Anda di halaman 1dari 8

Bismillahhirrohman Nirrohim

Ass.Wr.Wbb

Wasta’inu bissobari wa solah, wa innaha lakabirotun illa allal ghosyi’in


Qod af lakal mu’minun Alladina hum fi sholatihim ghosi’un
Innash-shalata tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal-munkar
Al ayat.

Maasirol muslimin rohima kumulloh, jamaah sholat subuh masjid hidayatullah yang dimuliakan Allah, puji
sykur atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita semua, nikmat iman, islam, kesehatan sehingga kita
semua masih diberi kesempatan untuk hadir dalam sholat berjamaah yang pahalanya sangat dahsyat, apalagi
di bulan suci ramadhan ini.

Salam dan sholawat semoga selalu tercurah kepada nabi akhir jaman yang telah memberikan jalan lurus
kepada kita semua, nabi Muhammad SAW, beserta keluarga-shabat dan para pengkiutnya hingga kahir jaman
nanti.

Seperti pada pembukaan yang telah saya sampaikan tadi, jika diartikan secara harfiah adalah:

Wasta’inu bissobari wa solah, wa innaha lakabirotun illa allal ghosyi’in (Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya, yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk) :
Al-Baqarah 45.

Qod af lakal mu’minun Alladina hum fi sholatihim ghosi’un (Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya) : Al Mukminun 1-2

Innash-shalata tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal-munkar (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar”

Sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman mengabarkan : “Pertama kali yang akan hilang dari agama kalian adalah
khusyuk, dan hal terakhir yang akan hilang adalah shalat”
--------------------------------------
Suatu ketika Rasulullah SAW berada di dalam Masjid Nabawi, Madinah. Selepas menunaikan shalat, beliau
menghadap para sahabat untuk bersilaturahmi dan memberikan tausiyah. Tiba-tiba, masuklah seorang pria ke
dalam masjid, lalu melaksanakan shalat dengan cepat.

Setelah selesai, ia segera menghadap Rasulullah SAW dan mengucapkan salam. Rasul berkata pada pria itu,
"Sahabatku, engkau tadi belum shalat!"

Betapa kagetnya orang itu mendengar perkataan Rasulullah SAW. Ia pun kembali ke tempat shalat dan
mengulangi shalatnya. Seperti sebelumnya ia melaksanakan shalat dengan sangat cepat. Rasulullah SAW
tersenyum melihat "gaya" shalat seperti itu.

Setelah melaksanakan shalat untuk kedua kalinya, ia kembali mendatangi Rasulullah SAW. Begitu dekat,
beliau berkata pada pria itu, "Sahabatku, tolong ulangi lagi shalatmu! Engkau tadi belum shalat."

Lagi-lagi orang itu merasa kaget. Ia merasa telah melaksanakan shalat sesuai aturan. Meski demikian, dengan
senang hati ia menuruti perintah Rasulullah SAW. Tentunya dengan gaya shalat yang sama.

Namun seperti "biasanya", Rasulullah SAW menyuruh orang itu mengulangi shalatnya kembali. Karena
bingung, ia pun berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak
bisa melaksanakan shalat dengan lebih baik lagi. Karena itu, ajarilah aku!"

"Sahabatku," kata Rasulullah SAW dengan tersenyum, "Jika engkau berdiri untuk melaksanakan shalat, maka
bertakbirlah, kemudian bacalah Al-Fatihah dan surat dalam Alquran yang engkau pandang paling mudah.
Lalu, rukuklah dengan tenang (thuma'ninah), lalu bangunlah hingga engkau berdiri tegak. Selepas itu,
sujudlah dengan tenang, kemudian bangunlah hingga engkau duduk dengan tenang. Lakukanlah seperti itu
pada setiap shalatmu."

Kisah dari Mahmud bin Rabi' Al Anshari dan diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya ini memberikan
gambaran bahwa shalat tidak cukup sekadar "benar" gerakannya saja, tapi juga harus dilakukan dengan
tumaninah, tenang, dan khusyuk.
--------------------------------------------

Marilah coba sejenak kita merenung, dimula dari diri kita masing-masing. Hapmir semua yang hadir disini
kecuali mualaf, insya Allah kita telah melakukan sholat sejak kita kecil, demikian juga dengan pada umumnya
warga Negara kita, namun dalam kenyataan masih banyak hal-hal yang kita lakukan dan mereka lakukan
belum sepenuhnya mencerminkan manfaat dari shalat. Kenapa ini terjadi, barangkali kita belum melakukan
shalat dengan khusyuk, masih melakukan shalat dengan benar.

