Anda di halaman 1dari 5

2.

6 Sulfur pada Batubara


Di dalam batubara, sulfur dapat merupakan bagian dari mineral
sulfat dan sulfida. Dengan sifatnya yang mudah bersenyawa dengan
unsur hidrogen dan oksigen untuk membentuk senyawa asam, maka
keberadaan sufur diharapkan dapat seminimal mungkin karena sifat
tersebut yang merupakan pemicu polusi, maka beberapa negara
pengguna batubara menerapkan batas kandungan 1 % maksimum
untuk batubara yang dimanfaatkan untuk keperluan industri.
Sulfur dalam batubara terdapat dalam tiga bentuk, yaitu pirit
sulfur, sufat sulfur dan organik sulfur. Sulfur dalam bentuk pirit dan
sulfat merupakan bagian dari mineral matter yang terdapat dalam
batubara yang jumlahnya masih dapat dikurangi dengan teknik
pencuci. Sedangkan organik sulfur terdapat pada seluruh material
karbon dalm batubara dan jumlahnya tidak dapat dikurangi dengan
teknik pencucian. Terdapatnya sulfat sulfur dalam batubara sering
dipergunakan sebagai petunjuk bahwa batubara telah mengalami
oksidasi, sedangkan pirit sulfur dianggap sebagai salah satu penyebab
timbulnya pembakaran secara spontan.
Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua
(setelah ash) dalam batubara ;
a) Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya
korosif dan sumber polusi udara.
b) Moisture dan

sulfur

(terutama

sebagai

pirit)

dapat

menunjang

terjadinya pembakaran spontan.


c) Semua batubara bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses
pencucian.
Hasil penentuan sulfur digunakan untuk menunjang evaluasi
pencucian batubara, emisi udara, dan evaluasi kualitas batubara
berkaitan dengan spesifikasi dalam kontrak serta untuk keperluan
penelitian.
Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak
masalah dalam pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur
menyebabkan korosi dalam ketel dan membentuk endapan isolasi
pada tabung ketel uap (yang disebut slagging). Disamping itu juga
menimbulkan pencemaran udara. Sebagaian sulfur akan terbawa

dalam hasil pencairan batubara, gasifikasi, dan pembuatan kokas. Jadi,


harus dihilangkan dulu sebelum di lakukan proses-proses tersebut.
Unsur belerang terdapat pada batubara terdapat dengan kadar
bervariasi dari rendah (jauh dibawah 1 %) sampai lebih dari 4%. Unsur
ini terdapat dalam batubara dalam tiga bentuk yakni belerang organik,
pirit, dan sulfat. Dari ketiga bentuk belerang tersebut, belerang organik
dan belerang pirit merupakan sumber utama emisi oksida belerang.
Dalam pembakaran batubara semua belerang organik dan sebagian
belerang pirit menjadi SO2. Oksida belerang ini selanjutnya dapat
teroksidasi menjadi SO3. Sedangkan belerang sulfat disamping stabil
dan sulit menjadi oksida belerang, kadar relatifnya sangat mudah
dibanding belerang bentuk lainnya. Oksida-oksida belerang yang
terbawa

gas

menempel

buang

pada

dapat

dinding

bereaksi

tungku

dengan

maupun

lelehan

pipa

boiler

abu

yang

sehingga

menyebabkan korosi. Sebagian SO2 yang diemisikan ke udara dapat


teroksidasi menjadi SO3 yang apabila bereaksi dengan uap air menjadi
kabut asam sehingga menimbulkan turunnya hujan asam.

2.7 Analisa Sulfur


Belerang atau sulfur dalam batu bara dapat terjadi dalam beberapa
bentuk:
(1) Sebagai

organik

sulfur,

di

mana

sulfur

terikat

pada

senyawa

hidrokarbon dalam coal matter


(2) Sebagai mineral sulfida, sulfur ada dalam fraksi anorganik, misalnya
dalam pirit
(3) Sebagai mineral sulfat yang dihasilkan dari oksidasi mineral sulfida
dengan bantuan udara (besi sulfida besi sulfat, kalsium sulfida kalsium
sulfat).
Dalam analisis ultimat ditentukan total sulfur (TS) yang mewakili
semua

