Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tekanan sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung dan tekanan
diastolik menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung (Depkes, 2006).
2.2 Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang
mengganggu kesehatan masyarakat. Umumnya, terjadi pada manusia yang berusia
setengah baya (> 40 tahun). Namun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka
menderita hipertensi akibat gejalanya tidak nyata. Pada stadium awal, belum
menimbulkan gangguan yang serius. Sekitar 1,8% - 28,6% penduduk dewasa
penderita hipertensi. Menurut data WHO, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang
atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi, angka ini kemungkinan akan
meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta
berada di Negara maju dan 639 sisanya berada di Negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia (Ana, 2007). Prevalensi hipertensi di Indonesia tercatat mencapai
31,7% dari populasi pada usia 18 tahun keatas dan dari jumlah tersebut 60%
penderita hipertensi akan menderita stroke, sementara sisanya akan mengalami
gangguan jantung, gagal ginjal dan kebutaan (Rikesdas, 2008). Hasil penelitian
Setiawan (2004) didapatkan hasil prevalensi hipertensi di Pulau Jawa adalah 41,9%.
Data Dinas Kesehatan Kota Kediri pada tahun 2010 terdapat 53.732 penderita
hipertensi dan menjadi peringkat ke-2 untuk total kelompok 10 besar data mordibitas.
Di wilayah kerja Puskesmas Sukorame, hipertensi merupakan rangking kedua dari 10
penyakit terbesar yang dilaporkan dengan jumlah 6.351 pasien yang datang berobat
selama tahun 2014. Jumlah kunjungan ke Puskesmas dari semua penyakit adalah
digunakan secara luas di seluruh dunia, meskipun TDS (tekanan darah sistolik) 140
mmHg bukanlah nilai batas hipertensi pada semua penderita dewasa. Karena nilai
batas tersebut ternyata dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin secara independen
(Port, et al., 1999). Studi Farmingham menemukan bahwa kriteria hipertensi
meningkat sesuai peningkatan umur dan TDS wanita meningkat lebih cepat daripada
pria (Kodim, 2004).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibedakan menjadi 2 golongan,
hipertensi essensial atau primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial (primer),
merupakan tipe paling umum, yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik). Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial
sedangkan 10% tergolong hipertensi sekunder. Sedangkan hipertensi sekunder
memiliki atribut patologis. 10% penderita hipertensi adalah hipertensi sekunder.
Penyebab umum hipertensi sekunder adalah kelainan ginjal (penyempitan arteri
ginjal/penyakit parenkim ginjal), kelenjar endokrin, berbagai obat, disfungsi organ,
tumor dan kehamilan hipertensi, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit
kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) (Depkes, 2006).
2.4 Cara Pengukuran Tekanan Darah
Teknik pengukuran yang tepat dan teliti juga harus diperhatikan. Terdapat
dua cara pengukuran yaitu pengukuran oleh dokter atau petugas kesehatan di sarana
pelayanan kesehatan dan pengukuran sendiri di rumah baik dengan alat konvensional
maupun dengan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM). Hipertensi tidak
dapat didiagnosis berdasarkan pengukuran tunggal. Penemuan kenaikan pada
pembacaan pertama harus dipastikan paling sedikit dua kunjungan berikutnya pada
satu atau beberapa minggu dengan nilai rata-rata tekanan diastolic 90 mmHg dan
sistolik 140 mmHg/lebih (Lubis, 1989 dan Kaplan 1994). Teknik pengukuran yang
direkomendasikan oleh JNC VI adalah sebagai berikut. Penderita harus duduk
dengan penyangga lengan, bersandar dan sejajar dengan letak jantung. Penderita
tidak boleh merokok dan minum kopi 30 menit sebelum pengukuran. Pengukuran
dimulai setelah penderita istirahat selama 5 menit. Ukuran manset harus sesuai
dengan lengan penderita yang paling sedikit 80% lebar manset harus dapat menutupi
lingkar lengan. Tekanan sistolik adalah tekanan darah saat terdengan bunyi pertama
(korotkoff I), sedangkan tekanan diastolic adalah tekanan darah saat bunyi
menghilang (korotkoff V). Pembacaan dilakukan 2 kali/ lebih dengan waktu antara 2
menit (JNC VI, 1996).
2.5 Patofisiologi
Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan perifer. Faktor
genetik, aktivasi syaraf simpatis, faktor hemodinamik, metabolisme natrium, faktor
renin, angiotensin, dan aldosteron merupakan faktor-faktor yang telah dibuktikan
mempunyai kaitan dengan peningkatan tekanan darah pada hipertensi (Soeparman et
al., 1994 ; Kaplan, 1990). Pada lanjut usia, perubahan struktural dan fungsional pada
pembuluh perifer bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah. Perubahan
tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan
dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya tegang pembuluh darah (Smeltzer S. & Bare B, 2001).
