Anda di halaman 1dari 8

Praktik Ahli Bersaksi

(Tinjauan terhadap Mekanisme Pemberian Keterangan Ahli dalam KUHAP)


Oleh : Refki Saputra1
Indonesian Legal Roundtable (ILR)

Expert evidence of this kind is evidence of persons


who sometimes live by their business,
but in all cases are remunerated for their evidence.
Sir George Jessel - 1874
ersidangan peninjauan kembali (PK) Mochamad Siradjuddin alias Pak De, terpidana
kasus pembunuhan peragawati Dice Budiasih, kembali tertunda di Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Selatan. Pasalnya, (alm) Mun'im Idries, dokter ahli forensik RSCM/FKUI
yang sedianya akan memberikan keterangan, tidak mau datang kalau tidak dibayar.2 Di
Semarang, pihak kejaksaan kesulitan mendatangkan ahli untuk membantu menjelaskan
duduk perkara kasus korupsi pembangunan Terminal Mangkang. Berdasarkan pengalamannya,
ahli konstruksi hanya bersedia menyumbangkan ilmunya jika dibayar mahal. Padahal keterangan
ahli tersebut sangat dibutuhkan untuk menemukan bukti awal potensi penyimpangan
pembangunan Terminal tersebut.3 Dua pemberitaan tersebut mewakili pendapat dan praktik yang
berlangsung di dalam system peradilan kita, bahwa menghadirkan ahli, berarti mengeluarkan
biaya besar.

Keterangan ahli pada masa Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) tidaklah termasuk
alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Baru kemudian setelah UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku, keterangan ahli menjadi salah satu alat bukti

Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Saat ini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu Hukum di
Universitas Indonesia.

Mun'im Idris setelah dikonfirmasi hukumonline membenarkan dirinya tidak akan datang ke persidangan sebagai
saksi ahli kalau tidak dibayar. Ia berpandangan penggantian biaya terhadap saksi ahli sebenarnya diatur dalam
Pasal 229 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang menyatakan bahwa saksi atau ahli yang telah
hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat
penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tapi ketentuan tersebut tidak pernah
diterapkan. Selengkapnya, lihat Sidang Kasus PK Pak De: Karena Tidak Dibayar, Munim,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4939/font-size1-colorff0000bsidang-kasus-pk-pak-debfontbrkarenatidak-dibayar-munim-, Diakses pada 1 November 2013.

Kasus
Korupsi
Terminal
Mangkang;
Kejari
Terkendala
Hadirkan
Saksi
http://suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2010/06/22/57616, diakses pada 1 November 2013.

Ahli,

yang sah, setelah alat bukti keterangan saksi.4 Melihat letak urutannya, pembuat undang-undang
menilai keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang penting mengingat perkembangan
teknologi yang membawa dampak terhadap kualitas kejahatan yang memaksa kita untuk
mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan
keahlian (Harahap, 2006:296).
Pasal 1 Angka 28 KUHAP menyebutkan bahwa : Keterangan ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Secara normatif seorang
ahli merupakan orang yang tidak terkait dengan perkara pidana yang disidangkan, tapi
keterangannya diperlukan dalam mengungkap kebenaran materil dari suatu tindak pidana yang
dituduhkan.
Dalam praktiknya, sulit untuk menilai bahwa keterangan ahli yang diberikan didepan
persidangan itu murni berdasarkan pertimbangan ilmu pengetahuan yang dimiliki, bukan
berdasarkan kompensasi yang diterima ahli yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa kesediaan seseorang untuk menjadi ahli di persidangan dihargai dengan
honorarium besar dari pihak yang mengajukannya. Terdakwa yang berasal dari golongan
menengah atas, dapat dengan mudah membayar ahli yang dapat memberikan keterangan yang
mendukung atau menguntungkan posisinya. Misalnya, untuk perkara-perkara korupsi.
Keterangan ahli yang akan disampaikan, tentu dengan mudah bisa dipesan atau dipersuasi
berdasarkan kemauan dan kepentingan yang mengajukan.5 Sementara, disisi lain, pihak yang
tidak memiliki cukup dana, orang miskin atau kasus-kasus terkait kepentingan publik, hanya bisa
gigit jari karena tidak bisa mendatangkan ahli untuk kepentingan pembelaan diri. Dengan
demikian, terjadi ketidak-seimbangan kesempatan bagi terdakwa dalam membela hak-hak
hukumnya.
Dari beberapa kondisi yang telah diuraikan diatas, timbul pertanyaan, bagaimanakah
seharusnya mekanisme pengajuan ahli dalam peradilan pidana yang bisa menjamin
ketidakberpihakkan ahli dan juga menjamin hak-hak tersangka, terdakwa maupun hak penyidik
dan penuntut umum bersama-sama hakim dalam menemukan kebenaran materil?

