum

Pelanggaran lalu lintas

60

0.44

0
0.2
0.4
0.6
RMS Change % in Ordination
when Selected
Attribute
Removed (on Status scale 0 to 100)

0.8

20
Bad
0

20

40

60

Gambar 14. Nilai RMS dimensi sosial

Good

49.19%

80

100

120

-20

-40

-60

Down
Social Status

Gambar 13. Keberlanjutan dimensi sosial

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai


Root Mean Square (RMS) masing-masing
atribut dimensi ekonomi (Gambar 14). Analisis
Pareto untuk mendapatkan faktor kunci yang
sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil
analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang
terkecil.
Dilakukan
pembobotan
dalam
persentase
kemudian
dikumulatifkan.
Selanjutnya ambil atribut sampai sampai batas
nilai kumulatif maksimum 70%, maka
didapatkan delapan atribut yang sensitif
berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan
dimensi sosial yaitu:
1. Tingkat kecelakaan.
2. Pelanggaran lalu-lintas.
3. Penegakan hukum.
4. Keterpaduan stakeholder penyelenggara
transportasi.

10

0.30

Kepuasan pengguna jalan

Attribute

6. Pertumbuhan kendaraan pribadi.


7. Tingkat pendidikan.
8. Kualitas sumber daya manusia.
9. Tingkat kesejahteraan masyarakat.
10. Kepadatan penduduk.
11. Fasilitas bagi penyandang cacat.
12. Keterpaduan
stakeholder
penyelenggara
transportasi.
13. Akses ke tempat layanan umum.
14. Fasilitas jembatan penyeberangan.
15. Fasilitas pejalan kaki.
16. Fasilitas kendaraan non motor.
17. Penegakan hukum.
18. Kepuasan pengguna jalan.

Tingkat keberlanjutan pada dimensi


keteknikan
(Engineering
Dimension)
dipengaruhi oleh delapan belas atribut yaitu:
1. Kapasitas jalan.
2. Tingkat pelayanan jalan.
3. Panjang jalan.
4. Volume lalu-lintas.
5. Kecepatan rata-rata.
6. Kondisi permukaan jalan.
7. Geometrik jalan.
8. Pengelolaan persimpangan.
9. Jumlah lajur.
10. Lebar badan jalan.
11. Lebar bahu jalan.
12. Lebar trotoar.
13. Bangunan pelengkap.
14. Marka dan perambuan.
15. Pemeliharaan jalan.
16. Keterpaduan seluruh hirarki fungsi sistem
jaringan jalan.
17. Keterpaduan seluruh moda transportasi.
18. Pengembangan jaringan jalan.
Hasil MDS dengan RapTransport
dimensi keteknikan sebesar 51,68%, dengan
tergolong status cukup berkelanjutan (Gambar
15).

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

60

Nilai indeks keberlanjutan multidimensi


sebesar 50,18%, yang tergolong pada status
cukup berkelanjutan (Gambar 17).

Up

Other Distingishing Features

40

20
Bad
0

Good

51.68%

0
20

40

60

80

100

120

-20

-40

-60

Down
Engineering Status

Gambar 15. Keberlanjutan dimensi keteknikan

Gambar 17. Keberlanjutan multidimensi

Hasil analisis Leverage dari atribut


multidimensi yang merupakan gabungan dari
atribut yang sensitif dari keempat dimensi
keberlanjutan (Gambar 18).
Leverage of Attributes
50.44%

Panjang Jalan
37.22%

Kualitas Angkutan Umum

51.36%

Pemeliharaan jalan
37.54%

Fasilitas Kendaraan Non Motor


Volume Lalu lintas

24.93%

Pertumbuhan Penduduk

24.93%
42.63%

Tingkat Kecelakaan

52.15%

Marka dan Perambuan

Attribute

Hasil analisis Leverage diperoleh nilai


Root Mean Square (RMS) masing-masing
atribut dimensi ekonomi (Gambar 16). Analisis
Pereto untuk mendapatkan faktor kunci yang
sensitif dilakukan mengurutkan nilai RMS hasil
analisis leverage dari nilai terbesar sampai yang
terkecil.
Dilakukan
pembobotan
dalam
persentase
kemudian
diakumulasikan.
Selanjutnya diambil atribut sampai batas nilai
kumulatif maksimum 70%, maka didapatkan
delapan atribut yang sensitif berpengaruh
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi
keteknikan yaitu:
1. Kapasitas jalan.
2. Keterpaduan seluruh hirarki fungsi sistem
jaringan jalan.
3. Panjang jalan.
4. Tingkat pelayanan jalan.
5. Pengembangan jaringan jalan.
6. Kecepatan rata-rata.
7. Volume lalu-lintas.
8. Pemeliharaan jalan.

38.15%

Kapasitas Jalan

47.37%

Kecepatan Rata-rata
7.10%

PDRB

24.65%

Kualitas Udara
Kebisingan

29.61%

Emisi

29.61%
41.98%

Pengembangan Jaringan Jalan

48.10%

Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan

49.54%

Pengendalian Tata ruang

65.52%

Kepuasan Pelanggan Jalan


53.26%

Keterpaduan Stake Holder Penyelenggara


Tingkat Pelayanan Jalan

49.66%

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

RMS Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status


scale 0 to 100)

Gambar 18. Nilai RMS atribut multidimensi

Gambar 16. Nilai RMS dimensi keteknikan

Analisis Monte Carlo untuk melihat


tingkat kesalahan hasil MDS dengan
RapTransport dengan tingkat kepercayaan
sekitar 95%. Hasil analisis Monte Carlo,

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

11

menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan


hasil analisis MDS tidak banyak berbeda
dengan nilai indeks hasil analisis Monte Carlo.
Perbedaan nilai indeks keberlanjutan
analisis MDS dan Monte Carlo (Tabel 4).
Tabel 4. Nilai indeks keberlanjutan MDS dan
Monte Carlo
Dimensi
Lingkungan
(Enviroment)
Ekonomi (Economic)
Sosial (Social)
Keteknikan
(Engineering)
Multidimensi

Nilai Indeks
Keberlanjutan (%)
Monte
MDS
Carlo

Selisih

51,87
53,23
49,19

51,90
53,15
49,46

0,03
-0,08
0,27

51,68
50,18

51,29
50,06

-0,39
-0,12

Diagram layang-layang (kite diagram)


menggambarkan perbandingan keberlanjutan
antar dimensi nilai indeks keberlanjutan
dimensi lingkungan, ekonomi, sosial dan
keteknikan (Gambar 19).

Gambar 19. Perbandingan keberlanjutan antar


dimensi

Dalam rangka mengetahui apakah


atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS
cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai
Koefisien Determinasi (R2). Nilai ini diperoleh
dalam analisis MDS dengan menggunakan
software Rapfish yang dimodifikasi menjadi
RapTransport. Hasil analisis dianggap cukup
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan
karena memiliki nilai stress lebih kecil dari
0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien
determinasi (R2) mendekati nilai 1,0 atau 100
persen (Kavanag dan Pitcher 2004).
Hasil analisis menunjukkan bahwa semua
atribut yang dikaji cukup akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan, terlihat dari nilai stress
sebesar 15% sampai 16% dan nilai koefisien

12

determinasi (R2) berkisar antara 0,94 sampai


0,95 (Tabel 5).
Tabel 5. Nilai Stress dan koefisien determinasi
Dimensi Keberlanjutan
Parameter
Stress

Lingkunga
n
0,15

Ekono
mi
0,15

Sosia
l
0,15

Keteknika Multi
n
dimensi
0,16
0,15

R2

0,95

0,94

0,94

0,94

94

Iterasi

2,00

2,00

2,00

2,00

Faktor kunci utama didapatkan dari


semua atribut yang sensitif dan kebutuhan
stakeholder
dilakukan
analisis
dengan
menggunakan
Interpretative
Structural
Modelling (ISM). ISM adalah satu metodologi
berbasis komputer yang membantu kelompok
mengidentifikasi hubungan antara ide dan
struktur tetap pada isu yang kompleks. Faktor
kunci pengembangan prasarana transportasi
perkotaan adalah berdasarkan penggabungan
faktor kunci hasil analisis keberlanjutan dengan
MDS dengan kebutuhan stakeholder kemudian
dianalisis menggunakan ISM.
Analisis kebutuhan merupakan tahap
awal dari pengkajian suatu sistem. Dalam tahap
ini, kebutuhan-kebutuhan dari pelaku sistem
diidentifikasi. Fungsi stakeholders harus
berjalan optimal agar kinerja sistem tidak
terganggu. Hasil analisis mendapatkan sepuluh
kebutuhan stakeholders yaitu:
1. Mengurangi kemacetan dengan terpenuhinya
kapasitas jaringan jalan.
2. Menurunnya
tingkat
fatalitas
akibat
kecelakaan lalu-lintas dengan menerapkan
jalan yang memaafkan (forgiveness road).
3. Keterpaduan pengelolaan jalan sesuai
fungsinya.
4. Pengurangan tingkat polusi udara dan
kebisingan dengan penghijauan.
5. Kemitraan pemerintah dan swasta dalam
penyelenggaraan jalan.
6. Pengendalian pemanfaatan ruang sepanjang
koridor ruas jalan.
7. Penghijauan sepanjang koridor ruas jalan.
8. Koordinasi perencanaan dan pembangunan
jaringan jalan.
9. Penegakan peraturan dan kedisiplinan di
jalan.
10. Penerapan
teknologi
yang
ramah
lingkungan.
Kriteria kebutuhan yang dipakai dalam
analisis ISM adalah hasil dari faktor kunci
pengembangan prasarana transportasi perkotaan.
Selanjutnya dilakukan pembobotan dalam
persentase kemudian diakumulasikan sampai

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

maksimum 70%, maka didapatkan dua puluh satu


kriteria kebutuhan seperti tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Kriteria kebutuhan
Kriteria
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
K9
K10
K11
K12
K13
K14
K15
K16
K17
K18
K19
K20
K21

Kebutuhan
Tingkat Pelayanan Jalan
Keterpaduan Stake Holder Penyelenggara
Kepuasan Pelanggan Jalan
Pengendalian Tata ruang
Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan
Pengembangan Jaringan Jalan
Emisi
Kebisingan
Kualitas Udara
PDRB
Kecepatan Rata-rata
Kapasitas Jalan
Marka dan Perambuan
Tingkat Kecelakaan
Volume Lalu-lintas
Pertumbuhan Penduduk
Fasilitas Kendaraan Non Motor
Pemeliharaan jalan
Kualitas Angkutan Umum
Panjang Jalan
Pelanggaran Lalu-lintas

Klasifikasi sub-elemen mengacu pada


hasil Reachability Matrix (RM) yang telah
memenuhi aturan transitivitas digolongkan
dalam empat sektor yaitu:
1. Sektor 1: weak drive-weak dependent
variables (Autonomus). Sub-elemen yang
masuk dalam sektor ini umumnya kurang
berkaitan dengan sistem.
2. Sektor 2: weak drive-strongly dependent
variables (Dependent). Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah
sub-elemen yang tidak bebas.
3. Sektor 3: strong driver strongly dependent
variables linkage. Peubah yang harus dikaji
secara seksama karena hubungan antar
peubah yang tidak stabil dan dapat
memberikan dampak terhadap peubah
lainnya dan umpan balik pengaruhnya dapat
memperbesar dampak;
4. Sektor 4: strong driver weak dependent
variables (Independent) adalah sub-elemen
yang disebut peubah bebas.
Hasil analisis faktor kunci utama dengan
menggunakan ISM terdapat enam sub-elemen
yang mempengaruhi (independen) yaitu:
1. Keterpaduan stakeholder penyelenggara
(K2).
2. Pengendalian tata ruang (K4).
3. Pengembangan jaringan jalan (K6).
4. Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan
(K5).
5. Panjang jalan (K20).
6. Pertumbuhan penduduk (K16).

Hasil analisis ISM juga mendapatkan


delapan
sub-elemen
yang
dipengaruhi
(dependen) yaitu:
1. Kepuasan pengguna jalan (K3).
2. Tingkat pelayanan jalan (K1).
3. Kualitas udara (K9).
4. Emisi (K7).
5. Kebisingan (K8).
6. Tingkat kecelakaan (K14).
7. Volume lalu-lintas (K15).
8. Kecepatan rata-rata (K11) (Gambar 20).

Gambar 20. Interpretative Structural Modelling

PEMBAHASAN
Kondisi prasarana jalan perkotaan di
Kawasan Metropolitan belum sesuai fungsinya
sebagai jalan arteri, kolektor dan lokal seperti
persyaratan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 38 tahun 2004 dan Peraturan
Pemerintah nomor 34 tahun 2006 tentang jalan
bahwa kecepatan tempuh kendaraan untuk jalan
arteri primer kecepatan minimal 60 km/jam dan
akses masuk dibatasi. Permasalahan kemacetan
akibat adanya aktivitas kawasan perkotaan yang
terus meningkat terjadi karena kapasitas pada
ruas jalan sudah tidak dapat melayani arus
kendaraan dengan optimal diakibatkan oleh
hambatan samping. Kurang optimalnya
kapasitas jalan terjadi akibat manajemen
persimpangan yang kurang tepat, ditambah lagi
tingginya aksesibilitas ke dan dari penggunaan
lahan yang berkembang di sisi sepanjang
koridor jalan.
Berdasarkan hasil pengolahan data dan
analisis lalu-lintas pada keempat ruas jalan yang
merupakan representasi dari kota dan tiga
kabupaten
di
kawasan
Metropolitan
Mamminasata didapatkan bahwa kondisi
eksisting jalan pada ruas jalan nasional
mengalami kemacetan pada jam sibuk pagi dan

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

13

sore hari dengan volume rata-rata kendaraan


tertinggi 3.520 smp/jam dengan pertumbuhan
11,23% pertahun. Kapasitas jalan nasional saat
ini
rata-rata
5.285
smp/jam
dengan
pertumbuhan relatif sangat kecil. Derajat
kejenuhan jalan pada ruas 010.12 K Jalan
Perintis Kemerdekaan 0,86 dan pada ketiga ruas
jalan lainnya rata-rata 0,59. Rata-rata derajat
kejenuhan ruas jalan di Mamminasata adalah
0,66. Tingkat pelayanan jalan pada jalan
nasional
masih
termasuk
kategori
C
(0,45<DS<0,47) dimana sifat arus lalu-lintas
stabil, volume tinggi, kecepatan 38,6 km/jam
dengan kategori sedang dan dikendalikan oleh
volume lalu-lintas, kepadatan sedang, hambatan
internal
lalu-lintas
meningkat
mulai
mempengaruhi kecepatan dan kebebasan
pengemudi terbatas untuk memilih kecepatan,
pindah lajur dan atau mendahului.
Model
pengembangan
transportasi
perkotaan berkelanjutan yang menggunakan
pendekatan sistem untuk keterpaduan berbagai
konsep transportasi, tata ruang, ekonomi, sosial,
dan lingkungan. Sistem transportasi merupakan
suatu mekanisme operasional sedangkan sistem
tata ruang merupakan suatu prosedur atau tata
cara yang diharapkan dapat bersinergi, baik
dalam aspek sosial dan ekonomi, maupun aspek
lingkungan.
Permasalahan
transportasi
perkotaan sangat kompleks dan saling terkait
satu sama lain. Oleh karena itu, konsep
penanganannya harus dilakukan dengan
pendekatan sistem (system approach) yang
berorientasi pada tujuan, secara utuh,
menyeluruh, dan efektif.
Hasil analisis keberlanjutan dengan
mempertimbangkan
empat
dimensi
keberlanjutan, yaitu dimensi lingkungan, sosial,
ekonomi dan keteknikan dengan bantuan
program RAP Transport didapatkan nilai indeks
Multi Dimensional Scaling (MDS) 50,18%
dengan
status
keberlanjutan
prasarana
transportasi
perkotaan
Metropolitan
Mamminasata cukup berkelanjutan (50,01%75,00%). Dari keempat dimensi yang dianalisis,
dimensi sosial masuk kategori kurang
berkelanjutan dengan indeks MDS sebesar
49,19%, perlu intervensi dari para pemangku
kebijakan untuk dapat meningkatkan status
keberlanjutannya.
Hasil analisis faktor kunci utama dengan
menggunakan MDS dan ISM didapatkan enam
faktor yang sangat mempengaruhi yaitu:

14

1. Keterpaduan stakeholders penyelenggara


transportasi.
2. Pengendalian tata ruang.
3. Pengembangan jaringan jalan.
4. Keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan.
5. Panjang jalan.
6. Pertumbuhan penduduk.
Pengambil keputusan dalam menetapkan
kebijakan
pengembangan
pembangunan
prasarana transportasi perlu mempertimbangkan
dan melakukan intervensi baik peningkatan
maupun pengendalian terhadap keenam faktor
kunci tersebut dalam rangka meningkatkan
status keberlanjutan subsistem prasarana
transportasi perkotaan di Mamminasata.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kondisi eksisting fungsi jaringan prasarana
transportasi di Metropolitan Maminasata
belum dapat memenuhi persyaratan yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 38
tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor
34 tahun 2006 tentang jalan yang mengatur
jalan arteri sebagai jalan umum yang
berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan ratarata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara berdaya guna. Kondisi kerataan
permukaan jalan baik dengan tingkat
pelayanan jalan (LOS) berada pada kategori
C dan kecenderungan menuju ke kategori D
dimana arus lalu-lintas stabil dan mendekati
tidak stabil dengan volume lalu-lintas tinggi
dan kecepatan masih ditolerir namun sangat
terpengaruh oleh perubahan kondisi arus
lalu-lintas. Kepadatan lalu-lintas berada
pada kondisi sedang namun fluktuasi
volume lalu-lintas dan hambatan temporer
dapat menyebabkan penurunan kecepatan
yang besar. Pengemudi memiliki kebebasan
yang sangat terbatas dalam menjalankan
kendaraan, kenyamanan rendah.
2. Status keberlanjutan kondisi eksisting sistem
jaringan jalan adalah cukup berkelanjutan
dengan indeks keberlanjutan 50,18, namun
pada dimensi sosial masuk ketegori kurang
berkelanjutan.
3. Terdapat enam faktor kunci yang
berpengaruh
terhadap
keberlanjutan
pengembangan
prasarana
transportasi

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 1 15

perkotaan yaitu keterpaduan seluruh


stakeholders penyelenggara sistem prasarana
transportasi
perkotaan,
pengendalian
penggunaan
lahan
(tata
ruang),
pengembangan sistem jaringan jalan,
keterpaduan hirarki fungsi sistem jaringan
jalan, panjang jalan (kapasitas jalan) dan
pertumbuhan
penduduk
akibat
pengembangan wilayah.
4. Sistem prasarana transportasi perkotaan
berkelanjutan adalah perbaikan kinerja
kapasitas jalan dengan tujuan mengurangi
kemacetan dengan terpenuhinya kapasitas
prasarana jaringan jalan yang dapat
melayani kebutuhan lalu-lintas.
Saran
Saran
yang
dapat
disampaikan
berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Perlu adanya petunjuk operasional dari
perundangan dan peraturan yang berlaku
saat ini untuk mengatur lebih rinci mengenai
batasan jalan masuk dan jalan akses, batasan
lalu-lintas lokal dan kegiatan lokal akibat
pintu bangunan yang menghadap langsung
ke jalan arteri dan batasan mengenai
pemeliharaan rambu agar sesuai dengan
fungsi masing-masing ruas jalan.
2. Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
menetapkan
arahan
kebijakan
pengembangan
prasarana
transportasi
perkotaan di Metropolitan Mamminasata
dalam jangka waktu 20 tahun hendaknya
mempertimbangkan
untuk
melakukan
kebijakan intervensi peningkatan terhadap
faktor-faktor kunci yang sensitif dalam
upaya meningkatkan status.
3. Beberapa kegiatan yang dapat peningkatan
status keberlanjutan diantaranya adalah
mengefektifkan kinerja fungsi jaringan jalan,
mengurangi kecelakaan dengan mendesain
jalan yang berkeselamatan (safer road),
mengurangi emisi kendaraan bermotor
dengan penerapan metoda tanaman peredam
bising dan penyerap polusi udara
disepanjang koridor jaringan jalan.

