LINGKUNGAN INDONESIA
Volume 1 Issue 2, Desember 2014
DISCLAIMER
Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,
melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.
Dewan Penasehat
Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.
Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.
Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.
Indro Sugianto, SH. M.H.
Sandra Moniaga, SH., LL.M.
Yuyun Ismawati
Dadang Trisasongko, S.H.
Penanggung Jawab
Henri Subagiyo, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Yustisia Rahman, S.H.
Redaktur Pelaksana
Rika Fajrini, S.H.
Margaretha Quina, S.H.
Sidang Redaksi
Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Dyah Paramita, S.H., LL.M.
Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Haryani Turnip, S.H.
Sukma Violetta, S.H., LL.M. Dessy Eko Prayitno, S.H.
Josi Khatarina, S.H., LL.M. Citra Hartati, S.H., M.H.
Rino Subagyo, S.H. Raynaldo G. Sembiring, SH.
Windu Kisworo, S.H., LL.M. Astrid Debora, S.H.
Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Ohiongyi Marino, S.H.
Feby Ivalerina, SH., LL.M. Nisa Istiqomah, S.H.
Mitra Bebestari
Ricardo Simarmata, Ph.D.
iii
PENGANTAR REDAKSI
Menggagas Arah Kebijakan Hukum
dalam Mewujudkan Demokrasi Lingkungan di Indonesia
vi
DAFTAR ISI
vii
Abstract
The Ministry of Forestry (now merged as Ministry of Environment and
Forestry) is currently conducting acceleration of forest area gazettement
program. The goal, among others, is to create forest area with legal certainty and
justice. Nevertheless, the more fundamental issue than the acceleration of forest
area designation is the clarification of government land tenure and public land
tenure on lands belong to the forest area. This paper aims to explain legal
1
concepts related to the land tenure in the forest area. How the tenure could give
legal certainty and justice at the same time for both society and government. The
foundation of this paper is the elaboration of state control over forest areas
concept, known as the state right to control. How the indicators used in assessing
the implementation of the state right to control and how these indicators are used
to assess the regulation and practices of forest area designation are the two core
question of this paper.
Keywords: area,forest, state right to control.
1. Pendahuluan
M YRNA A. SAVITRI
3Pasal
hutan pada dasarnya adalah langkah awal menentukan secara indikatif wilayah
yang akan dijadikan kawasan hutan. Kawasan yang telah ditunjuk itu perlu
diverifikasi di lapangan melalui proses penataan batas dan pemetaan. Pada
tahap inilah penyelesaian terhadap tumpang-tindih antara kawasan yang
ditunjuk sebagai kawasan hutan negara dengan tanah dimana terdapat hak-hak
masyarakat hukum adat atau hak pihak ketiga lainnya diselesaikan.
UU Kehutanan yang lama (UU No. 5 Tahun 1967) juga memandatkan
dilakukannya perencanaan kehutanan secara utuh, dengan memasukkan ke
dalamnya pengukuhan kawasan hutan.Namun, hal ini tidak dilaksanakan
secara konsisten. Pembentukan kawasan hutan di beberapa tempat seperti
halnya Pulau Jawa dan Madura serta beberapa wilayah Pulau Sumatera adalah
warisan kebijakan kolonial Belanda. Di wilayah lain di luar Pulau Jawa dan
Madura, kawasan hutan muncul sebagai hasil dari penerbitan konsesi
kehutanan di penghujung tahun 1960-an dan tahun 1970-an. Keputusan
Menteri Pertanian No. 291/Kpts/Um/5/1970 menyatakan bahwa areal konsesi
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai kawasan hutan
produksi, tanpa melalui proses pengukuhan kawasan hutan.
Pada tahun 2013, Kementerian Kehutanan melalui Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) No. P. 32/Menhut-II/2013 tentang Rencana Makro
Pemantapan Kawasan Hutan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan baik
yang terdapat di daratan ataupun perairan 4 adalah 130,68 juta hektar atau
68,4% dari luas wilayah daratan Indonesia (lihat peta 1). Kawasan dimaksud
dibagi ke dalam berbagai macam fungsi yakni hutan konservasi seluas 26,82
juta hektar, hutan lindung seluas 28,86 juta hektar, hutan produksi dengan luas
32,6 juta hektar, hutan produksi terbatas dengan luas 24,46 juta hektar, dan
hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 17,94 juta hektar.5
Meskipun kawasan hutan yang ditunjuk itu meliputi areal yang luas,
pada kenyataannya hingga tahun 2009, kawasan hutan yang telah ditetapkan
hanya mencapai 11,29%6 Data ini menunjukkan bahwa hampir 90% kawasan
hutan Indonesia pada saat itu belum berkepastian hukum. Sebagaimana telah
4 Yang dimaksud dengan kawasan hutan di perairan itu antara lain adalah taman
nasional laut. Kawasan ini ada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan.
5 Hutan konservasi merupakan hutan yang pemanfaatannya sangat dibatasi dan pada
umumnya hanya dapat dimanfaatkan jasa lingkungannya seperti halnya cagar alam, suaka
margasatwa atau taman nasional. Hutan lindung pemanfaatannya juga terbatas.Selain jasa
lingkungan hasil hutan bukan kayu masih dapat dimanfaatkan. Hutan produksi dan hutan
produksi terbatas dibedakan dari cara penebangan kayunya. Pada hutan produksi dapat
dilakukan tebang habis sedangkan pada hutan produksi terbatas hanya dapat dilakukan
tebang pilih.Hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih-fungsikan menjadi bukan
kawasan hutan.
6Presentasi
M YRNA A. SAVITRI
IUPHHK-HTR
(2012)
Pelepasan
transmigrasi
(2013)
Pelepasan untuk
kebun (2013)
Pinjam pakai
tambang (2013)
IUPHHK-HA
(2012)
IUPHHK-HTI
(2012)
IUPHHK-RE (2012)
M YRNA A. SAVITRI
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah yang diartikan sebagai hak
menguasai negara. Sebuah konsep hukum yang acap digunakan untuk
memberikan keabsahan pada penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam
termasuk hutan.
Konsep hak menguasai negara ini di satu sisi dipandang sebagai
kesuksesan bangsa Indonesia merumuskan relasi hukum antara negara dengan
rakyat terkait dengan tanah serta kekayaan alam. Konsep ini menggantikan
doktrin hukum kolonial yang dikenal dengan nama Doktrin atau Pernyatan
Domein atau dikenal pula dengan sebutan Domein Verklaring.7 Namun, di sisi
yang lain, konsep ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai penyebab dari
perilaku keliru dari institusi negara yang menguasai secara fisik laksana
memiliki tanah dan kekayaan alam (lihat kembali Fay dan Sirait, 2005 dan
7 Mengenai Doktrin Domein, asal kemunculan serta polemik diseputarnya lihat Burns
(2004) dan Termorshuizen-Arts (2010).
8Lihat
9Lihat
M YRNA A. SAVITRI
UU Kehutanan
a.
Mengatur
dan
menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa;
b.
Menentukan
dan
hubungan-hubungan
mengatur
hukum
10Hak
a.
b.
pengelolaan ini adalah sebuah format penguasaan tanah yang secara khusus
diberlakukan kepada instansi-instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk
pelaksanaan tugasnya namun tanah-tanah dimaksud juga dapat diserahkannya kepada pihak
lain. Dasar hukum pertama dari hak pengelolaan ini adalah PP No. 8 tahun 1953 tentang
Penguasaan tanah-tanah negara. Setelah berlakunya UUPA, hak pengelolaan ini memperoleh
dasar dari Pasal 2 ayat 4 UUPA. Selanjutnya terdapat beberapa peraturan menteri
agraria/dalam negeri terkait dengan hak pengelolaan ini. Dalam perkembangannya terdapat
bias pengaturan hak pengelolaan ini dimana tidak hanya instansi pemerintah tetapi juga
badan hukum swasta yang menjadi pemegang hak pengelolaan. Pembahasan lebih mendalam
mengenai hak pengelolaan ini lihat Parlindungan (1989), Sumardjono (2008:197-215) dan
Soemardijono (2008).
antara
orang-orang
dengan
bumi, air dan ruang angkasa,
c.
Menentukan
dan
mengatur
hubungan-hubungan
hukum
antara
orang-orang
dan
perbuatan-perbuatan
hukum
yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Mengatur
dan
menetapkan
hubungan-hubungan
hukum
antara orang dengan hutan, serta
mengatur perbuatan-perbuatan
hukum mengenai kehutanan.
10
M YRNA A. SAVITRI
Merumuskan kebijakan
b.
Melakukan pengurusan
c.
Melakukan pengaturan
d.
Melakukan pengelolaan
e.
Melakukan pengawasan
b.
c.
12 Tidak dapat dipungkiri, pendekatan antroposentris sangat kuat dalam Pasal 33 ayat
UUD 1945, Meskipun demikian, saya juga memahami bahwa ekonomi hijau juga diakomodir
dalam Pasal 33 ayat 4 yang menyatakan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan
dan
kesatuan
ekonomi
nasional.
Oleh
sebab
itu
Asshiddiqie
(http://www.jimlyschool.com/read/program/254/green-constitution, diakses 4-8-2014)
melabeli juga UUD 1945 sebagai konstitusi hijau. Karena selain Pasal 33 ayat 4 itu juga ada
Pasal 28H ayat 1 yang menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat. Namun, dalam kaitan dengan hak menguasai negara, dimana Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
adalah rujukan utama, saya belum menemukan adanya pertimbangan yang kuat terhadap
aspek lingkungan dalam hal pelaksanaan kewenangan penguasaan negara atas tanah dan
kekayaan alam.
11
d.
Dengan alur dan indikator yang dinyatakan pada bagan 2, kita dapat
memahami bagaimana penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam itu
seharusnya dijalankan oleh penyelenggara negara dan pemerintah.Demikian
pula dengan alur itu kita dapat mengetahui bagaimana rakyat dapat menilai
kemampuan penyelenggara dan pemerintah menjalankan kewenangan Hak
Menguasai Negara.
Meringkas kembali apa yang telah dinyatakan sebelumnya, Hak
Menguasai Negara itu dijalankan melalui lima elemen: perumusan kebijakan,
tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap
tanah dan kekayaan alam. Tujuannya adalah mencapai empat indikator
12
M YRNA A. SAVITRI
Indikator
I.1
Elemen Hak
Menguasai Negara
Indikator
I.2
I.3
I.4
II.1
II. Pengurusan
II.2
II.3
III.1
III. Pengaturan
III.2
III.3
secara menyeluruh.
Adanya arah kebijakan pemanfaatan
dan penggunaan kawasan hutan yang
jelas, stabil dan selaras dengan kebijakan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan ruang.
Adanya
perencanaan
alokasi
pemanfaatan kawasan hutan secara
proporsional antara masyarakat dan
korporasi.
Adanya perencanaan alokasi fungsi
kawasan hutan yang teruji secara
saintifik dan dikonsultasikan dengan
masyarakat di sekitar.
Pengakuan terhadap hutan adat dan
hutan hak lainnya.
Pengukuhan kawasan hutan negara dan
hutan hak termasuk hutan adat
dilakukan
dengan
proses
yang
transparan dan melindungi hak-hak
masyarakat serta dengan batas-batas
yang jelas dan dihormati semua pihak.
Pemberian izin pemanfaatan dan
penggunaan kawasan hutan yang
transparan, akuntabel dan berlandaskan
pada pelaksanaan prinsip Persetujuan
atas Dasar Informasi Awal tanpa
Paksaan (Padiatapa atau free, prior and
informed consent).
Evaluasi terhadap efektifitas peraturan
perundang-undangan kehutanan yang
sedang berlaku.
Tersedianya instrumen harmonisasi
peraturan
perundang-undangan
kehutanan dan peraturan sektor lain
yang terkait dengan mengacu pada
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001.
Proses
perancangan
peraturan
14
M YRNA A. SAVITRI
Elemen Hak
Menguasai Negara
Indikator
IV.1
IV. Pengelolaan
IV.2
V.1
V. Pengawasan
V.2
V.3
tahun 2009, penetapan itu hanya mampu mencapai 11.29%. Melihat pada
capaian ini, hal yang penting kita diskusikan adalah bagaimana pengukuhan
kawasan hutan dapat memenuhi indikator II.2 yang disebutkan dalam tabel 2.
Di sini, persoalannya bukan semata mengejar kepastian hukum atas status
kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan kawasan hutan
itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak dan dijalankan melalui proses
yang dalam bahasa Mahkamah Konstitusi adalah tidak otoriter. Dengan kata
lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian
pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.
Untuk menjadikan pengukuhan kawasan hutan memenuhi indikator
II.2 maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini. Pertama, kawasan hutan
yang sedang ditata-batas perlu dilakukan monitoring. Hal ini disebabkan
banyak proses penataan batas dilakukan tanpa pemberian informasi yang
memadai kepada masyarakat, ketiadaan atau minimnya partisipasi masyarakat
dalam pengukuran batas, banyak dilakukan proses penyelesaian klaim
masyarakat secara sepihak, tanpa memberikan pengakuan dan kompensasi
pada hak dan akses masyarakat yang hilang karena pengukuhan kawasan
hutan negara. Kedua, kawasan hutan yang telah selesai ditata-batas perlu
dilakukan evaluasi dengan mekanisme uji-petik terhadap lokasi-lokasi yang
diduga ada penyalahgunaan wewenang atau tidak dijalankannya prosedur
penataan batas yang benar. Ketiga, kawasan hutan yang telah ditetapkan perlu
memasukkan pengakuan terhadap kawasan hutan adat dan kawasan hutan
hak, selain kawasan hutan negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan
pembentukan kawasan hutan itu tidak menghilangkan hak-hak atas tanah dan
hak ulayat. Ini sejalan dengan maksud UU Kehutanan yang tidak menyatakan
bahwa kawasan hutan itu harus selalu berupa hutan negara. Mengingat praktik
penataan batas yang di masa lalu dijalankan tanpa banyak mengindahkan
penyelesaian klaim hak dan akses masyarakat dengan baik maka mekanisme
penanganan keberatan masyarakat terhadap hasil penetapan kawasan hutan
juga perlu disediakan.
16
M YRNA A. SAVITRI
Bagan 3
Kawasan Hutan
Hutan
Negara
yang sudah
ditetapkan
Dikuasai
Kemen
hut
Kawasan
Hutan
yang
belum
ditetapkan
Hutan Hak
Hutan
Adat
Hutan
Hak Perorangan
Tanah yang
dikuasai
langsung
oleh Negara
Tanah
Pemerintah
(Hak Pakai/
Hak
Pengelolaan
Tanah Ulayat
Tanah Hak
Perorangan/
Badan
Hukum
(Hak Milik,
Hak Pakai,
HGU, HGB)
Hutan
Hak
Badan
Hukum
6. Kesimpulan
M YRNA A. SAVITRI
19
Daftar Pustaka
Burns, Peter. 2004. The Leiden legacy: Concepts of law in Indonesia. Leiden: KITLV.
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2014. Penetapan kawasan hutan: Menuju
kawasan hutan Indonesia yang mantap. (lokasi: penerbit)
Fay, Chip dan Martua Sirait.2005.
