FRAKTUR MAKSILOFASIAL
Pembimbing:
Drg. Henry Setiawan, Sp. BM
Penyusun:
Wisnu Adiputra (07120080072)
Nofilia Citra Candra (07120090066)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Definisi
Trauma oromaksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada
jaringan lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar.
Cedera pada pada jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan
laserasi. Cedera dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur
pada gigi geligi yang dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak
gigi, dan avulsi. Sedangkan fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur
midface atau wajah bagian tengah, dan laserasi wajah (Hupp dkk, 2008).
Trauma oromaksilofasial merupakan cedera pada wajah atau rahang yang
disebabkan oleh tekanan fisik, adanya benda asing, gigitan binatang ataupun
manusia. Luka bakar yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalam
trauma maksilofasial, yang dapat disebabkan oleh karena benda panas, gesekan,
elektrik, radiasi, atau zat kimia (Mitchell, 2006).
Bentuk luka bermacam-macam tergantung penyebabnya, misalnya luka
sayat atau vulnus scisssum disebabkan oleh benda tajam,luka tusuk yang disebut
vulnus punctum akibat benda runcing, luka robek atau laserasi disebut vulnus
laceratum merupakan luka yang tepinya tidak rata atau compang-camping yang
disebabakan oleh benda yang permukaannya tidak rata, luka lecet akibat gesekan
yang disebut eskoriasi dan luka akibat panas dan zat kimia menyebabkan vulnus
kombusi (Syamsuhidajat & De Jong, 2003).
1.2.
Etiologi
Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma
formiat, pikrat, dan posfor dapat merusak hati dan ginjal kalau di absorbsi tubuh.
Lisol dapat menyebabkan methemoglobenemia (Syamsuhidajat & De Jong, 2003).
1.3.
Klasifikasi
Cedera
oromaksilofasial
diklasifikasikan
menjadi
tiga
klasifikasi
BAB II
ANATOMI MAKSILOFASIAL
posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unit-unit fungsi
pada oral, nasal dan orbital. (Miloro, 2004)
BAB III
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
3.1.
Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat dapat menjadi informasi yang bernilai untuk
penegakan diagnosis dan penentuan perawatan. Namun, pada pasien yang
mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak memungkinkan
untuk menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini, riwayat
trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang
mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana
trauma terjadi (Marciani dkk, 2009).
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma oromaksilofasial
adalah sulit, karena
Keadaan tidak sadar (koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan
yang sering terjadi dalam menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik
yang dapat digunakan adalah keluarga dekat yang menemaninya, temannya,
polisi, atau pekerja pada unit gawat darurat. Penting dicatat mengenai tanggal,
waktu, tempat kejadian, dan peristiwa yang khusus. Apabila cedera disebabkan
karena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak sebagai pengemudi atau
penumpang, apakah ia memakai sabuk pengaman yang putus? Apabila pasien
merupakan korban kejahatan, apakah digunakan senjata tertentu? Apakah pasien
jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan tanggal imunisasi
tetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tanda-tanda
kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh
obat-obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir
sangat penting apabila akan dilakukan anestesi umum (Pedersen, 1996).
Menurut Hupp dkk, 2008, langkah pertama pada setiap proses diagnostik
adalah memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang
8
akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who,
when, where, and how. Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataan
kepada pasien, orangtua pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :
1. Siapa pasien tersebut? Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat,
nomor telepon, dan data demografi lainnya.
2. Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan
penting karena beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat
gigi avulsi dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama halnya
dengan hasil yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar yang disebabkan
oleh penanganan yang terlambat.
3. Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena kemungkinan
terdapat kontaminasi bakteri atau kimia.
4. Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat memberikan
perkiraan tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai
contoh, penumpang mobil yang terlempar ke depan dashboard dengan
kekuatan besar, selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat menyebabkan
cedera leher yang tersembunyi.
5. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)?
Dari
klinis ditemukan adanya gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat
diperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian,
maka diperlukan pemeriksaan radiografi pada jaringan lunak sekitar mulut,
dada, dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkota
gigi tersebut di dalam jaringan atau rongga badan lainnya (gambar 3 dan 4).
Gambar.4. Rontgen dada menunjukan adanya gigi caninus yang masuk kedalam
rongga dada (Hupp dkk, 2008)
10
darah, penyakit umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang diderita
sebelum trauma.
8. Apakah pasien mengalami mual, muntah, pingsan, amnesia, sakit kepala,
gangguan penglihatan, atau kebingungan setelah kejadian? Bila jawabannya
ya maka kemungkinan ada indikasi cedera intrakranial dan operator harus
segera melakukan konsultasi medis.
9. Apakah ada gangguan oklusi? Apabila jawabannya ya maka kemungkinan ada
indikasi pergeseran gigi atau fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang
3.2.
Pemeriksaan Klinis
Pendekatan awal terhadap pasien trauma oromaksilofasial akut sedikit
berbeda dengan cedera yang lain. Perhatian harus segera diarahkan terhadap
saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi, dan kontrol perdarahan eksternal.
Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran pernapasan
dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih dahulu.
Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status neurologis
(paling tidak mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan
tempat). Pembukaan mata merupakan alat pemeriksan yang berharga untuk
menentukan tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien
membuka matanya jika diberi stimuli tertentu, termasuk stimuli yang
menyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia paska trauma merupakan
indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak, bila ada
(Pedersen, 1996).
