Anda di halaman 1dari 10

Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

Jurnal MIPA
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JM

ANALISIS KEANEKARAGAMAN KULTIVAR PISANG MENGGUNAKAN PENANDA


PCR-RFLP PADA INTERNAL TRANSCRIBED SPACER (ITS) DNA RIBOSOM
T.W.D. Ekasari, A. Retnoningsih, T. Widianti
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel

Abstrak

Sejarah Artikel:
Diterima 1 Februari 2012
Disetujui 29 Maret 2012
Dipublikasikan April 2012

Pisang merupakan bahan makanan pokok keempat terpenting di negara berkembang


yang memiliki keanekaragaman sangat tinggi. Penanda DNA mikrosatelit dapat
membedakan kultivar pisang yang memiliki genom A dengan kultivar pisang
bergenom B. Namun penanda mikrosatelit memiliki beberapa keterbatasan, yaitu
membutuhkan primer spesi ik dan membutuhkan preparasi yang lebih rumit,
sehingga membutuhkan waktu dan biaya yang cukup mahal. Polymerase Chain
Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) terhadap DNA
internal transcribed spacer (ITS) ribosom mampu mengklasi ikasikan kultivarkultivar pisang berdasarkan pita restriksi daerah ITS yang dipotong dengan
enzim RsaI. Koleksi DNA dari 15 kultivar pisang di Laboratorium Genetika dan
Molekular Jurusan Biologi UNNES sudah diklasi ikasikan genomnya berdasarkan
mikrosatelit. DNA kultivar pisang diampli ikasi menggunakan primer ITS L dan
ITS 4 menghasilkan fragmen ITS sebesar 700 pb. Pemotongan fragmen ITS DNA
ribosom dengan enzim RsaI menghasilkan fragmen 530 pb yang spesi ik untuk
genom A, fragmen 350 pb dan 180 pb spesi ik untuk genom B. Hasil perbandingan
klasi ikasi genomik berdasarkan mikrosatelit dan PCR-RFLP dari daerah ITS DNA
ribosom menunjukkan bahwa klasi ikasi genomnya serupa.

Keywords:
Internal transcribed spacers
(ITS)
Musa
PCR-RFLP

Abstract
Banana is the fourth most important staple foods in developing countries which has
very high diversity. Microsatellite markers can be able to differentiate bananas cultivars which have A and B genomes, but this marker has restrictions. It requires a
speci ic primer which is takes time and the costs expensive enough. Polymerase Chain
Reaction Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) of the ribosomal
DNA internal transcribed spacer (ITS) was able to classify banana cultivars based
on the restriction band ITS regions cut by RsaI enzyme. The DNA collection from 15
banana cultivars from the Laboratory of Genetics and Molecular Biology Department
of Biological Science UNNES have been classi ied its genome based on microsatellite.
Banana cultivar ampli ied using the primers ITS L and ITS 4 produce ITS fragment
at 700 bp. The cutting of ribosomal DNA ITS fragments by RsaI enzyme produce 530
bp fragment that was unique for the A genome, the other fragment 350 bp and 180
bp genome are unique for the B genome. Comparison result of genomic classi ication
based on microsatellite and PCR-RFLP of ribosomal DNA ITS regions showed that the
genome classi ication was similar.

2012 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi:
Gedung D6 Lantai 1 FMIPA Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: aminrn2010@yahoo.com

