Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. AT

Umur

: 57 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki Laki

Alamat

: Jl. Sajadewi Bone

Tanggal Masuk

: 10 Juli 2014

No. RM

: 27 92 86

ANAMNESIS
Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan nyeri perut kanan bawah,
nyeri dirasakan sudah lama dan hilang timbul tetapi nyerinya menetap sejak sejak
4 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh nafsu makan menurun disertai mual dan
muntah. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri menjalar saat ditekan. Riwayat
penyakit asma (-), Riwayat Hipertensi disangkal (-) dan alergi obat obatan (-).
PEMERIKSAAN FISIS :
-

TD
HR
PR
S

: 130 / 70 mmHg
: 74 x / menit
: 24 x / menit
: 36,7 0C

TERAPI YANG DIBERIKAN :


-

IVFD RL 18 tpm
Pemeriksaan BNO 3 posisi dengan kesan sebagai berikut ;

Pemeriksaan USG Abdomen sebagai berikut :

USG Abdomen;

Mc.Burney, tampak lesi tubular hipoechoic, non palpable ukuran 4x2 mm


Tidak tampak cairan bebas di cavum peritoneum.
Hepar, GB, pankreas, lien, kedua ginjal dan buli-buli dalam batas normal.

Kesan : sesuai gambaran appendicitis akut


DIAGNOS
Appendicitis acute

PENATALAKSANAAN :
Laparotomy
RENCANA PEMERIKSAAN :
-

Lab. Cito : DR, CT, BT, GDS

PRE OPERASI :
-

Lapor OK
Konsul Anestesi
Puasa 24 Jam
AB pre operasi : cefotaxim inj. 1 gr / 12 jam (skin test)

HASIL LABORATORIUM :
-

RBC
HGB
PLT
CT / BT
GDS

= 5,43 106 / mm3


= 15,5 g / dl
= 294 103 / mm3
= 8 15 / 1 45
= 76 mg / dl

KONSUL ANESTESI :
Pasien dengan ASA PS II
Tanggal 12 September 2014, pukul 07.40 pasien di tiba di OK untuk dilakukan
operasi.
Anestesi di OK :
Mulai pukul 08.00
Prosedur ETT (Endotrakheal Tube)

Persiapan Pasien :
Pasien posisi supine, terpasang IVFD 18 dengan aliran RL 24 tpm, pasang
monitor (SpO2, tensimeter, precordial stetoskop, dan EKG)
Premedikasi :
Ranitidin 50 mg
Dexametason 2 mL

Fentanyl 100 mcg


Midazolam 2 ml
Ondancetron
Pre-emptire analgesic dengan menggunakan 30 mg ketorolac 3%
Induksi :
Propofol 100 mg
Prosedur intubasi ETT :
Pemasangan laringoskop
Identifikasi plica vokalis (+)
Insersi ETT
Kembangkan cuff (+)
Cek bunyi napas bronchovesiculer simetris kiri dan kanan
Bunyi tambahan : Rh (-/-), Wh (-/-)
Fiksasi ETT pada sudut mulut kanan
Maintenance
Isofluren 1,5 vol%
Atracurium 2,5 ml

Gambaran hemodinamik dan resusitasi cairan yang terjadi selama tindakan


operasi adalah seperti pada tabel berikut:
Jam
08.3
0
08.4
5
09.0
0
09.1
5
09.3
0
09.4
5

Tekanan darah
(TD), mmHg
130/70

Frekwensi nadi
Pemberian cairan
(N), /menit
82
500 mL RL

80/60

147

500 mL RL

82/65

168

100/80

132

500 mL RL, aminofluid 1


bag
500 mL RL

100/70

101

100/70

90

500 mL RL 28
tetes/menit
4

Operasi selesai 09.45


Ekstubasi sadar pukul 09.50

DISKUSI
Pada kasus diatas merupakan apendicitis akut disertai peritonitis, sehingga
dilakukan rencana operasi laparotomy. Prosedur anastesi yang digunakan adalah
general (GETA). Dalam prosedur anestesi ini meliputi persiapan pasien,
premedikasi dengan ranitidin 2-3 mg/kgBB, dexametasone 0,1-0,2 mg/kgBB,
fentanyl 1-2 mcg/kgBB serta midazolam 0,01-0,1 mg/kgBB. Pre-emptire
analgesik dengan menggunakan ketorolac dengan dosis 0,5 mg/kgBB. Induksi
menggunakan propofol 1-2,5 mg/kgBB dengan pemberian oksigenasi O 2 6-8
liter/menit dengan intubasi endotrakheal tube (ETT).