DAFTAR PUSTAKA
Dardak, H. 2010. Kebijakan Pemerintah di dalam
Menciptakan Tata Ruang Perkotaan yang
Berkelanjutan
dan
Keterkaitan
dengan
Infrastruktur Transportasi dan Drainase
Perkotaan. Seminar Nasional Infrastruktur.
Tanggal 27 Juli 2010. Depok: Universitas
Indonesia.
Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Marga. 1997.
Manual
Kapasitas
Jalan
Indonesia.
SWEROAD dan PT. Bina Karya. Jakarta:
Ditjen Bina Marga.
Kavanagh, P. and T.J. Pitcher. 2004. Implementing
Microsoft Excel Software for Rapfish: A
Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries
Status.
Fisheries
Centre
Research
Reports.12(2):35. Canada: The University of
British Columbia.
Mandra, M. 2013. Model Dinamik Pengendalian Emisi
Kendaraan Bermotor di Kota Makassar. PhD
diss., Institut Pertanian Bogor.
Mansyur, U. 2008. Model Pengelolaan Transportasi
Angkutan Umum Penumpang Non-Bus
Berkelanjutan Kota Makassar. PhD Diss.,
Institut Pertanian Bogor.
Marimin. 2004. Pengambilan Keputusan Kriteria
Majemuk. Jakarta: Grasindo
Miro, F. 2005. Perencanaan Transportasi. Jakarta:
Gelora Aksara Pratama.
Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and
Sustainable Development. Washington, D.C.:
The World Bank.
Panjaitan, T.P. Model Pengelolaan Transportasi
Berkelanjutan
di
Kawasan
Pinggiran
Metropolitan. PhD diss., Institut Pertanian
Bogor.
Purwaamijaya, I. 2005. Analisis Kemampuan Lahan di
Kecamatan-Kecamatan yang dilalui Jalan
Soekarno-Hatta di Kota Bandung Jawa Barat
PhD diss.,
Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Roychansyah, M. S. 2006. Paradigma Kota Kompak:
Solusi Masa Depan Tata Ruang Kota.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Saxena, J. P. 1992. Hierarchy and Classification of
Program Plan Element Using Interpretive
Structural Modelling. Systems Practice, 12 (6):
651:670.
Wikipedia,
2013.
Pareto
Principle.
http://en.wikipedia.org/wiki/Pareto_principle

Analisis Keberlanjutan Pengembangan Prasarana Transportasi Perkotaan di Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan,
(Ignatius Wing Kusbimanto, Santun R.P. Sitorus, Machfud, I.F. Poernomosidhi Poerwo, Mohamad Yani)

15

PENGEMBANGAN MODEL ANALITIS PERHITUNGAN


TEMPERATUR PERKERASAN JALAN UNTUK PENENTUAN KELAS
KINERJA ASPAL
(DEVELOPMENT OF PAVEMENT TEMPERATURE ANALYTICAL
MODEL FOR DETERMINATION OF BITUMINOUS PERFORMANCE
GRADE)
Sri Yeni M1), Djoko Widayat2)
1), 2)
1), 2)

Pusat Litbang Jalan dan Jembatan

Jl. AH. Nasution 264 Bandung 40294


1)
e-mail: sri_sriyeni@yahoo.com
2)
e-mail: djoko.widajat@pusjatan.pu.go.id

Diterima: 03 Januari 2013; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK
Pemilihan jenis aspal tergantung pada jenis konstruksi dan iklim wilayah suatu daerah. Konsistensi aspal
sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aspal akan keras dan rapuh pada temperatur rendah dan menjadi lunak
pada temperatur tinggi, sehingga kelas dari aspal harus dipilih sesuai dengan wilayah suatu daerah. Saat ini
penentuan jenis aspal tidak menggambarkan pengaruh temperatur. Metode yang dapat menggambarkan
pengaruh ini adalah Performance Grade (PG). Salah satu pendekatan untuk menentukan kelas aspal ini
menggunakan model perhitungan temperatur perkerasaan jalan. Model ini mengandung tiga parameter yaitu
area geografis , temperatur perkerasan dan temperatur udara. Dari hasil studi menunjukkan bahwa temperatur
perkerasan di Pulau Jawa maksimum berkisar 55oC. Data temperatur perkerasan ini kemudian dilakukan suatu
pemodelan sehingga didapatkan model perhitungan temperatur. Model hasil studi ini bila dibandingkan dengan
model Asphalt Institute terjadi perbedaan 1oC dan dapat dikatakan bahwa model tersebut tidak mempunyai
perbedaan yang nyata dibanding model Asphalt Institute.
Kata kunci: kelas aspal, model analitis, area geografis, temperatur perkerasan, temperatur udara

ABSTRACT
Grade of asphalt should be selected according to the construction type and regional climate. Asphalt
consistency is greatly influenced by temperature. Asphalt will be hardened and brittle in low temperature, on the
other hand, asphalt will be softened in high temperature so that asphalt grade should be selected according to
the local condition. Unfortunately, so far the selection of asphalt grade has not considered the influence of
temperature. The method which describes the temperature influence is Performance Grade (PG). One approach
to determine the grade of asphalt is using the calculation of temperature models of road pavement. This model
contains three parameters, namely geographical area, pavement temperature and air temperature. From the
results of the study indicate that the pavement maximum temperatures is around 55oC for Java Island. Pavement
temperature data is then performed to obtain a temperature calculation model. There is 1 C difference between
the model of this study when compared to the model of Asphalt Institute and it can be said that the model does
not have significant difference from the model of Asphalt Institute.
Keywords: asphalt grade, analytical model, geographic area, pavement temperature, air temperature

16

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 16 21

PENDAHULUAN
Faktor lain yang berpengaruh terhadap
kondisi jalan adalah suhu lingkungan (Madi
2008). Suhu yang tinggi menurunkan Modulus
Elastisitas lapisan aspal dan mengurangi
kemampuannya untuk menahan beban tarik
yang terjadi akibat beban kendaraan. Desain
struktur perkerasan harus mampu untuk
menahan beban lalu-lintas dalam kondisi
lingkungan yang berubah-ubah. Dalam tahap
desain, perubahan suhu harus diperhatikan
dengan baik agar lapisan aspal yang terpasang
bisa menahan beban lalu-lintas pada suhu aktual
yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tahap
perencanaan, kondisi-kondisi yang berbeda
tersebut harus diperhitungkan dan desain
perkerasan harus memperhatikan perubahan
elastisitas lapisan aspal dan perubahan kekuatan
lapisan tanah dasar. (Asphalt Institute 1993)
Pemilihan jenis aspal tergantung pada
jenis konstruksi dan iklim wilayah suatu
daerah. Konsistensi aspal sangat dipengaruhi
oleh temperatur. Aspal akan keras dan rapuh
pada temperatur rendah dan menjadi lunak pada
temperatur tinggi. Akibatnya, kelas dari aspal
harus dipilih sesuai dengan wilayah suatu
daerah.
Salah satu pendekatan untuk menentukan
kelas aspal ini menggunakan Model Asphalt
Institute (Asphalt Institute 1997). Model ini
didapat dari data temperatur udara di daerah
Cleveland, dimana daerah tersebut memiliki 4
musin (subtropis) berbeda dengan kondisi
iklim di Indonesia. Model tersebut tidak bisa
langsung kita pakai langsung di Indonesia dan
perlu dilakukan penyesuain kondisi model di
Indonesia. Data yang digunakan untuk
melakukan model ini adalah temperatur
perkerasaan
dilapangan.
Model
ini
mengandung tiga parameter yaitu area
geografis,
temperatur
perkerasan
dan
temperatur udara.
Makalah
ini menguraikan
model
perhitungan temperatur perkerasan jalan dengan
mengembangkan model Asphalt Institute.
KAJIAN PUSTAKA
Pada perkerasan jalan beton aspal, baiktidaknya kualitas aspal yang digunakan dapat
mempengaruhi
baik-tidaknya
kualitas
perkerasan tersebut (Broome 1975). Untuk
mengetahui baik-tidaknya kualitas aspal,
biasanya aspal harus memiliki sifat-sifat yang

memenuhi spesifikasi tertentu (AASHTO 2012).


Pada beton aspal campuran panas, aspal yang
digunakan adalah aspal keras untuk menjamin
kesesuaian
kualitasnya
dengan
yang
diharapkan, harus memenuhi spesifikasi aspal
keras untuk perkerasan jalan yang berlaku .
Selama ini ada tiga jenis spesifikasi aspal
keras yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam mengontrol baik-tidaknya kualitas aspal
keras yang akan digunakan. Ketiga spesifikasi
aspal keras tersebut yaitu:
1. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas
penetrasi RSNI 01-2003. (Indonesia 2003)
2. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas
kekentalan RSNI 01-2004. (Indonesia 2004)
3. Spesifikasi aspal keras berdasarkan kelas
kinerja. (Asphalt Institute 1997)
Perbedaan mendasar dari ketiga spesifikasi
tersebut yaitu spesifikasi aspal keras kelas
penetrasi dan kelas kekentalan menggunakan
pendekatan empiris, sedangkan spesifikasi aspal
keras kelas kinerja menggunakan pendekatan
mekanis. (Madi 2008)
Spesifikasi aspal keras kelas penetrasi disusun
berdasarkan
pendekatan
empiris.
Pada
spesifikasi ini, jenis aspal dibagi-bagi
berdasarkan nilai penetrasinya seperti misalnya
pada AASHTO M 226-80 (AASHTO 2012a)
terdapat Aspal pen 40-50, Aspal pen 60-70,
Aspal pen 85-100, Aspal pen 120-150 dan
Aspal pen 200-300. Makin tinggi nilai penetrasi
maka makin lunak aspal tersebut. Adanya
beberapa jenis aspal kelas penetrasi untuk
perkerasan jalan ini pada prinsipnya adalah
sebagai alternatif pilihan agar jenis aspal kelas
penetrasi dapat diambil yang sesuai dengan
kondisi dilapangan. Namun sampai sejauh ini
tidak ada petunjuk atau kriteria mengenai
pemilihan jenis aspal kelas penetrasi ini,
khususnya yang mengakomodir kondisi iklim di
lapangan. Akibatnya dapat terjadi dua daerah
dengan kondisi iklim yang relatif sama tetapi
ternyata menggunakan aspal keras dengan kelas
penetrasi yang berbeda. Sebagai contoh,
Indonesia dan Malaysia sama-sama termasuk ke
dalam daerah tropis, tetapi untuk perkerasan
jalan Indonesia umumnya menggunakan aspal
pen 60 sedangkan Malaysia umumnya
menggunakan aspal pen 80. (Madi 2008)
Penetrasi adalah suatu besaran yang
menggambarkan konsistensi aspal. Penentuan
nilai penetrasi pada prinsipnya dilakukan
dengan cara melepas jarum penetrasi yang
tegak lurus dan berada tepat di permukaan aspal

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal,
(Sri Yeni M, Djoko Widayat)

17

selama lima detik sehingga jarum masuk ke


dalam aspal. Jarum penetrasi yang digunakan
harus memiliki ketajaman tertentu dan memiliki
berat tertentu (100 gram). Sedangkan aspal
yang diuji harus dikondisikan sedemikian rupa
sehingga memiliki temperatur 25oC. Kedalaman
masuknya jarum ke dalam aspal dalam satuan
dmm (0,1 mm) inilah yang disebut nilai
penetrasi aspal. Dengan demikian, makin tinggi
nilai penetrasi maka makin dalam masuknnya
jarum penetrasi ke dalam aspal dan berarti aspal
makin lunak.
Berdasarkan
kekentalan
(AASHTO
2012), berisi persyaratan aspal keras
berdasarkan kekentalan aspal asli yang terdiri
dari AC-2,5, AC-5, AC-10, AC-20 dan AC-40.
Makin besar angka dibelakang kode AC, nilai
kekentalan makin besar. Persyaratan tingkat
kekentalan aspal setiap jenis aspal diukur pada
temperatur 60oC. Berdasarkan standar tersebut
untuk aspal
keras
yang
mempunyai
penetrasi 70 x 0,1 mm (AC-10), tingkat
kekentalan pada temperatur 60oC adalah
sebesar
1000200
Poise. Sedangkan
persyaratan tingkat kekentalan minimum pada
temperatur 135oC adalah 150 cST.
Tingkat viskositas merupakan hal yang
penting untuk mengetahui tingkat keenceran
aspal, namun demikian informasi yang didapat
adalah hanya pada perilaku viscous aspal pada
temperatur tinggi, informasi tentang keelastikan
aspal pada temperatur rendah atau sedang untuk
memprediksi kinerja tidak tersedia, sedangkan
penetrasi
menggambarkan
hanya
pada
temperatur sedang.
Berdasarkan spesifikasi aspal keras kelas
kinerja,
aspal
keras
diklasifikasikan

berdasarkan temperatur maksimum rata-rata


dari temperatur perkerasan jalan pada
kedalaman 20 mm selama tujuh hari terpanas
berturut-turut dalam setahun dan temperatur
minimum (terendah) permukaan perkerasan
jalan dalam setahun pada perkerasan jalan di
lapangan tempat aspal keras tersebut akan
diaplikasikan. Sebagai contoh, pada Tabel 1
dapat dilihat bahwa pada spesifikasi aspal keras
kelas kinerja terdapat kelas PG 64-10. Ini
berarti aspal keras yang memenuhi persyaratan
spesifikasi
kelas
PG
64-10
dapat
diaplikasikan pada lokasi perkerasan jalan yang
memiliki temperatur rata-rata perkerasan jalan
pada kedalaman 20 mm dari temperatur
terpanas selama tujuh hari berturut-turut dalam
setahun maksimum 64oC.
Temperatur rata-rata dari temperatur
terpanas perkerasan jalan pada kedalaman 20
mm selama tujuh hari berturut-turut dalam
setahun dan temperatur terendah permukaan
perkerasan jalan dalam setahun dapat diketahui
berdasarkan pengukuran terhadap perkerasan
jalan yang sudah terhampar di lapangan.
Alternatif lain dapat juga dihitung berdasarkan
temperatur udara di lokasi perkerasan tersebut
dengan
menggunakan
persamaan
yang
diberikan Asphalt Institute SP-1 Performance
Graded Asphalt Binder Specification and
Testing. Yang dimaksud dengan temperatur
udara di sini adalah sama dengan temperatur
udara pada laporan cuaca harian dari
meteorologi. Persamaan yang dimaksud seperti
yang ditunjukkan pada persamaan (1).

Tabel 1. Penentuan kelas kinerja aspal

Performance Grade
Average 7 day maximum

18

PG 46
PG 52
PG 58
PG 64
PG 70
PG 76
PG 82
-34 -40 -46 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -46 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -40 -10 -16 -22 -28 -34 -10 -16 -22 -28 -34
<46

<52

<58

<64

<70

<76

<82

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 16 21

T20mm = (Tair 0,00618 Lat2 + 0,2289 Lat +


42,2) (0,9545) 17,78....(1)
Keterangan:
T.20.mm = desain suhu perkerasan jalan pada
kedalaman 20mm
= rata-rata tujuh hari tinggi suhu
Tair
udara, C
Lat
= posisi geografis (latitude) dari
project dalam derajat lintang
Pada spesifikasi aspal keras kelas
kinerja terdapat beberapa persyaratan yaitu
kekentalan untuk kemudahan pengerjaan,
Dynamic Shear Rheometer (DSR) terhadap
aspal original, aspal setelah Thin Film Oven
Test (TFOT) dan aspal setelah Pressure Aging
Vessel (PAV) untuk mencegah terjadinya
deformasi permanen dan retak struktur,
Bending Beam Rheometer (BBR) dan Direct
Tension Tester untuk mencegah terjadinya
retak pada temperatur dingin, dan titik nyala
untuk keamaan dari bahaya kebakaran saat
pemanasan. (AASHTO 2012 b)
HIPOTESIS
Model perhitungan perkerasaan jalan
menurut Asphalt Institute tidak berbeda nyata
dengan model hasil studi.
METODOLOGI
Metodologi
ini
pada
dasarnya
merupakan penerapan dari model yang telah
dikenal
untuk
perhitungan
temperatur
perkerasan
menurut
superpave
dan
dikembangkan sesuai dengan kondisi di
Indonesia. Lokasi penelitian adalah Jawa Barat
(Lembang dan Indramayu), Jawa Timur
(Surabaya dan Tretes) dan Jawa Tengah
(Batang dan Temanggung). Pemilihan lokasi
penelitian ini didasarkan pada daerah yang
bersuhu sedang dan bersuhu tinggi untuk
masing-masing di Jabar, Jateng dan Jatim.
Data yang diperlukan adalah data sekunder dan
primer. Data sekunder yang dikumpulkan
secara instansional adalah data rata-rata
temperatur udara selama lima tahun terakhir
untuk lokasi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Data ini digunakan untuk
mengetahui rata-rata temperatur udara terpanas
selama tujuh hari berturut-turut dalam jangka
waktu lima tahun terakhir. Adapun data primer

yang dikumpulkan adalah data temperatur


perkerasaan pada kedalaman 20 mm dan data
posisi geografis lokasi penelitian tersebut.
Teknik pengukuran temperatur perkerasaan di
lapangan dilakukan selama tujuh hari berturutturut pada kondisi cuaca cerah dengan waktu
pengamatan dari jam 10.00 s.d 15.00.
Teknik pemodelan dengan cara sebagai
berikut:
1. Melakukan
pemilihan
temperatur
perkerasaan
maksimum
dari
hasil
pengukuran temperatur perkerasaan untuk
masing-masing lokasi.
2. Mencatat data latitude untuk masing
masing lokasi.
3. Menentukan temperatur udara maksimum
dari data BMKG selama lima tahun terakhir
untuk masing masing lokasi.
4. Melakukan
uji
pemodelan
dengan
melakukan langkah langkah sebagai
berikut:
a. Uji Normalitas
b. Uji Autokorelasi
c. Uji Multikolinieritas
d. Uji Heteroskedastisitas
HASIL DAN ANALISIS
Gambar dibawah ini adalah
data
temperatur perkerasan pada kedalaman 20 mm
yang
merupakan hasil pengukuran di
lapangan. Pengukuran di lapangan dilakukan
selama tujuh hari berturut turut pada kondisi
cuaca cerah. Lokasi pengukuran dilakukan
pada daerah bersuhu panas dan sedang. Untuk
lokasi bersuhu panas lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1.

