Anda di halaman 1dari 12

CARL ROGERS

Teori
Teori Rogers sangat bersifat klinis, karena didasarkan pada pengalaman bertahuntahun bagaimana seharusnya seseorang terapis menghadapi kliennya. Di titik ini,
teorinya sangat mirip dengan teoretikus-teoretikus seperti Freud, Anna Freud, dan
lain sebagainya. Kesamaan dengan Freud juga terletak pada kekayaan dan kedalaman
teori yang dia tawarkan, dipikirkan dengan matang, dengan logika yang sangat ketat
dan dengan cangkupan yang sangat luas.
Akan tetapi Rogers berbeda dari Freud karena dia menganggap manusia pada
hakikatnya baik atau sehat, tidak jahat atau sakit. Dengan kata lain, dia memandang
kesehatan mental sebagai proses perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit
jiwa, kejahatan dan persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya, sebagai penyimpangan
dari kecenderungan alam. Perbedaan lainnya adalah teorinya relative lebih sederhana
ketimbang teori Freud.
Perbedaan terakhir ini terjadi karena teori Rogers lebih elegan. Bangunan teorinya di
dasarkan pada satu daya hidup yang dia sebut kecenderungan aktualisasi. Ini dapat
diartikan sebagai motivasi yang menyatu pada setiap diri mahluk hidup yang
bertujuan mengembangkan seluruh potensi-potensinya sebaik mungkin. Di sini kita
bukan hanya bicara tentang bagaimana bertahan hidup. Rogers yakin bahwa seluruh
mahluk pasti ingin berbuat atau memperoleh yang terbaik keberadaannya. Jika
mereka gagal memperolehnya, bukan berarti mereka tidak memiliki hasrat.
Dari dorongan tunggal inilah Rogers menurunkan keinginan atau dorongan-dorongan
yang dibicrakan para teoretikus kepribadian lain. Dia bertanya kenapa kita
memerlukan udara, air, dan makanan? Kenapa kita selalu berusaha mendapatkan rasa
aman, cinta, dan perasaan mampu? Kenapa kita berusaha menemukan obat-obatan
baru, menemukan sumber-sumber energi baru atau menciptakan karya seni yang
baru? Menurutnya, karena itu semua adalah keinginan dan usaha itu merupakan

hakikat alamiah kita sebagai mahluk hidup untuk mengusahakan yang terbaik untuk
diri kita.
Di sini, kita harus ingat bahwa Rogers memakai istilah tersebut untuk setiap jenis
mahluk, berbeda dengan Maslow yang hanya memakai istilah tersebut untuk mahluk
hidup saja. Di antara contoh-contoh yang dia kemukakan adalah karang yang tumbuh
di dasar laut dan jamur. Tidakkah menakjubkan rumput liar dapat tumbuh di pinggir
jalan, atau lumut yang bisa menembus dinding tembok, atau binatang tertentu yang
bisa hidup di tengah gurun atau kutub utara?
Rogers juga menerapkan gagasannya ini ke dalam sebuah ekosistem dengan
mengatakan bahwa ekosistem tertentu, seperti hutan dengan aneka ragam isinya,
memiliki potensi aktualisasi yang lebih besar ketimbang ekosistem yang lebih
sederhana, seperti lading jagung atau sepetak tanah. Jika seekor serangga tidak dapat
hidup di hutan, maka pasti ada mahluk lain yang mampu beradaptasi dengan kondisi
hutan tersebut. Sebaliknya, jika jagung yang ada di sebuah lading terserang hama
mematikan atau kemarau panjang, yang tersisa kemudian hanyalah tanah kering
berdebu. Hal yang sama juga terjadi pada diri kita masing-masing, jika kita hidup
sebagaimana layaknya, kepribadian kita akan berkembang sedemikian rupa, seperti
layaknya hutan tadi, dan mampu fleksibel dalam menghadap berbagai macam
tantangan hidup.
Karena