2.6 Diagnosa Hipertensi
kegagalan jantung, dan sering bangun tiap malam untuk buang air kecil dan lebih
banyak serta sering mengeluarkan urin selama siang hari dapat menjadi tanda
pertama gangguan ginjal.
2.8 Masalah Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala
yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti stroke (untuk otak) dan penyakit
jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung). Dengan target organ di otak yang
berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa kematian
yang tinggi (Bustan, 2000). Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari adanya
hipertensi sehingga penderita yang dapat diobati dalam arti hipertensinya
terkendalikan dengan baik, hanya sekitar 10-12% (Rahardjo, 1991).
Keadaan hipertensi menekankan jantung bekerja lebih berat untuk memompa
darah, volume jantung membesar dan dinding menipis sehingga akhirnya
menyebabkan gagal jantung, dan terhadap organ mata menyebabkan pendarahan
pada mata sehingga buta dan gangguan lainnya. Komplikasi lain dari hipertensi yaitu
pendarahan, infark cerebral, pendarahan pembuluh darah otak yang berupa
kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma, trombosis, retinopati
hipertensif pada mata, nefrosklerosis pada ginjal dan kegagalan faal ginjal (Sadana,
1994; Sidabutar, et.al, 1990).
Masalah utama hipertensi adalah bahwa > 90% hipertensi termasuk golongan
esensial, yaitu yang tidak atau belum diketahui sebabnya.,75% termasuk hipertensi
ringan (diastolik 90-105 mmHg) dan bila digabung dengan hipertensi sedang (105-
115 mmHg) berjumlah > 90% penderita. Keadaan ini mempunyai kaitan dengan
kebijaksanaan tatalaksana terapinya, karena menyangkut jumlah populasi yang besar
dan beban masyarakat yang berat bila terapi tidak direncanakan dengan sesakma
(Rahardjo, 1991).
2.9 Penyebab Hipertensi
Hipertensi digolongkan sebagai penyakit kultur, yaitu penyakit yang terkait
dengan pola hidup kurang gerak (sedentary life style) dan pola makan siap saji yang
mengandung lemak, protein, dan garam tinggi namun rendah serat (dietary fiber)
(Nadesul, 2005). Faktor-faktor yang menyebabkan hipertensi terbagi menjadi dua
bagian yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol.
Faktor yang dapat dikontrol antara lain obesitas, dislipidemia, stres, aktivitas fisik,
merokok, konsumsi garam yang berlebihan, dietetik, kebiasaan makan, dan konsumsi
alkohol. Faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain umur, jenis kelamin, keturunan
(Hull, 1996; Janssen, et.al, 2002; Karyadi 2000; Bustan & Nur 1999; Sadana 1994),
dan pemakaian pil kontrasepsi pada wanita (Bustan & Nur 1999). Faktor-faktor yang
menyebabkan hipertensi lainnya yaitu suku, kebiasaan berolahraga, dan pendidikan
(Sadana, 1994). Kemudian menurut Kamso (2000), hiperensi berhubungan dengan
perubahan komposisi tubuh, asupan makanan, dan faktor emosi (Kusmana, 1997)
dan gaya hidup. Meningkatnya kematian akibat dari penyakit kardiovaskuler
menurut beberapa ahli dan studi sangat berhubungan dengan perubahan pola makan,
gaya hidup dan faktor stres (Suwandono & Ni Ketut, 1998). Sementara Edi S.N
(1996) mengatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya
hipertensi adalah resultansi dari beberapa faktor yakni umur, jenis kelamin,
(Darmodjo, 1999). Orang dengan tekanan darah normal pada usia 55 tahun, 90 %
akan berkembang menjadi hipertensi pada 25 tahun ke depan (US Departement
Health & Human Services, 2003).
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,
resiko tekanan hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di
kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas
65 tahun. Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan
tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik sebagai
bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada tidaknya hipertensi.
Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh perubahan
struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit dan
dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat adalah meningkatnya
takanan darah sistolik (Depkes, 2006).
Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan umur di bawah 40 tahun
masih berada di bawah 10%, tetapi di atas umur 50 tahun angka tersebut terus
meningkat mencapai 20% hingga 30%, sehingga ini sudah menjadi masalah serius
untuk diperhatikan (Depkes, 2000). Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti
Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut
(55-85 tahun), didapatkan prevalensi hipertensi sebesar 52,5% (Kamso, 2000).