Temperatur perkerasaan pada


lokasidaerah panas di Pulau
Jawa

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal,
(Sri Yeni M, Djoko Widayat)

19

Dari Gambar 1 terlihat bahwa dari hasil


pengukuran dilapangan untuk temperatur
perkerasaan pada lokasi pantura km 73+650
memiliki suhu tertinggi sebesar 55oC. Untuk
lokasi bersuhu sedang dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Temperatur perkerasaan pada


lokasi daerah sedang di Pulau
Jawa

Untuk lokasi daerah sedang cenderung


temperatur perkerasan relatif sama berkisar
antara 47oC - 49oC. Dari Gambar 1 dan 2
tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
temperatur perkerasaan tertinggi untuk daerah
panas adalah 55oC dan daerah sedang adalah
49oC.
PEMBAHASAN
Dari hasil data temperatur perkerasaan
kemudian dilakukan pemodelan. Dengan
melakukan pengujian pemodelan seperti di
bawah ini:
1. Uji Normalitas berfungsi
uji untuk
mengukur apakah data kita memiliki
distribusi normal.
Pada Uji Normalitas yang menjadi variabel
pengujian adalah nilai T20mm yang
merupakan variabel dependent dan Tair,
Latitude dan Latitude2 merupakan variabel
independents. Dari hasil uji normalitas ini
untuk data asumsi didapatkan R2 = 0,728
kemudian dilakukan pengujian untuk
mendapatkan nilai skewness dan kurtosis
dengan batasan normal -2 hingga +2.
Didapatkan nilai skewness = -0,18 dan
kurtosis = -1,48 dari hasil tersebut diketahui
bahwa data asumsi tidak keluar dari batasan
normal (lolos uji normalitas).

20

2. Uji Autokorelasi digunakan untuk melihat


apakah ada hubungan linier antara error
serangkaian observasi yang diurutkan
menurut waktu (data time series).
Pada uji autokorelasi ini dilakukan
pengujian untuk mendapatkan nilai DW
(Durbin Watson), dari data asumsi
didapatkan nilai DW = 1,865. Pada uji
autokorelasi
menggunakan
derajat
kepercayaan 5%, sampel (n) yang dimiliki
sebanyak < 200 observasi, dan variabel
penjelas sebanyak 3 maka didapatkan nilai
dL dan du sebesar 1,7990 dan 1,7382.
Maka dapat disimpulkan bahwa model ini
tidak ada autokorelasi.
3. Uji
Multikolinieritas
berfungsi
mendapatkan hubungan linier atau korelasi
yang tinggi antara masing-masing variabel
independen dalam model regresi.
Pada uji multikolinieritas, untuk data
asumsi ini Variance Inflation Factor (VIF)
pada cllinearity statistics lebih besar dari
10, maka disimpulkan bahwa model regresi
ini memiliki masalah multikolinieritas.
Kemudian untuk menentukan hubungan
antara dua variabel bebas memiliki masalah
multikoliniaritas dilihat dari nilai signifikan
(2-tailed). Dari seluruh nilai signifikan (2tailed) hasil regresi ini seluruhnya lebih
kecil dari 0,05 (5%) sehingga dapat
dikatakan bahwa seluruh variabel penjelas
tidak
terbebas
dari
masalah
multikolinearitas.
4. Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi terjadi
4. ketidaksamaan variance dari residual dari
suatu pengamatan ke pengamatan yang lain.
Pada uji ini, suatu variabel dikatakan
mempengaruhi absresid bila p value
bernilai kurang dari 5%. Nilai t-statistik
dari seluruh variabel penjelas tidak ada
yang signifikan secara statististik, sehingga
dapat disimpulkan bahwa model ini tidak
mengalami masalah heterokedastisitas.
Jika pengujian statistik telah dilakukan
dan hasilnya sesuai, maka model didapatkan
dengan menggunakan konstanta untuk masing
masing variabel dan dapat dilihat pada Tabel
2 berikut:

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 16 21

Tabel 2. Hasil analisa statistik


Model

(Constant)

Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
Std.
B
Error
Beta
-103.997 13.575
1.1

melakukan
perhitungan
perkerasan di Pulau Jawa.
Saran

t
-7.661

Sig.
.000

Tair

.727

.024

.793

30.902

.000

Lat

38.250

4.006

8.017

9.548

.000

Lat2

-2.725

.291

-7.903

-9.380

.000

Dependent Variable: T20mm

Sehingga didapatlah model studi sebagai


berikut:
T20mm = 0,727Tair + 38,250Lat 2,725 Lat2
103,997 ...(2)
Untuk model Superpave sebagaimana
telah ditunjukkan pada persamaan (1).
Dari model studi (2) dan model Asphalt
Institute (1) dilakukan pembandingan dengan
hasil dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan nilai T20mm menurut
model Asphalt Institute dan model hasil
studi
Lokasi
Survei

Tair

Latitude

Asphalt
Institute

Indramayu
Batang
Lembang

30.9
30.2
24.9

6.22927
6.90495
6.47549

53.58
53.12
47.93

Surabaya
Temanggung
Tretes

31.3
26.6
24.5

7.15093
7.33674
7.65871

54.24
49.81
47.90

temperatur

T20mm
Model Perbedaan
hasil
(oC)
Studi
1.03
52.55
0.97
52.15
0.4
47.53
0.7
54.94
0.52
49.29
0.98
46.92

Dari Tabel 3 dapat terlihat bahwa model


Asphalt Institute dan model hasil studi terjadi
perbedaan yang sangat kecil yaitu 0,4oC 1,03oC atau dinyatakan tidak terjadi perbedaan
yang nyata. Sehingga Model studi ini dapat
digunakan untuk menentukan temperatur
perkerasaan di Pulau Jawa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Temperatur perkerasan tertinggi untuk
daerah panas adalah 55oC dan daerah
sedang adalah 49oC.
2. Model perhitungan temperatur perkerasan
hasil studi dapat digunakan untuk

Perlu dilakukan pengambilan data


temperatur perkerasan di luar Pulau Jawa
sehingga didapat model temperatur perkerasan
untuk wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
American Association of State Highway and
Transportation Officials. 2012a. Standard
Specificaion for Transportation Material and
Methods of Sampling and Testing, Part I A:
Specification. Washington: AASHTO.
American Association of State Highway and
Transportation Officials. 2012b. Standard
Specificaion for Transportation Material and
Methods of Sampling and Testing, Part I B:
Specification. Washington: AASHTO.
American Association of State Highway and
Transportation Officials. 2012. Viscosity
grade Asphalt Cement. AASHTO M 22680 (2008). Standard Specifications for
Transportation Materials and Methods of
Sampling and
Testing . Part 1 A: Specification. 32nd
edition. Washington, DC: AASHTO.
Asphalt Institute. 1993. Mix Design Methods for
Asphalt Concrete and Other Hot-Mix Types
MS-2 Asphal Institute. Lexington.
Asphalt Institute. 1997. Performance Graded
Asphalt Binder Specification and Testing
Superpave. Series No.1 (SP-1). Lexington:
Asphalt Institute.
Broome, D.C. 1975. The Testing of Bituminuous
Mixtures. London :Edward Arnold & CO.
Dirjen Bina Marga. 1973.Manual Aspal. Jakarta:
Dirjen Bina Marga.
Hasan, M. Iqbal. 1999. Pokok-pokok Materi
Statistik 1 .Jakarta: Bumi Aksara.
Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. 2003.
Spesifikasi Aspal Keras Berdasarkan
Penetrasi. RSNI S-01-2003. Jakarta: Dep.
PU.
Indonesia. Departemen Pekerjaan Umum. 2004.
Spesifikasi Aspal Keras Berdasarkan
Kekentalan .RSNI S-01-2004. Jakarta: Dep.
PU.
Madi. 2008. Pengkajian Spesifikasi Aspal Keras
Dengan Temperatur dan Karakteristik Lalulintas Indonesia. Bandung: Puslitbang
Prasarana Transportasi.
Petersen, J.C. 1994. Binder Characterization and
Evaluation Volume 4: Test Methods. SHRP
Washington : National Research Council.

Pengembangan Model Analitis Perhitungan Temperatur Perkerasan Jalan untuk Penentuan Kelas Kinerja Aspal,
(Sri Yeni M, Djoko Widayat)

21

Awal-19-04-13

ANALISIS ELEMEN HINGGA KOMPONEN DIAFRAGMA PADA DEK


BAJA TIPE ORTOTROPIK MELINTANG JEMBATAN
(FINITE ELEMENT ANALYSIS OF DIAPHRAGM COMPONENT OF A
TRANSVERSE ORTHOTROPIC STEEL BRIDGE DECK)
Anton Surviyanto

Puslitbang Jalan dan Jembatan

Jl. A.H. Nasution No.264, Bandung 40294


e-mail: anton.surviyanto@pusjatan.pu.go.id

Diterima: 27 Desember 2012; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK
Pelat baja ortotropik telah banyak digunakan pada struktur jembatan modern untuk mendistribusikan beban
lalu-lintas dalam dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing dalam tekan. Oleh karena sifat dari sistem
struktur ortotropik ini memiliki karakteristik kekakuan dalam arah longitudinal dan transversal yang unik, maka
diperlukan analisis yang lebih mendalam dalam hal detailing komponen-komponen strukturnya yang sesuai
dengan persyaratan kekuatan dan layannya. Desain dengan analisis tiga dimensi (3D) merupakan persyaratan
dalam desain yang penting untuk mengetahui konsentrasi tegangan lokal pada komponen pada dek baja
ortotropik. Dalam makalah ini, analisis statik elemen hingga 3D dilakukan untuk memodelkan dek baja
ortotropik dengan diafragma menerus dan diafragma coak. Hasil kedua model dibandingkan dalam perilaku
sistem struktur lokal dengan membandingkan respon dan kinerja struktur akibat beban truk standar BMS. Dari
analisis elemen hingga dapat disimpulkan bahwa tegangan tarik dan tekan pada panel ortotropik yang terjadi
untuk kombinasi beban ultimit (Ultimate Limit States/ULS) ditengah rusuk dan antar rusuk panel ortotropik
memenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,9 tegangan leleh (Fy). Begitu juga untuk tegangan geser maksimum
menenuhi kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy. Konsentrasi tegangan ekivalen Von Mises lokal yang terjadi
untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142 MPa. Sehingga
perbandingan tegangan Von Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan nilainya dengan penggunaan tipe
diafragma coak. Bentuk diafragma dengan tipe menerus akan menyebabkan konsentrasi tegangan. Sedangkan
bentuk diafragma yang coak dengan kelengkungan tertentu akan mengurangi konsentrasi tegangan lokal pada
diafragma.
Kata kunci: analisis elemen hingga, dek baja ortotropik melintang, komponen diafragma, tegangan Von Mises,
konsentrasi tegangan

ABSTRACT
Many of the worlds most magnificent modern bridge structures utilize the orthotropic steel plate systems as one
of the basic structural building blocks for distribution of traffic loads in decks and for the stiffening of slender
plate elements in compression. Because of the properties of orthotropic structural system has unique
characteristics of rigidity in the longitudinal and transversal directions, therefore it would require a more indepth analysis in terms of detailing structural components in accordance with the requirements of strength and
serviceability. Design with the three dimension (3D) analysis is an important requirement in the design to
determine the local stress concentration at the components on orthotropic steel deck. In this paper, a 3D finite
element static analysis performed to model orthotropic steel deck with direct diaphragm and the cut-out
diaphragm. Results of both models are compared in the local structure of the system behavior by comparing the
response and performance of the structure due to BMS standard truck load. From the finite element analysis, it
can be concluded that the tensile and compression stress in the orthotropic panel that occured for Ultimate Limit
States (ULS) load combination of middle-ribs and adjacent-rib orthotropic panel below the criteria of 0.9 Fy.
While for the shear stress with the maximum shear stress limits below the criteria of 0.58Fy. Von Mises
equivalent local stress for continous diaphragm is 328 MPa, while the diaphragm cut-out is 142 MPa. Thus, the
Von Mises stress ratio of 2.31 can be lowered by the use of a diaphragm-type cut-out. The shape of diaphragm
with continuous type will cause stress concentration. While the shape of the cut-out diaphragm with certain
curvature will reduce the local stress concentration in the diaphragm.
Keywords: finite element analysis, transverse orthotropic steel deck, diaphragm component, Von Mises stress,
stress concentration

22

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 33

Awal-19-04-13
PENDAHULUAN
Pelat baja ortotropik telah banyak
digunakan pada struktur jembatan modern
untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam
dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing
dalam tekan. Dek baja ortotropik merupakan
salah satu sistem lantai jembatan yang
menggunakan pelat baja pra-cetak dengan
kekakuan yang tidak sama dalam dua arah
yang saling tegak lurus. Kekakuan yang lebih
tinggi umumnya direncanakan pada suatu arah
tertentu dengan penempatan profil pengaku
dalam arah tersebut. Salah satu keunggulan
utama
dari
sistem
lantai
jembatan
menggunakan pelat baja ortotropik ini, yaitu
beratnya yang lebih ringan, sehingga panjang
bentang jembatan dapat ditingkatkan.
Rangkuman proyek sukses dek baja
ortotropik di dunia dapat ditemukan dalam
referensi oleh Troitsky (1985), Huang et. al.
(2008), Hoorpah (2004), Korniyiv (2004), and
Choi et. al. (2008). Meskipun terdapat
perbedaan dalam desain dan detailing praktis,
namun terdapat konsistensi sebagai sumber
keilmuan yang telah dibagikan dalam berbagai
cara.
Dalam proses desain dek baja ortotropik
diperlukan
verifikasi
desain,
sebuah
pendekatan baru, yang memberikan solusi
untuk desain dek jembatan biasa. Aspek-aspek
yang menjadi kontrol dalam desain panel dek
ortotropik lebih banyak pada kebutuhan lokal
dibandingkan global. Panel dengan desain dan
detailing yang baik memiliki potensi untuk
menjadi modul standar yang dapat diterapkan
kedepannya. Apabila panel dek dapat
dikembangkan
dan
diverifikasi,
maka
kebutuhan desain akan menjadi berkurang
untuk tipe jembatan ini. Namun apabila
jembatan memiliki karakteristik unik, maka
membutuhkan analisis yang tepat untuk
masing-masing karakteristik.
Oleh karena sifat dari sistem struktur
ortotropik ini memiliki karakteristik kekakuan
dalam arah longitudinal dan transversal yang
unik, maka diperlukan analisis yang lebih
mendalam dalam hal detailing komponenkomponen strukturnya yang sesuai dengan
persyaratan kekuatan dan layannya. Terdapat
level desain yang ditentukan tergantung pada
penerapan dan ketersediaan data bagi desainer.

Level 3 desain dengan analisis tiga dimensi


(3D) merupakan persyaratan dalam desain
yang penting untuk mengetahui konsentrasi
tegangan lokal pada komponen pada dek baja
ortotropik. Dengan demikian, maka perlu
dilakukan penelitian detailing komponenkomponen struktur dek ortotropik dengan
analisis elemen hingga.
Dalam makalah ini, analisis statik 3D
elemen hingga dilakukan untuk memodelkan
dek baja ortotropik dengan diafragma menerus
dan diafragma coak. Hasil kedua model
dibandingkan dalam perilaku sistem struktur
lokal dengan membandingkan respon dan
kinerja struktur akibat beban truk standar.
KAJIAN PUSTAKA
Pelat baja ortotropik telah banyak
digunakan pada struktur jembatan modern
untuk mendistribusikan beban lalu-lintas dalam
dek dan sebagai pengaku elemen pelat langsing
dalam tekan.
Umumnya, dek baja ortotropik terdiri
dari pelat tebal, diperkaku oleh seri rusuk
longitudinal dengan spasi yang dekat dan
ditahan oleh balok transversal ortogonal
(Gambar 1). Dek memiliki karakteristik
kekakuan dalam arah longitudinal dan
transversal, oleh karena itu dek ditinjau
sebagai struktur anisotropik. Menurut Troitsky
(1987), oleh karena rusuk dan balok saling
tegak lurus dalam kedua arah, sifat elastik
berbeda atau anisotropik, maka sistem secara
keseluruhan dikenal sebagai anisotropikortogonal atau disingkat ortotropik.
Dek ortotropik ini efisien karena integral
dengan perletakan rangka struktur atas
jembatan, seperti flens atas menumpu pada
stringer transversal dan gelagar longitudinal.
Hal ini dapat meningkatkan kekakuan dan
mengurangi
material
dalam
desain
komponennya.
Beban-beban umumnya ditransfer oleh
stringer secara transversal ke sistem utama
penahan beban, seperti gelagar longitudinal.
Karakteristik utama dek ortotropik yaitu
mempunyai potensi pemeliharaan yang
minimal untuk memperpanjang masa layan dan
desain modul yang standar, bila dibandingkan
dengan konstruksi jembatan konvensional.

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto)

23

Awal-19-04-13
Lapisan Aspal

Lapisan Aspal

Pelat Dek

Gelagar
anak
Gelagar
anak
Gelagar

Tipe Rusuk

Gelagar

(a)

Gambar 1.

Tipe Rusuk
(b)

Komponen dek baja ortotropik gelagar jembatan (a) Rusuk terbuka (b) Rusuk tertutup
(AISC 1963)

Mekanisme perilaku dek ortotropik


Metode konvensional analisis jembatan
mengasumsikan bahwa sistem struktur secara
keseluruhan digabungkan dengan beberapa
sub-elemen independen mendasar seperti dek,
stringer, cross girder dan struktur utama.
Pendekatan ini berdasarkan asumsi setiap
elemen beraksi secara relatif independen dan
transfer beban dari elemen tersebut ke elemen
berikutnya tanpa pertimbangan interaksi
diantara sub-elemen pada kenyataannya. Untuk
penerapannya, hal ini menunjukkan desain
konservatif dan dapat diimplementasikan
dengan metodologi desain yang sederhana.
Pada jembatan dengan dek ortotropik, pelat
lantai, rusuk, stringer dan gelagar utama,
kesemuanya terintegrasi dalam satu unit
struktur. Panel dek harus berkinerja beberapa
fungsi secara simultan, meliputi distribusi
beban roda dan beraksi pada flens atas stringer
dan gelagar utama, dek ortotropik berkinerja
seperti fungsi tersebut membuat penggunaan
material menjadi sangat efisien namun
interaksinya tidak dapat diabaikan.

Deformasi pelat dek lokal


Distribusi beban bermula dari transfer
beban roda lokal dari pelat dek ke perletakan
dinding rusuk. Respon ini dipengaruhi oleh
spasi dinding rusuk dan ketebalan relatif
(kekakuan lentur), serta pelat dek dan rusuk
(Gambar 2). Tegangan yang terjadi dari
mekanisme ini bersifat lokal, maka tegangan
ini sensitif terhadap ukuran permukaan beban
roda dan dispersi beban yang dapat terjadi
akibat lapisan aspal. Kebanyakan, sumbu
depan truk desain dengan hanya satu ban yang
dapat
memaksimumkan
respon
dari
mekanisme ini. Sistem ini penting dalam
desain terutama untuk faktor fatik dan batas
kekuatan.