Dalam Ketentuan Pasal 184 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan
bahwa alat bukti yang sah antara lain adalah a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e.
keterangan terdakwa.

Namun hal demikian tidak menutup kemungkinan, ahli dari pihak JPU juga melakukan hal serupa dengan
pertimbangan tertentu, sedapat mungkin agar dakwaan yang dibuat sukses menjerat pelaku ke jeruji besi. Hal ini
misalnya pernah diwartakan tentang seorang pakar hukum pidana senior yang ketika bersaksi di pengadilan
terhadap terdakwa kasus korupsi, kesaksiannya malah meringankan terdakwa dan berbalik arah dari kesaksiannya
di BAP. Padahal sang profesor ini adalah saksi dari JPU. Lihat Menakar Harga Saksi Ahli,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4944/menakar--harga-saksi-ahli, diakses pada 4 November 2013.

Pengadilan Yang Menghadirkan Ahli, Bukan Para Pihak


Peranan saksi ahli atau orang yang memberikan keterangan sebagai ahli dimasa lalu
pernah mendapat sinisme hakim George Jessel dalam kasus, Lord Abinger v. Ashton tahun 1874
di Inggris. Ia paling tidak percaya pada kesaksian yang diberikan oleh seorang ahli dalam
beberapa hal:
Pertama, walaupun ahli sesungguhnya sudah disumpah, namun apa yang ia kemukakan di
pengadilan hanyalah sebatas opini yang apabila ia berbohong, tidak bisa dikenakan sanksi
pidana atas sumpah palsu. Kedua, Saksi ahli dipekerjakan oleh yang memanggilnya.
Seberapa jujur si ahli, secara alamiah pendapatnya akan bias mendukung orang yang
membayarnya. Hal tersebut menurutnya sangat mungkin terjadi dalam sistem peradilan
adversarial (adversarial system)6, karena ahli hanya memiliki akses kepada satu
pandangan saja dan satu sisi pembuktian saja, yakni dari kliennya. (Reynolds, 2002:2)

Pandangan Hakim Jessel tersebut masih relevan dengan kondisi praktik peradilan pidana di
Indonesia saat ini. Yaitu, kehadiran ahli yang diharapkan dapat meluruskan informasi terkait
perkara yang tengah diperiksa, kadang-kala disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi, dengan memberikan keterangan sesuai permintaan pihak yang mengajukan. Maka,
akhirnya relasi yang terbangun tak obahnya seperti hubungan antara penjual dan pembeli. Lalu,
dimana letak independensi seorang ahli sebagai seorang ilmuan yang seharusnya hanya
mengabdi kepada ilmu pengetahuan (knowledge), bukan sebaliknya menghamba kepada modal
(capital) atau kekuasaan. Dan tidak berlebihan jika kemudian muncul anekdot, ahli bersaksi,
maju tak gentar membela yang bayar, atau pendapat sebesar pendapatan terhadap seorang
ahli yang demikian.
Hal tersebut muncul karena ketidaktegasan KUHAP dalam mengatur peran dan posisi
keterangan ahli dalam peradilan pidana. KUHAP tidak secara tegas menyebutkan kapan dan
dalam keadaan apa saja keterangan ahli dapat diperoleh, baik pada saat penyidikan, penuntutan
maupun persidangan secara sistematis. Dalam tahap penyidikan, Pasal 120 KUHAP menyatakan,
jika dianggap perlu, penyidik dapat meminta keterangan ahli. Kemudian dalam Pasal 133 ayat
(1), khusus keterangan ahli kedokteran kehakiman dibutuhkan dalam tindak pidana yang
menimbulkan korban luka, keracunan dan mati. Sementara itu, dalam tahap penuntutan
permintaan keterangan ahli tidak dijelaskan. Hanya saja, dalam proses persidangan, mekanisme
pengajuan ahli agak sedikit lebih jelas ketimbang pada saat penyidikan dan penuntutan.
Dalam ketentuan Pasal 180 Ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa: Dalam hal diperlukan
untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang
6