Pada saat laparotomy berlangsung, pasien memperlihatkan gejala syok,


ditandai dengan penurunan tekanan darah diatas 20% dari tekanan darah awal.
Selain itu, terjadi perubahan awal dari tekanan darah dimana pengurangan selisih
antara tekanan sistole dan diastole <20 mmHg. Pada keadaan ini pula ditemukan
takikardi serta akral dingin yang merupakan tanda dari syok.
Pada kasus syok terutama kausa hemoragik yang terpenting setelah
mengamankan jalan nafas dan memastikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat,
prioritas tertinggi berikutnya adalah mengendalikan perdarahan. Karena pasien
mungkin saja mengalami perdarahan pada beberapa tempat sekaligus, mungkin
perlu beberapa tindakan secara bersamaan. Metode pengendalian terhadap
perdarahan bisa sangat sederhana seperti dengan melakukan penekanan dengan
tangan (sesuai anjuran ATLS), atau bahkan dengan cara lebih kompleks seperti
dengan embolisasi.1
Meskipun pada kasus ini perdarahan saat laparotomy dapat diminimalkan
dan dikendalikan dengan baik namun pasien tetap mengalami gejala syok yang
ditandai dengan penurunan tekanan darah secara drastis disertai dengan
peningkatan frekuensi nadi serta suhu akral dingin. Penyebab gejala syok saat
operasi pada pasien kemungkinan disebabkan oleh karena keadaan hemodinamik
pasien belum mencapai normovolemik sebelum dilakukan laparotomy. Penyebab
utama dari terganggunya cairan

tubuh serta elektrolit adalah selain karena

muntah-muntah yang sering dikeluhkan pasien juga dapat diakibatkan karena


penurunan cairan plasma akibat peritonitis yang terjadi. Sebagaimana dalam teori
disebutkan bahwa kehilangan plasma merupakan akibat umum yang sering terjadi
pada luka bakar, cedera berat, serta inflamasi peritoneal3.
Pada keadaan ileus obstruktif dan peritonitis , walaupun tak nampak
adanya cairan elektrolit yang keluar dari tubuh, namun dehidrasi berat dapat
terjadi akibat banyak cairan dan elektrolit yang mengalami perpindahan tempat
(translokasi). Pada peritonitis, translokasi cairan dan elektrolit terjadi dalam
peritoneum. Seperti diketahui bahwa luas peritoneum sekitar 1-1,5 m 2 sehingga
setiap penebalan peritoneum 2-3 mm saja dapat mengandung cairan dan elektrolit
sebanyak 3-5 liter. Sehingga dengan adanya gangguan cairan dan elektrolit dapat

membawa penderita dalam kegawatan syok yang jika tidak dikelola dengan cepat
dan tepat dapat menimbulkan kematian. Resusitasi cairan dan elektrolit
merupakan usaha pemulihan kembali volume serta komposisi cairan dan elektrolit
tubuh dalam kondisi yang normal.4
Resusitasi cairan pada kasus dalam rangka mengatasi syok hipovolemik
(hemoragik) telah dilakukan dengan pemberian cairan berupa ringer laktat
sebanyak 2000 mL pada 60 menit pertama. Penatalaksanaan syok berdasarkan
kepustakaan lain juga disebutkan bahwa untuk keadaan syok hipovolemik
diberikan cairan kristaloid Ringer Laktat 20-40 mg/kgBB pada 60 menit pertama
dan dilanjutkan dengan evaluasi tanda vital. Dengan pemberian cairan maka risiko
iskemia jaringan dapat dikurangi yaitu melakukan penggantian plasma yang
hilang dengan cairan infus aminofluid. Bila perdarahan sudah terkendali, harus
dikembalikan ke kondisi normovolemia dan pemberian cairan disesuaikan dengan
tujuan konvensional, defisit basa, dan kadar laktat dalam plasma.2,3

