PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini hendak membahas persoalan konflik etnis dan upaya kerja
sama regional ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) dalam menangani
konflik. Sebagaimana diketahui, ASEAN sebagai organisasi kawasan di Asia
Tenggara memberi banyak harapan bagi terjalinnya hubungan internasional di
kawasan yang semakin stabil. Sebagai bentuk kerja sama kawasan, ASEAN
dianggap sebagai salah satu instrumen yang mampu menjaga kestabilan dan
keamanan kawasan.
karena etnis ini banyak mendapatkan tindak diskriminasi baik dilakukan oleh
warga atau bahkan oleh pemerintahnya. Etnis Rohingya memang bukan satusatunya etnis yang mendapatkan tindakan diskriminasi, etnis lain seperti Christian
Karen, Chin, Kachin dan Mon5 juga mendapatkan perlakuan diskriminasi. Namun,
yang membedakan, hanya etnis Rohingya yang tidak diakui sebagai warga negara
Myanmar.
Pada era pemerintahan Thein Sein yang menjabat sebagai presiden sejak
30 Maret 2011, etnis ini juga masih mendapatkan tindakan diskriminasi. Presiden
Thein Sein bahkan tidak menunjukkan niatnya untuk segera menyelesaikan
konflik ini. Pemerintahan Thein Sein mengakui Rohingya sebagai Illegal Bengali,
dan merupakan salah satu etnis Bangladesh yang masuk ke dalam wilayah
Myanmar secara illegal. Dalam salah satu wawancaranya, Thein Sein berargumen
to use the term Rohingya, in our ethnic history we do not have term Rohingya.6
Hal tersebut menunjukkan bahwa Thein Sein menganggap Rohingya bukan
bagian dari etnis grup yang dimiliki Myanmar.
Pada Juni tahun 2012 terjadi peningkatan eskalasi konflik antara etnis
Rakhine dan etnis Rohingya terkait adanya tuduhan pemerkosaan terhadap wanita
etnis Rakhine. 7 Tiga hari setelah kejadian tersebut, sejumlah 300 warga etnis
Rakhine menyerang bus yang ditumpangi warga etnis Rohigya dan menewaskan
10 orang. Sejak kejadian tersebut, sekitar 100.000 warga etnis Rohingya terlantar
dan mencari suaka.8 Pada 23 Oktober 2012 terjadi penyerangan yang dikoordinasi
oleh pemerintah Myanmar, Ethnic Rakhine Nasionalist Party, dan Pendeta
Buddha. Portal berita Aljazeera memberitakan, sekitar 5.000 bangunan milik etnis
M. Razvi, The Problem of Burmese Muslims, Pakistan Horizon, Vol. 31, No. 4, 1978,
p. 82.
6
M. Zarni, British aid for Myanmar ethnic cleansing, Asia Times (daring), 19 Juli 2013,
dalam (http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/SEA-01-190713.html), diakses 23
Desember 2013.
7
B. Brady, Burmas Rohingya Muslims Targeted by Buddhist Mob Violence, The
Daily Beast (daring), 27 Juni 2012, dalam
(http//:www.thedailybeast.com/articles/2013/06/27/burma-s-rohingya-muslims-targeted-bybuddhist-mob-violence.html) diakses 19 desember 2013.
8
Y. R. Kassim, Plight of the Rohingya: ASEAN Credibillity again at stake, RSIS
Commentaries S. Rajaratnam School of International Studies, 6 November 2012, p.2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan dua
pertanyaan penelitian: (1) Apa upaya ASEAN dalam penyelesaian konflik
Rohingya di Myanmar? dan (2) Bagaimana prinsip non-intervensi ASEAN
memengaruhi upaya ASEAN dalam penyelesaian konflik Rohingya?
C. Landasan Konseptual
Untuk memahami persoalan di atas, hendak diajukan konsep mengenai
prinsip non-intervensi ASEAN. Prinsip non-intervensi merupakan salah satu
prinsip yang dipegang oleh ASEAN yang disebut sebagai ASEAN Way11. Prinsip
non-intervensi menjadi salah satu hal yang perlu dikaji lebih dalam untuk melihat
peran ASEAN dalam penyelesaian persoalan di kawasan ini. Oleh karena itu,
prinsip ini akan menjadi konsep utama yang digunakan dalam menganalisis dua
pertanyaan penelitian di atas.