Kelleher, (1992) mendapatkan prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 40%. Pada
NHANES III (The third national Health and Nutrition Examination Survey), dimana
telah diadakan sebuah penelitian dengan mengambil populasi warga sipil US yang
noninstitusional sebanyak 9901 orang yang berusia 18 tahun keatas atau lebih,
darah tinggi ketika mengandung, mempunyai hampir dua kali lipat kemungkinan
terkena darah tinggi (http://www.kompas.com/9609/22/IPTEK/hipe.htm).
d. Suku / Golongan Etnik
Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan, genetika,
gaya hidup, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka kesakitan dan
kematian (Sutrisna, 1994). Pada kelompok orang dewasa di Amerika, kenaikan
tekanan darah seiring umur dijumpai lebih banyak pada orang berkulit hitam
daripada orang kulit putih (Kaplan, 1994). Besar variasi antar suku di Indonesia,
Lembah Baliem Jaya (0,6 %), Sukabumi, Jawa Barat (28,6%) (Darmojo, 1994).
e. Status Sosial Ekonomi
Hipertensi dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease karena
dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan sosial ekonomi
(Astawan, 2005). Menurut Sutrisna (1994), yang dimaksud status sosial ekonomi
yaitu tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan status perkawinan. Hal tersebut dapat
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan kesehatan, maka
tidak mengherankan jika ada perbedaan-perbedaan dalam angka kesakitan atau
kematian antara berbagai kelas sosial. Status sosial ekonomi seseorang, dapat
mempengaruhi munculnya hipertensi, seperti misalnya pekerjaan, jumlah anggota
dalam keluarga dan kepadatan penduduk (Fisher & Williams, 2005). Sementara
Matlin menambahkan dengan pendidikan, pendapatan, dan kebanggan (prestise)
keluarga. Stress sosial ekonomi merupakan prediktor yang paling baik untuk umur
harapan hidup, kesehatan, dan kesakitan (Matlin, 1999).
diharapkan, ditemui pada golongan pekerja administrasi dan manajer (25,0%). Pada
kaum pengangguran ditemukan prevalensi hipertensi sebesar 9,6%.
f. Geografi dan Lingkungan
Pada kebanyakan tempat di dunia dapat dibedakan tiga macam keadaan iklim.
Salah satunya iklim laut dengan sifat khasnya sering terjadi putaran udara karena
kuatnya angin sepanjang pantai yang menyebabkan efek penyejuk pada badan
manusia, dan intensitas yang besar dari sinar radiasi matahari yang terpantul. Sinar
radiasi matahari yang berlebihan dapat menyebabkan kegugupan, hilangnya nafsu
makan, mual, lelah, pusing, dan susah tidur (Slamet, 1998). Terdapat pula perubahan
suhu harian dan musim yang relatif kecil dibandingkan dengan daerah pedalaman,
kelembaban yang lebih besar, dan kadar trace element yang lebih tinggi seperti ozon,
iodium dan megnesium serta kadar renik polusi udara selama angin laut yang kuat
tetap berhembus
(Karhiwikarta, 1998).
daya tahan setempat (local resistance) maupun umum terhadap penyakit infeksi.
Daya tahan setempat yang berupa resistensi pembuluh darah kapiler misalnya,
menurun (permeabilitas bertambah) setelah adanya aliran udara panas (heat sterss)
dan sebaliknya bertambah setelah adanya aliran dingin. Daya tahan umum yang
berupa perubahan kimia darah kemungkinan ada hubungannya dengan perubahan
pola makanan sesuai dengan musim (Karhiwikarta, 1998). Daya tubuh seseorang
sangat dipengaruhi oleh kecukupan gizi, aktivitas, dan istirahat. Dalam hidup modern
yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolahraga dan berusaha
mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol, atau kopi sehingga daya tahan
tubuh menjadi menurun dan memiliki resiko terjadinya penyakit hipertensi.
Kuhnke (1956) dalam Karhiwikarta, 1998, di Jerman telah mencoba
menghubungkan gejala-gejala tadi dengan keadaan atmosfir beserta perubahanperubahannya di satu pihak dan situasi cuaca umumnya di pihak lain. Pada
kombinasi keadaan atmosfir dan situasi cuaca tertentu secara empiris statistis
terdapat gejala yang menonjol dari kelelahan umum dan kelelahan subjektif seperti
keluahan penyakit jantung dan peredaran darah, keadaan spasme dan kolik, peristiwa
kematian, infark jantung, peninggian peristiwa ke arah perdarahan, perlambatan
waktu reaksi dan bertambahnya angka kecelakaan Dari hasil-hasil tersebut, terutama
dipandang dari masalah kemampuan kerja, Kuhnke dan Schulze (1962) dalam
Karhiwikarta, 1998 menyimpulkan terdapat tiga jenis situasi cuaca di Eropa Tengah
yaitu salah satunya situasi yang jelas mengakibatkan penurunan fungsi-fungsi tubuh,
yaitu keadaan cuaca yang umumnya disertai dengan pengaruh (adveksi) yang kuat
dari udara tropik. Pada situasi cuaca ini didapat presentase tinggi dari penduduk
merasa lemah dan lelah disertai berkurangnya keinginan kerja dan konsentrasi,
terutama jenis kerja yang memerlukan usaha lama.
