Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara
tropis atau subtropis dan negara berkembang maupun yang sudah maju.
Malaria merupakan penyakit infeksi dengan angka mortalitas terbesar
kedua di dunia setelah tuberkulosis.
Berdasarkan epidemiologi, malaria masih menjadi penyakit infeksi
utama di Indonesia kawasan timur, bahkan juga menjadi masalah bagi
daerah di Jawa dan Sumatra yang dahulunya sudah dapat dikendalikan.
Dengan perkembangan transportasi, mobilisasi penduduk dunia khususnya
dengan berkembangnya dunia wisata, infeksi malaria juga merupakan
masalah bagi negara-negara maju karena munculnya penyakit malaria di
daerah tersebut. Masalah mortalitas dan morbiditas mempunyai kaitan erat
dengan timbulnya resistensi pengobatan dan kewaspadaan terhadap
diagnosa dini dan penanganannya (Harijanto, 2010).
Secara keseluruhan terdapat 3,2 milyar penderita malaria di dunia.
Di Indonesia, pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis
dan 350 ribu kasus di antaranya dikonfirmasi positif. Sedangkan tahun
2007 menjadi 1,75 juta kasus dan 311 ribu di antaranya dikonfirmasi
positif. Sampai tahun 2007 masih terjadi KLB dan peningkatan kasus
malaria di 8 propinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan jumlah
penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian. Jumlah ini
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, di mana terjadi KLB di
7 propinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan dan 10 desa dengan jumlah penderita
1107 dengan 23 kematian (Renny, 2009).
Parasit

malaria

termasuk genus

Plasmodium.

Plasmodium

falciparum merupakan jenis yang paling berbahaya dibandingkan dengan


jenis Plasmodium lain yang menginfeksi manusia, yaitu P. vivax, P.
malariae, dan P. ovale. Hal tersebut karena spesies ini banyak

menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada manusia (Harijanto,


2010).
Pemberantasan malaria sudah dimulai sejak tahun 1959. Kendala
pemberantasan adalah munculnya resistensi parasit terhadap obat.
Resistensi Plasmodium falciparum pertama kali ditemukan di daerah
Kalimantan Timur pada tahun 1974, kemudian resistensi ini meluas dan
pada tahun 1996 sudah ditemukan di seluruh Indonesia (Acang, 2002).
Penyebab utama resistensi adalah penggunaan obat malaria yang
tidak adekuat dan tidak sesuai dengan aturan pemakaian (Suwandi, 2007).
Di daerah terpencil dan minim sarana transportasi, masyarakat sering
mengkonsumsi obat secara bebas, seperti klorokuin dan sulfadoksin yang
mudah ditemukan di pasaran. Lebih membahayakan lagi, obat yang dijual
bebas tersebut adalah obat palsu yang didapat dari black market (illegal)
(Harijanto, 2010).
Masalah inilah yang mendorong penulis untuk mempelajari adakah
alternatif anti malaria lain yang berasal dari alam dan mudah ditemukan
dalam lingkungan tropis Indonesia, sehingga menjadi alternatif yang
solutif terhadap pengobatan malaria dan pencegahan resistensinya.
Sebagai negara tropis, Indonesia banyak memiliki potensi alam
berupa tanaman berkhasiat obat. Hingga saat ini, secara turun temurun,
masyarakat masih sering menggunakan kunyit (Curcuma domestica) untuk
menyembuhkan berbagai macam penyakit, salah satunya adalah malaria
(Winarto, 2003). Berdasarkan banyak penelitian, kunyit mengandung
senyawa kurkumin yang bersifat anti parasit dan tinggi antioksidan.
Berbagai penelitian menunjukkan efek biologis kurkumin di antaranya
adalah menghambat multi drug resistance (MDR), anti kanker, mencegah
aterosklerosis dan infark miokardium, mensupresi diabetes, stimulasi
regenerasi otot, mempercepat penyembuhan luka, dll (Aggarwal et al.,
2005).
Berdasarkan fakta tersebut, muncul gagasan pemanfaatan ekstrak
kurkumin sebagai anti malaria terhadap parasit yang resisten. Hal ini

merupakan salah satu optimalisasi pemanfaatan kekayaan sumber daya


hayati Indonesia dalam mengatasi permasalahan kesehatan di tanah air
kita.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah,
yaitu:
Apakah kurkumin pada kunyit (Curcuma domestica) dapat menjadi
alternatif pengobatan dalam menangani Plasmodium falciparum?

1.3.

Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah kurkumin
pada kunyit (Curcuma domestica) dapat menjadi alternatif pengobatan
dalam menangani Plasmodium falciparum.

1.4.