bentuk sulfur dalam batubara. Penentuan masing-masing

bentuk sulfur atau forms of sulfphur tidak termasuk dalam analisis


ultimat.
Standar ISO 334-1975 dan ISO 351-1975 memberikan dua cara
penentuan

sulfur

total,

masing-masing

cara

Eschka

danhigh

temperature combustion. Dalam cara Esckha, 1 g sampel batubara


halus dicampurkan dengan 3 g reagens Eschka (2 bagian berat

magnesium

oksida

ditambah

bagian

berat

natrium

karbonat

anhidrous) di dalam cawan porselen khusus atau cawan platina,


kemudian ditutup dengan 1 g reagens Eschka. Cawan dipanaskan
dalam tungku pembakaran yang biasa dipakai untuk penentuan ash,
dari mulai dalam keadaan dingin sampai suhu 800C selama 1 jam
dengan kecepatan pemanasan yang rendah pada permulaannya. Pada
suhu 800C dibiarkan 1 jam lagi. Setelah didinginkan, diitambahkan
larutan barium klorida dan endapan barium sulfat hasil reaksi
ditentukan secara gravimetri.
Dalam

cara

kedua,

yaitu

cara High

Temperature

combustion (HTM), sekitar 0,5 g sampel batubara halus ditimbang


dalam perahu porselen,ditutupi oleh 0,5 g aluminium oksida. Perahu
dipanaskan di dalam tabung dari furnace bersama aliran gas oksigen
murni pada suhu 1350 C. Sulfur oksida dan klor oksida yang terbentuk
diabsorbsi dalam larutan hidrogen peroksida, kemudian asam sulfat
hasil reaksi sulfur dan asam klorida hasil reaksi klor, ditentukan secara
titrimetri. Cara ini lebih cepat bila dibandingkan dengan cara Eschka,
tetapi dengan cara ini akan diperoleh penjumlahan persentase sulfur
dan klor. Untuk memperoleh persentase sulfur, sebelum titrasi harus
ditambahkan merkuri oksianida (racun).
Selain penentuan sulfur cara HTM yang diakhiri dengan titrasi,
dapat

pula

diakhiri

dengan

mendeteksi

gas

sulfur

dioksida

menggunakan instrumen, misalnya dengan Leco sulfur determinator


SC 132.
Dalam standar ASTM 3177 diberikan cara penentuan total sulfur
dari larutan hasil penentuan calorific value yang disebut cara bomb
washing. Setelah penentuan calorific value selesai, larutan sisa diambil
dan ditentukan total sulfurnya menggunakan cara Eschka.

Gambar 2.8 Furnace Total Sulfur HTM Carbolite

2.8 Pengaruh Sulfur


Di dalam dunia industri, pemanfaatan pokok batubara adalah
untuk pembangkit listrik dan pabrik baja, keduanya menuntut batubara
berkandungan

sulfur

rendah.

Pada

kontrak

jual-beli

batubara

(pemasaran) kandungan sulfur merupakan salah satu persyaratan


pokok dan mempengaruhi harga.
Batubara bersulfur tinggi juga menimbulkan masalah teknis dan
lingkungan. Pada proses pembakaran (power plant), sulfur dikonversi
ke oksida dan dapat menimbulkan pengkaratan atau korosi kuat pada
peralatan atau komponen logam. Batubara bersulfur tinggi dapat
menimbulkan masalah lingkungan, baik di lokasi tambang, sepanjang
jalur

pengangkutan

batubara,

penumpukan,

hingga

di

lokasi

pemanfaatan. Pada lokasi-lokasi tersebut, selain menimbulkan polusi


udara, juga dapat menghasilkan aliran air bersifat asam, sedangkan
pembakaran batubara dapat menghasilkan gas SOx yang mengganggu
atmosfer.
Disisi lain, kenyataan di lapangan sebaran kandungan sulfur pada
lapisan batubara dapat sangat bervariasu dan berubah-ubah nilainya,
baik secara vertical maupun lateral, bahkan pada jarak yang dekat
sekalipun. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh proses-proses geologi
yang berlangsung bersamaan maupun setelah pembentukan lapisan
batubara. Oleh karena itu, data kandungan sulfur pada batubara
merupakan hal yang penting untuk diketahui secara lebih baik karena

berkaitan

dengan

aspek

pemanfaatan,

lingkungan

pemasaran,

perencana, dan operasi penambangan, serta aspek geologi.


Energi batubara merupakan jenis energi yang sarat dengan
masalah lingkungan, terutama kandungan sulfur sebagai polutan
utama. Sulfur batubara juga dapat menyebabkan kenaikan suhu global
serta

gangguan

pernafasan.

Oksida

belerang

merupakan

hasil

pembakaran batubara juga menyebabkan perubahan aroma masakan /


minuman yang dimasak atau dibakar dengan batubara (briket),
sehingga menyebabkan menurunnya kualitas makanan atau minuman,
serta berbahaya bagi kesehatan (pernafasan). Cara yang tepat untuk
mengatasi hal tersebut adalah dengan mewujudkan gagasan clean
coal combustion melalui desulfurisasi batubara.

Anda mungkin juga menyukai