Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

Disusun Oleh:
Endah Risky Gustiyanti

Penguji:

dr. M. Luthfi Sp.PD FINASIM MMRS

KEPANITERAAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD WALED KAB.CIREBON
2015
1. Tipe demam dan contoh penyakitnya

2. Demam Kontinyu
Demam kontinyu atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap
dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya
tidak terjadi atau tidak signifikan. Contoh dari demam ini yaitu demam tifoid.
Demam tifoid mengakibatkan tiga kelainan pokok, yaitu :

Demam berkepanjangan

Gangguan sistem pencernaan

Gangguan kesadaran

Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling menonjol demam ini bisa diikuti
oleh gejala tidak khas lainya, seperti anoreksia atau batuk. Gangguan saluran pencernaan yang
sering terjadi adalah konstipasi dan obstipasi (sembelit). Meskipun diare juga bisa terjadi.
3. Demam Remiten
Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal
dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering
ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu . Variasi diurnal
biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Pola demam remiten

4. Demam Intermiten
Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan
puncaknya pada siang hari Terjadi pada Infeksi Saluran Kemih (nyeri/rasa tidak tuntas saat
BAK), Infeksi Saluran Nafas Atas (pilek, batuk, penyumbatan saluran nafas), Otitis
Media (nyeri telinga, keluar cairan), Tonsilitis Faringitis & Laryngitis (nyeri telan, suara
serau), Stomatitis Herpetika (radang pada rongga mulut), Malaria, Demam Paska Imunisasi.

Pola demam intermiten

5. Demam siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.
6. Demam septik/hektik
Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan
perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar. Contoh penyakit pada
demam ini yaitu Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik .

7. Relapsing Fever
Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang disebabkan
oleh sejumlah spesies Borrelia. dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne
RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)


Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-tiba berlangsung
selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu

maksimal dapat mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala
penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap
episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8
jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan
endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah
mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme
disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi
anafilaktik full-blown.

7. Demam Bifasik
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda
(camelback fever pattern,atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola
demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam
kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic
fever (Marburg, Ebola, dan demam Lassa).
1. Manifestasi perdarahan di kulit pada demam dengue yakni ptekhie, purpura, ekhimosis
2. Macam virus dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B
Antropod Borne Virus (Arboviroses) kelompok flavivirusdari family flaviviridae, yang
terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing-masing saling
berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus
ini telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling
sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN

3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang
meninggal.
3. Patofisiologi dengue
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi
primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Pada kasus-kasus berat volume
plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.
Lesi destruktif vaskuler yang nyata tidak terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita
dengue mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta koagulogram yang
abnormal.
Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler, antara lain
anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah
IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadarnya telah
meningkat.
Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat pada minggu
pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada infeksi primer antibodi
IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada infeksi sekunder kadar IgG meningkat
pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi

IgM setelah hari kelima sakit, sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih
dini.
Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal antibodi
terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas netralisasi atau aktifasi
komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis. Proses ini melenyapkan banyak
virus dan penderita sembuh dengan memiliki kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.
Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang berbeda,
maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh makrofag
atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex
(MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1 dan TH-2)
dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap infeksi.Kemudian limfosit
TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu INF, IL-2, dan Colony Stimulating
Factor (CSF). IFN akan merangsang makrofag untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF.Interleukin1 (IL-1) memiliki efek pada sel endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi
intercelluler adhasion molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh ICAM 1
Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel

endothel dan

mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel terbuka. Neutrophil
juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus
GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.

Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus sehingga


dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga menhancurkan semua sel yang
mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFN dan TNF.

PATOGENESIS
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ RES seperti sel
kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paruparu. Dalam peredaran darah virus akan difagosit oleh monosit.
Setelah genom virus masuk ke dalam sel maka dengan bantuan organel-organel sel
genom virus akan memulai membentuk komponen-komponen strukturalnya.setelah berkembang
biak di dalam sitoplasma sel maka virus akan dilepaskan dari sel.
Diagnosis pasti dengan uji serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukan karena
semua flavivirus memiliki epitope pada selubung protein yang menghasilkan cross reaction
atau reaksi silang.
Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe
tersebut, tetapi tidak ada cross protektif terhadap serotipe virus yang lain.
Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran) dan E
(envelope). Virus intraseluler terdiri dari protein pre-membran atau pre-M.Glikoprotein E
merupakan epitope penting karena: mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses
netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan

sel, (reseptor binding), mempunyai fungsi fisiologis antara lain untuk fusi membran dan
perakitan virion.
Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis: netralisasi
virus, sitolisis komplemen, Antibodi Dependent Cell-mediated Cytotoxicity (ADCC) dan
Antibodi Dependent Enhancement.
Secara invivo antibodi terhadap virus DEN berperan dalam 2 hal yaitu:
a. Antbodi netralisasi memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi infeksi virus.
b. Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan infeksi
yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS
Perubahan patofidiologis dalam DBD dan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hipotesis antibody
dependent enhancement (ADE). Teori infeksi sekunder menjelaskan bahwa apabila seseorang
mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akan terdapat kekebalan terhadap
infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.
Pada infeksi primer virus dengue antibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus yang
sama (homologous). Namun jika orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus
yang lain, maka virus tersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadi infeksi berat. Hal ini
disebabkan terbentuknya kompleks yang infeksius antara antibodi heterologous yang telah
dihasilkan dengan virus dengue yang berbeda.
Selanjutnya ikatan antara kompleks virus-antibodi (IgG) dengan reseptor Fc gama pada
sel akan menimbulkan peningkatan infeksi virus DEN. Kompleks

antibodi meliputi sel

makrofag yang beredar dan antibodi tersebut akan bersifat opsonisasi dan internalisasi sehingga

makrofag akan mudah terinfeksi sehingga akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF dan juga
Platelet Activating Factor
Selanjutnya dengan peranan TNF akan terjadi kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya plasma ke jaringan tubuh karena endothel yang rusak, hal ini dapat berakhir
dengan syok.
Proses ini juga menyertakan komplemen yang bersifat vasoaktif dan prokoagulan
sehingga menimbulkan kebosoranplasma dan perdarahan

yang dapat mengakibatkan syok

hipovolemik.
Pada bayi dan anak-anak berusia dibawah 2 tahun yang lahir dari ibu dengan riwayat
pernah terinfeksi virus DEN, maka dalam tubuh anak tersebut telah terjadi Non Neutralizing
Antibodies sehingga sudah terjadi proses Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga
mengeluarkan IL-6 dan TNF juga PAF. Bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi
sel-sel endotel pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran
plasma dan perdarahan.
Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan
DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection, serta limfosit T dan monosit.
Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka
antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat
dalam tubuh tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.
Disamping kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain yang berusaha menjelaskan
patofisiolog DBD, diantarnya adalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan keempat

serotipe virus Dengue yang ditemukan berbeda antara satu daerah dengan yang lainnya.
Sedangkan teori antigen-antibodi mendasarkan pada kenyataan bahwa terjadi penurunan aktifitas
sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan C3, C4, dan C5. teori juga didukung dengan
adanya pengaruh kompleks imun pada penderita DBD terhadap aktifitas komponen sistem imun.
Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001 membuktikan bahwa patogenesis DBD/DSS
umumnya disebabkan oleh disregulasi respon imunologik. Monosit/makrofag yang terinfeksi
virus Dengue akan mensekresi monokin yang berperan dalam patogenesis dan gambaran klinis
DBD/DSS.
Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa Dendritic Cell yang
terinfeksi virus dengue dapat mengekspresi antigen HLA B7-1, B7-2, HLA-DR, CD11b dan
CD83.Dendritic Cell yang terinfeksi virus dengue ini sanggup memproduksi TNF- dan IFN-
namun tidak mensekresi IL-6 dan IL-2. Oberholzer dkk, 2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapat
menekan proliferasi sel T.
Pada infeksi fase akut terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+, dan CD8+.
Demikian pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-sel mononuklear. Di dalam
plasma pasien DBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasi IFN-, TNF- dan IL-10. peningkatan
TNF- berhubungan dengan manifestasi perdarahan sedangkan IL-10 berhubungan dengan
penurunan trombosit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi penekanan jumlah dan fungsi
limfosit T, sedangkan sitokin proinflamasi TNF- berperan penting dalam keparahan dan
patogenesis DBD/DSS, dan meningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsi limfosit T dan
trombosit.