Gambar 2. Aksi deformasi pelat dek lokal

24

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 33

Awal-19-04-13

Gambar 3. Deformasi panel

Deformasi panel
Analisis untuk mengetahui deformasi ini
membutuhkan pengertian perilaku distribusi
beban dua arah dari panel ortotropik ketika
dibebani di luar bidang, yang merupakan
masalah kompleks (Gambar 3). Salah satu
solusi menggunakan teori elastisitas pelat
(pelat dibebani normal terhadap bidang pelat).
Solusi ditemukan oleh persamaan Huber.
(Robert Connor et. al. 2012)
Pendekatan desain umum
Panel baja ortotropik diterapkan dengan
bermacam cara. Satu bentuk adalah dengan
sistem dek secara terpisah, desain hanya
membutuhkan pengaruh lokal yang ditinjau,
seperti bentang dek antar titik tengah tumpuan
dari struktur atas global. Bentuk kedua adalah
panel yang beraksi integral pada flens atau
badan dari pelat baja. Hal ini membutuhkan
pertimbangan pengaruh lokal dan kebutuhan
global dari struktur atas. Bentuk ketiga adalah
dek integral kaku terpasang pada tumpuan
sistem struktur atas jembatan. Untuk kasus
bentuk ketiga ini, kebutuhan panel akibat
respon global dari struktur eksisting harus
ditinjau secara hati-hati untuk mengakomodasi
interaksi yang kompleks.
Level desain
Terdapat level desain yang ditentukan
tergantung pada penerapan dan ketersediaan
data bagi desainer. Berikut adalah rangkuman
masing-masing level desain:
Level desain 1 Level desain ini
berdasarkan pada analisis struktur yang sedikit
atau tidak sama sekali, namun dengan
melakukan pemilihan desain yang diverifikasi
memiliki kecukupan tahanan berdasarkan uji
eksperimental (baru atau sebelumnya). Semua
detail harus konsisten dengan spesifikasi
AASTHO LRFD. Level 1 desain ini dapat
digunakan sebagai basis untuk desain proyek
baru tanpa harus menguji lagi dan harus
disetuji oleh pemilik.
Level desain 2 level desain ini
berdasarkan analisis detail panel tertentu yang

dapat dievaluasi dengan teknik analisis satu


dimensi (1D) atau dua dimensi (2D) yang
sederhana dengan kecukupan akurasi yang
dibutuhkan.
Perhitungan
hanya
mempertimbangkan tegangan nominal dan
tidak memperhitungkan konsentrasi lokal.
Teknik analisis ini meliputi model strip,
metode Pelikan/Esslinger, model Vierendeel,
atau metode lainnya telah terkalibrasi terhadap
data uji eksperimental. Tidak semua detail
panel ortotropik dapat didesain dengan level 2.
Level desain 3 level desain ini
berdasarkan analisis 3D dari panel untuk
mengkuantifikasi tegangan yang lebih akurat
untuk semua komponen dan sambungan.
Perhitungan mempertimbangkan konsentrasi
tegangan lokal pada kombinasi beban. Hal ini
membutuhkan sub-model panel dalam model
global sistem struktur atas jembatan.
Prosedur desain berdasarkan AASTHO
LRFD
Desain panel ortotropik meliputi
kekuatan, layan, fatigue, dan konstruksi.
Semua keadaan batas tersebut perlu ditinjau
untuk desain lengkap, namun keadaan batas
fatigue yang akan mengontrol mayoritas detail
desain.
Keadaan batas ultimit (ULS)
Keadaan batas kekuatan menahan
beban-dukung ditentukan oleh geometri dan
sifat material. Dengan demikian, kuat leleh
dan/atau sifat geometris, seperti kehilangan
stabilitas, harus ditinjau dalam desain panel
ortotropik. Geometri global dan atau lokal
dapat mengatur pertimbangan stabilitas.
Pengujian telah menunjukkan bahwa
panel dek baja ortotropik dapat memiliki
kekuatan cadangan yang luar biasa untuk
beban lateral di luar kuat leleh, karena
membran kaku. Cadangan ini tergantung pada
kondisi perletakan. Pendekatan untuk desain
kekuatan konservatif harus membatasi
tegangan terhadap kuat leleh minimum yang
ditentukan atau tegangan tekuk kritis.

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto)

25

Awal-19-04-13
Desain
kekuatan
harus
mempertimbangkan tuntutan berikut: lentur
dan geser rusuk, lentur dan geser stringer, dan
tekanan aksial. Rusuk, termasuk bagian efektif
dari pelat dek, harus dievaluasi untuk kekuatan
lentur dan geser untuk bentang antar stringer.
Stringer, termasuk bagian efektif dari pelat
dek, harus dievaluasi untuk kekuatan lentur
dan geser untuk bentang antara girder utama
atau badan. pengurangan penampang stringer
karena pemotongan rusuk harus ditinjau
dengan memeriksa lentur dan geser di bagian
badan dihilangkan. Ketika panel adalah bagian
dari flange gelagar utama, panel harus
dievaluasi untuk kuat tekan dalam bidang (inplane) berdasarkan pertimbangan stabilitas.
Pada kebanyakan kasus desain pelat
ortotropik, keadaan batas kekuatan meliputi
beban hidup dan beban mati sebagai beban
utama dalam kombinasi beban. Dalam
AASHTO LRFD, ini adalah keadaan batas
Kekuatan I dan II dan harus memenuhi untuk
tekuk dan leleh. Kombinasi beban Kekuatan I
diterapkan dalam hubungannya dengan model
beban hidup HL-93 mewakili lalu-lintas acak,
sedangkan kombinasi beban Kekuatan II
diterapkan dengan beban ijin yang ditentukan
pemilik (misalnya, model beban izin Caltrans
P-15). Seringkali, spesifikasi desain jembatan
akan mencakup keadaan batas Kekuatan untuk
situasi khusus.
Keadaan batas layan (SLS)
Service Limit States (SLS) ada untuk
menyediakan pemeriksaan guna pemeliharaan
selama masa layan jembatan. SLS juga harus
ditinjau sebagai sarana untuk meminimalkan
biaya pemeliharaan dan gangguan lalu-lintas
untuk perbaikan. Selain itu, SLS ini dapat
mencakup batas deformasi elastis dan plastis
dan bentuk lain dari deteriorasi penurunan
layan, seperti debonding atau retak pada
permukaan yang mengenakan dek baja
ortotropik.
Pada SLS berlaku faktor beban sama
dengan 1,0 untuk setiap komponen beban
signifikan. Dalam AASHTO LRFD, ini adalah
SLS I. Untuk dek baja ortotropik, SLS I harus
memenuhi semua batas lendutan: pelat lantai
(bentang/300) dan rusuk (bentang /1000) dan
lendutan relatif rusuk yang berdekatan (2 mm).
Batas-batas lendutan dimaksudkan untuk
mencegah kerusakan dini dari permukaan yang
digunakan.

26

SLS II berlaku untuk desain sambungan


baut terhadap gelincir pada kondisi beban
berlebih. Hal ini harus ditinjau untuk desain
rusuk dan sambungan stringer. SLS III dan IV
adalah untuk tegangan tarik pada penampang
beton prategang di bawah beban hidup
kendaraan, dan tegangan tarik pada bangunan
atas beton prategang di bawah beban angin.
Dengan demikian, tak satu pun dari SLS ini
berlaku untuk dek baja ortotropik.
Fatigue
Dua jenis desain yang mungkin dalam
konteks Spesifikasi AASHTO LRFD untuk
kelelahan: desain Fatigue I untuk infinite-life
dan Fatigue II untuk finite-life. Dek baja
ortotropik diatur oleh beban roda, mereka
mengalami jutaan siklus berulang dari beban
roda sehingga dibutuhkan desain Fatigue I.
Sebagai perbandingan, kode lain mengakui
konsep prediksi masa fatigue lain selain
konsep infinite-life dalam AASHTO LRFD.
Misalnya, Eurocode (ECS 1992) menentukan
kurva resistensi kelelahan dengan kemiringan
hanya menurun di bawah beberapa nilai
ambang batas jangkauan tegangan, bukan
ambang batas horisontal AASHTO (batas
amplitudo konstan kelelahan) untuk variabel
pembebanan amplitudo. Spesifikasi lainnya
menggunakan konsep infinite-life untuk
amplitudo kelelahan konstan, sementara
mengandalkan kurva fatigue life bi-linear
untuk kurva amplitudo variabel untuk estimasi
masa tertentu. Fatigue II finite-life dapat lebih
hemat biaya proporsi ketika volume lalu-lintas
tidak terlalu tinggi.
Konstruksi
Kekuatan dan stabilitas panel ortotropik
dan integritas permukaan yang digunakan
harus dipertahankan selama semua tahap
konstruksi,
termasuk
penanganan,
penyimpanan, pengiriman, dan
ereksi.
Seringnya, panel ortotropik dikirimkan oleh
kapal laut, yang dapat mempengaruhi skenario
pembebanan pada panel. Ada laporan dari
kegagalan penggunaan permukaan akibat
tegangan yang terjadi selama ereksi pra-panel
berlapis.

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 33

Awal-19-04-13
HIPOTESIS
Komponen diafragma pada dek baja
ortotropik dengan bentuk coak (cut-out) akan
memberikan tegangan yang lebih kecil dan
tidak terkonsentrasi secara lokal dibandingkan
dengan difragma menerus pada dek baja
ortotropik jembatan.
METODOLOGI
Kasus
jembatan
adalah
struktur
jembatan standar Calender Hamilton dengan
tipe struktur dengan dua perletakan sederhana
tanpa skew. Jembatan terdiri dari dua bentang
dengan 2 x 50 m dengan perletakan sederhana.
Sistem lantai menggunakan pelat baja
ortotropik arah melintang. Lebar jembatan
adalah 2 x 0,7 m (pejalan kaki) + 7,6 m (lebar
lalu-lintas). Lapisan permukaan adalah aspal
dengan ketebalan 50 mm.
Struktur dek ortotropik
Lantai ortotropik jembatan memiliki
konfigurasi melintang dengan dimensi model
ortotropik 2,4 m x 2,4 m. Hubungan antar
ortotropik menggunakan sambungan las. Dua
kasus detailing yang diteliti dapat dilihat pada
Gambar 4 untuk diafragma menerus dan
Gambar 5 untuk diafragma coak.

Kriteria dan beban desain


Kriteria desain
Faktor tahanan berdasarkan peraturan
Departemen PU: BMS (1992) dan AISC LRFD
(2005) dan dibandingkan dengan hasil analisis
elemen hingga, disajikan di sini. Faktor
tahanan diberikan dalam kode untuk member
yang mengalami lentur dan tarik didasarkan
pada tegangan leleh 0,95 (0,95Fy). Untuk
elemen yang mengalami tekan, tegangan
terbatas pada 0,90Fy ketika tekuk tidak
ditinjau. Lendutan akibat beban hidup untuk
SLS dibatasi hingga 1/300 bentang.
Model elemen hingga
Model elemen hingga untuk struktur dek
ortotropik jembatan, yang mencakup dua panel
ortotropik yang menumpu pada stringer seperti
yang diilustrasikan pada Gambar 6 untuk kasus
beban A dan B, menyajikan kondisi batas,
pilihan analisis dan pertimbangan beban untuk
menentukan respon struktural dek ortotropik
jembatan. Dimensi cetak ban, orientasi, jarak,
dan beban untuk dua truk desain yang
diterapkan pada model elemen hingga
dirangkum dalam Tabel 1.
Gambar 7 merupakan meshing hingga
ukuran halus dalam pemodelan metode elemen
hingga. Selain itu, diasumsikan pula stringer
ini terjepit pada ujung-ujung profil stringer
serta jepit pada sambungan antar panel
ortotropik.

Gambar 4. Penampang pelat ortotropik dengan diafragma menerus

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto)

27

Awal-19-04-13

Gambar 5. Penampang pelat ortotropik dengan diafragma coak

Gambar 6. Pemodelan metode elemen hingga

Gambar 7. Meshing model metode elemen hingga


Tabel 1. Deskripsi model struktur dek ortotropik jembatan
Beban
Spesifikasi beban truk T
-

28

Beban sumbu 112,5 kN


Faktor beban hidup = 1,8
Faktor kejut, IF = 0.3

Material dan properties model


Baja (Solid Element SOLID45)
Linier isotropik properties
E = 200.000 MPa; v = 0.3; = 7850 kg/m3
Fy = 460 MPa; Fu = 550 MPa (SM-490)

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 33

Awal-19-04-13

Gambar 8. Pembebanan truk T (500 kN)

Beban desain untuk struktur dek ortotropik


Beban hidup desain digunakan untuk
evaluasi struktur dek jembatan ortotropik
berdasarkan beban truk T yang ditentukan
dalam BMS.
Gambar 8 mengilustrasikan beban roda,
beban gandar, jarak roda, jarak sumbu roda
dan ukuran cetak ban untuk truk T 500 kN.
Faktor beban hidup dan beban dinamis yang
diizinkan, diterapkan pada beban hidup

tertentu untuk mengevaluasi respon struktur


dari dek jembatan ortotropik pada keadaan
batas ultimit, layan, dan fatigue sesuai dengan
peraturan BMS. Faktor beban dan beban
dinamis yang diizinkan diberikan dalam
Peraturan BMS. Faktor beban dirangkum
dalam Tabel 2 kenaikan beban dinamis yang
diizinkan untuk struktur dek adalah 0,30 untuk
keadaan batas ultimit dan servis serta untuk
keadaan batas fatigue.

Tabel 2. Faktor beban BMS


Kondisi batas

Kondisi batas

Kondisi batas

Faktor Beban

Ultimit

Layan

Fatigue

Beban Mati

1.3*

N/A

Beban Hidup
1.8
1
1
Catatan : (*) faktor beban mati = 1,10 untuk komponen baja, 2,00 untuk lapis
permukaan, dan 1,20 untuk kayu dan komponen non-struktural.

Gambar 9. Kasus beban truk ditengah rusuk

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto)

29

Awal-19-04-13

Gambar 10. Kasus beban truk antar rusuk

HASIL DAN ANALISIS

Untuk menentukan respon struktur pelat


dek ortotropik jembatan, satu buah truk yang
telah didesain diposisikan untuk menghasilkan
efek beban maksimum. Gambar 9 dan Gambar
10 mengilustrasikan dua kasus beban dengan
mempertimbangkan ukuran cetak ban, lokasi
dan orientasi. Dalam kasus beban A, truk T
dua sumbu diposisikan menerus pada posisi
ditengah rusuk pada dek. Dalam kasus beban
B, truk T dua sumbu diposisikan menerus
pada posisi diantara rusuk pada dek diletakkan
didek jembatan untuk menghasilkan momen
global maksimum. Adapun evaluasi dek
ortotropik meliputi beberapa kasus:
1. Analisis struktur desain dek ortotropik
dengan diafragma menerus.
2. Analisis struktur desain dek ortotropik
dengan diafragma coak.

Hasil analisis elemen hingga diberikan


pada Tabel 3 dan Tabel 4 berupa ringkasan
lendutan dan tegangan pada pelat lantai
jembatan untuk SLS dan ULS untuk masingmasing kasus analisis. Perlu dicatat bahwa
tegangan dalam Tabel 3 dan Tabel 4 adalah
tegangan puncak maksimum dari model
elemen hingga dan belum merata di atas
permukaan elemen. Lendutan dan tegangan
untuk kasus beban 1 dan 2 ditentukan
berdasarkan pada model elemen hingga yang
diberikan pada Gambar 6 dari struktur lantai
jembatan termasuk dua dan tiga buah stringer
dengan truk diposisikan untuk menghasilkan
momen global maksimum.

Tabel 3. Rangkuman lendutan dan tegangan pada dek ortotropik kasus 1


Parameter

Kasus beban
Tengah
Antar
rusuk
rusuk

Kriteria desain

Lendutan, mm
Deformasi total
Deformasi direksional

1.6
-0.18

1.6
-0.12

L/300
L/300

16.67
16.67

Tegangan ekivalen

325

328

0.9Fy

414.0

Tegangan utama maksimum

309

326

0.9Fy

414.0

Tegangan utama tengah

-131

-174

0.9Fy

414.0

Tegangan utama minimum

-281

-381

0.9Fy

414.0

Intensitas tegangan

342

376

0.9Fy

414.0

Tegangan normal

309

380

0.9Fy

414.0

Tegangan geser maksimum

171

188

0.58Fy

266.8

Tegangan geser

55

76

0.58Fy

266.8

Tegangan maksimum, MPa

Tegangan Geser, MPa

30

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 33

Awal-19-04-13
Tabel 4. Rangkuman lendutan dan tegangan pada dek ortotropik kasus 2
Parameter

Kasus beban
Tengah
Antar
rusuk
rusuk

Kriteria desain

Lendutan, mm
Deformasi total

1.4

1.3

L/300

16.67

Deformasi direksional

-1.4

-1.3

L/300

16.67

Tegangan ekivalen

142

147

0.9Fy

414.0

Tegangan utama maksimum

130

104

0.9Fy

414.0

Tegangan maksimum, MPa

Tegangan utama tengah

-84

-79

0.9Fy

414.0

Tegangan utama minimum

-144

-134

0.9Fy

414.0

Intensitas tegangan

163

169

0.9Fy

414.0

Tegangan normal
Tegangan Geser, MPa

127

-112

0.9Fy

414.0

Tegangan geser maksimum

81

85

0.58Fy

266.8

Tegangan geser

64

-63

0.58Fy

266.8

Gambar 11. Tegangan ekivalen pada pemodelan struktur kasus 1 kombinasi 2 ULS sebesar 328 MPa

Gambar 12. Tegangan ekivalen pada pemodelan struktur kasus 2 kombinasi 2 ULS sebesar 142 MPa

Gambar 13. Konsentrasi tegangan Von Mises pada rusuk dan diafragma akibat truk kasus

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto)

31

Awal-19-04-13
PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN

Lendutan vertikal, tegangan normal utama,


tegangan Von Mises dan tegangan antarmuka
geser diplot pada Gambar 11 dan Gambar 12
untuk kasus beban 1 dan 2, dimana nilai-nilai
maksimum dan lokasinya diketahui. Gambar 11
dan Gambar 12 menunjukkan tegangan Von
Mises dari analisis elemen hingga pada pelat
dek atas dan rusuk ortotropik prefabrikasi
maksimum memanjang
dan melintang jembatan. Untuk ban diposisikan
berdekatan dengan badan dari sudut
memanjang dan melintang, tegangan normal
dan Von Mises cenderung sangat terpusat pada
pelat diatas badan dan menghilang dengan
cepat. Untuk semua kasus beban tegangan
memenuhi kriteria tahanan faktor dan tidak
melebihi 0,9Fy. Kecuali untuk kasus 1, terjadi
konsentrasi tegangan pada bagian antarmuka
rusuk dan diafragma seperti Gambar 13. Geser
antarmuka maksimum antara dek ortotropik
baja dalam arah longitudinal dan transversal
diilustrasikan dalam Gambar 11 dan Gambar
12 untuk masing-masing kasus beban 1 dan 2.
Kriteria tahanan faktor mensyaratkan tegangan
geser harus kurang dari 0,58Fy. Gambar 11 dan
Gambar 12 menggambarkan tegangan normal
dalam arah longitudinal untuk kedua bagian
atas dan bawah flens dari balok utama
pendukung. Tegangan tarik dan tekan rata-rata
di seluruh lebar flens bawah dalam arah
longitudinal panel ortotropik untuk kasus 1 dan
kombinasi ULS memenuhi kriteria tahanan
terfaktor.
Tegangan tarik dan tekan pada panel
ortotropik yang terjadi untuk kombinasi beban
ULS ditengah rusuk dan antar rusuk, terlihat
bahwa tegangan tegangan ekivalen, tegangan
utama maksimum, intensitas tegangan dan
tegangan normal karena konsentrasi tegangan
pada antarmuka rusuk dan diafragma panel
ortotropik memenuhi kriteria batasan tegangan
izin 0,9Fy. Begitu juga untuk tegangan geser
maksimum menenuhi kriteria batasan tegangan
izin 0,58Fy. Tegangan ekivalen Von Mises yang
terjadi untuk diafragma menerus sebesar 328
MPa, sedangkan diafragma coak sebesar 142
MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von
Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan
nilainya dengan penggunaan tipe diafragma
coak.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis struktur lantai
baja ortotropik dengan metode elemen hingga,
dapat disimpulkan bahwa:
1. Lendutan ortotropik desain memenuhi
kriteria batas layan dimana lendutan yang
terjadi lebih kecil dari kriteria L/300.
2. Tegangan tarik dan tekan pada panel
ortotropik yang terjadi untuk kombinasi
beban ultimit/ULS ditengah rusuk dan antar
rusuk, terlihat bahwa tegangan tegangan
ekivalen, tegangan utama maksimum,
intensitas tegangan dan tegangan normal
karena
konsentrasi
tegangan
pada
antarmuka rusuk dan diafragma panel
ortotropik memenuhi kriteria batasan
tegangan izin 0,9Fy. Begitu juga untuk
tegangan geser maksimum menenuhi
kriteria batasan tegangan izin 0,58Fy.
Tegangan ekivalen Von Mises yang terjadi
untuk diafragma menerus sebesar 328 MPa,
sedangkan diafragma coak sebesar 142
MPa. Sehingga perbandingan tegangan Von
Mises ini sebesar 2,31 dapat diturunkan
nilainya dengan penggunaan tipe diafragma
coak.
3. Bentuk diafragma dengan tipe menerus akan
menyebabkan
konsentrasi
tegangan.
Sedangkan bentuk diafragma bentuk coak
dengan kelengkungan
tertentu akan
mengurangi konsentrasi tegangan lokal pada
diafragma.

