Anda di halaman 1dari 30

Referat

Oleh :
Chairuna Noor
1102008278

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS TK II Moh. Ridwan Meuraksa Jakarta,
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Jakarta.

Jakarta, Juli 2015


Pembimbing

Letkol CKM dr. Dian Andriani R.D, Sp.KK, M.Biomed (AAM), MARS

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini, sebagai salah satu
syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin di RS TK II Moh. Ridwan Meuraksa Jakarta. Salawat dan salam selalu
tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di
masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini penulis

banyak mendapat bantuan,

bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada :
1

Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya.

Keluarga yang selalu memberi dukungan materil maupun spiritual

Letkol CKM dr. Dian Andriani RD, Sp.KK, M.Biomed, MARS, selaku
pembimbing referat.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan

kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga referat ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga kita selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin

Jakarta, Juli 2015

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).
Penyebab penyakit ini kadang-kadang tidak diketahui, akan tetapi sebagian
besar kasus dipengaruhi oleh beberapa faktor. Gaya hidup masyarakat Indonesia turut
berperan penting menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya penyakit ini. Faktor luar
yang menjadi pemicu utama berjangkitnya penyakit kulit ini adalah alam tropis
Indonesia yang sangat panas dan lembab, sehingga badan kita sering mengeluarkan
keringat.
Secara umum, terdapat dua macam DKI berdasarkan jenis bahan iritannya,
yaitu DKI akut (iritan kuat) dan kumulatif (iritan lemah). 5 Bentuk DKI akut terjadi
setelah paparan tunggal terhadap agen yang merupakan toksin bagi kulit. 2 Kerusakan
kulit oleh bahan iritan terjadi hanya dalam satu kali pajanan, meliputi pajanan
terhadap asam pekat, basa pekat, cairan pelarut kuat, zat oksidator, dan reduktor
kuat.8,9 Pada DKI kumulatif kerusakan terjadi setelah beberapa kali pajanan pada
lokasi kulit yang sama terhadap zat-zat iritan lemah seperti air, deterjen, zat pelarut
lemah, minyak dan pelumas, sehingga apabila terpajan terlalu lama dapat
menyebabkan terjadinya nekrosis.2,10 Hal ini tergantung pada konsentrasi agen
penyebab, penetrasi dan ketebalan stratum korneum pada masing-masing individu.
Apabila zat tersebut berada diatas ambang batas seharusnya, maka dikelompokkan
sebagai DKI akut. Apabila zat-zat tersebut tidak cukup toksik, namun dapat
menyebabkan kerusakan kulit pada beberapa kali pajanan untuk menimbulkan suatu
inflamasi, maka akan dikelompokkan sebagai DKI kumulatif.2,9
Berikut ini akan dibahas secara ringkas mengenai jenis-jenis dermatitis kontak
beserta tindakan pengobatan dan pencegahan.

BAB II
DERMATITIS
A. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit pada epidermis dan dermis sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, yang dapat menimbulkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal.(1) Tanda polimorfik tidak selalu muncul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
dapat menjadi kronik.(2) Sinonim dermatitis adalah ekzem.(1)
B. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), misalnya bahan kimia
(contoh: detergen, bahan asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar matahari, panas),
mikroorganisme (contoh: bakteri, jamur); dapat pula berasal dari dalam (endogen),
misalnya dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti. (3)
Banyak pula dermatitis yang belum diketahui dengan pasti patogenesisnya, terutama
yang banyak penyebab faktor endogen.
C. Gejala Klinis
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat sirkumsrip, dapat pula difuse.
Penyebarannya dapat setempat, generalisata, dan universalis.(1)
i.

Stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula, erosi
dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans).

ii.

Stadium subakut, eritema dan edema berkurang, eksudat mengering menjadi


krusta.

iii.

Stadium kronis lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul, dan


likenifikasi, mungkin bisa terdapat erosi dan eksoriasi akibat garukan.

