Anda di halaman 1dari 3

Bangkai Monyet (Lisipo)

Sekarang, dia telah berumur 20 tahun. Sepertinya saat ini, sikapnya lebih dewasa dibanding dahulu.
Lima belas tahun lalu, sikapnya masih sangat kekanak-kanakan, mungkin begitulah yang disebut
kewajaran. Di usianya yang ke-lima, tubuhnya sangat mungil, lucu dan menggemaskan. Apalagi,
tingkahnya yang unik membuatku ingin mencubitinya, namun tidak. Tidak karena mungkin ia akan
tersakiti oleh cubitanku. Cubitanku memang dikenal sangat keras. Pernah suatu ketika, aku mencubit
kawanku yang mencubit hatiku, “Sialan lo Gus, salah saya jika saya mengataimu setan?” kata
kawanku.
Terlihat, lengan kanannya lebam. Sambil mengusap-usap lengannya, ia terus berbicara yang jelek
mengenaiku, mengenai pekerjaanku. Sepertinya, ia tak mengerti apa yang dia katakan, betapa beratnya
menjadi Lisipo, “Jelas kamu salah Wan!” ujarku keras, sambil menenggak segelas es kelapa yang
segar. Sesekali, ku menelan ludah, saat ini, mengenang waktu itu. Sambil duduk di kursi, ku menulis
surat buat kesayanganku tercinta, yang berusia dua dasawarsa saat ini.
“Lalu, yang benar bagaimana Gus?” kilah Wandy.
“Tidak ada yang benar, tidak salah perkataanmu.” kataku.
“Lalu, kenapa kau menyanggahku?” tanya Wandy, ketika berdiri membayar dua gelas es kelapa.
“Mereka hanya oknum nakal, yang tega menjual kelisipoannya untuk harga yang murah!” tegasku.
Karena sangat jengkel dengan perkataannya barusan, aku tak mau terima dibayari minuman olehnya.
“Ini uangmu aku kembalikan,” kataku.
Wandy hanya tertawa menimpalinya. Tertawaannya seakan-akan memanaskan tubuh dan hatiku, dan
menambah teriknya siang itu.
“Anda penjaga peraturan, tapi melanggar aturan sendiri,” teriaknya kepadaku, kemudian orang-orang
tertuju kaku memandang kami.
Seorang Lisipo sepertiku telah dihina oleh tukang sapu itu. Namun, hanya cubitan yang bisa aku
berikan, tidak mungkin senapan. Karena, jika aku berikan, kurungan yang berada dikurunganku akan
aku singgahi. Dengan perasaan dongkol, lapisan kaca beningku memandang rambu dilarang parkir,
yang berada diatas kepalaku. Diiringi tertawaan tukang sapu itu, aku meninggalkan tenda kaki lima
dengan mobil dinasku.
Saat ini, aku menjadi sangat kesal. Mengapa hal itu sampai terbesit di pikiranku lagi. Hal itu adalah
rasa maluku. Aku malu, ketika seorang Lisipo yang dipersenjatai wewenang dan senapan untuk
mengayom rakyat, menjadi lebih terhina dari sampah yang masih bisa didaur ulang, apalagi jika
dibandingakan temanku, Wandy. Meski ia hanya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan
kemudian menjadi tukang sapu jalanan, senjatanya amat ampuh dalam hal menjaga kepentingan rakyat.
Dan, prinsip hidupnya yang sederhanalah yang tidak aku miliki saat ini. Aku jadi teringat lagi pada
bidadariku yang telah berkepala dua saat ini. Sempat waktu dulu, ku lihat matanya berkata padaku,
“Jadilah Lisipo yang baik di kota.” Namun sayang, aku belum sempat melakukannya.
Mungkin saat ini ia kecewa, apabila saat ini ia melihat keadaanku di kota. Aku saat ini hampa, kaku,
dan tak mampu. Aku tak mampu merubah diriku yang seakan-akan mulia di tengah masyarakat,
dihargai, dan memiliki arti. Meski aku bisa menolong beberapa kawan dari kawanku untuk menjadi
Lisipo, namun bantuanku rasanya tak bisa kubanggakan.
“Gus, kamu bisa mengatur agar kawanku menjadi Lisipo?” katanya perlahan di dekat kupingku.
“Berapapun uang akan kuberikan, mau berapa?”
Di pelataran taman rumahnya yang megah, Rike menawarkanku untuk menjual seragam kehormatan
lembagaku.
“Aku tahu, Lisipo bisa diajak berdamai dan bekerja sama,” ujarnya, sambil memandang mataku yakin.
Bibirku menjadi kelu meratapi pembicaraan itu.
“Apakah kamu yakin, harta yang kamu miliki akan menjadikan kawanmu Lisipo?” tanyaku apriori.
“Kamu tidak mengerti apa yang kamu bicarakan saat ini!” tambahku.