ISSN 0215-9945

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

Pendahuluan

keanekaragaman genetik kultivar pisang


berdasarkan morfologi (Jumari & Pudjoarinto
2000; Siddiqah 2002). Penanda morfologi
relatif mudah diidenti ikasi tetapi ekspresinya
dipengaruhi oleh lingkungan (Rao 2004). Selain
itu, penanda morfologi sulit digunakan untuk
membedakan klon atau jenis yang memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat (Darmono
1996a).
Penanda yang lain untuk analisis
keanekaragaman genetik kultivar pisang
misalnya isozim (Megia et al 2001). Penanda
ini berdasarkan perbedaan muatan molekul
protein dari jaringan tanaman. Ada 100 kultivar
pisang bergenom AA, AAA, AAB, ABB, dan BB
yang mampu dianalisis menggunakan isozim
malat dehidrogenase (MDH), peroksidase
(PRX), dan glutamat oksaloasetat transaminase
(GOT) dengan pro il isozim spesi ik sebanyak
16 untuk MDH, 20 untuk PRX, dan 8 untuk GOT.
Penanda ini lebih efektif dari penanda morfologi,
namun memiliki beberapa keterbatasan seperti
diperoleh dari jaringan tanaman dengan asal
dan umur yang sama karena beberapa sistem
enzim tertentu dipengaruhi oleh regulasi
perkembangan jaringan.
Seiring perkembangan era teknologi yang
semakin maju, analisis keanekaragaman genetik
yang lebih tepat dapat dilakukan menggunakan
penanda molekuler. Deoxyribonucleic acid
(DNA) merupakan penyusun utama dari sel
makhluk hidup, perbedaan basa pada DNA
dapat digunakan sebagai penanda dari spesies
tertentu dalam suatu analisis keanekaragaman
untuk tujuan pengembangan sistem pemuliaan
berbasis molekular (Solihin 2005).
DNA pada tanaman terdapat di dalam
inti sel, mitokondria dan kloroplast (Sulandari
& Zein 2003). Pemanfaatan DNA dalam analisis
keanekaragaman genetik pada umumnya
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu a)
berdasarkan hibridisasi DNA-DNA yang dipotong
dengan enzim restriksi, seperti ampli ied
fragment length polymorphism (AFLP) dan
polymerase chain reaction restriction fragment
lenght polymorphism (PCR-RFLP), dan b) random
ampli ication of polymorphism DNA (RAPD), dan
mikrosatelit (Yunus 2004).
Sekuen DNA telah banyak digunakan
dalam penelitian ilogeni karena telah terbukti
menunjukkan hubungan kekerabatan yang
lebih alami. Penanda DNA menyediakan banyak
ciri karena perbedaan laju perubahan basabasa nukleotida di dalam lokus yang berbeda
(Hidayat et al. 2008). Mikrosatelit sebagai
salah satu analisis penanda dalam penentuan

Pisang merupakan bahan makanan pokok


keempat terpenting di negara berkembang
(Tripathi 2003), dan salah satu pusat asal
kelompok pisang adalah Indonesia (Nasution
& Yamada 2001). Pisang merupakan tanaman
hortikultura dengan tingkat produksi cukup
tinggi di Indonesia yang cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Namun selama ini potensi
tersebut belum dimanfaatkan secara optimal.
Buah pisang juga memiliki banyak manfaat
kesehatan, dengan demikian pisang juga
merupakan salah satu bahan pangan yang
mampu meningkatkan gizi masyarakat.
Sudarnadi (1995) menyebutkan bahwa
kultivar pisang konsumsi merupakan keturunan
dari dua jenis tetua pisang liar yaitu Musa
acuminata (genom AA) dan Musa balbisiana
(genom BB). Persilangan tersebut menimbulkan
berbagai variasi genetika melalui beberapa
proses yang berperan penting dalam evolusi
tanaman pisang. Evolusi terjadi melalui berbagai
cara, antara lain mutasi (INIBAP 2003), seleksi
manusia (Kaemmar et al. 1997), dan persilangan
sendiri di dalam jenis, antar jenis, atau
persilangan balik dengan induknya (Simmonds
1995).
Evolusi dari pisang liar menghasilkan
kultivar pisang pada berbagai tingkat ploidi
dengan variasi kombinasi genom AA, BB, AB,
AAA, AAB, ABB, AAAA, ABBB, AAAB, dan AABB
(Stover & Simmonds 1987; Pillay et al. 2006),
serta genom BBB yang diturunkan dari jenis
pisang liar bergenom BB (Valmayor et al. 2000).
Poliploidi pada pisang dapat bersifat
autoploid (AAA), maupun alloploid (AAB dan
ABB) (Simmonds & Shepherd 1955). Genom A
maupun genom B sangat bervariasi. Hal ini dapat
dilihat dari ukuran kromosom (Chikmawati et al.
1998), kandungan lavonoids dan isozim (Horry
1989), pola isozim (Jarret & Litz 1986a; Jarret &
Litz 1986b; Megia et al. 2001), kandungan DNA
pada kloroplas (Gawel & Jarret 1991a), DNA
sitoplasmik (Gawel & Jarret 1991b), sampai
DNA mikrosatelit (Retnoningsih et al. 2009).
Secara sitogenetika ukuran genom A pada M.
acuminata berkisar 591-651 Mbp, lebih besar
dari ukuran genom B pada M. balbisiana sebesar
537 Mbp (Lysak et al. 1999). Oleh karena itu M.
acuminata secara morfologi dan sitologi paling
sedikit memiliki delapan subspecies. Hal ini juga
menjelaskan bahwa genom kultivar pisang yang
sama belum tentu mempunyai ekspresi fenotip
yang sama (Megia 2005).
Secara sederhana telah dilakukan analisis
22