Kerangka hukum negara dalam
mengatur agraria dan kehutanan Indonesia: Mempertanyakan sistem
ganda kewenangan atas penguasaan tanah. ICRAF Southeast Asia
Working Paper 3. Bogor: World Agroforestry Centre.
Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1. Edisi revisi. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Hatta, Mohammad. 1954.
Balai Buku Indonesia.
pengelolaan
menurut
sistem
UUPA.
20
M YRNA A. SAVITRI
Sumardjono, Maria. 2008.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya.
Jakarta: KOMPAS.
Termorshuizen-Arts, Marjanne. 2010. Rakyat Indonesia dan tanahnya:
Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya
dalam hukum agraria Indonesia, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam
Moeliono (ed.), Hukum agraria dan masyarakat di Indonesia: Studi tentang
tanah, kekayaan alam dan ruang di masa kolonial dan desentralisasi. Jakarta:
HuMa, Van Vollenhoven Institute, Leiden University, KITLV-Jakarta.
Vandergeest, Peter dan Nancy Lee Peluso. 2006. Empires
of
forestry:
Professional forestry and state power in Southeast Asia. Part 1, dalam
Environment and History (lokasi : penerbit).
21
Abstrak
Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara
yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk
menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau
pembangunan di bidang perekonomian selalu memerhatikan lingkungan hidup
di segala sektor, termasuk kehutanan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan
pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara
seimbang demi menyejahterakan rakyat. Objek kajian ini adalah putusan MK
No. 35/PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah
dilanggar hak konstitusionalnya. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan
lokal (local wisdom) tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup atas sumber daya alam hutan adat, sehingga negara wajib
melindungi dan bertindak sebagai fasilitator masyarakat hukum adat untuk
mengelola hutan adatnya sendiri. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk
menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare
state atau negara kesejahteraan dalam pengelolaan hutan negara dengan
kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan
kajian socio-legal atau hukum dalam fakta sosial atas putusan Mahkamah
Konstitusi. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan
Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini.
Selain itu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan
yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori. Hasil kajian ini
terungkap bahwa terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan
hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan
negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan
memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta
1
Abstract
Green constitution placed Indonesia as a country that has a constitutional juridical
consequences constitution in 1945 to apply the principles of ecocracy, that is any
wisdom or development in the field of economy always looking environment in all
sectors, including forestry. It aims to implement the pillars of sustainable development
in a balanced manner for the sake of welfare of the people (society). The study object is
the Constitution Court decision No. 35/PUU-X/2012 with indigenous peoples subject
his constitutional rights. Indigenous and tribal peoples have local wisdoms of its own in
the protection and management of natural resources of indigenous forest, so that the
state shall protect and act as facilitators of indigenous communities to manage their own
indigenous forests. The purpose of this study are to examine and analyze the consistency
of state authority over the doctrine of welfare state in the management of state forest
with indigenous authorities in the indigenous forest management based on socio-legal
study of the Constitutional Court's decision. The author uses a methodology based on
assessment of the Constitutional Court decision, by examining the socio-legal aspects of
this decision. In addition, primary legal materials and secondary legal materials as a
normative foundation and the study of literature as a theoretical framework. The results
of this study revealed that is a relationship between the state is the state forest, and the
state is customary forests. To the state forest, the state has full authority to organize and
decide the inventory, allocation, utilization, management, and legal relations that occur
in the forest region of the country. The indigenous forests, state authority is limited
extent authorized content covered in indigenous forest. Indigenous forest management
rights of indigenous communities, but if the development of indigenous communities in
question no longer exists, then the rights of indigenous forest management falls to the
Government. The conclusion is the state is interpreted as the authority and duty of the
state to manage forest resources with the goal of public welfare, including indigenous
peoples, so that the state serves as a facilitator. Unity traditional communities
(indigenous peoples) are part of the eco-system of indigenous forest resource contains
23
WAHYU NUGROHO
the values of local wisdom which has the right to manage indigenous forest, without the
intervention of the state or private.
Keywords: state, indigenous and tribal peoples, state forests, indigenous forests,
natural resources
1. Latar Belakang
Doktrin welfare state atau welvaartsstaat (negara kesejahteraan) muncul pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-10 sebagai bentuk perkembangan dan perubahan dari konsep negara penjaga
malam (nachwachterstaat) dengan prinsip the best government is the least government di Eropa pada
abad ke-18 dan abad ke-19. Karena berkembangnya disparitas pendapat dalam masyarakat yang
menyebabkan munculnya fenomena kemiskinan massal di berbagai negara, maka timbul tuntutan
kepada negara untuk memperluas tanggung jawab sosialnya guna mengatasi fenomena kemiskinan itu,
akhirnya muncul dan berkembangnya aliran sosialisme dalam sejarah Eropa. Doktrin ini sangat
mempengaruhi proses perumusan berbagai konstitusi di negara-negara Amerika dan Eropa sendiri.
Lihat: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012, hlm. 40. Dalam literatur lain, dikatakan welfare state merupakan gagasan yang telah
lama lahir dan dirintis oleh Prusia di bawah Otto von Bismarck sejak 1850-an. Gagasan negara
kesejahteraan itu di Eropa dan Amerika masa lampau berbenturan dengan konsepsi negara liberal
kapitalistik. Periksa: Siswono Yudo Husodo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang
Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009, hlm. 65.
24
25
WAHYU NUGROHO
demikian tidak mungkin ada sisa areal hutan yang terluputkan, termasuk yang
berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 6
Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan, maka jelas
bahwa yang dinyatakan sebagai hutan adat oleh pemerintah tidak lain adalah
hutan kepunyaan masyarakat hukum ada, yang di setiap tempat memiliki
nama lokal, misalnya hutan marga, hutan ulayat, hutan pertuanan, bengkar,
dan lain sebagainya. Secara sepihak, hutan-hutan ini kemudian dicaplok oleh
negara dengan balutan konsep hak menguasai oleh negara. Hal inilah yang
dinamakan sebagai proses negaraisasi tanah (hutan) masyarakat hukum adat.
Akibatnya, jika masyarakat hukum adat berkeinginan mengelola dan
memanfaatkan harus terlebih dahulu memohon izin kepada negara, sebagai
penguasa atau pemilik baru atas hutan itu. 7
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012,
pemohon melakukan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 1 angka 6, Pasal 4
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3). Alasan
pemohon melakukan judicial review antara lain menurut ketentuan Pasal 1
angka 6 UU Kehutanan yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945
berbunyi: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Pasal 4 ayat (3) menyatakan: Penguasaan hutan oleh
negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional. Ketentuan Pasal 5 menyatakan: ayat (1): hutan
berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara dan b. hutan hak; ayat (2)
hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan
adat; ayat (3) pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya; dan ayat (4) apabila dalam perkembangannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak
pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pasal-pasal tersebut yang
dikabulkan oleh MK, sedangkan terhadap ketentuan Pasal 67 UU Kehutanan
yang menyangkut hak-hak, eksistensi dan hapusnya masyarakat hukum adat
ditolak Mahkamah karena tidak terdapat muatan yang dianggap bertentangan
dengan norma-norma HAM dalam UUD 1945.
Perkara ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan
6
Hedar Laudjeng, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam
San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,
1999, hlm. 81.
7
Andiko, op.cit., hlm. 81.
26
yang
dimaksud
Charles V. Barber, The State, the Environment and Development; the Genesis of
Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral Dissertation of California
University Berkeley, 1989, hlm. 14.
9
Stefanus Laksanto Utomo, Budaya Hukum Masyarakat Samin, Ed. I, Cet. I, Bandung: PT
Alumni, 2013, hlm. 7.
27
WAHYU NUGROHO
kategori hutan negara. Lebih gamblang lagi dinyatakan bahwa hutan negara
dapat berupa hutan adat, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan.10
Mencermati beberapa pasal di dalam UU Kehutanan, dalam praktik
yang dilakukan oleh negara dan sejumlah perusahaan di sekitar kawasan hutan,
hak-hak konstitusional masyarakat adat untuk mengakses dan melakukan
pengelolaan terhadap hutan adat telah dipangkas dengan menjadikan kawasan
hutan taman nasional sebagai hutan negara, termasuk hutan adat yang menjadi
bagian dari hutan negara. Selanjutnya melalui instrumen perizinan, pemilik
perusahaan dilegalkan dengan perizinan-perizinan yang ada untuk mengambil
alih kawasan hutan adat menjadi usaha kawasan pertambangan, perkebunan
kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Hal ini jelas telah menegasikan
masyarakat hukum adat, nilai-nilai budaya lokal, bahkan sering terjadi konflik
masyarakat adat dengan pemerintah dan pihak pengusaha.
2. Permasalahan
3. Tujuan
4. Metodologi
28
5. Studi Pustaka
5.1
11
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, Bandung: PT Mandar
Maju, 2003, hlm. 105.
12
Ibid.
13
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Ed. I, Cet. 9, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008, hlm. 91.
29
WAHYU NUGROHO
5.2
14
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977, hlm. 51.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 14, Jakarta: Gunung
Agung, hlm. 199.
15
30
5.3
31
WAHYU NUGROHO
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 179.
32
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Izin Usaha
Provinsi;25
Pemanfaatan
18
Jasa
Lingkungan
(IUPJL)
Lintas
33
WAHYU NUGROHO
8)
9)
dan
Izin
26
Ibid.
Ibid.
28
Ibid.
29
Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009,
27
hlm. 84.
34
30
Lihat: Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.
35
WAHYU NUGROHO
hukum itu memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari
norma-norma sosial sebagai hukum yang hidup.31
Dalam konteks penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber
daya alam hutan dan lingkungan hidup di sekitarnya, Pasal 4 ayat (1) UU No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan: Semua hutan di dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Frasa dikuasai dalam Pasal tersebut tidak dimaknai dimiliki, akan tetapi
negara sebagai otoritas yang sah secara yuridis konstitusional mendapatkan
amanah berupa kewenangan untuk melakukan pengaturan agar tercipta
kepastian hukum dan ketertiban sosial.
Rumusan Pasal 4 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
secara eksplisit menjelaskan kewajiban dan kewenangan suatu negara untuk
mengatur sumber daya alam hutan, yakni:
Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan wewenang
kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan; (b) menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan
dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur
dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang
dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum
mengenai kehutanan.
36
32
37
WAHYU NUGROHO
33
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan; Aspek Hukum Pertanahan dalam
Pengelolaan Hutan Negara, Ed. , Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 72.
38
39
WAHYU NUGROHO
bahwa tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara,
atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak sebagaimana
dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU a quo, serta hutan
ulayat dalam hutan negara, sehingga menjadi jelas status dan letak hutan ulayat
dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua, yaitu
hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat
dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada
tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.
Masyarakat hukum adat telah menguasai tanah dan kekayaankekayaan alam di suatu wilayah jauh sebelum pembentukan negara.
Penguasaan tradisional itu mendapatkan pengakuan dari komunitas-komunitas
lainnya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendeskripsikan:
Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di
seluruh pelosok nusantara ini (sebagian menjadi wilayah
Indonesia) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial
politik yang berdaulat. Mereka secara otonom mengatur dan
mengurus dirinya serta mengelola tanah dan sumber daya alam
lainnya di habitat masing-masing. Komunitas-komunitas ini telah
mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan juga sistem
kelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk menjaga
keseimbangan antar warga di dalam komunitas tersebut dan juga
antara komunitas tersebut dengan alam di sekitarnya.
Sekolompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul yang
diwariskan oleh leluhurnya ini secara mendunia dikenal sebagai
indigenous peoples dan di Indonesia dikenal dengan berbaga
penyebutan dengan pemaknaan masing-masing, seperti
Masyarakat Hukum Adat, penduduk asli, bangsa pribumi,
umumnya memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan
komunitas lain di sekitarnya. Keragaman sistem lokal ini sering
juga muncul pada satu suku atau etnis atau bahkan pada subsuku yang sama umumnya juga memiliki bahasa dan sistem
kepercayaan/agama asli.35
40
WAHYU NUGROHO
42
43
WAHYU NUGROHO
44
sosial, tata ruang, modal sosial, potensi sosial, konflik sosial, kelembagaan,
pemerintahan adat, pola permukiman, alat dan teknologi. Dalam kesehariannya
mereka selalu merujuk kepada apa yang telah diwariskan oleh leluhur
sebelumnya. Warisan-warisan dari leluhur yang mereka sebut sebagai aturan
adat ini yang mengatur semua lini kehidupan, mulai dari pesta kawin,
menanam padi, membuka lahan, upacara kematian, memilih bibit, sampai
menentukan hari baik untuk beraktivitas. Jika dilihat secara holistik, mereka
memiliki pola pengaturan hidup secara turun-temurun, termasuk dalam
pengelolaan sumber daya alam hutan adat.
Tanah dan hutan bagi suku Talang Mamak merupakan bagian dari
kehidupan yang tidak dapat dipisahkan, sejak ratusan tahun mereka hidup
damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil
hutan dan melakukan perladangan berpindah. Terdapat aturan adat mengenai
sumber daya alam hutan, yakni:
1. Kawasan hutan adalah kawasan dengan kepemilikan komunal;
2. Kawasan pemukiman dan perkebunan adalah kawasan dengan
kepemilikan pribadi yang diturunkan berdasarkan keturunan;
3. Kawasan sungai
berkelompok;
adalah
kawasan
yang
kepemilikannya
WAHYU NUGROHO
7. Kesimpulan
44
46
Daftar Pustaka
Andiko, Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, regulasi, negosiasi dalam
Konflik Agraria di Indonesia, dalam Upaya Tiada Henti Mempromosikan
Pluralisme dalam Hukum Agraria di Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta:
Epistema Institute-HuMa-Forest Peoples Programme, 2011.
Ardiwilaga, Roestandi, Hukum Agraria Indonesia, Cet. 2, Bandung: Masa Baru,
1962.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Barber, Charles V., The State, the Environment and Development; the Genesis of
Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral
Dissertation of California University Berkeley, 1989.
Bodenheimer, Edgar, Yurisprudence; The Philosophy and Method of the Law,
Cambriage, Massachesetts, 1962.
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Husni, Anang, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009.
Husodo, Siswono Yudo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang
Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009.
Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara
Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman
Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kehutanan No. 11 tahun 2008.
_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA)
pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. Diubah dengan Peraturan
Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan
Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008.
_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2008 tentang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau dalam
Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.
_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 43 tahun 2008 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
47
WAHYU NUGROHO
48
49
Abstrak
Pengadaan tanah untuk kegiatan industri minyak dan gas bumi merupakan
kegiatan strategis yang diprioritaskan negara atas nama kepentingan umum.
Tidak jarang, pengadaan tersebut merampas hak tenurial masyarakat adat demi
menyediakan lahan bagi perusahaan
untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi. Padahal fungsi tanah bagi masyarakat adat tidak hanya sebagai
tempat tinggal saja, tetapi juga sebagai tempat peribadatan, sumber mata
pencaharian serta bagian dari budaya dan warisan leluhur yang harus
dipertahankan dan dilestarikan. Hak masyarakat adat terhadap tanah ulayat
juga dilindungi oleh berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.