32

Saran
1. Detailing konfigurasi komponen rusuk
pengaku harus lebih diperhatikan untuk
mencegah terjadinya konsentrasi tegangan
lokal, seperti menggunakan diafragma
dengan tipe coak, dengan mutu yang sesuai
dibutuhkan.
2. Perlu studi lanjutan tentang pengaruh
fatigue pada dek ortotropik dan studi
tentang komponen sambungan las maupun
baut yang digunakan.

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 22 33

Awal-19-04-13
DAFTAR PUSTAKA
American Association of State Highway and
Transportation Officials. 2010. AASHTO
LRFD Bridge Design Specifications, 5th Ed.
Washington D.C.: AASHTO.
American Institute of Steel Construction. 1963.
Design Manual for Orthotropic Steel Plate
Deck Bridges. Chicago: AISC.
American Institute of Steel Construction. 2005.
Specification for Structural Steel Buildings,
American Institute of Steel Construction.
Chicago: AISC.
California Departement of Transportation. 2004.
Bridge Design Specification. Sacramento:
Caltrans.
Choi, D. 2008. Orthotropic steel deck bridge in
Korea. Proceedings of 2008 orthotropic
bridge Conference. Korea: ASCE
Connor, R. et al. 2012. Manual for Design,
Construction,
and
Maintenance
of
Orthotropic Steel Deck Bridges. FHWA-LF12-027. Washington, D.C.: US Department
Of
Transportation
Federal
Highway
Administration
Departemen Pekerjaan Umum. Direktorat Jenderal
Bina Marga. 1992. Bridge Design Code
(BMS). Jakarta:
Departemen Pekerjaan
Umum.

European Committee for Standardization. 1992.


Eurocode 3 Design of Steel Structures.
Brussel: ECS
Hoorpah, W. 2004. Orthotropic Decks for Small
and Medium Span Bridges in France
Evolution and Recent Trends. Proc. of 2004
Orthotropic Bridge Conference. Sacramento:
ASCE, 25-27.
Huang, C., Mangus, A. 2008. Redecking Existing
Bridges with Orthotropic Steel Deck Panels.
Proc. of 2008 Orthotropic Bridge
Conference.. Sacramento: ASCE, 25-27.
Huang, C., Mangus, A., Murphy, J., Socha, M.J.
2008. Twenty Four Icons of Orthotropic
Steel Deck Bridge Engineering, ICONS
Project An International Discussion;
Professional Engineers
in
California
Government.
California:
Professional
Engineers.
Korniyiv, M. 2004. Orthotropic Deck Bridges in
Ukraine. Proc. of 2004 Orthotropic Bridge
Conference. Sacramento: ASCE, 25-27.
Troitsky, M.S. 1987. Orthotropic Bridges Theory
and Design. 2nd Ed. Cleveland: The James
F. Lincoln Arc Welding Foundation.

Analisis Elemen Hingga Komponen Diafragma pada Dek Baja Tipe Ortotropik Melintang Jembatan, (Anton Surviyanto)

33

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

PENGARUH BEBAN-IMPAK KAPAL TERHADAP


BANGUNAN PENGAMAN PILAR JEMBATAN FENDER
(IMPACT LOAD EFFECT OF BARGE TO BRIDGE PIER FENDER)
N. Retno Setiati1), Bagus Aditya W2)
1), 2)
1), 2)

Puslitbang Jalan dan Jembatan

Jalan A.H. Nasution No. 264 Ujungberung, Bandung


1)
e-mail: retno.setiati@pusjatan.pu.go.id
2)
e-mail: bagus.aditya@pusjatan.pu.go.id
Diterima: 07 Januari 2013; disetujui: 01 April 2013

ABSTRAK
Tumbukan kapal terhadap jembatan sering terjadi dan dapat mengakibatkan kerusakan maupun keruntuhan
struktur jembatan. Runtuhnya jembatan dapat berakibat pada kerugian baik dari segi nilai ekonomis ataupun
korban jiwa. Untuk mengurangi resiko terjadinya kerusakan tersebut diatas, perlu dirancang bangunan
pengaman pilar jembatan terhadap lalu-lintas kapal. Sistem pelindung jembatan harus didesain tidak hanya
melindungi struktur jembatan tetapi juga digunakan untuk melindungi kapal dan lingkungan yang dapat
mengakibatkan kerusakan. Penulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi beberapa ketentuan dalam kriteria
desain terkait fender sesuai dengan kondisi dan lokasi jembatan tersebut. Sistem pengamanan jembatan di
lokasi sungai berbeda dengan sistem pengamanan di laut. Dalam penulisan ini dibahas contoh studi kasus
bangunan pengaman pada Jembatan Kutai Kartanegara yang berupa pile supported system. Analisis dilakukan
dari evaluasi lalu-lintas air dan analisis terhadap struktur bangunan. Metodologi yang digunakan terdiri dari
menentukan karakteristik lalu-lintas sungai Mahakam, jalur pelayaran, kecepatan impak rencana, energi impak
tongkang, dan analisis struktur dari bangunan pengamanan Jembatan Kutai Kartanegara. Dari analisis
diperoleh bahwa dengan beban impak sebesar 682,59 kN akibat tongkang tipe 300 feet menghasilkan defleksi
(pergerakan) maksimum pada fender sebesar 0,12 meter artinya bahwa fender yang tertumbuk tongkang tidak
diperkenankan menyebabkan terjadinya defleksi lebih dari 12%.
Kata kunci: tongkang, bangunan pengaman, pilar, impak, perpindahan, panjang keseluruhan kapal, bobot
mati kapal
ABSTRACT
Lately frequent boat collision on bridges resulted in the collapse of the bridge structure. The collapse of the
bridge can result in a loss of economic value or loss of life. To reduce the risk of damage a fender should be
designed to protect pier of the bridge against boat traffic. The bridge protection system must be designed to
protect the bridge structure and also to protect the ship and the environment that can cause severe damage.
This paper aims to identify some of the provisions of the relevant design criteria in accordance with the
conditions and fender bridge location. Protective systems in river bridge location are different from the
protective system in the sea. In this paper a case study is discussed on river pier protections of Kutai
Kartanegara Bridge pile supported system. Analysis of the evaluation of the traffic is included the analysis of
the structure of the pier. The methodology used consists of determining the characteristics of the Mahakam River
traffic, cruise lines, high-impact plans, energy collision ship (barge), to the analysis of the structure of the pier
protection of Kutai Kartanegara Bridge. From the analysis is found that the impact load of 682.59 kN due to the
vessel (barge) type 300 feet produce a deflection (movement) on the fender of a maximum 0.12 meters, that
means that if the fender is crushed by barge, deflection of the fender shall not be more than 12%.
Keywords: barge, fender, pier, impact, deflection, Length Over All (LOA), Dead Weight Tonnage (DWT)

34

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

PENDAHULUAN
Jembatan merupakan salah satu wujud
terpenting dari sarana pelayanan publik dalam
bentuk barang yang dipergunakan sebagai
fasilitas umum. Keberadaan jembatan menjadi
sangat penting, karena tercermin hubungan
antar wilayah yang melancarkan akses
ekonomi, sosial, dan budaya. Eksistensi sebuah
jembatan mencerminkan sebuah komitmen
penguasa mengenai perlindungan/jaminan
keamanan yang diberikan kepada pengguna
jembatan terhadap bahaya alam, terutama
sungai besar. Maka, di balik ambruknya sebuah
jembatan, sebenarnya tak hanya semata-mata
runtuhnya sebuah bangunan fasilitas umum atau
suatu konstruksi, namun juga terputusnya akses
ekonomi, sosial, dan budaya, serta gagalnya
perlindungan negara terhadap rakyat yang
menggunakan jembatan tersebut. (Riawan, W
2011)
Pada era modern sungai masih memiliki
peran penting dalam masyarakat. Transportasi
sungai
yang
semakin
berkembang
meningkatkan daya angkut dan kapasitas kapal.
Dengan semakin ramai angkutan sungai juga
mengakibatkan sering terjadinya tumbukan
antara kapal dengan jembatan terutama pada
bagian pilar dan gelagar. Semakin tinggi
kemampuan angkut suatu perahu maka
meningkat pula tingkat kerusakan yang terjadi
pada suatu jembatan. Terdapat banyak
tumbukan kapal terhadap pilar jembatan yang
mengakibatkan terjadinya kegagalan pada
struktur jembatan. Runtuhnya pilar jembatan
dapat berakibat pada kerugian baik dari segi
nilai ekonomis ataupun korban jiwa.

sumber: Wikimedia Foundation, Inc., 2007

Gambar 1. Jembatan Jiujiang China ditabrak


kapal bermuatan pasir

Gambar 1 memperlihatkan runtuhnya


Jembatan Jiujiang China yang ditabrak kapal

bermuatan batubara. Peristiwa serupa terjadi


pada Jembatan Ampera. Jembatan Ampera
yang menghubungkan Palembang Ulu dan
Palembang
Ilir
saat
ini
kondisinya
memprihatinkan. karena sudah belasan kali
jembatan tersebut ditabrak oleh kapal tongkang
pengangkut batu bara. Jembatan ini juga pernah
terpanggang kobaran api yang melahap
bangunan liar di bawahnya pada Oktober 2010.
Sebagai langkah pencegahan saat ini pada tiang
utama Jembatan Ampera dipasang pelindung
dari benturan kapal besar. (Riawan, W 2011)
Untuk mengurangi resiko terjadinya
kerusakan tersebut di atas, maka perlu dikaji
dan dirancang bangunan pengaman pilar
jembatan (fender) yang sesuai dengan kondisi
dan lokasi jembatan tersebut.
KAJIAN PUSTAKA
Runtuhnya suatu jembatan tidak hanya
diakibatkan bahaya alam (bencana) atau
penurunan kapasitas, akan tetapi dapat juga
diakibatkan tertabrak kapal/tongkang yang
melintas di bawahnya sehingga menimbulkan
kerusakan pada pilar maupun gelagar. Sebagai
salah satu contoh, berikut kronologis
tertabraknya Jembatan Ampera oleh kapal yang
berlayar di bawah melintasi jembatan
(Wordpress Org 2008):
1. Bulan Februari 1996, tertabrak tongkang.
Akibatnya selubung beton Pier 3 (tower
arah Palembang) rusak. Kerusakan tersebut
telah diperbaiki pihak perusahaan Angkutan
Batubara (PT. Grasindo Marine).
2. Pada tanggal 9 Februari 2000, pilar 4
tergores 1,5 m dengan lebar 25 cm dan
kedalaman 3 cm (tower arah Plaju) tertabrak
tongkang
Metriko
XVI
berbendera
Singapura yang mengangkut muatan 5.500
ton.
3. Pada tanggal 14 Desember 2001, kapal
tongkang
bermuatan
pasir
kembali
menghantam Jembatan Ampera.
4. Pada tanggal 11 April 2005, kapal tongkang
AP 3008 berukuran 90 x 18 m, bermuatan
7.400 ton batubara menabrak tiang Jembatan
Ampera. Tongkang tersangkut di antara dua
tiang jembatan.
5. Pada tanggal 18 Maret 2007, tongkang
bermuatan menabrak Jembatan Ampera.
6. Pada tanggal 12 November 2007, pukul
19.00 WIB, fender arah hilir yang sedang
dibangun tertabrak Tug Boat Marina XI

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.)

35

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

sehingga megakibatkan tiang baja bagian


depan roboh dan bracing patah.
7. Pada tanggal 23 November 2007 pukul
08.00 WIB, fender arah hulu tertabrak Tug
Boat Surya Wira dan Teratai yang
mengakibatkan tiang baja dan bracing patah.
8. Pada tanggal 4 Januari 2008, pukul 11.30
WIB, fender arah hulu ditabrak Tug Boat
Surya Wira dan Teratai mengakibatkan tiang
dan bracing penyok.
9. Pada tanggal 13 Januari 2008, pukul 08.00
WIB, fender arah hilir ditabrak Tug Boat
Mawar dan Equator mengakibatkan tiang 1
dan 3 serta bracing patah.
10. Pada tanggal 30 Januari 2008, pukul 08.30
WIB, fender arah hulu ditabrak Tug Boat
King Fisher dan Teratai mengakibatkan
tiang dan bracing patah.
11. Pada tanggal 1 Februari 2008, pukul 17.45
WIB, fender arah hilir ditabrak Tug Boat
United dan Teratai mengakibatkan tiang dan
bracing roboh dan patah.
Kasus lain terjadi pada Jembatan Jiujiang
China dengan kerusakan akibat tertabrak
tongkang batu bara pada tanggal 15 Juni 2007.
Jembatan Jiujiang didukung oleh beberapa pier
tambahan pada setiap jarak 50 meter. Setelah
pier pertama ditabrak tongkang, bagian dari
jembatan dengan bentang 100 meter juga
ambruk, menyebabkan dua pier di sebelahnya
secara beruntun runtuh, sehingga akhirnya
menyebabkan 100 meter panjang bentang
jembatan lainnya ikut runtuh. (Wikimedia
Foundation, Inc. 2007)
Pembangunan
struktur
fender
dimaksudkan
untuk
menjaga
agar
kapal/tongkang yang melintas di bawah
jembatan tidak menumbuk secara langsung
pilar jembatan yang berakibat kerusakan pada
struktur jembatan tersebut. Menurut Supartono
(Hidayatullah 2008), konsep perencanaan
sangat didukung oleh beberapa faktor yaitu
bathimetri (kedalaman dasar sungai), kecepatan
arus sungai, penyelidikan tanah, konsep dan
kriteria perencanaan, modelisasi struktur,
analisis struktur, desain struktur fender, dan
gambar
rencana
struktur.
Perencanaan
dilakukan berdasarkan suatu metode energi
dimana energi kinetik dari kapal/tongkang yang
menumbuk akan diserap sebagian oleh fender.

36

Prinsip perencanaan fender


Perencanaan fender berdasarkan dua
prinsip sebagai berikut (RSNI T-02-2005,
Pembebanan untuk Jembatan):
1. struktur fender sebagai peredam energi
impak kapal/tongkang sampai ke tingkat
kekuatan ijin pilar jembatan;
2. struktur fender sebagai pelindung pilar
jembatan
terhadap
energi
impak
kapal/tongkang.
Energi impak kapal dihitung berdasarkan
perumusan gaya akselerasi (F=ma) yaitu:

KE = F ( x)dx ... (1)

KE =

C H x0,5W (V ) 2
. (2)
g

Keterangan:
KE = energi kinetik kapal/tongkang desain
(tm)
F(x) = gaya pelindung struktur F(t) sebagai
fungsi lendutan x(m)
CH = koefisien hidrodinamis masa air yang
bergerak bersama kapal,
yang
merupakan interpolasi dari:
a. 1,05 untuk jarak bebas dasar
kapal/tongkang ke dasar perairan
0,5 x DL
b. 1,25 untuk jarak bebas dasar
kapal/tongkang ke dasar perairan
0,1 x DL
DL = draft kedalaman kapal pada beban
penuh (m)
W
= tonase perpindahan kapal (t), berat
total kapal pada beban penuh
V
= kecepatan impak kapal (m/s)
g
= gravitasi (= 9,8m/s2)
Impak kapal/tongkang diperhitungkan
ekuivalen dengan gaya impak statis pada obyek
yang kaku dengan rumus berikut :

PS = ( DWT )1 / 2 (12,5 xV ) ... (3)


Keterangan:
= gaya impak kapal/tongkang sebagai
PS
gaya statis ekuivalen (t)
DWT = tonase berat mati muatan
kapal/tongkang (t) = berat kargo,
bahan bakar, dan persediaan air
V
= kecepatan impak kapal (m/s)

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Dalam keadaan khusus diperlukan


analisis dinamis untuk menentukan energi dan
gaya impak kapal.
Pengertian Dead
Weight
Tonnage
(DWT) secara khusus adalah suatu unit
kapasitas kapal untuk kargo, bahan bakar,
barang dan awak kapal, yang diukur dalam
satuan ton yang setara dengan 1.000 kg. Berat
mati (DWT) kapal adalah total berat yang dapat
dibawa oleh kapal saat proses pemuatan barang.
Klasifikasi kapal desain
Tipe dan karakteristik kapal yang
digunakan dalam dunia transportasi air dibagi
dalam dua kategori, yaitu kapal laut yang
umum digunakan pada lalu-lintas laut dan
tongkang yang digunakan pada lalu-lintas
sungai. Klasifikasi kapal dan tongkang dapat
dilihat pada Tabel 1.
Klasifikasi sistem fender
Sehubungan dengan faktor risiko
dalam penentuan kapal/tongkang desain untuk
perencanaan beban impak pada pilar. Berbagai
tipe, bahan dan fungsi fender secara mendasar
dijelaskan pada RSNI T-02-2005 (Indonesia,

2005) bahwa fender kayu, terdiri dari elemen


vertikal dan horisontal dalam kerangka yang
dipasang bersatu dengan pilar atau secara
terpisah. Energi impak diredam oleh deformasi
elastis dan kerusakan elemen kayu. Fender
kayu digunakan untuk melindungi pilar
terhadap gaya impak dari kapal kecil.
1. Fender karet, dibuat komersial dalam bentuk
aneka ragam. Energi impak diredam oleh
deformasi elastis dari elemen karet dalam
kombinasi tekanan, lenturan dan geser.
2. Fender beton, terdiri dari struktur boks
berongga dan berdinding tipis yang dipasang
pada pilar. Permukaan luar fender beton
dapat dilindungi oleh fender kayu. Energi
impak diredam oleh tekuk dan kerusakan
dinding fender beton.
3. Fender baja, terdiri dari membran
berdinding tipis dan elemen pengaku dalam
kerangka boks pada pilar jembatan. Energi
impak diredam oleh tekanan, lentur dan
tekuk dari elemen baja dalam fender.
Permukaan luar fender baja dapat dilindungi
oleh fender kayu.