Gambaran klinis tidaklah harus sesuai stadium, karena suatu penyakit dermatitis
muncul dengan gejala stadium kronis. Begitu pula dengan efloresensi tidak harus
polimorfik, karena dapat muncul oligomorfik (beberapa) saja. Keluhan penyakit
dermatitis merupakan hal yang sering terjadi, karena penyakit ini dapat menyerang
pada orang dengan rentang usia yang bervariasi, mulai dari bayi hingga dewasa serta
tidak terkait dengan faktor jenis kelamin.(3)

D. Histologi
Perubahan histologik dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis, bergantung
pada stadiumnya.(1)
1. Stadium akut; kelainan di epidermis berupa vesikel atau bula, spongiosis,
edema intrasel, dan eksositosis, terutama sel mononuclear. Dermis sembab,
pembuluh darah melebar, ditemukan sebukan terutama sel mononuclear,
eosinofil kadang ditemukan, tergantung penyebab dermatitis.
2. Stadium subakut; ampir seperti stadium akut akan tetapi jumlah vesikel
berkurang di epidermis, spongiosis masih jelas, epidermis tertutup krusta, dan
parakeratosis, edema di dermis berkurang, vasodilatasi masih tampak jelas,
demikian pula sebukkan sel radang.
3. Stadium kronik; epidermis hyperkeratosis, parakeratosis, akantosis, rete
ridges memanjang, kadang ditemukan spongiosis ringan, vesikel tidak ada
lagi, dinding pembuluh darah menebal, terdapat sebukan sel radang
mononuclear di dermis bagian atas, jumlah fibroblast dan kolagen bertambah.
(1)

E. Klasifikasi
Pembagian berdasarkan tatanama atau nomenklatur, morfologi ataupun
stadium masih menjadi kontroversial dimana belum terjadi kesepakatan. Maka dari
itu, kami akan memaparkan pembagian berdasarkan etiologi:
Eksogen:
Dermatitis kontak; Jenis eksim ini disebabkan karena faktor di luar tubuh
penderita, seperti terpapar bahan kimia, iritasi karena sabun, kosmetik, parfum
dan logam. Dermatitis kontak adalah jenis eksim yang paling banyak diderita
manusia, diperkirakan 70% penyakit eksim merupakan jenis ini. Secara klinis
jenis eksim ini memiliki gejala terasa panas, kemudian muncul benjolan, dan
disertai adanya cairan. Bagian kulit yang terserang memiliki batas tepi yang
jelas. Tetapi jenis eksim ini dapat menjadi kronis yang ditandai dengan kulit
semakin mengering, pigmentasi, terjadi penebalan kulit sehingga tampak
garis-garis pada permukaan kulit dan kemudian terjadi retak-retak seperti
teriris pada kulit.(3)

Endogen:
Dermatitis atopik; jenis eksim yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan
jenis eksim dermatitis kontak yaitu adanya rasa gatal, memiliki bentuk yang
khas terutama pada kulit wajah dan lipatan-lipatan tubuh, serta adanya riwayat
atopik yaitu alergi atau asma. Jenis eksim ini banyak menyerang anak-anak
dan bayi, dan biasanya merupakan penyakit eksim kambuhan.
Dermatitis numularis;
Jenis eksim ini pada umunya berhubungan dengan kulit kering dan sering
menyerang pada orang yang berusia lanjut. Gejala penyakit eksim jenis ini
berupa kulit mengering, merah, gatal, dan muncul dalam bentuk bulatanbulatan pipih seperti koin logam, biasanya terdapat pada kulit kaki dan tangan.
Neurodermatitis;
peradangan kronik pada kulit yang tidak diketahui penyebabnya, lebih sering
ditemukan pada wanita daripada pria dan puncak insidennya adalah umur
paruh baya.
Dermatitis stasis;
jenis eksim kulit yang berkaitan dengan adanya varises pada bagian kaki. Jenis
eksim ini terdapat pada kaki ditandai dengan rasa gatal, penebalan kulit serta
berubahnya warna kulit menjadi memerah bahkan kecoklatan.(1,4)

