Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian akibat trauma.
Sekitar 5 juta orang meninggal setiap tahun akibat trauma. 10-20% dari
kematian ini sebenarnya dapat dicegah. Penyebab utama dari kematian
yang dapat dicegah ini adalah perdarahan awal yang terjadi selama 6 jam
pertama (Miller, 2013). Pada fase akut perdarahan, prioritas utama yang
dilakukan adalah menghentikan perdarahan secepat mungkin. Shock
hemorrhage merupakan suatu keadaan dimana volume intravaskuler dan
penyaluran oksigen terganggu. Apabila perdarahan tidak dapat dikontrol,
harus dilakukan pemberian oksigen yang seimbang untuk mencegah
terjadinya hipoksia jaringan, inflamasi dan disfungsi organ (Bougle,
Harrois, Duranteau, 2013).
Perdarahan masif didefinisikan sebagai kehilangan darah selama
24 jam atau kehilangan 50% volume darah dalam waktu 3 jam
(Akaraborworn, 2014). Apabila hal ini terjadi, dibutuhkan identifikasi awal
dari sumber perdarahan dan harus dapat meminimalisasi kehilangan
darah, mengembalikan perfusi jaringan dan menciptakan stabilitas
hemodinamik. Pada pasien dengan perdarahan masif diperlukan transfusi
sebanyak 10 atau lebih unit dari sel darah merah dalam waktu 24 jam
pertama (Miller, 2013).
Sekitar 1/3 kasus trauma dengan perdarahan, muncul dengan
adanya koagulopati. Koagulopati merupakan komplikasi yang paling
sering terjadi akibat perdarahan (Nardi, Agostini, Maria et al., 2013).
Damage control resuscitation (DCR) merupakan suatu strategi untuk
mencegah hipotermia, asidosis dan koagulopati. DCR ini meliputi kontrol
awal perdarahan, permissive hipotensi, minimalisasi penggunaan cairan
kristaloid, mencegah hipotermia, mencegah asidosis, penggunaan Asam
Tranexamid (TXA) dan darah untuk meminimalisasi koagulopati (Perkins,
Beekley, ......).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Shock hemorrhage
Shock hemorrhage merupakan suatu keadaan awal yang
fatal yang dapat menyebabkan prognosis yang buruk pada
pasien trauma. Hipotensi (tekanan darah sistolik = 90 mmHg)
dengan perdarahan biasanya berhubungan dengan komplikasi
seperti kerusakan organ dan berkembangnya infeksi seperti
sepsis.

Untuk

mengatasi

terjadinya

shock

hemorrhage,

managementnya ialah transfusi sel darah merah.


Pada pasien dengan trauma, kematian yang disebabkan
oleh infeksi seperti sepsis dan pneumonia, SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome) menjadi penyebab utama
kematian pada pasien trauma (Kauvar dan Wade, 2005).
2. DD Shock Pada Trauma
Evaluasi pada pasien shock membutuhkan pemeriksaan
yang cepat. Meskipun hipotensi pada pasien trauma dapat
disebabkan

oleh

mengevaluasi

dan

perdarahan,
mengobati

sangat
pasien

penting

untuk

untuk

mengetahui

penyebab lain dari hipotensi, seperti tension pneumothorax,


pericardial
neurogenic.

tamponade,

myocardial

contusion

dan

shocl

Cherkas, 2011
3. Pembagian (Klasifikasi Shock)
Seorang pasien trauma harus diperiksa apakah ia berada
dalam kondisi shock atau beresiko untuk mengalami shock.
Shock hemorrhage dibagi berdasarkan kategori berdasarkan
presentasi volume darah yang hilang, vital sign yang terukur
dan status psikologis.

Pada

pasien

dengan

kehilangan

darah

> 40%, detak

jantungnya menjadi + 95(sekitar 80-114) dan tekanan darahnya


menjadi 120 (sekitar 98-140). Mortalitas pada pasien tua
karena trauma benda tumpul dengan tekanan darah awal
sekitar 120 adalah 12%. Vital sign yang abnormal menunjukkan
bahwa pasien dalam kondisi shock, walaupun dengan vital sign

yang normal juga tidak dapat menyingkirkan kemungkinan


tersebut. Banyak faktor seperti mekanisme injury, adanya
trauma kepala dan umur pasien mempengaruhi terjadinya
shock.
Cherkas, 2011
4. Penanganan Shock Hemorrhage

(Bougle, Harrois, Duranteau, 2013)


5.

Anda mungkin juga menyukai