I. PENDAHULUAN
Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi
jaringan lokal atau sistemik yang mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsi
multipel organ. Sehingga syok merupakan kegawatan yang memerlukan
penanganan intensif dan agresif karena sangat erat kaitannya dengan terjadinya
hipoksia sel dan jaringan baik dengan penyebab primer maupun sekunder.3,4
Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan
sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang

diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat


berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah
balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan
demikian syok dapat terjadi oleh berbagai macam sebab dan dengan melalui
berbagai proses. Secara umum dapat dikelompokkan kepada empat komponen
yaitu masalah penurunan volume plasma intravaskuler, masalah pompa jantung,
masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol, venule atupun kapiler, serta
sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal dan sitemik.1,2,5
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor utama
yang menyebabkan gterjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler apakah akibat perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka
darah yang balik ke jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat,
sehingga curah jantung pun menurun. Pada akhirnya ambilan oksigen di paru juga
menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga tidak dapat
dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otototot jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna,
sehingga tidak dapat memompa darah dengan baik dan curah jantungpun
menurun. Pada kondisi ini meskipun volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada
tekanan yang optimal untuk memompakan darah yang dapat memenuhi kebutuhan
oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak terpenuhi.3,6
Langkah awal penatalaksanaan syok adalah mengenal diagnosis klinis
secara dini, oleh karenanya manajemen syok harus memperhatikan The Golden
Period, yaitu jangka waktu dimana hipoksia sel belum menyebabkan
Cummulative Oxygen Deficit melebihi 100-125 ml/kg atau kadar arterial laktat
mencapai 100 mg/dl. Secara empiris, satu jam pertama sejak onset dari syok
adalah batas waktu maksimal untuk mengembalikan sirkulasi yang adekuat
kembali.3
Dua manifestasi klinis yang sering muncul pada syok adalah hipotensi dan
asidosis metabolik, tetapi penurunan tekanan sistolik bukanlah indikator utama

syok, sebab patokan tersebut akan menjadikan keterlambatan diagnosis. Setelah


dapat menguasai life support measure yang meliputi Airway-BreathingCirculation dan Brain Support, langkah penting selanjutnya adalah mengatasi
kausal syok dengan terapi definitif yang tepat.3

II. PEMBAHASAN
A. Definisi dan Klasifikasi Syok3,4,6
Syok adalah suatu keadaan klinis akibat perfusi jaringan yang tidak adekuat.
Ada beberapa jenis syok berdasarkan kausalnya, antara lain ;
1) Syok hipovolemik, merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan
hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan
(ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh
berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat.
2) Syok kardiogenik disebabkan oleh gagalnya fungsi jantung sebagai
pompa.
3) Syok sepsis disebabkan oleh vasodilatasi, meningkatnya permeabilitas
kapiler, depresi miokardium yang berhubungan dengan infeksi sistemik
atau endotoksomia.
4) Syok anafilaktik, berhubungan dengan vasodilatasi dan kebocoran kapiler
yang disebabkan oleh pelepasan zat-zat vasoaktif akibat reaksi imunologis.
5) Syok spinal, berhubungan dengan vasodilatasi sekunder akibat
penghentian mendadak dari kontrol saraf.

6) Syok obstruktif, dapat timbul sekunder akibat obstruksi mekanis dari


aliran balik vena ke jantung seperti pada tamponade jantung dan tension
pneumotoraks. Aliran darah dari jantung dapat tersumbat akibat diseksi
dari aneurisma aorta.
B. Syok Hipovolemik
1. Etiologi Syok Hipovolemik3,5,6
a. Kehilangan darah
Dapat akibat eksternal seperti melalui luka bakar
Perdarahan internal dapat menyebabkan syok hipovolemik jika
perdarahan ini di dalam toraks, abdomen, retroperitoneal atau
tungkai atas.
b. Kehilangan plasma merupakan akibat yang umum dari luka bakar,
cedera berat atau inflamasi peritoneal.
c. Kehilangan cairan dapat disebabkan oleh hilangnya cairan secara
berlebihan melalui jalur gastrointestinal, urinarius atau kehilangan
lainnya tanpa adanya penggantian yang adekuat.
2. Patofisiologi Syok6,7,8
a. Gangguan hemodinamik
- Autoregulasi, protective redistribusi
- Perubahan sympatoadrenal
b. Pelepasan zat-zat vasoaktif
- Histamin
- Plasmakinin
- Prostaglandin
c. Gangguan metabolisme selluler
d. Pengaruh terhadap jantung
e. Pengaruh pada paru
f. Pengaruh pada ginjal

10

3. Tanda-tanda Klinis
Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika
kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada
saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan
tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila
perdarahan

terus

berlangsung

maka

tubuh

tidak

mampu

lagi

mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum


syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor
yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian kapiler yang
lambat.3,6
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi,
tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari
(refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume
kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat
tingkatan atau stadium. Stadium syok dibagi berdasarkan persentase
kehilangan darah sama halnya dengan perhitungan skor tenis lapangan,
yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok hipovolemik ini
dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.3,4,6
`

1) Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah


hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh
mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi
penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas
atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi
nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
2) Syok hipovolemik stadium-II adalah jika terjadi perdarahan sekitar
15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu
menkompensasi

fungsi kardiosirkulasi,

11

sehingga

terjadi

takikardi,

penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling


kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi
lebih cemas.
3) Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 3040%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat.
Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,
peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi
dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat
lambat.
4) Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari
40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian
lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III
terus

memburuk.