Tabel 1. Jenis, dimensi, dan tonase kapal

(Sumber: AASHTO 2010 dan Wikipedia.org 2008)

Sistem penyangga tiang pancang (pile


supported system)
Sistem yang didukung oleh tiang, dapat
digunakan untuk meredam beban impak.

Kelompok tiang yang dihubungkan oleh cap


yang kaku adalah suatu struktur pelindung
dengan tahanan tinggi terhadap gaya impak
kapal.
Tiang individual dan tiang yang

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.)

37

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

dihubungkan oleh cap yang fleksibel dapat


digunakan juga sebagai pelindung pilar.
Kelompok tiang dapat terdiri dari tiang vertikal
yang menahan energi dengan lenturan, atau
tiang miring yang menahan energi dengan
tekanan dan lenturan. Deformasi plastis dan
kerusakan tiang diijinkan dengan syarat kapal
terhenti sebelum menabrak pilar, atau impak
diredam sampai tingkat kekuatan pilar dan
pondasi. Struktur tiang pelindung dapat dibuat
secara berdiri sendiri, atau dipasang pada pilar.
Tiang kayu, baja, atau beton dapat digunakan
sesuai kondisi lapangan, beban impak dan
pertimbangan ekonomis.
Dolphin (Hemming 1981)
Dolphin merupakan struktur sel sirkular
dari turap baja yang dipancang, dan diisi beton
serta ditutup dengan cap beton. Dolphin dapat
dibuat dari komponen beton pracetak, atau dipracetak secara keseluruhan di luar lapangan
dan kemudian dibawa mengapung ke lokasi.
Tiang pancang kadang-kadang digabung dalam
desain sel. Prosedur perencanaan dolphin
berdasarkan perubahan energi yang terjadi
selama pembebanan impak rencana. Hubungan
dan korelasi energi-simpangan dikembangkan
untuk mekanisme peredaman berikut:
1. Kerusakan bagian depan kapal.
2. Terangkatnya bagian depan kapal.
3. Gesekan antara kapal dan dolphin.
4. Gesekan antara kapal dan dasar sungai.
5. Geseran dolphin.
6. Rotasi dolphin.
7. deformasi dolphin dibatasi kurang dari
diameter sel serta deformasi plastis dan
runtuh parsial diperbolehkan terjadi pada
sel.

Pulau buatan
Fender pulau sekeliling pilar jembatan
adalah proteksi sangat efektif terhadap impak
kapal. Pulau terdiri dari pasir atau batuan
dengan permukaan luar dari batuan pelindung
berat untuk menahan gelombang dan arus.
Geometri pulau sesuai dengan kriteria berikut:
1. Impak kapal diredam melalui pulau sampai
ke tingkat kapasitas lateral pilar dan
pondasi pilar;
2. Dimensi pulau sedemikian rupa agar
penetrasi kapal ke dalam pulau tidak
menyebabkan sentuhan kapal pada pilar.
Fender terapung
Fender terapung terdapat dalam
berbagai system, yaitu:
1. Sistem jaringan kabel: kapal berhenti oleh
sistem kabel terjangkar dalam dasar
perairan yang diberi pelampung di depan
pilar;
2. Ponton terjangkar: ponton terapung yang
terjangkar dalam dasar perairan di depan
pilar untuk meredam impak kapal.
Model pembebanan (Knott 1990)
Beberapa model pembebanan impak
kapal/tongkang terhadap struktur jembatan
terdiri dari:
a. Beban impak kapal terpusat.
b. Beban impak kapal terbagi merata.
c. Beban impak tongkang terpusat.
d. Beban impak tongkang terbagi merata.

Gambar 2. Beban impak tongkang terpusat pada pilar (AASHTO 2010)

38

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 3. Beban impak tongkang terbagi merata pada pilar (AASHTO 2010)

Gambar 2 dan 3 di atas adalah konsep


beban impak akibat tongkang yang menabrak
pilar jembatan.
Berdasarkan data kecelakaan yang
terjadi, kecepatan impak diluar wilayah jalur
pelayaran berbentuk segitiga. Dari data
tersebut dapat diketahui bahwa kapal/tongkang
yang berjalan menyimpang dan menabrak pilar
yang jauh dari jalur pelayaran bergerak lebih
lambat dari pada menabrak pilar yang lebih
dekat dengan jalur pelayaran.
Batas
kecepatan rencana dengan nilai sama dengan
kecepatan arus sejauh tiga kali panjang total
kapal (3 LOA). Pemilihan kecepatan impak
rencana merupakan salah satu parameter
desain yang sangat penting. Kecepatan rencana
harus mencerminkan tipikal kecepatan dari
kapal rencana pada jalur pelayaran dengan
kondisi lingkungan yang tipikal. Kecepatan
rencana tidak boleh berdasarkan nilai ekstrim
berdasarkan kejadian ekstrim seperti banjir dan
kondisi alam yang ekstrim lainnya. Kapal yang
berlayar pada kondisi tersebut tidak
mencerminkan
situasi
rerata
tahunan.
Kecepatan impak rencana dapat ditentukan
berdasarkan gambar 4 berikut:
Kecepatan impak rencana (AASHTO 2010)

Gambar 4. Distribusi kecepatan impak rencana


(AASHTO 2010)

Keterangan:
V
= kecepatan impak rencana (m/dt)

VT

VMIN
X
XC
XL

= tipikal kecepatan pelayaran pada


jalur pelayaran dengan kondisi
lingkungan normal tetapi digunakan
lebih dari Vmin (m/dt).
= kecepatan impak rencana minimum,
lebih besar dari kecepatan arus rerata
tahunan pada lokasi jembatan (m/dt)
= adalah jarak terhadap pilar dari garis
tengah jalur pelayaran (mm)
= jarak terhadap tepi jalur pelayaran
(mm)
= adalah jarak 3 kali panjang total
kapal rencana (mm).

Energi impak kapal/tongkang (Maunsell


1978)
Energi kinetik yang diserap dari
kapal/tongkang yang bergerak pada impak
tidak eksentrik dengan memperhitungkan
koefisien massa hidrodinamik dapat dilihat
dalam persamaan (2).
Massa kapal harus berdasarkan kondisi
kapal bermuatan dan termasuk massa kosong
kapal dan memperhitungkan massa kargo
untuk kapal bermuatan (DWT). Nilai koefisien
massa hidrodinamik untuk jarak bersih sedang
dapat diinterpolasi dari nilai dibawah ini:
1. Untuk jarak bersih dasar jalur pelayaran
terhadap bagian bawah kapal lebih dari 0,5
draft ( 0,5 x Draft), CH = 1,05.
2. Untuk jarak bersih dasar jalur pelayaran
terhadap bagian bawah kapal lebih dari 0,5
draft ( 0,1 x Draft), CH = 1,25.
Draft adalah kedalaman alur pelayaran
yang dilalui oleh kapal/tongkang, biasanya
dalam satuan meter.
Gaya impak kapal/tongkang
Gaya impak yang bekerja pada struktur
pada umumnya digunakan sebagai berikut:
1. Beban desain 100 % apabila arah impak
sejajar dengan arah pergerakan kapal.

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.)

39

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

2. Beban desain 50 % apabila arah impak


tegak lurus dengan arah pergerakan kapal.
3. Untuk kestabilan secara keseluruhan, beban
impak yang digunakan berupa beban
terpusat pada muka air tinggi rata-rata.
4. Untuk gaya impak lokal, beban impak yang
digunakan berupa beban terbagi merata
setinggi haluan kapal atau setinggi bidang
kontak untuk tongkang.
Untuk desain bangunan atas, desain
beban impak diterapkan secara transversal
dengan arah sejajar arah kapal/tongkang.
Gaya impak kapal/tongkang
Hubungan energi dengan gaya dapat
diuraikan sebagai berikut:
Gaya impak kapal pada pilar adalah seperti
yang ditunjukkan pada persamaan (4).
1

= 0,98()2 . (4)
16

Keterangan:
Ps = gaya impak statik ekivalen kapal (MN)
DWT adalah bobot mati kapal (ton)
V = kecepatan tumbukan kapal (knot)

Gaya impak tongkang pada pilar adalah


sebagaimana ditunujukkan pada persamaan
(5), (6), dan persamaan (7).
Untuk aB < 0,1 m

PB = 60{aB }{R B }.... (5)

Untuk aB > 0,1 m

PB = {6 + 1,6 aB }{R B }... (6)

Keterangan:
PB = gaya impak statik ekuivalen (MN)
RB = rasio BB/10,67 (m)
BB = lebar tongkang (m)
aB = kerusakan lambung tongkang (m)
Hubungan antara kerusakan lambung
tongkang dengan energi impak yang
menyebabkan kerusakan dapat dilihat pada
persamaan berikut:

aB = 1 + 1,3 10 7 KE

1
2

3,1
1
R B

......(7)
Keterangan:
KE = energi kinetik akibat impak (J atau Nm)

40

HIPOTESIS

Perencanaan
bangunan
pengaman
jembatan (fender) sangat dipengaruhi besarnya
energi kinetik (beban impak)
akibat
kapal/tongkang yang melintas di bawah
jembatan.
METODOLOGI

Analisis struktur dilakukan dengan


mengambil studi kasus terhadap bangunan
pengaman (fender) pada Jembatan Kutai
Kartanegara yang terletak di sungai Mahakam.
Tipe fender yang terpasang berupa pile
supported system. Metode analisis dilakukan
dari evaluasi lalu-lintas air sampai dengan
analisis terhadap struktur bangunan.
Berdasarkan teori (Greiner Engineering
Sciences, Inc. 1983), pemilihan desain
tongkang rencana dilakukan dengan dua
metode yaitu:
Metode I
Syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. Jembatan kelas I atau jembatan penting.
Desain ukuran kapal harus sedemikian
sehingga jumlah tahunan kapal yang lebih
besar dari kapal desain maksimal 5% dari
total jumlah tahunan seluruh kapal yang
dapat menumbuk elemen jembatan, akan
tetapi jumlah kapal yang lebih besar tidak
boleh lebih dari 50 buah.
2. Jembatan kelas II atau jembatan biasa.
Desain ukuran kapal harus sedemikian
sehingga jumlah tahunan kapal yang lebih
besar dari kapal desain maksimal 10% dari
total jumlah tahunan seluruh kapal yang
dapat menumbuk elemen jembatan, akan
tetapi jumlah kapal yang lebih besar tidak
boleh lebih dari 200 buah.
Metode II
Syarat yang harus dipenuhi dalam
analisis dengan menggunakan metode II
adalah:
1. Jembatan kelas I atau jembatan penting.
Frekuensi
keruntuhan
tahunan
maksimum/maximum annual frequency
(AFmax) harus sama dengan atau lebih kecil
dari 0,01 dalam 100 tahun (AF = 0,0001).
2. Jembatan kelas II atau jembatan biasa.
Frekuensi
keruntuhan
tahunan
maksimum/maximum annual frequency

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

(AFmax) harus sama dengan atau lebih kecil


dari 0,1 dalam 100 tahun (AF = 0,001).
HASIL DAN ANALISIS
Penentuan analisis statistik tongkang
rencana yang berlayar di Sungai Mahakam
Tabel 2 menunjukkan karakteristik lalulintas dari tongkang pada sungai Mahakam
dalam satu tahun. Length Over All (LOA)
adalah panjang keseluruhan kapal yang diukur
dari ujung haluan kapal terdepan sampai pada
ujung belakang buritan kapal.
Tabel 2. Ukuran dan jumlah tongkang
yang melintasi Jembatan Kutai
Kartanegara
No
1
2
3
4
5

Panjang total
meter
100,58
91,44
82,30
70,10
54,86

Jumlah
Sumber : Bina Marga (2010)

LOA
feet
330
300
270
230
180

Jumlah
buah
96
251
486
187
120
1140

Berdasarkan metode I, untuk jembatan


biasa desain tongkang sedemikian sehingga
jumlah tahunan tongkang 10% dari total
jumlah tongkang tahunan.
10% x 1140 = 114 buah < 200 bh
Karena kriteria 10% dari total jumlah
tongkang tahunan lebih kecil dari jumlah
maksimum 200 buah, maka tongkang yang
digunakan adalah untuk ukuran 91,44 meter
(300 feet). Ukuran tongkang ditentukan dari
jumlah kumulatif tongkang yang ke 114.
Karakteristik jalur pelayaran Sungai
Mahakam (Sumber: Bina Marga 2010)
Lebar total Sungai Mahakam 370 meter,
dengan lebar jalur pelayaran 250 meter. Jarak
antar pilar pada jalur pelayaran adalah 270
meter.
Penentuan kecepatan impak rencana
Kecepatan pelayaran untuk lalu-lintas
dua jalur dengan kecepatan (5 8) m/dt
memiliki lebar minimum 6,7 LOA. Dalam
analisis digunakan tongkang terbesar yaitu
panjang tongkang 100,58 meter (330 feet).
6,7 x 100,58 = 673,90 meter.

Karena lebar minimum tidak terpenuhi


maka kecepatan yang melintasi diperkecil.
Kecepatan pelayaran (3 4) m/dt untuk dua
lajur pelayaran memiliki lebar minimum 3,5
LOA. 3,5 x 100,58 = 352,04 meter.
Karena lebar minimum jalur pelayaran
untuk lalu-lintas dua lajur lebih besar dari lebar
jalur pelayaran di sekitar jembatan, maka jalur
pelayaran hanya dapat digunakan untuk satu
lajur.
Kecepatan pelayaran (5 8) m/dt untuk
satu lajur pelayaran memiliki lebar minimum
3,2 LOA. 3,2 x 100,58 = 321,86 meter.
Lebar minimum untuk kecepatan (5 8)
m/dt > lebar jalur pelayaran (270 m), maka
kecepatan kapal yang melintas diperkecil.
Kecepatan pelayaran (3 4) m/dt untuk
satu lajur pelayaran memiliki lebar minimum
1,6 LOA. 1,6 x 100,58 = 160,93 meter.
Untuk lebar jalur pelayaran 270 m,
maka kecepatan maksimum tongkang ukuran
panjang 100,58 meter (330 feet) pada saat
melalui jembatan adalah 4 m/dt.
Kecepatan arus sungai pada jalur
pelayaran adalah 0,25 m/dt.
Untuk analisis kecepatan impak rencana
sesuai dengan Gambar 4.
XC sesuai dengan lebar jalur pelayaran
dari as jalur pelayaran yaitu 250/2 = 125 m
XL merupakan 3 kali LOA yaitu 3 x
100,58 = 301,75.
VT merupakan kecepatan maksimum
pada jalur pelayaran yaitu 4 m/dt.
VMIN merupakan kecepatan arus sungai
yaitu 0,25 m/dt.
Untuk X< 175 m;
V = VT = 4 m/dt
Untuk 175 m X 301,75 m;
V = 4 X 125

40,25

301,75125

..(8)

Untuk X > 301,75 m ; V = VMIN = 0,25 m/dt

Penentuan energi impak tongkang


Tongkang yang melalui jembatan selalu
dalam kondisi penuh, total berat yang
digunakan sebesar berat penuh tongkang. Berat
penuh tongkang rencana 91,44 meter (300 feet)
adalah 7500 ton. Kedalaman sungai 15 meter.
Berdasarkan persamaan (3), diperoleh:
Massa kapal (M) adalah dalam satuan Mg,
sehingga massa kapal sebesar 7,5 Mg;
CH adalah koefisien massa hidrodinamik.
Jarak bersih dasar jalur pelayaran terhadap
bagian bawah kapal adalah:
15 4,8 = 10,2 meter > 0,5 x 4,8 = 2,4 meter

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.)

41

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Untuk jarak bersih > 2,4 meter, maka CH =


1,05
Jarak pilar terhadap as jembatan adalah 270/2
= 135 meter.
Kecepatan tongkang pada jarak 135
meter adalah:
40,25

.(9)
4 0,25

V = 4 (135 125)
301,75 125

V = 4 (X 125)

301,75125

V = 3,79 m/dt
Energi impak tongkang pada pilar
jembatan adalah:
KE = 500 1,05 7,5 {3,79} = 56558,64 J
2

Penentuan gaya impak tongkang


Kerusakan yang terjadi akibat impak
tergantung dari energi kinetik (KE) dan lebar
relatif tongkang rencana. Tongkang dengan
panjang 91,44 meter (300 feet) memiliki lebar
24,38 meter (80 feet).
Kedalaman kerusakan pada tongkang
akibat impak adalah dapat ditentukan
berdasarkan persamaaan (7).
RB adalah rasio lebar tongkang, BB/10,67
RB = 24,38/10,67 = 2,285 meter
1
3,1
aB = [1 + 1,3. 107 . KE]2 1 . .
RB
1

(10)

3,1

aB = [1 + 1,3. 107 . 56558,64]2 1 . 2,285 .

aB = 0,00498 m
Gaya impak yang terjadi pada tongkang
tergantung dari kedalaman kerusakan yang
terjadi dan rasio lebar tongkang.
Gaya impak untuk aB < 0,1 m berdasarkan
persamaan (5) adalah:
Pb = 60 (aB) (RB)
Pb = 60 (0,00498) (2,285)
PB = 0,6822758 MN = 682,28 kN

Tabel 3. Hasil analisis data


No

Persamaan

Gaya impak

Energi impak

Kecepatan impak

Besaran

Satuan

682,28

kN

56558,64
0,25

J
m//det

Dari Tabel 3 diperoleh besar gaya


tumbukan yang diterima oleh struktur sebesar
682,28 kN. Gaya tumbukan yang bekerja pada
struktur digunakan untuk menganalisis
struktur. Struktur pelindung menggunakan
sistem penyangga tiang pancang (pile
supported system) sesuai dengan desain
Jembatan Kutai Kartanegara.
Gaya tumbukan yang bekerja pada
struktur digunakan untuk menganalisis
struktur. Ditentukan dari data teknis bahwa:
1. Tebal pelat pegaku 2,0 m.
Diameter pipa 1,5 m.
2. Tulangan tiang pancang .
3. Berat volume beton bertulang 2,4 ton/m3.
4. Mutu beton pelat pengaku fc 30 MPa.
5. Mutu beton tiang pancang fc 30 MPa.
6. Jepit berada pada kedalaman 31 meter dari
pangkal tiang.
7. Jepit berada pada kedalaman 30 meter dari
muka air.
Data teknis dan gaya impak tersebut
dianalisis dengan menggunakan program bant
(SAP = Structural Analysis Program).
Untuk penampang tiang pancang
menggunakan beton mutu 30 MPa (K-350)
dengan diameter 1,5 meter (lihat Gambar 5).

