Anda di halaman 1dari 6

Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB

Mendorong Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Inovasi


dan Keterkaitan Antar Aktor di Sentra Industri Logam Ngingas
Rina Herawati
(1)
(2)

(1)

, Tubagus Furqon Sofhani(2)

Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK),
ITB.
Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
(SAPPK), ITB.

Abstrak
Mengacu pada konsep inovasi (innovation) yang diajukan oleh Porter (1998) dan Rogers (2003,
serta konsep keterkaitan (linkage) dalam klaster industri yang diajukan oleh Porter (1998), Studi
Inovasi dan Keterkaitan antar Aktor di Sentra Industri Logam Ngingas Kabupaten Sidoarjo
menyimpulkan bahwa cukup banyak pengusaha yang pernah/ masih memiliki kaitan dengan
perusahaan besar dalam rantai produksi/ pemasarannya. Sekalipun demikian, secara umum ada
anggapan bahwa membangun kaitan dengan perusahaan besar itu cukup sulit karena pengusaha
UMKM di Sentra Industri Ngingas kesulitan mengikuti standard yang ditetapkan oleh perusahaan
besar. Sementara itu kaitan antara pengusaha di Sentra Industri Ngingas dengan aktor-aktor lain
yaitu pemerintah, asosiasi pengusaha, Perguruan Tinggi/ lembaga riset/ lembaga pengembangan
bisnis dan lembaga keuangan (bank), justru masih lemah. Aktor-aktor ini belum mampu berperan
signifikan untuk mengembangkan usaha yang ada di Sentra Industri Ngingas. Berdasarkan temuantemuan tersebut itu, paper ini hendak mengajukan gagasan bagi Perguruan Tinggi agar dapat lebih
berperan meningkatkan keterkaitan pengusaha UMKM di Sentra Industri Ngingas dengan
perusahaan besar, sekaligus meningkatkan Peran Perguruan dalam mendorong perkembangan
pengusaha UMKM dan Sentra Industri Logam Ngingas.
Kata-kata kunci: klaster industri, inovasi, keterkaitan

Pengantar
Studi Inovasi dan Keterkaitan Antar Aktor di
Sentra Industri Ngingas Kabupaten Sidoarjo
dilatarbelakangi
oleh
gagasan
perlunya
mengembangkan UMKM dengan pendekatan
klaster industri. Studi ini kemudian berfokus
pada upaya untuk meneliti aspek inovasi dan
keterkaitan antar aktor yang merupakan
karakteristik klaster industri, sebagaimana
konsep yang diajukan oleh Porter (1998).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
inovasi dan keterkaitan antar aktor di Sentra
Industri Ngingas yang merupakan karakteristik
klaster industri. Adapun sasaran penelitian ini
adalah: (1) Diperolehnya gambaran proses
pembentukan dan perkembangan Sentra
Industri Ngingas. (2)Teridentifikasinya bentukbentuk inovasi yang terjadi selama proses
perkembangan tersebut. (3) Teridentifikasinya

keterkaitan antar pengusaha di dalam klaster


dan keterkaitan dengan aktor-aktor lain di luar
klaster (pemerintah, asosiasi pengusaha dan
universitas/lembaga
penelitian/
lembaga
pelatihan).
Mengacu pada konsep inovasi (innovation) yang
diajukan oleh Porter (1998) dan Rogers (2003,
serta konsep keterkaitan (linkage) dalam klaster
industri yang diajukan oleh Porter (1998), Studi
Inovasi dan Keterkaitan antar Aktor di Sentra
Industri Logam Ngingas Kabupaten Sidoarjo
menyimpulkan bahwa cukup banyak pengusaha
yang pernah/ masih memiliki kaitan dengan
perusahaan besar dalam rantai produksi/
pemasarannya. Sekalipun demikian, secara
umum ada anggapan bahwa membangun kaitan
dengan perusahaan besar itu cukup sulit karena
pengusaha UMKM di Sentra Industri Ngingas
kesulitan mengikuti standard yang ditetapkan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3 | 693