Sayidina Ali bin Abi Thalib menyatakan : “Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah
shalat. Sedangkan Imam Ja’far al-Shadiq – seorang pemimpin umat, sufi, dan filosof, guru Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik — juga menyeru : “Sesungguhnya sebaik-baik amal di sisi Allah pada hari kiamat
adalah shalat.

Apakah Allah Swt., telah melakukan kekeliruan ketika menyatakan bahwa “Innash-shalata tanhaa ‘anil
fakhsyaa’I wal-munkar (Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”?

Apakah salah Rasul-Nya ketika menyatakan bahwa “jika shalat seseorang baik maka baiklah semua
amalnya?” Shadaqa Allah al-‘Azhim wa shadaqa Rasul Allah (Sungguh benar Allah Yang Maha Agung dan
Rasul-Nya).

Jika ada kekeliruan dan kesalahan, maka itu tentu terletak pada pemahaman kita tentang firman Allah Swt.,
dan tentang shalat yang benar. Mari, untuk itu, kita simak ayat lain dalam Kitab-Suci-Nya :
“(Lukman menasihati putranya Hai Anakku, dirikanlah shalat dan perintahkanlah (kepada manusia) untuk
mengerjakan yang makruf dan cegahlah (mereka) dari berbuat mungkar. Dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya itu termasuk urusan-urusan yang tegas (diwajibkan oleh Allah) (QS. 31 : 17).
Tampak dalam ayat yang barusan dikutip bahwa perintah mendirikan shalat dipisahkan dari perintah
mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Dengan kata lain, keduanya terpisah. Maknanya
akan menjadi jelas ketika kita simak sabda Rasulullah, yang tampaknya dimaksudkan untuk menafsirkan ayat
tersebut, sebagai berikut :

“Laa shalaata li man la tanhaahu shalatahu ‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Tak melakukan shalat orang-orang
yang shalatnya tak menghindarkanya dari kekejian dan kemungkaran)” . Jadi, alih-alih sebagai jaminan bahwa
orang yang shalat pasti tercegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ayat tersebut mesti difahami sebagi
definisi shalat yang sesungguhnya. Bahwa shalat yang benar akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak.

Menjelaskan lebih jauh pengertian ini, Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan :

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat itu merupakan anugerah Allah untuk manusia sebagai penghalang
dan pemisah (dari keburukan). Oleh karena itu, sesiapa yang ingin mengetahui sejauh mana manfaat
shalatnya, hendaklah ia memperhatikan apakah shalatnya mampu menjadi penghalang dan pemisah dirinya
dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat yang diterima (oleh Allah) adalah hanya sejauh yang mencegah
pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar”

Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar tak memiliki nilai sebagai shalat
yang benar, sehingga ia tertolak, sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang lain : “Adakalanya seseorang
shalat terus-menerus selama 50 tahun namun Allah tak menerima satu pun dari shalatnya.”

Nah, pertanyaan yang tidak-bisa-tidak akan muncul adalah : seperti apakah shalat yang benar, yang diterima
oleh Allah, itu?

Shalat dan Keharusan Khusyuk

Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk” (QS. : 45).
Jika ayat ini dibaca dengan teliti, akan kita dapati bahwa ia memiliki “pemahaman terbalik” (inverse logics
atau mafhum mukhalafah) bahwa shalat hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan khusyuk.

Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan kerendahan kehambaan (‘ubudiyah) diri kita sebagai manusia di
hadapan keagungan Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini timbul sebagai konsekuensi kecintaan
sekaligus ketakutan kita kepada Zat Yang Maha Kasih dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya, orang
yang memiliki sikap seperti ini akan berupaya memusatkan seluruh pikiran – seluruh keberadaannya – kepada
Kehadiran-Nya dan membersihkannya dari apa saja yang selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti hadirnya
hati. Tanpa kehadiran hati, shalat kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda : “Shalat yang diterima adalah
sekadar hadirnya hati.”

Diriwayatkan pula darinya saaw. bahwa “dua rakaat shalat orang yang khusyuk lebih bernilai ketimbang 1000
rakaat shalat orang yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar Rasul saaw. mengajarkan : “Dua rakaat shalat pendek
yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik dari shalat sepanjang malam dengan hati yang lalai.”