Lehman (1964) dalam Karhiwikarta, 1998 menekankan bahwa rendahnya
prestasi kerja penduduk tropis bukanlah suatu hal yang berhubungan dengan bakat
pemalas (indolen), karena dapat pula dialami oleh kaum pendatang yang tinggal lama
di daerah tropis. Sebab primernya adalah menurunnya kebugaran jasmani atau
kapasitas kerja fisik dan daya aklimatisasi (adaptasi) sebagai akibat terbatasnya gerak
atau aktivitas fisik karena pengaruh iklim panas dan lembab. Namun diingatkan pula
bahwa keadaan tersebut dalam jangka waktu lama dapat pula mempengaruhi mental
psikologis, sosial-budaya, dan ekonomis.
Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia
bernapas udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya,
demikian pula minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Tergantung dari taraf
budayanya, manusia dapat sangat erat atau kurang erat hubunganya dengan
lingkungan. Natrium merupakan salah satu parameter kimiawi syarat air minum.
Natrium elemental (Na) sangat reaktif, karenanya bila berada di dalam air akan
terdapat sebagai suatu senyawa. Natrium sendiri bagi tubuh tidak mrupakan benda
asing, tetapi toxixitasnya tergantung pada gugus senyawanya. Seperti NaOH atau
hidrixida Na ini sangat korosif, tetapi NaCl justru dibutuhkan oleh tubuh (Slamet,
2000).
Prevalensi hipertensi pada penduduk di daerah pentai lebih tinggi daripada
penduduk di daerah pegunungan atau pedalaman. Prevalensi hipertensi pada orangorang yang melakukan migrasi akan sangat berbeda dengan prevalensi hipertensi di
kuadrat (Kaplan & Stamler, 1991). Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan
kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh beberapa studi. Berat badan dan IMT
berkolerasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Kelebihan berat badan dan obesitas adalah problem kesehatan yang paling
sering pada masyarakat maju atau bisa disebut orang yang mampu, namun bukan
berarti masyarakat sosial ekonomi rendah terlepas dari masalah ini. Menurut
penelitian di Australia obesitas mengakibatkan 2/3 penyakit diabetes tipe 2 dan
mengakibatkan 1/3 jumlah penderita hipertensi. Orang obesitas juga diperkirakan
akan meninggal dua kali lebih cepat dari orang dengan berat badan normal (State
Goverment of Victoria, 2004 dalam Depkes RI 2006).
Dari hasil penyelidikan epidemiologi terbukti bahwa obesitas merupakan ciri
khas pada populasi hipertensi (Soeparman et.al., 1994). Obesitas mempunyai
hubungan yang erat dengan prevalens hipertensi dan meningkatnya insidens
hpertensi ketika berat badan bertambah (Kaplan et al., 1990). Mekanisme pasti yang
menjelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi belum ada, namun pada
beberapa penelitian diperoleh bahwa curah jantung dan sirkulasi hipertensi dengan
berat badan normal. Pada obesitas, tekanan perifer berkurang atau normal, aktivitas
syaraf simpatis meninggi dan aktivitas renin plasma rendah (Soeparman et al.,
1994). Resiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan seseorang yang berat badannya normal. Sedangkan pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-23% memiliki berat badan lebih
(overweight). Penentuan obesitas pada orang dewasa dapat dilakukan pengukuran
berat badan ideal, pengukuran persentase lemak tubuh dan pengukuran IMT. Pada
mengandung lemak, karbohidrat, dan protein. Jika tubuh tidak membakar kelebihan
kalori, maka tubuh akan menyimpan kelebihan kalori sebagai lemak di dalam tubuh.
Pada orang yang kelebihan berat badan jantung akan bekerja lebih keras untuk
menyuplai darah (Patel, 2005). Jumlah lemak pada laki-laki dewasa rata-rata berkisar
antara 15-20% dari berat badan total dan pada wanita sekitar 20-25 %. Jumlah lemak
pada tubuh seseorang umunya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, yang
umunya
disebabkan
oleh
semakin
melambatnya
metabolisme
tubuh
dan
mempunyai kelebihan berat badan atau > 2 kg. Pada hasil studi Farmingham,
menunjukkan bahwa kenaikan berat badan 10 kg meningkatakan tekanan darah
sebesar 4,5 mmHg (Kaplan, 2002 dalam Fenida 2003)
b. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis karena tubuh tidak dapat
menghasilkan insulin atau hanya sedikit menghasilkan insulin atau menahan insulin
sehingga tidak dapat diproduksi. Akibat dari defisiensi insulin dan kadar gula dalam
darah meningkat yang selanjutnya dapat membahayakan pembuluh darah.
Sebagaimana diketahui, insulin berfungsi menangkut glukosa ke dalam sel yang
digunakan sebagai sumber energi dan disimpan sebagai glikogen (Patel, 1995;
Andrews; Goldberg; Jonhson, 1996). Insidens diabetes mellitus serupa antara pria
dan wanita serta dapat dijumpai pada segala umur.
Diagnosis DM dapat dipastikan jika terdapat salah satu hasil pemeriksaan
yaitu antara lain apabila terdapat gejala klasik DM dengan kadar glukosa darah
sewaktu e200 mg/dl, gejala klasisk DM dengan kadar glukosa darah puasa e126
mg/dl, dan pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah 2 jam > 200 mg.dl sesudah pemberian beban glukosa 75 g.