itulah

manusia

menciptakan

masyarakat

dan

kebudayaan

guna

mengaktulisasikan potensi-potensi yang mereka miliki. Di dalam dan demi diri


sendiri, masyarakat tidaklah menjadi persoalan bagi diri kita pribadi. Setiap orang
pada hakikatnya adalah mahluk social. Akan tetapi, ketika kita menciptakan
kebudayaan, dia berkembang dan memiliki kehidupan sendiri. Kebudayaan tidak
akan selalu selaras dengan aspek alamiah manusia, bahkan di dalam dirinya,
kebudayaan dapat saja berlawanan dengan kecenderungan alamiah kita. Jika dalam
pembenturan kebudayaan yang menghalangi aktualisasi diri kita dapat dimusnahkan,
kita pun dengan sendirinya juga akan ikut punah bersamanya.

Hal ini hendaknya jangan disalah pahami, secara intrinsik, kebudayaan dan
masyarakat tidaklah jahat dan negative. keberadaannya bagaikan bulu-bulu indah dari
burung-burung yang ditemukan di Papua New Guinea dan Irian. Bulu-bulu indah
yang dimiliki burung jantan dapat mengalihkan perhatian binatang buas dari burung
betina dan anak-anaknya. Seleksi alam telah mengarahkan burung-burung ini untuk
semakin memperbaiki dan memperbaharui bentuk bulunya, hingga dalam
perkembangannya ada burung yang justru tidak lagi dapat terbang. Sampai di sini,
warna-warna yang menarik perhatian tidak lagi dapat melindungi spesies mereka.
Inilah yang menyebabkan kita selalu menggali dan memperbaharui masyarakat,
kebudayaan dan teknologi, karena itu semua dapat membantu kita bertahan dan
berkembang biak, walaupun pada saat yang sama juga bisa menghancurkan kita.
Rincian Teori
Rogers memandang bahwa setiap mahluk hidup tahu apa yang terbaik baginya.
Evolusi telah melengkapi kita dengan pancaindera, selera dan kemampuan untuk
memilih apa yang kita butuhkan. Saat kita lapar, kita akan mencari makanan, bukan
sembarang makanan, tapi makanan yang rasanya enak. Makanan yang rasanya tidak
enak biasanya membawa penyakit. Sedangkan apa yang enak dan apa yang tidak enak
telah ditunjukkan dengan baik oleh proses evolusi kita. Inilah yang disebut Rogers
dengan proses penilaian Organismik.
Di antara berbagai hal yang kita nilai berdasarkan insting adalah perhatian positif.
Yang dimaksud rogers dengan istilah ini adalah perasaan-perasaan seperti cinta,
senang, atensi, kepedulian, dan lain sebagainya. Bayi misalnya, tentu sangat
memerlukan cinta dan perhatian.
Hal ini yang kita kenali secara instingtif, dan ini hanya dimiliki manusia, adalah
perasaan positif terhadap diri sendiri. Yaitu kehormatan, rasa bangga, citraan yang
baik pada diri sendiri, dan lain sebagainya. Kita memperoleh perhatian positif
terhadap diri sendiri ini dengan merasakan perhatian positif yang diberikan orang lain
kepada kita selama masa-masa pertumbuhan. Tanpa adanya perhatian terhadp diri