Manfaat Penulisan
Karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
menambah

wawasan

dan

menyumbangkan

solusi

mengenai

penanggulangan masalah malaria falciparum di Indonesia. Di samping


itu juga diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitianpenelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Penyakit Malaria
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk
aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa
demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Malaria dapat berlangsung
akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria
berat (Sudoyo, 2009).
Selain menginfeksi manusia, Plasmodium juga menginfeksi
binatang lain seperti golongan burung, reptil, dan mamalia. Secara
keseluruhan ada lebih dari 100 Plasmodium yang menginfeksi binatang
(82 pada jenis burung dan reptil dan 22 pada binatang primata (Sudoyo,
2009).
Parasit malaria termasuk dalam genus Plasmodium. Pada manusia
terdapat 4 spesies, yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,
Plasmodium

malariae,

dan

Plasmodium

ovale

(Mandal,

2002).

Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah Plasmodium vivax yang


menyebabkan malaria tertiana (benign malaria) dan Plasmodium
falciparum yang menyebabkan malaria tropika (malignan malaria)
(Sudoyo, 2009).

Taksonomi Plasmodium
Kingdom

Protista

Phylum

Apicomplexa

Class

Aconoidasida

Ordo

Haemosporida

Family

Plasmodiidae

Genus

Plasmodium

Species

Plasmodium falciparum
Plasmodium vivax
Plasmodium malariae

Plasmodium ovale
Tabel 1. (sumber: anonim, 2000).
2.2

Malaria falciparum
2.2.1. Siklus hidup Plasmodium falciparum
Dalam siklus hidupnya Plasmodium falciparum mempunyai dua
hospes yaitu vertebra dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes
disebut skizogoni dan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam
nyamuk disebut sporogoni (Tarigan, 2003).
2.2.1.1. Siklus aseksual
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina
masuk ke dalam hospes vertebra (manusia) melalui tusukan nyamuk
tersebut. Dalam waktu tiga puluh menit sporozoit tersebut mengikuti
peredaran darah dan memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai stadium
eksoeritrositik dari pada siklus hidupnya. Di dalam sel-sel hati parasit
tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang
mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas, sebagian
difagosit. Oleh karena prosesnya terjadi sebelum memasuki eritrosit maka
disebut stadium preeritrosit atau eksoeritrositik.
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki eritrosit.
Plasmodium tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sitoplasma
yang membesar, dengan bentuk tidak teratur dan mulai membentuk
tropozoit. Tropozoit berkembang menjadi skizon muda kemudian menjadi
skizon matang dan membelah banyak menjadi merozoit.

Dalam eritrosit, Plasmodium mengubah hemoglobin menjadi


globin dan hematin. Hematin dimodifikasi menjadi pigmen malaria yang
khas. Globin dipecah oleh enzim proteolitik dan dicerna. (Jawetz, 2008).
Dengan selesainya pembelahan skizon matang menjadi banyak
merozoit, sel darah merah pecah dan merozoit, pigmen, sisa sel keluar dan
memasuki plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk
mengulangi siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit baru
dan membentuk skizon sedangkan merozoit lain membentuk gametosit
yaitu bentuk seksual dari Plasmodium (Tarigan, 2003).
2.2.1.2. Siklus seksual
Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk. Pada makrogamet
(jantan) kromatin membagi menjadi 6-8 inti yang bergerak ke pinggir
Plasmodium. Di pinggir Plasmodium ini dibentuk beberapa filamen seperti
cambuk dan bergerak aktif yang disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi
karena mikrogamet masuk ke dalam makrogamet untuk membentuk zigot.
Zigot akan berubah bentuk menjadi seperti cacing pendek dan
disebut ookinet. Ookinet dapat menembus lapisan epitel dan membran
basal dinding lambung. Pada dinding lambung ini ookinet membesar dan
disebut ookista. Di dalam ookista dibentuk ribuan sporozoit yang
menembus kelenjar dan masuk ke kelenjar ludah nyamuk dan bila nyamuk
menggigit/menusuk manusia maka sporozoit masuk ke dalam darah dan
dimulailah siklus preeritrositik (Tarigan, 2003).

Gambar 1. Siklus Hidup P. falciparum (sumber: Felix, 2007)


2.2.2. Patofisiologi Malaria falciparum
Menurut Gandahusada (2006), patofisiologi malaria adalah
multifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut:
Penghancuran Eritrosit
Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang

2.2.2.1.

mengandung

parasit,

tetapi

juga

oleh

fagositosis

eritrosit

yang

mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga


menyebabkan

anemia

dan

anoksia

jaringan.

Dengan

hemolisis

intravaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever)


dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
2.2.2.2. Mediator Endotoksin-Makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung P. falciparum
memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai
mediator berupa sitokin yang berperan dalam perubahan patofisiologi
malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal
dari rongga saluran cerna.