Gejala klasik DM yaitu seperti sering kencing, cepat lapar, sering haus, berat badan
menurun cepat tanpa penyebab yang jelas (Depkes, 2006). Perjalanan penyakit
diabetes melitus dipengaruhi oleh berbagai faktor resiko yaitu faktor resiko yang
tidak dapat diubah (umur, jenis kelamin, keturunan, suku, dan budaya/adat
istiadat), faktor resiko perilaku yang dapat diubah (merokok, konsumsi alkohol,
kurang aktifitas fisik, kurang konsumsi serat, konsumsi lemak tinggi, dan konsumsi
survivalnya.
Pada
akhir
penelitan,
peneliti
menyimpulkan
bahwa
berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena merokok,
diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio diabetes melitus pada laki-laki sebesar
1,61 (95%CI 1,28-2,03) dan pada perempuan sebesar 1,94 (95%CI 1,49-2,53)
(Simon, et.al., 2005). Pada mereka yang berkadar insulin tinggi karena diabetes,
menyulitkan jantung memompa darah karena darah menjadi lebih kental. Akibatnya,
tekanan harus ditingkatkan agar suplai darah tetap terjamin. Lama-lama, jadilah
tekanan darah tinggi permanen. Dallas Heart Disease Prevention Project, yang
dimulai tanggal 1 Juli 2000, telah mewawancara lebih dari 4000 partisipan di kota
Dallas. Dari sejumlah itu, sebanyak 1186 merupakan kasus hipertensi atau tekanan
darah tinggi dan dari sebanyak itu, 417 orang terdiagnosis terkena diabetes. Dari 417
orang itu 73 orang tidak menyadari meningkatnya level glukosa darah, yang
menghasilkan penyakit diabetes (Khania, 2002)
3. Faktor Perilaku
a. Stress
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah, dendam, rasa
lajut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga
tekanan darah meningkat. Jika stess berlangsung lama, tubuh akan berusaha
mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis.
Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag. Diperkirakan
prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih
tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas
orang kulit hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara
individu dengan lingkungannya yang mendorong seseorang untuk mempersepsikan
adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologi, psikologi, sosial)
yang ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003). Peningkatan tekanan darah akan
lebih besar pada individu yang mempunyai kecenderungan stress emosional yang
tinggi (Pinzon, 1999). Stress merupakan pengalaman emosional negatif yang dialami
seseorang, yang lebih besar dari kemampuannya untuk beraksi. Stress dapat terjadi
karena adanya bencana atau kehilangan, peristiwa penting dalam hidup atau karena
peristiwa kecil harian (Matlin, 1999). Oleh karena stress, maka tubuh akan bereaksi,
termasuk antara lain berupa ketegangan otot, meningkatnya denyut jantung, dan
menigkatnya tekanan darah. Reaksi ini dipersiapkan tubuh untuk bereaksi secara
cepat, yang apabila tidak digunakan, maka akan dapat menimbulkan penyakit,
termasuk hipertensi (Greenberg, 1999).
Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi wanita
berusia
45-64 tahun,
jumlah
faktor
psikososial
seperti
keadaan
tegang,
jantung pada perokok terjadi pada menit pertama merokok dan sesudah 10 menit
peningkatan mencapai 30 %. Menurut Winniford (1990) dalam Hasudungan (2002)
lebih jauh mengatakan bahwa efek merokok akan meningkatkan kadar asam bebas
lemak dalam plasma yang dapat mengurangi jumlah kadar lemak HDL. Selain itu
merokok juga akan menghadirkan LDL, yang sebagai kolesterol jahat, yang akan
menyebabkan penyempitan arteri akibat terjadinya penumpukan kolesterol pada
dinding arteri dan hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Pada orang
merokok keadaan jantung juga tidak dapat bekerja dengan efisien. Oleh karena itu
seorang
yang
menderita
hipertensi
yang
disertai
dengan
merokok
dan
pembuluh darah arteri (Depkes, 2006). Pada perokok, asap rokok mengandung gas
karbon monoksida yang lebih cepat mengikat hemoglobin dibanding oksigen.
