Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita
dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa
provokasi. Sedangkan, bangkitan epilepsy sendiri adalah suatu manifestasi klinik
yang disebabkan

oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan

sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas
paroksismal abnormal ini umumnya timbul intermiten dan 'self-limited'.1
Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan terdapat 40-70 kasus
baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan 80% dari mereka
tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak
atau orang tua diatas 65 tahun, namum epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada
systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,514 per 1.000 orang/tahun di Asia.2

BAB II
1

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama

: Tn TF

Usia

: 35 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Menikah

Alamat

: Darussalam

Suku

: Aceh

Pekerjaan

: Wiraswasta

No RM

: 1-00-10-26

Tanggal Periksa

: 11 Juni 2015

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Kejang
Keluhan Tambahan :
Kejang Berulang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke poli klinik saraf RSUDZA untuk kontrol pengobatan
epilepsi. Pasien memiliki riwayat kejang berulang sejak 1 tahun yang lalu. Kejang
pertama kali terjadi pada tanggal 14 Januari 2014. hingga saat ini pasien 4 kali
kejang terakhir pada januari 2015. Pola kejang serupa namun gejala 1 tahun lalu
lebih berat dibandingkan dengan sekarang.
Beberapa hari sebelum kejang pasien merasakan sakit kepala hebat pada
bagian belakang kepala, leher kaku dan penglihatan kabur. Pasien mengaku
kejang pertama dan ke-4 terjadi saat pasien tertidur, pasien merasa melihat sesuatu
gambaran serta ada seorang yang lewat dan mendengar suara sedangkan kejang
ke-2 dan ke-3 saat pasien sedang beraktifitas dan tiba-tiba melihat gambaran di
suatu tempat. Menurut saksi mata saat kejadian terjadi tangan kanan pasien
kelonjotan diikuti tangan kiri dan kedua tungkai. Pasien jatuh tidak sadarkan diri
dengan tubuh ke kanan, kepala menoleh ke kanan, mata tertutup, mulut tidak

mengeluarkan busa, lidah tidak tergigit serta mengompol hanya terjadi pada
kejang pertama. Durasi serangan sekitar 5 menit. Setelah kejang, pasien sadar
penuh dan pasien merasa lemas sekujur tubuh dan pusing..
Riwayat Penggunaan Obat-obatan:
Tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien mengaku tidak pernah memiliki riwayat penyakit lain sebelumnya.
Pasien belum pernah mengalami penyakit yang sama, hipertensi, diabetes melitus,
asma dan alergi tidak ada. Riwayat kejang sewaktu kecil tidak ada riwayat
kecelakaan tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama.
Riwayat Pengobatan:
Pasien mengaku rutin kontrol di poli setiap bulan.
Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan Sosial:
-

Pasien pernah berkerja dengan mengangkat beban berat

Pasien mengaku sering mengkomsumsi makanan tidak sehat seperti mie instan,

bakso dan minuman seperti extrajos


Pasien sudah 2 tahun berhenti merokok

2.3 Status Internus


Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: E4 M6 V5

Tekanan Darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 72 kali/ menit

Pernafasan

: 18 kali/menit

Suhu

: 36,8

Keadaan Gizi

: Gizi Normal

2.4 Pemeriksaan Fisik


a. Kulit
Warna

: kuning langsat

Turgor

: cepat kembali

Sianosis

: tidak ada

Ikterus

: tidak ada

Oedema

: tidak ada

Anemia

: tidak ada

b. Kepala
Bentuk

: normocephali

Wajah

: simetris, edema dan deformitas tidak dijumpai

Mata

: konjungtiva pucat (-/-), ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3


mm/3 mm, refleks cahaya langsung (+/+), dan refleks
cahaya tidak langsung (+/+)

Telinga

: serumen (-/-)

Hidung

: sekret (-/-)