Sitokin merupakan respon imun nonspesifik yang ditujukan untuk


menghambat pertumbuhan Plasmodium secara tidak langsung dengan
mengaktifkan leukosit untuk menghasilkan radikal bebas yang akan
mematikan

Plasmodium

tersebut.

Selain

itu,

sitokin

berfungsi

mengaktifkan sel-sel imun lain seperti makrofag, limfosit T dan B, sel NK


untuk berproliferasi dan menghasilkan lebih banyak mediator guna bekerja
sama mengatasi infeksi.
Di sisi lain, sitokin mempunyai efek biologis metabolik seperti
hipoglikemia, menimbulkan pireksia, memicu reaksi radang, dan dalam
kadar tinggi/berlebihan dapat merusak sel terutama endotel, bahkan dapat
menguntungkan

pertumbuhan

Plasmodium

karena

meningkatkan

perlekatan Plasmodium darah stadium matur pada permukaan endotel


vaskuler (sitoadherens). Perlekatan terjadi melalui peningkatan ekspresi
molekul adhesi pada endotel. Di sini terlihat peran ganda sitokin, pada
kadar yang tepat bersifat protektif, namun pada kadar yang berlebihan
justru berefek patologis (Harijanto, 2010).
Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi
malaria adalah TNF (Tumor Necrosis Factor). TNF dapat ditemukan
dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria.
2.2.2.3. Sekuestrasi Eritrosit
Sitoadherens menyebabkan parasit dalam eritrosit matur tidak
beredar kembali dalam sirkulasi.

Parasit dalam eritrosit matur yang

tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut parasit matur yang


mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami sekuestrasi
karena pada Plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh
darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua
jaringan dalam tubuh.

Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti

dengan hepar dan ginjal, paru, jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi inilah
yang diduga memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat
(Harijanto, 2009).
2.2.3. Manifestasi Klinis Malaria falciparum
Malaria falciparum merupakan bentuk yang paling berat ditandai
dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia sering

dijumpai, dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasinya adalah 9-14


hari. Malaria falciparum mempunyai angka parasitemia yang tinggi dan
menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang sering dijumpai
yaitu sakit kepala, nyeri belakang atau tungkai, lesu, perasaan dingin,
mual, muntah, dan diare. Parasit sulit ditemui pada penderita dengan
pengobatan supresif. Panas biasanya ireguler dan tidak periodik, sering
terjadi hiperpireksia dengan temperatur di atas 40C. Gejala lain berupa
konvulsi, pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur
normal.
Apabila infeksi memberat, nadi menjadi cepat, nausea, muntah,
diare menjadi berat dan diikuti kelainan paru (batuk).

Splenomegali

dijumpai lebih sering dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan. Hati
membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat berupa
albuminuria hialin dan kristal yang granuler. Anemia lebih menonjol
dengan leukopenia dan monositosis (Sudoyo, 2009).
2.2.4. Diagnosis Malaria falciparum
Diagnosis pasti infeksi malaria dilakukan dengan menemukan
parasit dalam darah yang diperiksa dengan mikroskop. Peranan diagnosis
laboratorium terutama untuk menunjang penanganan klinis (Syam, 2008).

Beberapa gambaran khas parasit malaria falciparum (preparat dengan


pewarnaan romanowsky):
Sel

darah

merah

yang Tidak membesar. Bintik kasar (celah

mengandung parasit

Maurer). Menginvasi semua sel darah


merah tanpa memandang usia.

Derajat

parasitemia Dapat

maksimum umumnya
Trofozoit stadium cincin

melebihi

200.000/l;

sering

50.000/l.
Cincin kecil (1/5 diameter sel darah
merah).

Sering

multiple

sering;

dua

granula;

cincin

halus,

infeksi
dapat

menempel pada sel darah merah.


Pigmen pada trofozoit yang Kasar; hitam; sedikit kelompok.
sedang berkembang
Trofozoit yang lebih tua
Skizon matang (segmenter)

Padat dan bulat.


Biasanya lebih dari 12 merozot (8-32).

Gametosit
Distribusi di darah perifer

Sangat jarang di daerah perifer.