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil dan analisis diperoleh
data sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.
Gambar 5 : Dimensi tiang pancang
(SAP 2000 v 14)

42

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 6. Ukuran penampang pile supported system

Gambar 7. Output program SAP 2000 v 14 2013

Untuk struktur fender, pembuatan model


dilakukan dengan menggunakan analisis shell
dengan karakteristik
sebagaimana dilihat
dalam Gambar 6 di atas.
Dimensi penampang pile supported system
dalam Gambar 6, bila kita validasikan dengan
program SAP 2000 versi 14 akan diperoleh hasil
output sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 7
di atas.
Untuk data teknis dari karakteristik material

program SAP 2000 versi 14 ditunjukkan dalam


Gambar 8 berikut.
Setelah dianalisis, diperoleh gaya-gaya
dalam yang terjadi dari suatu sistem struktur
tersebut, dimana defleksi maksimum sebesar
0,1189 m terjadi pada bangunan pengaman,
artinya bahwa defleksi pada fender yang
diakibatkan oleh gaya impak tongkang tidak
boleh melebihi 0,1 meter (Gambar 9).

pile supported system berdasarkan hasil output

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.)

43

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Gambar 8. Karakteristik beton (output program SAP 2000 v 14 2013 )

Gambar 9. Defleksi pada bangunan pengaman

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan arus lalu-lintas yang terjadi
di sungai Mahakam, fender yang tertabrak
tongkang tidak boleh melebihi defleksi
maksimum sebesar 0,1 meter. Penentuan tipe
fender dari suatu jembatan sangat dipengaruhi
oleh karakteristik dari lalu-lintas sungai yang
melewati jembatan tersebut.

44

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan


dalam pemilihan sistem fender:
1. Fender harus memiliki kemampuan
penyerapan energi kinetis lebih besar
dibanding energi kinetik yang terjadi akibat
impak tongkang ke fender.
2. Tekanan yang timbul dari sistem fender
tidak boleh melebihi kemampuan menahan
tekanan dari lambung tongkang (badan
tongkang).

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 34 45

Penilaian I-07/05/13Awal-23/04/2013

Fender yang ideal adalah yang mampu


mengabsorbsi energi kinetik yang sebesar
besarnya dan mengubah ke bentuk gaya reaksi
sekecilkecilnya ke konstruksi jembatan.
Saran

Dalam pemilihan fender harus diingat


akan adanya energi impak yang diabsorbsi
fender dan gaya reaksi yang harus ditahan oleh
pilar jembatan.
DAFTAR PUSTAKA
AASHTO. 2010. Guide Specifications for Vessel
Collision Design of Highway Bridges, 2nd
Ed. AASHTO. Washington, DC.
Bina Marga. Kementerian Pekerjaan Umum. 2010.
Laporan Hasil Survei Jembatan Kutai
Kartanegara.
Greiner Engineering Sciences, Inc. 1983. Study of
Pier Protection Systems for Bridges,
prepared for Maryland Transportation
Authority, Baltimore. Maryland. Amerika.
Hemming, W.C. Desember 1981. Fendering
Problems in the Third Coast Guard District.
Bridge and Pier Protective Systems and
Devices Conference Proceedings. Stevens
Institute of Technology. Amerika.

Hidayatullah Adronafis. 2008.


Http://adronafis.blogspot.com/2008/11/14tiang-untuk jembatan-ampera.html
Knott, M. A. and Larsen, O. Damgaard. 1990.
Guide Specification and Commentary for
Vessel Collision Design of Highway
Bridges. Federal Highway Administration,
US Department of Transportation. Publ. No.
FHWA-RD-91-006. Amerika.
Maunsell and Partners and Brady, P.J.E. 1978.
Second Hobart Bridge Risk of Ship
Collision and Methods of Protection.
Technical Report prepared for Department
of Main Roads. Tasmania. Australia.
Puslitbang Jalan dan Jembatan. Kementerian
Pekerjaan Umum. RSNI T-02-2005.
Pembebanan Untuk Jembatan.
SAP 2000 version 14.00. 2013. Integrated Solution
for Structural Analysis and Design, CSI.
Wikimedia
Foundation,
Inc.
2007.
Http://en.wikipedia.org/wiki/Collapse_of_Ji
ujiang_Bridge.
Wikipedia.
org.
2008.
http://en.wikipedia.
org/wiki/Seawise_Giant.
Wordpress.org. 2008.
Http://infokito.wordpress.com/2008/02/18/
peristiwa-tertabraknya-jembatanampera/#more-1333.
Riawan Tjandra. 2011. Http://www.tempo.co/
read/kolom/2011/12/15/496/Berkacapada-Runtuhnya-Jembatan.

Pengaruh Beban Impak Kapal Terhadap Bangunan Pengaman Pilar Jembatan Fender, (N. Retno Setiati, Bagus Aditya W.)

45

Revisi I 10/07/13

PENGEMBANGAN MODEL KERUNTUHAN LAPIS BERASPAL


(DEVELOPMENT OF FAILURE MODEL FOR BITUMINOUS LAYER)
Nyoman Suaryana1), Yohannes Ronny2), Anita Jannatun Nissa3)
1), 2), 3)
1), 2), 3)

Puslitbang Jalan dan Jembatan

Jalan A.H. Nasution no.264, Bandung, 40294


1)
e-mail: nyoman.suaryana@pusjatan.pu.go.id
2)
e-mail: ronny_bbpj@yahoo.com
3)
e-mail: anitajnissa@yahoo.co.id
Diterima: 04 Januari 2013; disetujui:01 April 2013

ABSTRAK
Metode perencanaan tebal perkerasan yang saat ini dikenal terdiri dari metode perencanaan perkerasan secara
empiris dan secara mekanistik empiris. Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur yang resmi digunakan
sebagai pedoman di Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan empiris yang dikembangkan
berdasarkan analisis statistik kinerja perkerasan. Sedangkan metode lain untuk perencanaan tebal perkerasan
adalah dengan metode mekanistik empiris. Metode ini menggunakan pendekatan respon dasar material
perkerasan seperti tegangan, regangan, dan deformasi. Metodologi penelitian dilaksanakan dengan pengujian
laboratorium serta pengujian lapangan yang dilakukan untuk mengetahui kinerja perkerasan akibat beban lalulintas dan pengaruh lingkungan. Salah satu model fatigue yang banyak diadopsi dalam pedoman perencanaan
perkerasan dengan pendekatan mekanistik adalah Persamaan Shell. Untuk mengetahui kesesuaian model
fatigue shell dengan tipikal campuran beraspal di Indonesia, dilakukan validasi model fatigue dengan cara
membandingkan model fatigue tersebut dengan hasil pengujian fatigue dari laboratorium. Dari hasil analisis,
umur fatigue hasil pengujian laboratorium cenderung lebih kecil dibandingkan umur fatigue metode Shell
dengan perbandingan berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 dengan rata-rata 1,8. Hal ini berdasarkan kondisi
pengujian kontrol regangan, temperatur 20 C dan frekuensi 10 Hz.
Kata kunci: empiris, fatigue , mekanistik empiris, model keruntuhan, perkerasan lentur

ABSTRACT
There are two approaches known in pavement design principal, empirical pavement design and mechanisticempirical pavement design. The official guideline for flexible pavement thickness design in Indonesia is
generally developed using empirical method based on statistical analysis of pavement performance. While the
other is the mechanistic-empirical method. The approach of this method is to identify the basic response of
pavement materials such as stress, strain and deformation. The research methodology was performed by
laboratory and field testing in order to determine pavement performance due to traffic loads and enviromental
impact. One of the fatigue models widely adopted in the mechanistic-empirical guideline of pavement design is
Shell Formula. In order to determine the compatibility of Shell fatigue models with a typical asphalt mix in
Indonesia, a validation was conducted by comparing shell fatigue models and fatigue lab-test results. The
fatigue life analysis of lab-test results showed the tendency of a shorther fatigue life compared to Shell method.
Based on the testing condition at a temperature of 20 C, a frequency of 10 Hz and a strain control, the
comparison is ranging from 0,8 to 3 with an average of 1,8.
Keywords: empiric, fatigue , mechanistic-empiric, deterioration model, flexible pavement

46

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 53

Revisi I 10/07/13
PENDAHULUAN
Panjang jaringan jalan di Indonesia tahun
2009 sudah mencapai 372.233 km. Dengan
aset yang demikian besar maka diperlukan
suatu metode perencanaan tebal perkerasan
yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan
beban lalu-lintas di lapangan serta dapat
mengakomodasi perkembangan teknologi
bahan perkerasan jalan, agar aset tersebut
dapat terjaga dan berfungsi sesuai umur layan.
Metoda perencanaan tebal perkerasan
terdiri dari metode perencanaan perkerasan
secara empiris dan secara mekanistik empiris.
Pedoman perencanaan tebal perkerasan lentur
yang resmi digunakan sebagai pedoman di
Indonesia pada umumnya menggunakan
pendekatan empiris yang dikembangkan
berdasarkan
analisis
statistik
kinerja
perkerasan.
Secara sederhana perencanaan tebal
perkerasan empiris dikembangkan dengan
melakukan observasi kinerja perkerasan pada
beberapa kondisi kemudian dibuat suatu
korelasi empiris antara tebal perkerasan
dengan sifat bahan, beban lalu-lintas dan faktor
lingkungan. Kelebihan dari metode ini adalah
sifatnya yang sederhana dan mudah untuk
digunakan namun demikian pendekatan
empiris memiliki keterbatasan yaitu persamaan
empiris yang digunakan hanya berlaku untuk
kondisi yang serupa dengan kondisi dimana
persamaan empiris tersebut dikembangkan.
Metode lain untuk perencanaan tebal
perkerasan adalah dengan metode mekanistik
empiris. Metode ini menggunakan pendekatan
respon dasar material perkerasan seperti
tegangan, regangan dan deformasi. Beban lalulintas dimodelkan pada struktur beberapa
lapisan perkerasan dan dihitung respon paling
kritis yang terjadi. Respon perkerasan ini
selanjutnya dikorelasikan dengan kinerja
perkerasan dengan menggunakan model
keruntuhan yang biasanya merupakan suatu
persamaan empiris. Dari aspek akurasi dan
reabilitas pendekatan yang digunakan pada

metode ini lebih baik dibandingkan dengan


metode yang lain. Namun metode ini
memerlukan pengujian dan perhitungan yang
lebih komprehensif. Walaupun pada metode ini
masih menggunakan model keruntuhan yang
bersifat empiris, namun secara umum
pendekatan empiris yang digunakan relatif
lebih sedikit dan kecil dibandingkan dengan
metode yang lain.
Tulisan ini bertujuan menyajikan hasil
penelitian tentang model keruntuhan lapis
beraspal dan lapis pondasi untuk mendukung
perencanaan perkerasan lentur, terkait dengan
isu bahan perkerasan jalan dan faktor pengaruh
lingkungan terhadap perkerasan jalan.
KAJIAN PUSTAKA
Perancangan
perkerasan
berbasis
mekanistik
Metode perencanaan perkerasan lentur
telah berkembang dari waktu ke waktu mulai
dari pendekatan yang sangat sederhana hingga
pendekatan yang sangat kompleks. Pendekatan
perencanaan perkerasan dapat dibagi menjadi
empat kategori:
1. Metode
perencanaan
berdasarkan
pengalaman.
2. Metode perencanaan pengujian sederhana.
3. Metode perencanaan berdasarkan evaluasi
statistik kinerja perkerasan.
4. Metode perencanaan berdasarkan analisis
struktural sistem lapisan perkerasan.
Salah satu metode perencanaan tebal
perkerasan yang menggunakan metode analisis
struktural sistem lapis perkerasan adalah
Austroad Pavement Structural Design.
(Austroad 2010)
Prosedur
perencanaan
tersebut
dikembangkan berdasarkan analisis struktural
sistem perkerasan berlapis akibat beban normal
lalu-lintas. Lokasi terjadinya regangan kritis
dan model struktur perkerasan yang digunakan
pada metode Austroad 2010 ditampilkan pada
Gambar 1.

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa)

47

Revisi I 10/07/13
1800 mm
330 mm

330 mm

Lapis Beraspal

Lapis Granular

Cemented Material
2
3
165 mm

1. Regangan tarik pada bagian bawah lapis beraspal


2. Regangan tarik pada bagian bawah cemented material
3. Regangan tekan pada bagian atas tanah dasar

Gambar 1. Model perkerasan pada perencanaan


tebal mekanistik (Austroad 2010)

Pada metode Austroad 2010 dilakukan


beberapa
penyederhanaan
dan
asumsi
perhitungan, yaitu:
1. Material perkerasan diasumsikan bersifat
homogen, elastis, dan isotropik (kecuali
untuk unbound granular material dan tanah
dasar yang diasumsikan anisotropik).
2. Respon perkerasan akibat beban dihitung
dengan pendekatan model linier elastik,
seperti model yang digunakan pada
perangkat lunak Circly.
3. Kondisi respon perkerasan paling kritis,
yang harus diperiksa adalah:
a. Pada lapis beraspal: regangan horizontal
pada bagian bawah lapisan.
b. Cemented material: regangan horizontal
pada bagian bawah lapisan.
c. Tanah dasar dan selected material:
regangan tekan vertikal pada bagian atas
lapisan.
4. Beban sumbu standar terdiri dari sumbu
tunggal roda ganda (dual wheel) dengan
beban 80 kN. Untuk perkerasan lentur,
respon paling kritis kemungkinan terjadi
pada sumbu vertikal dibawah roda
perkerasan bagian dalam atau pada sumbu
vertikal dibawah sumbu roda ganda seperti
ditampilkan pada Gambar 1.
5. Beban sumbu standar dimodelkan oleh
empat beban merata berbentuk lingkaran
yang seragam. Dengan jarak antar titik
tengah lingkaran beban 330 mm sedangkan

48

jarak antar sumbu roda ganda adalah 1470


mm.
6. Tegangan kontak diasumsikan seragam
seluas
tapak
roda
dimana
pada
perencanaan diasumsikan besarnya adalah
750 kPa. Sebenarnya tegangan kontak ini
besarnya bergantung pada tekanan roda
dimana besarnya berkisar antara 500
1000 kPa.
7. Asumsi dan pemodelan sesuai Gambar 1
berlaku untuk struktur perkerasan dengan
ketebalan lapis beraspal lebih dari 40 mm,
untuk tebal dibawah 40 mm perlu dikaji
lebih lanjut karena ada kemungkinan
regangan kritis tidak terjadi pada lokasi
sebagaimana digambarkan pada Gambar 1.
Kelelahan (fatigue) pada perkerasan lentur
Ketahanan lelah campuran beraspal
adalah salah satu faktor utama yang
menyebabkan kegagalan pada struktur
perkerasan jalan.
Kelelahan (fatique)
didifinisikan sebagai retak lelah yang terjadi
pada bagian bawah lapisan perkerasan lentur
akibat dari beban berulang. (Huang 2012)
SHRP (1990) telah melakukan uji lelah
dengan menggunakan beberapa metoda uji dan
menyimpulkan bahwa metode yang paling baik
(rangking pertama) untuk memperkirakan
ketahanan lelah campuran beraspal terhadap
beban berulang dengan kondisi sebenarnya di
lapangan adalah dengan metode pengujian
lentur.
Pada
metode
pengujian
lentur,
pembebanan dapat dilakukan dengan tiga titik
atau empat titik. Pengujian lentur dengan tiga
atau empat titik dapat dilakukan pada kondisi
kontrol beban (stress control) atau kontrol
lendutan (strain control). Pada kondisi kontrol
beban, beban yang diberikan adalah konstan,
besarnya lendutan yang terjadi akibat beban
tersebut yang diukur. Sedangkan pada kontrol
lendutan, besarnya lendutan maksimum
ditetapkan dan besarnya beban yang
diperlukan
untuk
mencapai
lendutan
maksimum tersebut yang dicatat. (Mallick
2009)
Metode pembebanan yang digunakan
tergantung pada tebal perkerasan beraspal di
lapangan, untuk perkerasan beraspal yang tebal
akan lebih sesuai menggunakan kontrol beban,
sementara untuk tebal yang tipis kontrol
lendutan akan lebih sesuai. (El-Basyouny et.
al. 2005)

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 53

Revisi I 10/07/13
Banyak faktor yang mempengaruhi umur
lelah campuran beraspal. Penggunaan bahan
pembentuk campuran beraspal dengan sifat
dan jumlah yang berbeda akan menghasilkan
umur lelah yang berlainan pula. Selain itu,
faktor pengujian juga sangat mempengaruhi
umur lelah yang dihasilkan. Faktor pengujian
ini antara lain adalah pola pembebanan yang
digunakan, kondisi pengujian (kontrol
tegangan atau regangan), tingkat tegangan,
frekuensi, temperatur dan ukuran benda uji.
(Yamin 2004)
Dalam pensimulasian umur kelelahan
biasanya dihadapkan pada masalah bagaimana
mengkorelasikan umur kelelahan laboratorium
dengan kinerja aktualnya di lapangan. Umur
kelelahan campuran beraspal yang didapat
dari hasil pengujian laboratorium biasanya
memberikan perkiraan umur kelelahan yang
lebih konservatif. Hal ini mungkin disebabkan
karena beban yang diberikan pada campuran
beraspal di laboratorium hanya terfokus di satu
tempat
saja sampai campuran tersebut
mencapai kondisi runtuh,
sedangkan di
lapangan
beban lalu-lintas tersebar pada
permukaan jalan dalam rentang area yang luas.
Alasan lainnya adalah bahwa benda uji yang
dipakai di laboratorium cukup kecil dan selain
itu bila suatu retak muncul
benda uji
dinyatakan runtuh, sedangkan di lapangan
suatu retak
berkembang terlebih dahulu
sebelum material beraspal tersebut dinyatakan
telah mengalami kegagalan. SHRP 1994
menyebutkan bahwa perkembangan retak, dan
simpangan beban lalu lintas (traffic wander)
memberikan pengaruh yang cukup besar,
Untuk mengkorelasikan hubungan antara
umur
kelelahan
laboratorium
dengan
lapangan, model umur kelelahan yang didapat
dari laboratorium harus dikalibrasi dengan
suatu faktor yang didapat dari pengamatan
lapangan. Faktor korelasi yang sudah
diusulkan oleh para peneliti sebelumnya
bervariasi dalam rentang 1 - 400. Besarnya
faktor korelasi ini sangat tergantung pada jenis,
kondisi dan temperatur pengujian, sifat aspal,
jenis pembebanan serta kondisi lapangan yang
dijadikan acuan.
Kriteria fatigue
untuk lapis beraspal
yang dikembangkan oleh Shell (1978) adalah:
6918 (0,856 +1,08) 5

0,36

Keterangan:
N
= jumlah repetisi beban yang diizinkan

Vb

= regangan tarik akibat beban (mikrostrain)


= persentase volume bitumen dalam aspal
(%)
Smix = modulus aspal (MPa)
RF = faktor reliabilitas

Persamaan tersebut dimodifikasi dalam


metoda Austroad (2010) dengan menambahkan
faktor reliabilitas (RF). Faktor reliabilitas ini
merupakan
transfer
function
yang
mengkorelasikan umur fatigue dari pengujian
laboratorium dengan prediksi umur fatigue
lapangan.
Persamaan fatique yang juga umum
digunakan adalah sebagai berikut:

.. = 1 ( )2 ( )3 =

1 ( ) 2 () 3 ........(1)

Keterangan:
Nf
= jumlah repetisi beban yang diijinkan
E
= modulus elastistas campuran beraspal
t
= regangan tarik horisontal pada dasar
perkerasan beraspal
Menurut Gedafa (2006), faktor f1, f2 dan
f3 untuk masing-masing institusi adalah seperti
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Konstanta f1, f2, f3 untuk model retak lelah
No.
1.

Distress Model

f1

f2

f3

0,0796

3,291

0,854

2.
3.

