BELLS PALSY
PENYUSUN :
Anggie Pradetya Maharani
030.11.031
PEMBIMBING :
Dr. Renie Augustine, Sp. THT
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul :
Bells palsy
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan THT RSUD Budhi Asih periode 25 mei 27 juni 2015
Disusun oleh :
Anggie Pradetya Maharani
030.11.031
Jakarta, .. 2015
Mengetahui
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat
dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan judul
Bells Palsy. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas dan syarat dalam
menempuh kepaniteraan klinik dibagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum
Budhi Asih Jakarta. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. Renie Augustine, Sp. THT-KL selaku ketua SMF Ilmu Penyakit THT
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta
2. Dr. Djoko Sriyono, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih Jakarta
3. Dr. Putri Anugrah Rizki, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta
4. Dr. Dumasari Siregar, Sp. THT-KL selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Jakarta
5. Seluruh staff SMF THT RSUD Budhi Asih
6. Rekan-rekan kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT RSUD Budhi Asih
atas bantuan dan dukungannya.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar referat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 19 Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis.......................................................2
2.2 Epidemiologi...............................................................................................5
2.3 Etiologi........................................................................................................6
2.4 Patofisiologi 3.............................................................................................8
2.5 Manifestasi klinis......................................................................................10
2.7 Blink Reflex..............................................................................................13
2.8 Pemeriksaan penunjang...............................................................................14
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................16
3.0 Komplikasi..................................................................................................19
3.1 Prognosis......................................................................................................20
BAB III..................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 . 3
Gambar 2 . 5
Gambar 3 . 8
Gambar 4 . 10
Gambar 5 . 14
DAFTAR TABEL
Tabel 1 17
Tabel 2 18
BAB I
PENDAHULUAN
Bells palsy atau biasa yang disebut paralisis fasialis idiopatik merupakan
salah satu gangguan neurologik yang dipengaruhi oleh nervus kranial. Gangguan
ini bersifat akut, unilateral dan mengenai lower motor neuron nervus facialis yang
pada 80-90% kasus sembuh secara perlahan.1
Bells palsy dapat disebabkan oleh edema dan iskemik akibat penekanan
pada nervus kranialis. Penyebab edema dan iskemik ini dapat disebabkan oleh
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter maupun imunologi. Namun peranan
infeksi virus merupakan penyebab tersering seperti reaktivasi infeksi laten dari
virus herpes simpleks (HSV).1,2
Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya
Bells palsy selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring
orang yang terkena Bells palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di
ganglion sel sensoris dalam fase laten, dimana apabila terjadi infeksi di nervus
fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat mendasari terjadinya
Bells palsy.3
Menurut literatur 5 tahun terakhir oleh Finsterer4 prevalensi gangguan
saraf fasialis perifer idiopatik (Bells palsy) berkisar antara 60-80%. Insiden pada
perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan. Usia dapat mempengaruhi, dimana
usia 15-50 tahun mempunyai insiden lebih tinggi. Bells palsy jarang ditemukan
pada usia dibawah 15 tahun dan diatas 60 tahun.4
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
memasuki
porus
akustikus
internus
dengan
nervus
vestibulokoklearis.
2. Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki
porus akustikus internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior
melalui foramen meatal. Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga
disana saraf-saraf sering terperangkap karena proses inflamasi.
3. Labirin
: setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal mayor,
yang juga merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis
dan glandulua mumosa nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di
ganglion genikulatum membentuk genu pertama.
4. Timpanik
: segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga
tengah. Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis
semisirkular. Segmen timpanik dilapisi selunung tulang tipis.
5. Mastoid
: di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu
sekunder oleh aditus ad antrum, membelok secara vertical kebawah
membentuk sudut 90 derajat. Kemudian menuju mastoid dan saluran
bertulang ke foramen stilomastoid. Sebelum meninggalkan foramen,
nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang berjalan kembali ke
telinga tengah dan kemudian melewati foramen yang mengandung serabut
sensoris pengecapan.
6. Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki
glandula parotis.
Epidemiologi
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai sisi wajah kanan. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda, yang berumur 10-19 tahun
lebih rentan terkena daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama.
Penyakit ini mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50
tahun. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan,
kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil,
bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1
2.3
Etiologi
Bells palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di
2.4
Patofisiologi 3
Patofisiologi pasti dari Bells palsy belum jelas. Nervus fasialis yang
melewati tulang temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori,
proses edema dan iskemi dihasilkan dari kompresi oleh nervus fasialis yang
berada di tulang kanalis. Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin,
merupakan bagian yang paling sempit, foramen meatal hanya berdiameter
0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering dari terjadinya kompresi nervus
fasialis pada Bells palsy. Mengingat ketatnya batas kanalis fasialis, sangat
logis sekali bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau proses kompresi
dapat menghambat konduksi pada nervus fasialis.1
Bells palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori
yang mengatakan penyebab dari Bells palsy adalah infeksi virus, iskemik dan
herediter.3,11
Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh
dapat menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan
inflamasi yang biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan
mengakibatkan kompresi atau penekanan pada kanal falopi pada segmen
Selain
itu,
variasi
anatomik
familial
kanalis
fasialis
memiliki
Manifestasi klinis
Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam,
nyeri dibelakang telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini
muncul secara tiba-tiba atau akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah
bangun tidur. Rata-rata setengah dari kasus ini, kelumpuhan dirasakan
hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya seluruh kasus
kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13
Gambar 4.