Bulan sabit.
Hanya cincin dan bentuk bulan sabit

(gametosit).
Tabel 2. (Sumber: Brooks, 2008)
Menurut Syam (2008) terdapat beberapa teknik diagnoisis malaria,
di antaranya:
2.2.4.1.Mikroskop cahaya
Sediaan darah dengan pulasan Giemsa merupakan dasar dari
pemeriksaan dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan sediaan darah tebal
dilakukan dengan memeriksa 100 lapangan mikroskopis dengan
pembesaran 500-600 kali yang setara dengan 0,20 L darah. Jumlah
parasit dapat dihitung per lapangan mikroskopis.
2.2.4.2.Teknik QBC (Quantitavie Buffy Coat)
Pulasan jingga akridin (acridine orange) yang berfluoresensi
dengan pemeriksaan mikroskop fluoresen merupakan salah satu hasil
usaha ini, tetapi masih belum dapat digunakan secara luas seperti
pemeriksaan sediaan darah tebal dengan pulasan Giemsa menggunakan
mikroskop cahaya biasa.
2.2.4.3.Teknik Kawamoto

10

Merupakan modifikasi teknik pulasan jingga akridin yang memulas


sediaan darah bukan dengan giemsa tetapi dengan akridin dan diperiksa
dengan mikroskop cahaya yang diberi lampu halogen.
2.2.4.4.Teknik dip-stick
Dapat mendeteksi secara imuno-enzimatik suatu protein kaya
histidin II yang spesifik parasit (immuno enzymatic detection of the
parasite spesific histidine rich protein II). Tes spesifik untuk Plasmodium
falciparum telah dicoba pada beberapa negara, antara lain di Indonesia.
Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukan d alam waktu 10 menit
dan dapat dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh
petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikti latihan.
2.2.5. Terapi
Di sebagian besar daerah di dunia, Plasmodium falciparum telah
resisten terhadap pengobatan konvensional. Hal ini adalah akibat dari
pengobatan monoterapi dari klorokuin, sulfadoxin-pyrimetamin, atau obat
anti malaria lain yang melawan malaria. WHO merekomendasikan
menggunakan kombinasi obat anti malaria untuk mengurangi risiko
resisten terhadap obat, yaitu kombinasi yang mengandung derivat
artemisinin-suatu ekstrak tanaman Artemisia annua- bersama obat anti
malaria lain yang efektif. Kombinasi ini disebut terapi kombinasi berbasis
artemisinin/Artemisinin-based Combination Therapies (ACTs). Saat ini
ACTs adalah pengobatan paling efektif untuk malaria, dengan 95% angka
kesembuhan mengatasi malaria falciparum (WHO, 2009).
2.2.5.1. Klorokuin
Klorokuin dan obat antimalaria kuinolin lainnya efektif melawan
Plasmodium stadium intra eritrositik yang sedang aktif menghasilkan
pigmen. Stadium parasit yang tidak memiliki pigmen atau tidak aktif
menghasilkan pigmen seperti pada stadium eksoeritrositik di hati,
gametosit di tubuh nyamuk tidak akan terbunuh oleh obat ini. Oleh karena
itu aksi obat berhubungan dengan produksi pigmen.

11

Target utama antimalaria kuinolin adalah polimerisasi hem. Proses


ini merupakan proses detoksifikasi hem di vakuola makanan oleh parasit
malaria stadium intraeritrositik. Hem adalah produk penghancuran
hemoglobin dan digunakan oleh parasit sebagai sumber utama pemasok
asam amino penting. Hem bersifat sangat toksik untuk parasit oleh karena
itu hem akan diubah menjadi bentuk kristal polimer yang tidak dapat
dipecah, yang disebut haemozoin (pigmen malaria) yang tidak toksik
terhadap parasit (Fatriyadi, 2010 ).
Resistensi P. falciparum terhadap klorokuin ditemukan di hampir
seluruh daerah endemi malaria. Di Indonesia dilaporkan kasus resistensi
P. falciparum terhadap klorokuin di 27 propinsi walaupun kasusnya tidak
banyak dan tidak merata. Hasil uji efikasi in vivo di NTT, Lampung,
Sulawesi Utara, Jawa Tengah dan Sumatra Utara memperlihatkan
tingginya angka kegagalan klorokuin untuk pengobatan P. falciparum.
Berdasarkan hal tersebut, sejak akhir tahun 2004 Depkes tidak lagi
menganjurkan

penggunaan

klorokuin

untuk

pengobatan

malaria

falciparum kecuali pada hal khusus seperti ibu hamil (Sutanto, 2005).
2.2.5.2 Kina
Kina merupakan obat anti malaria kelompok alkaloida kinkona
yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis plasmodium manusia
dan gametosida P. Vivax, P. ovale dan P. malariae. Mekanisme kerja kina
sebagai obat antimalaria belum sepenuhnya dipahami, diduga menghambat
detoksifikasi heme parasit dalam vakuola makanan (Harijanto, 2010).
Efek samping yang ditimbulkan berupa sinkonisme (ringan sampai
sedang) dengan gejala telinga berdenging, sakit kepala, gangguan
keseimbangan, penglihatan kabur, pusing dan depresi. Efek samping ini
sangat mengganggu terutama pada wanita sehingga obat kadang-kadang
harus dihentikan walaupun sebenarnya hanya bersifat sementara dan
menghilang bila obat dihentikan.
2.2.5.2 Artemisinin

12

Artemisinin dan derivatnya merupakan skizonosida darah yang


sangat poten terhadap semua spesies Plasmodium. Derivat artemisinin
bekerja dengan menghambat enzim yang berperan dalam masuknya
kalsium ke dalam membran parasit, yaitu enzim adenosin trifosfatase
(PfATPase6).