Mendorong Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Inovasi dan Keterkaitan Antar Aktor di Sentra Industri Logam Ngingas

oleh perusahaan besar. Sementara itu kaitan


antara pengusaha di Sentra Industri Ngingas
dengan aktor-aktor lain yaitu pemerintah,
asosiasi pengusaha, Perguruan Tinggi/lembaga
riset/lembaga
pengembangan
bisnis
dan
lembaga keuangan (bank), justru masih lemah.
Aktor-aktor ini belum mampu berperan
signifikan untuk mengembangkan usaha yang
ada di Sentra Industri Ngingas.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut itu, paper
ini hendak mengajukan gagasan bagi Perguruan
Tinggi agar dapat lebih berperan meningkatkan
keterkaitan pengusaha UMKM di Sentra Industri
Ngingas dengan perusahaan besar, sekaligus
meningkatkan
Peran
Perguruan
dalam
mendorong perkembangan pengusaha UMKM
dan Sentra Industri Logam Ngingas.
Metode
Paper ini akan menggunakan hasil Studi Inovasi
dan Keterkaitan Antar Aktor di Sentra Industri
Ngingas sebagai basis data penyusunan
argumennya. Dengan demikian maka metode
yang digunakan adalah metode kualitatif
(Creswell, 2008). Adapun metode analisisnya
mengunakan Metode Content analisis.
Hasil Studi Inovasi dan Keterkaitan Antar
Aktor di Sentra Industri Ngingas
Sejarah Sentra Industri berbasis logam di Desa
Ngingas Sidoarjo (selanjutnya disebut Sentra
Industri Logam Ngingas) dimulai sebagai
pendukung utama dari kemunculan pabrik gula
di Jawa Timur umumnya dan Kabupaten
Sidoarjo khususnya untuk maintenance mesinmesin pabrik gula tersebut.
Selain sebagai penyedia komponen industry
pabrik gula, Sentra Industry Logam Ngingas di
awal
pertumbuhannya
merupakan
pusat
berkembangnya industri rumah tangga berbasis
besi yang memproduksi alat-alat pertanian
seperti cangkul, sabit, clurit dan pertanian
lainnya, dan berpusat di dusun Pandean,
sebagaimana pernyataan seorang informan.
Karena jumlahnya makin banyak, maka pada
1951 dibentuklah Persatuan Pengrajin Besi
694 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Islam Indonesia (PPII). Namun karena kurang


berkembang maka pada 1955 PPII diganti
menjadi Koperasi Pande Besi (Kopande).
Perkembangan yang pesat dari Kopande
kemudian
menginspirasi
beberapa
tokoh
masyarakat
Desa
Ngingas
untuk
mengembangkannya menjadi Koperasi Waru
Buana Putra pada 1978.
Diversifikasi produk dimulai pada 1980-an. Para
pengusaha di Sentra Industri Logam Ngingas
yang tadinya hanya memproduksi alat-alat
pertanian sederhana seperti cangkul dan sekop
(dalam bahasa setempat disebut sekrop)
kemudian mulai membuat peralatan pertanian
dengan teknologi yang lebih tinggi seperti mesin
pengupas kopi, mesin pemotong singkong,
mesin perontok padi dan oven kerupuk,
komponen-komponen
konstruksi
bangunan
seperti angkar dan trekstan, aksesoris bangunan
seperti engsel pintu dan produk lainnya seperti
penjepit kalender. Pada saat itu, lokasi usaha
mulai menyebar di luar Dusun Pandean,
terutama di Jl. Ngingas Selatan, Dusun Ngingas
dan Dusun Ambeng-Ambeng.
Pada 1990-an, bersama dengan berkembangnya
industry otomotif di Indonesia, Sentra Industri
Logam Ngingas ikut berkembang. Selain muncul
besali-besali baru yang khusus memproduksi
komponen dan aksesoris kendaraan bermotor
(roda dua maupun roda empat), sebagian
pengusaha yang semula hanya memproduksi
alat-alat pertanian juga mulai menerima
pesanan komponen dan aksesoris kendaraan
bermotor. Jenis komponen dan aksesoris
kendaraan bermotor yang diproduksi di Ngingas
terutama adalah komponen-komponen dan
aksesoris non mesin yang tidak membutuhkan
ketepatan ukuran/ bentuk (presisi) yang tinggi,
seperti kunci busi, standard sepeda motor,
handle bak mobil, kancingan kampas rem dan
dudukan jok motor.
Pada periode ini pula, salah satu perusahaan
yang memproduksi komponen dan aksesoris
kendaraan bermotor yaitu PT ATAK Otomotif
Indometal mulai berkembang pesat. Perusahaan
yang berdiri pada 1962 dan awalnya hanya
memproduksi sekitar 200 item komponen,