Mulut

: bibir pucat dan kering tidak dijumpai, sianosis tidak


dijumpai, lidah tremor dan hiperemis tidak dijumpai,
mukosa pipi licin dijumpai

Tonsil

: hiperemis (-/-), T1/T1

Faring

: hiperemis tidak dijumpai, gerakan arkus faring tampak


simetris

c. Leher
Inspeksi

: tidak ada pembesaran KGB

Palpasi

: TVJ (N) R-2 cm H2O.

d. Thoraks
Inspeksi
Statis

: simetris, bentuk normochest

Dinamis

: simetris, pernafasan abdominothorakal, retraksi suprasternal dan


retraksi interkostal tidak dijumpai

Paru
Inspeksi

: Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada


Palpasi

Kanan
Kiri
Stem fremitus normal, Stem fremitus normal,

Perkusi

nyeri tekan tidak ada,


Sonor

nyeri tekan tidak ada


Sonor

Auskultasi

Vesikuler Normal

Vesikuler Normal

Ronki(-) wheezing (-)

Ronki(-) wheezing (-)

Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra.

Perkusi

: Atas
Kiri

: ICS III sinistra


: ICS V satu jari di dalam linea midklavikula
sinistra.

Kanan : ICS IV di linea parasternal dekstra


Auskultasi

: BJ I > BJ II normal, reguler, murmur tidak dijumpai

e. Abdomen
Inspeksi

: Bentuk tampak simetris dan tidak tampak pembesaran,


keadaan di dinding perut: sikatrik, striae alba, kaput
medusa, pelebaran vena, kulit kuning, gerakan peristaltik
usus, dinding perut tegang, darm steifung, darm kontur,
dan pulsasi pada dinding perut tidak dijumpai

Auskultasi

: Peristaltik usus normal, bising pembuluh darah tidak


dijumpai

Palpasi

Hepar

: Nyeri tekan dan defans muskular tidak dijumpai


: Tidak teraba

Lien
Ginjal

: Tidak teraba
: Ballotement tidak di jumpai

Perkusi

: Batas paru-hati relatif di ICS V, batas paru-hati absolut di


ICS VI, suara timpani di semua lapangan abdomen.
Pinggang: nyeri ketok kostovertebrae tidak ada.

f. Genitalia

: Tidak diperiksa

g. Anus

: Tidak diperiksa

h. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-)


i. Kelenjar Limfe

: Pembesaran KGB tidak dijumpai

j. Ekstremitas

: Akral hangat

Sianosis
Oedema
Fraktur

Superior
Kanan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kiri
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Inferior
Kanan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

Kiri
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada

2.5 Status Neurologis


A. G C S

: E4 M6 V5

Pupil

: Isokor (3 mm/3 mm)

Reflek Cahaya Langsung

: (+/+)

Reflek Cahaya Tidak Langsung

: (+/+)

Tanda Rangsang Meningeal


-

Kaku kuduk

: (-)

Laseque: (-)

Kernig

: (-)

Babinski

: (-/-)

Brudzinski I

: (-)

Brudzinski II

: (-)

B. Nervus Craniales
Nervus III (otonom) :

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Ukuran pupil
Bentuk pupil
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tidak langsung
Nistagmus
Strabismus
Eksoftalmus
Penglihatan Ganda

Nervus III, IV, VI (gerakan okuler)

Kanan

Kiri

3 mm

3 mm

bulat

bulat

Kanan

Kiri

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Pergerakan bola mata :


1.
2.
3.
4.
5.

Lateral
Atas
Bawah
Medial
Diplopia

Kelompok Motorik
Nervus V (fungsi motorik)
1. Membuka mulut
2.
Menggigit
mengunyah
Nervus VII (fungsi motorik)

Dalam batas normal


dan

Dalam batas normal


Kanan

Kiri

1. Mengerutkan dahi

Dalam batas normal

Dalam batas normal

2. Menutup mata

Dalam batas normal

Dalam batas normal

3. Menggembungkan pipi

Dalam batas normal

Dalam batas normal

4. Memperlihatkan gigi

Dalam batas normal

Dalam batas normal

5. Sudut bibir
Nervus IX & X (fungsi motorik)

Dalam batas normal


Kanan

Dalam batas normal


Kiri

1.
2.