sendiri ini, kita akan merasa kecil, tak berdaya dan tak berguna, dan sekali lagi kita
akan gagal menjadi apa yang seharusnya.
Sama seperti Maslow, Rogers percaya jika dibirkan hidup di habitatnya, binatang
pasti akan memakan dan meminum apa yang baik menurutnya dan dan dalam
proporsi yang seimbang. Bayi juga begitu, dia menginginkan dan menyukai apa yang
mereka butuhkan. Akan tetapi, kadang kita harus pula menciptakan lingkungan yang
berbeda dari apa yang kita tinggali selama ini. Di lingkungan baru ini berbagai bahan
makanan, seperti gula, tepung, mentega, cokelat, dan lain-lain tidak dikenal oleh
nenek moyang kita dulu. Bahan-bahan makanan ini memiliki rasa yang sesuai dengan
penilaian organismik kita, akan tetapi tidak bisa dijadikan sebagai lat aktualisasi kita.
Selama ribuan tahun, manusia mungkin terbiasa dan puas dengan rasa kol ketimbang
potongan keju, akan tetapi masa itu sudah terlalu jauh bagi kita saat ini.
Masyarakat juga mengajarkan pada kita untuk selalu berada dalam syarat-syarat
yang diperlukan. Dalam masa pertumbuhan, orangtua, guru, teman, dan lain-lain
hanya mau mengabulkan keinginan kita jika kita mampu menunjukkan bahwa kita
baik

dan

patuh.

Mereka

memberikannya

bukan

karena

kita

memang

memerlukannya. Kita baru boleh minum es jika kita sudah selesai mengerjakan PR.
Kita boleh makan permen atau cokelat setelah buah-buah selesai kita makan. Dan
yang paling penting sekali, kita akan memperoleh cinta dan kasih sayang jika kita
memperlihatkan rasa patuh.
Perhatian positif yang tertuju pada syarat-syarat ini disebut Rogers dengan
perhatian positif kondisional. Karena kita memang memerlukan perhatian positif,
maka syarat-syarat ini sangat penting dan kita selalu berusaha untuk terkait padanya,
bukan karena penilaian organismik atau kecenderungan aktualisasi yang ada dalam
diri kita, akan tetapi karena masyarakat, terlepas apakah kita memang memiliki
kepentingan terhadapnya atau tidak. Seorang anak yang patuh belum tentu seorang
anak yang bahagia atau memiliki kesehatan mental yang baik.

Seiring dengan pertambahan usia, syarat-syarat ini kemudian mengarahkan kita


pada perhatian positif terhadap syarat-syarat yang diinginkan diri sendiri. Kita
mulai menilai diri sendiri dengan memakai standar-standar yang diberikan orang lain
kepada kita, bukannya kita berusaha sekuat tenaga mengaktualisasikan potensipotensi yang kita miliki. Karena standar-standar ini dibuat tanpa mempertimbangkan
keanekaan diri individual, bahkan kita sering tidak pernah merasa sepakat dengan
standar-standar tersebut. Kita jadinya tidak mampu menegaskan rasa harga diri kita
secara pribadi.
Ketidaksebidangan (Incongruity)
Aspek keberadaan anda yang didasarkan pada kecenderungan aktualisasi, yang
mengikuti penilaian organismik, kebutuhan dan penerimaan akan pertimbangan
positif dan pertimbangan terhadap diri sendiri disebut Rogers dengan Diri Riil (Real
Self). Diri Riil ini adalah Anda sebagaimana adanya jika segala sesuatunya berjalan
dengan baik.
Di lain pihak, karena keinginan masyarakat, hal itu sering tidak selaras dengan
kecenderungan aktualisasi kita, dan didesak hidup dengan syarat-syarat kepatuhan
yang berada di luar penilaian organismik kita sendiri, serta hanya menerima
pertimbangan positif yang kondisional dan pertimbangan terhadap diri sendiri, maka
diri kita akan berkembang menjadi Diri Ideal (Ideal Self). Apa yang dimaksud Rogers
dengan ideal di sini adalah sesuatu yang tidak riil, sesuatu yang tidak akan pernah
dicapai, standar-standar yang tidak akan pernah kita penuhi.
Jurang yang memisahkan antara Diri Riil dengan Diri Ideal, antara Saya sebagai
adanya dengan Saya sebagaimana yang seharusnya disebut ketidaksebidangan.
Semakin lebar jarak antara keduanya, semakin besar pula ketidaksebidangan ini.
Semakin besar ketidaksebidangan ini, semakin besar pula tekanan dan penderitaan
yang dirasakan. Ketidaksebidangan inilah yang sesungguhnya disebut Rogers sebagai
Neurosis, yaitu ketidakselarasan dengan diri sendiri.