Kehilangan

volume

sirkulasi

lebih

dari

40%

menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan


disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.
Selengkapnya tanda-tanda klinis pada syok dibedakan berdasarkan
pada ;3,4,5,6
a. Status mental
Perubahan dalam sensorium merupakan tanda khas dari stadium syok.
Ansietas, delirium, apati, stupor atau koma.dapat ditemukan. Kelainankelainan ini menunjukkan adanya perfusi cerebral yang menurun.
b. Tanda-tanda vital
Tekanan darah
Perubahan awal dari tekanan darah akibat hipovolemia adalah
adanya pengurangan selisih antara tekanan sistolik dan diastolik. Ini
merupakan akibat adanya peningkatan tekanan diastolik yang
disebabkan oleh vasokonstriksi atas rangsangan simpatis. Tekanan
sistolik dipertahankan pada batas normal sampai terjadinya
kehilangan darah 15-25%. Hipotensi postural dan hipotensi pada
keadaan berbaring akan timbul. Perbedaan postural lebih besar dari

15 mmHg adalah bermakna.


Denyut nadi

12

Takikardi postural dan bahkan dalam keadaan berbaring adalah


karakteristik untuk syok. Perubahan postural lebih dari 15 denyutan
permenit adalah bermakna. Dapat ditemukan adanya penurunan dari
amplitudo denyutan. Takikardi dapat tidak ditemukan pada pasien

yang diobati dengan obat golongan beta bloker


Pernapasan
Takipnea adalah karakteristik, dan alkalosis respiratorius sering

ditemukan pada tahap awal dari syok.


c. Kulit
Kulit dapat terasa dingin, pucat, dan berbintik-bintik. Secara

keseluruhan mudah berubah menjadi pucat.


Vena-vena extremitas menunjukkan tekanan yang rendah, ini yang
dinamakan vena perifer yang kolaps. Tidak ditemukan adanya

distensi vena jugularis.


d. Gejala sistemik lainnya dapat berupa mual, lemah atau lelah serta rasa
haus.
C. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
1. Pemantauan3,4,6
Parameter dibawah ini harus di pantau selama stabilisasi dan pengobatan :
Denyut jantung, frekuensi, pernapasan, tekanan darah, tekanan vena
sentral (CVP) dan pengaturan urin. Pengeluaran urin kurang dari 30
ml/jam (atau 0,5 ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal yang tidak
adekuat.
2. Monitoring Pernapasan3,4
Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau
kanula. Jalan napas yang bersih harus dipertahankan dengan posisi kepala
dan mandibulayang tepat dan aliran pengisapan darah dan sekret yang
sempurna. Penentuan gas dara arterial harus dilakukan untuk mengamati
ventilasi dan oksigenasi. Jika ditemukan secara klinis dan laboratorium
analisis gas darah, pasien harus diintubasi dan ventilasi dengan ventilator
yang volumenya terukur. Volume tidal harus di atur sebesar 12 sampai 15
ml/kg, frekuensi pernapasan sebesar 12 16 permenit. Oksigen harus
diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar 100 mmHg. Jika pasien
melawan terhadap ventilator, maka obat sedatif atau pelumpuh otot