Akibatnya suplai oksigen yang seharusnya dibawa darah berkurang. Jantung harus
meningkatkan daya tekan agar suplai darah bertambah untuk mengangkut
kekurangan oksigen. Tekanan tinggi yang terus-menerus, menyebabkan dinding
pembuluh darah tidak tahan dan terjadilah kerusakan di mana-mana. Pembuluh darah
menjadi tidak beraturan, tebal, mengeras, sehingga terjadi penyumbatan dan tekanan
darah akan semakin meningkat (http://www.kompas.com/9609/22 /IPTEK/hipe.htm)
Perokok yang berhasil meninggalkan rokok menghadapi masalah yang
berhubungan dengan peningkatan berat badan. Hal ini terjadi karena peningkatan
nafsu makan. Selain itu, orang yang tidak merokok cenderung mengemil (Patel,
1995). Sedangkan menurut Kaplan dan Stemler (1994) berhenti merokok sering
meningkatkan berat badan dan meningkatnya tekanan darah bukan karena nikotin,
tetapi karena bertambahnya berat badan. Merokok dapat menurunkan kesukaan pada
makanan sehingga berat badan berkurang dan dengan berhenti maka berat badan
akan meningkat. Dalam sebuah penelitian kohort prospektif di Dubbo, New South
Wales, yang melibatkan 1233 laki-laki dan 1572 perempuan usia lanjut, diamati dan
dilakukan analisa survivalnya. Pada akhir penelitan, peneliti menyimpulkan bahwa
berkurangnya waktu survival pada penduduk usia lanjut disebabkan karena merokok,
diabetes, dan hipertensi berat. Hazard rasio merokok (current smoker) pada laki-laki
sebesar 1,84 (95%CI 1,44-2,35) dan pada perempuan sebesar 1,63 (95%CI 1,242,15) (Simon, et.al., 2005).
c. Alkohol
Meskipun alkohol mempunyai efek positif yaitu berupa vasodilaor, alkohol
juga berkaitan dengan pengentalan lipoprotein. Meskipun sedikit, alkohol dapat
meningkatkan tekanan darah sedangkan penggunaan alkohol yang terus menerus
dalam jumlah yang banyak berakibat keracuanan jantung, sclerosis dan fibrosis
dalam arteri kecil yang dapat menunjukkan adanya micro infark.(Kaplan, 1990;
Soeparman et al., 1994).
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun,
diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta
kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan darah. Beberapa studi
menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol, dan
diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan darah baru nampak apabila
mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara
barat seperti Amerika, konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap
terjadinya hipetensi. Sekitar 10 % hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan
alkohol yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya, kebiasaan
meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi sekunder di kelompok usia ini
(Depkes, 2006).
Wasir (1998) menyatakan bahwa berlebihan mengkonsumsi alkohol (>2 gelas
bir/wine/whiskey/hari) merupakan faktor resiko hipertensi. Menurut suatu penelitian,
diluar efek usia hipertensi lebih sering ditemukan pada orang yang berkulit
hitam/peminum alkohol. Pada penelitian ini diketahui bahwa asupan alkohol
tubuh ( Hadi et al., 1992; Whiteboard, 1995). Aktivitas fisik dalam bentuk olahraga
secara teratur memberikan banyak keuntungan bagi para lanjut usia. Keuntungan
tersebut antara lain berkurangnya berat badan, tekanan darah, kadar kolesterol serta
penyakit jantung. Olahraga secara teratur juga dapat menunda efek-efek penuaan dan
mengurangi kemungkinan depresi (Pickering,1996). Wackers (1992) mengemukakan
bahwa keuntungan dari aktivitas fisik atau olahraga adalah meningkatkan
perlindungan tubuh terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah. Olahraga teratur
juga membantu seseorang mengontrol faktor resiko lain seperti obesitas, stress,
hipertensi, dan kadar lipid dalam darah.
Olahraga dapat mengurangi tekanan darah bukan hanya disebabkan
berkurangnya berat badan, tetapi juga disebabkan bagaimana tekanan darah tersebut
dihasilkan. Tekanan darah ditentukan oleh dua hal yaitu jumlah darah yang
dipompakan jantung per detik dan hambatan yang dihadapi darah dalam melakukan
tugasnya melalui arteri. Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah
kaliper yang baru dan jalan darah yang baru. Dengan demikian hal yang menghambat
pengaliran darah dapat dihindarkan atau dikurangi, yang berarti menurunkan tekanan
darah. Walaupun kesanggupan jantung untuk melakukan pekerjaannya bertambah
melalui olahraga, pengaruh dari berkurangnya hambatan tersebut memberikan
penururnan tekanan darah yang sangat berarti (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).
Aktifitas fisik dengan intensitas rendah sampai sedang (seperti melakukan
pekerjaan rumah tangga, berkebun, olahraga bowling atau golf) yang dilakukan
sekurangnya 21 jam per minggu dilaporkan Grylls (2003) membantu mengontrol
berat badan. Orang dengan skor aktivitas tinggi, dimana aktivitas fisik yang diukur
adalah aktivitas di rumah atau pada waktu bekerja, aktivitas olah raga dan kebiasaan
berjalan kaki, berhubungan dengan indeks masa tubuh yang lebih rendah (Samaras et
al., 1999). Sebuah penelitian di Amerika Serikat yang melibatkan 8.604 responden
berusia lanjut mendapatkan bahwa orang yang mempunyai aktivitas fisik tinggi
mempunyai umur harapan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang
beraktivitas rendah, baik pada kelompok perokok maupun pada kelompok bukan
perokok (Ferrucci, et.al, 1999). Pada fisik yang senantisa aktif, pembuluh darah
cenderung lebih elastis, sehingga mengurangi tahanan di perifer (Warborton, et.al.,
2006). Sementara itu aliran darah yang meningkat karena aktivitas fisik dapat
menjaga endotel pembuluh darah arteri dengan dihasilkannnya NO (Nitrit Oksida),
suatu bahan yang bersifat vasodilator (Kusmana, 2001).
