Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

BELLS PALSY

PENYUSUN :
Anggie Pradetya Maharani
030.11.031
PEMBIMBING :
Dr. Renie Augustine, Sp. THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN
RSUD BUDHI ASIH
PERIODE 25 MEI 27 JUNI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul :
Bells palsy
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan THT RSUD Budhi Asih periode 25 mei 27 juni 2015

Disusun oleh :
Anggie Pradetya Maharani
030.11.031

Jakarta, .. 2015

Mengetahui

Koparnit THT RSUD Budhi Asih


Dr. Renie Augustine, Sp. THT-KL

SIP : 2.2.01.3172.0830/40.01/05.11.1KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat
dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan judul
Bells Palsy. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum
Budhi Asih Jakarta. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. Renie Augustine, Sp. THT-KL selaku ketua SMF Ilmu Penyakit THT
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta
2. Dr. Djoko Sriyono, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta
3. Dr. Putri Anugrah Rizki, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta
4. Dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta
5. Seluruh staff SMF THT RSUD Budhi Asih
6. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Budhi Asih
atas bantuan dan dukungannya.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar referat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 19 Juni 2015
Penulis

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis.......................................................2
2.2 Epidemiologi...............................................................................................5
2.3 Etiologi........................................................................................................6
2.4 Patofisiologi 3.............................................................................................8
2.5 Manifestasi klinis......................................................................................10
2.7 Blink Reflex..............................................................................................13
2.8 Pemeriksaan penunjang...............................................................................14
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................16
3.0 Komplikasi..................................................................................................19
3.1 Prognosis......................................................................................................20
BAB III..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 . 3
Gambar 2 . 5
Gambar 3 . 8
Gambar 4 . 10
Gambar 5 . 14

DAFTAR TABEL

Tabel 1 17
Tabel 2 18

BAB I
PENDAHULUAN
Bells palsy atau biasa yang disebut paralisis fasialis idiopatik merupakan
salah satu gangguan neurologik yang dipengaruhi oleh nervus kranial. Gangguan
ini bersifat akut, unilateral dan mengenai lower motor neuron nervus facialis yang
pada 80-90% kasus sembuh secara perlahan.1
Bells palsy dapat disebabkan oleh edema dan iskemik akibat penekanan
pada nervus kranialis. Penyebab edema dan iskemik ini dapat disebabkan oleh
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter maupun imunologi. Namun peranan
infeksi virus merupakan penyebab tersering seperti reaktivasi infeksi laten dari
virus herpes simpleks (HSV).1,2
Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya
Bells palsy selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring
orang yang terkena Bells palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di
ganglion sel sensoris dalam fase laten, dimana apabila terjadi infeksi di nervus
fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat mendasari terjadinya
Bells palsy.3
Menurut literatur 5 tahun terakhir oleh Finsterer4 prevalensi gangguan
saraf fasialis perifer idiopatik (Bells palsy) berkisar antara 60-80%. Insiden pada
perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan. Usia dapat mempengaruhi, dimana
usia 15-50 tahun mempunyai insiden lebih tinggi. Bells palsy jarang ditemukan
pada usia dibawah 15 tahun dan diatas 60 tahun.4
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis


Saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang didalam tulang, sehingga
sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak didalam tulang temporal.
Perjalanan saraf ini dimulai dari area motorik korteks serebri yang terletak
pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Sinyal yang berasal dari neuron
pada area motorik korteks serebri dihantarkan melalui fasikulus-fasikulus jalur
kortikobulbar menuju kapsula interna kemudian melewati bagian atas
midbrain menuju batang otak bagian bawah untuk bersinapsis pada nukleus
saraf fasialis di pons.2,6
Perjalanan saraf fasialis dimulai dari intrakranial dari area motorik korteks
serebri yang terletak pada girus pre-sentralis dan post-sentralis. Saraf fasialis
mempunyai dua nukleus yaitu nukleus superior dan inferior. Nukleus superior
dipersarafi korteks motoris secara bilateral sedangkan nukleus inferior hanya
disarafi dari satu sisi. Kedua serabut nukleus berjalan mengitari nukleus saraf
abdusen lalu meninggalkan pons bersama-sama dengan saraf vestibulokoklearis dan intermedius (Whrisberg) melewati sudut cerebelopontin
kemudian masuk kedalam tulang temporal melalui porus akustikus internus.
Setelah berada didalam tulang temporal, saraf fasialis akan berjalan dalam
suatu saluran yang disebut kanal falopi yang kemudian masuk ke os mastoid.
Kemudian ia keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan
kemudian mempersarafi otot-otot wajah2,7
Saraf fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu6 :