Di kesempatan lain Rasul saaw. menamsilkan :

“Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.”
Mudah dipahami bahwa seekor burung — sebagai hewan, yang tak memiliki hati atu perasan sebagimana
manusia - yang sedang mematuk-matuk makanannya melakukan hal itu secara instinktif, sebagai bagian dari
keharusannya untuk bertahan hidup Berbeda halnya dengan manusia. Bahkan ketika sedang kelaparan,
manusia menikmati makanannya itu. Bukan hanya melahapnya, atau bahkan sekadar menikmati rasanya,
melainkan juga menghayati cara penyajian dan suasana yang melingkupi waktu makan itu. Apakah pula
ketika ia sedang menghadap kepada suatu Zat yang Maha Agung sekaligus Maha Lambut (Lathif)
sebagaimana Allah Subhana-Hu wa Ta’ala. Jika hati tiada hadir, maka apa makna shalat, yang dikatakan
sebagai sarana pertemuan kita dengan-Nya?

Selanjutnya, khusyuk mengharuskan pemahaman yang benar tentang makna seluruh gerakan dan bacaan
shalat serta menghunjamkannya ke dalam hati. Bukan! Bahkan – pada puncaknya – bukanlah ucapan dan
gerakan yang terhunjam ke hati melainkan – sebaliknya – hati, yang telah menghayati makna shalat,
mendiktekan kepada lidah agar mengucapkan apa yang harus diucapkan dan menggerakkan anggota tubuh
yang harus digerakkan. Inilah yang disebut sebagai tafahhum, sebagaimana dimaksud oleh hadis :

“Jadikanlah hatimu sebagai kiblat lidahmu; jangan engkau gerakkan lidahmu kecuali dengan aba-aba dari
hatimu.”

Dan khusyuk bukanlah suatu hal yang mudah, seperti diingatkan Allah dalam firmannya, yang telah dikutip di
atas :

“Dan mintalah tolong dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya keduanya amat sulit kecuali bagi orang-orang
yang khusyuk” Memang, jika sebesar itu imbalan yang dapat kita peroleh dari melakukan shalat, tentu ia tak
akan sedemikian mudah diraih. Diperlukan azam (tekad) yang teguh, disiplin yang ketat, dan latihan-latihan
tak henti-hentinya serta – di atas semua itu – niat ikhlas hanya untuk mencari keridhaannya agar seseorang
benar-benar dapat melakukan shalat secara khusyuk

Keharusan menyantuni orang miskin

Ternyata, khusyuk dan kehadiran hati belumlah semua syarat bagi diterimanya shalat seseorang. Rasulullah
mengajarkan : “Shalat tidak sempurna melainkan dengan zakat.” Inilah kiranya hikmah dibalik penjajaran
ibadah shalat dengan membayar zakat di banyak ayat-ayat al-Qur’an, antara lain :

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat …” (QS. 2 : 110)

“Dan (Isma’il as.) menyuruh keluarganya untuk mendirikan shalat dan membayar zakat, dan ia adalah orang
yang diridhai oleh Tuhannya.” (QS. 19 : 55)

Al-Qur’an juga mengutip pernyataan Nabi Isa :

“Dan dia menjadikanku orang yang diberkati di mana pun aku berada dan Dia memerintahkan kepadaku
untuk mendirikan shalat dan membayar zakat selama hidupku (QS. 19 : 31)

Namun, peringatan Allah yang paling tegas mengenai hal ini adalah ketika Dia mengancam :

“(Neraka) Wayl bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Yang riya’
(tidak ikhlas karena Allah dan pamer). Dan menolak memenuhi keperluan dasar orang. “ (QS. 107 : 4-7)

Kiranya sejalan belaka dengan itu, Imam Ja’far diriwayatkan berulangkali menegaskan :

“Tidak diterima shalat orang yang tak memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lapar dan telantar.”