Bicara
Menelan

Dalam batas normal Dalam batas normal


Dalam batas normal

Dalam batas normal

1. Mengangkat bahu

Dalam batas normal

Dalam batas normal

2. Memutar kepala
Nervus XII (fungsi motorik)

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Nervus XI (fungsi motorik)

1.
2.

Artikulasi lingualis
Menjulurkan lidah

Kelompok Sensoris
1. Nervus I (fungsi penciuman)
2. Nervus V (fungsi sensasi wajah)
3. Nervus VII (fungsi pengecapan)
4. Nervus VIII (fungsi pendengaran)

Dalam batas normal


Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal
Dalam batas normal

C. Badan
Motorik
1. Gerakan respirasi
2. Bentuk columna vertebralis
3. Gerakan columna vertebralis

: Abdomino Thorakalis
: Simetris
: Kesan simetris

Sensibilitas
1. Rasa suhu
2. Rasa nyeri
3. Rasa raba

: Dalam Batas Normal.


: Dalam Batas Normal.
: Dalam Batas Normal.

D. Anggota Gerak Atas


Motorik
1.
2.
3.
4.

Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi

: (+/+)
: 5555/5555
: N/N
: N/N

Refleks
1. Biceps
2. Triceps

: (+/+)
: (+/+)

E. Anggota Gerak Bawah


Motorik
1. Pergerakan
2. Kekuatan
3. Trofi

: (-/-)
: 5555/5555
: N/N

Refleks
1. Patella
2. Achilles

: (+/+)
: (+/+)
8

3.
4.
5.
6.

Babinski
Chaddok
Gordon
Oppenheim

: (-/-)
: (-/-)
: (-/-)
: (-/-)

Klonus
1.
2.
3.
4.

Paha
Kaki
Tanda Laseque
Tanda Kernig

Sensibilitas

: (-/-)
: (-/-)
: tidak diperiksa
: tidak diperiksa
kanan

kiri

Rasa suhu

dbn

dbn

Rasa nyeri

dbn

dbn

Rasa raba

dbn

dbn

F. Gerakan Abnormal : Tidak ditemukan


G. Fungsi Vegetatif
1. Miksi
2. Defekasi

: dalam batas normal


: konstipasi tidak ada

H. Koordinasi Keseimbangan
1. Cara Berjalan
: dbn
2. Romberg Test
: negatif

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Hasil laboratorium dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2014

2. EEG
EGG dilakukan pada tanggal 28 Januari 2015
Interpretation:
- Perekaman dilakukan dalam keadaan sadar tanpa premedikasi dan
menggunakan elektroda khusus.
- Irama latar berupa gelombang dengan frekwensi rata-rata 10.0 spd
amplitudo sedang , dipengaruhi oleh aktivitas buka dan tutup mata.
- Tidak tampak gelombang patologis
- Pada stimulasi fotik dan hiperventilasi tidak tampak perubahan berarti
- Tidak tampak gelombang tidur
Kesan: EEG saat ini dalam batas normal

10

11

12

13

14

2.7 Diagnoasis

Diagnosis klinis

: Bangkitan parsial menjadi tonik-klonik umum

Diagnosis topis

: Temporal Posterior

Diagnosis etiologi

: Idiopati

Diagnosis kerja

: Kejang e.c epilepsi parsial komplek berkembang


menjadi tonik-klonik umum

2.8 Terapi
Medikamentosa yang didapatkan pasien :
-

Fenitoin 100 mg 3x1 tab


Neurodex FC 1x1 tab
Asam folat 1x1 tab
2.9 Prognosis
Qou ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanactionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