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator


palpebrae (N.III), stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di
telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua


pertiga bagian depan lidah.

Gambar 1. Saraf kanial ketujuh (Fasialis)8


(cabang motorik biru, cabang aferen otonom hijau, eferen otonom jingga)
Nervus fasialis propius yaitu nervus tujuh murni mempersarafi otot-otot
wajah, stapedius ditelinga tengah, otot postaurikular dan posterior digastrikus.
Nervus fasialis intermedius (Whirsberg) merupakan nervus yang lebih tipis yang
membawa saraf aferen otonom dan eferen otonom. Aferen otonom mengantar
impuls dari alat pengecap di 2/3 depan lidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian
depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke
ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius. Eferen otonom
datang dari nucleus salivatorius superior yang terletak di kaudal nukleus. Satu
kelompok akson dari nukleus ini berpisah di ganglion genikulatum dan
diperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula
mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus ke kaudal dan menyertai
korda timpani serta nervus lingualis ke ganglion submandibularis. Dari sana

impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis yang akan


merangsang salivasi.9
Nervus fasialis dibagi menjadi 6 segmen10:
1. Intrakranial

: cabang frontalis dari nervus fasialis menginervasi traktur

kortikonuklear kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan


batang otak, serabut motorik melingkar di nucleus abdusen dan
membentuk genu internal saraf. Setelah melewati batang otak, nervus
fasialis

memasuki

porus

akustikus

internus

dengan

nervus

vestibulokoklearis.
2. Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki
porus akustikus internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior
melalui foramen meatal. Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga
disana saraf-saraf sering terperangkap karena proses inflamasi.
3. Labirin
: setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal mayor,
yang juga merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis
dan glandulua mumosa nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di
ganglion genikulatum membentuk genu pertama.
4. Timpanik
: segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga
tengah. Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis
semisirkular. Segmen timpanik dilapisi selunung tulang tipis.
5. Mastoid
: di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu
sekunder oleh aditus ad antrum, membelok secara vertical kebawah
membentuk sudut 90 derajat. Kemudian menuju mastoid dan saluran
bertulang ke foramen stilomastoid. Sebelum meninggalkan foramen,
nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang berjalan kembali ke
telinga tengah dan kemudian melewati foramen yang mengandung serabut
sensoris pengecapan.
6. Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki
glandula parotis.

Gambar 2. Komponen serabut nervus fasialis10


2.2

Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis

fasial akut. Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai sisi wajah kanan. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda, yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama.
Penyakit ini mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50
tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan,
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1
2.3

Etiologi
Bells palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di

ganglion genikulatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan


kemungkinan bisa menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Ganglion ini terletak