Pertahanan
Jika anda berada dalam situasi dimana terjadi ketidaksebidangan antara citra anda dan
pengalaman nyata anda tentang diri anda sendiri (Antara Diri Ideal dengan Diri Riil),
maka anda pada waktu itu sedang berada dalam situasi terancam. Sebagi contoh,
jika anda dididik untuk tidak merasa patuh seandaianya tidak memperoleh nilai A
dalam ujian, dan anda memang bukan siswa yang pintar, maka ujian atau segala
macam tes lainnya akan membawa ketidakebidangan itu ke permukaan, anda
akanmerasa ujian sangat menyiksa dan menakutkan.
Menjelang situasi yang mengancam itu, anda akan merasa cemas. Kecemasan adalah
tanda yang memberitahukan bahwa ada kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi dalam
situasi berikutnya, bahwa anda harus menghidari situasi tersebut. Salah satu cara
menghindarinya tentu saja melarikan diri sejauh mungkin. Namun masalahnya, cara
ini tidak bisa dilakukan dalam kehidupan nyata. Anda kemudian melarikan diri bukan
dengan tubuh kasar, akan tetapi secara psikologis dengan menggunakan pertahananpertahanan.
Gagasan Rogers tentang pertahanan sangat mirip dengan apa yang dikemukakan
Freud, hanya saja Rogers melihatnya berdasarkan persepsi. jadi, dia menganggap
memori dan rangsangan-rangsangan kenangan sebagai persepsi. dia hanya
mengemukakan dua macam cara bertahan, yaitu pengingkaran dan distorsi perseptual.
Pengingkaran di sini hampir sama dengan pengingkaran dalam sistem Freudian.
Anda memblokir situasi yang mengancam secara bersamaan. Contohnya adalah orang
yang tidak pernah mau mengikuti ujian atau tidak pernah memberitahukan nilai yang
diperolehnya. Dengan cara ini, dia tidak perlu mencemaskan nilai buruk (setidaknya
untuk sementara). Pengingkaran menurut Rogers ini juga mencangkup apa yang
disebut Freud dengan represi. Jika anda berusaha menyingkirkan kenangan buruk
atau rangsangan yang akan memancing kenangan itu muncul dari kesadaran anda
(anda menolak untuk mengingatnya), berarti anda sedang berusaha menghindari
situasi yang mengancam.

Sementara Distorsi Perseptual adalah penafsiran kembali sebuah situasi sedemikian


rupa sehingga tidak lagi dirasakan terlalu mengancam. Ini mirip dengan apa yang
disebut Freud sebagai Rasionalisasi. Seorang siswa yang merasa terancam oleh ujian
dan nilainya mungkin, misalnya, akan menuduh cara mengajar gurunya sangat jelek,
memberikan soal-soal yang tidak sesuai, sikapnya yang buruk, dan lain sebagainya.
Cara mengajar yang buruk, soal-soal yang tidak sesuai, dan sikapnya yang buruk
hanya akan membuat pendistorsian ini bekerja dengan baik. Jika memang ini jadi
sebab, wajar saja jika nilai yang diperoleh buruk. Distorsi perseptual ini juga sangat
bersifat perseptual. Contohnya, ketika seseorang salah membaca nilai ujiannya dan
yakin telah memperoleh nilai yang lebih baik.
Bagi orang yang mengalami neurotik ringan (sebagian kita memang mengalaminya
dalam kehidupan sehari-hari), setiap kali menggunakan mekanisme pertahanan, dia
semakin memperlebar jurang yang memisahkan antara Diri Riil dengan Diri Ideal.
Mereka akan mengalami ketidaksebidangan yang lebih luas, dan merasa semakin
terancam. Kecemasan pun terasa semakin menjadi-jadi dan akhirnya akan melakukan
berbagai macam cara bertahan. Akhirnya dia tidak akan mampu keluar dari lingkaran
setan ini.
Rogers juga menjelaskan Psikosis. Psikosis terjadi ketika pertahanan yang dilakukan
seseorang runtuh dan merasa dirinya hancur berkeping-keping. Akibatnya,
perilakunya menghadapi persoalan ini menjadi tidak konsisten. Kita menyebutnya
dengan Keterpecahan Psikotik, periode di mana orang berprilaku aneh-aneh. Katakata yang keluar dari mulutnya tidak nyambung. Emosinya sering tidak tertata. Dia
juga tidak mampu membedakan antara diri dengan yang bukan diri, dan menjadi tidak
punya arah dan pasif.