Selain itu, derivat artemisinin juga bekerja denga

menghambat hemoglobinase, menghambat detoksifikasi oleh feroheme,


alkilasi DNA, pembentukan radikal bebas, oksidasi dan alkilasi protein,
menghambat peroksidasi lipid (Harijanto, 2010).
Kelemahan dari kelompok artemisinin ini adalah memerlukan
waktu pengobatan lama apabila hanya menggunakan obat artemisinin saja.
Namun, bila dikombinasikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam kombinasi obat ini, yaitu efek samping neurotoksik yang ditemukan
pada binatang percobaan dengan dosis tinggi (tikus dan anjing), keamanan
pada kehamilan, banyaknya beredar obat palsu, dan harganya yang relatif
masih mahal. (Tjitra, 2004)
2.3
Kurkumin
2.3.1. Aspek Kimia Kurkumin
Kurkumin, atau 1,7-bis-(4 hidroksi-3-metoksi fenil) hepta-1,6diena-3,5-dion merupakan senyawa , diketon asiklik diaril yang
berwujud kristal kuning jingga. Di alam, kurkumin selalu terdapat bersama
dengan senyawa turunan lainnya yaitu demetoksikurkumin dan bisdemetoksikurkumin, yang dikenal dengan nama kurkuminoid (Tonnesen
dan Karlsen, 1985 lih, Hadiprabowo, 2009).

13

Gambar 2. Struktur kimia kurkmin (Sumber: Sapko, 2009)

Sifat-sifat kurkumin adalah sebagai berikut:


- Berat molekul : 368,37 (C = 68,47 %; H = 5,47 %; O = 26,06 %)
- Warna: kuning terang
- Larut dalam alkohol dan asam asetat glasial
- Tidak larut dalam air
(Hardjono, Yamrewav, 2004)
2.3.2. Manfaat Kurkumin
Kurkumin memperlihatkan aktivitas farmakologis yang cukup luas,
termasuk aktivitas anti inflamasi, anti karsinogenik, dan anti infeksi. Efek
anti inflamasi dan anti karsinogenik pada kurkumin sebagian besar
bergantung pada aktivitas antioksidannya. Sebagai tambahan, kurkumin
juga memiliki aktivitas melawan bakteri, jamur dan protozoa.

Efek

sitotoksik dan parasitidal pada kurkumin terhadap parasit protozoa telah


diujikan pada kultur terhadap Leishmania, Trypanosoma Giardia, dan
Plasmodium falciparum (Cui, 2006).
Kurkumin juga terlihat memiliki aksi anti inflamasi in vitro dan in
vivo (Sapko, 2009). Molekulnya mengatur cyclooxygenase-2 (COX-2) dan
nitric oxide synthase (iNOS) dan menghambat produksi tumor necrosis

14

factor (TNF). Semua efek molekuler ini bekerja mengurangi inflamasi.


(Sapko, 2009)
Ilmu biomedik dan kedokteran barat baru-baru ini mulai
mempelajari kemungkinan aktivitas biologis dan terapeutik dari kurkumin.
Pengujian in vitro menunjukkan bahwa kurkumin adalah antioksidan kuat.
Hal ini berarti bahwa kurkumin mampu menetralkan jenis oksigen reaktif/
reactive oxygen species (ROS) berbahaya yang berupa radikal bebas.
(Bengmark, 2009 lih, Sapko, 2009).
Kurkumin berpengaruh terhadap level intraseluler ROS. Kurkumin
mengandung senyawa yang bersifat antioksidan tergantung pada
konsentrasinya (Cui, 2006).
2.3.3. Bioavailabilitas Kurkumin
Kemampuan obat yang diminum mencapai darah disebut
bioavailabilitas. Sayangnya, bioavailabilitas kurkumin rendah. Kesulitan
penggunaan kurkumin adalah ketika dikonsumsi secara oral, jumlah yang
diserap oleh usus cukup rendah. Pertama, molekul harus diserap oleh usus
agar dapat memasuki aliran darah. Jika tidak, molekul hanya akan lewat.
Sebagian besar kurkumin yang dikonsumsi secara oral hanya lewat dan
sampai di feses. Kurkumin yang dapat diserap usus langsung
dimetabolisme oleh hati, yang mengubahnya menjadi molekul terkait
lainnya seperti glukuronat kurkumin dan sulfat kurkumin (Sapko, 2009).
Namun, masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan analog dari
kurkumin,

seperti

EF24,

yang

memiliki

aktivitas

biologis

dan

bioavailabilitas lebih tinggi dibanding kurkumin (Thomas et al, 2008).