Rina Herawati

dengan cepat berkembang dan saat ini mampu


memproduksi sekira 2500 item. (Karya
Indonesia, 2010) Pada periode ini pengusaha
lain juga mulai menerima pesanan-pesanan
produk lain alat-alat listrik. Selain itu, tepatnya
pada 1995, muncul industry cetakan (moulding)
di Sentra Industri Logam Ngingas yang dimiliki
oleh H. Makmur. Industri yang berteknologi
tinggi ini melayani perusahaan-perusahaan
besar al. PT. Maspion, PT. Indoprima, PT.
Indowire dan PT. Kedawung. Periode ini dapat
disebut sebagai periode dimana industri dengan
teknologi sederhana (yang menghasilkan alatalat pertanian), berpadu dengan industri dengan
teknologi semi modern (yang menghasilkan
komponen kendaraan bermotor) dan industri
dengan technologi tinggi (yang menghasilkan
mould/ cetakan).
Pada periode 2000-an, Sentra Industri Ngingas
makin berkembang dengan munculnya generasi
baru pengusaha, baik yang meneruskan usaha
orang tua maupun yang secara mandiri
mendirikan usaha sendiri. Sebagian besar
memproduksi komponen kendaraan bermotor.
Selain itu, produk yang sudah lama ada di
Ngingas seperti alat-alat pertanian, mesin
pertanian,
alat-alat
listrik
masih
tetap
diproduksi. Adapun perusahaan dies and mould
yang berteknologi tinggi makin bertambah
jumlahnya.
Berikut adalah rangkuman perkembangan
Sentra Industri Ngingas, dari sisi jenis produk
dan teknologi:

Gambar 1. Perkembangan Sentra Industri Ngingas

Kalau diperhatikan gambar di atas, meskipun


sudah ada produk baru dan teknologi yang lebih

baru, tetapi produk-produk lama seperti alat-alat


pertanian masih terus diproduksi. Hal ini terjadi
karena masing-masing produk sudah memiliki
pasarnya sehingga munculnya produk baru dan
teknologi baru tidak mematikan produk-produk
yang lama seperti alat-alat pertanian dan
aksesoris konstruksi.
Inovasi yang Terjadi
Porter (1998) menyatakan bahwa salah satu
impilkasi
positif
yang
diharapkan
dari
terbentuknya klaster industri adalah adanya
inovasi yang mendorong kompetisi antar
pengusaha. Selain itu, adanya klaster industri
juga akan mendorong munculnya pengusahapengusaha baru baik yang terkait maupun
mendukung industri inti yang ada di Kanter
industri. Sementara itu, Rogers (2003)
menyatakan bahwa inovasi dapat dilihat dari
munculnya
produk-produk
baru
dan
penggunaan teknologi baru.
Saat ini di Sentra Industri Logam Ngingas
sangat banyak pengusaha muda yang berusia
kurang dari 40 tahun dan secara mandiri
mengelola usaha miliknya sendiri. Hal itu
biasanya dimulai dengan proses magang dari
para pelajar di bengkel milik tetangga atau
saudaranya yang ada di Ngingas.
Selain Industri Inti yang mengolah bahan baku
logam menjadi barang jadi atau setengah jadi,
dengan berkembangnya Sentra Industri Logam
Ngingas, maka mulai muncul juga usaha-usaha
lain, baik yang terkait langsung dengan industri
inti (related industry), maupun yang bersifat
mendukung industri inti (supporting industry).
Usaha-usaha lain yang termasuk industri terkait
di Sentra Industri Ngingas adalah perdagangan
besi dan plat besi baru/afal/bekas, jasa
angkutan, jasa tekuk (membengkokkan) besi,
pemasok mesin. Adapun yang termasuk usaha
pendukung adalah usaha warkop (Warung kopi)
dan usaha kamar kontrakan.
Besi-besi rongsokan itu sebagian besar berasal
dari Kecamatan Sepanjang. Besi-besi itu dibeli
oleh orang-orang di Ngingas untuk diolah
menjadi bermacam barang. Selain besi
rongsokan, di Ngingas juga dapat ditemukan
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3 | 695