15

BAB III
DISKUSI KASUS
Berdasarkan laporan kasus tersebut, adapun permasalahan yang terjadi
pada pasien yaitu:
1. Mengapa pasien masih mengalami kejang berulang meskipun sudah diberikan
terapi OAE?
a. Apakah terapi OAE yang diberikan tidak sesuai?
b. Apakah dosis terapi OAE yang diberikan tidak cukup?
c. Apakah ada faktor-faktor lain sehingga bangkitan kejang masih terjadi
dalam 1 tahun pengobatan OAE.
2. Mengapa hasil EEG pasien dalam batas normal?
3. Apasaja rencana terapi dan pemeriksaan penunjang pada pasien?
Berdasarkan permasalahan kasus tersebut, adapun diskusi kasus sebagai
berikut:
1. Mengapa pasien masih mengalami kejang berulang meskipun sudah diberikan
terapi OAE?
Seizure atau bangkitan adalah gangguan aktivitas mental, motorik,
sensorik atau otonom yang relatif singkat dan mendadak akibat aktivitas
serebral proksimal abnormal. Epilepsi disebabkan oleh terbentuknya sinyal
listrik di dalam otak yang menyebabkan timbulnya kejang berulang. Pada
umumnya, epilepsi ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadi kejang atau bangkitan berulang, 2 bangkitan atau lebih dan lebih
dari 1 episode (kejadian)
2. Kejang terjadi tanpa faktor provokasi atau penyakit otak akut
3. Kejang sering terjadi mendadak tanpa dapat diperkirakan sebelumnya
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal,
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa
upaya, yaitu:
1. Menghentikan bangkitan (seizure),
2. Mengurangi frekuensi bangkitan,
3. Mencegah timbulnya efek samping,
4. Menurunkan angka kesakitan dan kematian
5. Mencegah timbulnya efek samping dari obat anti epilepsi (OAE).

16

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dan harus

di

pertimbangkan kembali pada kejang berulang dapat terjadi sebelum berpikir ke


arah kegagalan obat antiepilepsi dan penggantian obat antiepilepsi dengan obat
lain. Adapun faktor-faktor berikut harus dievaluasi kembali :
a. Diagnosis epilepsi
b. Klasifikasi tipe serangan atau sindrom epilepsi
c. Adanya lesi aktif
d. Dosis yang adekuat dan atau lamanya terapi (seperti: apakah dosis terpaksa
diberikan dengan kadar maksimal yang dapat ditoleransi? apakah pengaturan
dosis yang diberikan cukup waktu untuk mencapai kondisi optimal?)
e. Ketaatan terhadap pengobatan (ketidaktaatan merupakan penyebab yang
paling umum terjadinya kegagalan pengobata dan kambuhnya bangkitan).
Pemilihan OAE didasarkan pada tipe serangan dan karakteristik
1.Tipe serangan
Tabel 1 Pemilihan obat antiepilepsi
Tipe serangan

First-line

Second-line/
add on

Third line/
add on

Karbamazepine
Fenitoin
Parsial simple & Fenobarbital
kompleks dengan
Okskarbazepin
atau tanpa
general sekunder Lamotrigin
Topiramat

Asam valproat

Tiagabin

Levetiracetam

Vigabatrin

Zonisamid

Felbamat

Pregabalin

Pirimidon

Gabapentin
Asam valproat
Tonik klonik

Mioklonik

Topiramat

Karbamazepine

Lamotrigin

Levetiracetam

Fenitoin

Okskarbazepin

Zonisamid

Fenobarbital
Asam valproat

Topiramat

Pirimidon
Lamotrigin

Levetiracetam

Clobazam

Zonisamid

Clonazepam

17

Fenobarbital
Absence (tipikal
dan atipikal)

Asam valproat

Atonik

Asam valproat

Lamotrigin

Asam valproat
Tonik

Fenitoin

Lamotrigin
Topiramat

Levetiracetam
Zonisamid
Felbamat

Clonazepam
Clobazam

Fenobarbital
Epilepsy absence Asam valproat
juvenil
Etosuksimid
Epilepsy
mioklonik
juvenil