Lei HY dkk, 2001 menyatakan bahwa infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem
imun tubuh berupa perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat menginfeksi
sel-sel endothel dan hepatosit yang akan menyebabkan terjadinya apoptosis dan disfungsi dari
sel-sel tersebut. Demikian pula sistem koagulasi dan fibrinolisis yang ikut teraktivasi. Kerusakan
trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena overproduksi IL-6 yang
berperan besar dalam terbentuknya antibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel, serta
meningkatnya level dari tPA dan defisiensi koagulasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebocoran plasma pada DBD/DSS merupakan akibat
dari proses kompleks yang melibatkan aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel
apoptosis. Dugaan bahwa IL-8 berperan penting dalam kebocoran plasma dibuktikan secara
invitro oleh Bosch dkk (2002) melalui kultur primer monosit manusia yang diinfeksi oleh virus
DEN-2, diperkirakan hal ini disebabkan aktifasi dari NF-kappa 8. Penelitian dari Bethel dkk
(1998) terhadap anak di vietnam dengan DBD dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL6 dan soluble intercelluler molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan protein
dalam sirkulasi karena kebocoran plasma
4. Nama dari peningkatan hematocrit > 20% adalah hematokonsentrasi
5. Pemeriksaan penunjang imunoserologi igG igM NS1
Pemeriksaan IgM mulai terdeteksi hari ke 3-5 meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 IgG hari, pada infeksi primer,
IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi pada
hari ke 2.
Pemeriksaan NS1 : antigen NS1, dapat dideteksi pada awal demam hari 1-8. Sensitivitas
antigen NS1 berkisar 63-93,4%, dengan spesifitas 100% sama tingginya dengan spesifitas
gold standart kultur virus. Hasil negative antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya
infeksi dengue

6. Perbedaan dengue fever dengan dengue haemoragic fever


Demam Dengue
Demam Dengue Periode inkubasi adalah 1-7 hari. Manifestasi klinis bervariasi dan
dipengaruhi usia pasien. Pada bayi dan anak-anak, penyakit ini dapat tidak terbedakan
atau dikarakteristikkan sebagai demam selama 1-5 hari, peradangan faring, rinitis, dan
batuk ringan. Kebanyakan remaja dan orang dewasa yang terinfeksi mengalami demam
secara mendadak, dengan suhu meningkat cepat hingga 39,4-41,1o C, biasanya disertai
nyeri frontal atau retro-orbital, khususnya ketika mata ditekan. Kadang-kadang nyeri
punggung hebat mendahului demam. Suatu ruam transien dapat terlihat selama 24-48 jam
pertama demam. Denyut nadi dapat relatif melambat sesuai derajat demam. Mialgia dan
artalgia segera terjadi setelah demam. Dari hari kedua sampai hari keenam demam, mual
dan muntah terjadi, dan limfadenopati generalisata, hiperestesia atau hiperalgesia kutan,
gangguan pengecapan, dan anoreksia dapat berkembang. Sekitar 1-2 hari kemudian, ruam
makulopapular terlihat, terutama di telapak kaki dan telapak tangan, kemudian
menghilang selama 1-5 hari. Kemudian ruam kedua terlihat, suhu tubuh, yang
sebelumnya sudah menurun ke normal, sedikit meningkat dan mendemonstrasikan
karakteristik pola suhu bifasik.
Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue Pembedaan antara demam demam dengue dan demam
berdarah dengue sulit pada awal perjalanan penyakit. Fase pertama yang relatif lebih
ringan berupa demam, malaise, mual-muntah, sakit kepala, anoreksia, dan batuk berlanjut
selama 2-5 hari diikuti oleh deteriorasi dan pemburukan klinis. Pada fase kedua ini,
pasien umumnya pilek, ekstremitas basah oleh berkeringat, badan hangat, wajah
kemerah-merahan, diaforesis, kelelahan, iritabilitas, dan nyeri epigastrik. Sering dijumpai
petekie menyebar di kening dan ekstremitas, ekimosis spontan, dan memar serta

pendarahan dapat dengan mudah terjadi di lokasi pungsi vena. Ruam makular atau
makulopapular dapat terlihat. Respirasi cepat dan melelahkan. Denyut nadi lemah dan
cepat, suara jantung melemah. Hati dapat membesar 4-6 dan biasanya keras dan sulit
digerakkan. Sekitar 20-30% kasus demam berdarah dengue berkomplikasi syok (sindrom
syok dengue). Kurang dari 10% pasien mengalami ekimosis hebat atau perdarahan
gastrointestinal, biasanya sesudah periode syok yang tidak diobati. Setelah krisis 24- 36
jam, pemulihan terjadi dengan cepat pada anak yang diobati. Temperatur dapat kembali
normal sebelum atau selama syok. Bradikardia dan ektrasistol ventrikular umumnya
terjadi saat pemulihan (Halstead, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, A.R., Setyohadi, B., Alwi, I. 2006. Buku Ajar ilmu penyakit dalam Jakarta FKUI
.
World Health Organization. 2009. Dengue Guideline for Diagnosis,Treatment,Prevention
and Control-New Edition
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. BukuAjar
IlmuPenyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FakultasKedokteranUnive
rsitas Indonesia. Jakarta. 2006

Anda mungkin juga menyukai