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

genom A dan B pada kultivar pisang, memiliki


kelemahan yaitu primer spesi ik yang digunakan
pada penanda mikrosatelit belum tersedia pada
semua jenis tanaman (Kaemmer et al. 1997),
sehingga diperlukan perancangan untuk kajian
tanaman yang primer spesi iknya belum tersedia
(Azrai 2005).
Penanda
DNA
mikrosatelit
dapat
membedakan kultivar pisang yang memiliki
genom A dengan kultivar pisang bergenom B
(Kaemmer et al. 1997; Retnoningsih et al. 2009).
Penanda ini memiliki beberapa keterbatasan,
yaitu membutuhkan primer spesi ik dan
membutuhkan preparasi yang lebih rumit,
sehingga membutuhkan waktu dan biaya yang
cukup mahal. Oleh sebab itu diperlukan suatu
metode analisis keanekaragaman pisang yang
lebih e isien dari segi waktu dan biaya.
Penanda molekuler lain, RAPD dengan
tiga primer 10-mer (A17, A18, dan D10)
menghasilkan pola pita yang spesi ik pada M.
acuminata maupun M. balbisiana. Primer A17
mengampli ikasi dua pita, yaitu 200 bp dan
100 bp. Primer D10 menghasilkan satu pita
berukuran 320 bp yang hanya ditemukan pada M.
acuminata. Primer A18 menghasilkan tiga pita,
yaitu 200 bp, 250 bp, dan 300 bp yang spesi ik
untuk M. balbisiana (Pillay et al. 2000).
Daerah ITS sering digunakan para
ahli untuk analisis ilogenetik molekuler
pada tumbuhan dalam rangka memahami
keanekaragaman dan menjawab beberapa
masalah ilogenetika. Hal ini karena daerah ITS
memiliki karakteristik unggul, yaitu berukuran
kecil (kurang lebih 700 bp) dan memiliki salinan
yang banyak di dalam genom inti. Karakteristik
ini menyebabkan daerah ITS mudah untuk
diisolasi, diampli ikasi, dan dianalisis (Hidayat et
al. 2008), serta memiliki derajat konservasi pada
setiap komponennya (Darmono 1996b).
Penggunaan
penanda
ini
dengan
metode PCR-RFLP dapat membedakan genom
kultivar pisang di Afrika. Kultivar pisang
diampli ikasi menggunakan primer ITS L dan
ITS 4, menghasilkan pita 700 bp. Pemotongan
menggunakan enzim RsaI menghasilkan satu
pita spesi ik 530 bp pada pisang bergenom A dan
dua pita spesi ik 350 bp dan 180 bp pada pisang
bergenom B (Nwakanma et al. 2003). Hasil
pemotongan menggunakan enzim RsaI pada
sampel pisang di Afrika didapati tujuh genom
pisang yaitu, AA, AAA, BB, ABB, AAB, AAAB, dan
AABB.
Analisis
keanekaragaman
genetik
menggunakan metode PCR-RFLP pada ITS DNA
ribosom lebih efektif karena hanya membutuhkan

primer universal dan dengan teknik lebih


sederhana sehingga membutuhkan waktu yang
lebih singkat. Oleh karena itu, selain memberikan
informasi keanekaragaman genetik, metode
ini dapat digunakan untuk meninjau ulang
klasi ikasi genom kultivar pisang berdasarkan
penanda mikrosatelit (Retnoningsih et al. 2009).
Metode
Pemeriksaan DNA genom, ampli ikasi
PCR dan pemotongan daerah ITS menggunakan
enzim RsaI dilakukan di Laboratorium Genetika
dan Biologi Molekular Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Semarang. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah DNA dari
15 kultivar pisang koleksi Laboratorium Genetika
dan Biologi Molekular Jurusan Biologi FMIPA
UNNES yang diisolasi menggunakan metode
Dixit dan telah diklasi ikasikan genomnya
berdasarkan mikrosatelit (Tabel 1).
Ampli ikasi daerah ITS dilakukan dengan
mencampurkan 100 ng DNA; masing-masing 0,5
l primer ITS L 5TCGTAACAAGGTTTCCGTAGGG3
dan ITS4 5TCCTCCGCTTATTGATATGC3; 15
mM MgCl2, kemudian ditambah masing-masing
200 l dTTP, dCTP, dGTP, dATP dan enzim Taq
polymerase (Biotechnology, Surrey, U.K.). Larutan
buffer yang terdiri atas 75 mM Tris HCl (pH 8,9),
dan 20 mM (NH4)2SO4 ditambahkan ke campuran.
Rangkaian proses ampli ikasi DNA target
terdiri atas tahap denaturasi DNA menjadi untai
tunggal selama 4 menit pada suhu 94oC, diikuti
35 siklus yang terdiri atas denaturasi selama
30 detik pada suhu 94oC, annealing selama 30
detik pada suhu 48oC, dan ekstensi selama 1
menit pada suhu 72oC. Ekstensi akhir dilakukan
selama 7 menit pada suhu 72oC. Hasil ampli ikasi
kemudian diperiksa menggunakan elektroforesis
gel agarose dengan konsentrasi 1,2%.
Fragmen hasil ampli ikasi pada daerah
ITS kemudian dipotong menggunakan enzim
RsaI yang akan menghasilkan beberapa fragmen
tertentu (Nwakanma et al. 2003). Enzim RsaI
bekerja secara optimum pada suhu 37OC
dan memotong DNA pada situs GTAC, 1 unit
enzim RsaI kurang lebih mampu mendigesti
1 g DNA target. Hasil pemotongan diperiksa
menggunakan elektroforesis dengan konsentrasi
2% menggunakan buffer TBE (90 mM Tris, 90
mM asam borat, 2,5 M EDTA, pH 8,3).
Hasil dan Pembahasan
Pemeriksaan DNA genom dari 15 kultivar
pisang menunjukkan pita dengan bentuk
23