Penelitian
meneliti15.000
lain
tamatan
oleh
Paffenbarger
Universitas
dari
Harvard
Universitas
untuk
6-10
Stanford
tahun.
yang
Selama
1992). Bukti langsung dari keuntungan olahraga bagi mereka yang telah menderita
tekakan darah tinggi sangat penting, sebab ini menunjukkan bahwa olahraga bukan
hanya menghindarkan tekanan darah tinggi, tetapi juga menurunkan tekanan darah
dari mereka yang telah menderita penyakit tersebut (Kuntaraf & Kuntaraf, 1992).
Berbagai penelitian membuktikan, bahwa ternyata tekanan darah tinggi yang
ringan dapat ditanggulangi tanpa obat, hanya dengan melakukan olahraga secara
teratur. Tekanan darah tinggi teryata cukup responsif terhadap latihan-latihan
olahraga. Bahkan tidak jarang penderita tekanan darah tinggi yang akhirnya dapat
lepas obat atau tidak minum obat untuk tekanan darah tinggi, karena tekanan darah
tinggi telah teratasi setelah melakukan latihan-latihan olahraga secara teratur.
Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Robert Cade dari Universitas Florida,
bahwa hampir seratus persen dan sejumlah orang yang menderita tekanan darah
tinggi, ternyata tekanan darahnya turun setelah tiga bulan berlatih olahraga secara
teratur, dengan takanan yang cukup. Berdasarkan penelitian ini, tekanan darah dapat
menurun yang berkisar antara 10-50 mm (Anies, 2006)
e. Diet Tinggi Garam
Sodium/natrium adalah mineral yang esensial bagi kesehatan yang mengatur
keseimbangan air dalam sistem pembuluh darah. Konsumsi natrium yang berlebihan
menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraselular meningkat. Untuk
menormalkannya, cairan intraselular ditarik keluar sehingga cairan ekstraselular
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraselular menyebabkan meningkatanya
volume darah dalam tubuh, dengan demikian jantung harus memompa lebih giat
sehingga tekanan darah menjadi naik (Hull, 1996). Konsumsi garam yang melebihi
ambang batas yang dibutuhkan dapat menyebabkan hipertensi (Kaplan, 1990).
Begitu pula seseorang yang sudah punya bakat hipertensi, potensinya akan
lebih besar jika lingkungan atau kebiasaan sehari-hari turut memicu. Seperti
dikemukakan Prof Jose, bahwa pada masyarakat tradisional (yang tidak terpapar stres
atau garam berlebih) angka hipertensi hanya 0,1 %. Sementara di daerah sibuk
angkanya mendekati 30 %. Contoh lainnya, orang yang hidup di pinggir pantai,
sedari kecil telah terbiasa makan ikan yang diasin. Padahal, kondisi garam berlebihan
dalam tubuh bisa memicu timbulnya hipertensi. Prof Jose mencontohkan bahwa
penduduk di Jepang Utara banyak yang terkena stroke akibat konsumsi garam yang
tinggi, sementara di Jepang selatan tidak demikian. Rata-rata konsumsi garam dapur
normalnya adalah 6 gram per hari. (http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak
/kesehatan/diet-rendah-garam-3.html
oleh
Inda).
yang
tekanan darah masyarakat di negara maju lebih tinggi daripada rata-rata tekanan
darah masyarakat negara berkembang. Meskipun demikian pengaruh natrium terlihat
sama di kedua populasi tersebut. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh
natrium lebih besar daripada yang diperkirakan dan makin bertambah sesuai dengan
bertambahnya usia dan tingkat tekanan darah semula (BMJ 1991;302 : 9115 Cermin
Dunia Kedokteran No. 73, 1991 6).
Berpuluh-puluh tahun penelitan, mulai dari percobaan binatang, observasi
klinik, penelitian epidemiologi, dan intervensi telah mengidentifikasi paparan yang
membentuk pola tekanan darah dipopulasi ialah konsumsi garam tinggi, kalium
rendah, ratio natrium terhadap kalium tinggi, kegemukan dan konsumsi alkohol
tinggi (Sjukrudin, 1998). Di Amerika Serikat diusulkan konsumsi garam per orang
secara nasional diusahakan hingga konsumsi pada saat ini menjadi 6 gr/hari. Di
Jepang yang konsumsi garamnya pada tahun 1960-an pada penelitian INTERSALT
23 gr/orang pada tahun 1988 menjadi 11 gr/orang. Selain itu konsumsi kalium dapat
dinaikan dengan konsumsi lebih banyak buah-buahan dan sayuran segar. Tekanan
darah dapat diturunkan pula dengan menurunkan berat badan dan meningkatkan
aktivitas fisik. Dari hasil di Jepang dan beberapa penelitian intervensi ada petunjuk
bahwa intervensi nonfarmakologis dan modifikasi gaya hidup semacam diatas dapat
menurunkan tekanan darah dalam waktu panjang (Karhiwikarta 1998).