Etosuksimid

Clonazepam

Asam valproat

Clonazepam

Fenobarbital

Etosuksimid

2. karakteristik pasien
Pengobatan

dengan

obat

antiepilepsi

karakteristik

pasien

harus

dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah :


efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat
antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra
indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya
penggantian obat dilakukan.
Pemilihan dosis obat antiepilepsi untuk dewasa
Table 2 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa
Dosis awal
(mg/hari)

Dosis yang
paling
umum
(mg/hari)

Dosis
maintenance
(mg/hari)

Frekuensi
pemberian
(kali/hari)

Fenitoin

200

300

100-700

1-2

Karbamazepin

200

600

400-2000

2-4

Okskarbazepin

150-600

900-1800

900-2700

2-3

Lamotrigin

12,5-25

200-400

100-800

1-2

Zonisamid

100

400

400-600

1-2

Ethosuximid

500

1000

500-2000

1-2

Obat

18

Felbamat

1200

2400

1800-4800

Topiramat

25-50

200-400

100-100

Clobazam

10

20

10-40

1-2

Clonazepam

2-8

1-2

Fenobarbital

60

120

60-240

1-2

Pirimidon

125

500

250-1500

1-2

Tiagabin

4-10

40

20-60

2-4

Vigabatrin

500-1000

3000

2000-4000

1-2

Gabapentin

300-400

2400

1200-4800

Pregabalin

150

300

150-600

2-3

Valproat

500

1000

500-3000

2-3

Levetiracetam

1000

2000-3000

1000-4000

Pada kasus ini, pemilihan dan dosis OAE yang telah di berikan sudah
sesuai namun faktor yang mempengaruhi akibat terjadinya kejang berulang
adalah ketidak patuhan pasien mengkomsumsi OAE. Hal ini didasari dengan
anamnesis yang menyatakan pasien sekali-kali lupa atau tidak meminum OAE
dengan berbagai alasan yang diberikan. Ketidak patuhan pasien untuk minum
OAE secara teratur dan sesuai jadual pengobatan seringkali menjadi penyebab
bangkitan berulang maupun gagalnya pengobatan.
Kepatuhan minum obat merupakan faktor prediktor untuk tercapainya
remisi pada epilepsi, dimana pada penderita epilepsi yang patuh minum obat
terbukti mengalami remisi 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan terus menerus
dibanding dengan mereka yang tidak patuh minum obat. Kriteria kepatuhan
minum obat yang dipakai adalah menurut Ley dan Hakim, penderita dikatakan
patuh minum obat apabila memenuhi 4 hal berikut : dosis yang diminum sesuai
dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat doidiantara dosis sesuai
yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai yang
ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak dianjurkan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan minum obat

19

pada penderita epilepsi dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan dokter,


pengaruh faktor motivasi, adanya efek samping obat, pengobatan monoterapi ,
pengaruh biaya pengobatan serta adanya pengaruh stigma akibat epilepsi.

2. Mengapa hasil EEG pasien dalam batas normal?


Electroencephalogram (EEG) adalah sebuah

alat

yang

mampu

memvisualisasikan gelombang otak (Brainwave) manusia ke dalam bentuk


grafik. Gelombang otak diukur berdasarkan beda pontensial yang terjadi secara
berulang-ulang di antara elektroda yang dihubungkan ke kepala.
Penggunaan EEG untuk mendeteksi aktivitas otak memberikan beberapa
keuntungan di antaranya