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

kompak tanpa smear. Kultivar Ampyang dan


Angkleng menunjukkan pendaran pita yang
lebih tipis bila dibandingkan kultivar yang
lain. Pendaran pita menunjukkan jumlah DNA,
semakin tebal pita menunjukkan jumlah DNA
genom semakin banyak. Hasil elektroforegram
DNA genom dari 15 kultivar pisang dapat dilihat
pada Gambar 1. Pemeriksaan dilakukan untuk
mengetahui kualitas DNA yang telah disimpan
sebelum dilakukan proses PCR. DNA berkualitas
baik diketahui dari pita yang kompak dan tidak
terdapat smear, smear merupakan DNA yang
terpotong-potong dan berukuran kecil. Hasil
pemeriksaan DNA menunjukkan kualitas DNA
yang cukup baik untuk proses PCR. Kualitas DNA
mempengaruhi DNA target yang diinginkan.
Analisis ketebalan pita-pita DNA perlu dilakukan
secara kuantitatif menggunakan realtime PCR.
Kualitas koleksi DNA yang baik, dapat
disebabkan adanya beberapa faktor, antara
lain penyimpanan DNA menggunakan buffer
Tris EDTA (TE), dan disimpan pada suhu -20oC.
Penyimpanan DNA dalam jangka waktu yang
lama dapat berpengaruh terhadap kualitas
DNA, penyimpanan DNA pada buffer TE
mampu menjaga kestabilan DNA bila dibanding
penyimpanan dengan double destilate H2O
(ddH2O). DNA memiliki sifat asam lemah
(deoxyribonucleic acid) sehingga dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan degradasi
DNA oleh DNAase yang aktif pada pH yang sedikit
asam. Buffer TE pH 8 mampu menjaga kestabilan
DNA dalam jangka waktu yang cukup lama bila
dibandingkan ddH2O (Kasper & Lenz 2004).
Selain itu, penyimpanan pada suhu dingin atau
beku lebih efektif untuk mempertahankan DNA.
Zetzsche & Gemeinholzer (2009) menyebutkan
penyimpanan pada suhu -20oC lebih baik
dibandingkan pada suhu -4oC. Penggunaan
alliquot dalam tiap pengambilan DNA lebih
dianjurkan karena proses thawing yang
berulang-ulang akan mempengaruhi DNA.
DNA genom selanjutnya diampli ikasi
menggunakan primer ITS L dan ITS 4. Hasil
ampli ikasi daerah ITS DNA ribosom pada 15
sampel menunjukkan pita berukuran 700 bp
dengan marker 50 bp (Gambar 2). Daerah ITS
merupakan daerah yang sering digunakan
dalam analisis keanekaragaman baik tumbuhan
maupun jamur. Sekuensing daerah ITS banyak
dimanfaatkan
untuk
analisis
sistematik
molekular di tingkat spesies, karena daerah ITS
memiliki derajat variasi yang tinggi.
Hasil ampli ikasi dipotong menggunakan
enzim RsaI. Pemotongan fragmen ITS DNA
ribosom oleh enzim RsaI menghasilkan fragmen-