11
ASEAN Way merupakan cara ASEAN dalam menanggapi dan menyikapi isu di
kawasan. ASEAN way menekankan adanya norma-norma seperti musyawarah mufakat
(konsensus) dan prinsip non-intervensi dalam hubungan di kawasan serta mendorong negara
anggota untuk bekerja sama dengan cara dialog dan konsultasi. Baca I. Halina, Menyoroti Prinsip
Non-Intervensi ASEAN, Multiversa: Journal of International Studies, Vol. 1, No.1, 2011, p.8.
15
L. Wu, East Asia and The Principe of Non-Intervention: Policies and Practices,
Maryland Series in Contemporary Studies, No.5, 2000, p.15.
Malaysia Thailand terkait dengan perbatasan dan suku muslim Pattani.16 Oleh
karena itu, prinsip non-intervensi ini dibutuhkan guna membentengi rasa
kekhawatiran akan adanya campur tangan negara anggota lainnya dalam kerangka
kerja sama ASEAN. Sejarah negara pendiri ASEAN yang diwarnai dengan
konflik membutuhkan adanya jaminan non-intervensi dalam hubungannya di
kawasan.
Selain itu, dalam konteks diplomasi internasional, pada waktu itu ASEAN
dibentuk dalam rangka membentengi pengaruh komunis yang mulai datang ke
negara-negara Asia Tenggara. Hal tersebut dapat dilihat dari pendudukan Uni
Soviet di Vietnam utara hingga terjadi Perang Vietnam. Oleh karena hal tersebut,
prinsip non-intervensi mutlak dibutuhkan untuk membentengi kekuatan dan
campur tangan negara (baik negara anggota maupun negara non-anggota)
terhadap urusan domestiknya.
2. Konteks Institusional
Dalam konteks institusional, pendiri ASEAN, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand merupakan bekas negara jajahan (kecuali
Thailand), dan masih mempunyai kekhawatiran akan intervensi negara
penjajahnya. Negara-negara yang baru merdeka tersebut juga sedang membangun
nation-building-nya baik melalui integrasi bangsa maupun integrasi wilayah. Oleh
karena itu, kedaulatan dan jaminan untuk tidak ikut campur urusan masing-masing
menjadi hal mutlak yang harus dimiliki oleh ASEAN.
Ethnic secessionist demands threatening territorial integrity,
16
dukungan
terhadap
nation-buliding
dengan
menghormati
kemerdekaan dan kedaulatan serta persetujuan untuk tidak ikut campur urusan
dalam negeri masing-masing negara. Hal-hal di atas lah yang kemudian menjadi
pendorong munculnya prinsip non-intervensi yang juga diterapkan di ASEAN.
3. Konteks Filosofis
Dari segi filosofis, pendiri ASEAN waktu itu adalah orang-orang dengan
pemikiran konservatif seperti Yusof Ishak (Singapura), Tunku Abdul Rahman
(PM Malaysia), Thanom Kittikachorn (PM Thailand), Ferdinand Marcos
(Presiden Filipina) dan Soekarno (Presiden Indonesia). Kejiwaan tokoh-tokoh
yang menganggap kedaulatan dan nation-building sangat dibutuhkan menjadikan
prinsip ini perlu diterapkan di ASEAN. Tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh
yang menolak adanya campur tangan asing terhadap urursan dalam negerinya.
Selain itu pula, Thanom Kittikachorn juga merupakan tokoh anti-komunis,
sehingga pemikiran tersebut sedikit banyak memengaruhi eksistensi prinsip nonintervensi. Pemikiran konservatif ini ikut memengaruhi munculnya ide prinsip
non-intervensi sebagai fondasi utama ASEAN.