2.3.4. Pemanfaatan Kurkumin
Kurkumin adalah nama dari senyawa kimia yang ditemukan dalam
rempah kunyit (Curcuma domestica). Selain kunyit, ada juga beberapa
tanaman yang mengandung kurkumin, misalnya temulawak dan temu
hitam. (Hardjono, Yamrewav, 2004) Kunyit dan perluasan dari kurkumin

15

adalah anggota dari keluarga jahe yang berasal dari Asia bagian Tenggara.
Nama

kimianya

adalah

dipheruloylquinon (juga dikenal sebagai

diferuloylmethan) dan merupakan polifenol utama dalam rempah-rempah


ini (Sapko, 2009).
Kunyit dikenal sebagai bumbu umum untuk masakan India dan
sebagai komponen utama kari. Selain perannya dalam aroma dan pewarna
makanan, kurkumin telah digunakan dalam pengobatan tradisional India
selama ribuan tahun untuk mengobati penyakit yang berbeda dan
bervariasi banyak seperti sakit perut, infeksi saluran kencing, dan penyakit
hati. Ini juga telah digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit kulit
dalam bahwa sistem kuno perawatan kesehatan (Sapko, 2009).

BAB III
METODE PENULISAN
3.1.

Pengambilan Data

16

Data yang diperoleh dalam karya tulis ini bersumber dari jurnal,
review artikel, buku-buku teks, buku pendamping lainnya, maupun artikel
yang bersumber dari internet.
Pengolahan Data
Data dalam karya tulis ini diolah dengan analisis deskriptif

3.2.

kualitatif kemudian direduksi untuk memperoleh data yang akurat.


Analisis data
Data dalam karya tulis ini dianalisis dari berbagai sumber berupa

3.3.

jurnal, review artikel, buku-buku teks, buku pendamping lainnya, maupun


artikel yang bersumber dari internet, dan kemudian ditarik suatu
kesimpulan berdasarkan analisis yang telah dibuat.

BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
4.1.

Peran Ganda Sitokin TNF dalam Infeksi Malaria

17

Eritrosit terinfeksi parasit yang pecah sewaktu proses skizogoni


mengeluarkan berbagai toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI),
hemozosin, atau mungkin antigen parasit lain seperti MSP-1, MSP-2,
RAP-1. Toksin tersebut akan merangsang makrofag dan limfosit T helper
menghasilkan berbagai sitokin pro inflamasi, seperti TNF-, IL-1, IL-6,
IL-8, IL-12, dan IFN-.
Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi
malaria adalah TNF (Tumor Necrosis Factor). Pada kadar rendah, TNF
bekerja pada leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar
sedang, TNF berperan dalam inflamasi sistemik. Pada kadar tinggi, TNF
menimbulkan kelainan patologik syok septik (Karnen, 2006).
TNF menginduksi terjadinya perubahan pada neutrofil, yaitu
pelepasan enzim lisosomal, ekspresi reseptor permukaan, seperti reseptor
Fc dan integrin, adhesi, dan migrasi kemotaktik, sehingga neutrofil dapat
mengoptimalkan fungsi fagositosisnya terhadap Plasmodium. Secara
normal, pelepasan TNF ditujukan untuk mengaktifkan leukosit yang akan
menghasilkan radikal bebas untuk mematikan Plasmodium.
Di sisi lain, TNF yang berlebihan meningkatkan risiko sekuestrasi
sel neutrofil dalam pembuluh darah paru, sehingga mengganggu peran
neutrofil untuk membunuh P. falciparum. TNF juga meningkatkan
ekspresi molekul adhesi seperti ICAM1, VCAM-1, Elam-1, dan CD36
pada sel-sel endotel kapiler sehingga meningkatkan sitoadherens eritrosit
yang terinfeksi P. falciparum. Peningkatan sitoadherens tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya malaria serebral (Harijanto, 2010).
Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria
falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia,
hiperparasitemia dan beratnya penyakit. Sitokin tersebut juga akan
memicu enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada sel endotel
vaskular untuk menghasilkan nitrit oksid (NO). Diduga sitokin dan NO
dalam jumlah banyak dapat mengganggu fungsi sel serta fungsi organ
tertentu (Harijanto, 2010).

18

Ringkasnya, peningkatan produksi TNF merupakan respon positif


terhadap infeksi P. falciparum, tetapi tingkat produksi yang berlebihan
dapat menyebabkan gangguan fatal yang dapat menyebabkan kematian
(The Lancet, 2004).
4.2.