Adversary Model dalam sistem peradilan pidana membatasi salah satu pihak untuk tidak dapat menggunakan
pihak lainnya sebagai sumber bagi bahan pembuktian. Para pihak disini memiliki fungsi yang otonom dan jelas,
dimana penuntut umum menetapkan fakta-fakta mana saja yang akan dibuktikan disertai bukti untuk menunjang
fakat tersebut, sementara tertuduh (terdakwa) menentukan fakta mana saja yang akan menguntungkan
kedudukannya (Atmasasmita, 2010:43).

dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan. Substansi norma tersebut paling tidak menjelaskan kepada kita tiga hal: Yaitu
:
Pertama, yang menjadi alasan keberadaan ahli di persidangan adalah untuk menjernihkan
persoalan yang melingkupi suatu perkara pidana yang tengah diperiksa. Dimana dalam perkaraperkara tertentu, ada dimensi-dimensi yang sangat spesifik yang tidak diketahui oleh semua
orang, khususnya hakim yang memeriksa. Misalnya terkait dengan sebab kematian seseorang
yang hanya bisa dijelaskan oleh seorang yang berprofesi dibidang kesehatan, dalam hal ini
misalnya dokter forensik (kedokteran kehakiman). Atau misalnya untuk mengetahui jenis senjata
yang digunakan dalam suatu kejahatan dengan barang bukti beberapa selongsong peluru dengan
jenis tertentu. Dan banyak lagi hal-hal spesifik yang membutuhkan keterangan orang yang benarbenar ahli dibidang itu. Dengan demikian, tidak semua perkara membutuhkan keterangan ahli.
Kedua, keterangan ahli yang dibutuhkan disini khusus dalam proses pemeriksaan di
pengadilan, bukan pada saat pra-persidangan, seperti misalnya pada saat penyidikan. Pada
dasarnya sistem peradilan pidana sudah dianggap berjalan semenjak tahap penyelidikan dan
kemudian penyidikan dan penuntutuan untuk selanjutnya diperiksa dipersidangan. Adakalanya,
ketika perkara yang sudah masuk pada tahap pra-persidangan (penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan) keterangan ahli juga dibutuhkan untuk menelaah apakah memang benar peristiwa
yang terjadi merupakan suatu tindak pidana dan juga pada saat menyusun sangkaan dan dakwaan
berdasarkan unsur-unsur dari pasal yang hendak dikenakan kepada tersangka. Namun yang
menjadi fokus perbincangan pada Pasal 170 Ayat (1) adalah pada saat perkara sudah diperiksa di
pengadilan.
Ketiga, pihak yang secara eksplisit disebutkan berwenang menghadirkan ahli di
persidangan adalah hakim ketua sidang. Artinya, seorang ahli yang datang untuk didengarkan
keterangannya di persidangan adalah atas dasar permintaan dari hakim atau pengadilan, bukan
pihak yang berperkara. Dengan demikian, kebutuhan untuk mendatangkan ahli bukanlah dari
masing-masing pihak beperkara melainkan kebutuhan hakim yang memeriksa perkara. Hanya
saja ketentuan tersebut tidak secara tegas menempatkan kedudukan ahli yang sebenarnya sama
dengan saksi. Dimana, kehadiran seorang ahli ke persidangan adalah karena dipanggil oleh
pengadilan untuk kepentingan proses peradilan pidana, bukan diminta dihadirkan. Hal ini yang
kemudian ditafsirkan dalam praktik bahwa ahli yang didatangkan ke persidangan diminta oleh
hakim namun dihadirkan oleh para pihak ke persidangan, dalam hal ini oleh terdakwa melalui
penasihat hukumnya dan JPU.
Mengapa harus berupa pemanggilan, bukan permintaan? Karena dari padanan kata tersebut
tersirat makna bahwa sesungguhnya kehadiran ahli dipengadilan merupakan bentuk kewajiban
dari warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam Pasal
179 Ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa: Setiap orang yang diminta pendapatnya

sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan. Begitupula yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 159 Ayat (2), yang
menyatakan : Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi
saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan
menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang
berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli. Pasal tersebut terdapat padanannya dalam
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengenakan sanksi pidana bagi
ahli yang menolak memberikan keterangan didepan pengadilan tanpa alasan yang sah. Lebih
lanjut, Pasal 224 KUHP menyatakan: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidamemenuhi kewajiban berdasarkan undangundang yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan; Selain itu, Pasal 522 KUHP juga memungkinkan menjatuhkan
pidana bagi ahli yang mangkir dari panggilan dengan melawan hukum. Selengkapnya bunyi
Pasal 522 KUHP adalah sebagai berikut: Barang siapa menurut undang-undang dipanggil
sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Namun demikian, untuk memberikan peran yang seimbang, terhadap ahli yang
memberikan keterangan untuk membantu proses hukum (pidana), negara bertanggungjawab
untuk memberikan kompensasi tertentu. Terkait hal tersebut, sebenarnya sudah dimuat dalam
ketentuan Pasal 229 Ayat (1) KUHAP7 yang berbunyi sebagai berikut: Saksi atau ahli, yang
telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat
pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini yang kemudian tidak pernah dijalankan oleh para pemangku kebijakan di
negeri ini, padahal sudah diperintahkan oleh undang-undang semenjak tahun 1981. Seharusnya
negara memberikan batasan atau standar yang jelas terkait kompensasi tersebut yang dimuat
dalam peraturan perundang-undangan. Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Rudi Satrio
(alm) dan Harkristuti Harkrisnowo mengutarakan bahwa pengaturan dan standarisasi penting
untuk mencegah adanya ketimpangan hukum baik yang dialami terdakwa dan JPU yang tidak
dapat menghadirkan ahli.8 Namun hingga saat ini tidak pernah ada peraturan apapun yang
memuat hal tersebut seperti yang dikeluhkan oleh (alm) Munim Idris beberapa tahun yang lalu.
Padahal, dengan terselenggaranya mekanisme tersebut sesungguhnya merupakan jaminan
negara terhadap proses hukum yang seimbang (equality of arms) dan akses masyarakat terhadap
keadilan (accsess to justice). Dimana negara memberikan fasilitas yang sama kepada semua
pihak beperkara untuk memungkinkan mendatangkan ahli yang dapat menjelaskan hal-hal
spesifik terkait dengan perkara yang tengah dihadapinya. Jika tidak demikian, orang-orang yang
7

Rumusan yang sama terdapat dalam Pasal 223 Ayat (1) RUU KUHAP
Menakar.., Loc. Cit.