fragmen potongan dengan ukuran tertentu


(Gambar 3). Ampli ikasi daerah ITS DNA ribosom
menghasilkan tiga ribu juta lebih salinan fragmen
ITS DNA ribosom. Enzim RsaI akan mengenali
urutan basa GTAC sebagai tempat pemotongan,
kemudian memotongnya menjadi lima fragmen
dengan ukuran 530 bp, 350 bp, 180 bp, 120 bp,
dan 50 bp. Fragmen 530 bp ditemukan pada
kultivar yang bergenom A, sehingga fragmen
tersebut bersifat spesi ik sebagai penanda
genom A pada sampel kultivar. Pada kultivar
yang bergenom B, fragmen 530 bp dikenali lagi
oleh enzim sehingga fragmen tersebut terpotong
lagi menjadi dua fragmen dengan ukuran 350 bp
dan 180 bp yang bersifat spesi ik untuk sampel
yang memiliki genom B (Nwakanma et al. 2003).
Pengklasi ikasian kultivar yang terdiri
dari genom A dan B didasarkan pada fragmen
berukuran 530 bp, 350 bp, dan 180 bp.
Kultivar yang bergenom ABB memiliki ketiga
fragmen tersebut, begitu pula dengan kultivar
bergenom AAB, yang membedakannya adalah
ketebalan atau intensitas dari pendaran pita
hasil pemotongan. Pada kultivar pisang yang
bergenom ABB, pendaran pita pada 350 bp
dan 180 bp akan lebih tebal bila dibandingkan
kultivar dengan genom AAB.
Jumlah fragmen ITS DNA ribosom
yang lebih dari 700 bp pada kultivar yang
bergenom ABB maupun AAB dimungkinkan
karena beberapa sebab, yaitu a) waktu inkubasi
pemotongan ITS DNA ribosom oleh enzim
RsaI yang kurang lama sehingga menghasilkan
fragmen potongan yang kurang sempurna pada
fragmen 530 bp menjadi 350 bp dan 180 bp, b)
kromosom homolog yang mengalami ampli ikasi
pada tiap kromosomnya belum tentu berisi
basa-basa yang sama, sehingga saat dipotong
oleh enzim RsaI, kromosom yang mengandung
genom B memiliki situs yang dikenali lagi oleh
enzim RsaI pada fragmen 530 bp sehingga
akan terjadi pemotongan lagi menjadi fragmen
berukuran 350 bp dan 180 bp. Pada kromosom
pembawa genom A, situs pemotongan tersebut
tidak ditemukan, hal ini mengakibatkan kultivar
dengan genom ABB memiliki fragmen 350 bp
dan 180 bp dengan pendaran pita yang lebih
tebal dibandingkan kultivar dengan genom AAB.
Hal ini juga terkait dengan hibridisasi tetua atau
induk dari pisang yang memiliki genom ABB
dan AAB. Kelompok ABB dan AAB merupakan
hasil persilangan antara M. acuminata (AA) dan
M. balbisiana (BB) menghasilkan keturunan
hibrid AB. Hibrid AB kemudian bersilang dengan
jenis liar atau kultivar genom AA maupun BB
menghasilkan genom AAB dan ABB (Valmayor et
24

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

al. 2000).
Penentuan genom AA dan AAA
menggunakan penanda ini belum dapat
dilakukan, karena untuk membedakan kultivar
yang bergenom diploid dan triploid tidak
didapati pita atau ciri yang bersifat spesi ik.
Hal ini juga terjadi pada penanda mikrosatelit,
sehingga untuk mendapatkan keakuratan genom
pisang yang diploid dan triploid diperlukan
uji menggunakan penanda lain. Untuk
menentukan tingkat ploidi yang lebih akurat
dapat dilakukan analisis sitometri yang sensitif
untuk membedakan tingkat ploidi, tetapi kurang
sensitif membedakan komposisi genom poliploid
(Dolezel et al. 2004).
Kultivar pisang yang bergenom AAB adalah
Kapal, Raja Sableng, Lase, dan Solok. Kepok Awu,
Raja Bandung, Prabumulih dan Sobo Londoh
Putih bergenom ABB. Hasil pengklasi ikasian
genom kultivar pisang berdasarkan PCR-RFLP
pada ITS DNA ribosom (Tabel 2), menunjukkan
bahwa kultivar Nona dan Lampung bergenom
AA, sedangkan Barley dan Ketip Gunung Sari
bergenom AA/AAA. Angleng dan Poto bergenom
AAA. Pengklasi ikasian tersebut didasarkan pada
penanda mikrosatelit (Retnoningsih et al. 2009).
Pengklasi ikasian 15 kultivar pisang
berdasarkan fragmen ITS DNA ribosom
menghasilkan dendogram dengan nilai koe isien
kemiripan antara 0,804-1,00 (Gambar 4). Tingkat
keanekaragaman ditentukan oleh nilai koe isien
kemiripan, semakin besar nilai koe isien
kemiripan, maka semakin dekat hubungan
kekerabatan antar kultivar.
Dendogram menunjukkan 15 kultivar
tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, 1)
kultivar Kapal, Prabumulih, Raja Sableng, dan
Lase masuk kedalam kelompok dengan genom
AAB dan berkerabat dekat dengan kelompok
genom ABB. 2) kultivar Sobo Londoh Putih,
Kepok Awu, Raja Bandung dan Prabumulih
masuk dalam kelompok ini. 3) bergenom AA/
AAA memiliki hubungan kekerabatan yang cukup
jauh dengan kelompok genom AAB dan ABB, hal
ini ditunjukkan oleh koe isien kemiripan yang
cukup jauh.
Berdasarkan penanda morfologi, kultivar
Raja Bandung termasuk pisang meja, memiliki
ukuran buah sedang, bentuk buah membulat dan
kulit buah tipis. Kultivar Kepok Awu termasuk
ke dalam grup Kepok yang memiliki ciri ukuran
buah sedang, penampang melintang buah
sangat persegi, kulit buah tebal dan daging buah
berwarna kuning apabila telah masak. Subgrup
Sobo salah satunya Sobo Londoh Putih, termasuk
buah olahan, memiliki ukuran buah sedang-