Kurkumin sebagai Anti Inflamasi Menginhibisi TNF Berlebih


Dalam penelitian mengenai efek kurkumin sebagai anti inflamasi,
pemberian stimulus berupa infeksi pada sel endotel menyebabkan TNF
meningkatkan ekspresi molekul adhesi intraseluler-1 (ICAM-1), molekul
adhesi sel vaskuler-1 (VCAM- 1), dan molekul adhesi endotel leukosit-1
(Elam-1). Pemberian kurkumin terhadap peningkatan TNF ini berhasil
menurunkan ekspresi ICAM-1, VCAM-1, dan Elam-1 di sel endotel
(Kumar, et al, 1998).
Kurkumin, sebagai agen anti inflamasi, mampu menginhibisi
molekul yang mengaktivasi TNF berlebih sehingga TNF tidak mampu
meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM1, VCAM-1, Elam-1,
dan CD36 pada sel-sel endotel kapiler sehingga tidak terjadi sitoadherens
eritrosit yang terinfeksi P. falciparum.

4.3.

Neutrofil Menghasilkan ROS untuk Membunuh Senyawa Asing


Neutrofil merupakan 70% dari jumlah leukosit dalam sirkulasi.
Biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum
bermigrasi. Butir-butir azurofilik primer (lisosom) mengandung hidrolase
asam, mieloperoksidase, dan neutromidase (lisozim), sedang butir-butir
sekunder atau spesifik mengandung laktoferin dan lisozim. Neutrofil
mempunyai reseptor untuk IgG (Fc-R) dan komplemen (Widjaja, 2006).
Neutrofil memproduksi radikal bebas yang dikenal sebagai
reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas yang sering ditemui adalah
superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil, dan radikal
hidroksil (OH.). Karena berupa atom atau kelompok atom dengan elektron
tak berpasangan, radikal bebas sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan

19

protein, asam nukleat, lipid, dan molekul lain untuk mengubah struktur
molekul-molekul tersebut dan menyebabkan kerusakan jaringan.
ROS menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap protein, DNA,
lemak membran yang mengandung lebih dari satu ikatan rangkap pada
rantai hidrokarbon (polyunsaturated), dan komponen sel lain, sehingga
dapat mematikan sel patogen (Marks, 2001). Mekanisme inilah yang
digunakan neutrofil untuk membunuh senyawa asing yang masuk ke
dalam tubuh (Peake, Suzuki, 2004).
4.4.

Kurkumin sebagai Antioksidan Menetralkan Radikal Bebas


Dalam sebuah studi untuk melihat efek antioksidan dari kurkumin,
sebuah penelitian menggunakan radikal bebas sebagai indikator. Kurkumin
direaksikan dengan ROS yang dihasilkan dari pirolisis 2,2 '-azobis
(isobutyronitrile) di bawah atmosfer oksigen, dan produk reaksi dari
kurkumin diamati menggunakan HPLC (high-performanced liquid
chromatography). Reaksi pada 70C memberikan beberapa produk, tiga di
antaranya diidentifikasi secara struktural berupa vanilin, asam ferulic, dan
senyawa dimer kurkumin. Dimer adalah senyawa yang

diidentifikasi

berhubungan dengan aktivitas antioksidan kurkumin. (Toshiya et al, 2004).

BAB V
PENUTUP
5.1.

Kesimpulan
Secara laboratorium, kurkumin yang terkandung dalam kunyit
(Curcuma domestica) mampu bertindak sebagai anti inflamasi pada

20

malaria dengan menginhibisi TNF berlebih. Kurkumin mampu bertindak


sebagai antioksidan pada malaria dengan memakan sisa radikal bebas dari
penghancuran terhadap Plasmodium dengan menetralkan radikal bebas.
Dengan demikian, kurkumin dapat menjadi alternatif pengobatan dalam
menangani Plasmodium falciparum.
5.2.

Saran
5.2.1. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme kerja
kurkumin terhadap penurunan P. falciparum pada penderita malaria
falciparum.
5.2.2. Agar dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengatasi masalah
bioavailabilitas kurkumin, sehingga kurkumin dapat bekerja maksimal
dalam tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit. EGC. Jakarta
Newman, Dorland A. 2002. Kamus Kedoktran Dorland. EGC. Jakarta
Global Initiative for Asthma (GINA). 2006. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. www.ginasthma.com (18 maret 2011)

21

Anonim. 2009. Meningkatnya Kasus Asma di Sumbar . www.antara-sumbar.com


(18 Maret 2010)
Glikis. 2006. Penderita Asma Terus Meningkat. www.gizi.net (18 Maret 2011)
Supriyatno, Bambang. 2010. Asma dapat Turunkan Prestasi Belajar.
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/06/04/06252017/Asma.Dapat.T
urunkan.Prestasi.Belajar (18 Maret 2010)

Anonim.