memilki dana besar akan mudah mencari ahli dengan bayaran berapapun, sementara si miskin
hanya bisa pasrah menerima hukuman. Lebih jauh lagi, keterangan yang diberikan oleh ahli
berbayar tersebut patut dipertanyakan objektivitasnya.
Bukan Keterangan Ahli Hukum
Selain orang yang memiliki keahlian khusus, KUHAP tidak menjelaskan siapa saja yang
dapat dipanggil sebagai ahli. Dalam Pasal 133 Ayat (1) hanya membagi kategori ahli menjadi
ahli kedokteran kehakiman untuk tindak pidana yang menimbulkan korban luka, keracunan dan
meninggal dunia serta ahli lainnya. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut, yang dimaksud ahli
kedokteran kehakiman adalah seorang yang memiliki kemampuan khusus terkait dengan bedah
mayat dan forensik. Sedangkan, yang dimaksud dengan ahli lainnya tidak memiliki batasan,
dengan kata lain bisa merupakan ahli jiwa, ahli kimia, ahli mesin, ahli pertambangan, termasuk
ahli hukum. Disini muncul pertanyaan. Bukankah hakim adalah orang yang mengerti hukum dan
olehkarenanya ialah yang berhak menjatuhkan hukuman kepada pihak-pihak yang melanggar
hukum? Dan oleh karena itu pihak dalam suatu sengketa hukum tidak perlu mendalilkan atau
membuktikan hukum yang berlaku untuk kasus mereka, karena hakim dianggap tahu hukum (ius
curia novit).9
Preposisi ini dapat dilacak akar historisnya, dimana peranan ahli (experts) dalam peradilan
bermula pada era Renaissance dan pada saat berkembangnya ilmu pengetahuan di Eropa. Dalam
perkara Buckley V. Rice Thomas (1554) di Inggris, hakim Saunders ketika itu mengakui bukti
dari ilmu yang berasal dari fakultas-fakultas lain (admitting evidence of other Sciences or
Faculties). Kemudian dalam perkara Foulkes V.Chadd (1782), hakim Lord Mansfields
menerima jika pengadilan akan mengakui opini atau keterangan dari orang-orang yang spesifik
sesuai dengan pengetahuannya untuk membuktikan fakta-fakta (the court would recognize the
opinion of Scientific men upon proven facts may given by men of Science within their own
Science) (Reynolds, 2002:1).
Dari penjelasan tersebut, keterangan ahli dalam peradilan baru muncul ketika ada
kebutuhan untuk melihat suatu perkara dari perspektif lain yang berasal dari kalangan nonhukum. Keberadaan ahli penting untuk menjelaskan kondisi-kondisi non-hukum dari suatu
perkara yang dapat dipergunakan hakim untuk menetapkan posisi hukumnya. Dengan kata lain,
fungsi dari ahli tidaklah memfokuskan secara langsung perihal masalah hukum, dan tidak
memberikan argumentasi seputar masalah hukum, melainkan pandangan seputar keahlian teknis
(Reynolds, 2002:2). Jika dikaitkan dengan konteks peradilan saat ini yang sudah memberikan
kekhususan dalam perkara-perkara tertentu, misalnya pengadilan tindak pidana korupsi, maka
penjelasan demikian semakin relevan. Tidaklah diperlukan seorang ahli hukum untuk
menjelaskan hal-hal seputar hukum pidana korupsi, seperti kerugian negara, perbuatan melawan
9

Ius Curia Novit, http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html, diakses pada 4 November 2013.

hukum, menyalahgunakan wewenang dan lain-lain sebagainya karena hakim-hakim di


pengadilan tindak pidana korupsi sudah harus dianggap tahu tentang hal tersebut. Yang
dibutuhkan adalah seorang ahli yang bisa menghitung kerugian negara yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi yang timbul dari kegiatan pertambangan, kehutanan, dan lain sebagainya
yang merupakan hal-hal non-hukum.
Selain bukan ahli hukum, kualifikasi seorang ahli untuk menjelaskan hal-hal terkait suatu
perkara juga tidak harus berasal dari latar belakang profesi atau lembaga resmi yang dinyatakan
sebagai ahli dalam bidang tertentu. Memang pada umumnya, ahli yang dipanggil ke persidangan
selalu ditanyakan seputar keahliannya dalam bidang tertentu dan juga latar belakang pendidikan
dan institusi tempatnya berkegiatan. Namun hal demikian tidaklah menghalangi seorang yang
memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam bidang tertentu namun tidak memiliki
pengakuan secara resmi yang menerangkan bahwa ia memiliki keahlian dalam bidang tersebut.
Misalnya seorang ahli yang akan dihadirkan untuk menjelaskan tentang sistem mekanik yang
bekerja pada kendaran bermotor tidak harus orang-orang yang memililki sertifikat dibidang itu
atau misalnya seorang doktor mekanika. Tapi cukup orang-orang yang mempunyai pengalaman
dibidang itu dan mampu menjelaskan tentang hal-hal yang ditanyakan. Sebagai ilustrasi, dapat
disimak penjelasan Jack V Matson dalam bukunya Effective Expert Witnessing; Third Edition
yang mencontohkan seorang supir truk yang memiliki pengalaman 30 tahun yang mampu
menjelaskan cara menggerakkan truk dengan roda 18 bisa saja dijadikan sebagai ahli untuk
menerangkan hal-hal yang ia kuasai tersebut. A truck driver with 30 years of experience can
expertly describe the maneuverability of an 18-wheeler. Whatever your expertise, you must
demonstrate a minimum of depth and competence on the subject (Matson, 1998:17).
Rekomendasi Perubahan KUHAP
Dari uraian tersebut diatas, terkait keterangaan ahli, berikut masukan-masukan terkait RUU
KUHAP yaitu :
1. Merekonstruksi peran dan posisi seorang ahli dapat dilakukan dengan merevisi
pemaknaan peranan ahli dalam proses persidangan, yaitu bukan sebagai pihak yang
didatangkan untuk menguntungkan salah satu pihak (tersangka, terdakwa maupun JPU),
melainkan untuk menjelaskan atau menjernihkan duduk perkara yang tengah diperiksa
guna mendapatkan kebenaran materil. Kemudian, merinci kapan keterangan ahli dapat
diminta, baik dalam proses penyidikan, penuntutan maupun persidangan beserta hak
masing-masing institusi dalam memanggil ahli, tanpa mengabaikan hak tersangka
maupun terdakwa.
2. Mempertegas tanggungjawab negara untuk memberikan kompensasi dalam nilai yang
wajar kepada ahli yang dipanggil dalam setiap proses peradilan pidana. Hal ini berangkat
dari pemikiran bahwa meskipun kedatangan ahli untuk memberukan keterangan dalam
proses peradilan pidana merupakan suatu kewajiban warga negara untuk membantu