Bahkan, dapat disimpulkan dari keseluruhan kandungan Surat Al-Ma’un yang merupakan sumber cuplikan
ayat-ayat di atas, bahwa orang-orang seperti ini tak lebih dari orang-orang yang berpura-pura beragama
(yukadzi-dzibu bid-din), atau hanya dalam hal lahiriahnya saja tampak beragama, karena – meski mereka
termasuk orang-orang yang menegakkan shalat (al-mushallin) – mereka menolak anak yatim dan tak berupaya
menyantuni orang miskin. (QS. 107 : 1-3)

Dapat disimpulkan bahwa shalat yang benar memiliki, baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang
menunjuk kenyataan bahwa shalat dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam menyimbolkan kedua
dimensi ini. Takbir – yang dihayati — merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah
Maha Agung dan bahwa kita adalah hambanya yang rendah dan kecil. Sedangkan salam – khususnya salam
kepada manusia — adalah simbol bagi keharusan kita menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk
menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.

Khusyu’ pada persiapan Sholat


 Menyempurnakan syarat & persiapan
 Mengerjakannya dengan tenang
 Hati tertuju kepada Allah & hal-hal yang berkaitan dengan sholat
 Tidak ada perbuatan & perkataan yang akan menganggu kekhusyu’-an sholat

Langkah-langkahnya :

1. Ketika adzan terdengar, tanamkan selalu dalam hati dan pikiran bahwa kita butuh Allah dan ingin
berterima kasih kepada-NYA
2. Segera siapkan diri, hati, pikiran dan waktu untuk mengerjakan sholat
o Tinggalkan semua pekerjaan
o Kalau sedang tertidur bangunlah
o Mulailah memusatkan hati dan pikiran hanya untuk mengingat Allah dan mengerjakan sholat
o Tinggalkan pikiran-pikiran atau lintasan hati mengenai dunia.
o Mulai bersiap-siap memenuhi pangilan Allah dengan menuju tempat wudhu’
3. Mulailah mengerjakan wudhu’ dengan sempurna dan dengan penuh ketenangan & kekhusyu’an
o Mulai berwudhu dengan membaca basmalah.
o Basuh semua anggota wudhu dengan me-ngalirkan seluruh air ke setiap lakukan dengansela-
selanya (kecuali kepala cukup dengan mengusap) perlahan dan penuh ketenangan
o Bermohonlah kepada Allah dalam hati agar menghapuskan seluruh dosa dan kesalahan dari
setiap anggota tubuh yang dibasuh atau diusap.
o Hadirkan hati dan pikiran hanya mengingat Allah.
o Tidak berkata-kata dengan orang lain ketika sedang berwudhu’.
o Berdoalah ketika selesai berwudhu
4. Persiapkan diri menuju sholat dengan tenang dan Khusyu’
o Pakailah pakaian yang bersih, dan tempat sholat rapi dan suci dengan penuh ketenangan.
o Bagi laki-laki, berjalanlah ke mesjid dengan te-nang jangan tergesa-gesa.
o Banyaklah berzikir dan memusatkan hati dan pikiran hanya untuk mengingat Allah ketika
menuju tempat sholat
o Hilangkan (hindarkan)hal-hal yang dapat meng-ganggu ketenangan dan kekhusyu’an sholat
o Kalau terasa ingin buang air atau buang angin keluarkan terlebih dahulu, kalau terasa sangat
lapar (kecuali sedang puasa) makanlah dahulu.
o Hindarkan perbuatan dan perkataan dunia.
5. Mulailah berdiri lurus menghadap kiblat dan menyiapkan hati dan pikiran untuk menghadap Allah
o Sebelum takbir tenangkanlah hati dan pikiran beberapa saat, kemudian berniatlah di dalam hati
untuk menghadirkan dan memantapkan hati dan pikiran.
o Berdoalah kepada Allah dalam hati agar dibe-rikan ketenangan dan kekhusyu’an serta dihin-
darkan dari godaan syietan yang terkutuk.
o Tinggalkan pikiran-pikiran atau lintasan hati mengenai dunia.
o Setelah hati dan pikiran mantap untuk meng-hadap Allah maka perlahan-lahan angkatlah kedua
tangan sambil mulut dan hati mengu-capkan “Allahu Akbar”, kemudian fahamilah maknanya
dalam hati.

Khusyu’ pada Gerakan Sholat


 Sesuai tuntunan nabi
 Tenang dan sempurna
 Tidak ada gerakan tambahan yang tidak diperlukan
 Tidak melirik dan menoleh

Langkah praktis :

1. Lakukanlah semua gerakan sesuai dengan tuntunan dan yang diajarkan Rasulullah
2. Lakukan setiap gerakan dengan tenang dan tuma’ninah
3. Kerjakanlah Sholat di rumah-rumah Allah yaitu masjid atau mushalla khusus bagi laki-laki.