di kanalis fasialis, persimpangan segmen labirin dan timpani, dimana nervus


fasialis berbelok ke foramen stilomastoideus. Secara umum, Bells palsy
didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan
penyebab dari Bells palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11
1. Infeksi Virus
Banyak kemiripan antara Bells palsy dengan neuropati lainnya yang
disebabkan oleh virus. Polio, mumps, Epstein-Barr dan rubella mempunyai
manifestasi neuritik yang progresif.
Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya
Bells palsy selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada
nasofaring orang yang terkena Bells palsy dalam fase akut. Virus ini
predileksinya di ganglion sel sensoris dalam fase laten. Nervus fasialis yang
mengandung saraf sensoris terletak di ganglion genikulatum, dimana apabila
terjadi infeksi di nervus fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang
dapat mendasari terjadinya Bells palsy.3
Virus herpes simplex yang bereplikasi di sel ganglion akan menimbulkan
kerusakan setempat dan menyebabkan hipofungsi pada saraf tersebut.
Kemudian hal ini dapat diteruskan ke axon yang dapat menyebabkan
radikulitis. Virus ini kemudian menginfeksi sel schwann yang menyebabkan
terjadi inflamasi dan reaksi imunologik. Infiltrasi limfositik akhirnya
menyebabkan terjadinya fragmentasi pada mielin, demielinisasi dan
kromatolisis. Ketika inflamasi dan reaksi imunologik teratasi, maka terjadilah
proses remielinisasi.12
2. Vaskular iskemik
Bells palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus
fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina
(proksimal), arteri meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal).
Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari
pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik
primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis dikarenakan

kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik


yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari
arteri stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi
kecuali apabila disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus.
Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder merupakan kelanjutan
dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler
dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi
yang mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula
di kanal falopi menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang
berlanjut dapat menimbulkan nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi
tidak begitu jelas, namun beberapa teori mengatakan bahwa hal ini dipicu
oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan permeabilitas sehingga
terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses iskemik
sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan
efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada
Bells palsy.12
3. Herediter
Variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan
terjadinya kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan
terjadinya kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan
terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang terjadi dapat
berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan terjadinya
Bells palsy yang pemanen apabila tidak segera diatasi.12

Gambar 3. Etiologi Bells Palsy12

2.4

Patofisiologi 3
Patofisiologi pasti dari Bells palsy belum jelas. Nervus fasialis yang
melewati tulang temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori,
proses edema dan iskemi dihasilkan dari kompresi oleh nervus fasialis yang
berada di tulang kanalis. Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin,
merupakan bagian yang paling sempit, foramen meatal hanya berdiameter
0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering dari terjadinya kompresi nervus
fasialis pada Bells palsy. Mengingat ketatnya batas kanalis fasialis, sangat
logis sekali bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau proses kompresi
dapat menghambat konduksi pada nervus fasialis.1
Bells palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori
yang mengatakan penyebab dari Bells palsy adalah infeksi virus, iskemik dan
herediter.3,11
Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh
dapat menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan
inflamasi yang biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan
mengakibatkan kompresi atau penekanan pada kanal falopi pada segmen

labirin yang akan mengakibatkan terjadinya infark. Kerusakan pada


pembungkus myelin dapat menyebabkan gangguan seperti terhambatnya
penghantaran sinyal dari otak ke otot-otot fasialis. Gangguan ini dapat juga
disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti Lyme Disease, diabetes mellitus,
tumor, HIV, chickenpox atau trauma di wajah yang dekat dengan nervus
fasialis.12
Bells palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke
nervus fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina
(proksimal), arteri meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal).
Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari
pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik
primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis dikarenakan
kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik
yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari
arteri stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi
kecuali apabila disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus.
Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder merupakan kelanjutan
dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler
dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi
yang mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula
di kanal falopi menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang
berlanjut dapat menimbulkan nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi
tidak begitu jelas, namun beberapa teori mengatakan bahwa hal ini dipicu
oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan permeabilitas sehingga
terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas.
Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses iskemik
sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan
efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada
Bells palsy.12

Selain

itu,

variasi

anatomik

familial

kanalis

fasialis

memiliki

kecendrungan terjadinya kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi


menyebabkan terjadinya kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga
menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang
terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan
terjadinya Bells palsy yang oemanen apabila tidak segera diatasi.12
2.5

Manifestasi klinis
Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam,
nyeri dibelakang telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini
muncul secara tiba-tiba atau akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah
bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan dirasakan
hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus
kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13

Gambar 4.
Manifestasi klinis

Bells palsy1

Manifestasi motorik13 :

10

Bells palsy biasanya mengalami kelemahan pada satu wajah.