yaitu mempunyai resolusi yang tinggi hingga

milisekon yang melebihi resolusi MRI, dapat mengukur aktivitas otak secara
langsung tanpa melalui perantara lain dan tidak seperti metode lain yang
mempelajari melalui karakteristik aliran darah atau aktivitas metabolisme.
Akan tetapi karena rekaman EEG hanyalah merekam aktivitas otak sesaat,
perekaman tersebut akan memberikan kesan yang lain ketika perekaman
dilakukan pada waktu yang berbeda. Pada umumnya pemeriksaan yang
dilakukan setelah >1bulan bangkitan EEG menjadi normal. Oleh karena itu
pengidentifikasian terhadap gelombang EEG perlu dilakukan setelah
bangkitan.
Namun pada kasus ini, pemeriksaan EEG dilakukan 2 hari setelah
bangkitan, pada tanggal 28 Januari 2015 di dapatkan kesan dalam batas
normal. Hasil EEG dalam batas normal belum tentu tidak ada lesi, karena EEG
memiliki keterbatasan dimana sensitifitas EEG hanya sensitif hingga
superfisial kortek (hanya sekitar 0,5-1mm). Sedangkan ketebalan korteks
serebral manusia 2-4mm. Sehingga lesi pada subkortek

tidak sensitif

terdeteksi oleh EEG.


.
3. Apasaja rencana pemeriksaan penunjang pada pasien?
Rencana pemeriksaan penunjang pada pasien adalah ct-scan kepala dan
MRI. CT scan kepala dengan kontras. CT scan hanya dapat menyaring lesi-lesi
yang nyata dan mungkin tidak dapat memperlihatkan lesi kecil seperti klerosis.
MRI dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya tumor kecil, malformasi pembuluh,
atau jaringan parut) .

20

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti
serangan. Epilepsi merupakan penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul

21

tanpa diprovokasi yang di sebabkan akibat kelainan bangkitan listrik jaringan


saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat
mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan
adanya

konsekuensi

sosial

yang

diakibatkannya.

Namun,

definisi

ini

membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.4


3.2 Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi terdiri
dari dua jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsi.4
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan Parsial
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan
kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajadi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence)
dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Pada saat serangan mata
penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan
melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan
sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya.
B. Klonik

22

Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan


fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1
3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti
oleh fase tonik. Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
C. Tonik
Kejang tonik merupakan pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan
tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi
atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan,
D. Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan
terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan
kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat
serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan
bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan
dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar
sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan
fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total
pada otot anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau
lebih lama.
Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,4
1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)
A. Idiopatik (primer)
B. Simtomatik (sekunder)

23

C. Kriptogenik
2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan
peningkatan usia
A. Idiopatik (primer)
B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west,
syndrome lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonikastatik)
C. Simtomatik
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum
A. Bangkitan umum dan fokal
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.
A. kejang demam
B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)
C. Bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau
hiperglikemik non ketotik.
D. Epilepsi refrektorik
3.3 Etiologi dan Faktor Pencetus
a. Etiologi
Penyebab terjadinya epilepsi dapat terjadi secara multifaktoria namun
hampir 60% dari kasus epilepsi tidak dapat menjelaskan secara pasti penyebab
terjadinya. Kebanyakan etiologi epilepsi belum diketahui seperti jenis epilepsi
idiopatik. Kerusakan otak akibat trauma kepala, infeksi otak, masalah hormonal,
masalah gangguan peredaran darah otak dan tumor di otak dapat memicu terjadi
epilepsi simtomatik. Investigasi faktor etiologis didasarkan pada anamnesa seperti
riwayat adanya trauma, kejang demam, perdarahan subarakhnoid atau infeksi
susunan saraf. Salah satu patokan dalam investigasi etiologis adalah usia pasien
sewaktu pertama mengalami kejang. Contohnya, kejang pada bayi biasanya
etiologinya adalah cedera perinatal, kejang yang timbul pada usia dewasa karena
tumor otak.5
b. Faktor Pencetus
Faktor pencetus ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan,yaitu: 1,5
a. Faktor sensoris, seperti cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang
mengejutkan, air panas
b. Faktor sistemis, seperti: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya
golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.
c. Faktor mental, seperti: stress, gangguan emosi.
3.4 Patofisiologi
24