Salah satu prosedur yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak
fundamental masyarakat adat adalah FPIC (Free, Prior and Informed Consent)
atau PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan).
Secara khusus, tulisan ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan
sebagai berikut: Pertama, mengapa FPIC dapat menjadi instrumen hukum
progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha
migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi
investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC
dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia?
Kata kunci: Masyarakat Adat, Tanah Ulayat, Pengadaan Tanah untuk Kegiatan
Industri Migas, PADIATAPA
Abstract
Land clearing for oil and gas industry is deemed as a strategic activity that is
prioritized in the name of Public Interest. In many cases, such land clearing
confiscated the land tenure of indigenous peoples to give space for oil companies
conducting exploration and exploitation. This is unacceptable for indigenous peoples
because not only they often depend on their customary land for their livelihoods and
residence, but also because it has strong cultural and often spiritual significance. The
rights of indigenous peoples over their customary land is protected under national and
international legal frameworks.
One of the procedure that shall gives a protection over the fundamental rights of
Indigenous Peoples is FPIC (Free and Prior Informed Consent). In the business
perspective, FPIC will increase the legal certainty for invesment as it provides the
companies with social license to extract. Specifically, this paper will address the
following questions: First, how FPIC could be a progressive legal instrument to protect
Indigenous Peoples rights in the activity of oil and gas? Second, how FPIC could
increase the legal certainty for investment in oil and gas industry? Third, what are the
strategies to apply FPIC in the land clearing policy for oil and gas industry in
Indonesia?
Key Words: Indigenous Peoples, Customary Land, Land Clearing in Oil and Gas
Industry, FPIC
1. Pendahuluan
2
Rikka Sombolinggi, Jaringan akan Buat Peta Global Masyarakat
http://www.aman.or.id/2013/10/03/jaringan-akan-buat-peta-global-masyarakatadat/#.VAuzhxYWS_w diakses pada 15 Oktober 2014.
3 AMAN. Indigenous World 2011 (Jakarta: AMAN, 2011), hal. 1.
51
Adat.
NISA I. NIDASARI
52
6 Kharina Triananda, Komnas: Hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang Bisa
Dilanggar.
http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-kasus-tanahbanyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html , diakses pada 10 Oktober 2014.
53
NISA I. NIDASARI
dan pada akhirnya menarik investor keluar dari indonesia. 7 Hal ini tidak sejalan
dengan kepentingan Indonesia untuk meningkatkan investasi asing di sektor
migas. SKK Migas dan Kementerian ESDM mencatat bahwa cadangan minyak
Indonesia akan habis dalam kurun waktu 12 tahun sedangkan cadangan gas
bumi akan habis dalam 44 tahun. Karena itu perlu dilakukan eksplorasi untuk
menemukan cadangan minyak dan gas baru dan pemerintah harus bekerja
lebih keras lagi menarik investor untuk melakukan eksplorasi di daerah-daerah
yang sulit dijangkau di bagian timur Indonesia. 8
Melihat kondisi di atas, dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat
mempertemukan masyarakat adat dengan perusahaan dimana masyarakat adat
bisa memperoleh informasi yang utuh tentang sebuah proyek yang akan
dilangsungkan di tanah ulayat dan yang akan berdampak pada kehidupan
mereka. Tidak hanya itu, masyarakat adat juga diberikan hak untuk
menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap aktivitas/proyek tersebut.
Mekanisme ini lebih dikenal dengan istilah Free, Prior, and Informed Consent
(FPIC).9
Untuk mengelaborasi lebih lanjut tentang FPIC dan kemungkinan
penerapannya di Indonesia, tulisan ini bermaksud untuk membahas tiga pokok
permasalahan: Pertama, bagaimana FPIC dapat menjadi instrumen hukum
progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha
migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi
investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC
dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia?
Tulisan ini akan didahului dengan sebuah paparan tentang apa yang
dimaksud dengan masyarakat adat dihubungkan dengan istilah populer
internasional: Indigenous Peoples, kemudian akan dilanjutkan dengan
pembahasan apa itu FPIC serta unsur, prinsip dan prosedur umum dari FPIC.
Selanjutnyas tulisan ini akan masuk pada tigas pokok permasalahan di atas lalu
ditutup dengan kesimpulan.
7 First People Worldwide. Indigenous Rights Risk Report for the Extractive Industry,
(Uniter States: First People Worldwide, 2013) Hal. 12.
8
Indonesia
SOS
Energi
Investasi
Asing.
http://indonesiainvesttoday.com/2013/11/indonesia-sos-energi-investasi-asing-di.html , diakses pada 9 Oktober
2014.
9 Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. Rekomendasi
Kebijakan: Instrumen Free, Prior, Informed Concent (FPIC) Bagi Masyarakat Adat dan atau
Masyarakat Lokal yang Akan Terkena Dampak dalam Aktivitas Redd+ di Indonesia, (Jakarta: DKN,
2011), hal.3
54
UU No. 41 Tahun
tentang Kehutanan
Masyarakat Hukum Adat
bentuk
55
NISA I. NIDASARI
UU No. 18 Tahun
tentang Perkebunan
Peraturan
Menteri
Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum
Adat
56
Masyarakat Adat
57
NISA I. NIDASARI
2.
3.
4.
Hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alam yang ada di
sekitarnya;
5.
6.
58
16http://yancearizona.net.
59
NISA I. NIDASARI
Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah
Indigenous Peoples sebagai sinonim dari istilah Masyarakat Adat.
3.1
Definisi FPIC
FPIC (Free and Prior Informed Consent) adalah sebuah mekanisme atau
suatu proses yang memungkinkan masyarakat menyatakan setuju atau tidak
setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan
dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat dan berpotensi berdampak
kepada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan masyarakat.18 Menilik
sejarah, FPIC pada awalnya digunakan untuk melindungi kepentingan pasien
di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan
yang akan dilaluinya sebelum tindakan medis tersebut dijalankan. Salah satu
kodifikasi pertama FPIC di dunia adalah Kode Nuremberg tahun 1947 yang
berhubungan dengan syarat melakukan riset dan eksperimen medis terhadap
manusia.19 Dari sinilah konsep FPIC berkembang dari semula konsep
perlindungan terhadap hak pasien menjadi konsep perlindungan terhadap hakhak Indigenous Peoples dalam berbagai kaidah hukum internasional. 20
Bagi masyarakat adat atau lokal di Indonesia, konsep FPIC bukanlah
konsep baru yang diintrodusir oleh pihak asing. Konsep ini sebenarnya telah
mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat adat atau lokal dalam bentuk
musyarawarah untuk melakukan pemanfaatan aset dan potensi yang dimiliki
dengan pihak luar.21
3.2
18DKN,
60
3.3
Prinsip-prinsip FPIC
NISA I. NIDASARI
mengejar
Pasal 10: Indigenous peoples cannot be forcibly removed from their lands and
territories and relocated without FPIC
Terjemahan bebas:Masyarakat adat tidak boleh diusir secara paksa
dari tanah atau wilayah mereka tanpa FPIC.
Pasal 28: Indigenous peoples have the right to redress for lands, territories,
resources, which were confiscated, taken, occupied, used or damaged without
their FPIC.
Terjemahan bebas:Masyarakat adat mempunyai hak atas ganti rugi
atas tanah, wilayah, sumber daya alam yang disita, diambil, diduduki,
digunakan dan dirusak tanpa FPIC.
Pasal 32: FPIC should be obtained prior to approval of any project affecting
their lands, territories and resources, particularly exploitation of mineral,
water and other resources.
Terjemahan bebas: FPIC wajib diperoleh sebelum adanya persetujuan
terhadap proyek apapun yang dapat berdampak pada tanah, wilayah
dan sumber daya alam milik masyarakat adat, khususnya proyek yang
berkaitan dengan eksploitasi mineral, air dan sumber daya alam
lainnya.
3.4
62
A.
63
NISA I. NIDASARI
No.
1.
Tanah Ulayat
Nagari
2.
Penghulu-penghulu suku
3.
B.
65
NISA I. NIDASARI
C.
Kegiatan
ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
masyarakat terhadap proyek yang akan dilangsungkan di tanah ulayat.
Proses ini dapat dilakukan melalui FGD, penyebaran leaflet, brosur, cerita
bergambar (cergam), film, animasi, dan media pendukung lainnya yang
relevan serta bertujuan agar informasi yang diberikan konsisten,
seragam, lengkap dan jelas. 29
Segala informasi tentang kegiatan usaha Migas yang akan
dilaksanakan di Tanah Ulayat beserta dampak sosial dan lingkungannya
harus disampaikan dengan sebenar-benarnya kepada masyarakat adat
dengan cara:
27 Ninik, Mamak adalah orang yang dinobatkan atau diangkat oleh persukuannya
dan atau kaumnya untuk memimpin persukuan atau kaumnya sendiri, yang telah
dikukuhkan atau dinobatkan secara sah oleh persekutusannya sesuai dengan hukum adat
setempat
28 Perda Pemkab Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat.
29 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... Hal 35.
30 World Wildlife Fund. Free, Prio... Hal. 5.
66
D.
67
NISA I. NIDASARI
E.
F.
G.
34
35
68
H.
69
NISA I. NIDASARI
I.
38Ibid.
39 Satjipto Rahardjo (a), Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta:
Genta Publishing, 2009), hal. 1-2.
40 Satjipto Rahardjo (b), Hukum dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKIPers, 2006), hal.
151.
41 Satjipto Rahardjo (c), Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum
Progresif (Vol.1/No.1/April 2005)
70
Konsep mengenai hukum progresif ini lahir bukan tanpa sebab. Aliran
tersebut muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada aliran positivisme
hukum yang selama ini dianut oleh para penegak hukum, para sarjana dan
akademisi hukum di Indonesia.42
Menurut Satjipto Raharjo, hukum yang progresif adalah hukum yang
mampu mengikuti serta menjawab perkembangan dan perubahan zaman.43
Hukum progresif bukanlah konsep yang berdiri sendiri karena eksplanasi
persoalan hukum tidak bisa dilepaskan dari kebersinggungannya dengan
konsep hukum lain seperti teori hukum responsif (responsive law) dari Nonet &
Selznick yang menghendaki agar hukum diposisikan sebagai fasilitator yang
merespon kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat. Dengan kata lain, hukum
harus menawarkan lebih dari sekadar prosedural justice, berorientasi pada
keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu harus
mengedepankan substansial justice.44
Hukum dalam perspektif hukum progresif bukanlah semata-mata rule
of logic, tetapi social structure and behaviour. Hukum tanpa memperhatikan rasa
keadilan masyarakat sama halnya mengingkari kepastian hukum itu sendiri.
Bahwa penegakan hukum sangat terkait dengan masyarakat sehingga tidak
asosial. Oleh sebab itu itu, ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka
hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. 45
4.2
FPIC sebagai Instrumen Hukum Strategis untuk Melindungi Hakhak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Migas
42 Dey Ravena, Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif, Jurnal Suloh (Vol. VII. No.1
April 2009), hal. 17.
43 Satjipto Rahardjo (d), Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum
dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998,
hal. 5
44 Dey Ravena, Ibid., hal. 20.
46Diemas
71
NISA I. NIDASARI
47Feby Dwi Sutianto. Jokowi-JK Bakal Konversi BBM ke BBG dalam 3 Tahun.
http://finance.detik.com/read/2014/06/20/213145/2614884/1034/jokowi-jk-bakalkonversi-bbm-ke-bbg-dalam-3-tahun , diakses pada 19 Desember 2014.
48 Pasal 2 huruf (k), UUPPLH.
49 Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Membuka Ruang, Menjembatani
Kesenjangan, (Jakarta:ICEL, 2006)
50 Yance Arizona, Mempertimbangkan FPIC..., diakses pada 19 Desember 2014.
72
b.
c.
Menjaga
keberlanjutan
lingkungan
sebab
penguatan
masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam, yang
selama ini bercorak komunal, dapat menghadang kerusakan
lingkungan dari ketamakan individu dan korporasi; 51 dan
d.
51
52
73
NISA I. NIDASARI
application or simply paying a fee It requires far more than money to truly become
part of the communities in which you operate. 53
Karena sifatnya yang tidak berwujud, sulit untuk menentukan apakah
social license telah diperoleh. Namun demikian social license termanifestasi dalam
berbagai bentuk seperti tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap
kredibilitas perusahaan serta tidak adanya oposisi yang secara aktif
mengkampanyekan penolakan terhadap keberadaan perusahaan. Social license
juga bersifat dinamis dan tidak permanen mengingat kepercayaan, opini dan
persepsi masyarakat dapat berubah. Karena itu social license harus terus dijaga
dan dipelihara.54
Dari perspektif pengusaha, social license sangatlah penting karena:
1.
2.
3.
4.
5.
53
http://socialicense.com/definition.html, diakses pada 27 Oktober 2014.
Terjemahan bebas: Anda tidak akan mendapatkan izin sosial dengan cara pergi ke
kementerian, membuat permohonan atau dengan membayar fee... Dibutuhkan lebih dari uang
untuk benar-benar menjadi bagian dari masyarakat di tempat perusahaan Anda beroperasi.
54 Brian F. Yates dan Celesa L. Horvath, Social License to Operate: How to Get it. and
How to Keep It. Working Paper. (Canada: Pacific Energy Summit, 2013), hal 3.
74
Pentingnya penerapan FPIC ini juga ditegaskan oleh putusan InterAmerican Human Right System atas kasus Samaraka People v. Suriname.
Dalam putusan ini, pemerintah Suriname dinyatakan bersalah atas tindakannya
memberi konsesi sumber daya alam kepada perusahaan swasta tanpa meminta
persetujuan dari masyarakat adat Samaraka. Majelis hakim menyatakan bahwa
sebelum proyek pembangunan dilangsungkan, pemerintah seharusnya
melakukan proses konsultasi dengan itikad baik, menggunakan sarana yang
menurut adat dapat diterima dan bertujuan untuk mencapai kesepakatan dari
Samaraka People.57
Putusan lain yang dapat menjadi preseden dalam pengakuan hak
masyarakat adat di dunia internasional adalah kasus Kichwa People of Sarayaku v.
Ecuador. Kasus ini bermula dari diterbitkannya izin eksplorasi dan eksploitasi
minyak oleh Pemerintah Ekuador kepada perusahaan swasta dalam lingkup
Patrick Anderson. Free, Prior...Hal. 36.
Coss and Emily Greenspan. Oil, Gas... hal. 16.
57 Tara Ward. The Right to FPIC: Indigenous Peoples Participation Rights within
International Law. Northwestern Journal of International Human Rights Volume 10, Issue 2,
2011. hal. 63.
55
56Marianne
75
NISA I. NIDASARI
wilayah yang ditempati secara adat oleh Kichwa People. Majelis hakim
kemudian menyatakan Pemerintah Ekuador bersalah karena telah melanggar
hak kepemilikan (right to property) dan hak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan karena tidak menyelenggarakan konsultasi yang efektif dengan
masyarakat terdampak sebelum diterbitkannya izin tersebut. 58
Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa dengan menerapkan
FPIC, manfaat bagi perusahaan sangatlah besar baik secara materil maupun
immateriil seperti nama baik, reputasi, social license dan kepastian hukum.