2000.
Scientific
classification.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?
id=685970. (24 Juni 2010)
Cui, Long, Jun Miao, Liwang Cui. 2006. Cytotoxic Effect of Curcumin on
Malaria Parasite Plasmodium falciparum:Inhibition of Histone
Acetylation and Generation of Reactive Oxygen Species. Antimicrobial
Agents and Chemotherapy, February 2007, p. 488-494, Vol. 51, No. 2
Fatriyadi, Jhons. 2010. Mekanisme Kerja Obat Antimalaria Bertarget Degradasi
Hemoglobin
.
http://blog.unila.ac.id/yadisuwandi04/2010/05/06/morfologiplasmodium/ (21 Juni 2010)
Felix. 2006. Penyakit Rawa-Rawa Yang Mendunia. http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=77 (23 Juni 2010)
Gandahusada, Srisasi, et al. 2006. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta.
Hadiprabowo, Timur. 2009. Optimasi Sintesis Analog Kurkumin 1,3-bis- (4hidroksi-3-metoksi benzilidin) Urea pada Rentang ph 3-4.
http://etd.eprints.ums.ac.id/5260/1/K100050298.pdf (21 Juni 2010)
Hardjono, A dan Paskalina Hariyantiwasi Yamrewav. 2004. Ekstraksi Kurkumin
Dari
Kunyit.
http://125.163.204.22/download/ebooks_kimia/makalah/Ekstraksi
%20Kurkumin%20dari%20Kunyit.pdf (21 Juni 2010)
Harijanto, Paul N. Malaria dalam:Aru W. Sudoyo, dkk. 2009. Ilmu Penyakit
Dalam. Interna Publishing: Jakarta
Harijanto, P. N, Agung Nugroho dan Carta A. Gunawan. 2010. Malaria dari
Molekuler ke Klinis Edisi 2. EGC: Jakarta.
Karnen, Barata Widjaja. 2006. Imunologi Dasar. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
Marks, Dawn B, et al. 2001. Biokimia Kedokteran Dasar Sebuah Pendekatan
Klinis. EGC: Jakarta.
Masuda, Toshiya, Kayo Hidaka, Ayumi Shinohara, et al. 2004. Chemical Studies
on Antioxidant Mechanism of Curcuminoid: Analysis of Radical

22

Reaction
Products
from
Curcumin.
http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/jf9805348). (24 Juni 2010)
Murray, Robert K, et al. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. EGC: Jakarta.
Peake, Jonathan dan Katsuhiko Suzuki. 2004. Neutrophil Activation, Antioxidant
Supplements
and
Exercise-Induced
Oxidative
Stress.
http://www.hms.uq.edu.au/docs/jpeakePDF/Peake-and-Suzuki-EIR2004.pdf. (24 Juni 2010)
Sapko, Michael Todd. 2009. Curcumin's Treatment and Curative Role in Those
with Down Syndrome. http://www.cdadc.com/ds/curcumin-and-itstreatment-cure-role-in-down-syndrome.html (21 Juni 2010)
Saroso, Sulianti. 2007.Malaria. http://infeksi.com/malaria/articles
Simamora, Dorta dan Loeki Enggar Fitri. 2007. Resistensi Obat Malaria :
Mekanisme dan Peran Kombinasi Obat Antimalaria untuk Mencegah.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&id=126658&src=a
(21 Juni 2010)
Sudoyo, Aru W, et al.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing:
Jakarta.
Suwandi, Jons Fatriyadi. 2010. Mekanisme Kerja Obat Antimalaria Bertarget
Degradasi Hemoglobin.
Syam,
Halfian.
2008.
Malaria
:
Diagnosis.
http://malariana.blogspot.com/2008/11/malaria-diagnosis.html
(22 Juni 2010)
Sutanto I. Berbagai Tantangan dalam Diagnosis dan Pengobatan Malaria pada
Permulaan Abad ke-21. Majalah Kedokteran Indonesia 2005; 55: 559564.
Tjitra, Emiliana. 2004. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisinin.
http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/data/Emil.pdf (23 Juni 2010)
Tarigan, Jerahim. 2003. Kombinasi Kina Tetrasiklin Pada Pengobatan Malaria
Falciparum tanpa Komplikasi di Daerah Resisten Multidrug Malaria.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. http://library.usu.pdf (20 Juni 2010)
World Health Organization. 2009. What is the best treatment against malaria?
Why combine drugs? http://www.who.int/features/qa/26/en/index.html
(20 Juni 2010)
Tjitra, Emiliana. 2004. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisinin.
http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/data/Emil.pdf (23 Juni 2010)

23

24

Anda mungkin juga menyukai