peradilan (the duty of an expert to help the court on the matters within his expertise),
kepadanya harus diberikan penghargaan atas apa yang dilakukannya kepada negara. Dan
untuk mencegah penyelewengan yang tidak tertutup kemungkinan ahli mendapatkan
bayaran dari pihak-pihak tertentu untuk mempengaruhi keterangannya, maka harus
diberikan sanksi terhadap ahli yang bersangkutan.
3. Mendefinisikan ulang kualifikasi ahli yang dapat diajukan untuk memberikan keterangan.
Orang-orang yang berlatar belakang disiplin ilmu hukum sedapat mungkin dibatasi untuk
dapat diajukan sebagai ahli. Jikapun saat ini secara sosiologis, masih dipertanyakan
kualitas dari hakim-hakim yang tersedia, paling tidak ahli hukum yang dapat diajukan
sebagai ahli adalah yang benar-benar memiliki kajian yang paling spesifik dari bidang
ilmu hukum yang dikuasainya. Misalkan seorang ahli hukum bioteknologi atau hukum
antariksa yang mungkin tidak semua hakim dapat memahami seluk beluk dari kajian
tersebut. Disisi lain, tidak menuntup kemungkinan orang-orang yang memiliki keahlian
teknis tertentu yang bukan berasal dari institusi formil (resmi) untuk bisa menjadi ahli,
sepanjang ia mampu menjelaskan hal-hal teknis dan spesifik untuk membantu peradilan
mengungkapkan kebenaran materil.
***
Daftar Bacaan
Jack V. Matson, 1998, Effective Expert Witnessing, Third Edition, The Pennsylvania State
University, University Park, Pennsylvania.
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Cetakan
Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta.
Michael P. Reynolds, 2002, The Expert Witness in Construction Disputes, Blackwell Science
Ltd, United Kingdom.
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Edisi Pertama, Cetakan ke-1,
Kencana, Jakarta.
Sidang Kasus PK Pak De: Karena Tidak Dibayar, Munim, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/hol4939/font-size1-colorff0000bsidang-kasuspk-pak-debfontbrkarena-tidakdibayar-munim-, Diakses pada 1 November 2013.
Kasus Korupsi Terminal Mangkang; Kejari Terkendala Hadirkan Saksi Ahli,
http://suaramerdeka.com/v1/index. php/read/news/2010/06/22/57616, diakses pada 1
November 2013.
Menakar Harga Saksi Ahli, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4944/menakar-harga-saksi-ahli, diakses pada 4 November 2013.
Ius Curia Novit, http://www.miftakhulhuda.com/2011/02/ius-curia-novit.html, diakses pada 4
Novemver 2013.
R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Rancangan Undang-undang Nomor . Tahun .. Tentang Hukum Acara Pidana

Anda mungkin juga menyukai