Kepribadian yang Berfungsi Baik


Seperti halnya Maslow, Rogers juga tertarik menjelaskan seperti apakah pribadi yang
sehat itu. Istilah yang dipakai adalah kepribadian yang berfungsi baik, yang
mencangkup kualitas-kualitas berikut ini:
1. Terbuka terhadap pengalaman. Kualitas ini adalah kebalikan dari sikap bertahan.
Orang yang memiliki kualitas ini memiliki persepsi yang akurat tentang
pengalamannya tentang dunia, termasuk perasaannya sendiri. Perasaan merupakan
bagian terpenting dari keterbukaan karena akan menunjukkan penilaian organismik.
Jika anda tidak bisa terbuka terhadap perasaan sendiri, anda pun tidak akan bisa
membuka diri untuk aktualisasi. Tentu bagian tersulit di sini adalah membedakan
perasan riil dari kecemasan-kecemasan yang disebabkan oleh syarat-syarat
kepatuhan.
2. Kehidupan eksistensial. Yaitu kehidupan di sini dan sekarang. Rogers, yang sangat
ingin menyatu dengan realitas, menegaskan bahwa kita tidak hidup di masa lalu atau
masa yang akan datang, yang pertama telah berlalu, sementara yang kedua belum
terjadi. Masa sekarang adalah satu-satunya realitas yang kita miliki. Ini bukan berarti
kita tidak seharusnya mengenang atau belajar dari masa lalu. Bukan pula berarti kita
tidak bisa merencanakan atau bahkan berangan-angan tentang masa yang akan
datang. Di sini yang dimaksud Rogers adalah kita seharusnya memandang sesuatu
sebagaimana adanya, kenangan dan angan-angan adalah sesuatu yang kita alami di
sini dan sekarang.
3. Keyakianan organismik. Kita harus membiarkan diri kita dituntun oleh proses
penilaian organismik. Kita harus yakin pada diri sendiri, malukan apa yang menurut
kita benar, wajar dan alamiah. Saya yakin anda sepakat dengan saya bahwa inilah
poin teori Rogers mengundang perdebatan. Memang orang mengatakan, lakukanlah
apa yang menurutmu wajar dan alamiah, jika anda seorang yang sadis, maka sakitilah
orang yang lain, jika anda seorang yang masokis, maka sakitilah diri sendiri, jika
narkoba dapat membuat anda senang, maka pakailah; jika anda sedang depresi, maka
bunuhlah diri anda. Tentu saja ini bukan nasihat yang baik. Kejadian di era 60-an dan
70-an adalah dampak buruk dari sikap seperti ini. Tapi anda harus ingat bahwa yang