11
Pemeriksaan Kepala
Pemeriksaan ini meliputi seluruh kerangka kraniomaksilofasial dan
jaringan lunak disekitarnya. Pasien harus dibersihkan dari semua darah dan benda
asing secara hati-hati. Seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak sebaiknya
dicatat pada saat ini, begitu juga dengan cedera yang mengenai tulang. Trauma
pada jaringan lunak dapat dikarakteristikan menjadi abrasi, kontusio, luka bakar,
avulsi, dan laserasi. Seluruh luka laserasi dan avulsi harus dicatat kedalaman dan
keterkaitannya dengan struktur vital, seperti saraf, glandula parotis dan
sebagainya (Marciani dkk, 2009) .
Rangka kraniofasial terdiri dari pertautan dan penonjolan tulang, maka
pemeriksaannya harus meliputi ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas,
pergeseran, dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hati
terhadap kranium, sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks,
artikulasi zygomatik, dan mandibula (Marciani dkk, 2009).
2.
mobilitas dari maksila sebagai struktur maksila itu sendiri atau hubungannya
12
dengan zygoma atau tulang nasal. Untuk memeriksa adanya mobilitas maksila,
kepala pasien harus distabilisasikan dengan cara menekan kening pasien cukup
kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan lainnya
mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan yang stabil
sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas maksila
(Hup dkk, 2008).
Cara melakukan pemeriksaan manual atau digital adalah dengan
mempalpasi dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik memeriksa pasien yang
mengalami fisik dari arah belakang apabila memungkinkan. Pemeriksaan dimulai
dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan
saluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri (bidigital). Palpasi
diteruskan ke arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura
zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura
dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari
medial ke lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian
yang mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkan
adanya fraktur atau cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan
diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior.
Vestibulum nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya
perdarahan atau cairan (Pedersen, 1996).
Pemeriksaan mata secara lengkap sebaiknya dilakukan terlebih dahulu,
karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan penglihatan. Hampir 40% fraktur
tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang akurat sulit dilakukan
pada pasien yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan dapat dilakukan
13
3.
Pemeriksaan Mandibula
Lokasi mandibula terhadap maksila dievaluasi apakah tetap digaris tengah,
apabila ada penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah
dan jarak interinsisal dicatat. Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh
dengan darah dan cairan, jari telunjuk dapat dimasukkan dengan telapak
mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan palpasi endaural terhadap
caput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur subcondilus tertentu,
bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput mandibula tidak
terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus
kondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal, dan
kelainan kontinuitas harus dicatat (Pedersen, 1996).
Fraktur mandibula dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi,
yaitu kondilar, ramus, angle, body, simphisis, alveolar, dan daerah prossessus
koronoid (gambar 5). Selain itu fraktur mandibula juga dapat diklasifikasikan
berdasarkan tipe frakturnya, yaitu fraktur greenstick, simpel, kominuted, dan
kompon (gambar 6).
15
4.
radiografi pada dada dan perut. Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan
tersumbatnya jalan pernapasan. Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan
indikasi terjadinya fraktur dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka
lateral (open bite lateral) juga dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibula
atau gangguan TMJ. Sedangkan gigitan terbuka anterior (open bite anterior)
mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II, ataupun III) (Marciani, 2009).
3.2.
Pemeriksaan Radiografi
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya
diperlukan radiograf oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi
dan avulsi), dan sebagian besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen
dengan cara ini. Meskipun demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan
pembuatan radiografis untuk mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang
mendukung. Film panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur
maksila dan mandibula (Pedersen, 1996).
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau
lebih gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1)
panoramik, (2) proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksi
oblik lateral kiri dan kanan (gambar 9) (Hupp dkk, 2008).
17
Rontgen yang paling baik untuk fraktur wajah bagian tengah adalah
proyeksi Waters, proyeksi wajah lateral, proyeksi wajah posteroanterior, dan
18
proyeksi submental verteks (Hupp dkk, 2008). Fraktur pada arkus zygomatikus
ditunjukkan dengan baik oleh proyeksi submentoverteks (gambar 8).
Gambar 8.Beberapa proyeksi radiografi untuk menilai fraktur wajah bagian tengah
(Hupp dkk, 2008).
A. Proyeksi Waters menunjukkan fraktur pada daerah dasar orbita
B. Proyeksi wajah lateral menunjukkan fraktur Le Fort III atau terjadi pemisahan
kraniofasial. Garis fraktur (panah) memisahkan wajah bagian tengah dari kranium.
C. Proyeksi submental verteks menunjukkan fraktur arkus zygomatikus (panah)
gambaran yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak.
Kedua sifat tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukan
diagnosis yang akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan
prosedur penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan dapat
menunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extraserebral, daerah kontusio, dan edema cerebral (Pedersen, 1996).
20
BAB IV
PERAWATAN TRAUMA MAKSILOFASIAL
21
4.1.
22
kecepatan dan irama. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya
23
merupakan tanda normovalemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda
hipovalemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan
jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi dengan segera. Perdarahan luar harus dikelola pada
primary survey. Perdarahan luar luar dihentikan dengan penekanan pada luka.
Tourniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia distal, sehingga tourniquet hanya dipakai bila sudah
ada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal bisa berasal dari
perdarahan dalam rongga toraks, abdomen, sekitar fraktur dari tulang
panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka
tembus dada/ perut.
4) Disability (Neurologic Evaluation), menjelang akhir primary survey
dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. GCS
merupakan sistem scoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan
penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/
dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Bila diperlukan konsul ke ahli bedah syaraf.
4.2.
Perawatan Definitif
Perawatan definitif fraktur panfasial dilakukan setelah keadaan umum
pasien lebih baik, terkontrol dan telah melewati masa krisis melalui perawatan
24
25
27
29
Gambar 13. Bone graft pada dinding sinus maksila anterior (Miloro, 2004)
30
BAB V
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
BJ.
Maxillofacial
Trauma.
http://www.answers.com/topic/maxillofacial-trauma.
diunduh
2006.
pada
32
33