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya


perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian
intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat,
kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi
cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan
dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain,
sehingga terjadilah epilepsi. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang
diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh
bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya
mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan
akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus
tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi
disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan
retardasi mental.6
3.5 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik
dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh
gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk
menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut.7
a. Anamnesis
Tahap pertama mengevaluasi penderita dengan kemungkinan epilepsi
adalah menetapkan apakah penderita menderita kejang atau tidak. Anamnesis
yang lengkap seorang dokter dapat memperkirakan apakah seseorang benar
menderita kejang atau tidak, dan juga perlu untuk menentukan tipe kejang atau
jenis epilepsi tertentu. Penentuan tipe kejang atau epilepsi sangat penting karena
pengobatan penderita epilepsi salah satunya didasarkan pada tipe kejang atau jenis
epilepsi. Anamnesis dapat dilakukan pada pasien atau saksi mata yang
menyaksikan pasien kejang. Sering penderita datang dalam keadaan tidak sadar,

25

sehingga gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini


sering bergantung pada kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan
dan kepandaian saksi mata dalam melukis bangkitan.6,7
Penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan apakah ada
anamnesa keluarga dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga
tengah atau sinus atau gejala dari keganasan. Adapun pertanyaan yang penting
untuk ditelusuri berupa:8

Pola / bentuk bangkitan


Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
Frekuensi bangkitan
Faktor pencetus
Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia saat terjadinya bengkitan pertama
Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan / kelahiran dan

perkembangan bayi / anak


Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologi


Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi
telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus,
kecanduan obat terlarang atau alkohol dan kanker.7
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:7,8
1. EEG (elektroensefalogram)
EEG merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam
otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam
otak. Setelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk
menentukan penyebab yang biasa diobati.
EEG hanyalah suatu pemeriksaan, bukan penentu diagnosis pasti. Interpretasi
gambaran EEG harus dilakukan dengan hati-hati. Pada sebagian pasien,
digunakan teknik-teknik pengaktifan tertentu, seperti hiperventilasi atau stimulasi
cahaya berkedip-kedip, untuk memicu munculnya pola listrik yang abnormal.

26

Bahkan setelah pemeriksaan EEG berulang, hasil tetap negatif pada hampir 20%
pasien. EEG yang normal sering dijumpai pada anak dengan kejang tonik-klonik.
Rekaman EEG digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah otak spesifik
yang terlibat dalam lepas muatan abnormal, dan data ini dikolerasikan dengan
rekaman video.

2. Pemeriksaan pencitraan otak


Pemeriksaan MRI atau CT scan perlu dilakukan untuk menentukan adanya
kelainan struktural di otak. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil
(misalnya tumor kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus
temporalis. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin
memerlukan terapi pembedahan.7,8
3. Laboratorium.
Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin, leukosit, trombosit, hapusan
darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah,
fungsi hati (SGOT, SGPT, Gamma GT, Alkali fosfatase), ureum, kreatinin dan
lain-lain atas indikasi. Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk:8
-

Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah

Menilai fungsi hati dan ginjal

Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat


menunjukkan adanya infeksi)

4. Pemeriksaan cairan serebrospinal bila dicurigai adanya infeksi SSP


5. Pemeriksaan-pemeriksaan lain.
Dilakukan bila ada indikasi misalnya adanya kelainan metabolik bawaan.
Pada kasus ini, diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan
tanda klinik dalam bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang
ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG. Hasil pemeriksaan EEG
didapatkan kesan epileptiform.pemeriksaan MRI karena kendala biaya, sehingga
digantikan dengan CT scan kepala dengan kontras.
3.7 Terapi