menurut Rogers harus dipercayai adalah diri anda yang sebenarnya, dan anda hanya
bisa mengenali apa yang dikatakan diri anda yang sebenarnya jika anda bisa terbuka
dengan pengalaman dan hidup secara eksistensial. Dengan kata lain, keyakinan
organismik mengendalikan adanya keterkaitan anda dengan kecenderungan
aktualisasi.
4. Kebebasan eksistensial. Rogers menganggap persoalan apakah manusia bebas atau
tidak sebagai sesuatu yang tidak relevan. Kita merasa memiliki kebebasan seolaholah kita benar-benar memilikinya. Ini bukan pula berarti kita bebas melakukan
apapun. Kita dikelilingi oleh alam semesta yang membatasi. Saya tidak akan bisa
terbang seperti superman walau telah mengepakkan tangan secepat mungkin. Artinya,
kita hanya bisa merasa bebas jika ada pilihan yang ditawarkan pada kita. Rogers
mengatakan bahwa hanya orang yang kepribadiannya berfungsi dengan baiklah yang
dapat merasakan kebebasan dan bertanggung jawab atas apa yang jadi pilihannya.
5. Kreativitas. Jika anda merasa bebas dan bertanggung jawab, anda baru bisa bertindak
menurut kewajaran dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan. Orang yang
kepribadiannya berfungsi baik, selalu terikat dengan aktualisasi, dengan sendirinya
merasa bertanggung jawab untuk ikut serta dalam aktualisasi orang lain, termaksuk
kehidupan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan atau seni,
melalui kepedulian sosial atau tugas sebagai orangtua, bahkan hanya dengan
melakukan yang terbaik sesuai dengan kemampuannya. Kreativitas yang dimaksud
Rogers di sini sangat mirip dengan apa yang disebut Erikson dengan generativitas.

Terapi
Carl Rogers terkenal dengan kostribusinya terhadap metode terapi. Terapi yang dia
praktikkan memiliki dua nama yang sama-sama dia pakai. Awalnya dia menyebut

metodenya dengan non-direktif, sebab dia berpendapat seorang terapis tidak


seharusnya

tidak

mengarahkan

kliennya,

akan

tetapi

membebaskan

klien

mengarahkan sendiri kemana terapi akan berujung. Semakin banyak pengalaman


yang dia peroleh selama terapi, seorang terapis akan semakin menyadari bahwa dia
masih tetap memiliki pengaruh pada kliennya justru karena dia sama sekali tidak
mengarahkannya.

Dengan

kata

lain,

klien

harus

melihat

terapis

sebagai

pembimbingnya, dan tetap akan merasakan hal ini walaupun si terapis tidak berusaha
membimbing dan mengarahkannya.
Kemuadian Rogers mengganti istilah ini dengan metode yang terpusat pada klien.
Dia tetap menganggap klienlah yang seharusnya menyatakan apa yang salah pada
dirinya, berusaha memperbaikinya sendiri, dan menentukan kesimpulan apa yang
dihasilkan proses terapi, terapi ini akan tetap terpusat pada klien meskipun dia
menyadari betul pengaruh terapis terhadap dirinya. Sayangnya, sebagian besar terapis
merasa istilah ini mempermalukan profesi mereka: Bukankah para terapis itu
terpusat pada klien?
Saat ini, walaupun istilah non-direktif dan terpusat pada klien ini masih digunakan,
akan tetapi orang lebih sering menyebutnya dengan istilah terapi Rogerian. Salah
satu ungkapan yang dipakai Rogers dalam menggambarkan bagaimana cara kerja
metode terapinya ini adalah Berusahalah mendorong dan mendukung, jangan
mencoba merekonstruksi, dan dia juga mencontohkan dengan proses belajar
mengendarai sepeda. Ketika anda membantu anak anda belajar mengendarai sepeda,
anda tidak cukup mengajarinya hanya dengan memberitahunya cara-cara cepat
mengendarai sepeda. Mereka harus mencobanya langsung dan anda pun tidak akan
bisa terus-menerus memeganginya. Lalu datanglah saat dimana anda tidak perlu lagi
memeganginya. Jika anak belum tahu caranya, dia mungkin akan jatuh dan
mencobanya lagi. Akan tetapi jika anda pegangi terus, karena takut ia akan terluka,
dia tidak akan pernah belajar bagaimana mengendarai sepedah.