Mendorong Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Inovasi dan Keterkaitan Antar Aktor di Sentra Industri Logam Ngingas

pedagang plat besi afalan. Berbeda dengan


rongsokan yang berasal dari barang bekas, yang
disebut dengan afalan adalah sisa potongan plat
besi baru, tapi tidak dalam kondisi utuh.
Biasanya, plat besi afalan ini merupakan sisasisa potongan dari perusahaan besar. Adalah
biasa bagi para pengusaha di Ngingas untuk
menggunakan plat besi afalan, yang penting
tebalnya sesuai kebutuhan. Pengusaha di sini
kadang-kadang justru membeli dari situ. Itu
masih bisa dipakai untuk membuat ring-ring.
Selain dengan membuka toko di Jl. Kolonel
Sugiyono, para pedagang itu kadang-kadang
menawarkan besi/ plat besi bekas/ afalan
dengan cara door to door, membawa barang
dagangannya menggunakan mobil bak terbuka.
Para pengusaha di Ngingas sudah terbiasa
dengan cara itu. Mereka justru merasa sangat
terbantu dengan cara itu.
Usaha lain yang muncul di Sentra Industri
Logam Ngingas adalah jasa angkutan barang.
Jasa angkutan ini bukan hanya membantu
pengangkutan ketika membeli bahan baku, tapi
juga
membantu
mengantarkan
pesanan,
terutama ke luar desa/ luar kota.
Usaha lain yang muncul di Desa Ngingas seiring
dengan berkembangnya kegiatan produksi di
Sentra industry Logam Ngingas adalah Jasa
tekuk/ membengkokkan besi. Jasa tekuk ini
sangat membantu para pengusaha yang tidak
memiliki mesin untuk membengkokkan.
Selain usaha yang terkait dengan pengolahan
logam, usaha lain yang muncul di Ngingas
adalah warung kopi (warkop), tempat bersantai
bagi para pemilik usaha dan anak buahnya.
Selain untuk bersantai, warung kopi juga
seringkali menjadi tempat berlangsungnya
transaksi antara pedagang besi/plat besi dengan
pengusaha atau antar pengusaha ketika
membagi order. Selain itu, warkop juga menjadi
tempat munculnya gagasan untuk membentuk
salah satu organisasi pengusaha yaitu PIKULAN.
Usaha lain lagi yang dapat ditemukan di Desa
Ngingas sebagai dampak dari berkembangnya
Sentra Industri Logam Ngingas adalah rumah/
kamar kontrakan/kost. Usaha ini berkembang
karena cukup banyak pekerja yang merupakan
696 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

pendatang dari luar kota. Sekalipun demikian,


tidak
semua
pekerja
dari
luar
kota
membutuhkan tempat kost karena beberapa
pengusaha menyediakan tempat menginap,
menjadi satu dengan tempat usahanya.
Selain bentuk-bentuk usaha yang telah
disebutkan di atas, terdapat satu jenis usaha
yang nyaris tidak muncul di permukaan tetapi
perannya sangat penting di Sentra Industri
Logam Ngingas yaitu broker atau Salesman.
Broker atau salesman ini selain menyediakan
bahan baku, juga bertindak sebagai pengepul
bagi produk-produk yang dihasilkan oleh
pengusaha di Ngingas. Berikut adalah penuturan
seorang informan.
Broker atau Salesman inilah yang paling
mengetahui permintaan pasar dan mendorong
terjadinya inovasi di kalangan pengusaha demi
memenuhi kebutuhan/keinginan pasar. Di
Ngingas, seorang sales justru kemudian beralih
profesi menjadi pengusaha karena mengetahui
tingginya permintaan pasar dan peluang sebagai
pengusaha. Pengusaha ini kemudian menjadi
salah satu pengusaha terbesar di Ngingas.
Perubahan teknologi yang terjadi di Sentra
Industri Logam Ngingas sebagian besar adalah
hasil inovasi sendiri dari para pengusaha yang
didorong oleh permintaan pasar, dan dicoba
sendiri dengan mesin-mesin yang ada. Di
Ngingas, biasanya orang bekerja tanpa
menggunakan gambar teknis. Yang bisa
menggunakan gambar teknis hanya orang yang
memiliki latar belakang teknis, dan jumlahnya di
Ngingas tidak banyak. Sekalipun demikian,
kebanyakan pengusaha/pekerja industri logam
di Ngingas bisa membuat mesin sendiri; yang
penting ada contohnya.
Saat ini hampir seluruh pekerjaan sudah
menggunakan mesin, seperti mesin-mesin bor.
Kalau dulu, semua pekerjaan dikerjakan secara
manual. Sejak 2006 hingga sekarang sudah
banyak sekali perubahan teknologi. Sekarang
makin berkembang karena adanya tuntutan
pasar. Dengan perubahan teknologi dari manual
menjadi mesin, maka kualitas dan kecepatan
produksi juga meningkat.