Manifestasi klinis
Bells palsy1
Manifestasi motorik13 :
10
Kelemahan bersifat luas, mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.
Alis turun
Ektropion pada kelopak bawah
Synkinesis
Manifestasi sensorik:
Gangguan mengecap
Nyeri dibelakang telinga
Manifestasi parasimpatik:
11
saat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara.
Mulut tampak mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya
maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat
bersiul atau meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui
sisi mulut yang lumpuh.13
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi14 :
a. Lesi di luar foramen stylomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di
antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang, lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena
tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur mata akan keluar terus
menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada
12
13
korda timpani juga berperan pada fungsi salivasi. Kita dapat menilai fungsi
dari duktus whartons dengan mengukur produksi saliva dalam 5 menit.
Tes Salivasi
Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak
berfungsi dengan baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bells palsy
sering terdapat kesenjangan topografi saraf fasialis seperti pada pasien
terdapat kehilangan fungsi lakrimasi sedangkan refleks stapedius dan
fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi lakrimasi dan
refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya normal.
Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi
disepanjang perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.
Blink Reflex
Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut
motorik.
14
15
Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini
16
Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang
menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli
percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis
memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells
palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai
penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400
mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir
akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk
mencegah replikasi virus.1
Nama obat
Dosis dewasa
17
Dosis pediatrik
Kontraindikasi
Interaksi obat
Kehamilan
Perhatian
Kortikosteroid.
Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan
Dosis dewasa
Dosis pediatrik
18
Kontraindikasi
Interaksi obat
Kehamilan
Perhatian
19
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi
kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung
dengan kornea.18
2. Fisioterapi
Fisioterapi biasa dilakukan pada Bells palsy stadium akut atau bersamaan
dengan
pemberian
kortikosteroid.
Tujuan
fisioterapi
adalah
untuk
ketat.
Dokumentasi
yang
dilakukan
harus
mencakup
kemajuan
20
pemeriksaan nervus fasialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan
pembedahan.18
2.9 Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup berat yang
tidak dapat diterima oleh pasien.19
a. Regenerasi motorik yang tidak sempurna.
Bagian terbesar dari nervus fasialis terdiri dari serabut saraf eferen yang
merangsang otot-otot ekspresi wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi
yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau beberapa otot wajah
tersebut.
Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi air mata
berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.
b.
21
a.
b.
c.
d.
e.
22
BAB III
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Taylor DC. Bell Palsy. Diakses: 8 Juni 2015. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/1146903-overview.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelumpuhan nervus
fasialis perifer. Dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorokan kepala leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. p.95.
3. Myers EN. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 2 nd ed.
London: Saunders; 2008.p.1257-69.
4. Finsterer J. Management of peripheral facial palsy. Eur Arch
Otorhinolaryngol 2008;265:743-52.
5. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed
5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174.
6. May M. Anatomy for the clinician. In: Schaitkin BM, May M, Klein SR.
editors. The facial nerve. 2nd ed. New york: Thieme; 2000.p.19-56.
7. Patel AA. Facial Nerve Anatomy. Diakses 9 juni 2015. Terdapat pada:
www.emedicine.medscape.com/article/835286-overview .
8. Lowis H, Gaharu MN. Bells palsy diagnosis dan tatalaksana dilayanan
primer. J Indon Med Assoc. 2012:62;32-7.
9. Pereira C, Santos E, Monteiro J, Morais A, Santos CT . Peripheral F.ial
Palsy: Anatomy And Physiology. An Update. The Internet Journal of
Neurosurgery. 2004.
10. Probs R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaringology A step-by-step
learning guide. New York: Thieme. p.290-2.
11. Tiemstra JD. Khatkhate N. Bells palsy: Diagnosis and management. Am
Fam Physician. 2007: 1;76(7):997-1002.
12. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2 nd ed. India: Jaypee;
2012.p.30-45.
13. Herkovitz S, Scelsa S, Schaumburg H. Peripheral Neuropathies in Clinical
Practice. USA: Oxford University Press;2010.p.340-1.
14. Lalwani AK. Current diagnosis and treatment otolaryngology-head and
neck surgery. 2nd edition. New York: McGraw-Hill. 2007.
15. Preston DC. Shapiro BE. Electromiography and neuromuscular disorder:
Clinical electrophysiologic correlations. London: Saunders; 2012.p.643.
24
25