Menurut Amitav Acharya ada 4 aspek dalam penerapan prinsip nonintervensi, yaitu:
1. Menahan diri untuk tidak mengkritik tindakan negara anggota terhadap
rakyatnya sendiri
2. Mengecam negara anggota yang melanggar prinsip non-intervensi
18
Penafsiran umum dari penjelasan Charles W. Kegley tersebut bahwa politik luar
negeri dapat dikatakan sebagai kebijakan suatu negara yang ditujukan untuk
negara lain atau masyarakat internasional dan diformulasikan untuk kepentingan
19
A. Acharya, p. 58
C.W. Kegley, World Politics: Trend and transformation, 11th Edition, Thomson
Wadsworth, Boston, 2008, p. 56
20
nasional sebuah negara. Politik luar negeri merupakan bentuk tindakan dari suatu
negara dalam merespon kondisi lingkungan dan kebijakan negara lain yang
tentunya telah dikalkulasikan untung dan ruginya. Dalam hal ini, Politik luar
negeri dapat didefinisikan sebagai sebuah serangkaian strategi dalam mencapai
kepentingan nasional. Dapat diartikan juga sebagai sebuah pendekatan yang
digunakan oleh suatu negera untuk mencapai kepentingannya dalam melakukan
hubungan dengan masyarakat internasional.
Politik luar negeri ini ditetapkan sebagai cara sistematis untuk menangani
masalah-masalah yang mungkin timbul dalam melakukan hubungan dengan aktor
eksternal (di lingkungan internasional). Pada dasarnya, Politik luar negeri ini
dirumuskan karena adanya keinginan untuk memproteksi tujuan dari suatu negara,
juga merupakan efek dari politik internasional yang juga memengaruhi keamanan
sebuah negara, dan merupakan tantangan baru dalam politik dunia yang semakin
terpengaruh arus globalisasi.
Ruang lingkup analisa politik luar negeri:
1. The influences of foreign policy (hal-hal yang memengaruhi pembuatan politik
luar negeri). Termasuk dalam kategori ini adalah aspek kemampuan ekonomi
atau militer; kondisis geografis; penduduk; sistem politik; sistem internasional;
globalisasi.
2. The decision making process (proses pembuatan politik luar negeri). Proses
pembuatan politik luar negeri ditentukan oleh: struktur konstitusi dan institusi
negara; komposisi dan sirkulasi elite pembuat kebijakan; interaksi dan
hubungan antar-elite pembuat kebijakan; dan, nilai, kepribadian para pembuat
kebijakan.
3. The implementation of foreign policy (pelaksanaan politik luar negeri).
Pelaksanaan politik luar negeri menyangkut bagaimana dan dengan cara apa
kebijakan diubah menjadi tindakan. Selin itu, berkaitan pula dengan kesesuaian
antara tindakan dan prinsip politik luar negeri suatu negara.
Respon dan upaya dari negara anggota ASEAN, secara spesifik akan
dianalisa dengan menggunakan konsep politik luar negeri menurut perspektif
liberal. Politik luar negeri dalam perpektif liberal menekankan pada perlunya
10
S. Smith, A. Hadfied & T. Dunne (ed), Foreign Policy: Theories, Actor, Cases, Oxford
University Press, Oxford, 2008, pp. 49-70.
22
W. F.Hanrieder, Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays, David
McKay Co., New York, 1971, p. 22.
11
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan terdiri dari lima bab. Bab pertama, pendahuluan,
membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual,
hipotesis dan sistematika penulisan dari skripsi ini. Bab kedua akan
menggambarkan seluk-beluk mengenai etnis Rohingya. Termasuk dalam bab ini
adalah paparan tentang awal kedatangan/sejarah Rohingya di Myanmar,
perdebatan sejarah, pelanggaran HAM yang didapat oleh Rohingya dan
perkembangan konflik Rohingya di era kontemporer. Bab ketiga membahas upaya
ASEAN dan negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan kasus ini. Bab
keempat membahas mengenai pengaruh prinsip non-intervensi ASEAN dalam
penyelesaian kasus Rohingya. Bab ini berusaha untuk menganalisis bagaimana
prinsip non-intervensi memengaruhi peran ASEAN dalam menyelesaiakan
persoalan Rohingya, juga bagaimana prinsip ini menjadi dilema bagi ASEAN, dan
menjelaskan lemahnya lembaga dan legislasi yang dibentuk oleh ASEAN. Bab
kelima berisi kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini.
12