Rina Herawati

Meskipun kualitas mesin yang dihasilkan


memang agak berbeda, tetapi membuat mesin
sendiri
sudah
menunjukkan
kemampuan
pengusaha untuk berinovasi. Dalam hal inovasi,
menurut pengusaha di atas, hamper tidak ada
campur tangan dari pemerintah maupun
universitas/
lembaga
riset/
lembaga
pengembangan bisnis. Selama ini inovasi
dilakukan sendiri oleh pengusaha.
Keterkaitan Antar Aktor
Dalam konsep klaster yang diajukan oleh Porter
(1998), karakteristik lain dari klaster adalah
keterkaitan antar aktor yaitu keterkaitan dengan
pengusaha yang ada di dalam klaster dan
keterkaitan dengan aktor-aktor lain yang ada di
luar klaster yaitu pengusaha besar, pemerintah,
universitas/
lembaga
riset/
lembaga
pengembangan bisnis dan lembaga keuangan.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa
1. Keterkaitan dengan pengusaha lain di dalam
klaster industri dalam hal input, tenaga kerja,
alih daya pekerjaan dan pemasaran sudah
terjadi. Sekalipun demikian, untuk unsurunsur tersebut ternyata pengusaha UMKM di
Ngingas juga memiliki keterkaitan dengan
pengusaha di luar Ngingas terutama dari
Surabaya, dalam hal penyediaan input.
2. Keterkaitan dengan para pihak di luar klaster.
Penelitian ini menemukan bahwa 57.1%
pengusaha di Sentra Industri Ngingas pernah/
masih bekerjasama dengan perusahaan
besar. Meskipun cukup banyak perusahaan
yang pernah bekerjasama dengan perusahaan
besar, tetapi tidak banyak yang kerjasamanya
bersifat jangka panjang. Ada juga yang
pernah bekerjasama tetapi saat survey ini
dilakukan sudah tidak melakukan kerjasama
lagi. Survey yang sama menemukan bahwa
dari 28 responden, hanya ada 2 perusahaan
yang
merupakan
subkontraktor
dari
perusahaan besar. Dalam kasus grup ASTRA
ada beberapa ketentuan mengenai sub
kontrak pekerjaan yaitu: (1) Jarak antara
perusahaan subkon dengan manufaktur besar
tidak boleh lebih dari 70 km. Untuk UMKM
wilayah Jatim, khususnya Sidoarjo, sulit untuk
menjadi subkon karena di Jawa Timur tidak

ada manufaktur besar grup Astra; di Jawa


Timur hanya ada instalasi sales and
distribution. (2) Kualitas produk harus sesuai
standard. Hal ini juga sulit dipenuhi oleh
UMKM. Untuk bisa membuat produk sesuai
standard grup Astra, UMKM harus memenuhi
standard sebagai berikut: lay out pabrik,
untuk menjamin efisiensi, waktu kerja, cara
kerja, dan kualitas produk, yang salah
satunya diukur dari banyaknya produk reject.
Besarnya produk reject tidak boleh lebih dari
5%.
Dalam istilah yang berbeda, seorang pengusaha
di Ngingas menyebut persyaratan yang
ditetapkan oleh perusahaan besar itu terlalu
sulit untuk dipenuhi. Masalah ISO, masalah
peralatan atau ruangan yang ukurannya
tertentu, belum lagi posisi usaha yang ada di
gang-gang, tidak dapat memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh perusahaan besar.
Sekalipun demikian, sebenarnya kalau soal mutu
atau kualitas produk, UMKM di Sentra Industri
Logam Ngingas ini tidak kalah. Asalkan ada
cetakannya, mereka bisa membuat persis
seperti yang diinginkan. (T, pengusaha)
Tampaknya memang tidak mudah untuk
mengaitkan UMKM dengan usaha berskala
besar. Faktor jarak yang ditetapkan oleh ASTRA
misalnya, tentu dapat dipahami sebagai upaya
untuk menjaga efisiensi. Apalagi sudah jelas
bahwa infrastruktur transportasi di Indonesia
(bahkan di Jawa sekalipun) masih sangat buruk.
Jarak yang terlalu jauh antara UMKM (sebagai
pemasok) dengan perusahaan besar akan
penerima produk UMKM, dalam kondisi
infrastruktur
yang
buruk,
berpotensi
meningkatkan biaya produksi. Hal ini tentu
sangat dihindari oleh perusahaan seperti ASTRA.
Sementara itu, standard mutu produk pasti juga
menjadi perhatian/ kepentingan perusahaan
besar sekelas ASTRA. Sebagaimana uraian
sebelumnya, perusahaan-perusahaan UMKM di
Sentra
Industri
Ngingas
banyak
yang
menggunakan bahan baku dari dalam Desa
Ngingas berupa besi afalan (bekas) atau sisa
yang kualitas bahan dan ukurannya memang
tidak dapat memenuhi standard perusahaan
sekelas ASTRA.
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 2 SAPPK V3N3 | 697