Kelemahan bersifat luas, mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.
Alis turun
Ektropion pada kelopak bawah
Synkinesis

Manifestasi sensorik:

Gangguan mengecap
Nyeri dibelakang telinga

Manifestasi parasimpatik:

Penurunan produksi air mata


Hipersalivasi
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan

kompleks, kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat


mengakibatkan banyak masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan
gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering
terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup
dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada
salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai
dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga
berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi
mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi
diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai
infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi
menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara
(hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang, pembengkakan
wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar, air mata
berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap
cahaya.13
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit
ini yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada

11

saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya
maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat
bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui
sisi mulut yang lumpuh.13
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi14 :
a. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di
antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang, lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena
tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus
menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada

lesi di luar foramen

stylomastoideus, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah


(2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya
daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis (N.VII) di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen
stylomastoideus, lesi di kanalis fasialis, ditambah dengan adanya
hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus.
Lesi di kanalis fasialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di
membran timpani dan konka.

12

e.Lesi di daerah meatus acusticus interna


Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus,
lesi di kanalis fasialis, lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi, lesi di
tempat yang lebih tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus vagus (N.X).
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda
terlibatnya nervus trigeminal (N.V), nervus vagus (N.X), dan kadangkadang juga nervus abdusen (N.VI), nervus aksesorius (N.XI), dan nervus
hipoglosal (N.XII).14
Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis dilakukan
beberapa pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius,
tes gustometri dan tes salivaasi.
Tes Schirmer
Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus
dengan menilai fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal
menunjukkan kerusakan pada Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN)
atau saraf fasialisdi proksimal ganglion genikulatum. Lesi pada tempat ini
dapat menybabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada kornea akibat
terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.
Pemeriksaan Refleks Stapedius
Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf
fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi cabang
stapedius dari saraf fasialis. Tes ini merupakan tes yang paling objektif
dari beberapa tes topografi saraf fasialis lainnya. Pada pasien Bells palsy
dengan refleks stapedius yang masih normal menandakan bahwa
penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.
Tes Gustometri
Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani
dengan menilai pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis,
asam dan asin. Tes ini sangat subjektif. Disamping fungsi pengecapan,

13

korda timpani juga berperan pada fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi
dari duktus whartons dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit.
Tes Salivasi
Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak
berfungsi dengan baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bells palsy
sering terdapat kesenjangan topografi saraf fasialis seperti pada pasien
terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan refleks stapedius dan
fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi lakrimasi dan
refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya normal.
Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi
disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.
Blink Reflex

Blink reflex merupakan tehnik elektrofisiologi untuk mengevaluasi pasien


dengan keterlibatan nervus trigeminal dan fasialis, demielinisasi
polineuropati dan lesi sentral di batang otak.15

Sama dengan refleks cornea.

Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut
motorik.

Stimulasi saraf supraorbital15 :


Pasien berbaring pada sebuah tempat tidur dengan mata tertutup.
Elektroda yang aktif diletakan dibagian lateral dari m. Orbikularis
okuli atau ditempelkan pada hidung dan dagu
Elekteroda dasar diletakkan dileher atau dahi
Respon dari refleks:
Komponen R1 Periodenya lebih dari 13 ms disebut abnormal.
Perbedaan antara sisi periodenya harus kurang dari 1,2 ms.

14

Komponen R2 Jika periode ipsilateral dan kontralateral lebih


dari 14 ms dikatakan tidak normal.

Respon dari R1 : Adanya ketiadaan atau perlambatan mengindikasikan


adanya gangguan dari nervus trigeminus atau fasialis.