Hal yang sama juga berlaku dalam terapi. Jika ketidaktergantungan (otonomi,
kebebasan yang bertanggung jawab) yang ingin anda tumbuhkan dalam diri klien
anda, mereka tidak akan memperolehnya jika mereka tetap bergantung pada anda
sebagai terapis. Mereka perlu mencoba mewujudkan pendapat dan keinginan mereka
sendiri di dalam kehidupan nyata di luar ruang terapi. Pendekatan terapi yang otoriter
awalnya memang kelihatan sangat ampuh, tapi metode ini hanya menghasilkan
pribadi-pribadi yang tergantung pada orang lain.
Satu-satunya teknik yang dikemukakan Rogers untuk menjalankan metode tersebut
adalah Refleksi. Refleksi adalah pemantulan komunikasi perasaan. Jika klien berkata
saya merasa tidak berguna, maka si terapis bisa memantulkan hal ini kembali pada
klien dengan berkata kalau begitu hidup telah mengecewakanmu? Dengan cara ini,
si terapis sesungguhnya menunjukkan pada kliennya bahwa dia mendengarkan
dengan sungguh-sungguh dan berusaha memahami peasaan si klien.
Seorang terapis yang baik juga harus membiarkan kliennya mengetahui apa yang
sesungguhnya yang dia utarakan. Orang yang mengalami tekanan sering
mengucapkan sesuatu yang bukan maksudnya. Dia mengatakan hanya karena dia
merasa lebih baik jika dikatakan saja. Misalnya, seorang wanita pernah mendatangi
saya dan langsung berkata saya benci laki-laki lalu saya merefleksikan
(memantulkan kembali) apa yang dia katakan ini dengan berwujud anda benci lakilaki? ternyata kemudian dia menjawab ya, tapi nanti dulu sebenarnya tidak juga,
karena ayah dan saudara laki-laki saya masih kucintai. Bahkan walaupun orangorang ini dia benci, namun kadar kebenciannya tidak tidak sebesar rasa bencinya
terhadap laki-laki lain. Pada akhirnya, dia pun menyadari bahwa dia sebenarnya tidak
percaya pada sebagian laki-laki dan hanya takut kalau-kalau dikecewakan lagi oleh
laki-laki sebagaimana dia pernah dikecewakan oleh laki-laki yang dia kenal
sebelumnya.
Namun begitu, teknik refleksi ini harus digunakan hati-hati. Kebanyakan terapis
pemula menggunakannya tanpa menggunakan pertimbangan pikiran atau perasaan.

Lalu mereka mengira kliennya tidak pernah bisa paham dan akhirnya refleksi ini
hanya akan melahirkan stereotype terapi Rogerian, sepertinya halnya seks dan ibu
yang jadi stereotype dalam terapi Freudian. Refleksi hendaknya benar-benar datang
dari dalam hati, dia harus murni dan kongruen.
Inilah yang akan membawa kita pada syarat-syarat seorang terapis menurut Rogers.
Menurut Rogers, agar seseorang dapat menjadi terapis yang efektif, setidaknya dia
harus memiliki tiga kualitas khusus:
1. Kongruen : kejujuran dan ketulusan dengan klien.
2. Empati
: kemampuan merasakan apa yang dirasakan klien.
3. Respek : menerima klien apa adanya dan memberikan perhatian positif tak
bersyarat kepadanya.
Rogers menganggap katiganya adalah syarat mutlak dan sudah lebih dari cukup.
Seandainya seorang terapis sudah memperlihatkan tiga kemampuan ini, kliennya
akan berubah, walau tidak ada teknik khusus yang dia gunakan. Sebaliknya, jika
terapis tidak memiliki ketiga kemampuan ini, perubahan yang akan dicapai kliennya
sangat minim, tidak peduli berapa banyak teknik yang dia terapkan.
Memang apa yang ditawarkan Rogers tidak banyak, tapi dia sangat menekankan agar
tiga kemampuan tadi dipakai dalam terapi. Dengan kata lain, ketika seorang terapis
meninggalkan ruangan, dia tetaplah manusia sebagaimana orang lain.

Anda mungkin juga menyukai