27

Pada pasien ini diberikan terapi fenitoin yang merupakan obat lini pertama
untuk epilepsi parsial dan dan mencegah kemunculan kejang dengan cara
menghambat neurotransmiter di otak.
Tabel 1. Pemilihan OAE berdasarkan tipe bangkitan epilepsi

Tipe Bangkitan

Bangkitan parsial
(sederhana atau
kompleks)

OAE lini pertama


Fenitoin,
karbamasepin
(terutama untuk
CPS), asam
valproat

OAE lini kedua


Acetazolamide, clobazam,
clonazepam,
ethosuximide,
felbamate, gabapentin,
lamotrigine,
levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
phenobarbital, pirimidone

Bangkitan lena

Asam valproat,
ethosuximide

Acetazolamide, clobazam,
clonazepam, lamotrigine,

(tidak tersedia di

phenobarbital, pirimidone

Indonesia)

Bangkitan

Asam valproat

mioklonik

Clobazam, clonazepam,
ethosuximide,
lamotrigine,
phenobarbital,
pirimidone,
piracetam

Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas
kejang, tergantungdari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita
pasien. Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan.7,10
3.8 Penanganan status epileptikus
Tabel 2. Penanganan status epileptikus7
Stadium
Penatalaksanaan
Memperbaiki fungsi kardio-respiratorik,
Stadium I (0-10 Memperbaiki jalan nafas, pemberian
menit)
Stadium

II

oksigen, resusitasi
(0-60 Memasang infus pada pembuluh darah
28

menit)

besar
Mengambil 50-100 cc darah untuk
pemeriksaan lab
Pemberian OAE emergensi : Diazepam
10-20 mg iv (kecepatan
pemberian < 2-5 mg/menit atau rectal
dapat diulang 15 menit
kemudian.
Memasukan 50 cc glukosa 40% dengan
atau tanpa thiamin 250 mg
intravena
Menangani asidosis
Stadium III (0-60 - Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus 30 menit
90 menit)
setelah pemberian diazepam
pertama, beri phenytoin iv 15-18
mg/kgBB dengan kecepatan 50
mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila
diperlukan
Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 Bila kejang tetap tidak teratasi selama
30-60 menit, transfer pasien
menit)
ke ICU, beri Propofol (2mg/kgBB bolus
iv, diulang bila perlu) atau
Thiopentone (100-250 mg bolus iv
pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap
2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off.
Memonitor bangkitan dan EEG,
tekanan intracranial, memulai
pemberian OAE dosis maintenance

29

BAB V
KESIMPULAN
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada otak yang terjadi sewaktuwaktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan
penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik.
Adapun

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dan harus di

pertimbangkan kembali pada kejang berulang dapat terjadi, yaitu: diagnosis


epilepsi, klasifikasi tipe serangan, lesi aktif, dosis dan ketaatan pengobatan
Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami
dua kali bangkitan tanpa provokasi. Pemilihan OAE didasarkan pada efikasinya
terhadap tipe kejang dan frekuensinya.

30

DAFTAR PUSTAKA
1

Mardjono dan Sidharta. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta. 2008.

Sisodiya S.M, Duncan J . Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,


Investigation and Natural History. Medicine International. 2000;36-41.

Ropper, AH, Brown, Robert H. 2005. Adams & Victors Principles of


Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill.

Oguni H. Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia. 2014. 13-16.

Aminoff, MJ et al. Lange: Clinical Neurology, 6 th Edition, McGraw-Hill.


2005.

Anonymous.Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia. 2004. 44(6) :23-24

Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A. Pedoman Tatalaksana Epilepsi,


Kelompok Studi Epilepsi Perdossi. 2008.

Duncan

R.

Diagnosis

of

Epilepsy

in

Adults,

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy

available

from

supplement/E

Duncan.pdf.

31

Mardjono M. Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya


dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A. 2008; 129148.

10 Ahmed Z, Spencer S.S. An Approach to the Evaluation of a Patient for


Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal. 2004.103(1) : 49-55.

32

Anda mungkin juga menyukai