BAB III
DERMATITIS KONTAK
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang
menempel pada kulit dan menyebabkan alergi atau reaksi iritasi.(2) ruamnya terbatas
pada daerah tertentu dan seringkali memiliki batas yang tegas. Ada 2 macam
dermatitis kontak, yaitu
1. Dermatitis kontak iritan
Dermatitis yang terjadi ketika kulit terpajan bahan iritan seperti detergen,
asam, basa, serbuk kayu, semen, dan sebagainya. Dapat menyebabkan
kerusakan pada kulit apabila teriritasi berulang selama periode tertentu.(4)
2. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis yang terjadi ketika kulit tersensitisasi oleh suatu substansi
(allergen), dan kontak ulang dengan substansi tersebut. Ini merupakan reaksi
kulit tipe lambat.(4)
A. DERMATITIS KONTAK IRITAN (DKI)
a. Definisi
Dermatitis kontak iritan adalah suatu dermatitis kontak yang
disebabkan

oleh

bahan-bahan

yang

bersifat

iritan

yang

dapat

menimbulkan kerusakan jaringan. Dermatitis kontak iritan dibedakan


menjadi 2 yaitu dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis kontak iritan
kronik (kumulatif). (5)
i.

Dermatitis kontak iritan akut adalah suatu dermatitis iritan yang


terjadi segera setelah kontak dengan bahan bahan iritan yang
bersifat toksik kuat, misalnya asam sulfat pekat. (2)

ii.

Dermatitis kontak iritan kronis (Kumulatif) adalah suatu dermatitis


iritan yang terjadi karena sering kontak dengan bahan- bahan iritan
yang tidak begitu kuat, misalnya sabun deterjen, larutan antiseptik.
Dalam hal ini, dengan beberapa kali kontak bahan tadi dapat

menimbulkan iritasi dan terjadilah peradangan kulit yang secara klinis


umumnya berupa radang kronik.(1,2)

b. Etiologi
Bahan yang menyebabkan iritasi sebagian besar adalah bahan kimia,
dalam bentuk padat, cair, atau gas, ada juga yang termasuk mineral atau
partikel tumbuhan, misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas,oli,
asam, alkali, dan serbuk kayu.(4) Dalam beberapa menit kontak langsung
dengan zat kimia yang korosif dapat merusak kulit sehingga kulit tampak
seperti terbakar. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga
dipengaruhi oleh faktor lain yaitu; lama kontak, kekerapan pajanan (terusmenerus atau berselang), demikian pula gesekan dan trauma fisis, suhu,
kelembaban lingkungan juga ikut berperan.(3) Ambang batas untuk iritasi
bervariasi dari satu orang ke orang lain, faktor individu juga ikut berpengaruh
pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan kulit di berbagai tempat
menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di bawah 8 tahun dan usia
lanjut lebih mudah teriritasi, penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan menurun).(1) Namun, dengan paparan
yang cukup dan konsentrasi yang cukup tinggi, semua orang rentan terhadap
dermatitis kontak iritan.(4)
Tabel 1. Tabel Faktor Eksogen yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak Iritan5
a. Tipe Iritan (pH, aktivitas kimia)
b. Penetrasi iritan ke kulit
c. Temperatur tubuh
d. Faktor mekanis (tekanan , friksi, abrasi)
e. Lingkungan (temperatur, kelembaban)
f. Faktor pajanan lain (lamanya, langsung atau airborne)

c. Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak, lapisan tanduk, dan mengubah daya
ikat air kulit. Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak,
sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria,
atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat, diasilgliserida dan platelet activating factor
(PAF). Asam arakidonat diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien
(LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas
vaskular. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoaktratan kuat untk limfosit
dan neutrofil, serta mengaktifkan

sel mast melepaskan histamin.

Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan


sintesis protein misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage. IL1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresikan
stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Rentetan kejadian tersebut
menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit
berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan
menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi
dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di
bawahnya oleh iritan.(2)
d.

Gejala Klinis
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan.

Iritan kuat memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberikan gejala
kronis.(1)
i.

Dermatitis Kontak Iritan Akut


Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan dan reaksi segera
timbul. Kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula dapat
muncul. Luas kelainan umumnya sebatas daerah yang terkena dan
berbatas tegas. Penyebabnya adalah iritan kuat seperti larutan asam
sulfat dan asam hidrokloid, atau basa kuat seperti natrium dan kalium

ii.

Dermatitis Kontak Iritan Lambat

Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul
8 sampai 24 jam atau lebih setelah kontak. Contohnya ialah dermatitis
yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari
(dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau
bahan nekrosis.(2)

iii.

Dermatitis Kontak Iritan Kumulatif


Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lainnya ialah
DKI kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan
yang lemah. Faktor fisis misalnya; gesekan, trauma mikro, kelembaban
rendah, panas atau dingin, juga bahan lain misalnya; detergen, sabun,
pelarut, tanah, bahkan juga air. DKI kumulatif/kronis mungkin terjadi
karena kerjasama berbagai faktor. Kelainan baru nyata setelah kontak
berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian,
sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor yang sangat
penting.(1)
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit
tebal (hiperkeratosis) dan likenifikasi difus. Bila kontak terus
berlangsung akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur),
misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus
menerus dengan detergen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau
nyeri karena kulit retak, ada kalanya kelainan hanya berupa kulit
kering atau skuama tanpa eritema. DKI kumulatif sering berhubungan
dengan pekerjaan.

e. Diagnosis
i.

Anamnesis
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. Pada DKI akut lebih mudah
diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih
mudah mengingat penyebab terjadinya, sedangkan DKI kronis timbul

lebih lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga


kadang sulit dibedakan dengan DKA.
Pada anamnesis ditanyakan secara mendalam mengenai pekerjaan
pasien, apakah berhubungan dengan pekerjaan basah, kontak sabun,
detergen, kontak dengan bahan pelarut organik/ alkali, tanyakan juga
mengenai hobi pasien. Pada pasien DKI akut juga harus ditanyakan
onset dari gejala, apakah terjadi selama beberapa menit atau sampai
beberapa jam, karena pada pasien DKI akut yang lambat
dikarakteristikkan oleh kausa pajanannya, seperti benzalkonium
klroida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi
inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan. Onset dari gejala dan
lesi yang didapatkan hingga berminggu-minggu sudah termasuk DKI
kumulatif atau DKI kronis, karenapada DKI kumulatif terjadi akibat
pajanan berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit. Penderita
akan merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak
nyaman akibat pruritus yang terjadi. Pada anamnesis ditanyakan juga
riwayat pengobatan sebelumnya, adanya friksi dan lain-lain.2,4
ii.

Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik bisa ditegakkan dengan melihat lesi
berdasarkan tabel dibawah ini:
Tabel 2. Tabel Kriteria Diagnostik pada Dermatitis Kontak11

MAYOR
Sujektif

Onset simptom biasanya dalam menit

MINOR

minggu setelah terpajan

hingga beberapa jam setelah terpajan

Nyeri, panas, kesemutan

Onset dermatitis dalam 2

Banyak orang yang di


lingkunagnn yang sama
mengalami gejala yang sama.

Objektif

Makula eritem, hiperkeratosis, atau

pada permukaan kulit

adanya fisura

Gambaran mengkilat, kering atau

melepuh pada kulit

Proses penyembuhan dimulai segera

Bentuk simsumkrip yang tajam


Terdapat pengaruh gravitasi
seperti efek dripping (tetesan).

