Anda di halaman 1dari 2

SEBUAH RENUNGAN DARI TUHAN

Oleh : Mahardika Lintangsari


Sudah hampir dua jam tetapi ia masih duduk bersimpuh, tangannya menengadah, dan
dari matanya yang mungil itu telah keluar bepuluh-puluh ribu tetesan air mata. Gemelut hati
yang tengah berkecambuk itu sepertinya telah membuat pendengarannya tuli, pasalnya hujan
badai dan gemuruh petir yang tengah menerpa biliknya saat itu sama sekali tidak ia hiraukan.
Rupanya ia sedang merenungkan segala perbuatan yang telah ia lakukan kepada orang-orang
yang dikasihinya, terutama UMI.
Entah apa yang sedang terjadi pada dirinya sehingga ia tiba-tiba merenungkan hal itu,
yang jelas semenjak ia pergi merantau ke kota orang untuk melanjutkan pendidikannya ia
menjadi seseorang yang rapuh. Bagaimana tidak? Ia yang notabene adalah orang rumahan
kini harus rela mengorbankan waktu istirahatnya hanya sekedar untuk membeli makanan.
Tidak hanya itu, ia pun harus pandai-pandai untuk mengelola jatah bulanan yang diberikan
oleh UMInya.
Kerasnya dunia luar membuat dia merasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Dia
merasa bersalah karena saat ia masih tinggal bersama keluarganya banyak sekali waktu yang
ia buang sia-sia untuk pergi bersama teman-temannya, menonton televisi, ataupun sibuk
dengan laptopnya. Semua waktu ia pergunakan hanya untuk mengibur hatinya sendiri dan
untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia tidak menyadari bahwa keberadaannya di samping
kedua orang tuanya sangatlah dibutuhkan.
Kerut-kerut diwajah orang tuanya yang ia lihat sebelum ia berangkat menuju
perantauan membuatnya menyadari akan semua kesalahannya. Saat itu ia ingin sekali
memutar waktu agar ia bisa memperbaiki segala keegoisannya. Dia memang egois!
MEMANG EGOIS! Ia tidak pernah mempunyai waktu untuk keluarganya yang senantiasa
ada di sampingnya hingga waktu terus menerus memakan umur mereka.
Tangisnya kian meledak ketika ia teringat saat UMInya sedang ingin bercengkrama
dengannya, tetapi ia menolaknya karena urusan organsasi. Oh Tuhaannn ... dia sangat merasa
bersalah, jangankan mempunyai waktu untuk membantu UMInya mencuci pakaian, mencuci
piring, ataupun hal lain, mendengarkan cerita UMInyapun ia tidak memiliki waktu.

Iapun semakin terisak saat melihat barang-barang yang berada di dalam kamar kosnya.
Ia menjadi teringat akan dirinya yang senantiasa penuh tuntutan. Tuntutan yang apabila tidak
terpenuhi akan menyulut api amarahnya. Ia tidak tersadar bahwa tuntutan yang selalu ia
berikan membuat kedua orang tuanya harus memutar otak hingga 360 derajat. Ia hanya
mengetahui satu, jia ia ingin A ya harus ada A, jika tidak maka ia akan marah besar kepada
kedua orang tuanya.
Banyak hal yang dikorbankan oleh kedua orang tuanya, namun dulu semua itu terasa
tidak nampak olehnya. Ia juga merasa bersalah kepada ABI karena ditengah segala fasilitas
yang diberikan ABI, ia tidak bisa mewujudkan keinginan ABInya yang ingin melihatnya
menjadi dokter. Rasa malas belajar, dan keinginannya untuk terus bermain menutupi segala
keinginan dan harapan kedua orang tua yang sangat mengasihinya.
Dulu baginya ABI bak seorang monster karena keproktektifannya. Ia dulu merasa tidak
nyaman akan sikap ABInya itu. Ia merasa sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri.
Untuk itulah ia sering terlibat cekcok dengan ABInya yang sesungguhnya hanya
menginnginkan putri kecilnya aman dari jahatnya dunia di masa ini.
Namun kini ia telah merasakan betapa berharganya keberadaan mereka di dalam
kehidupannya. Rasa kehilangan sangat ia rasakan, karena ketika ia butuh seseorang untuk
berkeluh kesah tak ada satu orangpun yang dengan tulus mendengarkannya. Ketika ia
menginginkan suatu hal ia harus kubur dalam-dalam keinginannya itu karena ia harus
menghemat uang yang ia miliki sekarang. Ketika ia harus pulang malam karena ada rapat
organisasi ia harus berjalan pulang sendiri dengan perasaan was-was, serta banyak hal lainnya
yang ia rasakan di kota asing ini.
Di tengah kepiluannya meratapi segala kesalahan yang pernah ia lakukan kepada kedua
orang tuanya, di hatinya terselip sebuah api kecil yang siap meletup menjadi kobaran api
yang besar untuk membanggakan kedua orang tuanya. Dia berjanji akan berubah menjadi
seseorang yang lebih dewasa dan berjanji akan membawa kedua orang tua mereka naik ke
atas panggung untuk menyaksikan ia diwisuda dengan nilai cumlaude.

Anda mungkin juga menyukai