panjang dan daging buah akan berwarna putihkrem apabila telah masak (Jumari & Pudjoarinto
2000).
Penentuan genom menggunakan metode
PCR-RFLP pada daerah ITS DNA ribosom lebih
sederhana dan lebih mudah dilakukan, hal ini
karena primer yag digunakan bersifat universal,
sehingga ampli ikasi yang dilakukan lebih
mudah dan e isien. Pada mikrosatelit, primer
yang digunakan bersifat spesi ik sehingga perlu
dilakukan pembuatan primer yang sesuai dan
membutuhkan waktu dan biaya yang relatif
lebih mahal. Kemurnian DNA sebagai cetakan
dalam proses PCR pada penanda mikrosatelit
membutuhkan kemurnian yang sangat tinggi,
sehingga dengan DNA genom yang telah disimpan
dalam jangka waktu cukup lama kemungkinan
daerah mikrosatelit untuk terampli ikasi sangat
rendah (Retnoningsih komunikasi pribadi 2011).
Perbandingan genom yang didasarkan
pada PCR-RFLP daerah ITS DNA ribosom dan
mikrosatelit dapat dilihat pada Tabel 3. Klasi ikasi
genom kulivar pisang didasarkan pada pita hasil
pemotongan daerah ITS DNA ribosom, penentuan
genom kultivar diperoleh dari pita spesi ik yang
didapati dari hasil potongan. Kultivar pisang
yang hanya memiliki pita spesi ik untuk genom
A dapat digolongkan menjadi kelompok genom
AA atau AAA, pada hasil klasi ikasi kultivar
Nona dan Lampung menjadi kelompok AA,
kultivar Barley dan Ketip Gunung Sari menjadi
kelompok genom AA/AAA dan kutivar Ampyang,
Angleng, dan Poto menjadi kelompok AAA, hal
ini didasarkan pada pengelompokkan genom
berdasarkan penanda mikrosatelit. Pada kultivar
yang memiliki pita spesi ik untuk genom A dan
B, genomnya ditentukan menjadi kelompok AAB
dan ABB bukan AABB atau ABBB hal ini juga
ditentukan berdasarkan rujukan pengelompokan
berdasarkan penanda mikrosatelit (Retnoningsih
et al. 2009).
Hasil perbandingan genom kultivar
pisang menggunakan penanda mikrosatelit dan
penanda PCR-RFL daerah ITS DNA ribosom
menunjukkan genom yang sama. Hal ini
menunjukkan pemanfaatan penanda PCR-RFLP
yang didasarkan pada pemotongan daerah ITS
DNA ribosom menggunakan enzim RsaI mampu
mengklasi ikasikan genom kultivar pisang
dengan cara yang lebih sederhana dan lebih
e isien dalam hal biaya dan waktu.
Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah terdapat keanekaragaman
25

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

Gambar 1. Elektroforegram DNA genom pada gel agaros 0,8%. 1.Kapal, 2. Raja sableng, 3. Lase, 4.
Raja solok, 5. Sobo londoh putih, 6. Kepok awu, 7. Raja bandung, 8. Prabumulih, 9. Ketip gunung sari,
10. Ampyang, 11. Angkleng, 12. Poto, 13. Barley, 14. Nona, 15. Lampung.

Gambar 2. Elektroforegram produk PCR pada gel agaros 1,2%. 1. Ketip gunung sari, 2. Ampyang, 3.
Angkleng, 4. Poto, 5. Barley, 6. Nona, 7. Lampung, 8. Kapal, 9. Raja sableng, 10. Lase, 11. Raja solok, 12.
Sobo londoh putih, 13. Kepok awu, 14. Raja bandung, 15. Prabumulih.

Gambar 3a. Elektroforegram hasil pemotongan daerah ITS DNA ribosom menggunakan enzim RsaI
pada agaros 2%. M: Marker, 1: Ketip gunungsari (AA/AAA), 2: Ampyang (AAA), 3: Angkleng (AAA), 4:
Poto (AAA), 5: Barley (AA), 6: Nona (AA), 7: Lampung (AA).