“Ah, sudahlah, kamu jangan salah tingkah seperti itu, mana mungkin Lisipo tak membutuhkan uang?”
katanya lebih apriori.
Aku tak habis pikir, bagaimana rumah yang megah ini, hanya diisi oleh kerakusan dan ketamakan.
Mungkin, kimono yang sedang ia kenakan saat ini, lebih murahan dari dirinya yang bekerja sebagai
pelacur kota.
Di kamar kosku, ku terus merenung, memikirkan hal itu, memikirkan awal-awal karirku sebagai
Lisipo. Sesekali, ku hirup kopi panas di dalam udara dingin yang menggigit tulangku. Di sini, di
kamarku sempit dan berlampu redup, ku tetap duduk di hadapan jendela kos, sambil memandang
purnama. Purnama yang seakan berbentuk wajahnya, yang tersisa untuk kucintai.
Lalu, dengan berat hati, ku berikan kepada Rike beberapa nomor telepon genggam atasanku. Beberapa
bulan kemudian, ku lihat teman pelacur kota itu memakai seragam kebesaran coklat-coklat. Jika ku
pikir, bagaimana ia bisa memasuki Runata, apabila badannya seperti itu, kurus. Bahkan, ia merupakan
pecandu alkohol terhebat yang pernah ku kenal, meski tidak terlalu dekat.
Padahal, betapa beratnya perjuanganku menjadi Lisipo. Sedari kecil ku oleh Ayahku, aku ditanamkan
nilai-nilai cinta tanah air, mencintai kelisipoan, membuat kerangka berpikirku berorientasi terhadap
kebanggaan menjadi Lisipo. Dan, upaya orang yang gagal menjadi Lisipo itu berhasil.
Kemudian, aku sangat ingin menjadi Lisipo. Di usia yang masih sangat belia, Sekolah Dasar, aku
dibiasakan oleh ayahku untuk berlari. Kebiasaanku dulu adalah lari mengitari Pos Lisipo yang ada di
kampungku. Berangkat sekolah, dengan menjinjing tas, gelap fajar ku susuri.
“Satu, dua, satu dua,” kataku, sambil berlari, layaknya tawaf di halaman Kakbah.
Lisipo belum terlihat waktu itu, namun ku bermimpi bisa menjadi Lisipo yang baik bagi masyarakat,
dan memasuki kantor itu dengan kerendahan hati.
Tak terasa, betis-betisku lama-kelamaan membesar, begitu juga tekadku.
“Pagi ini ku harus berlari, kemudian ku sambangi kantor Lisipo, untuk mengetahui syarat-syarat apa
saja yang dibutuhkan untuk menjadi sahabat rakyat itu,” kataku dalam hati, sambil memakai seragam
putih abu-abu.
Ternyata, persyaratan menjadi Runata Lisipo lumayan berat, harus memilki tubuh yang proporsional,
prestasi akademik yang harus mumpuni, kemampuan kepemimpinan yang baik.
“Ah, mudah-mudahan aku bisa!” tegasku, yang saat itu menjabat sebagai ketua Organisasi Sekolah.
Meskipun persyaratan itu cukup berat, dan hasutan-hasutan di sekitarku yang miring mengenai
kelisipoanku, aku tetap terus mengasah diri untuk lulus SMA, agar bisa menjadi Runata.
“Untuk apa kamu jadi Lisipo?” kata Ujang, teman sekelasku.
“Kamu tahu berita yang sedang hangat-hangatnya, berbagai kasus kekerasan oleh Lisipo terhadap
Mahasiswa yang berunjuk rasa?” lanjut pemuda yang kakaknya menjadi korban kekerasan itu.
“Kamu tidak tahu apa-apa,” jawabku singkat.
Angin seakan bertiup merambat lembut dikepalaku, membawa terbang pikiranku yang mengangkasa
saat ini.
“Apa jadinya diriku saat ini, jika aku tak bertekad bulat menjadi Lisipo?” ujarku pelan.
Aku memang sangat beruntung, aku dapat, membahagiakan kedua orang tuaku, terutama Ayahku. Ia
bercerita, tekadnya yang bulat tak mampu menjadikannya Lisipo, “Tubuh Ayah kecil, Nak,” ujarnya
lembut.
Perlahan, air mengucur dari mataku. Ku husap dia, terlihat wajah Ayah di bulir air mata yang
membekas ditelapak tanganku, ku lihat ia tersenyum. Tak bisa kusangkal kebanggaan Ayahku saat
mengetahui aku diterima menjadi Runata Lisipo. Ia berteriak-teriak, sangat keras, “Aku jadi Lisipo,
Lisipo, Lisipo, Lisipo di kota!”
Sambil ku tatap Ayahku, dengan sumpelan kotoran mata pagi-pagi buta, ku pakai pakaian untuk
menggapai impianku. “Ah!” aku menjadi malu. Menjadi malu, jika saat ini Ayah melihat kelisipoanku.