Khusyu’ pada Bacaan Sholat


 Tartil
 Terdapat jeda di antara bacaan.
 Lirih, terdengar oleh telinga sendiri
 Diucapkan dengan menghiba
 Tidak berdehem, menguap, bersendawa. Kalau ada keinginan itu, mestinya dapat ditahan dulu.

Langkah Praktis :

 Lakukanlah semua bacaan sesuai dengan tuntunan dan yang diajarkan Rasulullah
 Lakukan setiap bacaan dengan tenang dan tartil
 Perbanyaklah membaca tasbih pada waktu ruku’ dan sujud serta Perbanyaklah doa pada waktu sujud
dan sebelum salam

Khusyu’ pada Pikiran ketika Sholat


 Sadar pada bacaan, mulut mengucap, hati pun mengucap.
 Memahami makna bacaan (4:43)
 Tidak larut dalam pikiran selain konsentrasi sholat.

 Tetap dalam kesadaran mengetahui kondisi di sekitar kita.

Langkah Praktis :

 Hadirkan selalu hati dan pikiran dalam setiap bacaan yang dibaca dan gerakan yang dilakukan
 Jika syetan datang mengganggu maka hadirkan kembali hati dan pikiran dan ucapkanlah ta’awuz

Khusyu’ pada Perasaan ketika Sholat


 Menghayati seluruh hal dalam sholat.
 Bergetar hatinya, merinding dan semakin bertambah keimanannya (8:2)
 Seolah-olah Allah ada di hadapan.
 Sujud sbg sarana curhat.
 Berusahalah mengamalkan nilai nilai syarat sholat, bacaan dan gerakannya dalam kehidupan sehari-
hari

Langkah Praktis :

 Doa dalam sholat – dalam hati dijabarkan maknanya, diulang-ulang seolah-olah sedang berbicara
dengan Allah.
 Doa-doa lain – dalam hati diperbanyak terutama ketika sujud, I’tidal akhir dan sebelum salam (10:16).
 Semua bacaan sholat – dalam hati dijabarkan dengan bahasa hati

Ciri-ciri orang-orang yang sholatnya khusyu:


1. Sangat menjaga waktunya, dia terpelihara dari perbuatan dan perkataan sia-sia apa lagi maksiat.
Jadi orang-orang yang menyia-nyiakan waktu suka berbuat maksiat berarti sholatnya belum
berkualitas atau belum khusyu.
2. Niatnya ikhlas, jarang kecewa terhadap pujian atau penghargaan, dipuji atau tidak dipuji, dicaci
atau tidak dicaci sama saja.
3. Cinta kebersihan karena sebelum sholat, orang harus wudhu terlebih dahulu untuk mensucikan diri
dari kotoran atau hadast.
4. Tertib dan disiplin, karena sholat sudah diatur waktunya.
5. Selalu tenang dan tuma`ninah, tuma`ninah merupakan kombinasi antara tenang dan konsentrasi.
6. Tawadhu dan rendah hati, tawadhu merupakan akhlaknya Rasulullah.
7. Tercegah dari perbuatan keji dan munkar, orang lain aman dari keburukan dan kejelekannya.

Cuplikan dari kutbah Rosullulloh saat menjelang ramadhan : “Ketahuilah, Allah Ta’ala bersumpah dengan
segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengadzab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan
mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbal-alamin.”

Dapat disimpulkan bahwa shalat yang benar memiliki, baik dimensi individual maupun sosial. Banyak orang
menunjuk kenyataan bahwa shalat dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam menyimbolkan kedua
dimensi ini. Takbir – yang dihayati — merupakan perwujudan khusyuk, yakni kesadaran penuh bahwa Allah
Maha Agung dan bahwa kita adalah hambanya yang rendah dan kecil. Sedangkan salam – khususnya salam
kepada manusia — adalah simbol bagi keharusan kita menjalankan fungsi kekhalifahan manusia untuk
menyebarkan rahmat bagi seluruh bagian alam semesta.
Semoga Allah memberikan karunia kepada kita semua “khusyuk dalam sholat hingga akhir ajal menjemput
kita untuk menghadap kembali ke Illahi Robbi, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita selama
hidup dengan bekal sholat yang khusyuk. Amin

Mohon maaf atas semua kesalahan, bilahi taufik wal hidayah wariddlo wa inayah Was. Wr. Wbb.

Anda mungkin juga menyukai