26

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

Gambar 3b. Elektroforegram hasil pemotongan daerah ITS DNA ribosom menggunakan enzim RsaI
pada agaros 2%. M: Marker, 8: Sobo londoh putih (ABB), 9: Kapal (AAB), 10: Kepok awu (ABB), 11:
Raja bandung (ABB), 12: Prabumulih (ABB), 13: Raja sableng (AAB), 14: Lase (AAB), 15: Raja solok
(AAB).

Gambar 4. Dendogram 15 kultivar pisang berdasarkan penanda PCR-RFLP pada ITS DNA ribosom

27

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

Tabel 1. Klasi ikasi genom kultivar pisang berdasarkan penanda mikrosatelit


Kultivar pisang
Barley
Nona
Lampung
Ketip Gunung Sari
Ampyang
Angkleng
Poto Yogya
Kapal
Raja Sableng

Genom berdasarkan mikrosatelit


AA/AAA
AA
AA
AA/AAA
AAA
AAA
AAA
AAB
AAB

Asal koleksi
Diperta
Diperta
PKBT
PKBT
Diperta
PKBT
PKBT (Yogyakarta)
PKBT (Tasik malaya)
PKBT

Lase Solok
Sobo Londoh Putih
Kepok Awu
Raja Bandung
Prabumulih
Kepok Klutuk

AAB
AAB
ABB
ABB
ABB
ABB

PKBT
Diperta
Diperta
Diperta
PKBT
Diperta

Tabel 2. Penentuan genom kultivar pisang berdasarkan fragmen pemotongan daerah ITS DNA
ribosom menggunakan enzim RsaI

Kultivar pisang

Fragmen pemotogan ITS DNA ribosom


menggunakan RsaI
530 bp

350 bp

Genom

180 bp

Barley

xx

Nona

xx

AA

Lampung

xx

AA

Ketip gunung sari

xx

AA/AAA

Ampyang

xx

AAA

Angkleng

xx

AAA

Poto

xx

AAA

Kapal

xx

AAB

Raja sableng

xx

AAB

Lase

xx

AAB

Raja solok

xx

AAB

Kepok awu

xx

xx

xx

ABB

Raja bandung

xx

xx

xx

ABB

Prabumulih

xx

xx

xx

ABB

Sobo londoh putih

xx

xx

xx

ABB

28

AA/AAA

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)

Tabel 3. Perbandingan genom kultivar pisang didasarkan pada mikrosatelit dan PCR-RFLP daerah
ITS DNA ribosom
Genom berdasarkan
mikrosatelit*

Genom berdasarkan RCR-RFL daerah


ITS DNA ribosom

Barley

AA/AAA

AA/AAA

Nona
Lampung
Ketip Gunung Sari
Ampyang
Angkleng
Poto
Kapal
Raja Sableng
Lase

AA
AA
AA/AAA
AAA
AAA
AAA
AAB
AAB
AAB

AA
AA
AA/AAA
AAA
AAA
AAA
AAB
AAB
AAB

Sobo Londoh Putih


Kepok Awu
Raja Bandung
Prabumulih
Kepok Klutuk

AAB
ABB
ABB
ABB
ABB

AAB
ABB
ABB
ABB
ABB

Kultivar pisang

genetik genom kultivar pisang yang didasarkan


pada PCR-RFLP daerah ITS DNA ribosom dengan
nilai koe isien kemiripan antara 0.804-1.00.
Pengklasi ikasian 15 kultivar pisang dapat
dibedakan menjadi kelompok genom AA/AAA,
AAB dan ABB. Penentuan tersebut didasarkan
fragmen yang ditemukan untuk genom A terletak
pada fragmen 530 bp, B1 pada 350 bp dan B2 pada
fragmen 180 bp. Perbandingan pengklasi ikasian
genom yang didasarkan pada mikrosatelit dan
PCR-RFLP daerah ITS DNA ribosom menunjukkan
hasil yang sama, sehingga diharapkan penelitian
selanjutnya mengenai analisis keanekaragaman
pisang dapat digunakan metode PCR-RFLP
daerah ITS karena lebih e isien waktu dan biaya.
Analisis ketebalan pita-pita DNA perlu dilakukan
secara kuanttitatif menggunakan realtime PCR