Respon dari R2 : Keterlibatan dari R2 mengindikasikan tempat dari lesi


ketika R1 abnormal. Lesi saraf trigeminus memiliki ciri adanya
keterlambatan bilateral atau kelemahan dari R2 ketika terjadi stimulasi dari
sisi wajah yang terpengaruh. Lesi saraf fasialis memiliki ciri adanya
keterlambatan pada R2 pada sisi yang terkena, biarpun adanya rangsangan
dari sisi kiri atau kanan jika lesinya ada dikanan tetap kanan yang
terkena.15

Gambar 5. Respon blink normal15

2.7 Pemeriksaan penunjang


Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat

15

dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem


saraf pusat (neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk
mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan
dan penyengatan kontras saraf fasialis.15
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun
1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada
penentuan kandidat tindakan dekompresi elektromiografi (EMG) mempunyai nilai
prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENOG). Selain itu
pemeriksaan pada Bells palsy dapat pula dilakukan pemeriksaan uji stimulasi
maksimal.17
.

Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini

bermanfaat untuk menentukan perjalanan respon reinervasi pasien. Pola EMG


dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,
nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.
Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukan
kepulihan sebagai serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.17
. Elektroneuronografi
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang
lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila
terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dama
sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch
Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat penyembuhan
tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu
mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis.17
.

Uji stimulasi maksimal

16

Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakan sonde ditekankan


pada wajah di daerah nervus fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan
hingga 5 mA, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah
periorbital, pipi, ala nasi dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda
secara perlahan. Tiap gerakan didaerah-daerah ini menunjukan suatu respon
normal. Perbedaan respon yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang
lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah
apabila terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari
arus yang digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari
92% persen menderita Bells palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila
respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi yang
tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bntuk pengujian yang paling dapat
diandalkan adalah uji funsgi saraf secara langsung.17
2.8 Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
.

Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang

menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli
percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis
memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells
palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai
penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400
mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir
akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus.1
Nama obat

Acyclovir (Zovirax)menunjukkan aktivitas hambatan langsung


melawan HSV-1, HSV-2 dan sel yang terinfeksi secara selektif.

Dosis dewasa

4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

17

Dosis pediatrik

< 2 tahun : tidak dianjurkan.


> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat

Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat


memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan

C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah


dilaporkan.

Perhatian

Hati-hati pada gagal ginjal atau menggunakan obat yang bersifat


nefrotoksik.
Tabel 1. Obat Bells palsy antiviral1

Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan

suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai


keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih
cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih
baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera
dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/
kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya
untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.18
Nama obat

Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek


farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,
yang menurunkan kompresi nervus fasialis di kanalis
fasialis.

Dosis dewasa

1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatrik

Pemberian sama dengan dosis dewasa.

18

Kontraindikasi

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,


jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;
penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit
gastrointestinal.

Interaksi obat

Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan


klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat
menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan
metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis
pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian
bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan

B biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat


memperberat resiko.

Perhatian

Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat


menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema,
osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung,
hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia
gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul
dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

Tabel 2. Obat Bells palsy kortikosteroid18


B. Non-medikamentosa
1. Perawatan mata
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda
asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti dan pelindung mata.18
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata
yang kurang atau tidak ada.

19

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.18
2. Fisioterapi
Fisioterapi biasa dilakukan pada Bells palsy stadium akut atau bersamaan
dengan

pemberian

kortikosteroid.

Tujuan

fisioterapi

adalah

untuk

mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Caranya yaitu dengan memberikan


radiasi sinar infra red pada sisi yang lumpuh dengan jarak 2 ft (60 cm) selama 10
menit. Terapi ini diberikan setiap hari sampai terdapat kontraksi aktif dari otot dan
sampai tercapainya penyembuhan yang komplit. Disamping itu dapat dilakukan
massage pada otot wajah selama 5 menit pagi dan sore hari.
3. Operatif
Terapi pembedahan seperti dekompresi saraf hanya dilakukan pada
kelumpuhan yang komplit atau hasil pemeriksaan elektroneurografi menunjukan
penurunan amplitudo lebih dari 90%. Karena lokasi lesi saraf ini sering terdapat
pada segmen labirin, maka pada pembedahan dilakukan melalui pendekatan
middle fossa subtemporal craniotomy sedangkan bila lesi terdapat pada segmen
mastoid dan timpani digunakan pendekatan transmastoid.
4. Konsul
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan
yang

ketat.