Sebaliknya, tanpa FPIC perusahaan akan mengalami risiko demonstrasi,
pencitraan negatif, pencabutan izin, penghentian paksa dan gugatan hukum.
Resiko-resiko ini tentunya akan menghambat kegiatan eksplorasi, pelaksanaan
komitmen pengeboran dan pembangunan infrastruktur migas. Karena itu
pemerintah harus segera menormakan FPIC dalam kerangka hukum nasional
dan menciptakan instrumen-instrumen pendukungnya untuk meningkatkan
kepastian hukum bagi investasi di sektor migas.
6.1
76
(1) Dalam hal tanah yang akan digunakan untuk kegiatan usaha
minyak dan gas bumi merupakan tanah masyarakat adat,
perolehan tanah dilakukan melalui:
a. persetujuan dari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. pemberian informasi yang lengkap dan akurat dengan bahasa
yang mudah dimengerti tentang Kegiatan Usaha Migas yang
akan berdampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,
budaya dan sistem pemerintahan adat;
c. pemberian restitusi dan kompensasi yang layak dan adil atas
wilayah adat baik daratan maupun perairan, dan sumber daya
alam yang dimiliki secara turun temurun yang diambil alih,
dikuasai dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Migas;
d. pemberian hak untuk kembali ke wilayah adat ketika Kegiatan
Usaha Migas telah selesai.
(2) Pemberian restitusi dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) diberikan dalam bentuk:
a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Pemukiman kembali;
d. Kepemilikan saham; dan/atau
e. Bentuk lain yang disepakati oleh kedua belah pihak
(3) Mekanisme lebih lanjut tentang prosedur penggunaan tanah
masyarakat adat untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi akan
diatur oleh Peraturan Pemerintah.
6.2
Tanah
bagi
59 Yang dimaksud Infrastruktur minyak dan gas bumi adalah infrastruktur yang
terkait dengan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mencakup kegiatan
eksplorasi, eksploitasi, transmisi, dan/atau distribusi (Penjelasan Pasal 7 ayat (2)).
77
NISA I. NIDASARI
II.
78
6.3
64
alam.
79
NISA I. NIDASARI
6.4
b.
c.
80
seperti The Europian Bank for Reconstruction and Development, The Asia
Development Bank dan The Inter-American Development Bank telah
mengadopsi kebijakan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang wajib diikuti
oleh perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan. IFC Performance Standard 7 on
Indigenous People (PS7) adalah ketentuan yang paling sering dirujuk oleh
perusahaan dan lembaga keuangan lainnyaserta direkomendasikan oleh The
Equator Principle yang merupakan benchmark industri keuangan untuk risiko
lingkungan dan risiko sosial.66 PS7 mengatur peran sektor swasta dalam
meminimalisir dampak proyek terhadap masyarakat adat. PS7 bertujuan untuk:
Menghargai dan melestarikan budaya, kearifan lokal serta praktekpraktek yang selama ini dilakukan masyarakat adat.67
66
Anonim.
About
the
Equator
Principle.
http://www.equatorprinciples.com/index.php/about-ep/about-ep, diakses pada 19 Oktober 2014. Saat ini The
Equator Principle telah diadopsi oleh 80 lembaga keuangan dari 34 negara yang membiayai
lebih dari 75% proyek pembangunan di seluruh dunia.
67 The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social Issues
(IPIECA), Indigenous Peoples...hal. 8.
81
NISA I. NIDASARI
7. Kesimpulan
2.
3.
b.
c.
d.
82
Daftar Pustaka
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Jaringan akan Buat Peta Global Masyarakat
Adat. http://www.aman.or.id/2013/10/03/jaringan-akan-buat-petaglobal-masyarakat adat/#.VAuzhxYWS_w
Berita Satu. Komnas HAM: Hanya dari Kasus Tanah, Banyak HAM yang HAM yang
Bisa Dilanggar. http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnashanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html
Berita Satu. Komnas hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang Dilanggar. Sumber:
http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-darikasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html
Brian F. Yates dan Celesa L. Horvath. 2013. Social License to Operate: How to Get
it, and How to Keep It. Working Paper. Canada: Pacific Energy Summit.
Bank Mandiri. Mandiri Kucurkan Kredit Sindikasi US$260 Juta untuk Lapangan Gas
Medco
Energi.
http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/newsdetail.asp?id=NHBK28186912
Cielo Magno. 2013. FPIC in the Philippines: Regulations and Realities. Boston:
Oxfam America.
Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. 2011.
Rekomendasi Kebijakan: Instrumen Free, Prior, Informed Concent (FPIC) Bagi
Masyarakat Adat dan atau Masyarakat Lokal yang Akan Terkena Dampak
dalam Aktivitas Redd+ di Indonesia. Palu: DKN.
Dey Ravena. 2009. Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif. Jurnal Suloh Vol. VII.
No.1 April 2009.
Ekuatorial.
Masyarakat
Adat
Lengkapi
One
Map
Indonesia.
http://ekuatorial.com/climate-change/masyarakat-adat-lengkapi-onemap-indonesia
Equator
Principles. About The Equator Principles. http://www.equatorprinciples.com/index.php/about-ep/about-ep. Saat ini The Equator
Principle telah diadopsi oleh 80 lembaga keuangan dari 34 negara yang
membiayai lebih dari 75% proyek pembangunan di seluruh dunia.
First People Worldwide. 2013. Indigenous Rights Risk Report for the Extractive
Industry. US: First People Worldwide.
83
NISA I. NIDASARI
SOS
Energi
Investasi
Asing.
/2013/11/indonesia-sos-energi-
Christina Hill et.al. 2010. Pedoman Untuk Persetujuan Bebas dan Sadar. Australia:
Oxfam
Prabin Shakya dan Allan T Nash. 2013. Rights in Action: FPIC for Indigenous
Peoples. Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP).
SocialLicense.com.
What
is
the
http://socialicense.com/definition.html
Social
License.
Satjipto Rahardjo. 1988. Hukum dan Birokrasi. Makalah pada diskusi Panel
Hukum dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas
Hukum UNDIP.
Satjipto Rahardjo (c), Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal
Hukum Progresif (Vol.1/No.1/April 2005)
The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social
Issues (IPIECA). 2012. Indigenous Peoples and the Oil and Gas Industry.
UK: IPIECA
Tim Penulis Pokja IV. 2011. Panduan Pelaksanaan FPIC dalam Program UN-REDD
di Sulawesi Tengah. Palu: FAO, UNDP, UNEP.
United Nations. 2012. Report of the Working Group on the Universal Periodic
Review: Indonesia. Human Rights Council.
United Nation. 2009. The State of the Worlds Indigenous Peoples. New York: UN.
Marcus Colchester. 2009. Prinsip FPIC: Sebuah Panduan bagi Para Aktivis. UK:
Forest Peoples Programme.
Marianne Coss and Emily Greenspan. 2012. Oil, Gas and Mining Company Public
Position on FPIC. US: Oxfam America.
Patrick Anderson. 2011. Free, Prior, and Informed Consent: Principles and
Approaches for Policy and Project Development. Bangkok: GIZ &
RECOFTC.
84
Robert Goodland. 2004. FPIC and the World Bank Group. Sustainable
Development Law and Policy, Summer.
Tara Ward. 2011. The Right to Free, Prior, and Informed Consent: Indigenous Peoples
Participation Rights within International Law. Northwestern Journal of
International Human Rights. US: Northwestern University.
World Wildlife Fund. 2011.Free, Prior, Informed Consent and Redd+: Guidelines and
Resources. Switzerland: WWF.
Yance Arizona. 2010. Kertas Kerja Epistema: Satu Dekade Legislasi Masyarakat
Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat
Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999-2009). Jakarta: Epistema.
85
PENERAPAN TRANSHIPMENT :
KAITANNYA DENGAN HAK BANGSA INDONESIA ATAS KOMODITAS PERIKANAN DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Savitri Nur Setyorini1
Abstrak
Artikel ini memberikan gambaran mengenai praktik transhipment dan kaitannya dengan hak
bangsa Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia
merupakan produsen ikan terbesar di Asia Tenggara. Namun, terdapat masalah yang
mengancam kekayaan laut Indonesia, di antaranya adalah transhipment. Transhipment ini
dilakukan dengan memindahkan ikan hasil tangkapan ke kapal lain di tengah laut, untuk
kemudian dibawa ke luar negeri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain
deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transhipment, yang dewasa ini menjadi
suatu kebutuhan dan solusi bisnis, merugikan hak bangsa Indonesia dan tidak sesuai dengan
konsep pembangunan berkelanjutan.
Kata kunci: ikan, transhipment, hak bangsa Indonesia, pembangunan berkelanjutan
Abstract
This article provides an overview of transhipment and its relation with the right of Indonesian people and
sustainable development. Indonesia is the largest fish producer in Southeast Asia. However, there are
several problems threatening the natural wealth of the seas in Indonesia, one of them is transhipment.
Transhipment is done by transferring captured fishes from a vessel to another vessel (or vessels) in the
middle of the sea, to be brought outside the country. This research is a qualitative research with descriptive
analytic design. The result shows that transhipment, which has currently become a necessity and business
solution, is causing a loss to the right of Indonesian people and incompatible with the concept of sustainable
development.
Keywords: fishes, transhipment, right of Indonesian people, sustainable development
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana tiga per empat luasnya merupakan
perairan. Dengan perairan yang begitu luas dan dengan kekayaan alamnya, Indonesia memliki
potensi yang sangat besar dalam hal industri perikanan.2 Berdasarkan data dari Southeast Asian
Fisheries Development Center (SEAFDEC), pada tahun 2011 jumlah ikan yang dihasilkan oleh Asia
Tenggara adalah sebesar 33,5 juta metric ton (MT), di mana sebanyak 40,7%-nya dihasilkan oleh
1
Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Perikanan sendiri merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Lihat Indonesia (1), Undang-Undang tentang Perikanan, UU
No. 31 Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN No. 4433, Ps. 1 angka 1.
2
Indonesia dan diikuti oleh Vietnam sebesar 16,2%, Filipina sebesar 14,8%, Myanmar sebesar
12,4%, Thailand sebesar 8,6%, Malaysia sebesar 5% dan Kamboja sebesar 1,9%. 3 Kemudian,
Indonesia juga menjadi produsen ikan terbesar dengan total volume produksi regional sebesar
35,3% dari perikanan tangkap, dan kemudian diikuti oleh Vietnam sebesar 15,2%, Filipina
(14.4%), Myanmar (14.3%), Thailand (10.8%), and Malaysia (9.1%).4 Indonesia juga memimpin
dengan jumlah nilai produksi regional sebesar 33,5% dari jumlah total perikanan tangkap, diikuti
oleh Vietnam sebesar 17,9%, Myanmar (16.9%), Filipina (14.2%), Malaysia (10.7%), dan Thailand
(6.7%).5 Hal tersebut membuktikan bahwa laut Indonesia sangatlah kaya.
Usaha perikanan di Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan yang cukup baik, yakni
sekitar 12,9% pada tahun 2012, dengan hasil yang hampir menyentuh angka enam belas juta ton.
Dari hasil tersebut, sebanyak lima juta ton lebih dihasilkan dari perikanan tangkap, terutama
perikanan tangkap di laut.6 Untuk meningkatkan dan menjaga kekayaan tersebut, maka dalam
hal perikanan ini diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung percepatan pertumbuhan dan
pembangunan kelautan dan perikanan, terutama untuk meningkatkan nilai tambah dan daya
saing produk kelautan dan perikanan. Untuk itu, maka Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan
di bidang kelautan dan perikanan. Kebijakan perikanan sendiri dapat dilihat dalam empat fase,
yakni:7
1) Fase pertama (1968 hingga 1993), fokus sektor perikanan dibagi menjadi dua arah, di mana
peningkatan konsumsi domestik menjadi fokus di salah satu pihak, dan mengejar
pendapatan melalui ekspor di pihak lain;
2) Fase kedua (1994 hingga 1997), fokus kebijakan perikanan bergeser ke arah pembangunan
sumber daya manusia perikanan, seperti peningkatan kesempatan kerja melalui
pengembangan kapasitas industri perikanan sejalan dengan peningkatan pasokan dan
distribusi produk-produk perikanan;
3) Fase ketiga (1997 hingga 1998), kebijakan-kebijakan perikanan merupakan bagian dan
cerminan dari upaya Pemerintah dalam menanggulangi krisis moneter dan ekonomi yang
tengah melanda, antara lain dengan berusaha meningkatkan ekspor komoditas perikanan
yang memang merupakan salah satu sektor yang paling minimal terkena dampak krisis; dan
4) Fase keempat (1998 hingga sekarang), ditandai dengan berbagai formula desentralisasi
pengelolaan perikanan. Dalam fase ini, kebijakan perikanan memiliki beberapa arah, yaitu:
a) Peningkatan manajemen partisipatif, termasuk meningkatkan peranan dan partisipasi
pemerintah daerah, masyarakat adat dan perempuan dalam pengelolaan ikan;
b) Promosi investasi perikanan dan perbaikan tatanan kelembagaan ke arah iklim yang lebih
kondusif bagi peningkatan investasi dan mempertinggi nilai tambah komoditas
perikanan; dan
c) Perbaikan sarana dan prasarana perikanan untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan
komoditas perikanan yang lebih bergairah.
Kemudian, pada tahun 2012 Pemerintah kembali merumuskan kebijakan dalam hal
kelautan dan perikanan sebagaimana dicantumkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan
3 Southeast Asian Fisheries Development Center, Fishery Statistikal Bulletin of Southeast Asia 2011
(Bangkok: Southeast Asian Fisheries Development Center, 2013), hal. 3.
4
Ibid., hal. 5.
Ibid.
6
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan,
Volume
Produksi
Perikanan,
http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/3/?iframe=true&width=100%&height=95% , diakses pada 27
Agustus 2014.
7 Bono Budi Priambodo, Ikan untuk Nelayan (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2013), hal. 39-40.
87
b.
c.
Pengembangan dan pengawasan sistem jaminan mutu dan traceability (penelusuran) produk
hasil perikanan dan jaminan ketersediaan bahan baku industri;
d. Konservasi dan rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan serta pengelolaan pulaupulau kecil dan upaya adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim untuk wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil;
e.
f.
g.
Peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat perikanan dengan fokus pada Program
Peningkatan Kehidupan Nelayan; dan
h. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan, terutama
di Koridor Ekonomi Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.
Namun ternyata, dari kebijakan-kebijakan di bidang kelautan dan perikanan tersebut
belum dapat mengakomodasi permasalahan yang mengancam kekayaan laut Indonesia, di
antaranya adalah Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), yang sekiranya dapat
merugikan negara hingga dua juta dollar dalam satu tahun.8 Secara sederhana, illegal fishing
berarti penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian ikan. Sementara itu, unreported fishing
diartikan sebagai tidak adanya pelaporan atas ikan yang ditangkap, dan unregulated fishing adalah
kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur oleh negara yang bersangkutan. 9
Adapun salah satu masalah yang timbul dari IUU Fishing tersebut adalah transhipment
atau alih muat, yakni pengalihan muatan dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut. Menurut
data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dari tahun 2001 hingga 2013, terdapat
6.215 kasus pencurian ikan, dan enam puluh persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga
November 2012.10 Kegiatan transhipment ini, selain mengancam kekayaan laut Indonesia,
tentunya akan sangat merugikan karena komoditas perikanan yang seharusnya dinikmati oleh
bangsa Indonesia dialihmuatkan kepada kapal lain. Selain itu, kegiatan ini juga akan
mempengaruhi elemen-eleman pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Penulis akan
membahas lebih lanjut mengenai kegiatan transhipment ini beserta kaitannya dengan hak bangsa
Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan.