analisis keanekaragaman tanaman. Seminar


Sehari Pemanfaatan PCR dalam Analisis
Keanekaragaman Hayati. Bogor: 20 Maret
1996
Gawel N & Jarret RL. 1991. Cytoplasmic genetic
diversity in bananas and plantains. Euphytica
59:19-23
Hidayat T, Kusumawaty D, Kusdianti, Din Y, Agusthina
M, Mariana D. 2008. Analisis ilogenetik
molekuler pada Phyllanthus niruri L.
(Euphorbiaceae) menggunakan urutan basa
DNA daerah Internal Transcribed Spacer (ITS).
J Matematika & Sains 13(1): 16-21
Horry JP. 1989. Chimiotaxonomie et organisation
genetique dans legenre Musa. Fruits 44: 455474.
[INIBAP] International Network for Improvement of
Banana and Plantain. 2003. Banana diversity.
http://www.inibap.org. [diakses tanggal 25
Nopember 2009]
Jarret RL & Litz RE. 1986a. Isozymes as genetic
markers in bananas and plantains. Euphytica
35: 539-549
Jarret RL & Litz RE. 1986b. Enzyme polymorphism in
Musa acuminate Colla. J Hered 77: 183-186
Jumari & Pudjoarinto A. 2000. Kekerabatan genetik
kultivar pisang di Jawa. Biologi 2(9): 531-542
Kaemmer D, Fischer D, Jarret RL, Baurens FC, Grapin
A, Dambler D, Noyer JL, Lanaud C, Kahl G, &
Lagoda PJL. 1997. Molecular breeding in the
genus Musa: A strong case for STMC marker
technology. Euphytica 96: 49-63
Kasper Y & Lenz C. 2004. Stable 8-year storage of DNA

Daftar Pustaka
Azrai M. 2005. Pemanfaatan marka molekuler
dalam proses seleksi pemuliaan tanaman. J
Agrobiogen 1(1): 26-37
Chikmawati T, Megia R, Widyastuti U, Farikhati IN.
1998. Kariotipe Musa acuminata Mas Jambe
dan M. balbisiana Klutuk Wulung. Hayati 5:
54-57
Darmono TW. 1996a. Analisis keanekaragaman
genetik tanaman dengan teknik molekuler.
Hayati: 7-11
. 1996b. Pemanfaatan PCR untuk
29

T.W.D. Ekasari dkk. / Jurnal MIPA 35 (1) (2012)


puri ied with the QIAamp DNA Blood Mini Kit.
QIAGEN News. 2004 e10
Lysak MA, Dolezoleva M, Horry JP, Swennen R, &
Dolezel V. 1999. Flow cytometric analysis
of nuclear DNA content in Musa. Theor Appl
Genet. 98: 1344-1350
Megia R, Sulistyaningsih CY, & Djuita N. 2001. Isozyme
polymorphism for cultivar identi ication in
Indonesia bananas. Hayati (8): 81-85
Megia R. 2005. Musa sebagai model genom. Hayati. 12:
167-170
Nasution RE & Yamada I. 2001. Pisang-pisang Liar di
Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI
Nwakanma DC, Pillay M, Okoli BE, & Tenkuano A.
2003. PCR-RFLP of the ribosom DNA Internal
Transcribed Spacer (ITS) provie markers for
the A and B genomes in Musa L. Theor Appl
Genet (DEU) (1): 154-159
Pillay MA, TenkuanoA, Ude G, Ortiz R. 2006. Molecular
Characterization of Genomes in Musa and
Ampli ications. Nigeria: International Institute
of Tropical Agriculture (IITA)
Rao NK. 2004. Plant genetic resources: Advencing
conservation and use through biotechnology.
African J Biotechnol 3(2): 136-145
Retnoningsih A, Megia R, Rifai MA, Hartana A. 2009.
Klasi ikasi dan Analisis Filogeni Kultivar Pisang
Indonesia Berdasarkan Penanda Molekuler.

Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor


Siddiqah M. 2002. Biodiversitas dan Hubungan
Kekerabatan Berdasarkan Marker Morfologi
Berbagai Plasma Nutfah Pisang. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor
Simmonds NM. 1962. The Evolution of The Bananas.
London: Longman. Inc
Solihin DD. 2005. Prinsip-prinsip dalam Teknologi
Biologi Molekuler. Pelatihan Tingkat Teknik
Biologi Molekuler Eksplorasi Sumberdaya
Genetik Menggunakan Marka Molekuler.
Bogor. 12-17 Desember 2005
Stover RH & Simmonds NW. 1987. Banana, 3nd Edition.
UK: Longmans Scienti ic and Technical.
Sudarnadi H. 1995. Tumbuhan Monokotil. Bogor:
Penebar Swadaya
Sulandari S & Zein MSA. 2003. Panduan Praktis
Laboratorium DNA. Bogor: Bidang Zoologi LIPI
Tripathi L. 2003. Genetic engineering for improvement
of Musa production in Africa. African J
Biotechnol 12: 503-508
Valmayor RV, Jamaluddin SH, Silayoi B, Kusumo S,
Danh LD, Pascua OC, & Espino RRC. 2000.
Banana cultivar names and synonyms in
Southeast Asia. Los Banos: INIBAP
Yunus M. 2004. Marka molekuler untuk perbaikan
tanaman. Lokakarya Teknik Dasar Molekuler
untuk Pemuliaan Tanaman: Bogor 19-23 Juli

30

Anda mungkin juga menyukai