Asphalt
Institute
Shell
Belgian RRC

0,0685
4,92 x 10

5,671
4,76

2,363
0

4.

Indian

2,2 x 10 -4

3,89

0,854

-14

Salim (2000) melakukan pengukuran


lendutan dengan Falling Weight Deflectometer
pada Jalan Tol Tangerang Merak Km 56.150
59.160 arah Tangerang disertai dengan
survai kondisi visual dan survai volume lalulintas pada lokasi tersebut. Perhitungan
modulus lapis beraspal dilakukan dengan
melakukan perhitungan balik (backcalculation)
menggunakan perangkat lunak ELMOD 3.1
dan perhitungan regangan dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak BISAR. Hasil
yang diperoleh adalah:
Untuk retak yang dimulai dari
permukaan jalan persamaan fatigue yang
diperoleh adalah:

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa)

49

Revisi I 10/07/13
Log Nf = - 0,4345 log + 5,0328
(probabilitas 85% batas bawah)

(2)

Sedangkan untuk asumsi retak yang


dimulai dari bawah lapis permukaan aspal
persamaan fatigue yang diperoleh adalah:
Log Nf = -0,5672 log + 4,8187
(probabilitas 85% batas bawah)

(3)

Dengan koefisien determinasi (R2)


berkisar antara 0,5 0,6.
Sjahdanulirwan (2010) mengembangkan
model persamaan fatigue sebagai berikut:
1. Regangan ijin lapisan beraspal

37.139

6305 0.856 V + 1.08


B

0.36

S mix
h

N = 37,139
f

4,428

6305 (0.856 +1.08) 4.428

0.36

2. Regangan ijin tanah dasar


7

-0,664

v ijin = 4 x 10 (CESA)
v ijin dalam mikrostrains

HASIL DAN ANALISIS


Karakteristik Kelelahan Campuran
Untuk melihat karakteristik kelelahan
campuran, dilakukan pengujian kelelahan
(fatigue) dengan menggunakan four point
flexural bending test. Benda uji yang
digunakan berbentuk balok dengan dimensi
3806 mm x 502 mm x 632 mm diuji
frekuensi beban pengujian 10 Hz dan
temperatur pengujian 20 C. Rangkuman data
pengujian ditampilkan pada Tabel 2 dan
Gambar 2.
Tabel 2. Rangkuman hasil pengujian kelelahan
(fatigue)
Jenis
Campur
an

(4)........

AC-WC

...........................(5)
AC-BC

Persamaan ini dikembangkan dengan


melakukan pengujian FWD pada beberapa ruas
jalan di wilayah Jawa Barat.
HIPOTESIS
Model Fatigue Shell dengan pendekatan
mekanistik
dapat dikembangkan sebagai
model keruntuhan lapis beraspal yang sesuai
dengan kondisi Indonesia dengan melakukan
evaluasi karakteristik material perkerasan yang
ada.

ACBASE

Tegang
an Tarik

Regang
an Tarik

Dissipat
ed
Energy

Jumlah Siklus

3050

701

4.739

6510

2522
2015

600
500

3.331
2.214

24080
25040

1590

399

1.412

65430

3650

697

5.751

8780

1959

599

2.551

13710

2083

499

2.285

39070

1814

400

1.584

52220

2883

699

4.416

5980

2379

599

3.128

6910

2307

498

2.543

13630

1696

400

1.495

341
20

METODOLOGI
Metodologi yang digunakan pada tahap
awal dilakukan kajian pustaka. Kajian pustaka
yang dilakukan difokuskan pada literatur
mengenai perencanaan tebal lapis perkerasan
dengan pendekatan mekanistik empiris.
Selanjutnya
dilaksanakan
pengujian
laboratorium mulai dari pengujian mutu bahan
baik aspal maupun agregat kemudian
dilanjutkan dengan pengujian campuran
beraspal antara lain: Marshall Test, UMATTA,
dan Pengujian Fatigue.

50

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 53

Revisi I 10/07/13

Gambar 2. Grafik hubungan regangan dan jumlah


siklus

Salah satu model fatigue yang banyak


diadopsi
dalam
pedoman
perencanaan
perkerasan dengan pendekatan mekanistik
adalah Persamaan Shell. Persamaan ini
dikembangkan oleh Shell Laboratory pada
tahun 1978 berdasarkan hasil pengujian
berbagai tipe campuran beraspal dengan bahan
pengikat
aspal
konvensional.
Untuk
mengetahui kesesuaian model fatigue shell
dengan tipikal campuran beraspal di Indonesia
maka perlu dilakukan validasi model fatigue.
Validasi model fatigue ini dilakukan dengan
membandingkan model fatigue
tersebut
dengan hasil pengujian fatigue
dari
laboratorium.
Perbandingan nilai repetisi beban model
fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium
ditampilkan pada Tabel 3 dan Gambar 3
sampai dengan Gambar 5.

Gambar 3. Perbandingan repetisi beban model


fatigue shell dan hasil pengujian
laboratorium untuk campuran
ACWC

Gambar 4. Perbandingan repetisi beban model


fatigue shell dan hasil pengujian
laboratorium untuk campuran ACBC

Tabel 3. Perbandingan repetisi beban model fatigue


shell dan pengujian laboratorium
No

Campuran

Nshell

Npengujian

Perbandingan

Rata-rata

1
2

ACWC
ACWC

9,178
19,980

6,510
24,080

1.4
0.8

3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

ACWC
ACWC
ACBC
ACBC
ACBC
ACBC
ACBase
ACBase
ACBase
ACBase

49,716
153,633
9,878
21,072
52,522
158,688
5,705
12,346
31,082
92,972

25,040
65,430
8,780
13,710
39,070
52,220
5,980
6,910
13,630
34,120

2.0
2.3
1.1
1.5
1.3
3.0
1.0
1.8
2.3
2.7

1.6

Min

0.8

Maks

3.0

Rata-rata

1.8

1.8

1.9

Gambar 5. Perbandingan repetisi beban model


fatigue shell dan hasil pengujian
laboratorium untuk campuran
ACBase

Gambar 3 sampai dengan Gambar 5


menunjukan bahwa hasil pengujian fatigue
laboratorium Campuran ACBC, ACWC dan
ACBase memberikan nilai yang lebih
konservatif dibandingkan dengan Model
Fatigue Shell. Hal ini terlihat dari grafik yang
dihasilkan dari pengujian laboratorium berada
di bawah grafik pada Model Fatigue Shell
dengan rata-rata perbandingan sebesar 1.8 kali.
Dari data hasil pengujian fatigue dapat
dilakukan prediksi model fatigue untuk tiap

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa)

51

Revisi I 10/07/13
jenis campuran. Prediksi model dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak IBM
SPSS 19. Hasil yang diperoleh untuk tiap jenis
campuran adalah sebagai berikut:
1. Prediksi model kinerja fatigue ACWC
Nf = 1.191x1012 t-2.843 dengan koefisien
determinasi (R2) 0,93

2. Prediksi model kinerja fatigue ACBC

Nf = 2,416x1011 t-2.558 dengan koefisien


determinasi (R2) 0,90

3. Prediksi model kinerja fatigue ACBase

Nf = 2,163x1012 t-3,012 dengan koefisien


determinasi (R2) 0,96

Garis kesamaan prediksi model kinerja


fatigue
tiap jenis campuran beraspal
ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan
Gambar 8.

Gambar 6. Garis kesamaan prediksi model


kinerja fatigue ACWC

Gambar 7. Garis kesamaan prediksi model kinerja


fatigue ACBC

52

Gambar 8. Garis kesamaan prediksi model kinerja


fatigue ACBase

PEMBAHASAN
Hasil pengujian kelelahan campuran
ACWC dengan regangan tarik konstan
bervariasi antara 399 sampai dengan 701
menghasilkan jumlah siklus hingga mencapai
failure 6510 65430, sedangkan untuk
campuran ACBC nilai siklus bervariasi antara
8780 52220 dan untuk ACBase nilai siklus
bervariasi antara 5980 34120. Campuran
ACBase cenderung menghasilkan jumlah
siklus yang lebih rendah dibandingkan dengan
dua campuran lainnya hal ini kemungkinan
karena campuran ini memiliki kadar aspal yang
lebih rendah dibandingkan ACBC atau ACWC.
Nilai umur lelah ACBase yang lebih rendah
menunjukkan bahwa, akibat beban lalu lintas
retak lelah akan terjadi terlebih dahulu pada
lapis ACBase dibandingkan lapis ACBC atau
ACWC.
Perbandingan nilai repetisi beban model
fatigue shell dan hasil pengujian laboratorium
menunjukkan bahwa hasil pengujian fatigue
laboratorium cenderung lebih kecil daripada
prediksi umur fatigue dari model Shell dengan
perbandingan berkisar antara 0,8 sampai
dengan 3 kali dengan rata-rata 1,8. Demikian
juga pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 5
menunjukkan kurva fatigue hasil pengujian
dibawah kurva fatigue Shell terutama untuk
nilai regangan rendah dan makin mendekati
untuk nilai regangan yang lebih tinggi. Pola ini
menunjukkan bahwa jika perancangan tebal
perkerasan dilakukan dengan menggunakan
model kurva fatigue shell maka hasilnya akan
sedikit melebihi prediksi (over predicted).
Model
Shell
dikembangkan
dengan
menggunakan banyak variasi gradasi campuran
dan jenis aspal, hal ini lah kemungkinan yang

Jurnal Jalan-Jembatan, Volume 30 No. 1 April 2013, 46 53

Revisi I 10/07/13
menyebabkan perbedaan kurva Shell dan hasil
pengujian laboratorium.
Dari hasil garis kesamaan prediksi
model kinerja fatigue yang ditampilkan pada
Gambar 6 sampai dengan Gambar 8 terlihat
bahwa ketiga model yang diperoleh tidak bias
terhadap hasil pengujian fatigue laboratorium
karena data prediksi tersebar didekat garis
kesamaan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari uraian di muka, dapat diambil
beberapa kesimpulan:
1. Perbandingan hasil umur fatigue dari
pengujian fatigue laboratorium dan
menggunakan pendekatan model fatigue
Shell menunjukkan bahwa, umur fatigue
dari
hasil
pengujian
laboratorium
cenderung lebih kecil dibandingkan umur
fatigue metode Shell, dengan perbandingan
berkisar antara 0,8 sampai dengan 3 dengan
rata-rata 1,8. Hal ini berdasarkan kondisi
pengujian kontrol regangan, temperatur
20C dan frekuensi 10 Hz.
2. Prediksi model kinerja fatigue
untuk
ACWC, ACBC dan ACBase tidak bias
terhadap
hasil
pengujian
fatigue
laboratorium hal ini terlihat dari data yang
tersebar mendekati garis kesamaan. Model
prediksi kinerja fatigue ACWC, ACBC dan
ACBase menunjukkan akurasi yang relatif
baik dengan koefisien determinasi lebih
besar dari 0,9.
Saran
Untuk menggambarkan kinerja fatigue
lapangan perlu dilakukan kalibrasi antara
model fatigue
laboratorium dan kinerja
fatigue lapangan, idealnya hal ini dilakukan
dengan menggunakan fasilitas Accelerated
Pavement Test atau Long Term Pavement
Performance Monitoring.

DAFTAR PUSTAKA
AUSTROAD. 2010. Guide to Pavement
Technology Part 2: Pavement Structural
Design. Sydney: AUSTROAD Inc.
Gedafa, Deba S. 2006. Comparison of Flexible
Pavement Performance Using Kenlayer and
HDM-4
Fall Student Conference. Iowa: Midwest
Transportation Consortium.
El-Basyouni M. and M. Witzak. 2005. Development
of the fatigue Cracking Models for the 2002
Design
Guide. TRR 1919. Washington, DC.: TRB,
pp. 77 86.
Huang, Yang H. 2012. Pavement analysis and
design. 2nd edition. New Jersey: Prentice
Hall.
Mallick, Rajib B. and Tahar El-Korchi. 2009.
Pavement Engineerign, Principles and
Practice. New York: CRC Press
Mahmud, Salim. 2000. Pengkajian Kinerja
Perkerasan
lentur
Secara
Analitis.
Bandung: Pusjatan.
Shell. 1978. Shell Pavement Design Manual.
London: Shell International Petroleum
Co.Ltd.
Transportation Research Board. 1990. Fatigue
Response of Asphalt Mixture. SHRP.
Washington, DC: TRB.
Transportation Research Board.1994.
Fatigue
Response of Asphalt- Aggregate Mixture.
SHRP A- 404.
Washington, DC: TRB.
Sjahdanulirwan M. 2010. Kaji ulang perencanaan
perkerasan lentur. Bandung: Pusjatan.
Yamin, Anwar. 2004. Disertasi Model Konstitutif
Parameter mekanistik Cement Treated
Asphalt Mixture dan Kinerjanya pada Iklim
Tropis Indonesia. PhD. Diss. Institut
Teknologi Bandung.

Pengembangan Model Keruntuhan Lapis Beraspal, (Nyoman Suaryana, Yohannes Ronny, Anita Jannatun Nissa)

53

PETUNJUK PENULISAN NASKAH


1.

Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang jalan dan jembatan dari dalam dan luar lingkungan Pusat Litbang Jalan dan Jembatan.
Dewan Redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang masuk dan berhak menolak naskah yang dianggap tidak memenuhi
ketentuan.

2.

Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian yang belum dan tidak akan dipublikasikan dalam media cetak lain.

3.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diserahkan dalam bentuk file elektronik dalam program MS Office disertai satu eksemplar
cetakan. Jumlah naskah maksimum 15 halaman, termasuk abstrak, gambar, tabel dan daftar rujukan. Bila lebih dari 15 halaman,
Redaksi berhak untuk menyunting ulang, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.

4.

Sistematika penulisan disusun sebagai berikut : Bagian awal: nama penulis, abstrak (abstrak dan kata kunci ditulis dalam bahasa
Indonesia dan Inggris dengan huruf italic). Bagian utama: pendahuluan, kajian pustaka, hipotesis, Metodologi, hasil dan analisa,
pembahasan, kesimpulan dan saran. Bagian akhir: keterangan simbol (bila perlu), ucapan terima kasih (bila perlu), daftar pustaka
minimal 10 referensi (wajib) berupa buku teks atau jurnal terbaru dan lampiran (jika ada).

5.

Judul naskah sesingkat mungkin dan harus mencerminkan isi tulisan serta tidak memberikan peluang penafsiran yang beraneka ragam,
ditulis dengan huruf kapital posisi tengah.

6.

Nama penulis ditulis :


a) Di bawah judul tanpa gelar diawali huruf kapital ditulis posisi tengah dan tidak diawali kata oleh; apabila penulis lebih dari satu
orang, nama-nama tersebut ditulis pada satu baris.
b) Nama lengkap disertai keterangan alamat instansi dan kotanya, apabila penulis lebih dari satu orang, semua nama penulis
dicantumkan secara lengkap.

7.

Abstrak memuat permasalahan, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan (antara 150-250 kata) ditulis dalam satu alinea, ditulis dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hindari penggunaan singkatan dalam abstrak. Di bawah abstrak dicantumkan minimal 5 kata
kunci.

8.

Teknik penulisan :
a) Naskah ditulis pada kertas ukuran A4, ketikan satu spasi dengan 2 kolom, jarak kolom pertama dan kedua 1 cm.
b) Batas pengetikan : tepi atas dan tepi bawah 3 cm, sisi kiri dan sisi kanan 2,5 cm. Alinea baru pada satu cm batas tepi kiri, antara
alinea tidak diberi tambahan spasi.
c) Penggunaan Font Times New Roman
- Isi, 11 pt
- Judul, ditulis di tengah halaman, Kapital 14 pt, bold
- Nama penulis, ditulis di tengah halaman, 11 pt, bold
- Persamaan/rumus, 10 pt
- Nama instansi, ditulis di tengah halaman, 10 pt
- Keterangan Persamaan/Rumus, 10 pt
- Alamat instansi dan email, ditulis di tengah halaman, 9 pt
- Judul tabel dan gambar, 10 pt
- Sub judul, ditulis di tepi kiri, Kapital 11 pt, bold
- Tulisan tabel dan gambar, 10 pt, bold
- Isi Abstrak, 10 pt, Italic
- Sumber tabel dan gambar, 9 pt
- Isi daftar pustaka, 10 pt
- Kata kunci, 10 pt, Italic
d) Kata asing ditulis dengan huruf italic, apabila sudah ada bahasa Indonesia kata asing ditulis dalam kurung, untuk selanjutnya istilah
yang sama cukup ditulis istilah Indonesianya. Bilangan ditulis dengan angka kecuali pada awal kalimat.
e) Ketentuan Tabel/Gambar :
- Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Judul tabel diletakkan di bagian atas tabel (rata kiri dengan tabel),
sedangkan judul gambar di bagian bawah gambar (rata kiri dengan gambar),
- Tabel dan Gambar tidak menggunakan garis pinggir, tabel menggunakan jenis table simple 1,
- Gambar, foto dan grafik berwarna,
- Sumber tabel dan gambar dicantumkan di bawah tabel dan gambar.
f)
Sumber pustaka (sitasi dalam teks) terdiri dari nama penulis dan tahun penerbitan yang diacu, ditulis dalam kurung. Contoh:
(Calvez 2004). Untuk kutipan langsung ditambah nomor halaman (Calvez 2004, 73).
g) Daftar pustaka dan sitasi bibliografis menggunakan Chicago Manual of Style (Author-Date System), ditulis dalam urutan abjad nama
penulis dan disusun dengan urutan :
a. Untuk buku : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul buku, kota dan nama penerbit
b. Untuk jurnal : pengarang (nama keluarga diikuti nama pertama), tahun terbit, judul majalah (judul prosiding), judul artikel,
volume, nomor, bulan, halaman.
c. Karya di internet: URL dan karya tersebut diakses
Contoh:
Buku (monograf)
Okuda, Michael, dand Denis Okuda. 1993. Star Trek chronology: The history of the Future. New York: Pocket Books.
Artikel Jurnal
Wilcox, Rhonda V. Shifting Roles and Synthetic Woman in Star Trek: The Next Generation. Studies in Popular Cultur 13 (April
1991):53-65.
Terbitan Pemerintah
Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan. 2010. Pedoman Perencanaan
Perkerasan Lentur. Jakarta : Kementerian Pekerjaan Umum.
h) Jika dalam Daftar pustaka ada pencantuman nama seseorang lebih dari 1 kali, nama kedua tidak perlu ditulis kembali, cukup
mengganti nama dengan titik putus-putus.
i)
Contoh Daftar pustaka tanpa tahun dan tanpa penerbit
a. Caltrans California Departement of Transportation. [s.n]. Highway Design Manual. California : D.O.T
b. Caltrans California Departement of Transportation. 1996. Highway Design Manual. California: [s.n]

9.

Dewan Redaksi tidak bertanggung jawab terhadap isi naskah.

10. Penulis wajib menyertakan alamat korespondensi dengan jelas.


11. Dewan Redaksi dapat menyesuaikan bahasa dan/atau istilah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dengan tidak memberitahukan
kepada penulis, dan apabila dianggap perlu akan berkonsultasi dahulu dengan penulis.
12. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini menjadi hak milik Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Badan Litbang Pekerjaan Umum.

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT LITBANG JALAN DAN JEMBATAN

ISSN 1907 - 0284


9

771907

028497

Anda mungkin juga menyukai