8 Hal ini dikemukakan oleh B. Fegan dalam "Plundering the Sea: Regulating Trawling Companies is
Difficult When the Navy is in Business with Them," sebagaimana dikutip dalam Gerd Winter (Ed), Toward
Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis (Switzerland: IUCN, 2009), hal. 42.
9 Hal ini disampaikan oleh Dikdik Mohamad Sodik dalam IUU Fishing and Indonesias Legal
Framework for Vessel Licensing, sebagaimana dikutip dalam Amelya Gustina, Analisis Transhipment Pasal 69
ayat (3) Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Jurnal
Dinamika Hukum, Volume 14, Nomor 2 (Mei 2014), hal. 341.
10
Sabar
Subekti,
"Pencurian
Ikan
Masih
Marak
di
Lautan
Indonesia,"
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pencurian-ikan-masih-marak-di-lautan-indonesia diakses pada 3
Oktober 2014.
88
2. Kaitan Transhipment, Hak Bangsa Indonesia atas Komoditas Ikan dan Pembangunan
Berkelanjutan
2.1.
Transhipment
Transhipment atau alih muatan merupakan salah satu bentuk dari IUU Fishing11,
dan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMENKP/2012, mulai dari Pasal 69 hingga Pasal 71. Adapun transhipment ini didefinisikan
sebagai pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal
pengangkut ikan atau pemindahan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kepal
penangkap ikan.12
Kemudian, dalam Pasal 69 ayat (2) peraturan ini, ditentukan bahwa kebijakan
transhipment ini dapat digunakan oleh setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal
pengangkut ikan, dengan ketentuan: 1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama; 2)
pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal
pengangkut ikan (observer); 3) transmitter vessel monitoring system (VMS) dalam kondisi
aktif dan dapat dipantau secara online; 4) melaporkan kepada kepala pelabuhan
pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat
Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); 5) melaporkan kepada pengawas perikanan di
pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan 6) mengisi
pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing
nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan.
Dalam pelaksanaan transhipment ini, ikan wajib didaratkan di pelabuhan
pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal
penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas
seribu gross ton (GT) yang dioperasikan secara tunggal.13 Selain itu, ditentukan pula
bahwa setiap kapal pengangkut ikan yang menggunakan pola kemitraan dapat
melakukan alih muatan dengan ketentuan:
a) Kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 10 GT;
b) Kegiatan penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang
memiliki izin atau Bukti Pencatatan Kapal dan merupakan mitranya;
c)
11 Lihat Bab III Lampiran I Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2012 tentang
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 20122016.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan
Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KKP Nomor 30/PERMEN-KP/2012,
Pasal. 1 angka 34.
12
13
14
89
muatan di laut melalui Pasal 37 ayat (7) dan (8) serta Pasal 37A, 37B dan 37C, yang
mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.15
Indonesia sendiri sebenarnya telah memperkenalkan suatu sistem pemantauan
kapal melalui VMS, untuk menjamin ketaatan kapal ikan terhadap ketentuan yang
berlaku terhadapnya, di mana sistem ini digunakan untuk memantau posisi kapal yang
telah diberi izin untuk menangkap ikan di yurisdiksi nasional atau wilayah tertentu.16
Namun sayangnya, masih banyak yang mematikan sistem ini ketika mereka sedang
menangkap ikan.17 Dengan dimatikannya sistem tersebut, maka aktivitas yang dilakukan,
termasuk transhipment, tidak akan terpantau.
2.2.
15 Dalam Pasal 37 ayat (7) dan (8) disebutkan bahwa pendaratan ikan hasil tangkapan dari kapal
penangkap ikan dapat dilakukan langsung pada pelabuhan pangkalan atau melalui alih muatan di laut, dengan
ketentuan: 1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama; 2) pelaksanaan alih muatan diawasi oleh pemantau
kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer); transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat
dipantau secara online; 3) melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI
atau SIKPI; 4) melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam
SIPI atau SIKPI; dan 5) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masingmasing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan. Sedangkan, Pasal 37A memiliki
ketentuan yang sama dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMENKP/2012, hanya perubahan kata transhipment menjadi alih muatan.
16
Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup (Jakarta: Diadit Media, 2007), hal. 129.
Hal ini dikemukakan oleh M.V. Erdman dalam Leave Indonesias Fisheries to Indonesians! Corrupt
Foreign Fishing Fleets are Depriving Locals of Food, sebagaimana dikutip dalam Gerd, op. cit., hal. 44.
17
18 Indonesia (2), Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960.,LN
No. 104 Tahun 1960, TLN Nomor 2043, Pasal. 1 ayat (1).
19
90
21
22
Ibid.
23 Illegal fishing dapat diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal
asing pada suatu yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan peraturan nasional dan/atau kewajiban
internasional dan dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang
diterapkan oleh organisasi tersebut atau oleh ketentuan hukum internasional. Adapun kegiatan kegiatan illegal
fishing di Indonesia meliputi penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu,
penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, dan penangkapan Ikan dengan jenis (spesies)
yang tidak sesuai dengan izin. Lihat Simela Victor Muhamad, Kejahatan Transnasional Illegal fishing di Perairan
Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara, dalam Laporan Hasil Penelitian Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
tentang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Tahun 2011, hal. 65. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 50 Tahun 2012, definisi dari illegal fishing ini ditambahkan satu poin, yakni kegiatan perikanan
yang bertentangan dengan hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk juga kewajiban negara-negara
anggota organisasi pengelolaan perikanan regional terhadap organisasi tersebut.
24 Sulung Prasetyo, Pencurian Ikan Meningkat Drastis, http://www.kiara.or.id/pencurian-ikanmeningkat-drastis/, diunduh pada 22 Agustus 2014.
25
Ibid.
91
Indonesia (KNTI), Indonesia tidak memiliki kapal berbobot 1.000 GT.26 Adapun kegiatan
transhipment ini umumnya terjadi di daerah perbatasan yang memiliki banyak ikan,
seperti Laut Aru, Laut Arafuru, Perairan Natuna dan laut-laut yang berada di daerah
Nusa Tenggara.27
Selain illegal fishing, kebijakan transhipment ini juga berkaitan unreported fishing,
atau penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Unreported fishing merupakan kegiatan
penangkapan ikan yang:28
a.
tidak melapor atau melaporkan hasil tangkapan secara tidak benar kepada instasi
yang berwenang dan menyalahi peraturan perundang-undangan nasional; dan
b.
29
Ibid.
Arafura,"
30 Menurut Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Indonesia telah kehilangan tiga
puluh triliun dari tindak illegal fishing, Bila setiap pencurian itu dihargai sebesar sepuluh ribu rupiah per kilogram,
maka volume ikan yang dicuri setara dengan tiga juta ton setiap tahun, dimana angka kehilangan ikan itu
sebenarnya mencukupi jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri perikanan. Lihat Ranap Simanjuntak,
"Cold storage: Hangatnya Proyek Pendingin," http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/11/i/17-23-mei2012/business/22/hangatnya-proyek-pendingin, diakses pada 3 Oktober 2014.
92
2.3.
2.
b.
Kepedulian dunia akan lingkungan dimulai pada tahun 1962, yakni dengan diterbitkannya sebuah
buku yang ditulis oleh Rachel Carson tentang bahaya dari penggunaan pestisida, the Silent Spring yang
diterbitkan di New York oleh Marnier Book Houghton Mifflin Company. Selain itu, hal ini juga ditandai dengan
kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society, yang kemudian
menjadi pertanda akan lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia. Lihat T. Brenton, The
Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics (London: Earthscan, 1994), hal. 18-19.
31
32 Andri G. Wibisana, "Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya," Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Volume 43, Nomor 1 (Januari 2013), hal. 57.
33 Sharon Beder, Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary Introduction (Earthscan, 2006), hal.
18. Lihat juga Wibisana, Ibid., hal. 86-87.
34 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards, and
Implementation (Manchester University Press, 1995), hal. 199. Lihat juga Wibisana, ibid.
93
c.
d.
36 Illegal dan unreported fishing berasal dari sisi ekonomi. Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo,
Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk
Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan,
Angka
Konsumsi
Ikan,
http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/4/?iframe=true&width=100%&height=95% , diakses pada 27
Agustus 2014.
37
38
Ramdhania El Hida, Konsumsi Ikan Orang Indonesia Hanya Seperlima Jepang,
http://finance.detik.com/read/2011/08/24/165017/1710441/4/konsumsi-ikan-orang-indonesia-hanyaseperlima-jepang, diakses pada 27 Agustus 2014.
94
pasar bagi komoditas ikan ini sendiri belum dapat diakomodasi oleh Indonesia, dan
umumnya masih berada di bagian utara Indonesia.39 Selanjutnya, dari sisi ekologi,
haruslah memperhatikan pengukuran atau pencatatan dari ikan yang ditangkap, selain
dengan cara didaratkan terlebih dahulu. Hal ini sejatinya dapat dilaksanakan dengan
melakukan kerjasama statistik dengan negara-negara lain, baik secara bilateral maupun
multilateral. Dengan begitu, maka diharapkan pembangunan berkelanjutan dalam hal
perikanan dapat menghasilkan kemanfaatan bagi generasi sekarang maupun generasi
yang akan datang, baik secara ekonomi, sosial-budaya, maupun secara ekologi.
2.4.
Keniscayaan Transhipment
Seperti telah dijabarkan sebelumnya, transhipment atau alih muatan atas
komoditas perikanan dari satu kapal ke kapal lain di atas laut dan dibawa ke luar negeri
tidak sejalan dengan hak bangsa Indonesia dan juga pembangunan berkelanjutan dan
tentunya merugikan Indonesia. Namun, pada kenyataannya, praktik transhipment tetap
berjalan dan bahkan masih terbuka celah untuk melakukan hal tersebut dalam peraturan
yang berlaku.
Menurut Bono Budi Priambodo, praktik transhipment dapat dikatakan sebagai
suatu kebutuhan.40 Hal ini berkaitan dengan komoditas perikanan yang memiliki
perbedaan dengan komoditas lain. Jika komoditas lain akan memiliki nilai tambah lebih
tinggi jika diolah terlebih dahulu, maka komoditas perikanan justru akan memiliki nilai
tambah yang lebih tinggi jika tidak diolah. Komoditas perikanan yang diolah justru
harganya menjadi lebih murah dibandingkan dengan yang tidak diolah. 41 Dengan
karakteristik demikian di atas, maka komoditas perikanan yang lebih laku di pasar
adalah ikan segar yang sebenarnya tidak dapat bertahan lama. Di sisi lain, pasar untuk
ikan-ikan segar ini umumnya terletak di tempat yang jauh dari lokasi penangkapan ikan
dan membutuhkan jangka waktu yang lama agar ikan tersebut sampai di lokasi atau
pasar ikan. Sedangkan, ikan harus tetap segar untuk dapat laku di pasar.
Indonesia, berdasarkan data dari SEAFDEC merupakan produsen ikan tuna
terbesar di Asia Tenggara, dengan komoditas andalan berupa frigate tuna, bullet tuna,
skipjack tuna, longtail tuna, albacore tuna, southern bluefin tuna, yellowfin tuna dan bigeye
tuna.42 Hingga saat ini, pasar tuna justru berada di bagian utara Indonesia, sehingga tunatuna yang ditangkap tersebut harus dibawa ke bagian utara Indonesia43 dan harus tetap
segar. Namun, tuna sendiri merupakan komoditas perikanan yang memiliki jangka
waktu hidup kurang dari empat puluh jam. 44 Jika lebih dari empat puluh jam setelah
ditangkap tuna-tuna tersebut tidak sampai di pasar, maka tuna-tuna tersebut akan mati,
dan harga jualnya otomatis akan menurun. Sementara itu, untuk tuna-tuna yang
diekspor dalam keadaan mati, ketidaktersediaan gudang pendingin (cold storage) yang
baik dan memadai akan menyebabkan tuna-tuna tersebut tidak lagi segar ketika sampai
Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.
39
40
Ibid.
Ibid.
Lihat
juga
Dias
Satria,
Antara
Tuna
http://diassatria.lecture.ub.ac.id/2012/, diakses pada 28 Agustus 2014.
41
42
Port
Lincoln
dan
Tamperan,
Southeast Asian Fisheries Development Center, op. cit., hal. 41, 43.
Salah satu pasar lelang ikan internasional adalah di Jepang, yang memiliki permintaan tuna yang besar.
Lihat Dias Satria, ibid.
43
44 Bono Budi Priambodo memberikan contoh yaitu komoditas perikanan berupa salmon yang menjadi
bahan utama untuk pembuatan sushi dan diternakkan di Norwegia Utara. Dalam waktu sekitar empat puluh jam,
ikan-ikan salmon dari Norwegia Utara tersebut harus sampai di Jepang dalam keadaan segar untuk kemudian
dijadikan bahan utama pembuatan sushi. Ikan salmon segar tersebutlah yang kemudian bernilai jual yang tinggi.
95
di pasar.45 Oleh karena itu, maka agar tetap laku di pasar dan memiliki nilai jual yang
tinggi, tuna-tuna tersebut harus sampai di pasar lebih cepat sebelum jangka waktu
hidupnya habis dan tetap segar.
Letak pasar yang jauh, jangka waktu yang relatif singkat untuk menjaga
kesegaran ikan, dan keterbatasan cold storage inilah yang kemudian menyebabkan praktik
transhipment terus terjadi, terutama di daerah penghasil ikan di Indonesia Timur, di mana
ikan-ikan yang ditangkap dialihmuatkan ke kapal lain yang memiliki fasilitas cold storage
yang baik dan memadai untuk kemudian dibawa ke luar negeri untuk dijual. Dengan
melakukan alih muatan di tengah laut tanpa mendaratkannya dulu di pelabuhan
perikanan sekiranya dapat menghemat waktu, sehingga ikan-ikan tersebut akan tetap
segar ketika sampai di pasar dan memiliki nilai jual yang tinggi.
Kemudian, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
memang ditentukan bahwa ikan yang ditangkap haruslah didaratkan terlebih dahulu di
pelabuhan perikanan untuk kemudian dicatatkan.46 Dengan tidak didaratkannya ikanikan tersebut maka akan menyebabkan biasnya pencatatan atau statistik perikanan, yang
kemudian menimbulkan kerugian. Namun, pada kenyataannya terdapat perbedaan
dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan keadaan di
lapangan mengenai pencatatan ini.