2.2 Konsep Dasar Pencegahan Penyakit
2.2.1 Faktor Penentu Derajat Kesehatan
Derajat kesehatan penduduk, dapat diukur dari seberapa banyak warga
masyarakat suatu penduduk yang baru atau sedang menderita sakit akibat berbagai
penyakit. Setiap penyakit selalu unik, artinya selalu memiliki keluhan, gejala, dan
kadang-kadang penyebab yang khas dan spesifik. Bila dari sekumpulan penyakit yang
banyak diderita oleh sebagian penduduk dapat diketahui faktor penyakit tersebut
dapat dihilangkan, maka proporsi penduduk yang sakit akan menurun (morbiditas
penduduk menurun) dan dikatakan perubahan ini sebagai derajat kesehatannya
meningkat.
Saat penyakit infeksi masih mendominasi penyakit manusia pada awal sampai
hampir akhir abad XX, berkembanglah konsep Epidemiological Triangle atau Segi
Tiga Epidemiologi. Menurut konsep ini, derajat kesehatan yang ditunjukkan oleh
adanya penyimpangan fungsi/struktur jasmani mental individu dari normalnya,
ditentukan oleh tiga faktor yaitu:
1. Daya perusak Agent of Disease (Agen Penyebab Penyakit) untuk merubah fungsi
struktur organ, jaringan atau subseluler sehingga terjadi penyimpangan fungsi
struktur jasmani mental. Agen ini meliputi agen yang berupa agen biologik, agen
fisik, dan agen sosiokultural. Daya perusak ini bisa karena virulensi atau daya
perusak per unit agen penyakit yang memang tinggi, atau karena jumlah agen
penyakit yang kontak banyak sekali.
2. Ketahanan Psiko-Biologik tubuh manusia sebagai Host atau tuan rumah dalam
menghadapi kerusakan oleh agent penyakit. Bila ketahanan psiko biologik tinggi,
maka Host akan mampu bertahan terhadap serangan agen penyakit.
3. Keperpihakan Lingkungan Fisik Biologik dan Lingkungan Sosial (Environment)
terhadap daya perusak agen penyakit atau terhadap ketahanan psiko biologik.
Apabila kondisi lingkungan berpihak untuk meningkatkan data perusak agen
Host
Environment
Agent
1. Lingkungan
Berbicara mengenai lingkungan sering kali kita meninjau dari kondisi fisik.
Selain lingkungan fisik, faktor lingkungan biologi, kimia, ekonomi, sosial dan budaya
juga dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Lingkungan yang memilik kondisi
sanitasi buruk dapt menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas
membahayakan kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang
tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan juga tanah juga dapat menjadi
penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak
sehingga untuk itu perlu kesadaran semua pihak.
Puskesmas sendiri memiliki program kesehatan lingkungan dimana berperan
besar dalam mengukur, mengawasi dan menjaga kesehatan lingkungan masyarakat.
Namun dilematisnya di puskesmas jumlah tenaga kesehatan lingkungan sangat
terbatas padahal banyak penyakit yang berasal dari lingkungan seperti diare, demam
berdarah, malaria, TBC, cacar air, dan sebagainya.
Di samping lingkungan fisik juga ada lingkungan sosial yang berperan.
Sebagai makhluk sosial kita membutuhkan bantuan orang lain, sehingga interaksi
individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan baik. Kondisi lingkungan
sosial yang buruk dapat menimbulkan masalah kejiwaan yang pada akhirnya problem
kejiwaan dapat menjadi masalah kesehatan secara fisik ( psikosomatis ).
2. Perilaku
Perilaku dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting untuk
mewujudkan indonesia sehat 2010. Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan
sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri seorang individu yang selanjutnya
kesehatan
yang
berkualitas
sangatlah
dibutuhkan.
Masyarakat
P
A
N
K
E
T
E L
Y A
A N
E S
H A
A N
P
E
R
I L
A
K P
U -:
S
B
G
G
T
S I K
O
S I O
I O L O
I /
E N E
I K
L I
N
G
K
U
N
G
A
N
:
K
E
S
E
H
A
T
A
N
GAYA HIDUP/PERILAKU:
- Kebiasaan merokok
- Aktivitas fisik
- Merokok
- Diet tinggi karbohidrat dan
lemak
- Diet tinggi garam
PSIKO-SOSIOBIOLOGI/ GENETIK:
- Usia
- Jenis Kelamin
- Ras
- Faktor Keturunan
- Status Sosial Ekonomi
HIPERTENSI
3
Lingkungan:
- Perkotaan
- Pantai
PELAYANAN
KESEHATAN:
- Fasilitas
- Tenaga
-Sistem