13

harus diberikan. Jika cara pemberian ini gagal untuk menghasilkan


oksigenasi yang adekuat, atau jika fungsi paru-paru menurun harus
ditambahkan 3-10 cm tekanan ekspirasi akhir positif.
3. Pemberian Cairan3,4,6
a. Penggantian cairan harus dimulai dngan memamsukkan larutan ringer
laktat atau larutan garam fisiologis secara cepat. Kecepatan pemberian
dan aliran intravena yang diperlukan bervariasi tergantung beratnya
syok. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl
0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat
20 ml/kgBB pada anak atau pada umumnya paling 1 sampai 2 liter
larutan cairan harus diberikan dalam 45-60 menit pertama atau bisa
lebih cepat lagi apabila dibutuhkan. Jika hipotensi dapat diperbaiki dan
tekanan darah tetap stabil, ini indikasi bahwa kehilangan darah sudah
minimal. Jika hipotensi tetap berlangsung, harus dilakukan transfusi
darah pada pasien-pasien ini secepat mungkin, dan kecepatan serta
jumlah yang diberikan disesuaikan dengan respons dari parameter
yang dipantau.
1. Darah yang belum diberikan rekasi silang atau yang bergolonga Onegatif dapat diberikan terlebih dahulu, apabila syok menetap dan
tidak ada cukup waktu (kurang lebih 45 menit) untuk menunggu
hasil reaksi silang dikerjakan
2. Segera setelah hasil reaksi silang di peroleh, jenis golongan darah
yang sesuai harus diberikan
3. Koagulowati dilusional dapat timbul pada pasien yang mendapat
transfusi darah yang masih. Darah yang disimpan tidak
mengandung trombosit hidup dan faktor pembekuan V dan VI.
Satu unit plasma segar beku harus diberikan utnuk setiap 5 unit
whole blood yang diberikan. Hitung jumlah trombosit pasien yang
mendapat terapi transfusi masih.
4. Hipotermia juga merupakan konsekuensi dari transfusi masif.
Darah yang akan diberikan harus dihangatkan dengan koil
penghangat dan suhu tubuh pasien dipantau.

14

b. Celana militer anti syok (MAST = Military Antishock Trousers).


Tekanan berlawanan eksternal dengan pakaian MAST bermanfaat
sebagai terapi tambahan pada terapi penggantian cairan. pakaian
MAST ini dikenakan pada kedua tungkai atau abdomen dari pasien
dan masing-masing ketiga kompartemen individual ini (kedua tungkai
dan

abdomen)

dapat

dikembungkan.

Pakaian

ini

dapat

mendistribusikan dari ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral.dan dapat


mengurangi aliran darah arterial ketungkai dengan memperkecil
diameter pembuluh darah.
1. Kontra indikasi untuk memakainya.
2. Hal yang perlu diperhatikan
4. Pemberian obat golongan vasoaktif4,7
Obat-obat golongan vasoaktif
Digitalis
Dopamin : 3-10 mikrogram/KgBB/menit
Dobutamin : 5-10 mikrogram/KgBB/menit
5. Pemberian Vasopresor3,4,8
Pemberian vasopresor pada penanganan syok belakangan ini menjadi
kontroversial. Alasannya karena dengan pemberian vasopresor akan lebih
mengurangi perfusi jaringan. Pada kebanyakan kasus, vasopresor tidak
boleh digunakan, tetapi vasopresor mungkin bermanfaat pada beberapa
keadaan. Vasopresor dapat diberikan sebagai tindakan sementara untuk
meningkatkan tekanan darah sampai didapatkannya cairan pengganti yang
adekuat. Hal ini terutama bermanfaat bagi pasien yang lebih tua dengan
penyakit koroner atau penyakit pembuluh darah otak yang berat. Zat yang
digunakan adalah norepinefrin 4 sampai 8 mg yang dilarutkan dalam 500
ml 5% dekstrose dalam air (D5W), atau metaraminol 5-10 mg yang
dilarutkan dalam 500 ml D5W, yang bersifat vasokontriktor predominan
dengan efek yang minimal pada jantung. Dosis harus disesuaikandengan
tekanan darah.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Plaisier BR. Surgical Perspectives to Control Bleeding in Trauma. The


International Trauma Anesthesia and Critical Society Seminar Panels,
January 2003 (1)
2. Nolan J. Fluid resuscitation for the trauma patient. Resuscitation, Jan
2001; 48(1): 57 69 (2)
3. Eliastam M, Sternbach GL, Bresler MJ. Buku Saku Penuntun Kedaruratan
Medis Edisi 5. Jakarta: EGC; 1998.
4. Catatan Anestesi. Bagian Anestesiologi RS.Wahidin Sudirohusodo. FK
Unhas. Makassar.
5. Dutton RP. Pathophysiology of Traumatic Shock. International Trauma
Care (ITACCS) Vol. 18, No. 1, 2008.
6. Hardisman. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:
Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3).

16

7. Bougle A, Harrois A, Duranteau J. Resuscitative Strategies in Traumatic


Hemorrhagic Shock. Annals of Intensive Care. 2013; 3(1).
8. Vincent JL, Backer D. Circulatory Shock. The New England Journal of
Medicine. 2013; 369:1726-34.

17

Anda mungkin juga menyukai