Mendorong Peran Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Inovasi dan Keterkaitan Antar Aktor di Sentra Industri Logam Ngingas

Analisis
Dari seluruh uraian di atas, tampak bahwa
UMKM perlu dibantu untuk membangun
keterkitan (linkage), baik dengan pengusaha
besar maupun dengan Universitas. Argumen
pemikirannya sebagai berikut:
Selama ini, UMKM berusaha sendiri untuk
melakukan inovasi dan membangun keterkaitan
dengan
pengusaha
besar.
Pengalaman
membuktikan bahwa pengusaha UMKM yang
menjadi subkontrak dari pengusaha besar akan
mendapatkan keuntungan karena adanya
pesanan yang berkelanjutan; tetapi di sisi lain
pengusaha UMKM kesulitan untuk mengikuti
standard yang ditetapkan oleh pengusaha besar.
Di sinilah perlunya universitas/lembaga riset/
lembaga pengembangan bisnis mengambil
peran.

Peran Universitas
Sebagaimana temuan penelitian ini, pengusaha
UMKM telah melakukan berbagai inovasi untuk
mengembangkan
produk
dan
teknologi.
Sekalipun demikian, produk dan teknologi yang
dikembangkan
belum mampu memenuhi
kebutuhan pasar. Faktor yang dapat diduga
menjadi penyebab kegagalan ini adalah,
pengusaha UMKM tidak dapat focus dalam
melakukan riset untuk pengembangan produk/
teknologi karena pada saat yang sama harus
berproduksi. Kekurangan ini dapat diisi oleh
universitas, yang dapat berfokus pada riset. Bila
universitas dapat mengambil peran ini, maka
pengusaha dapat focus berproduksi dan pada
saat yang sama telah terbangun keterkaitan
antara pengusaha UMKM dengan pengusaha
besar dan pengusaha besar dengan Universitas.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Dr. Tubagus
Furqon Sofhani selaku pembimbing, atas
bimbingannya dalam menyusun penelitian ini.
Daftar Pustaka
Barkley, David L. dan Mark S. Henry. (2001).

Advantage and Disadvantage of Targeting


698 | Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B SAPPK V3N3

Industry Clusters. South Carolina: Clemson


University.
Creswell, J.W.

(2008). Research Design:


Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. California: Sage Publications, Inc.
Irawati, Dessy. (2007). Strengthening Cluster
Building in Developing Country alongside the
Triple Helix: Challenge for Indonesia Clusters
A Case Study of the Java Region. UK:

Business School Newcastle University


JICA. 2002. Model Penguatan UKM melalui
Pendekatan Klaster, dalam Widodo dkk,
Peningkatan Daya Saing UKM Melalui
Pendekatan
Klaster
Industri:
Prosiding
Seminar Nasional, Surabaya: BPPT
Miura, Takatoshi. (2013). Financial Policy for
SMEs in Japan. Tokyo: Director of Finance
Division Small and Medium Enterprise Agency,
METI, Government of Japan.
Porter, Michael E. (1998). Clusters and the New
Economics of Competition. Harvard Business
Review, November-Desember 1998.
Rogers, Everett M. (2003). Diffusion of
Innovation (5th edition). New York: The Free
Press.
Tambunan, Tulus. (2008). Development of Rural
Manufacturing SME Clusters ini A Developing
Country: The Indonesian Case. Dalam Jurnal
of Rural Development 31(2): 123 - 246
Tsuji, Masatsugu dan Shoichi Miayahara. (2008).
Agglomeration and Local Inovation Network in
Japanese SMEs: Analysis of the Information
Linkage. Dalam Kuchiki, A.dan M. Tsuji (eds)
(2008). The Formation of Industrial Cluster in
Asia and Regional Intergration. Chiba, Japan:
IDE-JETRO
Witjaksono, Mit. (2010). Modal Sosial Dalam
Dinamika Perkembangan Sentra Industri
Logam Waru Sidoarjo. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Vol 11, Nomor 2, Desember
2010, halaman 266 291

Anda mungkin juga menyukai