Tedensi dermatitis untuk

menyebar berkurang

pada bagian yang tereksposur terhadap

agen

Patch tes negatif

Perubahan morfologi
menunjukkan sedikit perbedaan
konsentrasi atau waktu kontak
menghasilkan perbedaan besar
dalam kerusakan kulit.

iii.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis
kontak iritan. Lesi kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan
dihilangkan.(2,11)
Pada beberapa kasus, dermatitis kontak merupakan hasil dari efek
berbagai iritan. Patch test dapat digunakan untuk menentukan substansi
yang menyebabkan kontak dermatitis dan juga dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding DKA. Konsentrasi yang digunakan
harus tepat, jika terlalu sedikit akan memberikan hasil negatif palsu
oleh karena tidak adanya reaksi,sebaliknya jika terlalu tinggi dapat
terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch test dilepas setelah
48 jam, hasilnya akan dilihat dan dicatat apabila reaksi positif. Untuk
pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan kembali pemeriksaan pada 48
jam berikutnya. Jika hasilnya didapatkan lesi kulit yang sama atau
bahkan membaik, maka dapat didiagnosis sebagai DKI. Pemeriksaan
patch test digunakan untuk pasien DKI kronis dengan dermatitis
kontak yang rekuren.(2,11)
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi
sekunder

bakteri.

Pemeriksaan

KOH

dapat

dilakukan

untuk

mengetahui adanya mikologi pada infeksi jamur superfisial infeksi


kandida, pemeriksaan ini tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
Pemeriksaan IgE untuk memeriksa peningkatan imunoglobulin E yang
dapat mendukung adanya riwayat atopik.9,11
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya
lebih cepat. Sebaliknya DKI kronis timbulnya lebih lambat serta

mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga adakalanya sulit


dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan uji
tempel dengan bahan yang dicurigai.(2)
f. Pengobatan
Pentingnya identifikasi, eliminasi dan proteksi dari pajanan lebih lanjut
terhadap bahan iritan merupakan terapi umum dalam pencegahan dan
penatalaksaan DKI. Berkembangnya penyakit dermatitis menyebabkan
munculnya pengobatan topikal yang sangat membantu dalam mengobati
dermatitis, khususnya dermatitis kontak iritan. Sebenarnya peran
kortikosteroid topikal dalam penatalaksanaan DKI masih kontroversial,
akan tetapi hal tersebut dapat membantu untuk menangani efek
antiinflamasi kulit yang terjadi pada DKI. Efek utama penggunaan KS
secara topikal pada epidermis dan dermis ialah efek vasokonstriksi, efek
antiinflamasi, dan efek antimitosis, namun penggunaan jangka panjang
kortikosteroid

topikal

dapat

menyebabkan

atrofi

epidermis

dan

peningkatan kerentanan terhadap iritasi.(2,4,6,7)


Emolien atau occlusive dressing dapat meningkatkan perbaikan barrier
pada kulit kering dan kulit yang mengalami likenifikasi. Emolien berbasis
petrolatum tradisional dapat diakses, murah, dan telah terbukti efektif
sebagai emolien yang mengandung lipid kulit yang terkait. krim barrier
memiliki jumlah yang terbatas. Kalsineurin inhibitor topikal (misalnya,
pimecrolimus)

dapat

digunakan

sebagai

alternatif-potensi

rendah

kortikosteroid topikal di DKI kronis.(2,7)


Dalam kasus yang parah atau kronis, fototerapi (psoralens dengan UVA
atau UVB) atau obat sistemik, seperti azathioprine dan siklosporin,
mungkin efektif. Grenz radioterapi adalah pengobatan tambahan yang
memiliki potensi lini ke tiga. Superinfeksi bakteri dapat diobati dengan
antibiotik topikal atau sistemik. Dalam iritasi sensorik, garam strontium
bertindak dengan selektif menghambat aktivasi kulit jenis nosiseptor C.(2,5)
DERMATITIS KONTAK ALERGI (DKA)
a. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi. (1)

b. Etiologi dan Predisposisi


i.

Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering

berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang
juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi
oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di
kulit. (1)
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison
ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung urushiol
yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl cathecols. Bahan
lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam), potassium dichromat
(semen, pembersih alat -alat rumah tangga), formaldehid, etilendiamin (cat
rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan
parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi). (1)
ii.

Predisposisi

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.


Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal(1):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu(1):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik

Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar


matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel
4) Status higinie dan gizi
Seluruh faktor faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai
contoh,

saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus

higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi sensitisasi
allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga sistem
imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah.
Selain hal hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak
alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu,
misalnya dermatitis statis. (14)
c. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang
sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus lapisan
epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan membentuk
kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang terbentuk
diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening yang mengalir
dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat hapten dan
terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten
diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan
memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan
terjadinya radang yang ditimbulkan oleh limfokin. (16)
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien, IFN,
dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit

tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan manifestasi


klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan
terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama
sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun.16
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan
dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel
yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak
nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat
menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih
dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering mengenai
bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata. (16)

d. Penegakan Diagnosis
i.

Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan

pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal


(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa hiperpigmentasi,
likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat

dari logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat
pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik,
kosmetika, bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit
kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan
maupun keluarganya.(18,19) Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA(18,19)


Demografi dan riwayat

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pekerjaan

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,


paparan berulang dari alergen yang didapat saat

Riwayat penyakit dalam

kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.


Faktor genetik, predisposisi

keluarga
Riwayat penyakit

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

sebelumnya
Riwayat dermatitis yang

obat yang digunakan, tindakan bedah


Onset, lokasi, pengobatan

spesifik
ii.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan

pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.


Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua
kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang
cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit
lain karena sebab-sebab endogen. (18,19)

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (18,19)


Lokasi
Tangan

Kemungkinan Penyebab
Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)

Lengan

dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.


Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu

Ketiak

semen, dan tanaman.


Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada

Wajah

di pakaian.
Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai

Bibir
Kelopak mata

kacamata).
Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep

Telinga

mata.
Anting

Leher

kacamata, obat topikal, gagang telepon.


Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat

Badan

warna pakaian.
Tekstil, zat warna, kancing logam, karet

yang

terbuat

dari

nikel,

tangkai

(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut


atau pewangi pakaian.
Antiseptik, obat topikal,

Genitalia

nilon,

kondom,

pembalut wanita, alergen yang berada di


Paha dan tungkai bawah

tangan, parfum, kontrasepsi.


Tekstil, kaus kaki nilon,

obat

topikal,

sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat
diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar
berikut :
a

Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena
alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada
lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang

popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang


dijumpai pada lokasi kontak langsung.

Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis
kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca
mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar
dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta bahan kimia lainnya.
Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya
yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga
mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa
mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi
subakut pada telinga dan sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa
pasien alergi terhadap bahan plastik

Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil, zat


warna kancing logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis kontak pada perut

karena pasien alergi pada karet dari celananya. Terlihat adanya eritema
yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena alergen.

Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom,


pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi,
deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah vulva karena alergi
pada cream yang mengandung neomisin, terlihat eritema

Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan


oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen,
sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena
Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki mengalami
skuama, krusta

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis
numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang
utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini
pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan,
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.(18,19)
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk
yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila
diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung
tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan
dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam
yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit
dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam.
Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu

kontrol (5 sampai 10 orang) untuk menyingkirkan kemungkinan


terkena iritasi.(18,19)

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel. 18,19
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau
excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji
tempel dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20
mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat
menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin
sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena
urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan
kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung
selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.

5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap


penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini
dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.
Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek
tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya
dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam


Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah
aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini
penting untuk membantu membedakan antara respons alergik atau
iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif

alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh


karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu
terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi. (18,19)
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi
lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke +
atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan
cenderung menurun (reaksi tipe decrescendo) . (18,19)
b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara (18,19):
i.

Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang


didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.

ii.

Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi,


kulit normal tidak perlu diikutsertakan.

iii.

Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi


adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.

iv.

Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.

v.

Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/


banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.

vi.

Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan


jaringan subkutis.

vii.

Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan


fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.

viii.
ix.

Lalu dikirim ke laboratorium


Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah HematoksilinEosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.

x.

Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume


jaringan

xi.

Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan


hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis
atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi
tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis18,19:
i.

Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum


korneum.

ii.

Hiperplastik, akantosis yang luas.

iii.

Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini


ditandai dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan
spinosus.

iv.

Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul


normal.

2) Dermis18,19:
i.

Limfosit perivesikuler

ii.

Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi

iii.

Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi


Terlihat

hiperkeratosis,

vesikel

parakeratosis

subkorneal,

spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis


yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis.18,19

4. Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan
pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya
tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia
murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari rumah,
lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini
yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun jarang dapat
memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu, bila
menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus
berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak
diketahui.18,19
e. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek
serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi. 15
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen 19
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan,
aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak
3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3
kali untuk anak anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari

3) Bila

terdapat

infeksi

sekunder

diberikan

antibiotika

(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari,


selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut19:
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
f. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila
bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor endogen(dermatitis
atopik, dermatitis numularisatau psoriasia).18,19 Faktor lain yang membuat
prognosis kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari
misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita.1
g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan
lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula

menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah


warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex
chronicus). (14)
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar, Aisah Siti, editor. Dermatitis. 2008. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 5.p 126-38. Jakarta: FKUI.
2. Dorland, W.A. Newman, editor. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta:EGC.
3. Dermatitis Kontak Iritan. Accessed at June 10th, 2015. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3406/htm
4. Neurodermatitis (likem simpleks kronik). Accessed at June 10 th, 2015.
Available

from:

http://www.exomedindonesia.com/referensi-

kedokteran/artikel-ilmiah-kedokteran/kulit/2010/10/26/liken-simpleks -kronik/
5. Dermatitis dan Penyakit Kulit. Accessed at June 10 th, 2015. Available from:
http://spesialiskulit.com/gangguan-kulit/dermatitis-dan-penyakit-kulit/html
6. Dermatitis kontak iritan. Accessed at June 10 th, 2015. Available from:
http://www.scribd.com/doc/35138983/Dermatitis-Kontak-Alergi/html
7. Pengobatan dermatitis. Accessed at June 10 th, 2015. Available from:
http://drugster.info/ail/pathography/1951/html
8. Sign and symptoms of Atopic Dermatitis. 2011. Accessed at June 10 th, 2015.
Available from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/rashes.html#cat45/
9. Atopic Dermatitis. 2011. Accessed at June 10th, 2015. Available from:
http://dermatology.about.com/cs/eczemadermatitis/a/dermatitis/htm
10. Eczema and dermatitis. Accessed at June 10 th, 2015. Available from:
http://dermnetnz.org/dermatitis/dermatitis/html

11. Gravitational dermatitis. Accessed at June 10th, 2015. Available from:


http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=2951/html
12. Dermatitis numularis. Accessed at June 10th, 2015. Available from:
http://medicastore.com/penyakit/74/Dermatitis_numularis.html
13. Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
14. Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis:
an

update.

Tersedia

dalam

http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/contact
%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf.

Diakses

pada

tanggal 22 November 2012


15. Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan
Praktik Edisi 2. Jakarta : EGC
16. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta : EGC.
17. Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta:
EGC
18. Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
19. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
20. Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Jakarta : FKUI.
21. Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak.
Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM
22. Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of
Contact Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .
23. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan
di RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.

Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses


pada tanggal 11 November 2012.

Anda mungkin juga menyukai