Pertama, mengenai pelabuhan perikanan yang digunakan untuk mendaratkan
ikan yang ditangkap. Pelabuhan perikanan merupakan unsur yang penting dalam hal
pencatatan hasil tangkapan komoditas perikanan. Namun, pada kenyataannya banyak
pelabuhan perikanan yang tidak dipakai karena letaknya yang tidak strategis maupun
karena adanya pungutan liar, sehingga ikan-ikan akan dibawa ke pelelangan illegal
ataupun dilakukan alih muatan sehingga mengacaukan statistik perikanan.47 Selain itu,
keterbatasan fasilitas cold storage yang baik dan memadai pada di pelabuhan-pelabuhan,
terutama di daerah Indonesia Timur, juga memicu dilakukannya alih muatan ini. Dengan
begitu, maka jumlah ikan yang ditangkap di perairan Indonesia tidak tercatat sepenunya.
Kedua, dalam Pasal 44 ayat (3a) Peraturan Menteri Nomor 26/PERMENKP/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa penangkapan komoditas tuna segar
dikecualikan untuk diolah dalam negeri. Ketentuan ini tentunya semakin memudahkan
kegiatan transhipment, terlebih tuna merupakan komoditas perikanan yang menjadi
unggulan Indonesia. Ketiga, menurut Bono Budi Priambodo, walaupun dalam UndangUndang tentang Perikanan ditentukan bahwa pengeluaran komoditas perikanan baru
dapat dilakukan ketika telah ada pemenuhan konsumsi dalam negeri, 48 pada
45 Sampai saat ini, Indonesia masih kekurangan cold storage, terutama di sentra-sentra perikanan, karena
adanya keterbatasan listrik dan air bersih. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Pemasaran dan Pengolahan Hasil
Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini cold storage terbesar yang ada di Indonesia adalah di
Jakarta. Kapasitasnya 75.000-80.000 ton. Namun, hal tersebut dinilai masih kurang, dan Indonesia membutuhkan
cold storage yang memadai. Lihat Naomi Siagian, "Indonesia Kekurangan "Cold storage","
http://sinarharapan.co/news/read/140823141/indonesia-kekurangan-cold-storage- diakses pada 3 Oktober 2014.
Selain itu, berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Ikan Kaleng Indonesia (APIKI), Indonesia hanya memiliki
30% dari cold storage yang dimiliki oleh Thailand. Lihat Fauzul Muna, "INDUSTRIALISASI PERIKANAN: Cold
storage
di
Tanah
Air
Hanya
30%
dari
Thailand,"
http://m.bisnis.com/industri/read/20140715/99/243295/industrialisasi-perikanan-cold-storage-di-tanah-airhanya-30-dari-thailand diakses pada 3 Oktober 2014.
Indonesia (3), Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073, Pasal. 41 ayat (3).
46
47 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.
48
96
kenyataannya masyarakat Indonesia tidak gemar makan ikan. Oleh karena itu, dibuatlah
kebijakan bahwa ikan ditangkap untuk kemudian diekspor atau dijual ke luar negeri.49
Kebijakan ekspor ini dibarengi dengan kebutuhan untuk menjual ikan segar ke pasar
ikan dunia inilah yang kemudian yang menjadi salah satu faktor yang dapat memicu
transhipment. Dengan begitu, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya dewasa ini
transhipment telah menjadi suatu kebutuhan dan juga menjadi solusi bisnis.
3. Kesimpulan
Indonesia memliki potensi yang sangat besar dalam hal industri perikanan, di mana
berdasarkan data dari SEAFDEC Indonesia menempati peringkat pertama dalam hal produksi
perikanan di Asia Tenggara. Berbagai macam peraturan dan kebijakan dikeluarkan untuk lebih
meningkatkan produksi perikanan Indonesia, tetapi ternyata kebijakan-kebijakan yang ada belum
dapat mengatasi permasalahan transhipment, yaitu pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal
penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013. Namun ternyata, revisi tersebut masih
membuka celah adanya alih muatan di laut melalui Pasal 37 ayat (7) dan (8) serta Pasal 37A, 37B
dan 37C, yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.
Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa Indonesia atas komoditas
perikanan maupun dengan elemen-elemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment
memperburuk illegal dan unreported fishing yang marak terjadi di Indonesia, dan menimbulkan
kerugian dimana ikan yang seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat
dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi ataupun sebagai pemasukan negara,
karena telah dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu, maka hak bangsa
Indonesia dan pembangunan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan
datang pun akan terancam.
Dalam praktiknya, transhipment justru menjadi suatu kebutuhan karena produk
perikanan akan bernilai jual tinggi apabila dijual dalam keadaan segar, sedangkan pendaratan
ikan terlebih dahulu di pelabuhan perikanan akan memakan waktu dan ikan menjadi tidak segar.
Selain itu, kurangnya keterbatasan cold storage yang baik dan memadai di Indonesia juga memicu
dilakukannya praktik transhipment yang umumnya dilaksanakan di perairan perbatasan. Selain
itu, terdapat pula perbedaan keadaan dengan apa yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan dengan praktiknya, yang juga dapat membuka celah transhipment.
4. Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan oleh Penulis, di antaranya:
a.
b.
Pembentukan pengaturan mengenai cara pengukuran atau pencatatan jumlah ikan yang
ditangkap, sehingga statistik perikanan tidak akan menjadi bias;
49 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014. Berdasarkan data
dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2012 adalah sebesar
USD 3,85 juta. Lihat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Nilai Ekspor Hasil Perikanan,
http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/5/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27
Agustus 2014.
97
c.
Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan dan penguatan sistem dan
koordinasi antarpihak di tingkat lokal, nasional maupun internasional; serta melakukan
pemantauan, pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan di
perairan Indonesia, khususnya di daerah perbatasan;
98
Daftar Pustaka
Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN
No. 104 Tahun 1960. TLN Nomor 2043.
________. Undang-Undang tentang Perikanan. UU No. 31 Tahun 2004. LN No. 118 Tahun 2004.
TLN No. 4433.
________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. UU No. 45 Tahun 2009. LN No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP
Nomor 30/PERMEN-KP/2012.
______________________________. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012 tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP
Nomor 26/PERMEN-KP/2013.
______________________________. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Aksi
Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing.
Kepmen KKP Nomor 50 Tahun 2012.
Ariadno, Melda Kamil. 2007. Hukum Internasional Hukum yang Hidup. Jakarta: Diadit Media.
Beder, Sharon. 2006. Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary Introduction. Oxford:
Earthscan.
Brenton, T. 1994. The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics.
London: Earthscan.
Harsono, Boedi. 2013. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti.
Priambodo, Bono Budi. 2013. Ikan untuk Nelayan. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Sands, Philippe. 1995. Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards,
and Implementation. Manchester: Manchester University Press.
Southeast Asian Fisheries Development Center. 2013. Fishery Statistikal Bulletin of Southeast Asia
2011. Bangkok: Southeast Asian Fisheries Development Center.
Winter, Gerd (Ed). 2009. Toward Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis. Switzerland:
IUCN.
Muhamad, Simela Victor. Kejahatan Transnasional Illegal fishing di Perairan Indonesia dan
Upaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara. Dalam Laporan Hasil Penelitian
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada
Tahun 2011.
Wibisana, Andri G. "Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya." Jurnal
Hukum dan Pembangunan. Volume 43. Nomor 1. Januari 2013. Depok: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Administrator.
KNTI
Tolak
Izin
Transhipment
Kapal
1000
GT."
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/03/13/mjla4u-knti-tolak-izintranshipment-kapal-1000-gt diakses pada 22 Agustus 2014.
Hida,
Kementerian
Kelautan
dan
Perikanan.
Nilai
Ekspor
Hasil
Perikanan.
http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/5/?iframe=true&width=100%&heigh
t=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
_________________________________________.
Angka
Konsumsi
Ikan.
http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/4/?iframe=true&width=100%&heigh
t=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
__________________________________________.
Volume
Produksi
Perikanan.
http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/3/?iframe=true&width=100%&heigh
t=95% diakses pada 27 Agustus 2014.
Mukhtar.
Kerugian
Negara
di
Perairan
Laut
Aru
dan
Laut
Arafura.
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10347/Kerugian-Negara-di-Perairan-LautAru-dan-Laut-Arafura/?category_id=91 diakses pada 22 Agustus 2014.
Muna, Fauzul. "INDUSTRIALISASI PERIKANAN: Cold storage di Tanah Air Hanya 30% dari
Thailand,"
http://m.bisnis.com/industri/read/20140715/99/243295/industrialisasiperikanan-cold-storage-di-tanah-air-hanya-30-dari-thailand diakses pada 3 Oktober 2014.
Prasetyo, Sulung. Pencurian Ikan Meningkat Drastis. http://www.kiara.or.id/pencurian-ikanmeningkat-drastis/ diakses pada 22 Agustus 2014.
Satria,
Dias.
Antara
Tuna
Port
Lincoln
dan
Tamperan.
http://www.diassatria.lecture.ub.ac.id/2012/ diakses pada 28 Agustus 2014.
Siagian,
Naomi.
"Indonesia
Kekurangan
"Cold
storage"."
http://sinarharapan.co/news/read/140823141/indonesia-kekurangan-cold-storagediakses pada 3 Oktober 2014.
Sabar.
"Pencurian
Ikan
Masih
Marak
di
Lautan
Indonesia."
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pencurian-ikan-masih-marak-dilautan-indonesia diakses pada 3 Oktober 2014.
Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo. Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan. Depok, 22
Agustus 2014.
100
Abstrak
Perubahan iklim bukan lagi menjadi sebuah omong kosong, kenyataan bahwa bumi
semakin panas dan ancaman atas dampak perubahan iklim telah menjadi nyata.
Pergeseran musim mengakibatkan kegagalan dalam bercocok tanam, kenaikan
permukaan air laut mengancam keberadaan negara-negara kepulauan kecil. Banjir dan
kekeringan adalah sebagian kecil dari dampak perubahan iklim yang telah nyata
dirasakan. Bumi semakin panas, para ahli dalam Laporan IPCC WG I AR 5 semakin
yakin bahwa penyebab perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia. Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan dan
kerugian yang diderita akibat dampak perubahan iklim? Di Indonesia, Gugatan Warga
Negara menjadi salah satu bentuk litigasi yang menjadi alternatif penyelesaian dampak
perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat.
Kata kunci: perubahan iklim, gugatan warga Negara, litigasi perubahan iklim, tanggung
jawab perubahan iklim.
Abstract
Climate change is not longer became an issue, we are facing the fact that earth is getting warmer
and the impact of climate change is become real. The season changed, and affected the crops failure.
The raising sea level threatening the existence of small islands. Flood and drought are simply the
several impact of climate change that has been perceived. Earth is getting warmer, the IPCC Fifth
Assessment Report of Working Group I ensure the main cause of climate change is from
anthropogenic activities. The question that arose later is who will be responsible for any damage of
the climate change impact? Citizen Law Suit in Indonesia has become one of litigation form that
can be an alternative solution of climate change impacts in civil society.
Keywords: climate change, citizen lawsuit, climate change litigation
Iklim secara global merupakan ikatan yang tidak terpisahkan dengan atmosfer,
samudra, daratan, serta ekosistem hewan dan tumbuhan. 2 Dalam terminologi iklim
sering kali didefinisikan sebagai ringkasan teratur daratan, atmosfer, dan system air dari
waktu ke waktu.3 Untuk memahami perubahan iklim, penting untuk dapat membedakan
antara iklim dan cuaca.4 Cuaca merupakan keadaan fluktuatif atmosfer di sekitar kita
yang terindikasi oleh suhu, angin, awan, presipitasi, sedangkan iklim mengacu pada
rata-rata cuaca dan variabilitasnya selama rentang waktu tertentu di daerah tertentu. 5
Oleh karena itu perubahan cuaca yang ekstrem atau perubahan pola cuaca akan
mengindikasikan perubahan pada sistem iklim. 6 Sistem tersebut begitu dinamis dan
berubah secara substansial dalam sejarah bumi. Perubahan-perubahan tersebut dikenal
sebagai variabilitas iklim yang mengacu pada viarisi dan statistik iklim lainnya pada
skala ruang dan waktu. Variasi dapat terjadi secara alami, karena manusia (anthropogenic)
maupun karena paksaan.7 UNFCCC mendefinisikan perubahan iklim sebagai sebuah
perubahan iklim yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas
manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga mengubah variasi iklim
alami dalam komparasi periode waktu. 8 IPCC cenderung menggunakan variasi iklim
sebagai perubahan iklim alami yang mengindikasikan adanya perubahan-perubahan
yang dapat diprediksi, sedangkan perubahan iklim dikonotasikan perubahan dengan
adanya campur tangan manusia. 9 Saat ini, para ahli dengan tingkat keyakinan 95-100%,
meyakini perubahan iklim yang terjadi sejak tahun 1950-an di dominasi oleh aktivitas
manusia.10 Keyakinan ini meningkat dari laporan IPCC di tahun 2007 (90-95%) dan
meningkat drastis dari laporan IPCC tahun 2001. Hal ini menunjukkan bahwa
perdebatan di antara ahli apakah perubahan iklim nyata atau tidak, hampir tidak ada
lagi.
Benarkah perubahan iklim adalah akibat ulah manusia? Iklim sangat
dipengaruhi oleh energi dari matahari dalam bentuk radiasi panas matahari, sepertiga
dari energi ini diserap oleh atmosfer, daratan, lautan, dan biosfer, sisanya akan
dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Gas rumah kaca yang alami, yang terdiri dari
uap air, CO2, N2O, CH4, O3, dan CFC8 adalah selimut yang secara efektif menghalagi
radiasi panas matahari untuk terpantul keluar, persis seperti efek dari rumah kaca.
Tanpa gas-gas ini bumi akan 34o C lebih dingin dari saat ini, yang mana bumi akan
berupa tanah beku. Gas rumah kaca meningkat kadarnya di atmosfer yang
mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Selama lebih dari 150 tahun era industri, aktivitas
2 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State
Responsibility, (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hlm. 12
3Ibid., hlm. 12
4Ibid., hlm. 12
5 IPCC Third Assessment Report, Working Group I,(2007), hlm. 87.
6 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law, hlm. 12
7Ibid., hlm. 12.
8 UNFCCC, lihat juga,The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) defines climate
change as a variation in either the mean state of the climate or in its variability, persisting for an
extended period, typically decades or longer.
9 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State
Responsibility, hlm.