Dokumentasi

yang

dilakukan

harus

mencakup

kemajuan

penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke


dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut18:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan
tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang
abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan
lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan
otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus fasialis kadang dianjurkan
untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah

20

pemeriksaan nervus fasialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan
pembedahan.18
2.9 Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang
tidak dapat diterima oleh pasien.19
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus fasialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi
yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah
tersebut.
Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air mata
berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b.

Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.


Dysgeusia (gangguan rasa).
Ageusia (hilang rasa).
Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus
normal).

c. Reinervasi aberan dari nervus fasialis.


Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus fasialis dimulai dengan regenerasi
dan proses perbaikan, beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat
berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya. Rekoneksi aberan ini dapat
menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.
Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan involunter
(seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan menutup mata
disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan volunter ini disebut
synkinesis.
3.1 Prognosis
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah1:

21

a.
b.
c.
d.
e.

Usia di atas 60 tahun.


Paralisis komplit.
Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
Nyeri pada bagian belakang telinga.
Berkurangnya air mata.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total
dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka
penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.20
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non
DM. Hanya 23% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.20

22

BAB III
KESIMPULAN

Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan


yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus fasialis perifer. Penyebab Bells
palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus
fasialis.
Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan
timbul demam, nyeri dibelakang telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi
klinis ini muncul secara tiba-tiba atau akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah
setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan dirasakan
hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus kelumpuhan
dirasakan selama 5 hari.
Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obatobatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan.
Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa
pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 8 Juni 2015. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus
fasialis perifer. Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorokan kepala leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.
3. Myers EN. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 2 nd ed.
London: Saunders; 2008.p.1257-69.
4. Finsterer J. Management of peripheral facial palsy. Eur Arch
Otorhinolaryngol 2008;265:743-52.
5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed
5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174.
6. May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR.
editors. The facial nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.
7. Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Diakses 9 juni 2015. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview .
8. Lowis H, Gaharu MN. Bells palsy diagnosis dan tatalaksana dilayanan
primer. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7.
9. Pereira C, Santos E, Monteiro J, Morais A, Santos CT . Peripheral F.ial
Palsy: Anatomy And Physiology. An Update. The Internet Journal of
Neurosurgery. 2004.
10. Probs R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology A step-by-step
learning guide. New York: Thieme. p.290-2.
11. Tiemstra JD. Khatkhate N. Bells palsy: Diagnosis and management. Am
Fam Physician. 2007: 1;76(7):997-1002.
12. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2 nd ed. India: Jaypee;
2012.p.30-45.
13. Herkovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Clinical
Practice. USA: Oxford University Press;2010.p.340-1.
14. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology-head and
neck surgery. 2nd edition. New York: McGraw-Hill. 2007.
15. Preston DC. Shapiro BE. Electromiography and neuromuscular disorder:
Clinical electrophysiologic correlations. London: Saunders; 2012.p.643.

24

16. Grosheva M, Wittekindt C, Guntinas-Lichius O. Prognostic value of


electroneurography and electromyography in facial palsy. Laryngoscope.
2008;118:394-7.
17. Maisel R, Levine S. Gangguan saraf fasialis. Dalam Boies Buku Ajar
Penyakit THT 6th ed. Jakarta: EGC, 1997.
18. Gronseth GS, Paduga R. Evidence-based guideline update: Steroids and
antivirals for Bell palsy: Report of the Guideline Development
Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. Nov 7
2012;[Medline].
19. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Rugierro DA. Cranial nerves
and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous
system: structure and function. 6th ed. New Jersey: Human press; 2005. p.
253.
20. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd
ed. George Thieme Verlag: German, 2003. p.98-99.

25

Anda mungkin juga menyukai