Apakah sama seperti yang Ayah doktrinkan kepadaku dulu.
“Lisipo itu mengayomi Nak,” ujarnya tersenyum.
Lalu, perkataan yang membuatku menjadi cinta lembaga itu adalah, “Nak, bagaimana ya, jika tidak ada
Lisipo di negara ini?”
“Pasti kehidupan akan berantakan,” jawabnya.
Meski ia yang bertanya, lalu ia sendiri yang menjawab, jawabannya membuatku terkagum-kagum,
“Lisipo menjaga kehidupan, layaknya Tuhan,” bersit dalam kepalaku, saat itu.
Namun, saat ini aku hanya bisa menjadi penyakit rakyat. Aku setiap hari menjadi korban system, aku
berdiri di tengah-tengah jalan raya, jika ada beberapa pengendara kendaran beroda dua tidak
menggunakan helm, aku berhentikan, lalu ku berujar,”Mau damai disini, atau ditilang?”
Padahal, aku tahu bahwa aku menjebaknya. Memang, kendaraan roda dua tidak boleh masuk ke jalur
cepat, karena jalur itu diperuntukkan untuk kendaraan beroda empat, kecuali angkutan umum. Namun,
apabila tidak boleh, mengapa saya menjaga pengendara motor di jalur yang jauh, bukan di bibir masuk
jalur cepat, agar pengendara tidak masuk jalur cepat? Sesuatu yang hingga kini menjadi bahan
tertawaanku.
Jika uang sudah terkumpul, lalu akan aku bagi-bagikan kepada atasanku, temanku dan setanku. Betapa
indahnya menggapai cita-cita memang, namun apa daya jika cita-cita itu menjadikanku terhina
ditengah rakyat?
“Berapa sih gaji pegawai, tak cukup buat makan keluarga,” doktrin kawanku, yang mengalahkan
doktrin Ayahku.
Kemudian aku tertahan oleh menungku. Seandainya aku tetap menjadi Ayahku, apakah aku tak seperti
ini, atau aku berada di liang kubur?
Kemudian, setiap hari aku melakukan kehebatan-kehebatan itu, bukan hanya jalan raya, aku mulai
memanipulasi pelaku kejahatan yang seharusnya tidak jahat.
“Kamu tidak mau mengakui?” sambil mengayunkan kepalku ke wajahnya, terus kupaksa ia untuk
berbohong. Dan juga kebaikan-kebaikan lain menurutku, seperti menjual barang bukti berupa
NARKOBA, ke beberapa agen, juga minuman keras.
“Ayah, maafkan aku,” ujarku dalam di dalam kesunyian malam.
Perkataan “setan” dari kawanku Wandy kembali terbersit.
“Apakah benar aku ini setan atau penyakit masyarakat?” tanyaku sendiri.
Tiba-tiba, segerombolan manusia berpakaian putih-putih menyergapku, “Gus, kamu jangan terus
berteriak setan, dan jangan kau terus meminum kencing ini,” teriaknya kepadaku.
“Nanti, nanti dulu, aku harus menyelesaikan surat ini buat sahabatku di rumah, dan kopiku jangan kau
buang,” bantahku.
Manusia itu lantas berkata, “Gus dengar, kedua orang tuamu di rumah telah tiada, dan tak ada orang di
rumahmu, sepi, tak berpenghuni. Jadi, tak ada yang kau kirimi surat.”
Aku terdiam sebentar, “Aku punya satu di rumah, makhluk itu kucintai dan menjadi peliharaanku yang
penurut.”
Mereka tetap saja memegang kedua tanganku, aku tak kuat untuk berontak.
“Sudahlah, itu moyetmu, yang kamu anggap sekarang berusia dua puluh tahun telah mati,” katanya.
“Apa?”
“Mengapa kau bisa tahu?” tanyaku.
“Setiap hari kau ceritakan itu kepada kami, kawan,” jawabnya getir.
“Tak mungkin ia mati, kenapa ia mati?” teriak-teriakku
“Karena ia frustasi, kedua orang tuanya dirampok lalu dibunuh oleh garong, lalu monyet frustasi,
kemudian menembaki seluruh kawannya, di kantornya.”
“Garong itu adalah pelaku yang kau lepaskan dulu, senjata makan tuan, kawan,” lanjutnya lebih getir.
Aku tak terima perkataannya, kemudian ruangan itu kujadikan bekas reruntuhan rumah yang habis
diledakkan oleh bom, bom kegilaanku. Aku patahkan seluruh sendi-sendi pecapaianku sendiri, aku tak
menyesal, yang aku sesali adalah mengapa keyakinan baik yang ditanam oleh Ayahku, kemudian
menjadi seperti bangkai monyet.
“Ah, Sudahlah sudah, jangan kau terus pikirkan,” ujar kedua manusia itu padaku.

Anda mungkin juga menyukai