10 IPCC, Summary for Policymakers, Fifth Assessment Report, (2014), hlm. 5.
102
RIZKITA ALAMANDA
manusia telah meningkatkan emisi dari tiga jenis gas rumah kaca utama, yaitu
CO2(karbondioksida) yang meningkat akibat penggunaan bahan bakar fosil yang kita
bakar untuk penggunaan transportasi, produksi energi, pemanasan dan pendinginan
bangunan, deforestasi (penebangan hutan) juga menyebabkan terlepasnya CO 2 ke
atmosfer dan mengurangi penyerapan CO2 oleh tanaman.11 CH4(metana) meningkat
lebih dari dua kali lipat sebagai hasil aktivitas manusia terkait dengan pertanian,
distribusi gas alam dan pembuangan sampah. 12N20 (nitro oksida) juga diemisikan dari
kegiatan manusia seperti penggunaan pupuk dan pembakaran bahan bakar fosil.13
Dalam Laporan IPCC WG I ke-5 disebutkan dalam salah satu temuannya adalah
tiga dekade terakhir (80s, 90s, 2000s,) menjadi dekade yang lebih panas sejak 1850,
dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya.14 Periode pada rentang 1983-2012
sangat mungkin menjadi periode 30 tahun terpanas dalam kurun waktu 800 tahun dan
mungkin sebagai periode terpanas dalam kurun waktu 1400 tahun. 15 Sejak 1950, atmosfer
maupun laut memanas, keberadaan dan volume salju serta luasan es berkurang drastis,
juga permukaan air laut yang mengalami kenaikan.16
Hal ini menunjukkan bahwa ada yang menyebabkan kenaikan kadar gas rumah
kaca di atmosfer. Bila secara alami gas rumah kaca dapat memberikan suhu pada bumi
sehingga dapat ditinggali, kenaikan gas rumah kaca akan berdampak pada
meningkatnya suhu bumi yang berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Gas rumah
kaca dapat dihasilkan oleh kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil,
pembukaan hutan, pemupukan tanaman, pemeliharaan hewan ternak, hingga
memproduksi barang-barang hasil industri.17
103
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi
manusia.19
Gugatan Warga Negara atau Citizen Lawsuit merupakan klaim atau tuntutan atau
kehendak dari masyarakat terorganisir menyangkut kepentingan umum yang dilanggar
oleh siapapun, atas pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan kontrol yang bersifat
fundamental dari warga negara melalui mekanisme Citizen Lawsuit.20 Karakteristik dari
Citizen Lawsuit antara lain:21
1. Citizen Lawsuit merupakan akses orang-perorangan atau warga negara untuk
mengajukan gugatan di Pengadilan untuk dan atas nama kepentingan
keseluruhan warga negara atau kepentingan public;
2. Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari
kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau
pembiaran dari Negara atau otoritas Negara;
3. Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat
Negara atau institusi pemerintah yang melakukan pelanggaran undangundang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya
dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;
4. Orang-perorangan warga negara yang menjadi penggugat dalam Citizen
Lawsuit tidak perlu membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat rill
dan tangible;
5. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap tuntutan ganti rugi
kerugian jika diajukan dalam gugatan Citizen Lawsuit.
Gugatan Warga Negara merupakan salah satu terobosan dalam dunia hukum di
Indonesia. Hal ini dikarenakan mekanisme Gugatan Warga Negara tidak dikenal dalam
sistem peradilan di Indonesia. Namun, belakangan hak gugat warga negara banyak
digunakan sebagai salah satu upaya untuk membela kepentingan umum, sebagaimana
dalam Putusan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam Perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST tentang Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang terjadi pada 200.000 Buruh Migran Indonesia yang dideportasi dari
Malaysia ke Nunukan, yang diputus tanggal 8 Desember 2003. Dalam pertimbangannya
Majelis Hakim mengakui adanya mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),
sebagai berikut: setiap warga Negara tanpa kecuali mempunyai hak membela
kepentingan umum (on behalf of the public interest) dapat menggugat Negara atau
pemerintah atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang
nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas (pro bono publico), hal
ini pun sesuai dengan hak asasi manusia mengenai acces to justice yaitu akses untuk
mendapatkan keadilan apabila Negara diam atau tidak melakukan tindakan apapun
104
RIZKITA ALAMANDA
untuk kepentingan warga negaranya.22 Selain yurisprudensi hak gugat warga Negara
yang diterima oleh pengadilan, dasar hukum diakuinya Gugatan Warga Negara adalah
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan
Hidup, pada Bab IV Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan, Gugatan Warga
Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) menjadi salah satu hak gugat yang diakui. 23
3. Gugatan Warga Negara terhadap Dampak Perubahan Iklim yang diperparah oleh
Banyaknya Aktivitas Tambang : Komari cs V. Walikota Samarinda cs
105
udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat.28 Selain itu pembukaan tambang
batu bara juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menjadi simpanan baru emisi
gas rumah kaca di atmosfer, yang menjadi tabungan bagi penyebab perubahan iklim
dimasa akan datang. Hal ini karena pertambangan batubara merupakan salah satu
sumber terbesar emisi metana ditambah dengan adanya akitivitas land clearing yang
dilakukan sebelum kegiatan pertambangan batubara dimulai, yang mengakibatkan
lepasnya emisi CO2 ke atmosfer.29 Warga Samarinda telah berjuang untuk beradaptasi
dengan perubahan iklim yang sedang terjadi dan keadaan mereka diperparah dengan
adanya pembukaan tambang yang massive di wilayah mereka. Segala upaya telah
mereka lakukan namun, tidak ada perubahan yang mereka dapatkan, kekecewaan
terhadap pemerintah justru semakin besar, hingga akhirnya warga berkumpul dan
sepakat untuk membuat gerakan masyarakat, Gerakan Samarinda Menggugat (GSM).30
Warga Samarinda melakukan Gugatan Warga Negara kepada pemerintah untuk
pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tidak lagi dapat
dirasakan dengan adanya dampak perubahan iklim yang diperparah dengan pembukaan
tambang yang berlebihan di Samarinda.
Adanya hak konstitusional yang dimiliki warga Samarinda untuk mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan UUPPLH,
menjadi dasar hukum bagi warga Samarinda untuk mengajukan gugatan. Dengan
mekanisme Gugatan Warga Negara, 19 (sembilan belas) warga Samarinda yang
tergabung dalam GSM mengajukan gugatan terhadap Walikota Samarinda, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gubernur Provinsi Kalimantan Timur,
Kementerian Lingkungan Hidup, dan DPRD Kota Samarinda. Warga Samarinda
menggugat Pemerintah RI atas kelalaiannya dan tidak dipenuhinya kewajiban mereka
dalam memberikan lingkungan yang baik dan sehat, yang dalam hal ini terkait dengan
meningkatnya kerentanan Warga Samarinda dalam mengahadapi perubahan iklim
dikarenakan banyaknya Izin Usaha Pertambangan yang beroperasi di wilayah
Samarinda. Karena hal tersebut warga Samarinda mengalami bencana banjir dan
kekeringan sekaligus, serta menurunnya tingkat kesehatan warga Samarinda. Tiga belas
tuntutan diajukan warga Samarinda terhadap pemerintah yang diantaranya adalah
segera untuk melakukan evaluasi terhadap izin-izin pertambangan yang telah
dikeluarkan, pengawasan atas reklamasi pasca tambang, hingga pengembangan model
adaptasi perubahan iklim bagi warga Samarinda. Gugatan yang diperiksa dan diadili
oleh Pengadilan Negeri Samarinda tersebut diputus oleh Majelis Hakim dengan
mengabulkan sebagian gugatan warga Samarinda, yaitu menyatakan para tergugat lalai
dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan
sehat yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum bagi warga negara, khususnya
warga kota Samarinda, menghukum para tergugat untuk mengatur kembali suatu
kebijakan umum mengenai pertambangan batu bara yang meliputi: evaluasi terhadap
seluruh izin pertambangan batu bara yang telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha
untuk meralisasikan reklamasi dan pasca tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup,
28Ibid.
29Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,
dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 26.
30Mongabay, Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga
Negara,http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarinda-serukan-stop-tambang-lewathak-gugat-kepada-pemerintah/ , diakses pada 10 Desember 2014, 5:26 WIB.
106
RIZKITA ALAMANDA
4. Kesimpulan
Berbagai macam cara dilakukan dalam menghadapi isu perubahan iklim. Lebih
dulu dikenal upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kedua upaya tersebut
membutuhkan peranan aktif dari pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam
membentuk kebijakan. Dalam hal mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh peranan
lembaga eksekutif maupun legislatif, upaya litigasi perubahan iklim hadir. Di Indonesia,
adanya hak konstitusional untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat menjadi
31Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,
dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 134.
107
dasar hukum bagi upaya gugatan terkait dampak perubahan iklim. Sebagaimana upaya
yang dilakukan oleh warga Samarinda yang mengajukan gugatan terhadap Negara
melalui pemerintah dengan mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) atas
dampak perubahan iklim yang diperparah dengan banyaknya pembukaan tambang
batubara. Hal ini menunjukan adanya terobosan hukum serta meningkatnya kepedulian
masyarakat terhadap permasalahan perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim dinilai
sebagai sebuah permasalahan global, namun tetap dibutuhkan upaya-upaya lokal yang
mendukung upaya global dalam menghadapi perubahan iklim, salah satunya melalui
terobosan hukum litigasi perubahan iklim.
Meskipun tidak serupa, namun di Negara lain pun berkembang upaya litigasi
perubahan iklim yang berdasarkan atas tanggung jawab Negara dan pelanggaran
kewajiban internasional, seperti kasus Tuvalu v. United States of America and
Australia.32 Tuvalu adalah negara pulau kecil yang terletak di Samudra Pasifik
menggugat Amerika Serikat dan Australia ke International Court of Justice (ICJ) atas
kontribusi negara-negara tersebut pada perubahan iklim.33 Kedua Negara tersebut
dianggap oleh Tuvalu bertanggung jawab atas kegagalan mereka dalam menstabilkan
emisi gas rumah kaca yang diwajibkan dalam (FCCC). Perubahan iklim telah
menyebabkan melelehnya es yang berakibat pada naiknya permukaan air laut.
Fenomena kenaikan permukaan air laut telah mengancam Tuvalu sebagai negara pulau
yang kecil dengan rata-rata elevasi adalah dua meter di atas permukaan air laut.34
Terlepas dari hal apapun, terobosan hukum yang dilakukan dalam Gugatan
Warga Negara terhadap dampak perubahan iklim yang diperparah dengan adanya
pembukaan pertambangan batubara perlu mendapat apresiasi, terlihat bahwa
masyarakat telah memperhatikan lingkungan hidupnya yang semakin tidak layak karena
dampak perubahan iklim dan pembukaan tambang batubara, serta adanya keberpihakan
majelis hakim terhadap isu lingkungan hidup.
32 Michael F. Faure dan Andre Nolkaemper, Analyses of Issues to be Addressed Climate Change
Litigation Cases, (Amsterdam: Amsterdam International Law Clinic, 2007), hlm. 33.
33 Ibid., hlm. 33.
34 Ibid., hlm. 34.
108
RIZKITA ALAMANDA
Daftar Pustaka
Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Geofisika Samarinda, Trend Suhu Udara RataRata StaMet Temindung Samarinda Tahun 1982-2012.
Energy Today, Jatam Kaltim: Tambang Batubara Kurangi Ruang Hidup Warga,
http://energitoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidupwarga/
Faure, Michael F. dan Andre Nolkaemper. Analyses of Issues to be Addressed Climate Change
Litigation Cases.(Amsterdam: Amsterdam International Law Clinic, 2007).
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
________. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Intergovernmental Panel on Climate Chage. Summary for Policymakers. Fifth
Assessment Report. (2014).
Intergovernmental Panel on Climate Change. Third Assessment Report. Working Group
I. (2007).
International Law Commission, Draft Articles on State Responsibility for Internationally
Wrongful Act.
Kompas, Pria Kiribati Cari Status Pengungsi Korban Perubahan Iklim, (Kamis, 17
Oktober
2013,
17:36
WIB),
http://internasional.kompas.com/read/2013/10/17/1736126/
Pria.Kiribati.Cari.Status.Pengungsi.Korban.Perubahan.Iklim
Litigation: Symposium Introduction. Law & Policy University of Denver. (July, 2013).
Mahkamah Agung Republik Indonesia,
Nomor:36/KMA/SK/II/2013.
Keputusan
Ketua
Mahkamah
Agung
Mongabay, Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga
Negara,
http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarindaserukan-stop-tambang-lewat-hak-gugat-kepada-pemerintah/
Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara
Komari, dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014.
Statute of the International Court of Justice.
Sugiarto, Indro. Kasus Nunukan: Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap
Negara, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Ed. 2. (Jakarta: Lembaga
Independensi Peradilan, 2004).
Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indonesia. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002).
Tribun Kaltim, Samarinda Kembali Banjir, Selasa, 28 Agustus 2012, 19:22 WIB,
http://m.tribunnews.com/2012/08/28/samarinda-kembali-banjir
Tribun Kaltim,Samarinda Status Siaga II Bencana, Kamis, 28 Februari 2013, 17.43 WIB,
http://kaltim.tribunnews.com/2013/02/28/samarinda-status-siaga-ii-bencana
109
110
[1]
Tata Kelola LH dan SDA yang Lemah
Jalan masih panjang mewujudkan keterbukaan informasi.Undangundang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
telah disahkan 6 tahun yang lalu, tetapi pelaksanaannya berjalan sangat lambat.
Data Ditjen IKP-Kominfo, 1 Juli 2014 menunjukkan bahwa badan publik di
seluruh Indonesia yang telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) baru sekitar 47,98%. Rincian sebagai berikut:
No
Badan Publik
Jumlah
Telah Menunjuk
PPID
Persentase
1.
Kementerian
34
34
100,00
2.
LPNK/LNS/LPP
129
41
31,78
3.
Provinsi
34
30
88,24
4.
Kabupaten
399
168
42,11
5.
Kota
98
60
61,22
694
333
47,98
TOTAL
112
Indonesia dari 51 di tahun 2010 menjadi 62 di tahun 2012. Namun inisitif ini
belum mampu mendorong percepatan pemerintahan terbuka melalui
pelaksanaan mandat UU KIP.
2 Laporan Baseline Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah : Potret Kinerja
Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan (Studi Kasus 16 Kabupaten) 20132014, ICEL dan Seknas Fitra, Desember 2014.
114
Indeks Partisipasi
OKI
Berau
Melawi
Bulungan
Banyuasin
Musi Rawa
Ketapang
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
100.00
80.00
60.00
40.00
15.44
20.00
Muara Enim
Paser
Indeks Transparansi
Musi Banyuasin
Malinau
Kubu Raya
Kutai
Sintang
Kapuas Hulu
0.00
Kayong Utara
18.70
20.00
20.7
0.00
Indeks Koordinasi
Indeks Akuntabilitas
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
21.23
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
27.1
113.233
99.92
120
100
80
52.062
60
28.981 29.767
40 21.769 11.383
20
0
88.296
54.675
38.467
20.621
13.325
6.737
31.456
28.427
6.605
Deforestasi
Indeks Transparansi
3http://www.geodata-cso.org/.
116
117
118
sungai serta risiko kesehatan lainnya.Melihat hal ini, pemerintah harus mulai
lebih ketat mengawasi industry sepanjang aliran sungai, serta selektif
memberikan izin dengan mempertimbangkan pula dampak kumulasi limbahlimbah industri tersebut. Janji Jokowi dalam memulihkan DAS akan terancam
gagal jika tidak didorong keterbukaan informasi dan pengawasan terhadap
industri pada sepanjang aliran sungai.
Beberapa hal yang diyakini menjadi masalah buruknya tata kelola Migas,
antara lain:pertama, kelembagaan hulu Migas yang belum sepenuhnya
memungkinkan adanya pelaksanaan fungsi kebijakan, pelaksanaan, dan
pengawasan secara memadahi; kedua, belum adanya jaminan pemenuhan hak
informasi, partisipasi, dan akses masyarakatatas industri di sepanjang rantai
proses industri ekstraktif yang meliputi akses terhadap kontrak KKS
penghitungan DBH, data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas
bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen
AMDAL, dan lain-lain; ketiga, belum adanya ketentuan petroleum funddimana
sebagian dana dari penerimaan Migas disisihkan dan dikelola secara akuntabel
untuk mendukung agenda pemerintah dalam (1) pengalihan energi fosil ke
energi bersih terbarukan; (2) pembangunan infrastruktur migas seperti kilang
(refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dan lain-lain, dan
10
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/08/090626953/Tiga-Tahun-SektorTambang-Rugikan-Negara-Rp-46-T, diakses pada 11 Desember 2014.
.
119
[2]
Legislasi dan Regulasi yang Belum Terarah
Peraturan
Pemerin-Tah
Inventarisasi
Lingkungan
Hidup (Pasal
11)
Status
Belum
ada
Peraturan
Menteri
Baku Mutu
Lingkungan
Hidup (Pasal
20 ayat (5))
Keterangan
1. Permen No. 34 Tahun 2009 tentang
Baku Mutu Limbah Bagi Usaha
dan/atau Kegiatan Pertambangan
Bijih Bauksit.
2. Permen No. 03 Tahun 2010
Tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Kawasan Industri.
3. Permen No. 04 Tahun 2010
Tentang Mutu Air Limbah Bagi
Usaha dan/atau Kegiatan Industri
Minyak Goreng.
4. Permen No. 5 Tahun 2010 Tentang
Baku Mutu Air Limbah bagi
Industri Gula.
5. Permen No. 19 Tahun 2010
Tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan.atau Kegiatan
Minyak dan Gas serta Panas Bumi.
6. Untuk Permen lainnya
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 20 ayat (5) belum dibentuk.
121
No
Peraturan
Pemerin-Tah
Status
Peraturan
Menteri
Keterangan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(RPPLH)
(Pasal 11)
Belum
ada
Jenis usaha
dan/atau
kegiatan yang
wajib
dilengkapi
dengan amdal
(Pasal 23 ayat
(2))
Daya Dukung
dan Daya
Tampung
Lingkungan
Hidup (Pasal
12)
Belum
ada
Sertifikasi dan
kriteria
kompetensi
penyusun
amdal (Pasal
28 ayat (4))
Kajian
Lingkungan
Hidup
Strategis
(KLHS) (Pasal
18)
Belum
ada
Persyaratan
dan tatacara
lisensi komisi
penilai amdal
(Pasal 29 ayat
(3))
Baku Mutu
Lingkungan
Hidup (Pasal
20)
Belum
ada
UKL-UPL dan
surat
pernyataan
kesanggupan
pengelolaan
dan
pemantauan
lingkungan
hidup (Pasal
35 ayat (3))
Kriteria baku
kerusakan
lingkungan
hidup (Pasal
1. PP
No. 71
Tahun
2014
Audit
lingkungan
(Pasal 52)
122
No
Peraturan
Pemerin-Tah
21)
Status
Peraturan
Menteri
Keterangan
Tentang
Perlindu
ngan
dan
Pengelol
aan
Ekosiste
m
Gambut.
2. Untuk
PP
lainnya
sebagai
mana
dimaksu
d dalam
pasal 21
ayat (3)
belum
dibentu
k.
Kriteria Baku
Kerusakan
Akibat
Perubahan
Iklim (Pasal
21)
Belum
ada
Sistem
informasi
lingkungan
hidup (Pasal
62 ayat (4))
Belum ada
Analisis
mengenai
dampak
lingkungan
(Pasal 33)
PP. No.
27
Tahun
2012
Tentang
Izin
Lingkun
gan
Tata cara
pengaduan
(Pasal 65 ayat
(6))
123
No
Peraturan
Pemerin-Tah
Status
Izin
lingkungan
(Pasal 41)
PP No.
27
Tahun
2012
Tentang
Izin
Lingkun
gan
10
Instrumen
ekonomi
lingkungan
hidup (Pasal
43)
Belum
ada
11
Analisis risiko
lingkungan
hidup (Pasal
47 ayat (3))
Belum
ada
12
Tata cara
penanggulang
an
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup (Pasal
53 ayat (3))
Belum
ada
13
Tata cara
pemulihan
fungsi
lingkungan
hidup (Pasal
54 ayat (3))
Belum
ada
14
Dana
penjaminan
(Pasal 55 ayat
Belum
ada
Peraturan
Menteri
Kerugian
lingkungan
(Pasal 90 ayat
(2))
124
Keterangan
Permen No. 13 Tahun 2011 Tentang
Ganti Kerugian Akibat Pencemaran
dan / atau Kerusakan Lingkungan
Hidup.
No
Peraturan
Pemerin-Tah
Status
Peraturan
Menteri
(4))
15
Pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup (Pasal
56)
Belum
ada
16
Konservasi
dan
pencadangan
sumber daya
alam serta
pelestarian
fungsi
atmosfer
(Pasal 57 ayat
(5))
Belum
ada
17
Pengelolaan
Bahan
Berbahaya dan
Beracun (B3)
dan Limbah
B3 (Pasal 5859)
PP
tentang
Pengelol
aan
Limbah
B3
18
Belum
ada
19
Tata Cara
Pengangkatan
Pejabat
Pengawas
Belum
ada
125
Keterangan
No
Peraturan
Pemerin-Tah
Status
Peraturan
Menteri
Keterangan
Lingkungan
Hidup dan
Tata Cara
Pelaksanaan
Pengawasan
(Pasal 75)
20
Sanksi
administratif
(Pasal 83)
Belum
ada
21
Lembaga
penyedia jasa
penyelesaian
sengketa
lingkungan
hidup (Pasal
86 ayat (3))
Belum
ada
Lemahnya
transparansi
dalam
penyusunan
regulasi
pelaksana.Pemerintah belum terbuka terkait dengan penyusunan RPP, baik
prosesmaupun materinya. Sebagai contoh, dalam penyusunan RPP
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, tidak terdapat update draft
terakhir secara memadai kepada publik. Hal ini memicu polemik terhadap
materi RPP tersebut.Kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi dalam penyusunan
RPP Pengelolaan Limbah B3. Publik tidak mengetahui secara jelas proses dan
materi dari RPP tersebut. Bahkan dalam sosialisasi pasca disahkannya RPP ini,
pemerintah lebih mengutamakan sosialisasi kepada pelaku usaha
dibandingkan kepada masyarakat sipil.Lemahnya transparansi penyusunan
RPP juga masih terjadi pada penyusunan regulasi pelaksana lainnya, seperti
RPP KLHS, RPP Instrumen Ekonomi, dan RPP Ekosistem Karst. Sampai saat ini
masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengetahui status dari
pembentukan ketiga RPP tersebut.
11 http://news.metrotvnews.com/read/2014/11/11/316847/kpk-evaluasi-setahunperkembangan-nkb-kehutanan.
127
[3]
Kelembagaan LH dan SDA yang Belum Terkonsolidasi
[4]
Penegakan Hukum Belum Berefek Jera
129
12Catatan
130
Masih pada kasus yang sama yaitu PT. Kalista Alam (pidana), para
penegak hukum sudah menggunakan konsep pemidanaan korporasi yang
menjerat pelaku fungsional serta badan hukum itu sendiri. PT. Kalista Alam
diajukan ke persidangan dengan nomor perkara No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO
dijatuhi hukuman denda 3 Milyar ; Subianto Rusid selaku Direktur PT. Kalista
Alam disidangkan dengan nomor perkara No. 132/Pid.B/2013/PN.MBO
dijatuhi hukuman 8 bulan kurungan dan denda 150 juta sedangkan Ir.
Khamidin Yoesoef selaku Estate Manager Pengembangan PT. Kalista Alam
disidangkan dengan nomor perkara No. 133/Pid.B/2013/PN.MBO dijatuhi
penjara 3 tahun dan denda 3 milyar subsider kurungan 5 bulan. Putusan ini
patut diapresiasi, selain karena hukumannya juga karena telah menggunakan
konsep pidana korporasi yang jelas, menjerat pelaku fungsional/lapangan dan
badan hukum, tidak tertukar seperti kasus-kasus lain dimana pidana korporasi
yang dijerat hanya pelaku fungsional/lapangan, atau dakwaannya korporasi
tapi pidananya penjara dimana tidak memungkinkan korporasi untuk
dipenjara.
131
132
REKOMENDASI
maupun
insentif-
134
PENUTUP REDAKSI
Sudah Demokratiskah Kebijakan Hukum Lingkungan Indonesia?
urnal Lingkungan Hidup Indonesia Volume 01 Issue 02, Desember 2014 ini
mencoba mengulas diskursus mengenai sejauh mana demokrasi
lingkungan tercermin dalam kebijakan-kebijakan hukum yang didorong
oleh pemerintah, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif dan gerangan
masyarakat sipil lainnya. Apakah demokrasi lingkungan yang secara populer
dipahami sebagai perwujudan hak tiga akses atau Prinsip 10 Deklarasi Rio,
yaitu akses terhadap informasi, partisipasi dan keadilan telah diakomodir
dalam setiap Kebijakan Hukum di bidang lingkungan dan pengelolaan sumber
daya alam Indonesia.
Tulisan pertama dari Myrna Safitri mengulas bagaimana kebijakan
hukum yang diambil pemerintah dalam melaksanakan kewenangan
penguasaan Negara atas kawasan hutan. Tulisan ini menggambarkan
kebijakan-kebijakan penetapan kawasan hutan terdahulu yang bersifat otoriter
dan tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat di dalamnya, padahal
penetapan kawasan hutan tersebut mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Kebijakan ini adalah cermin dari kurangnya keberpihakan pada pengakuan hak
dan perluasan akses rakyat pada kawasan hutan negara. Myrna berpendapat
bahwa penetapan kawasan hutan bukan semata mengejar kepastian hukum
atas status kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan
kawasan hutan itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak. Dengan kata
lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian
pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.
Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan
kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya
percepatan pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk
mendukung adanya kawasan hutan yang berkepastian hukum dan
berkeadilan. Tulisan ini menegaskan bahwa upaya percepatan
tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan terpenuhinya
keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu
merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai
negara dalam konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak
dilakukan
Kemudian Wahyu Nugroho dalam tulisannya mencoba menganalisa
apakah kebijakan hukum yang diambil Indonesia dalam pengelolaan sumber
daya hutan adat sudah sesuai dengan doktrin Welfare State. Dalam tulisan ini,
PENUTUP REDAKSI
minoritas yang juga merupakan bagian dari rakyat yang harus diberi
kemakmuran tersebut.
FPIC merupakan instrumen hukum strategis yang dapat
menjadi jawaban atas permasalahan masyarakat adat
akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak
partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat;
FPIC juga dapat meningkatkan kepastian hukum bagi
investasi di sektor migas karena dapat menciptakan social
license bagi perusahaan dalam menjalankan operasinya
dan mengurangi resiko konflik sosial
Pada artikel lain, Savitri Nur Setyorini berbicara mengenai kebijakan
hukum negara dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Savitri menyoroti
kebijakan transhipment yang diperbolehkan oleh pemerintah justru merugikan
Hak Bangsa Indonesia .
Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa
Indonesia atas komoditas perikanan maupun dengan elemenelemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment
memperburuk illegal dan unreported fishing yang marak terjadi
di Indonesia, dan menimbulkan kerugian dimana ikan yang
seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat
dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi
ataupun sebagai pemasukan negara, karena telah
dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu,
maka hak bangsa Indonesia dan pembangunan berkelanjutan
bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang pun
akan terancam.
Dalam artikel terakhir jurnal ini, Rizkita Alamanda mengangkat topik
mengenai gugatan warga negara sebagai sarana warga negara untuk
mengakses keadilan (access to justice) dalam menuntut pemenuhan hak atas
lingkungan yang baik dan sehat yang dijamin dalam konstitusi Indonesia dan
merupakan kewajiban pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan hak
tersebut. Putusan Pengadilan Samarinda yang mengabulkan gugatan
perubahan iklim warga Samarinda ini diproyeksikan akan mempengaruhi arah
hukum lingkungan Indonesia kedepannya, pertama putusan ini akan
menguatkan posisi prosedur gugatan warga negara yang sebenarnya belum
diakomodir secara tegas dalam hukum acara di Indonesia, dan kedua gugatan
ini adalah gugatan mengenai perubahan iklim pertama yang dikabulkan oleh
pengadilan.
xi
PEDOMAN PENULISAN
3.
4.
5.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan
EYD dengan kalimat yang efektif.
Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin
kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times
New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraf,
dengan panjang naskah 4000-5000 kata.
Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan
keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah
daftar pustaka.
Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya
namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai
keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki.
Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.
Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring.
xii
6.
7.
8.
PEDOMAN P ENULISAN
9.
Pemilihan Tulisan*
Pemilihan tulisan dilakukan melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari peneliti
senior ICEL, staff peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan
diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan
diberikan notifikasi 1 (satu) bulan sebelum penerbitan jurnal yaitu pada bulan Mei
2015 dan merupakan hak Penulis sepenuhnya.
*) Tidak berlaku bagi Penulis Artikel Utama atau Penulis dengan Undangan dari
Sidang Redaksi.
xiv
BIOGRAFI PENULIS
luas membuatnya melepas karir sebagai corporate lawyer di sebuah law firm di
Jakarta untuk menjadi peneliti di Indonesia Center for Environmental Law
(ICEL). Sejak bergabung di ICEL, ia banyak melakukan riset dan advokasi di
bidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) antara lain: 1) menjadi fasilitator
dalam berbagai training pengembangan kapasitas bagi masyarakat sipil dan
pemerintah daerah; 2) co-writer dalam penulisan buku Catatan Masyarakat
Sipil Terhadap Kinerja Komisi Informasi Pusat (KIP) 2009-2013 dan Roadmap
KIP 2013-2017. Saat ini ia sedang mendalami isu tata kelola industry ekstraktif
dan menjadi salah satu tim perumus revisi UU Migas versi masyarakat sipil
bersama dengan koalisi Publish What You Pay Indonesia. Penulis dapat
dihubungi melalui email: nisaistiqomah@gmail.com
Savitri Nur Setyorini lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan
mendapat gelar S.H., pada Agustus 2013. Saat ini sedang melanjutkan studi
Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, dengan Peminatan Hukum Sumber Daya Alam. Selain itu, ia juga
aktif sebagai salah satu Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat
dihubungi melalui email savitri.setyorini@yahoo.com.
Rizkita Alamanda lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada
bulan Agustus 2012 dengan program kekhususan Hukum Internasional.
Penulis sangat tertarik pada isu perubahan iklim. Komitmennya yang kuat
dalam memperjuangkan lingkungan membuat ia tertarik bergabung menjadi
salah satu pejuang lingkungan bersama ICEL. Sejak bergabung di ICEL ia
mendapat kesempatan untuk terlibat dalam gugatan warganegara terhadap
dampak perubahan iklim yang diajukan oleh warga Kota Samarinda dan warga
Riau.Selain fokus pada isu perubahan iklim, ia juga aktif dalam isu industry
ekstraktif yang saat ini memiliki agenda utama dalam Revisi UU Migas. Penulis
dapat dihubungi melalui email rizkita_alamanda@yahoo.com .
xvi